Bahasa dan Ideologi Politik

Bahasa dan Ideologi Politik
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak bisa lepas dari politik. Sebetulnya
semua persoalan yang dihadapi manusia merupakan masalah politik, tidak ada
yang di luar politik, semua isu adalah politik (Darma, 2013:91). Segala bentuk
interaksi sosial secara timbal balik memiliki implikasi dan tendensi mengarah
pada struktur sosial tertentu. Seseorang akan menyesuaikan diri dan intraksinnya
menur situasi dan kondisi yang dialamai. Situasi yang dimaksud di sini adalah
berdasarkan hubungan besar-kecil, tinggi-rendah, mulia-biasa dan lain sebagainya
yang dibangun atas konvensioonal masyarakat. Adapun kondisi adalah interaksi
berdasarkan konteks yang dialami, seperti forlmal-nonformal, santai-tidak santai
dan lai sebagainya.
Bentuk sosial sangat mempengruhi bahasa yang digunakan dan ideologi
politik yang ditetapkan. Darma (2013:91) mengemukakan, bentuk sosial yang
dimaksud adalah segala sesuatu yang dipercayai oleh kelompok masyarakat untuk
menjadi sumber kekuasaan, status, dan nilai. Bentuk-bentuk sosial itu antara lain:
kemampuan akademis, finansial, kemampuan verbal, kemampuan kontrol,
penampilan, usia, kebijaksanaan, tingkat pengetahuan, penerapan teknologi,
moralitas, kepemilikan, pengetahuan umum, dan akal sehat. Bentuk sosial inilah
yang dapat menjadi sumber kekuasaan.
Politik sangat berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan dilancarkan melali
bahasa politik dan politik bahasa. Antara bahasa politik dan politik bahasa perlu

dibedakan, bahasa politik mengarah pada pembuatan simbolis, jargon, slogan,
dan singkatan, akronim secara spesifik melalui pemanfaatan bahasad. Bahasa
poltik adalah bahasa yang digunakan sebagai alat poltik (Darma, 2013:19).
Adapun politik bahasa mengarah pada upaya permainan bahasa utuk membentuk
sebuah makna bahasa berpengaruh pada keyakinan dan pengetahuan baru. Pada
politik bahasa inilah ideologi politik disalurkan dan ditetapkan ideologi tertentu.
Bahasa selalu dikaitkan dengan komunikasi dalam konteks interaksi.
Komunikasi selalu berkaitan dengan aktivitas yang memiliki kepentingan yang
selalu dimotivasi oleh keinginan tertentu, konteks tertentu, dan peristiwa diskursif
tertentu (Darma, 2013:95). Dapat disimpulkan bahwa kepentingan inilah yang
memicu penggunaan bahasa dalam aktivitas iteraksi. Sehingga, pada saat
menganalisis sebuah teks, ditemukan kerangka diskursif yang berbeda
berdasarkan konteks, dan situasi yang berbeda walaupun dimungkinkan topik
yang dibicarakan sama.
Kajian terhadap komunikasi (di dalamnya terdapat ideologi politik) tidak
hanya tertarik pada apa makna teks bahasa, tetapi lebih tertarik pada bagaimana
makna wacana dalam konteks kultural yang lebih luas. Brich mengemukakan
(dalam Darma, 2013:95-96) ada enam asumsi dasar yang harus ada bila makna
wacana dikaji dalam konteks kultural yang lebih luas yaitu: (1) komunikasi selalu
menentukan bentuk politiknya dahulu sebelum bentuk linguistiknya, (2)

komunikasi akan selalu dipengaruhi motivasi, kepentingan, dan situasi, (3)

komunikasi selalu memiliki strategi, (4) komunikasi selalu terjadi dalam
pertemuan dan interaksi tertentu, (5) komunikasi selalu berkaitan dengan nilai
tertentu, dan (6) komunikasi selalu bersifat ketergantungan pada cara-cara
individu, kelompok, masyarakat tertentu.