BAB I VI DAFTAR PUSTAKA

KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN HINDIA BELANDA
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN ISLAM (1900-1942)

Oleh:
MAFTUH, S.Pd.I
NIM. 07.223.784
TESIS
Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister Studi Islam
dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam
YOGYAKARTA
2009
1

PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya:
Nama

: Maftuh, S.Pd.I


NIM

: 07.223.784

Jenjang

: Magister

Program Studi : Pendidikan Islam
Konsentrasi

: Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam

menyatakan bahwa Naskah Tesis ini secara keseluruhan adalah hasil
penelitian/karya saya sendiri kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Yogyakarta,
Saya yang menyatakan,


Maftuh, S.Pd.I
NIM. 07.223.784

2

2008

3

4

MOTTO

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula
lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitarmu
dengan penuh kesadaran
(James Thurber)

v


ABSTRAK
Maftuh, NIM. 07.223.784, “Kebijakan Politik Pendidikan Hindia Belanda dan
Implikasinya bagi Pendidikan Islam (1900-1942)”, Tesis, (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2008)
Kebijakan yang terpenting di antara kebijakan-kebijakan politik produk
pemerintah Hindia Belanda adalah kebijakan politik pendidikannya. Politik
pendidikan bukan saja merupakan bagian dari politik kolonial akan tetapi inti dari
politik kolonial tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini merumuskan pokok-pokok
permasalahannya sebagai berikut: 1. apa kebijakan politik pendidikan yang
diterapkan pemerintah Hindia Belanda? 2. faktor-faktor apa yang melatarbelakangi
munculnya kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda? dan 3. apa
implikasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda bagi pendidikan
Islam?
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan historis dan menggunakan
metode dokumenter. Namun karena kesulitan untuk mengakses sumber-sumber dalam
bentuk aslinya (sumber primer), maka kajian ini memanfaatkan hasil-hasil karya
penelitian setingkat disertasi. Sedangkan analisis datanya menggunakan metode
deduktif, induktif dan meta-analisis.
Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa, kebijakan-kebijakan politik

pendidikan kolonial Belanda tidaklah dimaksudkan untuk mencerdaskan orang-orang
Indonesia, melainkan tak lebih daripada sekedar memberi kesempatan kepada
keluarga golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta mempertahankan
kelangsungan kolonialnya.
Adapun faktor-faktor utama yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan politik
pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang menonjol yaitu: 1. faktor politik; 2.
faktor ekonomi; 3. faktor Kristenisasi; 4. faktor rasialisme; dan 5. faktor situasi dan
kondisi yang terjadi di Nederland (Belanda); serta 6. faktor kondisi umat Islam
Indonesia sendiri.
Sedangkan implikasi-implikasi yang ditimbulkan bagi pendidikan Islam yaitu:
pada aspek kelembagaan, yaitu berdirinya bentuk lembaga pendidikan Islam baru
yakni madrasah dengan sistem modern. Namun implikasi lainnya yaitu pesantren
mendirikan lembaga pendidikannya di daerah-daerah pinggiran sebagai cermin dari
sikap politik non-kooperatif ulama dengan Belanda. Aspek kurikulum, yaitu semula
kurikulum pendidikan Islam tidak terperinci dan teratur, namun kemudian kurikulum
pun disusun menjadi teratur, rinci, memiliki alokasi waktu yang jelas dan adanya
kombinasi antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum. Aspek metode
pengajaran, yaitu sebelumnya menggunakan sistem hafalan, bandongan/halaqah dan
sorogan/individual, diganti dengan metode pengajaran yang menekankan pada
pemahaman siswa dan diterapkannya sistem klasikal atau berkelas-kelas. Aspek

pendidik, yaitu semula faktor keshalehan adalah faktor yang amat penting dalam guru
agama Islam tradisional, namun bergeser dengan lebih menekankan faktor intelektual
daripada unsur lainnya.
6

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Ilahi Rabbi yang telah
memberikan taufiq dan hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini. Tiada daya dan upaya selain dari Allah Swt.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan oleh Allah Swt. kepada nabi besar
Muhammad Saw. sebagai pembawa risalah agung, bagi kemaslahatan dan
keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Tesis ini ditulis dalam spektrum waktu yang membutuhkan dinamika dan
kreativitas tertentu, sehingga dapat terselesaikan berkat dukungan moral-spiritual
maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini,
sepatutnya penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang telah berjasa dan
membantu penulis, sehingga tesis ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan.
Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada:

1.

Yang terhormat Bapak Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, sebagai Rektor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2.

Yang terhormat Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnaen, selaku Direktur
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, yang telah memberi
kesempatan kepada penulis selama proses penyelesaian tesis ini.

3.

Departemen Agama Republik Indonesia, khususnya bagian Mapenda
pusat dan Kanwil Depag Banten, yang telah memberikan kesempatan
7

sangat berharga untuk menikmati pendidikan strata dua (S2) di
perguruan tinggi Islam yang dikenal sebagai “sarang intelektual Islam”
ini. Tanpa beasiswa dan pembebasan tugas kepad penulis – yang juga

sebagai abdi negara ini, mustahil rasanya membayangkan studi S2 ini
terlaksana dan terselesaikan dengan baik.
4.

Kepala Madrasah dan rekan-rekan guru Madrasah Tsanawiyah AlKhairiyah Macute Mancak, tempat penulis mengabdikan diri. Terima
kasih yang tak terhingga atas kesempatannya mengizinkan penulis untuk
mengikuti program beasiswa yang sangat berharga ini.

5.

Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag. selaku Ketua Program
Pendidikan Islam beserta Sekretarisnya, Dr. H. Sumedi, M.Ag. Terima
kasih atas segala kebaikannya dalam melancarkan persoalan-persoalan
administratif dari sejak proses perkuliahan hingga rampungnya studi ini.

6.

Yang terhormat Bapak Dr. Alim Roswantoro, M.Ag. yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk-petunjuknya dengan
penuh kearifan dan kesabaran di tengah berbagai kesibukan, sehingga

kesalahan-kesalahan serius dalam penulisan tesis ini menjadi terhindari.
Di tengah kesibukannya – yang saat ini juga sebagai Ketua Program
Studi Agama dan Filsafat Progam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
beliau masih sempat meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.

7.

Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf, M.Ag. yang
telah menjadi salah seorang penguji tesis ini sehingga dengan
8

keahliannya di bidang kebijakan pendidikan Islam, penulis mendapat
banyak sekali masukan berharga mengenai hal tersebut.
8.

Segenap staf pengelola Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

9.


Kepala perpustakaan pusat UIN Sunan Kalijaga beserta stafnya dan para
karyawan perpustakaan Pascasarjana. Terima kasih atas pelayanannya
yang ramah dan penuh pengertian itu, sehingga memperlancar proses
penyelesaian tesis ini.

10. Yang terhormat semua Guru Besar dan Dosen Pembina, yang amat
terpelajar, dengan baik hati dan penuh kesabaran telah membukakan
pikiran, mata dan hati penulis, dan memberikan karakter ilmiah melalui
transfer ilmu dan pengalaman serta sikap dan sosok sebagai seorang
intelektual. Mereka semua telah banyak menginspirasi penulis untuk
senantiasa tidak boleh ada istilah berhenti berpetualang dalam
mengarungi luasnya ilmu pengetahuan Allah Swt.
11. Rekan-rekan sekelas (Akidah Akhlak A) penulis, yang dengan baik hati
telah memberikan motivasi dan diskusi-diskusi pentingnya selama
proses perkuliahan. Mereka telah membuka mata hati penulis bahwa
memang dunia ini begitu luas, sehingga terlalu naïf untuk cepat merasa
cukup dengan apa yang diperoleh sekarang. Rasanya tidak afdhal tanpa
menyebut nama-nama mereka di sini. Mereka itu – berdasarkan urutan
alfabetis – adalah: Ahmad Fauji, S.Ag., Ahmad Hanis Thoriq, SHI.,
9


Ahmad Zaidun, S.Ag., Dra. Hindatullatifah, Dra. Hj. Juwarmi,
Ikhwanudin, SHI., Kasiyo, S.Ag., M. Ajib Hermawan, S.Fil.I., M. Ihsan,
S.Th.I., M. Yusri FM, S.Ag., Nur Azizah, S.Ag., Oom Komaruddin,
S.Ag., Syaiful Bahri, S.Ag., dan Yusuf Hasyim, S.Ag.
12. Yang terhormat dan yang tercinta Ayahanda Ajma’in, A.Ma. dan Ibunda
Bahriyah, yang telah berjasa besar dalam membesarkan dan mendidik
penulis dengan penuh kasih sayang serta doa restu yang tiada hentihentinya. Tiada kata lain yang terungkap selain sembah sungkem kepada
keduanya. Doa-doa mereka telah menembus ruang dan waktu, sehingga
terbukalah pintu-pintu rezeki untuk perjuangan ilmu dan kehidupan
anaknya ini.
13. Yang terhormat Abi M. Syihabuddin Ali, yang telah memberikan doa
spiritual yang sangat berguna untuk senantiasa tegar dan tenang dengan
segala ujian yang datang.
14. Yang tercinta teteh-teteh, adik-adik, dan keponakan-keponakan serta
ipar-iparku, yang juga telah ikut mendoakan penulis dalam proses
penyelesaian studi ini.
15. Istri tersayang, Rohmah Fikriyah, SEI, dan permata hatiku, Aulia Nazwa
Maftuh, yang telah bersabar menanggung derita sebagai akibat suami
dan ayahnya menempuh studi ini. Mereka selalu saja memberikan

pengertian yang sangat mengagumkan ketika harus ditinggal berdua di
rumah tanpa suami dan ayahnya, selama berbulan-bulan bahkan
10

bilangan tahun. Tanpa kesabaran, kasih sayang, dukungan dan doa-doa
mereka yang tulus, mustahil rasanya penulis dapat menyelesaikan studi
ini dengan baik.
16. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu terselesaikannya
tesis ini. Kendati penulis tidak dapat menyebutkan namanya satu
persatu, mudah-mudahan tidak mengurangi rasa terima kasih yang
mendalam kepada mereka semuanya.
Pada akhirnya, tesis ini adalah “karya bersama” dari kerja banyak orang.
Namun demikian, apapun yang tidak enak dilihat, tidak mudah dicerna pikiran,
dan segala kekurangan lainnya atas karya ini, sepenuhnya merupakan tanggung
jawab penulis sendiri. Oleh karenanya, kritik dan saran yang konstruktif senantiasa
penulis terima dari pembaca.
Akhirnya, penulis memanjatkan do’a semoga Allah Swt. memberi balasan
kepada mereka semua dengan balasan yang setimpal. Harapan terdalam penulis,
betapa pun kecilnya hasil kajian ini, semoga menambah setitik khazanah
kepustakaan yang berharga. Semoga Allah Swt. meridlai semua langkah-langkah
dalam penulisan karya ini sehingga memasukkannya pada nilai ibadah. Amin.
Yogyakarta, 9 Mei 2009
Wassalam,

Maftuh, S.Pd.I
NIM. 07.223.784

11

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………... i
PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………………… ii
NOTA DINAS PEMBIMBING …………………………………………………. iii
PENGESAHAN ………………………………………………………………….. iv
MOTTO ………………………………………………………………………….. v
ABSTRAK ……………………………………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... vii
PERSEMBAHAN ……………………………………………………………….. xii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. xiii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………. xvi
DAFTAR BAGAN ……………………………………………………………… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….xviii
BAB I :

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………….. 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………… 10
D. Telaah Pustaka ………………………………………………… 11
E. Kerangka Teori ………………………………………………... 15
F. Metode Penelitian …………………………………………….. 27
G. Sistematika Pembahasan ……………………………………… 30

BAB II :

KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN PEMERINTAH HINDIA
BELANDA
A. Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda …… 32
B. Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda dalam Jenisjenis Lembaga Pendidikan …………………………………….. 53
C. Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda dalam
Kurikulum …………………………………………………….. 64
D. Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda
dalam Metode Pengajaran …………………………………….. 79
E. Fakor-faktor yang Melatarbelakangi Kebijakan Politik Pendidikan
Hindia Belanda ……………………………………………….. 83

BAB III :

KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
PEMERINTAH
HINDIA
BELANDA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
A. Ordonansi Guru ………………………………………………. 110
B. Ordonansi Sekolah Liar ……………………………………… 118
C. Reaksi Umat Islam Terhadap Ordonansi Guru dan Ordonansi
Sekolah Liar ………………………………………………….. 123
12

BAB IV :

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
A. Pendidikan Islam Sebelum Abad Ke-20 …………………….. 141
B. Pendidikan Islam Awal Abad Ke-20 ………………………... 156
C. Lembaga Pendidikan Islam Masa Pembaharuan Awal Abad ke-20
………………………………………………………………… 177
D. Kurikulum Madrasah Periode Pertumbuhan …………………. 180
E. Metode Pengajaran dalam Sistem Pendidikan Islam ………… 184

BAB V :

IMPLIKASI KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN HINDIA
BELANDA BAGI PENDIDIKAN ISLAM
A. Implikasi pada Kelembagaan ………………………………… 186
B. Implikasi pada Kurikulum Pendidikan Islam ………………… 197
C. Implikasi pada Metode Pengajaran ………………………..... 202
D. Implikasi pada Pendidik (Guru Agama Islam) ………………. 205

BAB VI :

PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………. 210
B. Saran-saran …………………………………………………. 213

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………...
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………….

13

216
226
251

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Mata Pelajaran MULO, 69
Tabel 2 Mata Pelajaran AMS A1 (Oostersch-Letterkunde) Tahun 1939/1940, 71
Tabel 3 Mata Pelajaran AMS A2 (Westersch Klassiek) Tahun 1939/1940, 72
Tabel 4 Mata Pelajaran AMS B- (Cultuurwetenschap) Tahun 1939/1940, 74
Tabel 5 Mata Pelajaran HBS V, 75
Tabel 6 Mata Pelajaran Awaliyah Tahun 1936, 181
Tabel 7 Mata Pelajaran Madrasah Ibtidaiyah Tahun 1936, 181
Tabel 8 Mata Pelajaran Madrasah Tsanawiyah Tahun 1931, 182
Tabel 9 Mata Pelajaran Normal Islam Tahun 1931, 183
Tabel 10 Perbandingan Kualifikasi antara Guru Agama Tradisional dan Guru Agama
Modern, 209

14

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Sistem Persekolahan Zaman Pemerintahan Hindia Belanda, 63
Bagan 2 Sistem Madrasah dan Persekolahan Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Abad ke-20, 196

15

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Perkembangan Jumlah Penduduk Hindia Belanda Tahun 1850-1930, 226
Lampiran 2 Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya antara SD Eropa dengan
SD Bumiputera Tahun 1883-1892, 226
Lampiran 3 Jumlah Sekolah, Murid, Biaya, dan Satuan Biaya Tahun 1898, 227
Lampiran 4 Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru menurut Jenjang
PendidikanTahun 1900-1940, 227
Lampiran 5 Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid, Biaya, dan Satuan Biaya Sekolah
Dasar (Negeri dan Bersubsidi) Tahun 1909-1920, 228
Lampiran 6 Perkembangan Jumlah Mahasiswa dan Lulusan Perguruan Tinggi Tahun
1920-1939, 229
Lampiran 7 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Dasar Eropa (Europeesche Lagere School) Tahun 1900-1940,
230
Lampiran 8 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Cina Belanda (Holandsch Chineesche School) Tahun 1908-1940,
230
Lampiran 9 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Bumiputera-Belanda (Hollandsch Inlandsche School) Tahun
1900-1940, 231
Lampiran 10 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Kelas II (Inlandsche School) Tahun 1900-1940, 231
Lampiran 11 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Desa (Volksschool) Tahun 1907-1940, 232
Lampiran 12 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Lanjutan (Vervolgschool) Tahun 1927-1940, 232
Lampiran 13 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Peralihan (Schakel School) Tahun 1921-1940, 233

16

Lampiran 14 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Menengah 5 Tahun (HBS V) Tahun 1900-1940, 233
Lampiran 15 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Menengah 3 Tahun (HBS III) Tahun 1900-1940, 234
Lampiran 16 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
SLTP (MULO Eropa) Tahun 1915-1940, 234
Lampiran 17 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Sekolah Menengah Umum (AMS) Tahun 1919-1940, 235
Lampiran 18 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid menurut Status Sekolah
Lycea (Gymnasium School) Tahun 1925-1940, 235
Lampiran 19 Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Tradisional dan Jumlah Murid
Tahun 1831, 236
Lampiran 20 Pesantren, Madrasah, Kyai dan Santri di Jawa dan Madura Tahun 1942,
236
Lampiran 21 Putusan Pemerintah Belanda untuk Menjediakan Biaja Pendidikan bagi
Orang Indonesia buat Pertamakalinya, 237
Lampiran 22 Putusan Pemerintah Belanda untuk Memberikan Subsidi kepada
Sekolah-sekolah di Daerah Timor, 238

17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan yang terpenting di antara kebijakan-kebijakan politik produk
pemerintah Hindia Belanda adalah pada kebijakan politik pendidikannya. Hal ini
sebagaimana dikatakan Brugmans bahwa, politik pendidikan bukan hanya suatu
bagian dari politik kolonial akan tetapi merupakan inti politik kolonial.1 Oleh
karena itu, diselenggarakannya pendidikan di Indonesia2 oleh pemerintah Hindia
Belanda lebih ditekankan

untuk kepentingan penjajah daripada rakyat

jajahannya sendiri. Kalaupun pada akhirnya kolonial Belanda3 membuka
1

S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Cet.II, (Bandung: Jemmars, 1987), hal. 3.
Istilah “koloni” berasal dari bahasa Latin colonia, yang artinya tanah, tanah pemukiman atau jajahan.
Sedangkan dalam arti luas, adalah pemukiman warga suatu negara di wilayah di luar negara mereka;
biasanya suatu wilayah di seberang lautan, yang kemudian mereka nyatakan sebagai wilayah mereka.
Istilah “kolonialisme” adalah suatu sistem di mana suatu negara menjalankan politik pendudukan atau
penjajahan terhadap wilayah lain. Lihat, Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jil. 3, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1982), hal. 1811-1812
2
Nama Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh etnolog Inggris, G.R. Logan pada tahun
1850, ketika ia menulis buku mengenai bangsa yang tinggal di kepulauan penghasil rempah-rempah
itu. Logan menggabungkan kata “India” yang waktu itu diartikan oleh kebanyakan orang Barat sebagai
daerah penghasil rempah, dengan kata “nesos” yang berarti kepulauan. Dengan menggabungkan dua
kata ini, terciptalah nama Indonesia. Lihat, Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jil. 7,
(Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989), hal. 74. Nama resmi negara ini hingga Perang Dunia II adalah
Hindia Belanda (Inggris: Nederlands East Indies atau Dutch East Indies) atau Holan Tropika – untuk
menyebut bagian Kerajaan Belanda yang beriklim tropis. Lihat, Wertheim, W.F., Masyarakat
Indonesia dalam Transisi: Kajian Perubahan Sosial, Alih bahasa A.F. Husein, (Yogyakrta: Tiara
Wacana Yogya, 1999), hal. 11; lihat juga A Supartono dan L Rahman, “Studi Indonesia di Rusia:
Sebuah Rumah Sejarah yang Alpa Disinggahi”, Kompas, 6 Juli 2001, hal. 39. Nama lain dari Indonesia
ini juga adalah Nusantara karena terdiri atas 13.667 pulau, 6044 punya nama sedang yang 7623 tidak
punya nama, hanya 7 persen (931 pulau) yang didiami manusia. Lihat Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 1. Dalam tulisan ini, ketiga nama ini dipakai
secara bergantian dengan maksud yang sama.
3
Istilah “Belanda” menunjuk ke suatu negara di wilayah Eropa yang selama 300 tahun lebih
menjajah Indonesia. Negara ini terletak di Eropa Barat Laut, di tepi Laut Utara. Di Selatan, negeri itu

18

kesempatan bagi rakyat pribumi, tujuannya tidak lain “membentuk kelas elit dan
menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendahan/kasar.”4
Kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia
yang mayoritas umat Islam ini, sesungguhnya didasari oleh rasa takut mereka
akan Islam. Di mata kolonial Belanda, Islam dipandang bukan saja sebagai
ancaman terhadap “Kebijakan Keamanan dan Ketertiban” (Rust en Orde),
melainkan juga terhadap masa depan keberlanjutan pendudukan dan penjajahan
mereka di kepulauan Nusantara ini.5
Untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan pengaruh Islam dari
rakyat jajahannya maka mereka banyak mendirikan sekolah-sekolah. Gagasan
Snouck Hurgronje mengenai politik asosiasinya6 meyakini bahwa pendidikan
Barat yang diberikan kepada rakyat jajahan akan mengalahkan Islam. Karena,
menurut pandangannya, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi akan
relatif jauh dari pengaruh Islam, sedangkan pengaruh yang akan mereka miliki

berbatasan dengan Kerajaan Belgia, dan di sebelah timur dengan Jerman Barat. Penduduknya sekitar
45 persen beragama Protestan, sedangkan 40 persennya Katolik. Sisanya terdiri atas berbagai agama,
Islam, Budha, dan aliran kepercayaan, atau tidak beragama. Orang Belanda sendiri menyebut
negaranya Nederland atau Holland. Sebutan lain yang menunjukkan keunikan negeri ini adalah: Negeri
Bunga Tulip, Negeri Kincir Angin, dan Negeri Seribu Tanggul. Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jil. 3, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989), hal. 250-251
4
Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 21
5
Prijono, “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan Umat Islam”, dalam Beberapa
Peninggalan dari Sejarah Perjuangan Islam, (Jakarta: t.p., 1945), hal. 73-89, sebagaimana dikutip
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 69
6
Politik asosiasi bertujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara
penjajahnya melalui kebudayaan, di mana lapangan pendidikan merupakan garapan utama. Dengan
adanya asosiasi ini maka Indonesia bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan
kebudayaannya sendiri. Lihat, Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:LP3ES,
1985), hal. 39

19

akan lebih mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa.
Pendidikan Barat, dalam analisanya, merupakan sarana yang paling meyakinkan
untuk mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia. 7
Pandangan-pandangan Snouck Hurgronje ini, menemukan momentumnya
seiring dengan maksud kebijakan kolonial Belanda untuk “menyejahterakan”
penduduk pribumi melalui program yang kemudian dikenal dengan Politik Etis
(Ethische Politiek), pada tahun 1901.8
Namun, selain sasaran transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat di koloni, pada saat yang sama orang-orang Belanda
menyembunyikan kepentingan terselubungnya. Meskipun tak satu aspek dari
kebijakan itu yang secara terang-terangan dimaksudkan untuk mempromosikan
cita-cita Kristiani, namun fakta menunjukkan bahwa korelasi antara keduanya
sangat kuat. Politik Etis adalah tidak lain sebagai kerangka kerja yang di atasnya
konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. Berbagai subsidi terhadap
sekolah dan lembaga misi, yang semula ditolak karena dikhawatirkan akan
memancing reaksi keras kaum Muslim, kini mulai diberikan secara besarbesaran. Akibatnya, pada periode awal diterapannya Politik Etis ini, pemerintah
kolonial dikuasai oleh mereka yang sangat mendukung Kristenisasi daerah

7

Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda Terhadap
Islam di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Islam Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Alih
bahasa A. Setiawan Abadi, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 135; Lihat juga, Husnul Aqib Suminto, Politik
Islam, hal. 43
8
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Cet.II, Alih bahasa Satrio Wahono
dkk., (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 227

20

koloni. Kebijakan inilah akhirnya yang memicu bangkitnya berbagai gerakan
politik dan sosial di Indonesia. Salah satunya adalah gerakan Muhammadiyah.9
Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumiputra,
diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia
Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang,
yakni pendidikan Islam.10 Tetapi secara teknis, usulan tersebut sulit dipenuhi
karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang sebagai memiliki kebiasaankebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun
metode pengajarannya. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk
persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya,
khususnya dalam rangka misionaris.
Sejak Politik Etis diterapkan, pendidikan di Indonesia mengalami
kemajuan yang lebih pesat dan tidak terbatas hanya ditujukan secara eksklusif
bagi kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran Belanda. Atas perintah
Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan ini mulai juga diselenggarakan
bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk Sekolah-sekolah Desa.11
9

Alwi Shihab, Membendung Arus, hal. 43-44
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, Cet.II, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 2
11
Sistem persekolahan berdiri untuk pertama kalinya di Indonesia pada Masa VOC
(Vereenidge Oost-Indische Compagnie – Perserikatan Maskapai Hindia Timur). Sekolah pertama
didirikan pada tahun 1607 di Ambon. Sekitar 25 tahun kemudian di wilayah itu dilaporkan sudah ada
16 sekolah, sehingga pada tahun 1645 mencapai 33 sekolah. Misi utama penyelenggaraan sekolahsekolah itu adalah menyebarkan dan mengajarkan Protestan, Calvinisme. S. Nasution, Sejarah
Pendidikan, hal. 4; Di Jawa, sekolah untuk pertama kalinya didirikan pada tahun 1617 di Jakarta, dan
kemudian menyebar di kota-kota lain, terutama kota-kota yang menjadi benteng VOC seperti Cirebon
dan Banten. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke
Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 79-80
10

21

Perkembangan sekolah yang semakin merakyat itu telah merangsang
kalangan Islam untuk memberikan respon. Dalam hal ini mereka memikirkan
untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat
tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan
rakyat Indonesia bagaimanapun masih akan tetap bodoh karena tingkat
pendidikan bagi mereka hanya terbatas pada sekolah rendah. Dari sudut ini,
pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan
mereka atas prinsip persamaan sebagaimana yang menjadi asas ajaran Islam.
Namun di sisi lain pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola
pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi,
maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala
Belanda.
Kesadaran untuk memperbaharui pendidikan Islam ini dimiliki oleh
sejumlah tokoh, khususnya mereka yang sudah mengenyam sekaligus pendidikan
Islam tradisional dan pendidikan sekolah ala Belanda. Dalam pemikiran mereka
perlu ditempuh cara kombinasi yaitu mata-mata pelajaran keagamaan tetap
diadakan tetapi ditambah dengan mata-mata pelajaran umum seperti membaca,
menulis, berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Metode pendidikan pun direkayasa sedemikian rupa sehingga lebih
efektif sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Secara konkrit di antara
mereka adalah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mendirikan sekolah “Mulo

22

Met de Qur’an” dan kemudian sekolah-sekolah Islam yang dapat disebut sebagai
madrasah menurut istilah teknis pendidikan Islam.12
Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sebanding
dengan sekolah ala Belanda dalam perkembangannya menjadi agenda dan
gerakan Islam di Indonesia. Muhammadiyah, Nahdlatul ‘Ulama, Jami’at Khair,
Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam, al-Irsyad, al-Washliyah, Persatuan
Tarbiyah Islamiyah dan organisasi Islam lainnya, memiliki bagian atau seksi
khusus dalam rangka pendirian madrasah-madrasah di berbagai daerah.13 Dengan
mendirikan madrasah, umat Islam agaknya telah memberikan respon yang cukup
tepat terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda, sehingga
pendidikan Islam di satu sisi tidak terlalu tertinggal, dan di sisi lain tetap
mempertahankan ciri-ciri keislamannya secara kuat.
Namun, di pihak lain, pemerintah Hindia Belanda agaknya juga tidak
tinggal diam dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh umat Islam tersebut.
Didasari oleh ketakutan akan ancaman umat Islam, ia mengeluarkan kebijakan
pendidikan yang bersifat menekan dan memberatkan umat Islam.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi
pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru (Goeroe Ordonantie) dan

12

Alfian, Muhammdiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization under
Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), hal. 189; Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 99
13
Mahmud Yunus membahas madrasah-madrasah dalam kurun pertumbuhan ini dengan
agak lebih rinci. Lihat, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet.IV, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995)

23

Ordonansi “Sekolah Liar” (Ordonantie Wildescholen). Kebijakan pemerintah
Hindia Belanda juga berlangsung dalam berbagai bentuk ketidakadilan, baik
kuantitatif maupun kualitatif. Akibatnya, umat Islam selalu tertinggal dalam
percaturan budaya, ekonomi, pendidikan dan politik. Hal ini terlihat dengan
pemberian subsidi yang diberikan untuk umat Islam jumlahnya lebih kecil
dibanding untuk umat Kristiani.14
Memang secara formal Belanda mengklaim bersikap netral terhadap
agama dalam arti tidak mencampuri dan tidak memihak kepada salah satu
agama,15 tetapi kenyataannya pemerintah Belanda mengambil sikap diskriminatif
dengan memberi kelonggaran kepada kalangan misionaris Kristen lebih banyak,
termasuk bantuan uang. Pemerintah Belanda menolak memberikan subsidi
kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Karena pemberian subsidi kepada
sekolah-sekolah itu pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem

14

Sikap diskriminatif atas dasar agama ini terlihat pada sumbangan dana yang diberikan
kolonial Belanda kepada umat Islam yang hanya sebesar f. 127.029, pada tahun 1917. Sedangkan
sumbangan yang diberikan pemerintah Hindia Belanda, pada tahun yang sama, kepada pihak Kristen,
bahkan mencapai f. 1.235.500. Jumlah ini tidak termasuk sumbangan insidentil, misalnya untuk
pembangunan Gereja baru dan sumbangan yang diberikan kepada sekte-sekte Kristen lain di luar
Protestan dan Katolik. Lihat Husnul Aqib Suminto, Politik Islam, hal. 33
15
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Cet.VIII, (Jakarta: LP3ES,
1996, hal. 133; Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, Cet.III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 61; Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Cet.16, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 253; Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
hal. 86;Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia 1900-1974, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1976), hal. 23

24

pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan
Belanda.16
Dari gambaran-gambaran ini jelas terlihat bahwa, pemerintah agaknya
terus menerus berupaya untuk menggerogoti Islam, terutama melalui kebijakankebijakan politik pendidikannya. Peraturan pemerintah Belanda yang sedemikian
ketat dan gencar itu mengesankan bahwa pendidikan Islam akan menjadi lumpuh
dan porak poranda atau bahkan lenyap dari tanah Indonesia ini. Namun, ternyata
sejarah mengatakan lain. Pendidikan Islam, seperti yang sampai saat ini masih
dapat disaksikan eksistensinya, tetap tegar tak tergoyahkan. Agaknya tepat
Wertheim, seperti dikutip Ridwan Saidi, ketika mengatakan bahwa apa pun
politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya
senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut.

17

Tekanan

demi tekanan sama sekali tidak menggoyahkan mereka.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dan serius mengenai kebijakankebijakan politik pendidikan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda perlu
untuk dilakukan. Apa dan mengapa mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan
seperti itu; serta apa pula implikasinya terhadap eksistensi pendidikan Islam,

16

Menteri Jajahan pada tahun 1888 dengan terang-terangan mengatakan: “The interference
of the government with the Islamic system of education and the financial support to be given to them,
would only promote religious education, that in the end will not support our authority and our
influence.” (Campur tangan pemerintah terhadap sistem pendidikan Islam dan dukungan finansial yang
diberikan kepadanya hanya akan memajukan pendidikan keagamaan, yang pada akhirnya tidak
memperkuat kekuasaan dan pengaruh kita). Lihat Karel Steenbrink, “Religion and Education in a
Changing Indonesia”, The Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol.1, No.2, 2001, hal. 17-18
17
Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: Rajali,
1984), hal. 3

25

merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diupayakan terjawab dalam penelitian
ini.
Adapun kebijakan pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah peraturan resmi pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan untuk
lembaga, proses dan produk pendidikannya. Kajian ini hanya mencakup
kebijakan pendidikan yang diterbitkan antara kurun waktu 1900 sampai dengan
1942. Alasannya adalah bahwa, pada masa-masa tersebut pemerintah Hindia
Belanda telah menggoreskan sejarah yang penting berkaitan dengan sejarah
pendidikan di Indonesia dengan mengeluarkan pelbagai kebijakan seperti:
Ordonansi Guru dan Ordonansi “Sekolah Liar”. Sementara di sisi lain, umat
Islam pada masa-masa itu telah terjadi perubahan yang digambarkan sebagai
kebangkitan, pembaharuan bahkan pencerahan (renaissance),18 yang ditandai
dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang dinamakan madrasah di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah ini, maka rumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa kebijakan politik pendidikan yang diterapkan pemerintah Hindia
Belanda?

18

Karel A. Steenbrink, Pesantren, hal. 26

26

2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya kebijakan politik
pendidikan pemerintah Hindia Belanda?
3. Apa implikasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda
bagi pendidikan Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengungkapkan kebijakan politik pendidikan yang diterapkan
pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu
b. Untuk mengetahui latar belakang apa yang menyebabkan kebijakan
politik pendidikan itu lahir
c. Untuk mengetahui implikasi-implikasi dari penerapan kebijakankebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda bagi
perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam pada periode antara
1900 sampai dengan 1942.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapakan bermanfaat terutama dalam beberapa hal
berikut:
a. Dapat memberikan gambaran secara lebih lengkap mengenai
kebijakan-kebijakan politik pendidikan yang dikeluarkan oleh kolonial
Belanda dan faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut
lahir
27

b. Dapat memberikan landasan historis dalam upaya mengembangkan
sistem pendidikan Islam ke depan. Karena disadari bahwa, tanpa
melihat peristiwa-peristiwa masa lalu, maka akan sulit – untuk tidak
mengatakan mustahil – untuk memperbaiki sistem pendidikan yang
eksis

saat

ini.

Masa

kini

merupakan

rangkaian-rangkaian

berkesinambungan dari masa-masa lalu. Dengan demikian, untuk
memahami masa kini secara lebih baik, perlu dilihat keadaannya di
masa lampau
c. Dapat memberikan sumbagan terhadap khazanah keilmuan khususnya
dalam masalah pendidikan Islam.

D. Telaah Pustaka
Terdapat beberapa kajian mengenai kebijakan pemerintah mengenai
pendidikan. Demikian juga pembahasan tentang perkembangan pendidikan Islam
pada masa Hindia Belanda. Kajian-kajian tersebut ada yang berupa tesis,
disertasi, ataupun berbentuk buku dan artikel. Di antara karya tersebut yaitu,
Noor Haris yang berjudul Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia (1945-1990).
Penelitian ini berupa tesis yang diajukan penulisnya pada tahun 2004 di UIN
Sunan Kaljaga. Dalam penelitiannya ini Noor Haris menyimpulkan bahwa:
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah kebijakan
konvergensi, yaitu kebijakan yang berupaya mengintegrasikan dualisme
pendidikan sebagai hasil dari pergumulan antara dualisme kekuatan politik (Islam
dan Nasionalisme) sejak awal kemerdekaan. Penerapan kebijakan ini pada
akhirnya tercermin pada ketetapan bahwa pendidikan agama tidak lagi
28

merupakan mata pelajaran pilihan, melainkan sudah menjadi mata pelajaran
wajib yang harus diikuti oleh semua siswa dan mahasiswa, dan merupakan syarat
kelulusan ujian akhir. 19
Penelitian lainnya dilakukan oleh Abd. Rahman Assegaf dengan judul
Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional Bidang Agama Islam 1942-1900.
Penelitian ini merupakan disertasi penulisnya yang dipertahankan di Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Abd. Rahman Assegaf
mengemukakan bahwa penelitiannya bertujuan untuk mendeskripsikan dan
memberikan analisis pergeseran kebijakan pendidikan nasional bidang agama
Islam sejak tahun 1942 sampai 1994. Di akhir penelitiannya, Abd. Rahman
menyimpulkan bahwa:
Terdapat beberapa kebijakan pendidikan nasional yang menimbulkan respon
sebagian kalangan masyarakat, baik dalam bentuk respon positif dalam artian
mendukung kebijakan tersebut, maupun respon negatif yang berarti menolak.
Respon positif masyarakat muncul apabila posisi pendidikan Islam proporsional,
sesuai dengan keberagamaan umat, dan tidak menghalangi keyakinan mereka.
Sebaliknya, respon negatif masyarakat timbul dari peraturan yang mempersempit
ruang gerak kebebasan beragama.20
Penelitian mengenai kebijakan pendidikan juga telah dilakukan oleh Muh
Saerozi yang berjudul Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah
Historis atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia. Kajian
yang berbentuk disertasi penulisnya ini, membahas tentang kebijaksanaan
pendidikan agama yang sedang berlangsung di Indonesia. Dikatakan bahwa

19

Noor Haris, “Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia (1945-1990)”, Tesis, (Yogyakarta:
PPs UIN Sunan Kalijaga, 2004)
20
Abdur Rahman Assegaf, “Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional Bidang Agama Islam
1942-1900”, Disertasi, (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2004)

29

“kebijaksanaan pendidikan agama itu berpola konfesional, yang berarti bahwa
negara memberikan legitimasi pendidikan agama untuk meningkatkan keimanan
dan ketakwaan subjek didik pada setiap agama.”21
Perlu juga disebutkan karya lain yang berhubungan dengan penelitian
yang akan penulis lakukan ini. Karya tersebut dihasilkan oleh Muhammad Sirozi
dengan Judul Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh
Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989. Karya ini merupakan terjemahan
disertasi penulisnya yang diajukan pada Monash University, Melbourne-Australia
pada tahun 1998, dan kemudian menjadi sebuah buku. Sebagaimana judulnya,
penelitian ini hanya mempelajari peran para pemimpin Muslim dalam perumusan
UUSPN atau UU No. 2, 1989 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Di
dalamnya dikemukakan mengapa para pemimpin Muslim ikut serta dalam
perdebatan mengenai Rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional, apa
sasarannya dan bagaimana mereka mengejar sasaran itu. Dan sebagaimana diakui
penulisnya bahwa kajiannya dibatasi pada konteks pembentukan kebijakan dalam
masa Orde Baru, 1965-1998.22
Sedangkan tulisan-tulisan yang membicarakan pendidikan Islam pada
masa pemerintahan Hindia Belanda yaitu: Rasi’in, Pendidikan Islam pada Zaman
Belanda, yang memaparkan asal mula kedatangan Belanda yang kemudian
21

Muh Saerozi, “Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Hostoris atas
Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia”, Disertasi, (Yogyakarta: PPs UIN Sunan
Kalijaga, 2003)
22
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam
dalam Penyusunan UU No.2/1989, Alih bahasa Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 2004)

30

mendirikan banyak sekolah dengan maksud menghasilkan pegawai murah.
Rasi’in pun secara sekilas membahas tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda dan sikap umat Islam dalam meresponi kebijakan tersebut.23
Karya lainnya adalah Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu
Telaah Konsep Pembaharuan di Zaman Kolonial Belanda, yang menggambarkan
pembaharuan-pembaharuan pendidikan di Indonesia pada permulaan abad ke-20
dengan terlebih dahulu menelusuri secara selintas tentang sistem peralihan Hindu
Islam, langgar dan pesantren.24
Berdasaran penelusuran dari karya-karya di atas, penelitian yang penulis
lakukan ini berbeda dengan karya-karya tersebut. Penelitian ini berupaya untuk
mendeskripsikan kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterbitkan pemerintah
Hindia Belanda pada masa penjajahannya, untuk kemudian dilihat bagaimana
implikasinya terhadap perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam pada
waktu itu. Tulisan yang dihasilkan Rasi’in mengenai perkembangan pendidikan
Islam belum menggambarkan implikasi yang ditimbulkan oleh kebijakankebijakan politik pendidikan Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam.
Kemudian Ras’in juga tidak membahas sama sekali mengapa kebijakankebijakan

tersebut

keluar.

Sementara

23

karya

Jalaluddin

juga

hanya

Rasi’in, “Pendidikan Islam di Indonesia pada Zaman Belanda”, dalam Abuddin Nata (Ed.),
Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa Bandung, 2003), hal. 8
24
Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah Konsep Pembaharuan di Zaman
Kolonial Belanda, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990)

31

mengungkapkan pembaharuan-pembaharuan pendidikan pada masa itu, dengan
tidak menyebutkan kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda.

E. Kerangka Teori
Kebijakan berasal dari bahasa Inggris yaitu “policy”. Dalam studi ilmu
politik, kata tersebut selalu dirangkai dengan kata lain sehingga membentuk suatu
makna lain, misalnya policy studies yang termasuk di dalamnya policy research
dan policy evaluation. Dalam studi ilmu ekonomi, kesehatan, pertanian dan
pekerjaan sosial dikenal dengan istilah “studies policy”.25
Kebijakan (policy) merupakan sekumpulan keputusan yang diambil oleh
seseorang atau sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan caracara untuk mencapai tujuan tersebut.26 Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa
kebijakan adalah alternatif yang diambil atas pengkajian terhadap sesuatu
masalah.27 Jadi kebijakan selalu mengandung keputusan-keputusan,28 di mana
keputusan kebijakan merupakan alternatif yang diambil mengenai cita ideal;

25

Noeng Muhajir, Metodologi Kebijakan, (Yogyakarta: Rake Sarasen, 1998), hal. 29
Supandi dan Ahmad Sanusi, Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan, (Jakarta:
Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK, 1988), hal. 11. Sebagian penulis membedakan kata kebijakan
dengan kebijaksanaan. Dikatakan bahwa kebijaksanaan sepadan dengan wisdom, kebijakan adalah
policy. Dalam kebijaksanaan terdapat pertimbangan perkecualian, sedang kebijakan merupakan
keputusan yang disepakati secara umum tanpa perkecualian. Sementara yang lain berpendapat
sebaliknya. Bahkan ada yang menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian. Lihat Ali Imron,
Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), hal. 15-17. Dalam hal ini penulis tidak memaknai kata kebijakan secara terisolasi atau sendiri
melainkan dirangkai dengan kata pendidikan sehingga menjadi ‘kebijakan pendidikan’.
27
Noeng Muhadjir, Metodologi, hal. 29
28
Supandi dan Ahmad Sanusi, Kebijaksanaan, hal. 15
26

32

sedang kriteria yang dipahami mungkin rasionalitas, prioritas atau kaidah
konstitusi.29
Tahapan kebijakan meliputi penyusunan kebijakan (policy formulation),
penerapan kebijakan (policy implementation), dan evaluasi kebijakan (policy
evaluation). Adapun yang dimaksud dengan kebijakan dalam penelitian ini
adalah difokuskan pada produk kebijakan dalam formulasi yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah Hindia Belanda, bukan proses penyusunan kebijakannya.
Sedangkan yang dimaksud sistem politik30 dapat diartikan sebagai
kumpulan-kumpulan pendapat, prinsip yang membentuk suatu kesatuan, yang
berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan

29

Noeng Muhadjir, Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), hal. 59
30
Kata politik berasal dari kata politics (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau
perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.
Lihat, A.S. Hornby A.P. Cowic, (ed.), Oxford Advanced Dictionary ofr Current English, (London:
Oxfrod University Press, 1996), hal. 893. Dalam kamus Inggris, kata politik diterjemahkan dengan
“bijaksana” atau “dengan bijaksana”. Lihat juga John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus InggrisIndonesia, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 437. Kata ini terambil dari kata Latin, politicus dan bahasa
Yunani (Greek), politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata
polis yang bermakna city atau kota. Lihat Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century
Dictionary, (USA: William Collin Publisher, 1980), hal. 437. Politik kemudian diserap dalam bahasa
Indonesia dengan tiga arti, yaitu: “Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya)
mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan
juga digunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.” W.J.S.
Poerdawarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal. 763. Menurut
Hassan Shadily, politik dilihat sebagai konsep yang berkenaan dengan soal-soal pemerintahan. Makna
politik sebagai tipu muslihat atau kelicikan ternyata tak terpakai lagi. Lihat Hassan Shadily,
Ensiklopedi Indonesia, Jil. 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1983), hal. 273. Lihat juga, Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 694. Dengan demikian,
yang dimaksud politik dalam tulisan ini, adalah perilaku manusia, baik berupa aktivitas atau sikap,
yang bertujuan memengaruhi atau pun mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan
menggunakan kekuasaan.

33

dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu
dengan individu, kelompok dengan kelompok atau negara dengan negara.31
Sistem politik dan kebijakan negara, termasuk kebijakan pendidikan
saling berkait dan dapat dilihat pada dihasilkannya kebijakan-kebijakan
pendidikan tersebut oleh sistem politik. Dengan kata lain, out put sistem politik
itu salah satunya adalah kebijakan pendidikan. Dengan demikian, munculnya
kebijakan pendidikan dan kebijakan-kebijakan negara yang lain adalah sebagai
pertanda adanya sistem politik di negara tersebut, bahkan dapat dijadikan
indikator dari eksistensi sistem politik tersebut. Sebab, politik itulah yang
memungkinkan terbentuknya badan-badan yang memproduk kebijakan, termasuk
kebijakan pendidikan.32
M. Sirozi menambahkan bahwa,33 pada dataran kebijakan, sangat sulit
memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah
di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada
pemerintah tersebut. Begitu pula sebaliknya, implementasi dari suatu kebijakan
pendidikan juga berdampak pada kehidupan politik.
Uraian tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal
yang berhubungan erat dan saling memengaruhi. Bahkan, karena kuatnya kaitan
antara masalah pendidikan dan politik serta aspek-aspek publik lainnya, setiap

31

Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan, hal. 21
Ibid.
33
M. Sirozi, Politik Pendidikan, Cet. II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 12
32

34

kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan
pandangannya tentang masyarakat dan keyakinan politiknya.34
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi
sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik
yang dikehendakinya. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan
bahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu.
Bahkan Elliot mengatakan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan,
kurikulum, misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik.35
Adapun kebijakan politik pendidikan adalah kebijakan pemerintah untuk
mengatur pendidikan di negaranya.36 Dalam hal ini pemerintah kolonial Hindia
Belanda yang mengatur pendidikan semasa kekuasaanya di Hindia Belanda.
Kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda merupakan kelanjutan
dari kebijakan-kebijakan sebelu