Bahasa Indonesia di Mata Bule

Bahasa Indonesia di Mata Bule
Iqbal Maesa Febriawan
Baru-baru ini saya membaca sebuah buku mengenai bahasa Indonesia dipandang dari
perspektif luar negeri. Buku tersebut berjudul The Indonesian Language: Its History and Role in
Modern Society yang merupakan buah karya James Sneddon yang menjabat sebagai kepala
sekolah bahasa dan linguistik di Griffith University, Brisbane, Australia. Sangat mengesankan
ketika mengetahui bahwa Sneddon menjelaskan awal pembentukan bahasa kita dari Sumpah
Pemuda hingga sampai pada ejaan van Ophuijsen dan Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Sneddon (2003) memuji kelebihan bahasa Indonesia sebagai bahasa di Asia yang menggunakan
transkrip Latin sehingga lebih mudah dipelajari dibandingkan bahasa Mandarin atau Jepang.
Sneddon juga menerangkan bahwa bahasa Indonesia merupakan turunan dari rumpun bahasa
Austronesia serta membandingkan bahasa Indonesia dengan turunan lainnya.
Selain membahas penurunan rumpun Austronesia menjadi bahasa Indonesia, Sneddon
juga menekankan tentang bahasa pejabat. Soekarno dengan kata-kata khasnya seperti
menghantam, menggempur, dan bahasa campurnya seperti tavip (tahun vivere pericoloso atau
tahun duka cita) serta Soeharto dengan –ken nya menjadi contoh yang diambil Sneddon sebagai
contoh bahasa pejabat (Sneddon, 2003). Secara implisit, Sneddon menggambarkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang majemuk karena sebagian kosakatanya berasal dari bahasa
daerah dan bahasa kolonialisnya, terutama Belanda yang notabene menjajah Indonesia tiga
setengah abad.
Tidak hanya berbicara tentang bahasa baku, bahasa pejabat, dan bahasa formal, buku

The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society juga menjelaskan tentang
bahasa informal sebagai bahasa percakapan. Sneddon (2003) menerjemahkan gitu loh sebagai
you know, yang menurut saya kurang tepat apalagi dengan adanya jargon so what gitu loh di
kalangan anak muda. Kalau bahasa Inggris memiliki TOEFL (Test of English as Foreign Language),
maka – ironisnya – University of South Wales mengembangkan TIFL (Teaching Indonesian as a
Foreign Language). Untuk saya, bahasa Indonesia terlalu fleksibel karena tidak adanya

penentuan kala waktu atau tenses sehingga kalimat yang dihasilkan bahasa Indonesia rata-rata
dianggap hampir sama kecuali ditambah keterangan waktu. Kaum muda Indonesia tampaknya
belum menunjukkan minat yang lebih terhadap bahasa Indonesia, terbukti dengan nilai Ujian
Nasional Bahasa Indonesia yang lebih kecil dibandingkan dengan Matematika atau Bahasa
Inggris terutama di kota metropolitan (Nilai Bahasa Indonesia Paling Rendah & Bahasa
Indonesia Menjadi Momok UN?, 2010).
Referensi:
Bahasa Indonesia Menjadi Momok UN? . (2010). Diunduh dari Kompas.com:
http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/28/14110110/Bahasa.Indonesia.Menjadi.Momo
k.UN.
Nilai Bahasa Indonesia Paling Rendah . (2010). Diunduh dari Kompas.com:
http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/28/16353552/Nilai.Bahasa.Indonesia.Paling.Ren
dah

Sneddon, James. (2003). The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society.
Sydney: UNSW Press