BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Meningioma

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Meningioma

Istilah meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922. Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy, 2007).

2.2 Epidemiologi Meningioma

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa di Amerika Serikat. Prevalensi ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya karena tidak semua meningioma ditangani secara pembedahan (Wiemels, 2010; Claus, 2005).

Beberapa hal yang memengaruhi insiden adalah usia, jenis kelamin dan ras. Insiden terjadinya meningioma meningkat dengan pertambahan usia dan mencapai puncak pada usia di atas 60 tahun. Insiden meningioma pada anak-anak sekitar 4% dari seluruh kejadian tumor intrakranial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa insiden meningioma pada ras hitam Non-hispanics sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ras putih Non-Hispanics dan Hispanics. Jenis kelamin juga memengaruhi prevalensi dari meningioma, yaitu dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria (Wiemels, 2010; Rockhill, 2007).


(2)

Grafik 1. Insiden Meningioma Pada pria dan wanita berdasarkan usia (Wiemels, 2010)

2.3 Klasifikasi Meningioma

Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling sering adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde, cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium, middle fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat timbul secara ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita , cavum nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru (Al-Mefty, 2005; Chou, 1991).


(3)

Gambar 2,1. Variasi lokasi timbulnya meningioma (Al-Mefty, 2005)

Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse) dan pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse adalah meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas (Talacchi, 2011). Pembagian meningioma secara histopatologi berdasarkan WHO 2007 terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren yang meningkat seiring dengan pertambahan grading (Fischer & Bronkikel, 2012).

Beberapa subtipe meningioma antara lain: Grade I:

Meningothelial meningioma

− Fibrous (fibroblastic) meningioma

Transitional (mixed) meningioma

− Psammomatous meningioma


(4)

− Mycrocystic meningioma

− Lymphoplasmacyte-rich meningioma

− Metaplastic meningioma

− Secretory meningioma Grade II:

− Atypical meningioma

− Clear cell meningioma

− Chordoid meningioma Grade III:

− Rhabdoid meningioma

− Papillary meningioma

− Anaplastic (malignant) meningioma 2.4 Faktor-Faktor Risiko

2.4.1 Radiasi Ionisasi

Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).

Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya


(5)

meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).

Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Calvocoressi & Claus, 2010).

2.4.2 Radiasi Telepon Genggam

Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum diketahui secara pasti. Penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan insiden meningioma.Penelitian metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada 13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi & Claus, 2010).

2.4.3 Cedera Kepala

Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).


(6)

2.4.4 Genetik

Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith, 2011).

Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005; Choy, 2011).

2.4.5 Hormon

Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat


(7)

menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Taghipour, 2007).

2.5 Mitosis pada meningioma

Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth factor (FGF), hormon progesteron dan estrogen. Hormon EGF adalah hormon polipeptida yang bekerja melalui aktivasi reseptor EGF dan stimulus proliferasi yang bervariasi baik secara in vivo dan in vitro. Reseptor EGF merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti menstimulasi angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup sel (Ragel, 2003; Wernicke, 2010).

Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari leukosit yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel epitel dan mesenkim. Pada penelitian Choong ditemukan bahwa kadar granulin berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembagan edema peritumoral dari meningioma intrakranial. Penemuan ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan meningioma seperti pada glioma (Choong, 2010).

Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah FGF yaitu berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis. Mekanisme pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade cytoplasmic serine/ threonine kinase termasuk kaskade p44/42 MAPK/ERK dan jaras PI3K-Akt-PRAS40-mTOR dan STAT3.. Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel dan apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini masih


(8)

memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan kemoterapi terhadap reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma (Johnson, 2010).

Telah diketahui bahwa IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan normal fetus. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas dari pertumbuhan meningioma, namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Nordqvist, 1997). Protein dan mRNA dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan meningioma secara luas, namun peranan fungsionalnya belum dapat dijelaskan secara mendetail (Shamah, 1997). VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak. Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ekspresi VEGF dan neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF diatur oleh faktor transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa HIF-1 dan VEGF meningkat pada emboli meningioma.56 Data memberi kesan bahwa VEGF memiliki fungsi lain selain angiogenesis pada meningioma, seperti merangsang pertumbuhan tumor. PDGF-B dihipotesakan memicu produksi VEGF dalama meningkatkan proliferasi pembuluh darah dan pertumbuhan tumor (fister, 2012).

2.6 Gambaran Radiologi

Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto x-ray, CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-ray dapat ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi dan kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma akan memberikan gambaran isodense hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan dengan kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras dengan kuat dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-scan kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada tulang (Osborn, 2004; Mary, 2013).


(9)

Pada MRI dengan T1W1 umumnya memberikan gambaran isointense sedangkan beberapa lainnya memberikan gambaran hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2W1, meningioma juga umumnya menunjukkan gambaran isointense dengan beberapa yang hyperintense karena kandungan airnya yang tinggi terutama pada jenis meningothelial, yang hipervaskular, dan yang agresif (Osborn, 2004; Mary, 2013).

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi, pembedahan, radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih baik. Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin, 2005).

Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu, angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma terutama malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Dowd, 2003; Levacic et al; 2012).


(10)

Tabel 2.1. Tingkat rekurensi Setelah reseksi berdasarkan kriteria Simpson (Modha & Gutin, 2005)

Simpson Grade

Completeness of Resection 10-year Recurrence Grade I complete removal including resection of

underlying bone and associated dura 9%

Grade II complete removal + coagulation of dural

attachment 19%

Grade III complete removal w/o resection of dura or

coagulation 29%

Grade IV subtotal resection 40%

Berdasarkan tabel di atas diperlihakan bahwa reseksi meningioma total hingga Simpson grade 1 juga menunjukkan resiko terjadinya rekurensi hingga 9%. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh pada rekurensi meliputi reseksi inkomplit, jenis histologis atipikal dan malignan berdasarkan klasifikasi WHO, adanya penonjolan nukleolar, adanya mitosis lebih dari dua per 10 high-power fields dan gambaran menyangat kontras yang heterogen pada Ct-scan kepala (Al-Hadidy, 2007).

Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan memiliki tingkat mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat secara klinis yang telah dilaporkan pada banyak serial kasus yaitu baik regresi ataupun berhentinya pertumbuhan tumor. Manfaat radioterapi masih menjadi perdebatan, Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada beberapa kasus seperti meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak dapat direseksi (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).

Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic radiosurgery. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stereostatic radiosurgery memberikan hasil yang efektif dalam mengontrol pertumbuhan tumor secara lokal dengan resiko komplikasi yang kecil. Stereostatic radiosurgery umumnya dilakukan pada


(11)

residual atau rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada meningioma berukuran dibawah 3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus dengan tujuan mencegah progresi tumor (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).

2.8 Hormon Progesteron

Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang utamanya disintesis oleh ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih tinggi kadarnya pada wanita dibandingkan laki-laki. Kadar hormon progesteron berubah berdasarkan siklus hidup terutama perkembangan embrionik, siklus reproduksi (siklus menstruasi dan estrous), kehamilan dan menopause (Camacho-Arroyo, 2009).

Hormon progesteron memainkan peran penting dalam regulasi sejumlah fungsi seperti ovulasi, implantasi, mempertahankan kehamilan, regulasi siklus sel, respon imunitas, ventilasi, perilaku seksual, tidur, belajar dan memori pada beberapa jaringan seperti uterus, ovarium, kelenjar mamae, pankreas, tulang, paru dan otak. Hormon progesteron bekerja melalui mediasi oleh reseptor intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform yaitu PR-A dan PR-B dengan fungsi yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat kritis untuk regulasi kerja progesteron pada sel-sel (Camacho-Arroyo, 2009).

Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon progesteron diproduksi dan bertahan dengan periode waktu yang berbeda-beda (menit, jam, hari dan bulan). Selain itu, progesteron dapat juga memiliki lebih dari satu efek pada sel yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang melibatkan molekul berbeda pada kompartemen sel yang berbeda. Progersteron bekerja dengan melalui dua mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan non-genomik (non-klasik). Mekanisme kerja melalui jalur non-genomik (klasik) yaitu dengan mengubah ekspresi dari gen target yang dimediasi oleh reseptor progesteron dan memiliki efek jangka panjang. Sedangkan pada jalur non-genomik (non-klasik) melibatkan modifikasi pada tingkat membran sel dan


(12)

memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan non-genomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu bekerja dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).

Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan non-genomik (Camacho-Arroyo, 2009)

Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat. Hormon ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor progesteron yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan farmakologis yang berbeda-beda, (2). Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+, (3). Lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor GABAA, dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor pertumbuhan yang


(13)

berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan perubahan pada konduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP, perubahan phosphoionisitide, dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).

2.9 Reseptor Progesteron

Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zinc-finger transcription factors. Keluarga dari protein nuklear termasuk reseptor dari steroid dan hormon tiroid, asam retinoid, vitamin D, ecdysone¸dan lainnya dengan ikatan endogen yang belum teridentifikasi (Scarpin, 2009).

N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan panjang yang sangat bervariasi pada semua anggota dari keluarga reseptor ini. Hal ini termasuk aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi gen. Domain yang paling dikonservasi adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki dua Zinc finger tipe II yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio yang mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein chaperone yang mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E bersifat multifungsi dan mengandung regio ikatan dengan AF yaitu nuklear penentu lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-shock dan asosiasi kofaktor. Dan terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan memiliki ligant-depent AF (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).


(14)

Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului dengan interaksi hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah berikatan, reseptor progesteron berdisosiasi dari protein chaperone dan dimerisasi dengan molekul reseptor progesteron lainnya. Selanjutnya, reseptor progesteron mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekruit kofaktor remodelling chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang acetylate atau deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan sekuens DNA spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive elements (HRE). Interaksi ini juga menginduksi fosforilasi reseptor progesteron dan reseptor progesteron berinteraksi dengan basal machinery of transcription yang terlibat dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor progesteron dari kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi sasaran degradasi melalui jalur ubiquitin-proteasome (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).

2.10 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma

Meningen orang dewasa normal mengekspresikan reseptor progesteron dalam kadar rendah, yang mana mayoritas meningioma mengekspresikan reseptor progesteron. Penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade rendah hingga grade tinggi telah dilaporkan dan meningioma dengan ekspresi reseptor progesteron yang negatif lebih agresif dibandingkan yang positif. Walaupun sel tumor mengekspresikan reseptor progesteron dalam jumlah sedikit memiliki faktor prognostik yang baik pada meningioma. Meningioma yang mengalami transformasi dari jinak ke atipikal menunjukkan penurunan ekspresi reseptor progesteron dibandingkan meningioma atipikal yang de novo (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Meningioma subtipe meningothelial memiliki ekspresi reseptor progesteron yang lebih banyak dibandingkan subtipe transisional dan fibrous. Walaupun begitu, beberapa penelitian melaporkan ekspresi reseptor


(15)

progesteron yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian terbaru mengenai pemeriksaan ekspresi gen untuk meningioma menemukan bukti bahwa ekpresi berlebihan sejumlah gen yang terletak pada lengan panjang kromosom 22 untuk kasus reseptor progesteron positif dibandingkan dengan kasus reseptor progesteron yang negatif. Hubungan antara status reseptor progesteron dan regulasi kromosom 22q memperlihatkan adanya peran homon dalam tumorigenesis meningioma (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Usia dan jenis kelamin tidak memengaruhi status reseptor progesteron. Ekspresi reseptor progesteron terlihat lebih tinggi pada meningioma jinak dibandingkan yang atipikal dan malignan walaupun tidak dijumpai perbedaan yang signifikan. Penelitian Omulecka (2006) mengenai hubungan ekspresi reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95,2% pada transitional, 77,8% pada atypical dan 42,2% pada fibrous. Jika meningioma kehilangan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi menjadi derajat yang lebih tinggi, maka hal ini menyebabkan kurang bergunanya pemakaian antiprogesteron sebagai pengobatan meningioma atipikal dan malignan (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Tabel 2.2 Hubungan hormon progesteron dengan meningioma No Pengarang Judul penelitian Hasil Jurnal 1 Fakhrjou,

2012

Status of Ki-67, estrogen

and progesterone receptors in various subtypes of intracranial meningiomas Reseptor progesteron sering diekspresikan oleh meningioma, Peran prognosisnya sangat bervariasi. Pakistan Journal of Biological Sciences 15(11) 2 Taghipour,

2007

The role of estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of meningioma

Reseptor progesteron diekspresikan

terutama pada wanita dan jenis jinak.

Iranian Red Crescent


(16)

3 Shayanfar, 2009

Expression of progestrone receptor and proliferative marker ki 67 in various grades of meningioma

Terdapat hubungan terbalik antara rata-rata LI Ki67 dan status

PR dengan peningkatan grade

tumor.

Acta Medica Iranica 2010; 48(3): 142-147.

4 Omulecka, 2006

Immunohistochemical

expression of progesterone and estrogen receptors in meningiomas

Intensitas reaksi imunitas lebih kuat pada grade I dibandingkan pada grade II. Folia Neuropathol 2006;44(2): 111-115

5 El-Badawy, 2013

Role of progesterone receptor expression and proliferative activity in predicting the recurrence of meningioma Meningioma jinak lebih mengekspresikan reseptor progesteron dibandingkan pada

grade II dan III.

Meningioma jinak tanpa adanya ekspressi reseptor progesteron memiliki risiko lebih tinggi terjadinya rekurensi.

Egypt J Pathol 33:76-81

2.11 Indeks Proliferasi

Indeks proliferasi biasanya diukur dengan MIB-1 antibodi yang akan mengikat antigen Ki-67. Ki-67 diekspresikan pada sel yang sedang berproliferasi melalui siklus sel. Labeling index (LI) adalah persentase dari nukleus sel tumor yang imunoreaktif. Pengambilan sampel tumor merupakan sumber kesalahan dalam menentukan LI karena tumor memiliki heterogenitas histologi dengan perbedaan regional dari proliferasi sel. Daerah tumor yang paling ganas secara


(17)

histologis merupakan pilihan yang biasanya digunakan untuk analisis LI (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).

Peningkatan Ki-67 berhubungan dengan grade histologi yang lebih tinggi dan peningkatan resiko rekuren pada meningioma. LI rata-rata pada meningioma jinak sebesar 3%, untuk meningioma atipikal sebesar 8% dan untuk meningioma malignan sebesar 17%. Kebanyakan penelitian melaporkan indeks proliferasi yang lebih tinggi pada meningioma rekuren dibandingkan dengan yang non-rekuren. Meningioma dengan indeks MIB-1 sebesar 4% atau lebih secara signifikan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk rekuren. KI-67 juga telah dilaporkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita dan pada meningioma dengan edema di MRI. KI-67 lebih rendah pada meningioma dengan kalsifikasi. Meningioma yang berhubungan dengan NF-2 memiliki LI yang lebih tinggi dibandingkan yang sporadik dan hal ini mencerminkan sifat yang lebih agresif dari meningima ini (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).


(1)

memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan non-genomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu bekerja dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).

Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan non-genomik (Camacho-Arroyo, 2009)

Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat. Hormon ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor progesteron yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan farmakologis yang berbeda-beda, (2). Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+, (3). Lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor GABAA, dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor pertumbuhan yang


(2)

berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan perubahan pada konduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP, perubahan phosphoionisitide, dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).

2.9 Reseptor Progesteron

Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zinc-finger transcription factors. Keluarga dari protein nuklear termasuk reseptor dari steroid dan hormon tiroid, asam retinoid, vitamin D, ecdysone¸dan lainnya dengan ikatan endogen yang belum teridentifikasi (Scarpin, 2009).

N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan panjang yang sangat bervariasi pada semua anggota dari keluarga reseptor ini. Hal ini termasuk aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi gen. Domain yang paling dikonservasi adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki dua Zinc finger tipe II yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio yang mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein chaperone yang mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E bersifat multifungsi dan mengandung regio ikatan dengan AF yaitu nuklear penentu lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-shock dan asosiasi kofaktor. Dan terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan memiliki ligant-depent AF (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).


(3)

Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului dengan interaksi hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah berikatan, reseptor progesteron berdisosiasi dari protein chaperone dan dimerisasi dengan molekul reseptor progesteron lainnya. Selanjutnya, reseptor progesteron mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekruit kofaktor remodelling chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang acetylate atau deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan sekuens DNA spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive elements (HRE). Interaksi ini juga menginduksi fosforilasi reseptor progesteron dan reseptor progesteron berinteraksi dengan basal machinery of transcription yang terlibat dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor progesteron dari kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi sasaran degradasi melalui jalur ubiquitin-proteasome (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).

2.10 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma

Meningen orang dewasa normal mengekspresikan reseptor progesteron dalam kadar rendah, yang mana mayoritas meningioma mengekspresikan reseptor progesteron. Penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade rendah hingga grade tinggi telah dilaporkan dan meningioma dengan ekspresi reseptor progesteron yang negatif lebih agresif dibandingkan yang positif. Walaupun sel tumor mengekspresikan reseptor progesteron dalam jumlah sedikit memiliki faktor prognostik yang baik pada meningioma. Meningioma yang mengalami transformasi dari jinak ke atipikal menunjukkan penurunan ekspresi reseptor progesteron dibandingkan meningioma atipikal yang de novo (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Meningioma subtipe meningothelial memiliki ekspresi reseptor progesteron yang lebih banyak dibandingkan subtipe transisional dan fibrous. Walaupun begitu, beberapa penelitian melaporkan ekspresi reseptor


(4)

progesteron yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian terbaru mengenai pemeriksaan ekspresi gen untuk meningioma menemukan bukti bahwa ekpresi berlebihan sejumlah gen yang terletak pada lengan panjang kromosom 22 untuk kasus reseptor progesteron positif dibandingkan dengan kasus reseptor progesteron yang negatif. Hubungan antara status reseptor progesteron dan regulasi kromosom 22q memperlihatkan adanya peran homon dalam tumorigenesis meningioma (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Usia dan jenis kelamin tidak memengaruhi status reseptor progesteron. Ekspresi reseptor progesteron terlihat lebih tinggi pada meningioma jinak dibandingkan yang atipikal dan malignan walaupun tidak dijumpai perbedaan yang signifikan. Penelitian Omulecka (2006) mengenai hubungan ekspresi reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95,2% pada transitional, 77,8% pada atypical dan 42,2% pada fibrous. Jika meningioma kehilangan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi menjadi derajat yang lebih tinggi, maka hal ini menyebabkan kurang bergunanya pemakaian antiprogesteron sebagai pengobatan meningioma atipikal dan malignan (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Tabel 2.2 Hubungan hormon progesteron dengan meningioma No Pengarang Judul penelitian Hasil Jurnal 1 Fakhrjou,

2012

Status of Ki-67, estrogen

and progesterone receptors in various subtypes of intracranial meningiomas Reseptor progesteron sering diekspresikan oleh meningioma, Peran prognosisnya sangat bervariasi. Pakistan Journal of Biological Sciences 15(11) 2 Taghipour,

2007

The role of estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of meningioma

Reseptor progesteron diekspresikan

terutama pada wanita dan jenis jinak.

Iranian Red Crescent


(5)

3 Shayanfar, 2009

Expression of progestrone receptor and proliferative marker ki 67 in various grades of meningioma

Terdapat hubungan terbalik antara rata-rata LI Ki67 dan status

PR dengan peningkatan grade

tumor.

Acta Medica Iranica 2010; 48(3): 142-147.

4 Omulecka, 2006

Immunohistochemical

expression of progesterone and estrogen receptors in meningiomas

Intensitas reaksi imunitas lebih kuat pada grade I dibandingkan pada grade II. Folia Neuropathol 2006;44(2): 111-115

5 El-Badawy, 2013

Role of progesterone receptor expression and proliferative activity in predicting the recurrence of meningioma Meningioma jinak lebih mengekspresikan reseptor progesteron dibandingkan pada

grade II dan III.

Meningioma jinak tanpa adanya ekspressi reseptor progesteron memiliki risiko lebih tinggi terjadinya rekurensi.

Egypt J Pathol 33:76-81

2.11 Indeks Proliferasi

Indeks proliferasi biasanya diukur dengan MIB-1 antibodi yang akan mengikat antigen Ki-67. Ki-67 diekspresikan pada sel yang sedang berproliferasi melalui siklus sel. Labeling index (LI) adalah persentase dari nukleus sel tumor yang imunoreaktif. Pengambilan sampel tumor merupakan sumber kesalahan dalam menentukan LI karena tumor memiliki heterogenitas histologi dengan perbedaan regional dari proliferasi sel. Daerah tumor yang paling ganas secara


(6)

histologis merupakan pilihan yang biasanya digunakan untuk analisis LI (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).

Peningkatan Ki-67 berhubungan dengan grade histologi yang lebih tinggi dan peningkatan resiko rekuren pada meningioma. LI rata-rata pada meningioma jinak sebesar 3%, untuk meningioma atipikal sebesar 8% dan untuk meningioma malignan sebesar 17%. Kebanyakan penelitian melaporkan indeks proliferasi yang lebih tinggi pada meningioma rekuren dibandingkan dengan yang non-rekuren. Meningioma dengan indeks MIB-1 sebesar 4% atau lebih secara signifikan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk rekuren. KI-67 juga telah dilaporkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita dan pada meningioma dengan edema di MRI. KI-67 lebih rendah pada meningioma dengan kalsifikasi. Meningioma yang berhubungan dengan NF-2 memiliki LI yang lebih tinggi dibandingkan yang sporadik dan hal ini mencerminkan sifat yang lebih agresif dari meningima ini (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).