Politik Layar Terkembang

POLITIK LAYAR TERKEMBANG
Melalui dukungan militer, birokrasi, dan sistem politik yang dirancang oleh rezim Orde Baru, Pemuda Pancasila membangun kelembagaan organisasi yang berjalan dalam dinamika internalnya. Posisi Pemuda Pancasila dalam konstelasi politik nasional sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi yang diperankan tokohnya di Sumatera Utara. Perkembangan kelembagaan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Berawal dari ide pembentukannya, tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara memiliki kontribusi bagi pengembangan organisasi. Meskipun, karakter “preman dan prilaku kekerasan” sulit dilepaskan dari anggota organisasi, tetapi kontribusi para pengurus organisasi memberikan catatan sejarah tersendiri di Sumatera Utara.
Pada kenyataannya – sejak Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi – Pemuda Pancasila turut berperan dalam nuansa perkembangan organisasi masyarakat di Indonesia. Catatan sejarah itu menjadi cerminan terkait sulitnya menegakkan independensi organisasi dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis. Demi meraih dan mempertahankan kekuasaan untuk menunjukkan eksistensi organisasi maka adaptasi dan kemampuan politik para tokoh Pemuda Pancasila menjadi penting. Menjadi lebih baik atau justru tetap memiliki kesan sebagai organisasi yang penuh dengan kekerasan merupakan tantangan yang harus dijawab oleh para anggota, kader, senior, dan terutama pengelola organisasi.
Buku ini memberikan perspektif sejarah untuk dibaca oleh para pemerhati dan aktivis organisasi kemasyarakatan dan pemuda yang ingin mendapatkan informasi tentang munculnya salah satu kekuatan pemuda di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Kiprah Pemuda Pancasila Sumatera Utara setidak-tidaknya akan mewarnai konstelasi politik lokal pada masa politik desentralisasi diberlakukan.

POLITIK LAYAR TERKEMBANG
(LINTASAN SEJARAH PEMUDA PANCASILA SUMATERA UTARA DALAM KEKUASAAN)
MURYANTO AMIN
PENERBIT

Muryanto Amin
Politik Layar Terkembang (Lintasan Sejarah Pemuda Pancasila Sumatera Utara Dalam Kekuasaan), Medan: Vote Institute, 2013. iii+ 73 hlm.
ISBN 978-602-17785-0-0
Cetakan Pertama, Agustus 2013 Penerbit Vote Institute, Medan. Sei Serayu Mansion B1, Jl. Sei Serayu Medan 20122 Hak Cipta © Muryanto Amin, 2013 Dicetak oleh ……… Disain sampul oleh Ferhat Desaign Grafika
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit, kecuali kutipan singkat untuk resensi atau penelitian ilmiah di luar tujuan komersial

Untuk Fatah, Thuva, Fariz

Pengantar
Buku tipis yang hadir di hadapan pembaca ini, berawal dari penjelasan ringkas tentang sejarah Sumatera Utara masa Kesutanan Deli terutama saat tumbuh suburnya industri perkebunan masa penjajahan Belanda dan Jepang bersamaan dengan persemaian bibit terbentuknya Pemuda Pancasila di Medan. Sejarah industri perkebunan menjadi awal munculnya aktivitas ekonomi di sektor lainnya seperti permintaan jumlah tenaga kerja, tumbuhnya sektor informal, penyediaan jasa keamanan, serta kebutuhan lainnya yang dapat menunjang industri itu.
Pesatnya pertumbuhan industri perkebunan juga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan masyarakat di sekitar perkebunan dan mengubah cara hidup masyarakat dari sebelumnya. Relasi etnis, suku, pengelolaan pemerintahan hingga gaya hidup mengalami perubahan drastis dan memunculkan kesenjangan antara pemilik tanah dan para migran yang bekerja atau hidup di sekitar wilayah perkebunan. Situasi itu bermula saat Pemerintah Belanda menawarkan sistem ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para Sultan. Namun, tidak menggembirakan bagi kelompok migran yang kebanyakan masih berusia muda hingga memunculkan perlawanan terhadap Pemerintah Belanda dan keluarga Sultan.

Pada masa pra kemerdekaan, banyak kalangan anak-anak muda tidak mendapatkan kesempatan bekerja pada sektor perkebunan maupun sektor lainnya yang tumbuh. Jumlah anak-anak muda yang tidak mendapatkan pekerjaan semakin hari semakin bertambah dan menimbulkan persoalan sosial lainnya seperti pencurian dan perampokan hasil perkebunan yang menimbulkan kerugian perusahaan perkebunan Belanda. Untuk memperkecil akibat yang tidak baik secara sosial itu, maka pihak perusahaan perkebunan menggunakan jasa para anak muda tersebut sebagai penjaga keamanan lokasi kebun. Tetapi perlakuan tersebut tidak berjalan dengan baik. Pekerja muda yang menjajakan jasanya untuk keamanan justru memilih melakukan perlawanan terhadap pengelola perkebunan Belanda hingga kemerdekaan Republik Indonesia.
Suasana politik nasional sejak pasca kemerdekaan hingga Orde Lama menyebabkan banyak kelompok organisasi yang berada di Jakarta dan daerah membutuhkan dukungan massa yang besar. Ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Parlementer juga menimbulkan pengelompokan di tingkat akar rumput.
  i 

Tidak terkecuali di Sumatera Utara, kekuatan-kekuatan politik nasional berusaha untuk “menggarap” seluruh satuan sosial masyarakat. Namun, di Medan Sumatera Utara, kelompok anak-anak jalanan dan preman yang berpendidikan rendah selalu dilupakan. Atas alasan keamanan maka kekuatan militer memanfaatkan mereka untuk membantu menjaga keamanan, yang pada saat itu, sering menjadi ancaman akibat pemberontakan yang muncul di daerah. Salah satu organisasi yang dibentuk untuk memobilisasi para pemuda itu adalah Pemuda Pancasila melalui IPKI.
Suasana heroik untuk menuntaskan gerakan kudeta yang dilakukan oleh PKI yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI sangat kentara terjadi di Sumatera Utara. Perkelahian fisik antara anggota Pemuda Pancasila dan PKI beserta organisasi massanya terjadi berbagai tempat di Provinsi Sumatera Utara. Pada masa itu, peran Pemuda Pancasila yang didukung kalangan militer, menunjukkan kekuatan fisiknya berhadapan dengan kekuatan massa PKI di Sumatera Utara. Kontribusi Pemuda Pancasila melawan PKI di Sumatera Utara menjadi salah satu pertimbangan penting para pengambil keputusan ketika itu untuk melibatkan tokoh Pemuda Pancasila dalam mendukung Pemerintah Orde Baru. Dalam perkembangannya Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi salah satu organisasi yang banyak membantu pemerintah dan khususnya militer yang melancarkan agenda politiknya pada masa Orde Baru di Sumatera Utara.
Pasca jatuhnya Pemerintah Orde Baru, Pemuda Pancasila harus beradaptasi dengan sistem politik yang telah berubah. Tidak ada kekuatan mayoritas sejak reformasi digulirkan dan tokoh-tokoh lokal mendapat peran tersendiri di daerahnya masing-masing sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itulah, Pemuda Pancasila mengandalkan instrumen kekuatannya sendiri dengan cara memberikan pengaruhnya kepada otoritas politik lokal seperti partai politik, DPRD, pemerintah daerah, media massa, dan lembaga masyarakat yang ada di Sumatera Utara.
Penulis,
Muryanto Amin
  ii 

Daftar Isi

PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB 1 JELAJAH HISTORIS KEPEMUDAAN SUMATERA UTARA
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Sosial Sumatera Utara 1.2. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara

i iii
1 6


BAB 2 PEMUDA PANCASILA & AWAL MULA LAYAR TERKEMBANG

2.1. Situasi Politik Nasional 2.2. Pembentukan Pemuda Pancasila 2.3. Pemuda Pancasila Kota Medan

12 18 25

BAB 3 PEMUDA PANCASILA MASA ORDE BARU
3.1. Masa Peralihan Kekuasaan 3.2. Merangkai Kekuatan Pasca Gerakan 30 September 1965 3.3. Konsolidasi Pemuda Pancasila di Medan 3.4. Kekuatan yang Terbelah 3.5. Revitalisasi Pemuda Pancasila

36 38 41 48 50

BAB 4 PEMUDA PANCASILA SUMATERA UTARA PASCA ORDE BARU

4.1. Adaptasi Kelembagaan

57

4.2. Perselisihan Internal Pemuda Pancasila

60


4.3. Pengaruh Politik Pemuda Pancasila di Provinsi Sumatera Utara 63

DAFTAR PUSTAKA TENTANG PENULIS

70 73

  iii 

 
BAB 1
JELAJAH HISTORIS KEPEMUDAAN SUMATERA UTARA

1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Sosial Sumatera Utara
S umatera Timur adalah daerah dataran rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km2. Di daerah ini terdapat hutan-hutan Payau (Mangrove) yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi Karo dan Simalungun itu membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan endapan lumpur.1 Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis. Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga.
Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat kerajaan.2 Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928. Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya

                                                             
1 Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34. 2 Orang Cina, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen.
Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie (MBGD), 1912-1925. hal. 34,

96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur
(Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978. hal. 76.

1  

 

 

tradisional.3 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.4 Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai Timur Sumatera. Etnis Melayu yang dimaksud adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat budaya dan Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka. Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di bandar-bandar Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.5
Hubungan raja-raja Melayu dengan Pemerintah Belanda mulai intensif ketika Pemerintah Belanda melancarkan politik ekspansionismenya ke Sumatera pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh Belanda semakin kuat setelah Sultan Serdang (Basyaruddin) menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Belanda pada tanggal 16 Agustus 1862. Perjanjian yang dikenal dengan Acte van Erkenning yang menyatakan tentang pengakuan Sultan Serdang beserta daerah taklukkannya Padang Bedagai, Denai, Pertjoet, Perbaungan termasuk daerah kekuasaan Siak Sri Indrapura. Pada 1873, Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis.6 Mengingat perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun 1887 ibukota Residensi Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Pada saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima Afdeling yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli, dan Batubara.7
Medan sebagai ibukota Residensi Sumatera Timur, menjadi tempat tinggal kaum elit kolonial yang terdiri dari orang-orang Eropa sebagai elit pemerintahan kolonial (European Wijk). Mereka bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli),

                                                             
3 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56. 4 Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk melayu, Batak Karo dan Batak
Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87. 5 Ibid. hal. 24. 6 T. Luckman Sinar. 1986. Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Medan: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. hal. 154. 7 Ibid. hal. 3-6.


2  

 

 
dengan ciri-ciri Presiden Deli Mij dan dianggap lebih pantas untuk dihormati dari pada Gubernur Jendral Hindia-Belanda. Kota Medan dibangun dari susunan tata ruang (spatial arrangement) yang menampilkan wajah ganda yaitu pemukiman di pusat kota dihuni elit pemerintahan kolonial (European Wijk), khas, kasar, pemabuk, kurang adat, benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta. Kemudian pusat perdagangan yang dihuni oleh Orang Cina dan “Timur Asing” lainnya seperti Arab dan India. Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemukiman elit politis dan bisnis ini dihuni oleh Bumiputera.
Memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan ke wilayah Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Pak-Pak Dairi.8 Di antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Semua kontrak politik yang telah ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatera Timur yang membawahi lima Afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan. Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun en Karolanden ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.
Masyarakat Sumatera Timur telah dijamin oleh penguasa Belanda sebagai penduduk asli dengan hak-hak istimewa atas tanah sesuai dengan hukum adat.9 Hak istimewa inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat pendatang (migran). Dengan adanya penyusunan kembali wilayah kerajaan di Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang terpusat di Batavia. Ini bermakna bahwa Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Di samping itu, Belanda juga telah menghubungkan Sumatera Timur dengan Jawa. Dengan cara demikian Sumatera Timur telah memiliki identitas baru.

                                                             
8 T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa
tahun terbit. hal. 33-50, dan Mededeelingen. Op. Cit. hal. 549-564. 9 Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-
1975), Bandung: Alumni, 1978.

3  

 

 


Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda bersama-sama melakukan perubahan drastis10 dari kehidupan masyarakat Sumatera

Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu. Secara nyata kekuasaan kolonial Belanda

dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir

semua raja-raja di Sumatera Timur. Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat

keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan.

Perjanjian politik kontraknya dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka

menjalankan kekuasaan hukum adat mereka antara lain yang terpenting adalah tanah.

Imbalan honorarium dari perubahaan perkebunan, terus menerus mengalir ke kantong

pribadi para Sultan dan Datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pajak-pajak ini masuk

ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk-Datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih


ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium.

Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini muncullah perubahan gaya hidup

sebagian Sultan dan Bangsawan Sumatera Timur khususnya Melayu. Kaum bangsawan

Melayu termasuk sultan-sultannya, sebelum datangnya Belanda, berada dalam keadaan yang melarat.11 Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka telah mampu membangun istana-istana megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa.12 Gaya

hidup kemewahan akhirnya menjadi prilaku keseharian para sultan tersebut. Para Sultan

Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut tamu-tamu penting

(orang-orang Eropa). Untuk mununjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk

pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan yang berasal dari kelompoknya.

Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah

terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit Eropa dan orang Cina dengan


masyarakat Jawa yang menjadi buruh-buruh perkebunan. Dalam konteks yang sama

juga terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit kerajaan dengan kaum petani di

pedesaan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada masa kolonial benar-benar

kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Langenberg

menggambarkan sebagai berikut. Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolo-

                                                             
10 Mengenai perubahan itu, baca Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera Timur. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. hal. 77-126i; Mohammad Said. 1977 ‘Koeli Kontrak Tempo Doeloe,
Antara Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada; Karl J. Pelzeer, Op. Cit., him. 51-90. 11 Tentang keadaan istana dan kehidupan kesultanan Melayu. pada masa itu lihat, Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 168-169
dan John Anderson. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, London: Oxford University
Press. 12 Sultan Machmoed dari Langkat memiliki 13 mobil, Kuda Pacu, dan Kapal Secoci Pesiar. Anthony Reid. Op. Cit.
1987. hal. 89. Sultan Serdang memiliki 10 buah mobil pribadi, lihat pada Budi Agustono. 1993 “Kehidupan
Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal. 75.

4  


 

 

nial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu pejabat-pejabat kolonial, administratur perkebunan, dan para pengusaha. Kedua, keluarga 6 kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang dan Siak. Ketiga adalah para bangsawan Melayu dari kesultanan yang kecil, raja-raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat (dokter, pengacara, pejabat sipil kolonial senior), dan para pedagang kaya Cina, India, dan Indonesia.13
Sebagian besar penduduk Sumatera Timur tinggal di pedesaan. Mereka adalah para buruh perkebunan yang hidupnya sangat tertekan dan menderita. Kehidupan buruh-buruh perkebunan ini sangatlah menyedihkan, lingkungan kumuh, terancam kelaparan, dan kekurangan gizi. Para buruh perkebunan yang hidupnya miskin ini terus semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 1883 jumlah penduduk miskin mencapai 31.454 jiwa dan pada tahun 1932 meningkat lagi menjadi 336.000 jiwa. Mereka adalah para buruh perkebunan yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para majikan perkebunan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa para pendatang yang sebagian besar adalah kelompok usia muda inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerakan politik dan sosial di Sumatera Timur. Merekalah yang kemudian melancarkan kritik tajam terhadap kepincangan sosial, penindasan para buruh kebun dan kemapanan sistem feodalisme. Kritikan tajam, perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang menyebarkan isu-isu perlawanan, penolakan (negasi) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan sistem feodal yang dijalankan para penguasa saat itu.14 Tokoh-tokoh pemuda di Sumatera Timur tampil di depan untuk melawan penguasaan dan pengelolaan tanah yang dilakukan para Sultan dengan pemerintah kolonial Belanda.

1.2. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara Di Sumatera Utara kita akan menemukan pemuda-pemuda dengan nama-nama
besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia yang pernah mengunjungi Sumatera

                                                             
13 Diterjemahkan dari Michael van Langenberg dalam Auderey R. Kahin. 1985. (ed.) Regional Dynamica of The
Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii. hal. 115. Penduduk Sumatera Timur
pada masa itu dibagi dalam empat lapisan orang Eropa, Timur Asing, Pribumi, dan kuli-kuli kebon. Staatsblad van
Nederlandsch-Indie. 1939. No. 146. 14 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang
memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari
Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan
Sub Provinsi Sumatera Selatan.


5  

 

 

Utara serta tinggal bersama-sama kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Utara. Sebut saja, Dr. Sutomo pernah tinggal di Pakam dan Tanjung Morawa, Tan Malaka, Dr. Pirngadi15, dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan kebijakan exorbitante rechten (hak istimewa) pemerintah Kolonial Belanda menjalankan praktek ”pengasingan” atau “pembuangan” para pejuang dari daerahnya ke berbagai tempat lainnya di Nusantara. Bung Karno dan Hatta beserta beberapa tokoh pejuang lainnya pernah diasingkan atau dibuang ke Sumatera Utara. Demikian beberapa peristiwa penting yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pemuda di Sumatera Utara hingga memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia.16
Di Sumatera Utara Proklamasi Kemerdekaan RI resmi diumumkan oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan pada tanggal 30 September 1945. Sedangkan Pemerintahan Republik Indonesia baru berjalan di Kota Medan tanggal 3 Oktober 1945. Itupun secara diam-diam karena masih takut pada pemerintah dan tentara Jepang. Lalu sepuluh hari kemudian, 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran di hotel “Pension Wilhelmina” di Jalan Bali, Medan, antara rakyat dengan tentara Belanda yang disusupkan sekutu/Inggris (NICA). Pertempuran serupa juga terjadi di Pematang Siantar 15 Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945.17
Wujud lain kehidupan segregatif (terpisah-pisah) masyarakat Kota Medan terefleksi dalam organisasi keagamaan beserta kepemudaannya. Keanggotaan kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori, namun masih menyiratkan etnisitas. Ada organisasi Muhammadiyah yang didominasi warga etnis Minangkabau; Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen Protestan Simalungun; Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja Methodist Indonesia (Cina); dan seterusnya. Hal yang sama terjadi pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA (Himpunan Keluarga Mandailing);

                                                             
15 Saat ini nama Dr. Pirngadi sebagai nama Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Medan. 16 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang
memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari
Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan
Sub Provinsi Sumatera Selatan. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah
menetapkan Sumatera menjadi 3 provinsi masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 April itulah ditetapkan
menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1956 ditetapkan UU No. 24 Tahun
1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara

yang wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Aceh. 17 Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-
II/BB. hal. 19-24

6  

 

 
Minang Saiyo (Minangkabau); IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh); Persatuan Warga Sunda (PWS); PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera); dan lain-lain. Sementara di tingkat pelajar/mahasiswa terdapat IMA-Tapsel (Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan); Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (Minangkabau), HIMAH (Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah) dari etnis Melayu; dan sebagainya. Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya memiliki ciri-ciri resmi (formal). Besar kemungkinannya kelompok etnis tersebut mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem administrasi yang jelas.
Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering disebut preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai organisasi resmi kepada pemerintah, partai politik, maupun organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. Bahkan di mata pihak keamanan kota, kelompokkelompok preman itulah yang seharusnya diberantas atau “didekati” karena ada anggapan bahwa banyak kerusuhan yang terjadi di kota, didalangi oleh preman. Tetapi apapun alasannya sepanjang daya serap sektor formal masih sangat terbatas, serta tingkat putus sekolah masih tinggi, maka fenomena preman masih akan sulit ditiadakan. Lebih-lebih dalam keadaan dimana kepastian hukum tidak berjalan, atau keadaan kurang aman, maka kehadiran preman justru menjadi sentral. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan menawarkan dirinya untuk dijadikan tenaga “pengaman” bayaran.
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, belum banyak ditemukan perubahan menyangkut sifat segregatif pemukiman. Daerah tapal batas pemukiman masih tetap sebagai daerah rawan kerusuhan. Senggolan fisik dan kesalahpahaman saja dapat melahirkan perkelahian antar individu yang justru sering menjadi perkelahian antar kelompok kampung yang berlarut-larut. Peristiwa perkelahian seperti itu tetap sulit diredam terkait dengan belum berkurangnya jumlah pengangguran di setiap kampung. Daya serap lapangan pekerjaan di sektor formal sangat kecil, sementara angka drop out sekolah di kalangan pemuda tetap tinggi. Di satu sisi sektor formal semakin mengutamakan pendidikan, sedangkan di sisi lain kesempatan memasuki sekolah masih terbatas. Bahkan proses penyelesaian pendidikan di sekolah pun amat

7  

 

 

berat. Tidak banyak anak muda yang dapat menyelesaikan sekolahnya hingga akhir.18

Gaya hidup di pusat Kota Medan merepresentasikan gaya hidup urban atau

perkotaan, sedang yang lainnya merepresentasikan gaya hidup rural atau pedesaan.

Sementara pada kawasan pinggir Kota Medan banyak para pendatang baru datang

dan tinggal menetap dari berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sehingga kawasan

pinggiran tersebut tumbuh menjadi kantong-kantong pemukiman kelompok etnis. Di

sekitar pusat kota lama (daerah Kesawan dan Polonia) dihuni oleh para elit

pemerintahan serta orang Cina dan Timur Asing yang bergerak di bidang

perdagangan. Sementara itu di kawasan pinggiran Kota Medan bermukim kelompok-

kelompok etnis Bumiputera yang juga hidup secara segregatif. Di pinggiran Kota

Medan tersebut banyak terjadi kerawanan sosial seperti perampokan, penjambretan,

perkelahian, berdirinya pondok-pondok prostitusi liar, dan tempat perjudian.

Penyebab dari kerawanan sosial itu menurut Pelly berpangkal pada segregasi kehidupan pemukiman antar etnis, antar strata sosial, dan okupasi.19

Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis

mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari masing-masing kelompok

etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis

semakin terpelihara dan loyalitas kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga

masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan antar kelompok etnis yang

identik dengan persaingan antar kampung (teritori) di Kota Medan tersebut memiliki

potensi konflik (latent conflict) dalam kehidupan sehari-hari. Daerah-daerah perbatasan

teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh

kerusuhan berupa “perang massal” antar kampung. “Perang massal” ini biasanya

dipelopori oleh para pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal

yang sepele dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau di kantong-kantong

pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satu penyebab munculnya perkelahian antar

kampung. Anak-anak muda di tiap kampung/pemukiman kelompok etnis di pinggiran

Kota Medan, pada waktu itu, membentuk satuan-satuan pemuda dengan dasar

                                                             
18 Kemiskinan menjadi persoalan utama di masyarakat Kota Medan. Banyak keluarga yang tidak dapat memberikan
pendidikan sekolah secara formal kepada anak-anaknya karena tidak memiliki uang untuk membayar sekolah dan
membeli peralatan belajar. Sementara program pemerintah untuk sektor pendidikan sangat kecil dan tidak
memungkinkan untuk dinikmati oleh banyak kalangan warga miskin di Kota Medan. 19 Usman Pelly. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud. hal. 27.

8  

 

 

solidaritas teritorial/etnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat satuansatuan pemuda dengan nama: Cross-Boys Medan Baru, Jati Boys di Jalan Jati, Seri Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame, dan lain-lain. Satuansatuan pemuda kampung itu juga merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat oleh kesadaran etnis dan teritorialnya. Akan tetapi walaupun bersatu dalam satu kesatuan “pemuda kampung”, namun antara pemuda menganggur dan pemuda sekolah tetap terdapat perbedaan. Pemuda bersekolah tetap melakukan kegiatan sehari-hari seperti pemuda pengangguran, duduk-duduk selepas sekolah di persimpangan jalan, mereka itu dinamakan cross-boys (anak-anak simpang) atau biasa juga disebut “pemuda roman”. Sedangkan pemuda kampung yang betul-betul menganggur dan hidup selamanya di jalanan, dinamakan “preman”.
Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada dasawarsa 1950-an hingga awal 1960an.20 Di waktu itu sebagian anak-anak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah polanya yang “nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari kontrol orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda perempuan dan juga mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak jarang kelakuan mereka memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya “mejeng” anak muda dewasa ini. Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya yang disebut chips. Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai “preman lontong”.
Lain halnya dengan pemuda yang bernama “preman”. Mereka terdiri dari orangorang pengangguran yang hidup di jalanan sambil “mencari makan” untuk kebutuhan sendiri, terutama di bioskop-bioskop terdekat. Mereka mengelola penjualan tiket melalui “sistem catut” atau black market. Kegiatan ini pada dasarnya “direstui” oleh pengelola bioskop, entah dengan terpaksa atau tidak. Namun dengan adanya kesempatan bagi preman itu untuk mengelola karcis “catut” maka kerusuhan di bioskop tidak terjadi. Orang lain tidak akan berani membuat kerusuhan di bioskop itu kalau tidak mau ambil resiko berkelahi dengan preman bioskop tersebut. Oleh sebab itu, menurut anggota-anggota preman itu sendiri, kehadiran mereka di salah satu bioskop itu

                                                             
20 Era ini sering disebut “masa aman” karena dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi-aksi militer berkenaan
dengan upaya mempertahankan kemerdekaan dari tekanan musuh masih berlangsung. Para kumpulan pemuda di
Kota Medan relatif lebih bebas melakukan kegiatan yang mereka inginkan.

9  

 

 

dipandangnya sebagai satuan pengaman bagi bioskop itu sendiri. Keamanan di bioskop tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik atau pengelola bioskop itu sendiri.
Selain berfungsi mengamankan bioskop terdekat, kelompok preman ini juga merasa difungsikan mengamankan kampungnya sendiri. Atas dasar itulah, menurut beberapa preman era 1950-an dan 1960-an21, para orang tua kampung setempat selalu simpati pada preman ketika itu. Mereka tidak membuat kerusuhan di kampungnya dan sebaliknya karena mereka pula, orang dari kampung lain tidak berani membuat kerusuhan di kampung tersebut. Itu sebabnya anak-anak cross-boys yang tidak berhasil meneruskan sekolahnya, sebagian terjun ke dunia preman. Jarang pulang ke rumah, cari makan dan pakaian sendiri-sendiri di jalanan. Sedangkan yang mampu meneruskan sekolah, memperoleh manfaat, ada sebagian di antara mereka berhasil menduduki jabatan strategis di pemerintahan, militer atau perusahaan.
Oleh karena klain mereka disebut sebagai kelompok pengamanan, maka tidak jarang anggota preman itu membekali diri mereka dengan seperangkat keahlian “bela diri” (silat, karate, dan lain-lain). Bahkan menurut sebagian preman era 1950-an itu, tidak jarang di antara mereka juga harus memiliki ilmu batin, yang berarti “ilmu kebal”. Orang-orang yang memiliki “keahlian lebih” itulah yang muncul sebagai kapala bagi kelompoknya. Seorang yang menjadi kapala harus berani, kuat, disegani lawan dan kawan, bersifat setia dan melindungi anggota, serta mampu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan kelompoknya.
Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu kesatuan yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat, mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan sumber-sumber penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat yang lain. Hal ini menjadi suatu keharusan karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis, sepatu mengkilap ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah dan meminum minuman keras, menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan. Oleh karenanya, keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang

                                                             
21 Di antara mereka yang dikenal sebagai preman adalah Effendi Nasution (Pendi Keling), Rosiman (preman yang
mengusai Medan Bioskop), Yan Paruhuman Lubis (Ucok Majestik), Paruhum Siregar. Selain itu, Effendi Nasution dan Rosiman juga dikenal sebagai petinju yang sering bertanding dalam turnamen yang diselenggarakan di Kota Medan.

10  

 

 
lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok preman lain di bioskop yang terletak di kampung etnis lain juga tidak bisa dihindari.
Perkelahian antar kelompok preman pada dasarnya merupakan perkelahian antar kelompok warga etnis kampung tertentu. Preman kelompok etnis dari satu kampung tertentu menyerang dan merebut bioskop yang telah dikuasai preman kelompok etnis kampung yang lain. Demikian misalnya, pada era 1960-an awal, terjadi penguasaan bioskop-bioskop Kota Medan secara etnis. Bioskop Rex atau Mega Ria dikuasai oleh preman etnis Aceh, Astana Ria dikuasai oleh preman etnis Karo, Bioskop Morning dikuasai preman etnis Minangkabau, Bioskop Olimpia dikuasai preman etnis Toba, Bioskop Majestic dikuasai oleh preman etnis Mandailing, serta bioskop-bioskop yang lain dengan preman-preman dari etnis yang lain pula.

11  

 

 
BAB 2
PEMUDA PANCASILA & AWAL MULA LAYAR TERKEMBANG

2.1. Situasi Politik Nasional
T umbuh kembangnya berbagai perkumpulan atau organisasi, baik yang bersifat kedaerahan, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan, kepartaian dan lain-lain tidak dapat dilepaskan dari situasi politik pada masanya. Masa awal kemerdekaan, terutama antara 1950–1960, sering disebut masa Demokrasi Liberal. Bermacam-macam organisasi atau perkumpulan tumbuh di mana-mana. Gejala ini tentu tidak dapat dilepaskan dari dorongan pemerintah, sebagaimana termuat dalam “MAKLUMAT PEMERINTAH” yang ditandatangani pada 3 November 1945 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, bahwa: 1. Pemerintah menjukai timbulnja partai-partai politik karena dengan adanja partai-
partai itulah dapat dipimpin ke djalan jang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat; 2. Pemerintah berharap supaja partai-partai politik itu telah tersusun sebelumnja dilangsungkan pemilihan anggauta Badan-badan Perwakilan Rakjat pada bulan Djanuari 1946.22
Maklumat tersebut di atas dengan tegas memberi dorongan dan dengan jelas membenarkan semua bentuk aliran organisasi partai, sepanjang – demikian kalimat sebelumnya – partai-partai itu “hendaknja memperkuat perdjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan”. Di Sumatera Utara umumnya dan Kota Medan khususnya, berbagai cabang organisasi yang antara lain bertugas merekrut anggota sebanyak-banyaknya di daerah tumbuh bagai jamur di musim hujan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan pemilihan umum nasional yang sejak 5 Oktober 1945 sudah dijanjikan akan dilaksanakan pemerintah pada Januari tahun 1946.23

                                                             
22 Anonimous, Kepartaian di Indonesia. 1951. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pepora 8. Lihat
juga Daniel Dhakidae. 1981. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA, Desember
1981. hal. 18. 23 Ibid

12  

 

 

Rencana Pemilu Nasional 1946 dalam kenyataannya tidak dapat dilaksanakan, walaupun di Keresidenan Kediri dan Surakarta sempat diadakan pemilihan. Suasana revolusi saat itu agaknya tidak mengizinkan. Susunan Kabinet Presidential yang dibentuk pada 19 Agustus 1945 hanya bertahan kurang dari tiga bulan, diganti dengan Kabinet Parlementer yang dibentuk pada 14 November 1945. Pergantian susunan kabinet ini saja sudah cukup memberi isyarat bahwa pemilihan umum tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan persiapan sesingkat itu. Belum lagi persoalan dengan pihak Belanda yang masih terus dibahas, sehingga tidak dapat dihindari bahwa konsentrasi para pemimpin saat itu menjadi terpecah-pecah.
Keadaan Kota Medan semakin rumit dan tidak menentu setelah timbulnya gerakan, yang sering disebut sebagai revolusi sosial, di Sumatera Timur pada bulan April 1946. Sebagian besar anggota keluarga Sultan Melayu ditangkap, dibunuh dan hartanya dirampok. Revolusi sosial ini diumumkan oleh Wakil Gubernur Sumatera, Dr. Amir, yang mendapat tekanan dari kelompok kiri atau komunis. Kelompok kiri berusaha meyakinkan massa rakyat bahwa Kesultanan Melayu berkhianat pada Revolusi Indonesia, karena beberapa hari setelah Sekutu mendarat pihak Kesultanan mengundang seorang pejabat tinggi Belanda untuk menghadiri upacara penobatan Sultan Osman Sani dan pemakaman almarhum ayahnya yang digantikannya.24 Revolusi sosial yang belakangan diketahui diatur dan disusupi oleh unsur-unsur PKI (Partai Komunis Indonesia) ini, walaupun singkat sempat mengakibatkan berlakunya “keadaan darurat” di seluruh Sumatera Timur.25
Di akhir tahun 1946 hingga pertengahan pertama 1947, tembak-menembak antara tentara Republik yang dibantu Lasykar Rakyat dengan tentara sekutu meningkat frekuensinya. Pusat-pusat perkotaan menjadi arena perang (front), sementara wilayah pinggiran kota menjadi arena gerilya. Penyebab terjadinya pertempuran tersebut tidak lain karena tentara sekutu tidak menjalankan tugas pokoknya, yakni mengawasi tentara Jepang dan mengurus kepulangannya. Tentara sekutu malahan menyusupkan tentara Belanda (termasuk pejabat sipil Belanda) ke Kota Medan. Buktinya tanggal 7 November 1946, satu batalyon tentara Belanda pimpinan Kolonel P. Scholten mendarat di Belawan. Belanda memang berkeinginan

                                                             
24 Usman Pelly dan Darmono. 1981. Pandangan Tentang Makna Hidup Transisionalitas Masyarakat: Studi Kasus
Sumatera Utara. hal. 202-203. 25 Sjahnan. Op. Cit. hal. 30

13  

 

 

untuk kembali menjajah negeri nusantara ini. Sedangkan tentara sekutu/Inggris secara terang-terangan ikut membantu proses tersebut.26

Pada bulan Oktober 1946 telah disetujui gencatan senjata yang dimediasi

oleh sekutu/Inggris. Gencatan senjata dimaksudkan untuk memberi kesempatan

melakukan perundingan-perundingan guna mengakhiri perselisihan antara Indonesia

dengan Belanda. Tetapi karena perundingan sangat alot, maka tanggal 25 Maret

1947 keluar lagi perjanjian Gencatan Senjata baru, yang dikenal dengan Perjanjian

Linggarjati. Belanda kemudian menggunakan kesempatan gencatan senjata itu untuk

mengkosolidasikan pasukannya. Pihak Republik Indonesia terpaksa menggunakan

kesempatan itu untuk melakukan konsolidasi seluruh pasukan yang tersebar di

berbagai front.

Situasi keamanan di pusat Kota Medan dapat dikatakan tidak stabil. Siang

hari kelihatan aman-aman saja, tetapi pada malam hari terdengar tembak-menembak.

Suasana psikologis warga kota begitu mencekam. Rasa was-was kelak akan terjadi

pertikaian dengan Belanda, tidak dapat dihindari. Tiga bulan setelah

ditandatanganinya perjanjian Linggarjati, suasana Kota Medan semakin genting.

Suasana lingkungan menuju ke arah perang sudah terasa akan terjadi. Kedua belah

pihak, Belanda dan Indonesia, masing-masing telah memperkuat pertahanannya.

Tanggal 21 Juli 1947 Agresi Militer I terjadi. Secara serentak pasukan

Belanda menyerang front-front pertahanan pasukan Republik. Berturut-turut

serangan itu dilakukan dan sesekali diadakan pembalasan. Suasana kehidupan

diliputi peperangan. Paling tidak hingga akhir tahun 1949, kecuali sebentar mereda,

yaitu pada saat gencatan senjata (persetujuan Renville kurang lebih 10 bulan) yang

terjadi setelah dan sebelum agresi militer II (19 Desember 1948) yang disambut

dengan perang gerilya. Praktis keadaan menjadi lebih genting kembali, sekalipun

ibukota negara telah dipindahkan ke Yogyakarta.

Era revolusi kemerdekaan hingga tahun 1950, seperti telah dideskripsikan di

atas, cukup kuat memberi alasan betapa keadaan saat itu dikatakan sangat tidak

aman. Masyarakat Sumatera Utara umumnya, khususnya Medan, merasakan situasi

yang demikian mencekam itu. Sehingga begitu memasuki era 1950-an, sekalipun

disana-sini masih terjadi berbagai pergolakan, namun secara historis masyarakat

mengenalnya sebagai “masa aman”. Pada era inilah implementasi Maklumat

                                                             
26 Ibid. hal. 44-45.

14  

 

 

Pemerintah 3 November 1945 mendapat momentum baru. Organisasi masa, perkumpulan-perkumpulan, serta organisasi partai tumbuh dan berkembang menjalankan misi dan program-program politiknya. Pertarungan antar partai untuk merebut pusat-pusat kekuasaan dan penentuan kebijakan negara berlangsung secara terbuka. Seluruh pergolakan yang terjadi di seluruh Indonesia itu, bukan lagi dalam rangka menghadapi musuh dari luar. Akan tetapi pergolakan itu lebih disebabkan oleh perbedaan pendapat dan kepentingan antar partai politik yang berpengaruh dan memiliki massa yang cukup besar di dalam negeri.
Pertikaian antar partai politik yang begitu kuat, dipicu oleh tema yang selalu menjadi pembahasan yaitu politik sebagai panglima. Demikian besarnya pengaruh partai ketika itu, sehingga hampir tidak pernah dapat dicapai sebuah konsensus nasional. Kasus penundaan pelaksanaan pemilu nasional misalnya, merupakan bukti kuatnya pertikaian antar kepentingan partai masa itu. Jika kasus itu dikaji, maka akan terlihat empat faktor penyebabnya.27 Pertama, anggota parlemen pada masa itu banyak yang beranggapan bahwa dengan pemilu kursinya akan copot karena mereka bukan berasal dari kader partai-partai besar. Mereka terpilih menjadi anggota parlemen lebih disebabkan karena kondisi politik dan pembangunan ekonomi yang relatif belum stabil.
Kedua adalah kekhawatiran, terutama dari Partai Nasional Indonesia, bahwa pemilihan umum akan menguatkan partai-partai Islam menguasai infrastruktur negara. Ketiga kekhawatiran bahwa sistem pemilihan umum yang konsisten dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 akan menghasilkan perwakilan yang lemah bagi daerah-daerah luar Jawa. Keempat adalah kekhawatiran akan munculnya partai politik dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, pelaksanaan Pemilu 1955 menjadi catatan prestasi yang dicapai dalam masa Kabinet ketika itu. Seluruh partai politik yang ada dan yang akan tampil sebagai kontestan, termasuk organisasi kemasyarakatan, dapat turut serta dalam pesta demokrasi itu. Pemilu 1955 yang diselenggarakan pertama kali menghasilkan lembaga konstituante (parlemen).28
Di tengah-tengah ketidakpastian pelaksanaan pemilihan umum, serta keadaan ekonomi yang semakin sangat suram, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta. Peristiwa ini terjadi pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953), yaitu setelah

                                                             
27 Daniel Dhakidae. Op. Cit. hal. 20. 28 Ibid. hal. 22.
 

15

 

 
mempensiunkan 80.000 dari 200.000 tentara yang ada, menyusul diterimanya mosi Manai Sofian oleh parlemen pada tanggal 16 Oktober 1952. Para tentara (Angkatan Darat) dan kalangan PETA yang bermodalkan semangat 45 merasa disudutkan, dan menganggap campur tangan parlemen yang terlalu jauh di tubuh tentara. Akibatnya pada tanggal 17 Oktober 1952, terjadi demonstrasi sekitar 5.000 orang yang menuntut pembubaran parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, dan mendesak pemerintah supaya segera menyelenggarakan pemilihan umum. Mereka masuk dan mengobrak-abrik gedung parlemen, lalu mampir ke Kementrian Luar Negeri, rumah kediaman Wakil Presiden, Komisaris Agung Belanda, serta istana Presiden.29 Akibatnya pemerintah mengambil tindakan membebaskan jabatan sejumlah perwira yang tersangkut peristiwa tersebut, seperti Kolonel A.H. Nasution (Kasad), Letkol S. Parman (CPM), dan Letkol Sutoko (Mabad).30
Banyak pengamat yang menghubungkan peristiwa 17 Oktober 1952 ini dengan lahirnya ide di kalangan perwira tentara yang mendukung peristiwa tersebut untuk membentuk sebuah ikatan. A.H. Nasution disebut-sebut sebagai salah seorang tokoh penting yang memprakarsainya. Ikatan yang dimaksud itu adalah Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), yang anggotanya terdiri dari para pejuang kemerdekaan baik yang berasal dari militer maupun masyarakat umum. Setelah didirikan pada tanggal 5 Oktober 1954, IPKI, kemudian menjadi salah satu peserta pemilihan umum yang akan digelar pada tahun 1955.
Penyebab lain dari timbulnya peristiwa 17 Oktober 1952 adalah rasionalisasi Kabinet Wilopo. Kabinet ini bermaksud menjalankan politik ekonomi secara lugas dalam bentuk penghematan. Sebagai contoh di Sumatera Utara, lahan sebagian petani diambil alih untuk membangun kebun percobaan dan petaninya sendiri diungsikan ke tempat lain. Namun petani menolak upaya itu, sehingga akhirnya pada 17 Maret 1953 terjadi Peristiwa Tanjung Morawa. Petani Indonesia dan Tionghoa menghadang traktor Jawatan Pertanian yang menyebabkan perkelahian. Peristiwa ini menelan korban 5 orang mati dan 16 orang mendapat luka-luka parah. Menurut

                                                             
29 Ibid. 30 Tatang Sastrawiria dan Haksan Wirasutisna. 1955. Ensiklopedi Politik. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kem.
P.P. dan K. hal. 210-211.

16  

 

 

catatan, peristiwa ini menjadi bahan agitasi politik beberapa partai dan menjadi salah satu sebab bubarnya Kabinet Wilopo.31
Di antara partai-partai politik yang banyak jumlahnya di masa itu, pertikaian ideologi dan kompetisi untuk menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya dari masyarakat menjadi isu sentral. Setiap organisasi atau partai politik selalu berebut untuk tampil di panggung politik, menentukan format dan arah kebijakan Republik Indonesia yang baru merdeka. Ada yang muncul sebagai partai dengan ideologi agama, ideologi kebangsaan, dan ada pula dengan ideologi yang berasal dari luar. Sebagian berbasis umat, sebagian lagi berbasis okupasi dan kelas