Ideologi politik dalam sastra dan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dalam sastra, ideologi sering menimbulkan kejutan, tak terduga dan baru,
meskipun entah dengan cara bagaimana harus ada kontak antara ideologi dan
pembaca. Dalam bacaan picisan, fiksi, setengah fiksi maupun nonfiksi ideologi
selalu akrab, tidak menimbulkan kejutan. Ideologi yang menguasai kehidupan
kita, di mana golongan menengah menjadi teladan budaya dan budi pekerti,
teladan kelakuan moral dan sosial politik, tercermin dalam roman-roman picisan,
gosip dalam majalah, artikel panorama.
Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, di mana ideologi dapat dianggap
sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara untuk melihat sesuatu (dibandingkan
pandangan dunia). Menurut ideologi perubahan sosial menuju masyarakat tanpa
kelas di awali dengan kesadaran dan perjuangan kaum proletar yang selalu
teraniaya.
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat dengan tujuan khusus untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Pengajaran Keterampilan Apresiasi Sastra yang diberikan
dosen pembimbing. Selain itu makalah ini juga di buat agar pembaca paham
dengan ideologi politik dalam sebuah karya sastra.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ideologi adalah seperangkat gagasan yang merupakan satu tujuan, harapan
dan tindakan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara untuk melihat sesuatu (dibandingkan pandangan dunia). Tujuan utama
dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan baik dalam masyarakat,
atau kepatuhan terhadap seperangkat cita-cita yang sesuai sudah ada, melalui
proses pemikiran normatif.
Ideologi politik adalah kumpulan ide, gagasan dan visi dan komprehensif
tentang proses pembentukan, pembagian, pengelolaan dan penggunaan kekuasaan
dalam masyarakat khususnya Negara. Gagasan dari presiden pertama Indonesia
terdapat tiga ideologi politik yang mendominasi masyarakat Indonesia, nasionalis,
islam, dan marxis.
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa atau kelompok
manusia yang menjadi penduduk resmi suatu Negara. Dari sifat ekslusif yang
hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas
meraih hak yang sama kelas elit dalam berpolitik. Ideologi nasionalis adalah suatu
paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Religius telah menjadi ciri tersendiri bagi Indonesia. Politeisme sebagai
sebuah bentuk kepercayaan yang mengaku adanya lebih dari satu tuhan
merupakan penjelasan bagi kegandrungan banyak masyarakat Indonesia hingga
saat ini terdapat hal-hal berbau klenik, mistis dan gaib. Pada perjalanan sejarah
selanjutnya islam menjadi agama terbesar yang dipeluk oleh masyarakat
Indonesia. Sebagai sebuah agama yang memiliki konsep holistik, maka
pembicaraan tentang pandangan hidup masyarakat Indonesia tidak dapat lepas
dari ideologi Islam.
Marxisme adalah filosofi politik dan praktek yang berasal dari karya Karl
Marx dan Friedrich Engels. Menurut ideologi tersebut perubahan sosial menuju
masyarakat tanpa kelas di awali dengan kesadaran dan perjuangan kaum proletar
yang selalu teraniaya oleh kaum bonjois. Sebagai bangsa yang sebelum era
2
kemerdekaan senantiasa mengalami penindasan dari kekuatan imperialis kapitalis
Belanda, maka marxisme menjadi inspirasi bagi sebagian pemuda Indonesia
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Jadi maksud dari marxisme adalah
masyarakat kecil tidak harus ditindas tetapi mereka juga mempunyai hak untuk
melawan.
Kalau kita berbicara tentang novel politik atau psikologis, kita sama sekali
tidak membicarakan suatu perbedaan fundamental dalam bentuk sastra. Kriteria
untuk menilai novel politik tentunya sama saja dengan kriteria untuk menilai
novel lain.
Gagasan litteratur engagee timbul sebagai akibat dari pengaruh ideologi
modern terhadap kesusastraan. Ideologi yang sekarang ada, meskipun berbagaibagai coraknya memperlihatkan suatu persamaan, semuanya mencerminkan
perubahan sosial yang cepat dan dasar di zaman kita ini. Perubahan inilah yang
memaksa kita menimbang-nimbang kembali posisi dan tempat kita di dunia, dan
tanggung jawab kita terhadap orang lain.
Studi Ariel Heryanto
Ariel (1988) melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia atas dasar
teori hegemoni Gramscian. Ariel membagi tulisannya menjadi tiga bagian, yaitu
bagian deskripsi mengenai kenyataan hegemoni yang terjadi dalam sastra
Indonesia mutakhir, bagian politik kesusastraan disebutnya sebagai politik
bersastra, dan hubungan kesusastraan dengan politik general yang disebut sebagai
sastra berpolitik.
1. Hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir
Sastra Indonesia, menurut Ariel di hegemoni bentuk kesusastraan
tertentu. Bentuk kesusastraan itu menduduki posisi yang hegemonik
terlihat
dari dominasinya dalam berbagai sektor kehidupan yang
bersangkutan dengannya. Misalnya bentuk kesusastraan yang berkembang
dengan definisi konseptual, studi dan penulisan sejarah yang dominan,
contohnya karya sastra yang sah” atau puncak-puncak”.
Bentuk kesusastraan yang hegemonik disebut sebagai kesusastraan
yang diresmikan. Di samping itu terdapat bentuk kesusastraan yang
subordinat, dibagi menjadi tiga macam:
3
a. Kesusastraan yang terlarang
Kesusastraan yang terlarang merupakan kesusastraan yang
dibasmi atau setidaknya dimusuhi oleh lembaga-lembaga resmi
pemerintahan dan sering kali juga oleh individu atau lembaga swasta
yang tunduk di bawah kekuasaan resmi masyarakat. Berupa pelarangan
resmi dari aparat keamanan dan segala bentuk tekanan pada penulis
atau penerbit untuk menerbitkan kesusastraan jenis ini merupakan
bentuk penindasan yang paling lazim. Contohnya kepada kasus
pelarangan terhadap buku-buku Pramudya dan penerbit Hasta Mitra.
b. Kesusastraan yang diremehkan
Kesusastraan yang diremehkan terdiri dari berbagai karya
sastra yang tidak termasuk dalam khasanah kesusastraan atau studi,
kritik dan sejarah kesusastraan yang diresmikan, tetapi tidak secara
resmi dinyatakan terlarang. Kesusastraan ini biasanya bersifat
mengejek dan mengasihani. Contohnya kesusastraan pop, sastra
hiburan atau sastra remaja.
c. Kesusastraan yang dipisahkan
Kesusastraan yang dipisahkan adalah berbagai khasanah teks
yang tidak dimasukkan dalam forum resmi kesusastraan Indonesia,
bukan karena warna ideologinya, biografi politik penulisnya, atau
bobot nilai estetiknya, melainkan karena kelakuan konsep kategoris
atau teori kesusastraan resmi yang sedang mapan. Yang termasuk ke
dalam sastra yang dipisahkan ini yaitu non sastra Indonesia dan non
sastra. Non sastra Indonesia yaitu golongan sastra daerah sedangkan
non sastra sejumlah iklan, esai, beberapa surat pembaca kepada redaksi
media massa, gosip, dan berbagai lirik lagu.
2. Politik bersastra
Politik menurut Ariel merupakan seluk beluk pembagian dan
penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu struktur kegiatan sosial. Dalam
politik kesusastraan ini menganggap penting pemberian perhatian terhadap
kaitan dan pertentangan antara berbagai kepentingan lembaga, kelompok,
maupun individu, yang terlibat langsung di dalam proses produksi,
reproduksi, distribusi, dan konsumsi sastra.
4
Menurut Ariel secara struktural politik kesusastraan Indonesia
mutakhir mengidap pertentangan di antara kepentingan yang diresmikan,
sebagai kesusastraan yang dominan, berhadapan dengan berbagai
kesusastraan
lain
yang
didominasi
atau
bersaingan
dengannya.
Pertentangan antara kesusastraan resmi dengan kesusastraan terlarang
biasanya tidak terjadi dalam suatu konfrontasi langsung atau terbuka.
Biasanya tidak berlangsung lama karena segera dipadamkan oleh
kekuasaan politik tertinggi dalam negara. Karena kaum terlarang biasanya
tidak diberi kesempatan untuk berpendapat dan membela diri secara
publik, pertikaian mereka dengan kaum resmi sering terjadi secara tidak
langsung.
Pertentangan
kesusastraan
resmi
dengan
rekannya
yang
diremehkan belum berkembang sesengit dan sepeka pertentangan di atas.
Disebabkan oleh kesusastraan resmi dan terlarang sama-sama bergerak
dan memperebutkan publik yang sama. Mereka memperebutkan
keabsahan dengan kualitas
dan jenis yang sama, keabsahan tertinggi
dalam kebudayaan nasional.
Kesusastraan yang diremehkan, menurut Ariel, berpusat pada
perbedaan norma estetik serta moral, khususnya masalah seks, religi, dan
integritas pribadi. Kesusastraan jenis ini bergengsi rendah, tetapi
berkekuatan sosial yang besar: media massa.
Pertentangan antara kesusastraan resmi dengan yang dipisahkan,
disebabkan oleh keberhasilan hegemoni ideologi nasionalisme sehingga
lingkungan hidup bersastra daerah itu cenderung rela menerima
kedudukannya sebagai kesusastraan yang dipisahkan, atau mungkin karena
kesusastraan daerah tersebut bervitalitas tinggi. Perkembangan alam
bidang teknologi komunikasi massa, menurut Ariel, telah membuat non
sastra berhasil menggeser kedudukan terhormat yang pernah diduduki oleh
sastra. Sastra yang diresmikan semakin lama semakin menyadari
pentingnya media massa bagi penentuan dinamika politik bersastra
maupun sastra berpolitik.
5
3. Sastra berpolitik
Ideologi kesusastraan adalah ideologi kesusastraan yang a-politis
dan ideologi kesusastraan politis yang hanya dapat diwakili oleh dua
kategorisasinya yang sebelumnya atau bahkan hanya salah satunya saja.
Menurut Ariel, kesusastraan Indonesia yang diresmikan dikuasai oleh
ideologi a-politis yang sesungguhnya bagaimana pun tetap merupakan
politik juga. Kesusastraan a-politis berkaitan dengan berbagai faktor
sosial-politis yang general yaitu:
a. Depolitasi negara sejak orde baru
Merupakan pilihan yang tidak terelakkan sesuai dengan pilihan
pembangunan politik-ekonomi yang dipilihnya. Memacu pertumbuhan
ekonomi dengan mengandalkan modal dan teknologi asing, tenaga
kerja domestik yang murah, serta jaringan borjuasi non pribumi,
menuntut terpeliharanya stabilitas dan keamanan. Apalagi konflik
sosial, merupakan buntut logis dan sekaligus ancaman potensial yang
harus ditekan dengan cara apapun. Semua hal tersebut belum
menjelaskan apa yang terjadi dalam masyarakat luas, dan secara
khusus dalam kegiatan bersastranya.
b. Pengalaman sejarah masyarakat luas
Menurut Ariel, pengalaman masyarakat luas persis pada tahuntahun awal terbentuknya orde baru merupakan faktor pendukung
proses berpolitisi di atas. Pada tahun itu terjadi pembantaian ratusan
ribu warga negara dalam waktu yang relatif singkat yang tidak dapat
dijelaskan baik pelaku, korban, maupun motifnya. Yang jelas dalam
peristiwa tersebut simbol-simbol politik sering kali dipakai sebagai
bahan acuan. Trauma itu diasosiasikan sebagai akibat berpolitik, ikutikutan berpolitik atau bahkan sekedar dituduh ikut berpolitik. Karena
peristiwa tersebut menciptakan lingkungan sosial yang tidak
mendukung pertumbuhan aneka aspirasi politik masyarakat dan
persaingan mereka dalam suatu ajang demokrasi yang bebas terbuka
yang penuh gairah. Semua itu belum menjelaskan bertahan dan
berlanjutnya gairah besar untuk bersastra a-politis itu.
6
c. Sejarah kesusastraan resmi itu sendiri
Dengan peristiwa sosial tersebut kesusastraan Indonesia
mutakhir meresmikan mengawali masa kejayaannya ditandai dengan
tumbangnya lekra yang mempunyai semboyan institusional “politik
adalah panglima”. Kelompok inti membentuk kesusastraan Indonesia
yang resmi, secara tegas menolak semboyan itu, mereka bertekat
bersastra sebaik-baiknya bukan berpolitik.
d. Hegemoni estetika
Ariel mengatakan bahwa doktrin estetika humanisme universil
dari kaum manifest kebudayaan menyediakan peluang terhadap politik
“a-politis” yang membedakan watak politik kesusastraan remi dari
bentuk-bentuk yang lain. Salah satu ancaman yang paling sering
diterima kesusastraan resmi ialah keasyikannya bereksperimen dengan
estetika bentuk formal yang secara agak seragam bersifat non realis
dan anti sejarah.
e. Perkembangan teknologi komunikasi
Ada satu kekuatan sosial lain yang ikut memperlemah daya
politis kesusastraan resmi, adalah teknologi komunikasi massa yang
telah merombak kedudukan dan kekuatan sastra sebagai salah bentuk
medium bermasyarakat. hingga awal atau pertengahan abad sastra
menjadi salah satu kekuatan politik yang sangat ampuh sebagai
pendukung
ataupun
pembangkang
puncak
kekuasaan
dalam
masyarakat. Politikus profesional dan cendekiawan politis Indonesia
menyalurkan aspirasi politiknya dalam medium sastra. Mereka
bersastra, berpolitik, dan bersastra politik pada saat teknologi
komunikasi masa elektronik masih sangat terbatas, koran sebagai
media massa yang waktu itu sangat berpengaruh untuk kesusastraan
mereka.
7
BAB III
ANALISIS IDEOLOGI POLITIK DALAM SASTRA
Novel baru terlaris karya Ahmad Fuadi "Negeri 5 Menara" menceritakan
kisah lima orang sahabat yang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian
bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu,
ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah
menara masjid benar-benar terjadi.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak
menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa
Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa
menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orang tuanya.
Keinginan kedua orang tua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu
kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di
kampung seperti menjadi guru agama.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin
seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan
untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah
tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun,
keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orang tuanya bergeming
agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama.
Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo,
akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan,
di sinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan
dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani, Dulmajid alias Monib,
Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap
sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah
menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah
mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu
bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak
lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab
Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
8
Melalui lika-liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama
ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun
kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian
mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor,
Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi
dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno,
”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar
menjunjung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung
jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para
ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu
didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh
akan berhasil.
”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih
impiannya untuk bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu, jangan
berhenti untuk bermimpi, ” ujar Ahmad Fuadi memberikan nasihat.
Itulah penggalan cerita novel yang berjudul negeri 5 menara. Kalau
dikaitkan dengan ideologi politik yang terjadi pada saat ini dapat dikatakan
bahwa, perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak terlepas dari faktor
situasi sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut
terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan.
Pada periode ini, pemerintahan bersifat otoriter. Pemerintahlah yang mengatur
segala sesuatu yang ada atau yang terjadi.
Penulis akan menganalisis novel yang berjudul “Negeri 5 Menara”. Pada
novel “Negeri 5 Menara” Alif sebagai tokoh utama dalam novel, berperan sebagai
wartawan. Sebagai wartawan Alif memiliki hak atau kekuasaan untuk meliput
kinerja pemerintahan dalam sebuah Negara. Di mana hak dan kekuasaan ini tidak
akan dimiliki oleh masyarakat umum yang tidak berprofesi sebagai wartawan.
Tapi berbeda halnya pada zaman orde baru di mana wartawan pada saat itu
seolah-olah tidak memiliki hak selayaknya wartawan. Karena pada zaman ini,
wartawan tidak dibenarkan untuk meliput apalagi untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Apabila wartawan melakukan hal tersebut, maka wartawan tersebut
9
akan mendapatkan hukuman. Hukumannya yaitu wartawan tersebut dijemput
paksa pada malam hari dan hilang begitu saja tidak tahu ke mana. Apakah
dibunuh atau disekap pada suatu tempat. Pemerintahan pada zaman itu boleh
dikatakan sangat kejam. Karena persaingan politik yang terjadi antar partai politik
dan antar pejabat tinggi Negara.
Sedangkan kalau dibandingkan dengan zaman sekarang, wartawan sudah
bebas meliput dan melaksanakan kerjanya sebagaimana mestinya. Wartawan bisa
menampilkan berbagai berita tentang peristiwa yang terjadi dalam pemerintahan.
Bahkan sekarang wartawan sudah memiliki undang-undang untuk perlindungan.
Jadi tidak akan ada lagi pengurasan-pengurasan hak seperti yang terjadi pada
masa orde baru.
10
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Kekuasaan, ideologi, dan politik dalam sastra terus dan akan berkembang
karena kekuasaan, ideologi, dan politik itu merupakan refleksi dari lakon
kehidupan manusiawi, akan tetapi siapa yang berani bermain-main dengan
kekuasaan itu ia akan tergilas oleh politik dan ideologinya sendiri. Sebuah
ideologi merupakan seperangkat gagasan yang merupakan satu tujuan, harapan,
dan tindakan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara untuk melihat sesuatu. Tujuan utama dibalik ideologi ini untuk menawarkan
perubahan baik dalam masyarakat, atau kepatuhan terhadap seperangkat cita-cita
yang sesuai sudah ada, melalui proses pemikiran normatif. Sebuah ideologi politik
badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitos atau simbol dari gerakan sosial, institusi,
kelas atau grup besar yang beberapa referensi dan budaya rencana politik. Sebuah
ideologi politik sebagian besar kekhawatiran sendiri dengan cara mengalokasikan
kekuasaan dan untuk apa tujuan itu harus digunakan.
4.2 Saran
Adanya pembuatan makalah tentang hubungan berideologi politik dalam
sastra ini mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami apa yang ditulis
oleh penulis dalam makalah ini. Makalah ini disusun oleh penulis agar bermanfaat
bagi mahasiswa atau bagi pembaca pada umumnya.
Penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
A. Fuadi. 2009. Novel: Negeri Lima Menara. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusastraan. Kuala Lumpur: Satu Pengenalan.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://ardycupu.wordpress.com/2009/10/11/perbedaan-dan-kritik-terhadaphumanistik-psikoanalisa-dan-behavior/
12
TUGAS
KETERAMPILAN PENGAJARAN APRESIASI SASTRA
IDEOLOGY POLITIK DALAM SASTRA
Oleh
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN
SOLOK
2010
13
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Salawat beserta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan kepada zaman yang
berilmu pengetahuan seperti saat ini.
Adapun tujuan penulis menyelesaikan makalah ini adalah sebagai tugas
kelompok pada mata kuliah “Pengajaran Keterampilan Apresiasi Sastra”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Solok, Desember 2010
Penulis
i
14
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang Penulisan ...........................................................
1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN .............................................................................
2
BAB III ANALISIS PSIKOLOGI NOVEL NEGERI LIMA MENARA.
4
BAB IV PENUTUP .......................................................................................
6
4.1 Kesimpulan ...............................................................................
6
4.2 Saran...........................................................................................
6
DAFTAR PUSTAKA
15
ii
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dalam sastra, ideologi sering menimbulkan kejutan, tak terduga dan baru,
meskipun entah dengan cara bagaimana harus ada kontak antara ideologi dan
pembaca. Dalam bacaan picisan, fiksi, setengah fiksi maupun nonfiksi ideologi
selalu akrab, tidak menimbulkan kejutan. Ideologi yang menguasai kehidupan
kita, di mana golongan menengah menjadi teladan budaya dan budi pekerti,
teladan kelakuan moral dan sosial politik, tercermin dalam roman-roman picisan,
gosip dalam majalah, artikel panorama.
Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, di mana ideologi dapat dianggap
sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara untuk melihat sesuatu (dibandingkan
pandangan dunia). Menurut ideologi perubahan sosial menuju masyarakat tanpa
kelas di awali dengan kesadaran dan perjuangan kaum proletar yang selalu
teraniaya.
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat dengan tujuan khusus untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Pengajaran Keterampilan Apresiasi Sastra yang diberikan
dosen pembimbing. Selain itu makalah ini juga di buat agar pembaca paham
dengan ideologi politik dalam sebuah karya sastra.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ideologi adalah seperangkat gagasan yang merupakan satu tujuan, harapan
dan tindakan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara untuk melihat sesuatu (dibandingkan pandangan dunia). Tujuan utama
dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan baik dalam masyarakat,
atau kepatuhan terhadap seperangkat cita-cita yang sesuai sudah ada, melalui
proses pemikiran normatif.
Ideologi politik adalah kumpulan ide, gagasan dan visi dan komprehensif
tentang proses pembentukan, pembagian, pengelolaan dan penggunaan kekuasaan
dalam masyarakat khususnya Negara. Gagasan dari presiden pertama Indonesia
terdapat tiga ideologi politik yang mendominasi masyarakat Indonesia, nasionalis,
islam, dan marxis.
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa atau kelompok
manusia yang menjadi penduduk resmi suatu Negara. Dari sifat ekslusif yang
hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas
meraih hak yang sama kelas elit dalam berpolitik. Ideologi nasionalis adalah suatu
paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Religius telah menjadi ciri tersendiri bagi Indonesia. Politeisme sebagai
sebuah bentuk kepercayaan yang mengaku adanya lebih dari satu tuhan
merupakan penjelasan bagi kegandrungan banyak masyarakat Indonesia hingga
saat ini terdapat hal-hal berbau klenik, mistis dan gaib. Pada perjalanan sejarah
selanjutnya islam menjadi agama terbesar yang dipeluk oleh masyarakat
Indonesia. Sebagai sebuah agama yang memiliki konsep holistik, maka
pembicaraan tentang pandangan hidup masyarakat Indonesia tidak dapat lepas
dari ideologi Islam.
Marxisme adalah filosofi politik dan praktek yang berasal dari karya Karl
Marx dan Friedrich Engels. Menurut ideologi tersebut perubahan sosial menuju
masyarakat tanpa kelas di awali dengan kesadaran dan perjuangan kaum proletar
yang selalu teraniaya oleh kaum bonjois. Sebagai bangsa yang sebelum era
2
kemerdekaan senantiasa mengalami penindasan dari kekuatan imperialis kapitalis
Belanda, maka marxisme menjadi inspirasi bagi sebagian pemuda Indonesia
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Jadi maksud dari marxisme adalah
masyarakat kecil tidak harus ditindas tetapi mereka juga mempunyai hak untuk
melawan.
Kalau kita berbicara tentang novel politik atau psikologis, kita sama sekali
tidak membicarakan suatu perbedaan fundamental dalam bentuk sastra. Kriteria
untuk menilai novel politik tentunya sama saja dengan kriteria untuk menilai
novel lain.
Gagasan litteratur engagee timbul sebagai akibat dari pengaruh ideologi
modern terhadap kesusastraan. Ideologi yang sekarang ada, meskipun berbagaibagai coraknya memperlihatkan suatu persamaan, semuanya mencerminkan
perubahan sosial yang cepat dan dasar di zaman kita ini. Perubahan inilah yang
memaksa kita menimbang-nimbang kembali posisi dan tempat kita di dunia, dan
tanggung jawab kita terhadap orang lain.
Studi Ariel Heryanto
Ariel (1988) melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia atas dasar
teori hegemoni Gramscian. Ariel membagi tulisannya menjadi tiga bagian, yaitu
bagian deskripsi mengenai kenyataan hegemoni yang terjadi dalam sastra
Indonesia mutakhir, bagian politik kesusastraan disebutnya sebagai politik
bersastra, dan hubungan kesusastraan dengan politik general yang disebut sebagai
sastra berpolitik.
1. Hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir
Sastra Indonesia, menurut Ariel di hegemoni bentuk kesusastraan
tertentu. Bentuk kesusastraan itu menduduki posisi yang hegemonik
terlihat
dari dominasinya dalam berbagai sektor kehidupan yang
bersangkutan dengannya. Misalnya bentuk kesusastraan yang berkembang
dengan definisi konseptual, studi dan penulisan sejarah yang dominan,
contohnya karya sastra yang sah” atau puncak-puncak”.
Bentuk kesusastraan yang hegemonik disebut sebagai kesusastraan
yang diresmikan. Di samping itu terdapat bentuk kesusastraan yang
subordinat, dibagi menjadi tiga macam:
3
a. Kesusastraan yang terlarang
Kesusastraan yang terlarang merupakan kesusastraan yang
dibasmi atau setidaknya dimusuhi oleh lembaga-lembaga resmi
pemerintahan dan sering kali juga oleh individu atau lembaga swasta
yang tunduk di bawah kekuasaan resmi masyarakat. Berupa pelarangan
resmi dari aparat keamanan dan segala bentuk tekanan pada penulis
atau penerbit untuk menerbitkan kesusastraan jenis ini merupakan
bentuk penindasan yang paling lazim. Contohnya kepada kasus
pelarangan terhadap buku-buku Pramudya dan penerbit Hasta Mitra.
b. Kesusastraan yang diremehkan
Kesusastraan yang diremehkan terdiri dari berbagai karya
sastra yang tidak termasuk dalam khasanah kesusastraan atau studi,
kritik dan sejarah kesusastraan yang diresmikan, tetapi tidak secara
resmi dinyatakan terlarang. Kesusastraan ini biasanya bersifat
mengejek dan mengasihani. Contohnya kesusastraan pop, sastra
hiburan atau sastra remaja.
c. Kesusastraan yang dipisahkan
Kesusastraan yang dipisahkan adalah berbagai khasanah teks
yang tidak dimasukkan dalam forum resmi kesusastraan Indonesia,
bukan karena warna ideologinya, biografi politik penulisnya, atau
bobot nilai estetiknya, melainkan karena kelakuan konsep kategoris
atau teori kesusastraan resmi yang sedang mapan. Yang termasuk ke
dalam sastra yang dipisahkan ini yaitu non sastra Indonesia dan non
sastra. Non sastra Indonesia yaitu golongan sastra daerah sedangkan
non sastra sejumlah iklan, esai, beberapa surat pembaca kepada redaksi
media massa, gosip, dan berbagai lirik lagu.
2. Politik bersastra
Politik menurut Ariel merupakan seluk beluk pembagian dan
penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu struktur kegiatan sosial. Dalam
politik kesusastraan ini menganggap penting pemberian perhatian terhadap
kaitan dan pertentangan antara berbagai kepentingan lembaga, kelompok,
maupun individu, yang terlibat langsung di dalam proses produksi,
reproduksi, distribusi, dan konsumsi sastra.
4
Menurut Ariel secara struktural politik kesusastraan Indonesia
mutakhir mengidap pertentangan di antara kepentingan yang diresmikan,
sebagai kesusastraan yang dominan, berhadapan dengan berbagai
kesusastraan
lain
yang
didominasi
atau
bersaingan
dengannya.
Pertentangan antara kesusastraan resmi dengan kesusastraan terlarang
biasanya tidak terjadi dalam suatu konfrontasi langsung atau terbuka.
Biasanya tidak berlangsung lama karena segera dipadamkan oleh
kekuasaan politik tertinggi dalam negara. Karena kaum terlarang biasanya
tidak diberi kesempatan untuk berpendapat dan membela diri secara
publik, pertikaian mereka dengan kaum resmi sering terjadi secara tidak
langsung.
Pertentangan
kesusastraan
resmi
dengan
rekannya
yang
diremehkan belum berkembang sesengit dan sepeka pertentangan di atas.
Disebabkan oleh kesusastraan resmi dan terlarang sama-sama bergerak
dan memperebutkan publik yang sama. Mereka memperebutkan
keabsahan dengan kualitas
dan jenis yang sama, keabsahan tertinggi
dalam kebudayaan nasional.
Kesusastraan yang diremehkan, menurut Ariel, berpusat pada
perbedaan norma estetik serta moral, khususnya masalah seks, religi, dan
integritas pribadi. Kesusastraan jenis ini bergengsi rendah, tetapi
berkekuatan sosial yang besar: media massa.
Pertentangan antara kesusastraan resmi dengan yang dipisahkan,
disebabkan oleh keberhasilan hegemoni ideologi nasionalisme sehingga
lingkungan hidup bersastra daerah itu cenderung rela menerima
kedudukannya sebagai kesusastraan yang dipisahkan, atau mungkin karena
kesusastraan daerah tersebut bervitalitas tinggi. Perkembangan alam
bidang teknologi komunikasi massa, menurut Ariel, telah membuat non
sastra berhasil menggeser kedudukan terhormat yang pernah diduduki oleh
sastra. Sastra yang diresmikan semakin lama semakin menyadari
pentingnya media massa bagi penentuan dinamika politik bersastra
maupun sastra berpolitik.
5
3. Sastra berpolitik
Ideologi kesusastraan adalah ideologi kesusastraan yang a-politis
dan ideologi kesusastraan politis yang hanya dapat diwakili oleh dua
kategorisasinya yang sebelumnya atau bahkan hanya salah satunya saja.
Menurut Ariel, kesusastraan Indonesia yang diresmikan dikuasai oleh
ideologi a-politis yang sesungguhnya bagaimana pun tetap merupakan
politik juga. Kesusastraan a-politis berkaitan dengan berbagai faktor
sosial-politis yang general yaitu:
a. Depolitasi negara sejak orde baru
Merupakan pilihan yang tidak terelakkan sesuai dengan pilihan
pembangunan politik-ekonomi yang dipilihnya. Memacu pertumbuhan
ekonomi dengan mengandalkan modal dan teknologi asing, tenaga
kerja domestik yang murah, serta jaringan borjuasi non pribumi,
menuntut terpeliharanya stabilitas dan keamanan. Apalagi konflik
sosial, merupakan buntut logis dan sekaligus ancaman potensial yang
harus ditekan dengan cara apapun. Semua hal tersebut belum
menjelaskan apa yang terjadi dalam masyarakat luas, dan secara
khusus dalam kegiatan bersastranya.
b. Pengalaman sejarah masyarakat luas
Menurut Ariel, pengalaman masyarakat luas persis pada tahuntahun awal terbentuknya orde baru merupakan faktor pendukung
proses berpolitisi di atas. Pada tahun itu terjadi pembantaian ratusan
ribu warga negara dalam waktu yang relatif singkat yang tidak dapat
dijelaskan baik pelaku, korban, maupun motifnya. Yang jelas dalam
peristiwa tersebut simbol-simbol politik sering kali dipakai sebagai
bahan acuan. Trauma itu diasosiasikan sebagai akibat berpolitik, ikutikutan berpolitik atau bahkan sekedar dituduh ikut berpolitik. Karena
peristiwa tersebut menciptakan lingkungan sosial yang tidak
mendukung pertumbuhan aneka aspirasi politik masyarakat dan
persaingan mereka dalam suatu ajang demokrasi yang bebas terbuka
yang penuh gairah. Semua itu belum menjelaskan bertahan dan
berlanjutnya gairah besar untuk bersastra a-politis itu.
6
c. Sejarah kesusastraan resmi itu sendiri
Dengan peristiwa sosial tersebut kesusastraan Indonesia
mutakhir meresmikan mengawali masa kejayaannya ditandai dengan
tumbangnya lekra yang mempunyai semboyan institusional “politik
adalah panglima”. Kelompok inti membentuk kesusastraan Indonesia
yang resmi, secara tegas menolak semboyan itu, mereka bertekat
bersastra sebaik-baiknya bukan berpolitik.
d. Hegemoni estetika
Ariel mengatakan bahwa doktrin estetika humanisme universil
dari kaum manifest kebudayaan menyediakan peluang terhadap politik
“a-politis” yang membedakan watak politik kesusastraan remi dari
bentuk-bentuk yang lain. Salah satu ancaman yang paling sering
diterima kesusastraan resmi ialah keasyikannya bereksperimen dengan
estetika bentuk formal yang secara agak seragam bersifat non realis
dan anti sejarah.
e. Perkembangan teknologi komunikasi
Ada satu kekuatan sosial lain yang ikut memperlemah daya
politis kesusastraan resmi, adalah teknologi komunikasi massa yang
telah merombak kedudukan dan kekuatan sastra sebagai salah bentuk
medium bermasyarakat. hingga awal atau pertengahan abad sastra
menjadi salah satu kekuatan politik yang sangat ampuh sebagai
pendukung
ataupun
pembangkang
puncak
kekuasaan
dalam
masyarakat. Politikus profesional dan cendekiawan politis Indonesia
menyalurkan aspirasi politiknya dalam medium sastra. Mereka
bersastra, berpolitik, dan bersastra politik pada saat teknologi
komunikasi masa elektronik masih sangat terbatas, koran sebagai
media massa yang waktu itu sangat berpengaruh untuk kesusastraan
mereka.
7
BAB III
ANALISIS IDEOLOGI POLITIK DALAM SASTRA
Novel baru terlaris karya Ahmad Fuadi "Negeri 5 Menara" menceritakan
kisah lima orang sahabat yang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian
bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu,
ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah
menara masjid benar-benar terjadi.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak
menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa
Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa
menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orang tuanya.
Keinginan kedua orang tua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu
kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di
kampung seperti menjadi guru agama.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin
seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan
untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah
tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun,
keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orang tuanya bergeming
agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama.
Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo,
akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan,
di sinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan
dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani, Dulmajid alias Monib,
Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap
sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah
menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah
mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu
bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak
lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab
Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
8
Melalui lika-liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama
ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun
kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian
mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor,
Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi
dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno,
”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar
menjunjung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung
jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para
ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu
didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh
akan berhasil.
”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih
impiannya untuk bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu, jangan
berhenti untuk bermimpi, ” ujar Ahmad Fuadi memberikan nasihat.
Itulah penggalan cerita novel yang berjudul negeri 5 menara. Kalau
dikaitkan dengan ideologi politik yang terjadi pada saat ini dapat dikatakan
bahwa, perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak terlepas dari faktor
situasi sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut
terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan.
Pada periode ini, pemerintahan bersifat otoriter. Pemerintahlah yang mengatur
segala sesuatu yang ada atau yang terjadi.
Penulis akan menganalisis novel yang berjudul “Negeri 5 Menara”. Pada
novel “Negeri 5 Menara” Alif sebagai tokoh utama dalam novel, berperan sebagai
wartawan. Sebagai wartawan Alif memiliki hak atau kekuasaan untuk meliput
kinerja pemerintahan dalam sebuah Negara. Di mana hak dan kekuasaan ini tidak
akan dimiliki oleh masyarakat umum yang tidak berprofesi sebagai wartawan.
Tapi berbeda halnya pada zaman orde baru di mana wartawan pada saat itu
seolah-olah tidak memiliki hak selayaknya wartawan. Karena pada zaman ini,
wartawan tidak dibenarkan untuk meliput apalagi untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Apabila wartawan melakukan hal tersebut, maka wartawan tersebut
9
akan mendapatkan hukuman. Hukumannya yaitu wartawan tersebut dijemput
paksa pada malam hari dan hilang begitu saja tidak tahu ke mana. Apakah
dibunuh atau disekap pada suatu tempat. Pemerintahan pada zaman itu boleh
dikatakan sangat kejam. Karena persaingan politik yang terjadi antar partai politik
dan antar pejabat tinggi Negara.
Sedangkan kalau dibandingkan dengan zaman sekarang, wartawan sudah
bebas meliput dan melaksanakan kerjanya sebagaimana mestinya. Wartawan bisa
menampilkan berbagai berita tentang peristiwa yang terjadi dalam pemerintahan.
Bahkan sekarang wartawan sudah memiliki undang-undang untuk perlindungan.
Jadi tidak akan ada lagi pengurasan-pengurasan hak seperti yang terjadi pada
masa orde baru.
10
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Kekuasaan, ideologi, dan politik dalam sastra terus dan akan berkembang
karena kekuasaan, ideologi, dan politik itu merupakan refleksi dari lakon
kehidupan manusiawi, akan tetapi siapa yang berani bermain-main dengan
kekuasaan itu ia akan tergilas oleh politik dan ideologinya sendiri. Sebuah
ideologi merupakan seperangkat gagasan yang merupakan satu tujuan, harapan,
dan tindakan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara untuk melihat sesuatu. Tujuan utama dibalik ideologi ini untuk menawarkan
perubahan baik dalam masyarakat, atau kepatuhan terhadap seperangkat cita-cita
yang sesuai sudah ada, melalui proses pemikiran normatif. Sebuah ideologi politik
badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitos atau simbol dari gerakan sosial, institusi,
kelas atau grup besar yang beberapa referensi dan budaya rencana politik. Sebuah
ideologi politik sebagian besar kekhawatiran sendiri dengan cara mengalokasikan
kekuasaan dan untuk apa tujuan itu harus digunakan.
4.2 Saran
Adanya pembuatan makalah tentang hubungan berideologi politik dalam
sastra ini mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami apa yang ditulis
oleh penulis dalam makalah ini. Makalah ini disusun oleh penulis agar bermanfaat
bagi mahasiswa atau bagi pembaca pada umumnya.
Penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
A. Fuadi. 2009. Novel: Negeri Lima Menara. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusastraan. Kuala Lumpur: Satu Pengenalan.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://ardycupu.wordpress.com/2009/10/11/perbedaan-dan-kritik-terhadaphumanistik-psikoanalisa-dan-behavior/
12
TUGAS
KETERAMPILAN PENGAJARAN APRESIASI SASTRA
IDEOLOGY POLITIK DALAM SASTRA
Oleh
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN
SOLOK
2010
13
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Salawat beserta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan kepada zaman yang
berilmu pengetahuan seperti saat ini.
Adapun tujuan penulis menyelesaikan makalah ini adalah sebagai tugas
kelompok pada mata kuliah “Pengajaran Keterampilan Apresiasi Sastra”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Solok, Desember 2010
Penulis
i
14
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang Penulisan ...........................................................
1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN .............................................................................
2
BAB III ANALISIS PSIKOLOGI NOVEL NEGERI LIMA MENARA.
4
BAB IV PENUTUP .......................................................................................
6
4.1 Kesimpulan ...............................................................................
6
4.2 Saran...........................................................................................
6
DAFTAR PUSTAKA
15
ii