Politik Layar Terkembang (13.57Mb)
POLITIK LAYAR TERKEMBANG
Melalui dukungan militer, birokrasi, dan sistem politik yang dirancang oleh rezim Orde Baru, Pemuda Pancasila membangun kelembagaan organisasi yang berjalan dalam dinamika internalnya. Posisi Pemuda Pancasila dalam konstelasi politik nasional sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi yang diperankan tokohnya di Sumatera Utara. Perkembangan kelembagaan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Berawal dari ide pembentukannya, tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara memiliki kontribusi bagi pengembangan organisasi. Meskipun, karakter “preman dan prilaku kekerasan” sulit dilepaskan dari anggota organisasi, tetapi kontribusi para pengurus organisasi memberikan catatan sejarah tersendiri di Sumatera Utara.
Pada kenyataannya – sejak Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi – Pemuda Pancasila turut berperan dalam nuansa perkembangan organisasi masyarakat di Indonesia. Catatan sejarah itu menjadi cerminan terkait sulitnya menegakkan independensi organisasi dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis. Demi meraih dan mempertahankan kekuasaan untuk menunjukkan eksistensi organisasi maka adaptasi dan kemampuan politik para tokoh Pemuda Pancasila menjadi penting.
Menjadi lebih baik atau justru tetap memiliki kesan sebagai organisasi yang penuh dengan kekerasan merupakan tantangan yang harus dijawab oleh para anggota, kader, senior, dan terutama pengelola organisasi. Buku ini memberikan perspektif sejarah untuk dibaca oleh para pemerhati dan aktivis organisasi kemasyarakatan dan pemuda yang ingin mendapatkan informasi tentang munculnya salah satu kekuatan pemuda di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Kiprah Pemuda Pancasila Sumatera Utara setidak-tidaknya akan mewarnai konstelasi politik lokal pada masa politik desentralisasi diberlakukan.
POLITIK LAYAR TERKEMBANG (LINTASAN SEJARAH PEMUDA PANCASILA SUMATERA UTARA DALAM KEKUASAAN) MURYANTO AMIN
PENERBIT Muryanto Amin
Politik Layar Terkembang (Lintasan Sejarah Pemuda Pancasila Sumatera Utara Dalam Kekuasaan), Medan: Vote Institute, 2013. iii+ 73 hlm.
ISBN 978-602-17785-0-0 Cetakan Pertama, Agustus 2013 Penerbit Vote Institute, Medan. Sei Serayu Mansion B1, Jl. Sei Serayu Medan 20122 Hak Cipta © Muryanto Amin, 2013 Dicetak oleh ……… Disain sampul oleh Ferhat Desaign Grafika Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit, kecuali kutipan singkat untuk resensi atau penelitian ilmiah di luar tujuan komersial
Untuk Fatah, Thuva, Fariz
P e n g a n t a r
Buku tipis yang hadir di hadapan pembaca ini, berawal dari penjelasan ringkas tentang sejarah Sumatera Utara masa Kesutanan Deli terutama saat tumbuh suburnya industri perkebunan masa penjajahan Belanda dan Jepang bersamaan dengan persemaian bibit terbentuknya Pemuda Pancasila di Medan. Sejarah industri perkebunan menjadi awal munculnya aktivitas ekonomi di sektor lainnya seperti permintaan jumlah tenaga kerja, tumbuhnya sektor informal, penyediaan jasa keamanan, serta kebutuhan lainnya yang dapat menunjang industri itu.
Pesatnya pertumbuhan industri perkebunan juga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan masyarakat di sekitar perkebunan dan mengubah cara hidup masyarakat dari sebelumnya. Relasi etnis, suku, pengelolaan pemerintahan hingga gaya hidup mengalami perubahan drastis dan memunculkan kesenjangan antara pemilik tanah dan para migran yang bekerja atau hidup di sekitar wilayah perkebunan. Situasi itu bermula saat Pemerintah Belanda menawarkan sistem ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para Sultan. Namun, tidak menggembirakan bagi kelompok migran yang kebanyakan masih berusia muda hingga memunculkan perlawanan terhadap Pemerintah Belanda dan keluarga Sultan.
Pada masa pra kemerdekaan, banyak kalangan anak-anak muda tidak mendapatkan kesempatan bekerja pada sektor perkebunan maupun sektor lainnya yang tumbuh. Jumlah anak-anak muda yang tidak mendapatkan pekerjaan semakin hari semakin bertambah dan menimbulkan persoalan sosial lainnya seperti pencurian dan perampokan hasil perkebunan yang menimbulkan kerugian perusahaan perkebunan Belanda. Untuk memperkecil akibat yang tidak baik secara sosial itu, maka pihak perusahaan perkebunan menggunakan jasa para anak muda tersebut sebagai penjaga keamanan lokasi kebun. Tetapi perlakuan tersebut tidak berjalan dengan baik. Pekerja muda yang menjajakan jasanya untuk keamanan justru memilih melakukan perlawanan terhadap pengelola perkebunan Belanda hingga kemerdekaan Republik Indonesia.
Suasana politik nasional sejak pasca kemerdekaan hingga Orde Lama menyebabkan banyak kelompok organisasi yang berada di Jakarta dan daerah membutuhkan dukungan massa yang besar. Ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Parlementer juga menimbulkan pengelompokan di tingkat akar rumput. Tidak terkecuali di Sumatera Utara, kekuatan-kekuatan politik nasional berusaha untuk “menggarap” seluruh satuan sosial masyarakat. Namun, di Medan Sumatera Utara, kelompok anak-anak jalanan dan preman yang berpendidikan rendah selalu dilupakan. Atas alasan keamanan maka kekuatan militer memanfaatkan mereka untuk membantu menjaga keamanan, yang pada saat itu, sering menjadi ancaman akibat pemberontakan yang muncul di daerah. Salah satu organisasi yang dibentuk untuk memobilisasi para pemuda itu adalah Pemuda Pancasila melalui IPKI.
Suasana heroik untuk menuntaskan gerakan kudeta yang dilakukan oleh PKI yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI sangat kentara terjadi di Sumatera Utara. Perkelahian fisik antara anggota Pemuda Pancasila dan PKI beserta organisasi massanya terjadi berbagai tempat di Provinsi Sumatera Utara. Pada masa itu, peran Pemuda Pancasila yang didukung kalangan militer, menunjukkan kekuatan fisiknya berhadapan dengan kekuatan massa PKI di Sumatera Utara. Kontribusi Pemuda Pancasila melawan PKI di Sumatera Utara menjadi salah satu pertimbangan penting para pengambil keputusan ketika itu untuk melibatkan tokoh Pemuda Pancasila dalam mendukung Pemerintah Orde Baru. Dalam perkembangannya Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi salah satu organisasi yang banyak membantu pemerintah dan khususnya militer yang melancarkan agenda politiknya pada masa Orde Baru di Sumatera Utara.
Pasca jatuhnya Pemerintah Orde Baru, Pemuda Pancasila harus beradaptasi dengan sistem politik yang telah berubah. Tidak ada kekuatan mayoritas sejak reformasi digulirkan dan tokoh-tokoh lokal mendapat peran tersendiri di daerahnya masing-masing sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itulah, Pemuda Pancasila mengandalkan instrumen kekuatannya sendiri dengan cara memberikan pengaruhnya kepada otoritas politik lokal seperti partai politik, DPRD, pemerintah daerah, media massa, dan lembaga masyarakat yang ada di Sumatera Utara.
Penulis, Muryanto Amin
D a f t a r I s i PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 JELAJAH HISTORIS KEPEMUDAAN SUMATERA UTARA
41
73
70 TENTANG PENULIS
63 DAFTAR PUSTAKA
4.3. Pengaruh Politik Pemuda Pancasila di Provinsi Sumatera Utara
60
4.2. Perselisihan Internal Pemuda Pancasila
57
4.1. Adaptasi Kelembagaan
50 BAB 4 PEMUDA PANCASILA SUMATERA UTARA
3.5. Revitalisasi Pemuda Pancasila
48
3.4. Kekuatan yang Terbelah
3.3. Konsolidasi Pemuda Pancasila di Medan
i
12
iii
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Sosial Sumatera Utara
1
1.2. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara
6 BAB 2 PEMUDA PANCASILA & AWAL MULA LAYAR TERKEMBANG
2.1. Situasi Politik Nasional
2.2. Pembentukan Pemuda Pancasila
38
18
2.3. Pemuda Pancasila Kota Medan
25 BAB 3 PEMUDA PANCASILA MASA ORDE BARU
3.1. Masa Peralihan Kekuasaan
36
3.2. Merangkai Kekuatan Pasca Gerakan 30 September 1965
PASCA ORDE BARU
BAB 1 J E L A J A H H I S T O R I S K E P E M U D A A N S U M A T E R A U T A R A
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Sosial Sumatera Utara umatera Timur adalah daerah dataran rendah yang sangat luas. Menurut Karl J.
2 Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km . Di daerah S
ini terdapat hutan-hutan Payau (Mangrove) yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi Karo dan Simalungun itu
1
membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan endapan lumpur. Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis. Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga.
Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat
2
gubernemen, bukan rakyat kerajaan. Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928. Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya 1 2 Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34.
Orang Cina, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen.
Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie (MBGD), 1912-1925. hal. 34,
96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur
(Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978. hal. 76.3
tradisional. Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan
4 Batak Simalungun. Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai
Timur Sumatera. Etnis Melayu yang dimaksud adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat budaya dan Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka. Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di bandar-bandar Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan
5 kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.
Hubungan raja-raja Melayu dengan Pemerintah Belanda mulai intensif ketika Pemerintah Belanda melancarkan politik ekspansionismenya ke Sumatera pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh Belanda semakin kuat setelah Sultan Serdang (Basyaruddin) menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Belanda pada tanggal 16 Agustus 1862. Perjanjian yang dikenal dengan Acte van Erkenning yang menyatakan tentang pengakuan Sultan Serdang beserta daerah taklukkannya Padang Bedagai, Denai, Pertjoet, Perbaungan termasuk daerah kekuasaan Siak Sri Indrapura. Pada 1873, Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan Bilah dijadikan
6 menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis.
Mengingat perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun 1887 ibukota Residensi Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Pada saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima Afdeling yakni Asahan, Labuhan Batu,
7 Bengkalis, Deli, dan Batubara.
Medan sebagai ibukota Residensi Sumatera Timur, menjadi tempat tinggal kaum elit kolonial yang terdiri dari orang-orang Eropa sebagai elit pemerintahan kolonial (European Wijk). Mereka bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli), 3 4 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56.
Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk melayu, Batak Karo dan Batak
Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
5 Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87. 6 Ibid. hal. 24.
T. Luckman Sinar. 1986. Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Medan: Pemerintah
7 Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. hal. 154.Ibid. hal. 3-6. dengan ciri-ciri Presiden Deli Mij dan dianggap lebih pantas untuk dihormati dari pada (spatial arrangement) yang menampilkan wajah ganda yaitu pemukiman di pusat kota dihuni elit pemerintahan kolonial (European Wijk), khas, kasar, pemabuk, kurang adat, benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta. Kemudian pusat perdagangan yang dihuni oleh Orang Cina dan “Timur Asing” lainnya seperti Arab dan India. Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemukiman elit politis dan bisnis ini dihuni oleh Bumiputera.
Memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan
8
ke wilayah Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Pak-Pak Dairi. Di antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Semua kontrak politik yang telah ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatera Timur yang membawahi lima Afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan. Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun en Karolanden ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.
Masyarakat Sumatera Timur telah dijamin oleh penguasa Belanda sebagai
9
penduduk asli dengan hak-hak istimewa atas tanah sesuai dengan hukum adat. Hak istimewa inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat pendatang (migran). Dengan adanya penyusunan kembali wilayah kerajaan di Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang terpusat di Batavia. Ini bermakna bahwa Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Di samping itu, Belanda juga telah menghubungkan Sumatera Timur dengan Jawa. Dengan cara demikian Sumatera Timur telah memiliki identitas baru. 8
T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa
9 tahun terbit. hal. 33-50, dan Mededeelingen. Op. Cit. hal. 549-564.
Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-
1975), Bandung: Alumni, 1978.Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda
10 Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu. Secara nyata kekuasaan kolonial Belanda
dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir semua raja-raja di Sumatera Timur. Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Perjanjian politik kontraknya dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka menjalankan kekuasaan hukum adat mereka antara lain yang terpenting adalah tanah. Imbalan honorarium dari perubahaan perkebunan, terus menerus mengalir ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pajak-pajak ini masuk ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk-Datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium.
Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini muncullah perubahan gaya hidup sebagian Sultan dan Bangsawan Sumatera Timur khususnya Melayu. Kaum bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya, sebelum datangnya Belanda, berada dalam keadaan
11
yang melarat. Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka telah mampu
12
membangun istana-istana megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa. Gaya hidup kemewahan akhirnya menjadi prilaku keseharian para sultan tersebut. Para Sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut tamu-tamu penting (orang-orang Eropa). Untuk mununjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan yang berasal dari kelompoknya.
Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit Eropa dan orang Cina dengan masyarakat Jawa yang menjadi buruh-buruh perkebunan. Dalam konteks yang sama juga terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit kerajaan dengan kaum petani di pedesaan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada masa kolonial benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Langenberg menggambarkan sebagai berikut. Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolo- 10
Mengenai perubahan itu, baca Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera Timur. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. hal. 77-126i; Mohammad Said. 1977 ‘Koeli Kontrak Tempo Doeloe,
11 Antara Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada; Karl J. Pelzeer, Op. Cit., him. 51-90.
Tentang keadaan istana dan kehidupan kesultanan Melayu. pada masa itu lihat, Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 168-169
dan John Anderson. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, London: Oxford University
12 Press.
Sultan Machmoed dari Langkat memiliki 13 mobil, Kuda Pacu, dan Kapal Secoci Pesiar. Anthony Reid. Op. Cit.
1987. hal. 89. Sultan Serdang memiliki 10 buah mobil pribadi, lihat pada Budi Agustono. 1993 “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal. 75. nial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu keluarga 6 kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang dan Siak. Ketiga adalah para bangsawan Melayu dari kesultanan yang kecil, raja-raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat (dokter, pengacara,
13 pejabat sipil kolonial senior), dan para pedagang kaya Cina, India, dan Indonesia.
Sebagian besar penduduk Sumatera Timur tinggal di pedesaan. Mereka adalah para buruh perkebunan yang hidupnya sangat tertekan dan menderita. Kehidupan buruh-buruh perkebunan ini sangatlah menyedihkan, lingkungan kumuh, terancam kelaparan, dan kekurangan gizi. Para buruh perkebunan yang hidupnya miskin ini terus semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 1883 jumlah penduduk miskin mencapai 31.454 jiwa dan pada tahun 1932 meningkat lagi menjadi 336.000 jiwa. Mereka adalah para buruh perkebunan yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para majikan perkebunan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa para pendatang yang sebagian besar adalah kelompok usia muda inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerakan politik dan sosial di Sumatera Timur. Merekalah yang kemudian melancarkan kritik tajam terhadap kepincangan sosial, penindasan para buruh kebun dan kemapanan sistem feodalisme. Kritikan tajam, perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang menyebarkan isu-isu perlawanan, penolakan (negasi) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan
14
sistem feodal yang dijalankan para penguasa saat itu. Tokoh-tokoh pemuda di Sumatera Timur tampil di depan untuk melawan penguasaan dan pengelolaan tanah yang dilakukan para Sultan dengan pemerintah kolonial Belanda.
1.2. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara
Di Sumatera Utara kita akan menemukan pemuda-pemuda dengan nama-nama besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia yang pernah mengunjungi Sumatera
13 Diterjemahkan dari Michael van Langenberg dalam Auderey R. Kahin. 1985. (ed.) Regional Dynamica of The
Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii. hal. 115. Penduduk Sumatera Timur
pada masa itu dibagi dalam empat lapisan orang Eropa, Timur Asing, Pribumi, dan kuli-kuli kebon. Staatsblad van
14 Nederlandsch-Indie. 1939. No. 146.
Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang
memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari
Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Utara serta tinggal bersama-sama kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Utara. Sebut
15 Pirngadi , dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan kebijakan exorbitante rechten (hak
istimewa) pemerintah Kolonial Belanda menjalankan praktek ”pengasingan” atau “pembuangan” para pejuang dari daerahnya ke berbagai tempat lainnya di Nusantara. Bung Karno dan Hatta beserta beberapa tokoh pejuang lainnya pernah diasingkan atau dibuang ke Sumatera Utara. Demikian beberapa peristiwa penting yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pemuda di Sumatera Utara hingga memasuki masa 16 kemerdekaan Republik Indonesia. Di Sumatera Utara Proklamasi Kemerdekaan RI resmi diumumkan oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan pada tanggal 30 September 1945. Sedangkan Pemerintahan Republik Indonesia baru berjalan di Kota Medan tanggal 3 Oktober 1945. Itupun secara diam-diam karena masih takut pada pemerintah dan tentara Jepang. Lalu sepuluh hari kemudian, 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran di hotel “Pension Wilhelmina” di Jalan Bali, Medan, antara rakyat dengan tentara Belanda yang disusupkan sekutu/Inggris (NICA). Pertempuran serupa juga terjadi di Pematang Siantar 15
17 Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945.
Wujud lain kehidupan segregatif (terpisah-pisah) masyarakat Kota Medan terefleksi dalam organisasi keagamaan beserta kepemudaannya. Keanggotaan kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori, namun masih menyiratkan etnisitas. Ada organisasi Muhammadiyah yang didominasi warga etnis Minangkabau; Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen Protestan Simalungun; Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja Methodist Indonesia (Cina); dan seterusnya. Hal yang sama terjadi pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA (Himpunan Keluarga Mandailing); 15 16 Saat ini nama Dr. Pirngadi sebagai nama Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Medan.
Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang
memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari
Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan
Sub Provinsi Sumatera Selatan. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah
menetapkan Sumatera menjadi 3 provinsi masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 April itulah ditetapkan
menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1956 ditetapkan UU No. 24 Tahun
1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara
17 yang wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Aceh.
Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-
II/BB. hal. 19-24
Minang Saiyo (Minangkabau); IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh); dan lain-lain. Sementara di tingkat pelajar/mahasiswa terdapat IMA-Tapsel (Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan); Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (Minangkabau), HIMAH (Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah) dari etnis Melayu; dan sebagainya. Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya memiliki ciri-ciri resmi (formal). Besar kemungkinannya kelompok etnis tersebut mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem administrasi yang jelas.
Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering disebut preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai organisasi resmi kepada pemerintah, partai politik, maupun organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. Bahkan di mata pihak keamanan kota, kelompok- kelompok preman itulah yang seharusnya diberantas atau “didekati” karena ada anggapan bahwa banyak kerusuhan yang terjadi di kota, didalangi oleh preman. Tetapi apapun alasannya sepanjang daya serap sektor formal masih sangat terbatas, serta tingkat putus sekolah masih tinggi, maka fenomena preman masih akan sulit ditiadakan. Lebih-lebih dalam keadaan dimana kepastian hukum tidak berjalan, atau keadaan kurang aman, maka kehadiran preman justru menjadi sentral. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan menawarkan dirinya untuk dijadikan tenaga “pengaman” bayaran.
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, belum banyak ditemukan perubahan menyangkut sifat segregatif pemukiman. Daerah tapal batas pemukiman masih tetap sebagai daerah rawan kerusuhan. Senggolan fisik dan kesalahpahaman saja dapat melahirkan perkelahian antar individu yang justru sering menjadi perkelahian antar kelompok kampung yang berlarut-larut. Peristiwa perkelahian seperti itu tetap sulit diredam terkait dengan belum berkurangnya jumlah pengangguran di setiap kampung. Daya serap lapangan pekerjaan di sektor formal sangat kecil, sementara angka drop out sekolah di kalangan pemuda tetap tinggi. Di satu sisi sektor formal semakin mengutamakan pendidikan, sedangkan di sisi lain kesempatan memasuki sekolah masih terbatas. Bahkan proses penyelesaian pendidikan di sekolah pun amat berat. Tidak banyak anak muda yang dapat menyelesaikan sekolahnya hingga
18 Gaya hidup di pusat Kota Medan merepresentasikan gaya hidup urban atau perkotaan, sedang yang lainnya merepresentasikan gaya hidup rural atau pedesaan.
Sementara pada kawasan pinggir Kota Medan banyak para pendatang baru datang dan tinggal menetap dari berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sehingga kawasan pinggiran tersebut tumbuh menjadi kantong-kantong pemukiman kelompok etnis. Di sekitar pusat kota lama (daerah Kesawan dan Polonia) dihuni oleh para elit pemerintahan serta orang Cina dan Timur Asing yang bergerak di bidang perdagangan. Sementara itu di kawasan pinggiran Kota Medan bermukim kelompok- kelompok etnis Bumiputera yang juga hidup secara segregatif. Di pinggiran Kota Medan tersebut banyak terjadi kerawanan sosial seperti perampokan, penjambretan, perkelahian, berdirinya pondok-pondok prostitusi liar, dan tempat perjudian. Penyebab dari kerawanan sosial itu menurut Pelly berpangkal pada segregasi
19 kehidupan pemukiman antar etnis, antar strata sosial, dan okupasi.
Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari masing-masing kelompok etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis semakin terpelihara dan loyalitas kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan antar kelompok etnis yang identik dengan persaingan antar kampung (teritori) di Kota Medan tersebut memiliki potensi konflik (latent conflict) dalam kehidupan sehari-hari. Daerah-daerah perbatasan teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh kerusuhan berupa “perang massal” antar kampung. “Perang massal” ini biasanya dipelopori oleh para pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau di kantong-kantong pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satu penyebab munculnya perkelahian antar kampung. Anak-anak muda di tiap kampung/pemukiman kelompok etnis di pinggiran Kota Medan, pada waktu itu, membentuk satuan-satuan pemuda dengan dasar 18
Kemiskinan menjadi persoalan utama di masyarakat Kota Medan. Banyak keluarga yang tidak dapat memberikan
pendidikan sekolah secara formal kepada anak-anaknya karena tidak memiliki uang untuk membayar sekolah dan
membeli peralatan belajar. Sementara program pemerintah untuk sektor pendidikan sangat kecil dan tidak
19 memungkinkan untuk dinikmati oleh banyak kalangan warga miskin di Kota Medan.Usman Pelly. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud. hal. 27. solidaritas teritorial/etnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat satuan-
Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame, dan lain-lain. Satuan-
satuan pemuda kampung itu juga merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat oleh kesadaran etnis dan teritorialnya. Akan tetapi walaupun bersatu dalam satu kesatuan “pemuda kampung”, namun antara pemuda menganggur dan pemuda sekolah tetap terdapat perbedaan. Pemuda bersekolah tetap melakukan kegiatan sehari-hari seperti pemuda pengangguran, duduk-duduk selepas sekolah di persimpangan jalan, mereka itu dinamakan cross-boys (anak-anak simpang) atau biasa juga disebut “pemuda roman”. Sedangkan pemuda kampung yang betul-betul menganggur dan hidup selamanya di jalanan, dinamakan “preman”.
Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada dasawarsa 1950-an hingga awal 1960-
20
an. Di waktu itu sebagian anak-anak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah polanya yang “nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari kontrol orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda perempuan dan juga mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak jarang kelakuan mereka memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya “mejeng” anak muda dewasa ini. Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya yang disebut chips. Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai “preman lontong”.
Lain halnya dengan pemuda yang bernama “preman”. Mereka terdiri dari orang- orang pengangguran yang hidup di jalanan sambil “mencari makan” untuk kebutuhan sendiri, terutama di bioskop-bioskop terdekat. Mereka mengelola penjualan tiket melalui “sistem catut” atau black market. Kegiatan ini pada dasarnya “direstui” oleh pengelola bioskop, entah dengan terpaksa atau tidak. Namun dengan adanya kesempatan bagi preman itu untuk mengelola karcis “catut” maka kerusuhan di bioskop tidak terjadi. Orang lain tidak akan berani membuat kerusuhan di bioskop itu kalau tidak mau ambil resiko berkelahi dengan preman bioskop tersebut. Oleh sebab itu, menurut anggota-anggota preman itu sendiri, kehadiran mereka di salah satu bioskop itu 20
Era ini sering disebut “masa aman” karena dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi-aksi militer berkenaan
dengan upaya mempertahankan kemerdekaan dari tekanan musuh masih berlangsung. Para kumpulan pemuda di Kota Medan relatif lebih bebas melakukan kegiatan yang mereka inginkan. dipandangnya sebagai satuan pengaman bagi bioskop itu sendiri. Keamanan di bioskop Selain berfungsi mengamankan bioskop terdekat, kelompok preman ini juga merasa difungsikan mengamankan kampungnya sendiri. Atas dasar itulah, menurut
21
beberapa preman era 1950-an dan 1960-an , para orang tua kampung setempat selalu simpati pada preman ketika itu. Mereka tidak membuat kerusuhan di kampungnya dan sebaliknya karena mereka pula, orang dari kampung lain tidak berani membuat kerusuhan di kampung tersebut. Itu sebabnya anak-anak cross-boys yang tidak berhasil meneruskan sekolahnya, sebagian terjun ke dunia preman. Jarang pulang ke rumah, cari makan dan pakaian sendiri-sendiri di jalanan. Sedangkan yang mampu meneruskan sekolah, memperoleh manfaat, ada sebagian di antara mereka berhasil menduduki jabatan strategis di pemerintahan, militer atau perusahaan.
Oleh karena klain mereka disebut sebagai kelompok pengamanan, maka tidak jarang anggota preman itu membekali diri mereka dengan seperangkat keahlian “bela diri” (silat, karate, dan lain-lain). Bahkan menurut sebagian preman era 1950-an itu, tidak jarang di antara mereka juga harus memiliki ilmu batin, yang berarti “ilmu kebal”. Orang-orang yang memiliki “keahlian lebih” itulah yang muncul sebagai kapala bagi kelompoknya. Seorang yang menjadi kapala harus berani, kuat, disegani lawan dan kawan, bersifat setia dan melindungi anggota, serta mampu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan kelompoknya.
Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu kesatuan yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat, mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan sumber-sumber penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat yang lain. Hal ini menjadi suatu keharusan karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis, sepatu mengkilap ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah dan meminum minuman keras, menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan. Oleh karenanya, keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang 21
Di antara mereka yang dikenal sebagai preman adalah Effendi Nasution (Pendi Keling), Rosiman (preman yang
mengusai Medan Bioskop), Yan Paruhuman Lubis (Ucok Majestik), Paruhum Siregar. Selain itu, Effendi Nasution
dan Rosiman juga dikenal sebagai petinju yang sering bertanding dalam turnamen yang diselenggarakan di Kota Medan. lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok preman lain Perkelahian antar kelompok preman pada dasarnya merupakan perkelahian antar kelompok warga etnis kampung tertentu. Preman kelompok etnis dari satu kampung tertentu menyerang dan merebut bioskop yang telah dikuasai preman kelompok etnis kampung yang lain. Demikian misalnya, pada era 1960-an awal, terjadi penguasaan bioskop-bioskop Kota Medan secara etnis. Bioskop Rex atau Mega Ria dikuasai oleh preman etnis Aceh, Astana Ria dikuasai oleh preman etnis Karo, Bioskop Morning dikuasai preman etnis Minangkabau, Bioskop Olimpia dikuasai preman etnis Toba, Bioskop Majestic dikuasai oleh preman etnis Mandailing, serta bioskop-bioskop yang lain dengan preman-preman dari etnis yang lain pula.
B A B 2 P E M U D A P A N C A S I L A & A W A L M U L A L A Y A R T E R K E M B A N G
2.1. Situasi Politik Nasional
umbuh kembangnya berbagai perkumpulan atau organisasi, baik yang bersifat kedaerahan, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan, kepartaian dan lain-lain
T
tidak dapat dilepaskan dari situasi politik pada masanya. Masa awal kemerdekaan, terutama antara 1950–1960, sering disebut masa Demokrasi Liberal. Bermacam-macam organisasi atau perkumpulan tumbuh di mana-mana. Gejala ini tentu tidak dapat dilepaskan dari dorongan pemerintah, sebagaimana termuat dalam “MAKLUMAT PEMERINTAH” yang ditandatangani pada 3 November 1945 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, bahwa:
1. Pemerintah menjukai timbulnja partai-partai politik karena dengan adanja partai- partai itulah dapat dipimpin ke djalan jang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat;
2. Pemerintah berharap supaja partai-partai politik itu telah tersusun sebelumnja dilangsungkan pemilihan anggauta Badan-badan Perwakilan Rakjat pada bulan
22 Djanuari 1946.
Maklumat tersebut di atas dengan tegas memberi dorongan dan dengan jelas membenarkan semua bentuk aliran organisasi partai, sepanjang – demikian kalimat sebelumnya – partai-partai itu “hendaknja memperkuat perdjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan”. Di Sumatera Utara umumnya dan Kota Medan khususnya, berbagai cabang organisasi yang antara lain bertugas merekrut anggota sebanyak-banyaknya di daerah tumbuh bagai jamur di musim hujan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan pemilihan umum nasional yang sejak 5 Oktober 1945 sudah dijanjikan akan dilaksanakan pemerintah
23 pada Januari tahun 1946. 22
Anonimous, Kepartaian di Indonesia. 1951. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pepora 8. Lihat
juga Daniel Dhakidae. 1981. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA, Desember
23 1981. hal. 18.Ibid