KINERJA CAMPURAN LATASTON (HRS-WC) ASBUTON DENGAN PENAMBAHAN OLI BEKAS TERHADAP PENGUJIAN MARSHALL

(1)

KINERJA CAMPURAN LATASTON (HRS-WC) ASBUTON

DENGAN PENAMBAHAN OLI BEKAS TERHADAP

PENGUJIAN MARSHALL

(Skripsi)

Oleh :

REZA FITRA SANDI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

KINERJA CAMPURAN LATASTON (HRS-WC) ASBUTON

DENGAN PENAMBAHAN OLI BEKAS TERHADAP

PENGUJIAN MARSHALL

Oleh

REZA FITRA SANDI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Teknik

Pada

Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(3)

ABSTRAK

KINERJA CAMPURAN LATASTON (HRS-WC) ASBUTON

DENGAN PENAMBAHAN OLI BEKAS TERHADAP

PENGUJIAN MARSHALL

Oleh

REZA FITRA SANDI

Seiring dengan melonjaknya harga aspal minyak dan ketersedian jumlahnya yang terbatas maka perlu dicari alternatif lain bahan pengikat perkerasan jalan. Alternatif yang bisa dilakukan adalah pemanfaatan aspal alam yang terdapat di pulau Buton Sulawesi Tenggara dari Indonesia dikenal dengan nama Asbuton. Secara ekonomis penggunaan oli bekas sebagai modifier pada campuran beraspal dikarenakan oli bekas memiliki nilai titik nyala setara aspal sehingga tidak mudah menguap dan nilai viskositas tinggi untuk melunakkan mineral yang terkandung dalam Asbuton. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Universitas Lampung menggunakan metode pengujian Marshall untuk campuran beraspal panas dengan perendaman benda uji selama 30 menit dan 3x8 jam agar diketahui karakteristik campuran seperti VMA, VIM, VFA, stabilitas, kelelehan, dan Marshall Quotient. Benda uji menggunakan campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 85% yang diperam dengan variasi kadar oli bekas 0%, 10%, 20%, dan 30%. Benda uji dibuat sebanyak 3 buah pada masing-masing variasi kadar oli bekas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa properties campuran yang memenuhi syarat yaitu VMA dan kelelehan sedangkan VIM didapatkan nilai yang lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan, dan VFA didapatkan nilai yang lebih rendah dari ketentuan. Kadar penambahan oli bekas terhadap Asbuton yang menghasilkan nilai stabilitas dan Marshall Quotient yang memenuhi syarat adalah kadar oli bekas 0% dan 10%. Secara keseluruhan penambahan kadar oli bekas terhadap Asbuton tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam campuran Lataston (HRS-WC).


(4)

ABSTRACT

MIXED PERFORMANCE LATASTON (HRS-WC) ASBUTON WITH ADDITION USED OIL OF MARSHALL TEST

by

REZA FITRA SANDI

Along with the soaring price of petroleum asphalt and limited availability of the amount it needs to look for another alternative binder pavement. Alternatives that can be done is to use natural asphalt located in Buton island of Sulawesi in Indonesia known as Asbuton. Economically the use of used oil as a modifier in asphalt mix used oil because the flash point value equivalent asphalt so volatile and high viscosity grades to soften the minerals contained in Asbuton.

The research was carried in the Core Road Laboratory of the Faculty Engineering of Lampung University using the method of Marshall test for hot mix asphalt with specimen immersion for 30 minutes and 3x8 hours for the mix characteristic known as VMA, VIM, VFA, stability, flow and Marshall Quotient. Specimen using a mixture of 15% petroleum asphalt and 85% Asbuton were brooded with used oil content variation 0%, 10%, 20%, and 30%. Specimen made 3 pieces on each of the various levels of used oil.

The results showed that the mixture properties are eligible VMA and flow while VIM obtained a higher value than the provisions established, and VFA obtained a lower value of the provision. Levels addition used oil to Asbuton that produces stability and Marshall Quotient value of eligible used oil levels are 0% and 10%. Overall the addition of used oil levels to Asbuton not recommended for use in mixed Lataston (HRS-WC).


(5)

Judul Skripsi : KINERJA CAMPURAN LATASTON (HRS- WC) ASBUTON DENGAN PENAMBAHAN OLI BEKAS TERHADAP PENGUJIAN MARSHALL Nama Mahasiswa : REZA FITRA SANDI

Nomor Pokok Mahasiswa : 0815011026 Program Studi : S1 Teknik Sipil

Fakultas : Teknik

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Drs. I Wayan Diana, S.T.,M.T. NIP. 195702101985031003

Ir. Priyo Pratomo, M.T. NIP. 195309261985031003

2. Ketua Jurusan Teknik Sipil

Ir. Idharmahadi Adha, M.T. NIP.195906171988031003


(6)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah dilakukan orang lain, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini sebagaimana disebutkan dalam daftar pustaka, selain itu saya menyatakan pula bahwa skripsi ini dibuat oleh saya sendiri.

Apabila pernyataan saya ini tidak benar maka saya bersedia dikenai sangsi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandarlampung, 3 Mei 2013

Reza Fitra Sandi 0815011026


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Drs. I Wayan Diana, S.T., M.T ...

Sekretaris : Ir. Priyo Pratomo, M.T. ... Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Yohanes Martono Hadi, M.T. ...

2. Dekan Fakultas Teknik

Dr.Ir. Lusmeilia Afriani, DEA. NIP. 196505101993032008


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis (Reza Fitra Sandi) dilahirkan di Tanjung Enim pada tanggal 8 April 1991. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mustopo dan Ibu Rubayati.

Penulis memulai jenjang pendidikan dari Taman Kanak-kanak Aisyah Tanjung Enim pada tahun 1995, pada tahun 1996 memasuki sekolah dasar di SDN 15 Tanjung Enim. Kemudian pada tahun 2002 melanjutkan jenjang pendidikan di SMPN Tanjung Enim, dan SMA Negeri 1 Unggulan Muara Enim pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB) pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Lampung (HIMATEKS UNILA) 2008, dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Dinas Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM FT). Pada tahun 2012 penulis melakukan Kerja Praktik pada Proyek Pembangunan Gedung Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa di Kabupaten Muara Enim selama 3 bulan. Penulis juga diangkat menjadi Asisten Laboratorium Inti Jalan Raya periode 2011-2012.


(9)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Nikmati Hidup dan Berjuanglah

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah , 94 : 5-6)

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

(QS Al Baqarah 2 : 286).

Skripsi ini aku persembahkan untuk :

 Bapakku, semangat juang dan pesan hidup yang kau ajarkan  Ibuku, kasih dan sayang yang selalu kau curahkan  Adik – adikku, pengingat akan masa depan  Dunia pendidikan


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL SKRIPSI ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Penelitian ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1Perkerasan Jalan ... 4

2.2Bahan Penyusun Perkerasan Lentur ... 6

2.2.1 Agregat ... 6

2.2.2 Aspal Buton ... 12

2.2.3 Aspal Minyak ... 21


(11)

2.5 Pengujian Marshall ... 36

2.6 Penelitian Terdahulu ... 41

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1Metode Penelitian ... 42

3.2Lokasi Penelitian ... 42

3.3Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.4Bahan dan Peralatan ... 43

3.5Tahap-tahap Penelitian ……… 44

3.6Perencanaan Jumlah Benda Uji ………... 49

3.7Pengujian Marshall ……….. 51

3.8Analisa Perhitungan ……… 53

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Pengujian Campuran Benda Uji ... 58

4.2Pengujian Tahap I ... 58

4.3Pengujian Tahap II ... 66

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 84

5.2Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Persyaratan Bitumen Asbuton ... 17

2.2 Kadar Bitumen ... 17

2.3 Persyaratan Asbuton Butir ... 18

2.4 Ketentuan untuk Aspal Keras Pen 60-70 ... 22

2.5 Hasil Pengujian Oli Bekas ... 29

2.6 Ketentuan Sifat-sifat Campuran Lataston ... 36

3.1 Target Gradasi Campuran Lataston (HRS-WC) ... 45

3.2 Kebutuhan Benda Uji Tahap I ... 49

3.3 Kebutuhan Benda Uji Tahap II ... 50

4.1 Data Pengujian Marshall Tahap I Rendaman Selama 30 Menit ... 58

4.2 Data Pengujian Marshall Tahap I Rendaman Selama3x8 Jam... 62

4.3 Data Pengujian Marshall Tahap II Rendaman Selama 30 Menit .... 66


(13)

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan melonjaknya harga aspal minyak dan ketersedian jumlahnya yang terbatas maka perlu dicari alternatif lain bahan pengikat perkerasan jalan. Alternatif yang bisa dilakukan adalah pemanfaatan aspal alam yang terdapat di pulau Buton Sulawesi Tenggara dari Indonesia dikenal dengan nama Asbuton. Dengan jumlah deposit Asbuton yang mencapai 650 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil aspal alam terbesar di dunia. Asbuton juga memiliki kelebihan, yaitu titik lembeknya lebih tinggi dari aspal minyak dan ketahanan Asbuton yang cukup tinggi terhadap panas, sehingga membuatnya tidak mudah meleleh. Sesuai dengan keluarnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.35/2006, saat ini pemerintah juga bertekad untuk menggalakkan penggunaan Asbuton pada pekerjaan jalan. Secara ekonomis penggunaan oli bekas sebagai modifier pada campuran beraspal dikarenakan oli bekas memiliki nilai guna tambah dalam pemanfaatannya dan mudah untuk didapatkan. Sejalan dengan perkembangan kota dan daerah, volume oli bekas terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor dan mesin-mesin bermotor. Pada penelitian ini lebih difokuskan pada oli bekas karena diharapkan mampu mengatasi kelemahan campuran beraspal panas dengan Asbuton yaitu tingkat kepadatan yang relatif lebih rendah dan nilai VIM yang lebih


(14)

tinggi. Oli bekas mempunyai nilai titik nyala setara aspal sehingga tidak mudah menguap dan nilai viskositas tinggi untuk melunakkan mineral yang terkandung dalam Asbuton agar mampu mengisi rongga dalam campuran dan meningkatkan kepadatan

Penelitian ini menggunakan campuran Lataston menggunakan agregat bergradasi senjang dengan maksud agar dapat mengakomodasi kadar aspal yang relatif lebih tinggi dari pada gradasi menerus sehingga lebih fleksibel, namun masih cukup stabil untuk menahan lalu lintas yang relatif berat.

1.2 Batasan Penelitian

Masalah pada penelitian ini dibatasi pada sifat dan karakteristik campuran Lataston (HRS-WC) dengan melakukan pengujian di Laboratorium Jalan Raya, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Lampung. Ruang lingkup dan batasan masalah pada penelitian ini adalah :

a. Agregat yang digunakan berasal dari PT. Sumber Batu Berkah, Tanjungan- Lampung Selatan.

b. Aspal Buton yang digunakan yaitu Asbuton Lawele.

c. Aspal yang digunakan adalah aspal produksi Pertamina pen 60/70.

d. Oli bekas yang digunakan adalah oli bekas kendaraan mobil merk Castrol Magnatec SAE 10W-40 setelah pemakaian 5000 km.

e. Gradasi agregat campuran Lataston (HRS-WC) gradasi senjang batas tengah. f. Pengujian Marshall.


(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan oli bekas pada campuran Lataston (HRS-WC) terhadap pengujian Marshall meliputi VMA, VIM, VFA, stabilitas, kelelehan dan Marshall Quotient.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yaitu:

a. Menambah alternatif pilihan penggunaan bahan perkerasan yang lebih ekonomis dan mudah didapatkan.

b. Mengatasi masalah limbah oli bekas terhadap lingkungan.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana transportasi, dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan sesuai dengan mutu yang diharapkan, maka pengetahuan tentang sifat, pengadaan dan pengolahan dari bahan penyusun perkerasan jalan sangat diperlukan (Silvia Sukirman, 2003). Berdasarkan bahan pengikatnya struktur lapisan perkerasan jalan dapat dibedakan atas :

1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perekerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.

3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu penggabungan perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur.


(17)

Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalur lalu lintas dengan lalu lintas utama kendaraan penumpang, jalan perkotaan dengan system utilitas yang kurang baik dan terletak di bawah perkerasan jalan, untuk perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap. Lapisan perkerasan lentur dibuat berlapis-lapis, lapisan paling atas mempunyai mutu yang lebih baik dari lapisan dibawahnya. Struktur perkerasan lentur yang dibangun dari beberapa lapisan terdiri dari :

1. Lapisan permukaan (surface course) 2. Lapisan pondasi atas (base course) 3. Lapisan pondasi bawah (subbase course) 4. Lapisan tanah dasar (subgrade)

Lapisan perkerasan yang terletak paling atas disebut lapisan permukaan. Lapisan permukaan memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Lapis perkerasan penahan beban vertical dari kendaraan, sehingga lapisan harus mempunyai stabilitas tinggi selama masa pelayanan.

2. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menerima gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.

3. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke lapisan dibawahnya yang dapat mengakibatkan rusaknya konstruksi perkerasan jalan. 4. Lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi, sehingga dapat dipikul oleh

lapisan lain yang mempunyai daya dukung rendah.

Lapis pondasi atas adalah bagian dari perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah atau dengan tanah apabila tidak menggunakan lapis pondasi bawah. Fungsi lapis ini adalah :


(18)

1. Lapis pendukung bagi lapis permukaan. 2. Pemikul beban horizontal dan vertikal. 3. Lapis perkerasan bagi pondasi bawah.

Lapis pondasi bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar. Fungsi lapis ini adalah :

1. Penyebar beban roda. 2. Lapis peresapan.

3. Lapis pencegah masuknya tanah dasar ke lapis pondasi. 4. Lapis pertama pada pembuatan perkerasan.

Tanah dasar (subgrade) adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan tanah dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya.

2.2Bahan Penyusun Perkerasan Lentur

Komponen pembentuk lapisan perkerasan terdiri dari tiga bahan utama yaitu agregat (batu pecah), aspal, dan filler (bahan pengisi).

2.2.1 Agregat

Agregat adalah suatu kombinasi dari pasir, kerikil, batu pecah atau kombinasi material lain yang digunakan dalam campuran beton aspal.

Pemilihan jenis agregat yang sesuai untuk digunakan pada konstruksi perkerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu gradasi, kekuatan, bentuk butir, tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat kimia. Jenis dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan atau stabilitas suatu perkerasan


(19)

jalan. Fungsi dari agregat dalam campuran aspal adalah sebagai kerangka yang memberikan stabilitas campuran jika dilakukan dengan alat pemadat yang tepat. 2.2.1.1Klasifikasi Agregat

Agregat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Silvia Sukirman, 2003) : 1. Berdasarkan proses pengolahannya, agregat dapat dibedakan menjadi :

a. Agregat Alam

Agregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya di alam atau dengan sedikit proses pengolahannya dinamakan agregat alam. Dua bentuk agregat yang sering digunakan yaitu :

1) Kerikil adalah agregat dengan ukuran partikel lebih besar dari ¼ inch (6,35 mm).

2) Pasir adalah agregat dengan ukuran partikel kecil dari ¼ inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm (saringan no.200).

b. Agregat yang melalui proses pengolahan

Di gunung-gunung atau di bukit-bukit dan di sungai sering ditemui agregat berbentuk besar-besar melebihi ukuran yang diinginkan, sehingga diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai agregat konstruksi perkerasan jalan. Agregat ini harus melalui proses pemecahan terlebih dahulu supaya diperoleh :

1) Bentuk partikel bersudut, diusahakan berbentuk kubus.

2) Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan yang baik. 3) Gradasi sesuai yang diinginkan.


(20)

Proses pemecahan agregat sebaiknya menggunakan mesin pemecah batu (stone crusher) sehingga ukuran partikel-partikel yang dihasilkan dapat terkontrol, berarti gradasi yang diharapkan dapat dicapai spesifikasi yang telah ditetapkan. c. Agregat buatan

Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan ukuran <0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen dan pemecah batu. 2. Berdasarkan besar partikel-partikel (ukuran butiran) agregat, dapat dibedakan

menjadi :

a. Agregat kasar adalah agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No.4.

b. Agregat halus adalah agregat dengan ukuran butir lebih halus saringan no.4 dan tertahan no.200.

c. Bahan pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos saringan no.200.

2.2.1.2 Bentuk dan Tekstur Agregat

Bentuk dan tekstur agregat mempengaruhi stabilitas dari lapisan perkerasan yang dibentuk oleh agregat tersebut. Agregat yang paling baik untuk digunakan sebagai bahan perkerasan jalan adalah berbentuk kubus, tetapi jika tidak ada, maka agregat yang memiliki minimal satu bidang pecahan, dapat digunakan sebagai alternatif berikutnya. Partikel agregat dapat berbentuk sebagai berikut :

1. Bulat (rounded)

Agregat yang dijumpai di sungai pada umumnya telah mengalami pengikisan oleh air sehingga umumnya berbentuk bulat. Partikel agregat saling bersentuhan


(21)

dengan luas bidang kontak kecil sehingga menghasilkan daya interlocking yang lebih kecil dan lebih mudah tergelincir.

2. Lonjong (elongated)

Partikel agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai-sungai atau bekas endapan sungai. Agregat dikatakan lonjong jika ukuran terpanjangnya lebih panjang dari 1,8 kali diameter rata-rata. Sifat interlocking -nya hampir sama dengan yang berbentuk bulat.

3. Kubus (cubical)

Partikel berbentuk kubus merupakan bentuk agregat hasil dari mesin pemecah batu (stone crusher) yang mempunyai bidang kontak yang lebih luas sehingga memberikan interlocking /saling mengunci yang lebih besar. Dengan demikian kestabilan yang diperoleh lebih besar dan lebih tahan terhadap deformasi yang timbul. Agregat berbentuk kubus ini paling baik digunakan sebagai bahan konstruksi perkerasan jalan.

4. Pipih (flaky)

Partikel agregat berbentuk pipih dapat merupakan hasil dari mesin pemecah batu ataupun memang merupakan sifat dari agregat tersebut yang jika dipecahkan cenderung berbentuk pipih. Agregat pipih yaitu agregat yang lebih tipis dari 0,6 kali diameter rata-rata. Agregat berbentuk pipih mudah pecah pada waktu pencampuran, pemadatan ataupun akibat beban lalu lintas.

5. Tak beraturan (irregular)

Partikel agregat tak beraturan, tidak mengikuti salah satu yang disebutkan di atas.


(22)

Tekstur permukaan berpengaruh pada ikatan antara batu dengan aspal. Tekstur permukaan agregat terdiri atas :

1. Kasar sekali (very rough) 2. Kasar (rough)

3. Halus

4. Halus dan licin (polished)

Permukaan agregat yang halus memang mudah dibungkus dengan aspal, tetapi sulit untuk mempertahankan agar film aspal itu tetap melekat, karena makin kasar bentuk permukaan maka makin tinggi sifat stabilitas dan keawetan suatu campuran aspal dan agregat.

2.2.1.3 Gradasi Agregat

Gradasi atau distribusi partikel-partikel berdasarkan ukuran agregat merupakan hal yang penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi agregat mempengaruhi besarnya rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi adalah susunan butir agregat sesuai ukurannya. Ukuran butir agregat dapat diperoleh melalui pemeriksaan analisa saringan. Satu set saringan umumnya terdiri dari saringan berukuran 4 inci, 3½ inci, 3 inci, 2½ inci, 2 inci, 1½ inci, 1 inci, ¾ inci, ½ inci, 3/8 inci, No.4, No.8, No.16, No.30, No.50, No.100, No.200.

Gradasi agregat dinyatakan dalam persentase lolos atau persentase tertahan yang dihitung berdasarkan berat agregat. Gradasi agregat menentukan besarnya rongga atau pori yang mungkin terjadi dalam agregat campuran. Campuran agregat yang baik adalah agregat yang terdiri dari agregat berukuran besar sampai kecil secara


(23)

merata, hal tersebut dikarenakan rongga yang terbentuk oleh agregat berukuran besar akan diisi oleh agregat yang lebih kecil.

2.2.1.4 Jenis Gradasi Agregat

Gradasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu gradasi rapat, gradasi seragam dan gradasi timpang.

1. Gradasi Rapat (Dense Graded/ Well Graded)

Gradasi rapat merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang berimbang, sehingga dinamakan juga agregat bergradasi baik (well graded). Agregat dengan gradasi rapat akan menghasilkan lapis perkerasan dengan stabilitas tinggi, kurang kedap air, sifat drainase jelek dan berat volume besar. 2. Gradasi Seragam (Uniform Graded)

Gradasi seragam adalah agregat dengan ukuran yang hampir sama/ sejenis atau mengandung agregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka. Agregat dengan gradasi seragam akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang dan berat volume kecil.

3. Gradasi Timpang/Senjang (Poorly Graded/ Gap Graded)

Gradasi timpang merupakan campuran agregat yang tidak memenuhi dua kategori di atas. Agregat bergradasi timpang umumnya digunakan untuk lapisan perkerasan lentur yaitu gradasi senjang, merupakan campuran agregat dengan 1 fraksi hilang dan 1 fraksi sedikit sekali. Agregat dengan gradasi timpang akan menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak diantara kedua jenis di atas.


(24)

2.2.2Aspal Buton

Indonesia memiliki aspal alam yaitu di pulau Buton, yang berupa aspal gunung terkenal dengan nama Asbuton. Ditemukan di Indonesia pada tahun 1926 oleh Hetzel, seorang geolog Belanda di Pulau Buton provinsi Sulawesi Tenggara. Selanjutnya aspal tersebut diolah oleh PT Perusahaan Aspal Negara sampai akhirnya dilaksanakan (salah satunya) oleh PT Sarana Karya (BUMN).

Material alam mengandung aspal yang tersedia di Pulau Buton mempunyai cadangan yang sangat besar terdapat sampai 650 juta ton material alam mengandung aspal dengan kadar aspal bervariasi antara 10 % sampai 50 % dengan lokasi tersebar dari Teluk Sampolawa sampai Teluk Lawale sepanjang 75 kilometer di wilayah Kabupaten Muna.

Bitumen Asbuton berasal dari endapan minyak bumi yang berada dekat dengan permukaan bumi yang mengalami destilasi alam dalam waktu yang lama dan terus menerus. Perbandingan berat aspal yang terkandung dalam asbuton terhadap berat total asbuton (kandungan asbuton terdiri dari aspal dan mineral) dalam satuan persen. Asbuton adalah sumber daya Indonesia berupa aspal alam yang terkandung dalam deposit bantuan yang terdapat di Pulau Buton dan sekitarnya. Sifat – sifat asbuton adalah sebagai berikut :

1. Tambang Kabungka

Penetrasi aspal rendah (<10), kadar air tinggi (> 10%), kadar aspal 12-20%. 2. Tambang Lawale


(25)

2.2.2.1Pengembangan Produk Asbuton

Saat ini asbuton sudah dikembangkan dalam bentuk aspal butiran (granular asphalt) dan aspal matic (mastic asphalt). Aspal butiran adalah produk Aspal Buton yang diproses dari Tambang Kabungka atau Lawele, yang digunakan sebagai bahan tambah (additivies) yang sangat bermanfaat untuk lalu-lintas berat untuk menghindari terjadinya deformasi.

Sedangkan aspal matic, berasal dari Tambang Lawele dengan kandungan aspal yang tinggi sehingga berfungsi sebagai bahan substitusi aspal minyak dalam campuran perkerasan jalan. Aspal Buton mastic dapat digunakan untuk konstruksi lapisan penetrasi (Lapen) dengan system padat karya sehingga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Konstruksi lapisan penetrasi sangat cocok diterapkan di Jalan Kabupaten dan Pedesaan.

2.2.2.2Jenis dan Sifat Asbuton

Aspal Buton untuk keperluan bahan konstruksi jalan dibagi dalam 2 kategori yaitu : 1. Produk Aspal Buton yang masih mengandung mineral, seperti Asbuton kasar

Asbuton halus , Asbuton mikro, Butonic Mastic Asphalt.

2. Produk Aspal Buton yang dimurnikan menjadi aspal murni dengan cara ekstraksi atau proses kimiawi.

Berdasarkan temperatur ketika mencampur dan memadatkan campuran, suhu pelaksanaan pencampuran Asbuton hingga saat ini digunakan sebagai berikut : 1. Secara dingin

Pencampuran dilaksanakan pada suhu ruangan. Campuran secara dingin tidak dapat langsung dihamparkan di lapangan, tetapi harus diperam lebih dahulu


(26)

(1-3 hari) agar bahan pelunak diberi kesempatan meresap ke dalam butiran Asbuton. Lama waktu pengeraman tergantung dari:

a. Diameter butir Asbuton, semakin besar butiran , waktu peram makin lama. b. Kadar air yang terkandung dalam Asbuton.

c. Cuaca setempat.

d. Kekentalan bahan pelunak, makin encer peresapan akan makin cepat, sehingga lama pemeraman lebih singkat.

e. Kadar aspal dalam Asbuton.

2. Secara hangat, Asbuton dicampur dengan bahan peremaja dengan suhu campuran dibawah 100°C

3. Secara panas, Asbuton langsung digunakan untuk mengurangi konsumsi aspal minyak dengan suhu campuran diatas 100°C

2.2.2.3 Manfaat Material Asbuton dalam Campuran

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pemakaian asbuton dalam campuran beraspal sebagai berikut :

1. Aspal alam asbuton tidak melalui proses destilasi, masih banyak mengandung asphaltene, resin, dan minyak – minyak alami yang memelihara sifat lengket sehingga tahan terhadap pengaruh air, memiliki kekuatan yang tinggi (memiliki stabilitas tinggi), lentur (tahan terhadap kerusakan fatigue, dan awet (tahan terhadap aging atau penuaan dini);

2. Penggunaan asbuton granular dalam campuran – beraspal dapat meningkatkan stabilitas dinamis dari konstruksi jalan;


(27)

3 Memiliki sifat titik lembek tinggi sehingga sangat sesuai bila dicampur dengan aspal minyak untuk meningkatkan ketahanan terhadap panas permukaan jalan (deformasi plastis), sinar ultraviolet (aging dan getas) dan kelelahan (fatigue) akibat beban berulang;

4 Hampir tanpa mengandung parafin, sehingga bila dicampurkan dengan aspal minyak yang parafinic akan mengurangi jumlah parafin dalam campuran (aspal akan lebih lengket);

5 Memiliki kandungan filler alami yang tercampur rata sehingga membentuk mastic aspal alam yang stabil;

6 Material lokal yang tidak terpengaruh dengan harga minyak dunia, bahkan mungkin bisa menjadi komoditi dunia.

2.2.2.4 Asbuton Untuk Bahan Jalan

Jenis-jenis asbuton yang telah diproduksi, baik secara fabrikasi maupun secara manual pada tahun-tahun belakangan ini adalah asbuton butir atau mastik asbuton, aspal yang dimodifikasi dengan asbuton dan bitumen asbuton hasil ekstraksi yang dimodifikasi.(DPU, Direktorat Jenderal Bina Marga; Buku 1: Pedoman Pemanfaatan Asbuton, 2006).

1. Asbuton Butir

Asbuton butir adalah hasil pengolahan dari Asbuton berbentuk padat yang dipecah dengan alat pemecah batu (crusher) atau alat pemecah lainnya yang sesuai sehingga memiliki ukuran butir tertentu. Melalui pengolahan ini diharapkan dapat mengeliminasi kelemahan kelemahan, yaitu ketidak seragaman kandungan bitumen dan kadar air serta dengan membuat ukuran maksimum butir yang lebih


(28)

halus sehingga diharapkan dapat lebih mempermudah termobilisasinya bitumen asbuton dari dalam butiran mineralnya.

2. Asbuton Hasil Ekstraksi

Ekstraksi asbuton dapat dilakukan secara total hingga mendapatkan bitumen asbuton murni atau untuk memanfaatkan keunggulan mineral asbuton sebagai filler, ekstraksi dilakukan hingga mencapai kadar bitumen tertentu. Produk ekstraksi asbuton dalam campuran beraspal dapat digunakan sebagai bahan tambah (aditif) aspal atau sebagai bahan pengikat sebagaimana halnya aspal standar siap pakai atau setara aspal keras yang dikenal dengan Asbuton modifikasi.Bahan baku untuk membuat aspal hasil ekstraksi asbuton ini dapat dilakukan dari asbuton dengan nilai penetrasi rendah (misal asbuton eks Kabungka) atau asbuton dengan nilai penetrasi tinggi (misal asbuton eks Lawele). Bahan pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi asbuton diantaranya adalah kerosin, algosol, naptha, normal heptan, asam sulfat dan trichlor ethylen ( TCE ). Terdapat beberapa produk hasil ekstraksi (refine) asbuton dengan kadar/kandungan bitumen antara 60 hingga 100%. Apabila bitumen hasil ekstraksi yang keras (penetrasi rendah) maka untuk membuat bitumen tersebut setara dengan Aspal Keras Pen 40 dan Pen 60 dapat dilunakkan dengan bahan pelunak (minyak berat) dengan komposisi tertentu. Hasil ekstraksi Asbuton yang masih memiliki mineral antara 50% sampai dengan 60%, agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengikat masih memerlukan pelunak atau peremaja sehingga yang selama ini telah digunakan dilapangan adalah dengan mencampurkan hasil

ekstraksi tersebut dengan aspal keras atau dikenal dengan istilah “Aspal yang dimodifikasi dengan Asbuton”.


(29)

Tabel 2.1. Persyaratan Bitumen Asbuton

Pemeriksaan

Cara Pemeriksaan

Satuan Min. Maks.

Penetrasi 25ºC, 5 detik Titik lembek (ring ball) Titik nyala (clev. oven cup) Kehilangan berat 163ºC, 5 jam Daktilitas 25ºC, 5 cm/menit Kelarutan (C2HCl3)

Penetrasi setelah kehilangan berat Daktilitas setelah kehilangan berat Berat Jenis 25ºC

SNI 06-2456-1991 SNI 06-2434-1991 SNI 06-2433-1991 SNI 06-2440-1991 SNI 06-2432-1991 PA 0305-76 SNI 06-2456-1991 SNI 06-2432-1991 SNI 06-2441-1991 40 55 25 - 100 99 65 50 1 60 - - 1 - - - - - 0,1 cm oC oC % berat cm % berat % semula cm

(Sumber : Pemanfaatan Asbuton Buku 3 Campuran Beraspal Panas dengan Asbuton Olahan))

Tabel 2.2. Kadar Bitumen

Kode Nama Kadar Bitumen

(%) B 10 Asbuton B 10 9,0 – 11,4 B 13 Asbuton B 13 11,5 – 14,5 B 16 Asbuton B 16 14,6 – 17,9 B 20 Asbuton B 20 18 - 22,5 B 25 Asbuton B 25 22,6 – 27,4 B 30 Asbuton B 30 27,5 – 32,5

(Sumber : Pemanfaatan Asbuton Buku 3 Campuran Beraspal Panas dengan Asbuton Olahan)


(30)

Tabel 2.3. Persyaratan Asbuton Butir Sifat-sifat Asbuton Metoda Pengujian Tipe

5/20 Tipe 15/20 Tipe 15/25 Tipe 20/25 Kadar bitumen asbuton;

%

SNI 03-3640-1994 18-22 18 - 22 23-27 23-27

Ukuran butir

- Lolos Ayakan No 4 (4,75 mm); %

SNI 03-1968-1990 100 100 100 100 - Lolos Ayakan No 8

(2,36 mm); %

SNI 03-1968-1990 100 100 100 Min 95 - Lolos Ayakan No 16

(1,18 mm); %

SNI 03-1968-1990 Min 95 Min 95 Min 95 Min 75 Kadar air, % SNI 06-2490-1991 Maks 2 Maks 2 Maks 2 Maks 2 Penetrasi aspal asbuton

pada 25 °C,

SNI 06-2456-1991 ≤10 10 - 18 10 - 18 19 - 22 100 g, 5 detik; 0,1 mm

(Sumber : Pemanfaatan Asbuton Buku 3 Campuran Beraspal Panas dengan Asbuton Olahan)

Persyaratan Asbuton Butir :

1. Asbuton butir Tipe 5/20: Kelas penetrasi 5 (0,1 mm) dan kelas kadar bitumen 20 %.

2. Asbuton butir Tipe 15/20 : Kelas penetrasi 15 (0,1 mm) dan kelas kadar bitumen 20 %.

3. Asbuton butir Tipe 15/25 : Kelas penetrasi 15 (0,1 mm) dan kelas kadar bitumen 25 %.

4. Asbuton butir Tipe 20/25 : Kelas penetrasi 20 (0,1 mm) dan kelas kadar bitumen 25 %.


(31)

2.2.2.5Keunggulan dan Kelemahan Asbuton

Pada dasarnya Asbuton dapat digunakan pada setiap jenis lapisan beraspal. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kekakuan dengan batas fleksibilitas yang cukup untuk menahan beban lalu lintas tanpa mengalami kerusakan diluar rencana.

Oleh karena itu, penggunaan Asbuton pada pekerjaan pengaspalan adalah sebagai berikut :

1. Campuran beraspal panas digunakan untuk lapis aus, antara, dan pondasi. 2. Campuran beraspal hangat digunakan untuk lapis aus, antara, dan pondasi. 3. Campuran beraspal dingin digunakan untuk lapis aus, antara, dan pondasi. 4. Lapis tipis Asbuton pasir.

5. Lapis tipis Asbuton.

6. Lapis penetrasi macadam Asbuton.

Asbuton di dalam lapisan beraspal akan berfungsi sebagai berikut :

1. Bahan tambah (filler) yang akan meningkatkan kemampuan lapisan beraspal saat beban lalu lintas bertambah. Umumnya Asbuton yang digunakan adalah jenis butir dengan penetrasi bitumen rendah.

2. Pengganti aspal keras. Asbuton yang umumnya digunakan adalah jenis murni hasil ekstraksi atau Asbuton butir jenis LGA (Lawele Granural Asphalt) pada pekerjaan lapis macadam.

Adapun keunggulan dan kelemahan Asbuton (Mita, 2010) yaitu : 1. Keunggulan Asbuton :

Kelebihan Asbuton yaitu titik lembeknya lebih tinggi dari aspal minyak dan ketahanan (stabilitas) Asbuton yang cukup tinggi membuatnya tahan terhadap panas


(32)

dan menjadi tidak mudah meleleh, sehingga dapat meningkatkan daya tahan infrastruktur jalan raya di Indonesia. Deposit Asbuton dalam jumlah besar dapat menjamin pasokan kebutuhan akan aspal. Dari pengujian yang telah dilakukan, didapat hasil campuran beraspal yang ditambah Asbuton menghasilkan campuran beraspal yang bermutu baik dengan kecenderungan sebagai berikut :

a. Stabilitas Marshall campuran beraspal yang tinggi b. Stabilitas dinamis campuran beraspal yang tinggi c. Meningkatkan umur konstruksi (dari hasil uji fatigue) d. Lebih tahan terhadap perubahan temperature

e. Nilai modulus yang meningkat

Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, Asbuton cocok digunakan untuk lokasi temperature tinggi daerah tropis seperti di Indonesia.

2. Kelemahan Asbuton :

Kurangnya pemanfaatn Asbuton disebabkan pula karena Asbuton memiliki kelemahan seperti : mineral yang tidak homogen, dan mudah pecah akibat rendahnya penetrasi dan daktalitas dari Asbuton.

Meskipun telah melewati proses fabrikasi, Asbuton juga masih memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut :

a. Inkonsistensi kualitas produksi Asbuton, yang berupa : kandungan bitumen, penetrasi bitumen, kadar air Asbuton.

b. Belum terjaminnya ketersediaan Asbuton pada saat pelaksanaan di lapangan. c. Biaya transportasi pengiriman ke pengguna yang relative mahal.


(33)

d. Ketidaksesuaian kemampuan pasokan oleh pabrik pengolah Asbuton dengan kebutuhan proyek pengguna yang ditunjang oleh kebijakan Ditjen Bina Marga. e. Pola kerjasama antara produsen dan konsumen yang belum menemukan titik

harmonis.

2.2.3 Aspal Minyak

Aspal minyak adalah aspal yang merupakan residu destilasi minyak bumi. Setiap minyak bumi dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang banyak mengandung aspal, parafin base crude oil yang mengandung banyak parafin, atau mixed base crude oil yang mengandung campuran antara parafin dan aspal. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan aspal minyak jenis asphaltic base crude oil. Berikut adalah klasifikasi dari aspal buatan:

1. Menurut bahan dasar aspal. Aspal dibedakan menjadi :

a. Dari bahan hewani (animal origin), yaitu diperoleh dari pengolahan crude oils. Dari proses pengolahan crude oils akan diperoleh bahan bakar dan residu, yang jika diproses lanjut akan diperoleh aspal/bitumen.

b. Dari bahan nabati (vegetable origin), yaitu diperoleh dari pengolahan batu bara/coal, dalam hal ini akan diperoleh tar.

2. Menurut Tingkat Kekerasannya, aspal minyak/ aspal murni/ petroleom asphalt , diklasifikasikan menjadi :

a. Aspal Keras/ Aspal Panas/ Aspal Semen (Asphalt Cement), merupakan aspal yang digunakan dalam keadaan panas. Aspal ini berbentuk padat pada keadaan penyimpanan dalam temperatur ruang (250-300 °C).


(34)

Merupakan jenis aspal buatan yang langsung diperoleh dari penyaringan minyak dan merupakan aspal yang terkeras. Berdasarkan tingkat kekerasan/kekentalannya maka aspal semen dibedakan menjadi :

a. AC 40-50 b. AC 60-70 c. AC 85-100 d. AC 120-150 e. AC 200-300

Angka-angka tersebut menunjukkan kekerasan aspal, yaitu yang paling keras adalah AC 40-50 dan yang terlunak adalah AC 200-300. Angka kekerasan adalah berapa dalam masuknya jarum penetrasi ke dalam contoh aspal.

Tabel 2.4. Ketentuan untuk Aspal Keras Pen 60-70

No Jenis Pengujian Metode Persyaratan

1 Penetrasi, 25 oC, 100 gr, 5 detik; 0,1 SNI 06-2456-1991 60 - 70 2 Viskositas 135 oC (cSt) SNI 06-6441-2000 385

3 Titik Lembek; oC SNI 06-2434-1991 ≥ 48

4 Indeks Penetrasi - ≥ -1,0

5 Titik Nyala; oC SNI 06-2433-1991 ≥ 232

6 Daktilitas, 25 oC; cm SNI 06-2432-1991 ≥ 100

7 Berat Jenis SNI 06-2411-1991 ≥ 1,0

8 Kelarutan dalam Toluene; % berat ASTM D5546 ≥ 99 9 Penurunan berat (dengan TFOT); % SNI 06-2440-1991 ≤ 0,8 10 Penetrasi setelah Penurunan Berat; % SNI 06-2456-1991 ≥ 54

(Sumber:Spesifikasi Pelaksanaan Teknis Bina Marga 2010)

Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas atau lalu lintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah bercuaca dingin atau lalu lintas dengan volume rendah.


(35)

Di Indonesia pada umumnya dipergunakan aspal dengan penetrasi 60-70 dan 80-100.

b. Aspal cair (Cut Back Asphalt / Liquid asphalt)

Aspal cair bukan merupakan produksi langsung dari penyaringan minyak kasar (crude oil), melainkan produksi tambahan, karena harus melalui proses lanjutan terlebih dahulu. Aspal cair adalah campuran antara aspal semen dengan bahan pencair dari hasil penyulingan minyak bumi. Dengan demikian cut back asphalt berbentuk cair dalam temperatur ruang.

Berdasarkan bahan pencairnya dan kemudahan menguap bahan pelarutnya, aspal cair dapat dibedakan menjadi :

1) RC (Rapid Curing cut back)

Merupakan suatu produksi campuran dari aspal semen dengan penetrasi relatif agak keras (biasanya AC 85/100) yang dilarutkan dengan gasoline (bensin atau premium). RC merupakan cut back asphalt yang paling cepat menguap.

2) MC (Medium Curing cut back)

Merupakan suatu produksi campuran dari aspal semen dengan penetrasi yang lebih lunak (biasanya AC 120-150) dengan minyak, yang tingkat penguapannya lebih kecil dari gasoline, yaitu kerosene.


(36)

Merupakan suatu produksi campuran dari aspal semen dengan penetrasi lunak (biasanya AC 200-300) dengan minyak diesel, yang hampir tidak mempunyai penguapan.

Aspal jenis ini merupakan cut back asphalt yang paling lama menguap. Untuk keperluan lapis resap pengikat (prime coat) digunakan aspal cair jenis MC-30, MC-70, dan MC-250, sedangkan untuk lapis pengikat (tack coat) digunakan aspal cair jenis RC-70 dan RC-250.

c. Aspal Emulsi

Aspal emulsi suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengemulsi. Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan atas :

1) Kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi yang bermuatan arus listrik positif.

2) Anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang bermuatan negatif.

3) Nonionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi, berarti tidak menghantarkan listrik.

Aspal yang umum digunakan sebagai bahan perkerasan jalan adalah aspal emulsi anionik dan kationik. Berdasarkan kecepatan pengerasannya aspal emulsi dapat dibedakan atas :


(37)

1) RS (Rapid Setting), aspal yang mengandung sedikit bahan pengemulsi sehingga pengikatan yang terjadi cepat.

2) MS (Medium Setting).

3) SS (Slow Setting), jenis aspal emulsi yang paling lambat menguap. 2.2.3.1 Karakteristik Aspal Minyak

Aspal terdiri dari senyawa hidrokarbon, nitrogen dan logam lain, sesuai jenis minyak bumi dan proses pengolahannya. Mutu kimiawi aspal ditentukan dari komponen pembentuk aspal. Saat ini telah banyak metode yang digunakan untuk meneliti komponen-komponen pembentuk aspal.

Secara garis besar komposisi kimia aspal terdiri dari asphaltenese, resins dan oils. Asphaltenese terutama terdiri dari senyawa hidrokarbon, merupakan material berwarna hitam atau coklat tua yang tidak larut dalam n-heptane. Asphaltenese menyebar di dalam larutan yang disebut maltenese. Maltenese larut dalam heptane, merupakan cairan kental yang terdiri dari resins dan oils. Resins adalah cairan berwarna kuning atau coklat tua yang memberikan sifat adhesi dari aspal, merupakan bagian yang mudah hilang atau berkurang selama masa pelayanan jalan, sedangkan oils yang berwarna lebih muda merupakan media dari asphaltenes dan resin. Maltenes merupakan komponen yang mudah berubah sesuai dengan perubahan temperatur dan umur pelayanan.

2.2.4 Oli Bekas

Oli bekas merupakan produk sisa pemakaian dari bahan pelumas mesin. Pelumas atau oli merupakan sejenis cairan kental yang berfungsi sebagai pelicin, pelindung,


(38)

dan pembersih bagi bagian dalam mesin. Menurut Nawantoro (2012), Istilah-istilah yang lazim dimuat dalam label kemasan oli antara lain :

a. Viskositas

Bahasa sederhananya adalah kekentalan, dalam hal ini kekentalan oli. Society of Automotive Engineers (SAE) pada tahun 1911 telah mempublikasikan standar SAE J300 untuk viskositas oli mesin. Pada awalnya hanya ada angka-angka 10, 20, 30, 40, 50 untuk merepresentasikan viskositas. Angka 10 menyatakan mampu alir (flow rate) oli pada temperatur 100 °C (210 °F) adalah kurang dari 14 detik, sementara pada angka 50 menunjukkan lebih dari 45 detik. Makin besar angkanya makin kental, artinya makin lambat untuk mengalir.

Pada perkembangan berikutnya terdapat spesifikasi khusus "winter" dengan kode tambahan 'W", yang didasari kenyataan bahwa viskositas SAE 20 produk A dengan SAE 20 produk B berbeda pada temperatur 0 °F ( -17.7 °C). Selanjutnya muncul oli mesin dengan kemampuan multi-grade karena penambahan additive/enhancer sesuai perkembangan teknologi.

Angka viskositas ini banyak ditemui pada label kemasan oli mesin yang dijual di pasaran, misalnya SAE 20W-50, SAE 10W-40, SAE 10W-30 dan lain-lain. SAE 10W-30 artinya oli tersebut memenuhi spesifikasi SAE 30 dan mempunyai karakteristik SAE 10 pada cuaca dingin (winter temperature).

b. Viscosity Index (VI)

Angka VI biasanya tidak dimunculkan pada label kemasan, padahal angka ini penting. Angka VI menunjukkan kemampuan oli mesin mempertahankan


(39)

viskositasnya pada kondisi tertentu. Artinya, kalau spesifikasinya mengatakan viskositasnya memenuhi grade SAE 20 maka pada temperatur yang berbeda akan menunjukkan perilaku selayaknya SAE 20, dengan kata lain kinerjanya stabil. Cara pengujiannya mengacu pada standar ASTM D-2270. Angka VI tinggi menunjukkan stabilitas yang bagus. Makin tinggi makin bagus, namun tidak menunjukkan kemampuan oli tersebut menahan panas.

c. Flash Point

Flash point (titik nyala) menunjukkan angka temperatur tertentu ketika uap oli dapat terbakar. Makin tinggi flash point artinya oli makin tidak mudah menguap. d. API Certification

American Petroleum Institute (API) adalah salah satu badan yang dirujuk untuk melakukan sertifikasi produk. Saat tulisan ini dibuat spesifikasi terakhir adalah API SN yang diperkenalkan sejak Oktober 2010. API SN sudah mempertimbangkan "Resource Conserving" atau "Energy Conserving" terkait isu-isu lingkungan. Meski begitu di pasaran cukup sulit mendapatkan API SN, kebanyakan masih API SM. Selain API masih banyak lembaga lain yang melakukan sertifikasi seperti ILSAC and ACEA. Bahkan Mercedes-Benz dan Volkswagen punya standar sendiri untuk oli mesin. Makin banyak mendapatkan sertifikasi maka makin banyak yang mengakui kualitas oli mesin tersebut.

e. Koefisien Gesek Kinematik (cSt)

Lazim dimunculkan dengan istilah centiStokes (cSt), adalah angka yang menunjukkan koefisien gesek dalam hubungannya dengan fluid density


(40)

(http://en.wikipedia.org/wiki/Viscosity). Untuk oli mesin, angka koefisien ini diukur pada temperatur 40 °C (pada umumnya mesin dalam kondisi stasioner/langsam) dan 100 °C (dimana mesin bekerja keras).

Semakin kecil angkanya menunjukkan bahwa gesekan yang terjadi makin kecil. Dan lazimnya makin kecil angka SAE Grade-nya juga makin kecil pula angka cSt-nya.

f. Total Base Number (TBN)

TBN menunjukkan sisa zat aditif alkali yang terkandung dalam oli, dihitung dalam satuan mg KOH/g. Selain berfungsi melumasi, oli mesin juga berfungsi membersihkan (sebagai deterjen) dan mendinginkan mesin. Zat aditif ditambahkan untuk memperkaya fungsi oli. Karena bersifat alkali, zat aditif ini juga berfungsi menetralisir kandungan asam yang terbentuk akibat proses pembakaran, sehingga dengan kata lain melalui angka TBN kita dapat memprediksi apakah oli mesin tersebut sudah jenuh atau belum. Makin besar angkanya akan makin lama umur pakainya. Oli mesin yang sudah jenuh tidak dapat mencegah karat.

2.2.4.2 Pertimbangan Pemilihan Oli Bekas

Secara ekonomis penggunaan oli bekas sebagai modifier pada campuran beraspal dikarenakan oli bekas memiliki nilai guna tambah dalam pemanfaatannya dan mudah untuk didapatkan. Sejalan dengan perkembangan kota dan daerah volume oli bekas terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor dan mesin-mesin bermotor. Didaerah pedesaan sekalipun, sudah bisa ditemukan bengkel-bengkel kecil, yang salah satu limbahnya adalah oli bekas. Dengan kata lain,


(41)

penyebaran oli bekas sudah sangat luas dari kota besar sampai ke wilayah pedesaan di seluruh Indonesia.

2.2.4.3 Fungsi Modifier Oli Bekas

Suatu sifat penting dari bahan modifier adalah menghasilkan campuran beraspal yang stabil, tidak mudah menguap, dapat menaikkan mutu perkerasan, mudah penyimpanannya, sehingga dapat menghasilkan mutu aspal yang sama atau mendekati aslinya. (Tjitjik, 2002 dalam Jurnal Litbang Jalan, Volume 19 No. 3 Desember,134 - 142). Oli bekas mempunyai titik didih tinggi setara dengan aspal, sehingga penambahan oli bekas ke dalam aspal diperkirakan dapat memperbaiki kelemahan Asbuton.

Tabel 2.5. Hasil pengujian oli bekas

No Jenis Pengujian Hasil pengujian oli bekas

1 Viskositas pada 50°F, (cSt) ≥ 40

2 Titik nyala, °C ≥ 220

3 Berat jenis ≥ 0,850

4 Penurunan berat, % ≥ 1,5

5 Kadar paraffin, % ≥ 0,15

(Sumber : Jurnal Litbang Jalan, Volume 19 No. 3 Desember,134 - 142)

2.3 Campuran Beraspal

Campuran beraspal adalah tipe campuran pada lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang mempunyai nilai struktural dengan kualitas yang tinggi, terdiri atas agregat yang berkualitas yang dicampur dengan aspal sebagai bahan


(42)

pengikatnya. Material-material pembentuk campuran beraspal dicampur di instalasi pencampur pada suhu tertentu, kemudian diangkut ke lokasi, dihamparkan, dan dipadatkan. Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal apa yang akan digunakan. Dalam pencampuran aspal harus dipanaskan untuk memperoleh tingkat kecairan (viskositas) yang tinggi agar dapat mendapatkan mutu campuran yang baik dan kemudahan dalam pelaksanaan. Pemilihan jenis aspal yang akan digunakan ditentukan atas dasar iklim, kepadatan lalu lintas dan jenis konstruksi yang akan digunakan.

2.3.1 Jenis Campuran Beraspal

Jenis campuran beraspal dapat dibedakan berdasarkan suhu pencampuran material pembentuk beton aspal, dan fungsi campuran beraspal. Berdasarkan temperatur ketika mencampur dan memadatkan campuran, campuran beraspal dapat dibedakan atas:

1. Campuran beraspal panas (hot mix) adalah campuran beraspal yang material pembentuknya di campur pada suhu pencampuran sekitar 140°C.

2. Campuran beraspal sedang (warm mix) adalah campuran beraspal yang material pembentuknya di campur pada suhu pencampuran sekitar 60°C.

3. Campuran beraspal dingin (cold mix) adalah campuran beraspal yang material pembentuknya di campur pada suhu pencampuran sekitar 25°C.

Sedangkan berdasarkan fungsinya (Silvia Sukirman, 2003) campuran beraspal dapat dibedakan atas:


(43)

1. Campuran beraspal untuk lapisan aus/ wearing course (WC), adalah lapisan perkerasan yang berhubungan langsung dengan ban kendaraan, merupakan lapisan yang kedap air, tahan terhadap cuaca, dan mempunyai kekesatan yang diisyaratkan.

2. Campuran beraspal untuk lapisan pondasi/ binder course ( BC), adalah lapisan perkerasan yang terletak di bawah lapisan aus tidak berhubungan langsung dengan cuaca, tetapi perlu stabilisasi untuk memikul beban lalu lintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.

3. Campuran beraspal untuk pembentuk dan perata lapisan beton aspal yang sudah lama, yang pada umumnya sudah aus dan seringkali tidak lagi berbentuk crown . 2.3.1.1Campuran Beraspal Panas

Merupakan campuran yang terdiri dari kombinasi agregat yang dicampur dengan aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa sehingga permukaan agregat terselimuti aspal dengan seragam. Untuk mengeringkan agregat dan memperoleh kekentalan aspal yang mencukupi dalam mencampur dan mengerjakannya, maka kedua-duanya dipanaskan pada temperatur tertentu. Umumnya suhu pencampuran dilakukan pada suhu 145°C – 155°C.

Saat ini di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk aspal campuran panas yang digunakan untuk lapisan perkerasan jalan. Perbedaannya terletak pada jenis gradasi agregat dan kadar aspal yang digunakan. Pemilihan jenis campuran beraspal yang akan digunakan di suatu lokasi sangat ditentukan oleh jenis karakteristik campuran beraspal yang lebih diutamakan. Menurut Spesifikasi Bina Marga 2010 jenis campuran beraspal panas yang ada di Indonesia saat ini adalah:


(44)

1. Lapis Aspal Beton (Asphalt Concrete, AC)

Lapis Aspal Beton (Laston) adalah campuran beraspal bergradasi menerus yang umum digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas yang cukup berat.. Karakteristik yang terpenting pada campuran beraspal ini adalah stabilitas. Tebal nominal minimum Laston 4-6 cm. Sesuai fungsinya Laston mempunyai 3 macam campuran yaitu:

a. Laston sebagai lapis aus, dikenal dengan nama AC- WC (Asphalt Concrete- Wearing Course). Tebal nominal minimum AC- WC adalah 4 cm. Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm

b. Laston sebagai lapis pengikat, dikenal dengan nama AC- BC (Asphalt Concrete- Binder Course). Tebal nominal minimum AC- WC adalah 5 cm. Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 25,4 mm. c. Laston sebagai lapis pondasi, dikenal dengan nama AC- Base (Asphalt

Concrete- Base). Tebal nominal minimum AC- BC adalah 6 cm. Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 37,5 mm.

2. Lapisan Tipis Aspal Beton (Hot Rolled Sheet, HRS)

Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston) adalah campuran beraspal bergradasi senjang. Karakteristik yang terpenting pada campuran beraspal ini adalah durabilitas dan fleksibilitas. Sesuai fungsinya Lataston mempunyai 2 macam campuran yaitu: a. Lataston sebagai lapis aus, dikenal dengan nama HRS - WC (Hot Rolled Sheet-


(45)

b. Lataston sebagai lapis pondasi, dikenal dengan nama HRS - Base (Hot Rolled Sheet- Base). Tebal nominal minimum HRS - Base adalah 3,5 cm.

Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm. 3. Lapis Tipis Aspal Pasir (Sand Sheet, SS)

Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) adalah beton aspal untuk jalan-jalan dengan lalu lintas ringan, khususnya dimana agregat kasar tidak ada atau sulit diperoleh. Lapisan ini khusus mempunyai ketahanan alur (rutting) rendah. Oleh karena itu tidak diperkenankan untuk daerah berlalu lintas berat atau daerah tanjakan. Sesuai gradasi agregatnya, campuran latasir dapat dibedakan atas:

a. Latasir kelas A, dikenal dengan nama SS -A. Tebal nominal minimum SS-A adalah 1,5 cm.

b. Latasir kelas B, dikenal dengan nama SS -B. Tebal nominal minimum SS-A adalah 2 cm. Gradasi agregat SS-B lebih kasar dari SS-A.

Latasir biasanya memerlukan penambahan filler agar memenuhi kebutuhan sifat-sifat yang disyaratkan.

2.3.1.2Karakteristik Campuran

Karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh campuran beraspal panas adalah: 1. Stabilitas, yaitu kekuatan dari campuran aspal untuk menahan deformasi akibat

beban tetap dan berulang tanpa mengalami keruntuhan . Untuk mendapat stabilitas yang tinggi diperlukan agregat bergradasi baik, rapat, dan mempunyai rongga antar butiran agregat (VMA) yang kecil. Tetapi akibat VMA yang kecil


(46)

maka pemakaian aspal yang banyak akan menyebabkan terjadinya bleeding karena aspal tidak dapat menyelimuti agregat dengan baik.

2. Durabilitas atau ketahanan, yaitu ketahanan campuran aspal terhadap pengaruh cuaca, air, perubahan suhu, maupun keausan akibat gesekan roda kendaraan. Untuk mencapai ketahanan yang tinggi diperlukan rongga dalam campuran (VIM) yang kecil, sebab dengan demikian udara tidak (atau sedikit) masuk kedalam campuran yang dapat menyebabkan menjadi rapuh. Selain itu diperlukan juga VMA yang besar, sehingga aspal dapat menyelimuti agregat lebih baik.

3. Fleksibilitas atau kelenturan, yaitu kemampuan lapisan untuk dapat mengikuti deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas berulang tanpa mengalami retak (fatigue cracking). Untuk mencapai kelenturan yang tinggi diperlukan VMA yang besar, VIM yang kecil, dan pemakaian aspal dengan penetrasi tinggi. 4. Kekesatan (skid resistence) , yaitu kemampuan perkerasan aspal memberikan

permukaan yang cukup kesat sehingga kendaraan yang melaluinya tidak mengalami slip, baik diwaktu jalan basah maupun kering. Untuk mencapai kekesatan yang tinggi perlu pemakaian kadar aspal yang tepat sehingga tidak terjadi bleeding, dan penggunaan agregat kasar yang cukup.

5. Ketahanan leleh (fatigue resistence) , yaitu kemampuan aspal beton untuk mengalami beban berulang tanpa terjadi kelelahan berupa retak atau kerusakan alur (rutting).

6. Permeabilitas, yaitu kemudahan campuran aspal dirembesi udara dan air.

7. Workabilitas, yaitu kemudahan campuran aspal untuk diolah. Faktor yang mempengaruhi workabilitas antara lain gradasi agregat, dimana agregat yang


(47)

bergradasi baik lebih mudah dikerjakan, dan kandungan filler , dimana filler yang banyak akan mempersulit pelaksanaan.

2.4 Lataston

Lataston terdiri atas dua jenis yaitu Lataston Pondasi (untuk lapis perata) dan Lataston Lapis Aus (untuk lapis permukaan) yang masing-masing mempunyai ukuran butir agregat maksimum yang sama yaitu 19 mm.

Campuran Lataston menggunakan agregat bergradasi senjang dengan maksud agar dapat mengakomodasi kadar aspal yang relatif lebih tinggi dari pada gradasi menerus sehingga lebih fleksibel, namun masih cukup stabil untuk menahan lalu lintas yang relatif berat . Ketentuan batas–batas bahan bergradasi senjang yaitu bahan yang lolos ayakan 2,36 mm tetapi tertahan ayakan 0,600 mm harus diperhatikan.

Tabel 2.6. Gradasi Agregat untuk Lataston Gradasi Senjang

Ukuran Ayakan (mm)

Persentase Lolos Ayakan (%) HRS – WC HRS – Base

19 100 100

12,5 90 – 100 90 – 100

9,5 75 – 85 65 – 90

2,36 50 – 72 35 – 55

0,600 35 – 60 15 – 35

0,075 6 – 10 2 – 9


(48)

Tabel 2.7. Ketentuan Sifat-sifat Campuran Lataston

Sifat - sifat Campuran

Lataston

Lapis Aus Lapis pondasi

Senjang Semi

Senjang Senjang

Semi Senjang

Kadar aspal efektif (%) Min 5,9 5,9 5,5 5,5

Penyerapan aspal (%) Maks 1,7

Jumlah tumbukan per bidang 75

Rongga dalam campuran (%) Min 4,0

Maks 6,0

Rongga dalam agregat (%) Min 18 17

Rongga terisi aspal (%) Min 68

Stabilitas Marshall (kg) Min 800

Pelelehan (mm) Min 3

Marshall Quotient (kg/mm) Min 250

Stabilitas Marshall sisa (%) setelah

perendaman selama 24 jam, 60°C Min 90

Rongga dalam campuran (%) pada

kepadatan membal (refusal) Min 3

(Sumber:Spesifikasi Pelaksanaan Teknis Bina Marga 2010)

2.5 Pengujian Marshall

Kinerja campuran beraspal dapat diperiksa dengan menggunakan alat pemeriksaan Marshall yang pertama kali diperkenalkan oleh Bruce Marshall yang dikembangkan selanjutnya oleh U.S Corps of Engineer. Pemeriksaan dimaksudkan untuk menentukan ketahanan (stability) terhadap kelelhan plastis (flow) dari campuran aspal dan agregat.

Stabilitas adalah kemampuan suatu campuran aspal untuk menerima beban sampai terjadi kelelhan plastis yang dinyatakan dalam kg atau pound. Nilai ini diperoleh dengan mengalikan nilai jarum pada arloji penunjuk stabilitas pada alat uji Marshall dengan factor kalibrasi alat dan factor kalibrasi benda uji. Nilai yang diperoleh akan


(49)

menunjukkan struktural suatu campuran aspal yang dipengaruhi oleh kandungan aspal, susunan gradasi, dan kualitas agregat dalam campuran.

Kelelehan plastis (flow) adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran aspal yang terjadi akibat suatu beban sapai batas runtuh yang dinyatakan dalam mm atai 0.01 inch. Pengukuran kelelehan plastis dilakukan bersamaan dengan pengukuran stabilitas dimana nilai kelelehan dibaca pada saat benda uji mengalamai keruntuhan. Alat Marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan Proving ring (cincin penguji) berkapasitas 22,2 KN (5000 lbs) dan flowmeter. Proving ring digunakan untuk mengukur nilai stabilitas dan flowmeter untuk mengukur kelelehan plastis. Benda uji Marshall berbentuk silinder berdiameter 4 inchi (10,16 cm) dan tinggi 2,5 inchi (6,35 cm). Benda uji dipadatkan dengan menggunakan alat pemadat Marshall (Marshall Compaction Hammer) dengan berat 4,54 kg, diameter 3.7/8 inci dan tinggi jatuh 457 mm (18 inci). Melakukan penumbukan pada benda uji sebanyak 2 x 75 tumbukan.

2.5.1 Karakteristik Marshall

Karakteristik campuran panas agregat aspal dapat diukur dari sifat-sifat Marshall yang ditunjukan pada nilai-nilai sebagai berikut :

1. Void In Mineral Aggregate (VMA)

Void in Mineral Aggregate (VMA) adalah rongga udara antar butir agregat aspal padat, termasuk rongga udara dan kadar aspal efektif yang dinyatakan dalam persen terhadap total volume. Nilai VMA dipengaruhi oleh faktor pemadatan, yaitu jumlah dan temperature pemadatan, gradasi agregat dan kadar aspal.


(50)

Nilai VMA ini berpengaruh pada sifat kekedapan campuran terhadap air dan udara serta sifat elastis campuran. Dapat juga dikatakan bahwa nilai VMA menentukan stabilitas, fleksibilitas dan durabilitas. Nilai VMA yang disyaratkan adalah minimum 18 %.

3. Void in The Mix (VIM)

Void in The Mix (VIM) merupakan persentase rongga yang terdapat dalam total campuran. Nilai VIM berpengaruh terhadap keawetan lapis perkerasan, semakin tinggi nilai VIM menunjukkan semakin besar rongga dalam campuran sehingga campuran bersifat porous. Hal ini mengakibatkan campuran menjadi kurang rapat sehingga air dan udara mudah memasuki rongga-rongga dalam campuran yang menyebabkan aspal mudah teroksidasi sehingga menyebabkan lekatan antar butiran agregat berkurang sehingga terjadi pelepasan butiran (revelling) dan pengelupasan permukaan (stripping) pada lapis perkerasan. Nilai VIM yang terlalu rendah akan menyebabkan bleeding karena suhu yang tinggi, maka viskositas aspal menurun sesuai sifat termoplastisnya. Pada saat itu apabila lapis perkerasan menerima beban lalu lintas maka aspal akan terdesak keluar permukaan karena tidak cukupnya rongga bagi aspal untuk melakukan penetrasi dalam lapis perkerasan.

4. Void Filled With Asphalt (VFA)

Void Filled With Asphalt (VFA) merupakan persentase rongga terisi aspal pada campuran setelah mengalami proses pemadatan, yaitu jumlah dan temperatur pemadatan, gradasi agregat dan kadar aspal. Nilai VFA berpengaruh pada sifat


(51)

kekedapan campuran terhadap air dan udara serta sifat elastisitas campuran. Dengan kata lain VFA menentukan stabilitas, fleksibilitas dan durabilitas. 5. Stabilitas (Stability)

Stabilitas merupakan kemampuan lapis keras untuk menahan deformasi akibat beban lalu lintas yang bekerja diatasnya tanpa mengalami perubahan bentuk tetap seperti gelombang (wash boarding) dan alur (rutting). Nilai stabilitas dipengaruhi oleh bentuk, kualitas, tekstur permukaan dan gradasi agregat yaitu gesekan antar butiran agregat (internal friction) dan penguncian antar agregat (interlocking), daya lekat (cohesion) dan kadar aspal dalam campuran.

6. Kelelehan (Flow)

Kelelehan (flow) adalah besarnya deformasi vertikal benda uji yang terjadi pada awal pembebanan sehingga stabilitas menurun, yang menunjukkan besarnya deformasi yang terjadi pada lapis perkerasan akibat menahan beban yang diterimanya.

Deformasi yang terjadi erat kaitannya dengan sifat-sifat Marshall yang lain seperti stabilitas, VIM dan VFA. Nilai VIM yang besar menyebabkan berkurangnya interlocking resistance campuran dan dapat berakibat timbulnya deformasi. Nilai VFA yang berlebihan juga menyebabkan aspal dalam campuran berubah konsistensinya menjadi pelicin antar batuan. Nilai flow dipengaruhi oleh kadar dan viskositas aspal, gradasi agregat jumlah dan temperatur pemadatan.


(52)

7. Hasil bagi Marshall (Marshall Quotient)

Marshall Quotient merupakan hasil bagi antara stabilitas dengan flow. Nilai Marshall Quotient akan memberikan nilai fleksibilitas campuran. Semakin besar nilai Marshall Quotient berarti campuran semakin kaku, sebaliknya bila semakin kecil nilainya maka campuran semakin lentur. Nilai Marshall Quotient dipengaruhi oleh stabilitas dan flow. Nilai Marshall Quotient yang disyaratkan minimal 250 kg/mm. Nilai Marshall Quotient dibawah 250 kg/mm mengakibatkan perkerasan mudah mengalami washboarding, rutting dan bleeding.

8.Indeks Kekuatan Sisa Marshall

Pengujian perendaman Marshall menyatakan kemampuan campuran aspal untuk menahan kerusakan akibat air. Indeks Kekuatan Sisa Marshall (Marshall Index of Retained Strength) adalah perbandingan antara stabilitas Marshall benda uji setelah perendaman selama 24 jam dan stabilitas benda uji standar yang dinyatakan dalam persen.

1.6 Penelitian Terdahulu

Pada pengujian kandungan – kandungan yang terdapat dalam bongkahan Asbuton, diperoleh 24,260 % kadar aspal namun dalam penelitian ini kadar aspal yang dipakai 25 %. Sedangkan kadar air yang diperoleh yaitu sebesar 0,305 %, hasil tersebut memenuhi syarat yang ditentukan yaitu minimal 2 %. Hasil pengujian ukuran butiran Asbuton lolos saringan 19,0 – saringan 2,36 mm yaitu 100 %, sedangkan untuk lolos


(53)

saringan 1,18 mm sebesar 99,08 %. Serta substitusi aspal keras lebih dari 15 % berat aspal mendapat nilai stabilitas yang lebih besar daripada substitusi aspal keras kurang dari 10 %. (Sri Wulandaria Ningsih : 2011).

Dalam penelitian Kukuh Budi Prasetyo (2007) Kualitas campuran perkerasan Lasbutag dengan menggunakan modifier oli bekas dapat diketahui melalui hasil tes Marshall. Asbuton yang digunakan adalah jenis B-20. Modifier yang digunakan adalah oli bekas kendaraan bermotor serta aspal minyak yang menggunakan variasi 3%, 3,2%, 3,4%, 3,6%, 3,8%, 4% dengan komposisi 70% aspal minyak 30% oli bekas, 65% aspal minyak 35% oli bekas, dan 60% aspal minyak 40% oli bekas. Modifier terbaik dari penelitian untuk lalu lintas tinggi menurut hasil tes Marshall adalah campuran dengan menggunakan modifier 3,6% dimana komposisi modifiernya 65% aspal minyak dan 35% oli bekas.

Sapto Budi Wasono (2010) telah melakukan penelitian menggunakan Asbuton. Hasil penelitian campuran Laston (AC-WC) modifikasi Asbuton memenuhi syarat Spesifikasi Bina Marga dan kadar aspal optimum sebesar 6.1 % namun kadar aspal yang diapakai 5.6 % karena dari segi biaya semakin irit dan nilai stabilitasnya juga sudah sangat memenuhi yaitu 1331 kg.


(54)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, yaitu metode yang dilakukan dengan mengadakan kegiatan percobaan untuk mendapatkan data. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu :

1. Tahap pertama, studi literatur mengenai data-data yang berhubungan dengan penelitian.

2. Tahap kedua, pengujian Marshall campuran Lataston Lapis Aus (HRS-WC) Asbuton dengan penambahan oli bekas dan analisa hasil pengujian.

3.2Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Universitas Lampung.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan metode eksperimen terhadap beberapa benda uji dari berbagai kondisi perlakuan yang diuji di laboratorium. Jenis data pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu data primer dan sekunder.


(55)

3.3.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung melalui serangkaian kegiatan percobaan yang dilakukan sendiri dengan mengacu pada petunjuk manual yang ada, misalnya dengan mengadakan penelitian atau pengujian secara langsung. Dalam penelitian ini data primer adalah hasil pengujian Marshall (VMA, VIM, VFA, stabilitas, kelelehan, dan MQ) di laboratorium.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung (didapat dari penelitian lain) untuk bahan/jenis yang sama dan masih berhubungan dengan penelitian.

Pada penelitian ini digunakan data kadar aspal optimum (KAO) yaitu 7,3% didapat dari penelitian sebelumnya (Sri Wulandaria Ningsih, 2012) dengan material yang sama pada campuran Lataston.

3.4Bahan dan Peralatan 3.4.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Agregat yang digunakan berasal dari Tanjungan Lampung Selatan. 2. Aspal yang digunakan untuk penelitian adalah aspal Pertamina. 3. Aspal Buton yang digunakan yaitu Asbuton Lawele.

4. Oli bekas yang digunakan pada penelitian ini yaitu oli bekas mobil merek Castrol Magnatec SAE 10W-40 dengan pemakaian lebih dari 5000 km.


(56)

3.4.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat uji Marshall yang terdiri dari kepala penekan berbentuk lengkung, cincin penguji berkapasitas 3000 kg (6000 lb) yang dilengkapi dengan arloji pengukur kelelehan plastis (flowmeter).

2. Alat pemadat benda uji Marshall berupa penumbuk manual yang mempunyai permukaan rata berbentuk silinder dengan diameter 9,8 cm ( 3,86 inchi ), berat 4,5 kg ( 10 lbs ), dengan tinggi jatuh bebas 45,7 cm ( 18 inchi ) untuk Marshall standar.

3. Cetakan benda uji (mold) berbentuk silinder diameter 10,2 cm ( 4 inchi ) dengan tinggi 7,5 cm ( 3 inchi ) untuk Marshall standar.

4. Ejektor untuk mengeluarkan benda uji setelah dipadatkan.

5. Bak perendam (water bath) yang dilengkapi dengan pengatur suhu.

6. Timbangan yang dilengkapi dengan penggantung benda uji dengan ketelitian 1 gram.

7. Alat-alat penunjang yang meliputi pemanas (oven), panci pencampur, kompor pemanas, thermometer, sendok pengaduk, kaos tangan anti panas, kain lap, dan tip-ex untuk menandai benda uji.

3.5 Tahap-tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan mulai dari awal sampai akhir akan dijelaskan sebagai berikut :


(57)

3.5.1 Persiapan

Persiapan yang dilakukan yaitu persiapan pustaka, persiapan bahan dan juga persiapan alat yang digunakan.

3.5.2 Perencanaan Campuran Lataston (HRS-WC) 3.5.2.1Perencanaan Kebutuhan Campuran

Gradasi campuran agregat yang digunakan adalah gradasi senjang batas tengah campuran Lataston (HRS-WC) pada spesifikasi teknis Bina Marga 2010.

Tabel 3.1 Target Gradasi Campuran Lataston (HRS-WC) Saringan Diameter

(mm)

% Lolos Spesifikasi

Target

Gradasi Tertahan

3/4'' 19 100 100 0

1/2'' 12,5 90 – 100 95 5

3/8'' 9,5 75 – 85 80 15

No.8 2,36 50 – 72 61 19

No.30 0,6 35 – 60 47.5 13.5

No.200 0,075 6-10 8 39.5

Pan 0 0 8

Total 100

Gambar 3.1. Grafik Gradasi Campuran Lataston (HRS-WC)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0.01 0.1 1 10 100

% lo lo s sa ring a n Saringan (mm)


(58)

3.5.2.2Perencanaan Kebutuhan Aspal Minyak dan Asbuton

Pada penelitian ini digunakan variasi penggunaan aspal minyak dan asbuton dari berat total aspal yang digunakan dalam campuran. Penggunaan asbuton dalam penelitian ini bertujuan untuk mengurangi kebutuhan aspal minyak. Berat kebutuhan aspal minyak dan Asbuton didapat dengan perhitungan seperti berikut : Berat aspal minyak = (persentase berat aspal minyak/100) x berat aspal

Berat Asbuton = (persentase berat Asbuton/100) x berat aspal 3.5.2.3 Perencanaan Kebutuhan Asbuton Butir

Pada penelitian ini Asbuton yang digunakan yaitu tipe 20/25 yang memiliki kadar bitumen aspal sekitar 25% yang terkandung didalamnya dan sisanya adalah mineral agregat. Untuk itu berat Asbuton perlu ditambahkan agar mencapai kadar aspal 100%. Perhitungan kebutuhan Asbuton adalah seperti berikut :

Berat Asbuton butir = berat Asbuton / (25/100), atau Berat Asbuton butir = berat Asbuton x 4

Setelah didapatkan berat Asbuton butir, selanjutnya melakukan proses pemecahan Asbuton yang masih dalam bentuk bongkahan menjadi bentuk butiran dengan cara ditumbuk. Kemudian mengayak Asbuton butir dan diambil Asbuton yang lolos saringan no 16 (ukuran bukaan saringan 1.18 mm) sesuai dengan kebutuhan. 3.5.2.4Perencanaan Kebutuhan Oli Bekas

Pada penelitian ini dicoba menggunakan oli bekas yang akan dicampur dengan Asbuton butir selanjutnya diperam kedalam kantong plastik selama ± 24 jam pada tempat yang kering dan tertutup.


(59)

Proses pemeraman ini bertujuan agar bitumen Asbuton dapat diencerkan. Perhitungan berat oli bekas adalah sebagai berikut :

Berat oli bekas = (persentase oli bekas/100) x berat Asbuton butir. 3.5.2.5Perencanaan Kebutuhan Agregat

Berdasarkan hasil analisa saringan maka ditentukan berat masing-masing ukuran agreat dengan prosentase yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam target gradasi menggunakan berat agregat. Perhitungan untuk mendapatkan berat fraksi setiap agregat yang tertahan di masing-masing ukuran/nomor saringan adalah sebagai berikut :

Berat tertahan tiap ayakan = (persen tertahan /100) x berat agregat

Setelah itu perlu dilakukannya perhitungan koreksi terhadap agregat karena pada asbuton terdapat mineral agregat yang akan mempengaruhi jumlah agregat rencana. Koreksi dilakukan berdasarkan gradasi ayakan yang telah didapatkan dari hasil uji ekstraksi dan uji ukuran asbuton.

Untuk menghitung berat mineral asbuton dapat dilakukan dengan cara seperti berikut :

Berat mineral asbuton tiap ayakan = (persen tertahan/100) x berat asbuton butir Kemudian menghitung berat agregat tiap saringan yang dikoreksi terhadap berat mineral agregat didalam Abuton pada ukuran ayakan 0.6 mm, 0.075 mm, dan Pan. Perhitungannya dapat dilakukan seperti berikut :


(60)

Selanjutnya mengayak agregat sesuai dengan perhitungan pada tiap nomor saringan yang dibutuhkan.

3.5.3 Pengujian Campuran Beraspal Panas

Pengujian campuran Lataston Lapis Aus (HRS-WC) dilakukan untuk mengetahui ketahanan campuran terhadap deformasi pada suhu 60°C. Pengujian melalui beberapa tahapan seperti pengujian volumetric dan pengujian Marshall.

3.5.3.1 Pengujian Volumetrik

Pengujian volumetrik adalah pengujian untuk mengetahui nilai kepadatan dan nilai pori campuran yaitu VMA, VIM, dan VFA. Pengujian meliputi ukuran tinggi, berat kering di udara, berat dalam air, dan berat dalam kondisi SSD dari masing-masing benda uji.

3.5.3.2 Pengujian Marshall

Pengujian Marshall adalah pengujian terhadap benda uji campuran beraspal panas untuk mengetahui nilai stabilitas yang dinyatakan dalam satuan kilogram, kelelehan yang dinyatakan dalam satuan mm, dan hasil bagi Marshall (Marshall Quotient) yang dilaksanakan pada kondisi standar yaitu 2 x 75 tumbukan. Pada penelitian ini dilakukan 2 jenis perendaman benda uji yaitu benda uji direndam dalam waterbath selama 30 menit dan selama 3x8 jam.

3.6 Perencanaan Jumlah Benda Uji

Dengan menggunakan kadar aspal optimum (KAO) 7.3% penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap yaitu :


(61)

1. Pengujian tahap I oli bekas yang digunakan mengurangi kebutuhan aspal. 2. Pengujian tahap II sebagai evaluasi terhadap pengujian awal tahap I. Oli bekas

yang digunakan hanya sebagai tambahan dalam campuran untuk melunakkan Asbuton.

3.6.1 Pengujian Tahap I

Pada pengujian tahap I ini kebutuhan benda uji terdiri dari 5 jenis campuran Lataston (HRS-WC) yaitu :

1. Campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 85% yang diperam oli bekas 0%. 2. Campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 80% yang diperam oli bekas 5%. 3. Campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 75% yang diperam oli bekas 10%. 4. Campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 70% yang diperam oli bekas 15%. 5. Campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 65% yang diperam oli bekas 20%.

Tabel 3.2 Kebutuhan Benda Uji Tahap I

No Jenis benda uji Jumlah

benda uji 1 Benda uji Marshall direndam selama 30 menit pada suhu 60°C

1. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 0% 3 2. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 80% + oli bekas 5% 3 3. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 75% + oli bekas 10% 3 4. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 70% + oli bekas 15% 3 5. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 65% + oli bekas 20% 3 2 Benda uji Marshall direndam selama 3 x 8 jam pada suhu 60°C

1. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 0% 3 2. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 80% + oli bekas 5% 3 3. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 75% + oli bekas 10% 3 4. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 70% + oli bekas 15% 3 5. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 65% + oli bekas 20% 3


(62)

Benda uji dibuat sebanyak 3 buah pada masing-masing campuran untuk pengujian Marshall standar rendaman selama 30 menit dan pengujian Marshall rendaman selama 3x8 jam.

3.5.4 Pengujian Tahap II

Pada pengujian tahap II ini kebutuhan benda uji digunakan campuran aspal minyak 15% dan Asbuton 85% yang diperam dengan variasi kadar oli bekas 0%, 10%, 20%, dan 30%.

Benda uji dibuat sebanyak 3 buah pada masing-masing variasi kadar oli bekas dan akan dilakukan pengujian stabilitas Marshall standar pada kondisi rendaman selama 30 menit pada suhu 60°C dan pada kondisi rendaman selama 3 x 8 jam pada suhu 60°C .

Tabel 3.3 Kebutuhan Benda Uji Tahap II

No Jenis benda uji

Jumlah benda

uji 1 Benda uji Marshall direndam selama 30 menit pada suhu 60°C

1. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 0% 3 2. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 10% 3 3. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 20% 3 4. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 30% 3 2 Benda uji Marshall direndam selama 3 x 8 jam pada suhu 60°C

1. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 0% 3 2. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 10% 3 3. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 20% 3 4. Campuran aspal minyak 15% + Asbuton 85% + oli bekas 30% 3


(63)

3.7 Pengujian Marshall

Langkah-langkah pengujian Marshall benda uji melalui beberapa tahap sebagai berikut :

a. Menentukan berat agregat berdasarkan prosentase, kemudian dilakukan pengeringan campuran agregat tersebut sampai beratnya tetap sampai suhu ±150 °C.

b. Memanaskan aspal untuk pencampuran pada suhu ±120 °C .

c. Agregat yang telah ditimbang berdasar persentase berat campuran kemudian dipanaskan dalam wajan kemudian melakukan penambahan aspal minyak dan campuran asbuton yang telah diperam oli bekas selama 24 jam untuk selanjutnya diaduk sampai merata.

d. Setelah temperatur pemadatan tercapai, maka campuran tersebut dimasukkan kedalam cetakan yang telah dipanasi pada temperatur 150 °C hingga 160 °C dan diolesi dengan oli terlebih dahulu, serta bagian bawah cetakan diberi sepotong kertas filter yang telah dipotong sesuai dengan diameter cetakan sambil ditusuk-tusuk dengan spatula secukupnya.

e. Pemadatan standar dilakukan dengan alat pemadat benda uji Marshall dengan jumlah tumbukan 75 kali dibagian sisi atas dan ditumbuk 75 kali pada bagian sisi bawah benda uji.

f. Mengeluarkan benda uji dari cetakan kemudian benda uji didinginkan pada suhu ruangan selama 2-3 jam selanjutnya diberikan kode atau nama.

g. Benda uji yang telah dikeluarkan diukur tingginya dan ditimbang kering di udara untuk mendapatakan data awal.


(1)

8. Berat isi atau kepadatan (Density)

Density =

� ……….. (3.8)

9. Marshall Quotient (MQ) MQ = ��

� ……….…………. (3.9)

10. Indeks stabilitas Marshall sisa (Index of Retained Strength)

IRS = ������ x 100% ……… (3.10) Dimana :

Gsb = Berat Jenis Bulk Total Agregat dalam gr/cc

P1, P2, P3, ….., Pn = Persen Berat dari Agregat 1, 2, 3, ….., n

Gsb1, Gsb2, Gsb3, …., Gsbn = Berat Jenis Bulk dari Agregat 1, 2, 3, …. , n Gsa = Berat Jenis Apparent dari Total Agregat

Gsa1, Gsa2, Gsa3, … , Gsn = Berat Jenis Apparent dari Agregat 1, 2, 3, …, n

Gse = Berat Jenis Efektif dari Total Agregat

Gmm = Berat Jenis Maksimum Teoritis dari Campuran

Pmm = Persentase Total Agregat

Pb = Kadar Aspal dari Total Berat Campuran

Gb = Berat Jenis dari Aspal


(2)

55

Gmb = Berat Jenis Bulk dari Campuran

VIM = Void in the Mix

VMA = Void in Mineral Aggregate

VFA = Voids Filled with Aphalt

MS = Stabilitas Marshall

MF = Marshall Flow (kelelehan)

MSS = Stabilitas Marshall Kondisi Standar

MSI = Stabilitas Marshall Kondisi Setelah Direndam Selama 24 Jam


(3)

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari pengujian Marshall campuran Lataston (HRS-WC) menggunakan Asbuton dengan penambahan oli bekas adalah sebagai berikut : 1. Properties campuran yang memenuhi syarat yaitu VMA ( Min. 18% ) dan

kelelehan ( Min. 2 mm ).

2. Properties campuran yang tidak memenuhi syarat yaitu VIM ( 4% - 6% ) didapatkan nilai VIM yang lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan, dan VFA ( Min. 68% ) didapatkan nilai yang lebih rendah dari ketentuan.

3. Kadar penambahan oli bekas terhadap Asbuton yang menghasilkan nilai stabilitas ( Min. 800 kg ) dan Marshall Quotient ( Min. 250 kg/mm) yang memenuhi syarat adalah kadar oli bekas 0% dan 10%. Semakin bertambahnya kadar oli bekas menunjukkan penurunan nilai stabilitas dan Marshall Quotient. 4. Secara keseluruhan penambahan kadar oli bekas terhadap Asbuton tidak

direkomendasikan untuk digunakan dalam campuran Lataston (HRS-WC).

5.2 Saran

Untuk lebih memperdalam kajian dari penelitian yang sudah dilakukan, maka perlu dilakukan beberapa koreksi agar penelitian-penelitian selanjutnya dapat lebih baik.


(4)

85

Adapun saran-saran untuk penelitian selanjutnya antara lain :

1. Sebaiknya dalam penelitian perlu dilakukan percobaan untuk menetapkan nilai KAO yang sesuai untuk jenis campuran.

2. Untuk campuran yang menggunakan Asbuton butir perlu diperhatikan pada perhitungan campuran. Sebaiknya berat agregat harus dikoreksi dengan berat mineral yang terdapat didalam Asbuton butir agar berat total rencana campuran dapat sesuai dengan yang diperhitungkan.

3. Pada saat proses penelitian perlu diperhatikan untuk lebih teliti pada suhu pencampuran dan pemadatan benda uji agar mendapatkan hasil campuran yang baik.

4. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang keawetan durabilitas campuran dengan tambahan oli bekas, untuk mengetahui apakah campuran dapat bertahan lama.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Eka. 2010. Kajian Kuat Tekan terhadap Karakteristik Aspal Beton pada Campuran Hangat dengan Modifikasi Agregat Baru-RAP dan Aspal Residu Oli. Program Studi Teknik Sipil S1 Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Amalia, Mita. 2012. Analisis Penggunaan Bahan Aditif Jenis Polimer terhadap Kinerja Campuran Aspal Panas dengan Tambahan Variasi BGA (Buton Granular Asphalt). Program Studi Teknik Sipil S1 Universitas Indonesia. Ashari, Ratna Dewi. 2012. Analisis Kepadatan Mutlak terhadap AC-Wearing

Course Berbasis Aspal Buton. Program Studi Teknik Sipil S1 Universitas Lampung.

Nawantoro. 2012. Memahamai Spesifikasi Oli Mesin. tersedia di :

http://forum.solusisahabat.com/showthread.php?477-Memahami-spesifikasi-oli-mesin)

Ningsih, Sri Wulandaria. 2011. Penambahan Asbuton Terhadap Campuran Lataston Lapis Aus (HRS – WC) Pada Pengujian Kuat Tekan Dan Kuat Geser. Program Studi Teknik Sipil S1 Universitas Lampung

Prasetyo, Kukuh Budi. 2007. Pengaruh Penggunaan Modifier Oli Bekas pada Campuran Perkerasan Lasbutag dengan Sistem Hotmix. Program Studi Teknik Sipil S1 Universitas Muhammadiyah Malang.

Sukirman, Silvia. 2003. Beton Aspal Campuran Panas. Jakarta. Granit.

Suroso, Tjitjik Wasiah. 2002. Bahan Peremaja untuk Proses Daur Ulang Perkerasan Beraspal yang Dapat Diperoleh dengan Mudah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah. Bandung.

Wasono, Sapto Budi. 2010. Penyelidikan Stabilitas Modifikasi Asbuton. Neutron Vol. 10 No 1. Hal 55-68.

. 2006. Pemanfaatan Asbuton Buku 1 UMUM. Departemen Pekerjaan Umum , Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.


(6)

. 2006. Pemanfaatan Asbuton Buku 3 Campuran Beraspal Panas dengan Asbuton Olahan. Departemen Pekerjaan Umum , Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.

.2009. Buton Rock Asphalt (BRA). PT. Buton Aspahlt Indonesia. http://www.aspalbuton.co.id/tools_tech_spec.htm

. 2010. Spesifikasi Pelaksanaan Teknis Bina Marga 2010 . Kementrian Pekerjaan Umum ,Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.

. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah Univeritas Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.