BAB I DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 (Sisdiknas, Pasal 3), yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas
Nomor 20/2003) maka, melalui pendidikan diharapkan dapat meningkatkan
kualitas kehidupan pribadi maupun masyarakat, serta mampu menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional.
Data The United Nations Development Program tahun 2011 tentang
peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per
kepala menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin
menurun. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada
tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, ke-109 tahun 1999 dan
menurun 112 pada tahun 2000 (Pujiantoro, 2010).
Dalam usaha meningkatkan Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index) dari sektor pendidikan perlu adanya peningkatan kompetensi
lulusan perguruan tinggi yang merupakan muara dari penciptaan SDM. Oleh


1

karena itu Undiksha yang merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia
yang berhaluan pendidikan perlu berbenah diri dan berkembang kaitannya dengan
kompetensi lulusan. S1 PGSD yang merupakan salah satu jurusan di Undiksha
yang mencetak tenaga pengajar guru pendidikan dasar harus memperhatikan
kompetensi lulusan.
Mahasiswa lulusan S1 PGSD Undiksha harus memiliki standar
kompetensi lulusan seperti (Undiksha.ac.id, 2011) : 1) Memahami karakteristik
anak usia SD/MI dalam penggalan kelompok usia tertentu (kelas awal dan kelas
lanjut). 2) Memahami latar belakang keluarga dan masyarakat untuk menetapkan
kebutuhan belajar usia SD/MI dalam konteks kebhinnekaan budaya. 3)
Memahami cara belajar dan kesulitan belajar anak usia SD/MI dalam penggalan
kelompok usia tertentu (kelas awal dan kelas lanjut). 4) Mampu mengembangkan
potensi peserta didik usia SD/MI. 5) Menguasai substansi dan metodologi dasar
keilmuan Matematika yang mendukung pembelajarn matematika SD/MI. 6)
Menguasai substansi dan metodologi dasar keilmuan Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA), IPS, PKn, Matematika, Bahasa Indonesia yang mendukung pembelajaran.
7) Mampu mengembangkan kurikulum dan pembelajaran lima mata pelajaran

SD/MI, secara kreatif dan inovatif. 8) Mampu bekontribusi terhadap
perkembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional dan global. 9)
Mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi
dan mengembangkan diri. 10) Mampu menggunakan bahasa Inggris untuk
mengembangkan wawasan.
Untuk mencapai target tersebut, beberapa usaha yang telah dilakukan di
antaranya sebagai berikut (Jurusan PGSD, 2011): (1) Menjabarkan kompetensi

2

lulusan S1 PGSD ke dalam kurikulum S1 PGSD, (2) Menyiapkan perangkat
kurikulum (silabus, SAP, dan Hand out), (3) Menyiapkan bahan ajar, (4)
Menetapkan pengampu mata kuliah sesuai ketentuan yang berlaku, (5)
Melaksanakan pembelajaran minimal 12 kali (75%) pertemuan dari 16 kali
pertemuan termasuk melaksanakan evaluasi, (6) Melaksanakan bimbingan non
akademik melalui layanan bimbingan akademik, (7) Menerapkan disiplin bagi
mahasiswa dan dosen, (8) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler yang
diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan kemahasiswaan (HMJ). Berbagai
usaha yang dilakukan dianalisis lebih jauh menggunakan SWOT. Berdasarkan
analisis SWOT Jurusan PGSD undiksha diperoleh bahwa kelemahan (W) yang

ada adalah: (1) kemampuan dosen Jurusan PGSD dalam menerapkan
pembelajaran yang inovatif masih rendah, (2) Jumlah mahasiswa Jurusan PGSD
relatif banyak, (3) Tidak semua mahasiswa dapat terlibat dalam program HMJ ,
(4) Mahasiswa mempunyai kemampuan akademik sangat variatif, (5) Masih
cukup banyak mahasiswa yang IPK-nya relatif rendah (Laporan Evaluasi Diri,
2010). Kelemahan-kelemahan tersebut akan mempengaruhi mutu lulusan. Jika
melihat faktor jumlah mahasiswa yang banyak dan bervariasi dalam kemampuan
akademik, kemudian pembelajaran masih kurang inovatif serta minimnya
keterlibatan mahasiswa dalam HMJ maka harus dikaji faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil pembelajaran. Khususnya faktor dalam diri (internal)
mahasiswa seperti gaya kognitif dan konsep diri.
Salah satu karakteristik dari mahasiswa yang mempengaruhi kualitas dari
hasil pembelajaran adalah jenis gaya kognitif. Yang dimaksud dengan gaya
kognitif mahasiswa adalah cara mahasiswa menyusun dan mengolah informasi

3

serta pengalaman-pengalaman yang berasal dari alam sekitar (Amrina, 2004).
Gaya


kognitif

merupakan

cara

individu

untuk

mengorganisasikan,

merepresentasikan, dan memahami pengetahuan yang ia peroleh dari hasil
interaksi dengan lingkungan Riding dan Rayner (dalam Chen dan Macredie,
2002). Gaya kognitif dapat didefinisikan sebagai langkah yang ditempuh individu
untuk memproses informasi dan menggunakan strategi untuk melakukan tugas
(Candiasa, 2002). Jenis gaya kognitif seseorang secara sederhana dapat diketahui
melalui tindakan atau tingkah laku individu tersebut dalam memilih pendekatan
dalam melaksanakan tugas, cara berkomunikasi dalam kehidupan sosial seharihari, cara pandang terhadap objek di sekitarnya, mata pelajaran yang cenderung
dipilih atau digemari, model pembelajaran yang cenderung dipilih, cara

mengorganisir informasi, dan cara berinteraksi dengan dosen.
Menurut Candiasa (2002) gaya kognitif bersifat bipolar, yaitu memiliki
dua kutub, namun tidak menunjukkan adanya keunggulan salah satu kutub
terhadap kutub lainnya. Masing-masing kutub cenderung memiliki nilai atau
dampak yang positif pada situasi tertentu atau sebaliknya memiliki nilai atau
dampak negatif pada kondisi yang lain. Gaya kognitif dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu gaya kognitif field independent dan gaya kognitif field
dependent (Abdurahman, 2003). Pengertian dari masing-masing gaya kognitif
tersebut, yaitu: a) field independent adalah gaya kognitif seseorang dengan tingkat
kemandirian

yang

tinggi

dalam

mencermati

suatu


rangsangan

tanpa

ketergantungan dari faktor-faktor luar dan kurang dapat bekerja sama, b) field
dependent adalah gaya kognitif seseorang yang cenderung dan sangat bergantung
pada sumber informasi dari luar dan bekerja sama lebih baik dengan orang lain.

4

Mahasiswa sebagai individu yang unik sudah tentu memiliki gaya kognitif
yang berbeda dengan teman-temannya dalam satu kelas. Gaya kognitif yang
dimiliki oleh mahasiswa akan memberikan dampak atau pengaruh yang positif
apabila disediakan lingkungan dan kondisi yang tepat, sehingga mahasiswa dapat
belajar secara optimal. Mahasiswa yang belajar secara optimal akan mencapai
hasil belajar yang baik. Namun, jika kondisi atau lingkungan belajar mahasiswa
tidak sesuai dengan gaya kognitif yang dimilikinya akan membuat mahasiswa
tidak dapat belajar secara optimal. Hal ini akan berdampak negatif pada hasil
belajar mahasiswa itu sendiri. Jadi dalam menerapkan pembelajaran di kelas harus

memperhatikan jenis gaya kognitif yang dimiliki oleh mahasiswa.
Konsep diri sangat besar peranannya bagi mahasiswa, yaitu konsep diri
mahasiswa mempengaruhi perilaku belajar dan prestasi belajar mahasiswa. Sebab
pada hakikatnya semakin tinggi konsep diri seseorang maka akan semakin mudah
ia mencapai keberhasilan. Dengan konsep diri yang tinggi seseorang akan
bersikap optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani mengambil resiko, penuh
percaya diri, antusias, merasa dirinya berharga, dan berani menetapkan tujuan
hidup. Sebaliknya, semakin rendah konsep diri mahasiswa, maka semakin sulit
seseorang untuk berhasil karena konsep diri yang rendah akan mengakibatkan
tumbuh rasa tidak percaya diri, takut gagal sehingga tidak berani mencoba hal-hal
baru dan menantang, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa tidak berguna,
pesimis, serta bebagai perasaan dan perilaku inferior lainnya (Suardana, 2010).
Dari uraian di atas, terlihat adanya perbedaan karakteristik pada gaya
kognitif dan konsep diri mahasiswa yang diduga akan memberikan dampak yang
berbeda terhadap cara mahasiswa untuk memahami topik yang disajikan. Namun,

5

seberapa jauh kontribusi gaya kognitif dan konsep diri terhadap pemahaman
konsep IPA mahasiswa khususnya mahasiswa S1 PGSD Undiksha. Untuk itu,

perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui Kontribusi Gaya Kognitif dan
Konsep Diri Terhadap Pemahaman Konsep IPA Pada Mahasiswa S1 PGSD
Undiksha.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas terkait
dengan kontribusi gaya kognitif dan konsep diri terhadap pemahaman konsep IPA
mahasiswa, dapat diidentifikasi masalah, yaitu ditinjau dari aspek mahasiswa,
yang mempengaruhi hasil belajar muncul dari faktor internal dan eksternal. Faktor
internal mahasiswa meliputi sikap terhadap belajar, motivasi berprestasi,
konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar, menyimpan perolehan hasil belajar,
menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan berprestasi atau untuk hasil
belajar, rasa percaya diri, inteligensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar
dan cita-cita mahasiswa, sedangkan faktor eksternal dapat berupa: dosen, sarana
dan prasarana, kebijakan penilaian, lingkungan sosial lingkungan, dan kurikulum.
Permasalahan yang ada di Jurusan PGSD Undiksha adalah masih minimnya
keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan akademik dan non-akademik yang
menyebabkan penurunan kualitas dan mutu lulusan.

1.3 Pembatasan masalah

Mengingat faktor-faktor yang terkait dalam proses belajar mengajar sangat
kompleks, serta adanya kendala lain berupa keterbatasan waktu, biaya, dan

6

kemampuan peneliti, maka penelitian ini terbatas pada kontribusi gaya kognitif
dan konsep diri terhadap pemahaman konsep IPA mahasiswa Jurusan S1 PGSD
Undiksha Tahun Ajaran 2012/2013.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah diungkapkan pada latar belakang, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menyangkut kontribusi gaya
kognitif dan konsep diri terhadap pemahaman konsep IPA. Rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut.
1. Seberapa besarkah kontribusi gaya kognitif terhadap pemahaman konsep
IPA mahasiswa Jurusan S1 PGSD Undiksha?
2. Seberapa besarkah kontribusi konsep diri terhadap pemahaman konsep IPA
mahasiswa Jurusan S1 PGSD Undiksha?
3. Seberapa besarkah kontribusi gaya kognitif dan konsep diri terhadap
pemahaman konsep IPA mahasiswa Jurusan S1 PGSD Undiksha?


1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diungkapkan, adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.

Untuk mengetahui kontribusi gaya kognitif terhadap
pemahaman konsep IPA mahasiswa Jurusan S1 PGSD Undiksha.

2.

Untuk mengetahui kontribusi konsep diri terhadap
pemahaman konsep IPA mahasiswa Jurusan S1 PGSD Undiksha.

7

3.

Untuk mengetahui kontribusi gaya kognitif dan konsep
diri terhadap pemahaman konsep IPA mahasiswa Jurusan S1 PGSD
Undiksha.


1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu :
1. Teoretik, hasil penelitian ini dapat memberikan justifikasi empirik terhadap
teori-teori gaya kognitif dan konsep diri dalam hubungannya dengan
pemahaman konsep IPA.
2. Praktis, manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.
Bagi mahasiswa
Penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan pemahaman
konsep mahasiswa, untuk mengikuti pelajaran berikutnya maupun sebagai bekal
tentang cara memecahkan masalah dalam kehidupannya di masyarakat.
b.

Bagi dosen
Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi dosen yang dapat digunakan

sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap
konsep IPA.
c.

Bagi Jurusan
Hasil

penelitian

ini

dapat dijadikan

bahan pertimbangan

dalam

pengembangan pembelajaran IPA dan juga diharapkan dapat dikembangkan dalam
pembelajaran bidang studi lainnya.

8

d.

Bagi peneliti
Peneliti mendapatkan wawasan dan pengalaman langsung dalam menggali

serta mengkorelasi hubungan antara gaya kognitif dan konsep diri terhadap
kemampuan pemahaman mahasiswa terhadap konsep IPA.

9

BAB II
LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Teori
2.1.1 Tinjauan Tentang Gaya Kognitif
Menurut Candiasa (2002) gaya kognitif adalah karakteristik individu
dalam merasakan, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, dan membuat
keputusan. Broverman mengemukakan bahwa gaya kognitif menggambarkan
perbedaan cara orang memahami lingkungannya. Kagan (dalam Dewi, 2006)
mengemukakan bahwa gaya kognitif sebagai variasi cara individu dalam
menerima, mengingat, dan memikirkan informasi atau sebagai perbedaan cara
memahami, menyimpan, mentransformasi, dan memanfaatkan informasi. (Lamba,
2006) mendefinisikan gaya kognitif adalah suatu dorongan pada seseorang untuk
berhasil dalam berkompetisi dengan suatu standar keunggulan tertentu. (Dewi,
2006) mengemukakan bahwa istilah gaya kognitif mengacu pada kekonsistenan
pemolaan (patterning) yang ditampilkan seseorang dalam merespon berbagai jenis
situasi. Woolfolk (dalam Dewi, 2006) mengemukakan bahwa gaya kognitif adalah
bagaimana seseorang menerima dan mengorganisasi informasi dari dunia
sekitarnya. Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam memproses, menyimpan,
maupun menggunakan informasi untuk merespon suatu tugas atau merespon
berbagai jenis situasi lingkungannya (Dewi, 2006). Gaya kognitif merujuk pada
cara orang memperoleh informasi dan menggunakan strategi untuk merespon

10

suatu tugas (Nurdin, 2005). Disebut sebagai gaya dan tidak sebagai kemampuan
karena mengarah pada bagaimana orang memproses informasi dan memecahkan
masalah, dan bukan pada bagaimana cara yang terbaik dalam memproses
informasi dan memecahkan masalah. Menurut Kagan (dalam Nurdin, 2005), gaya
kognitif dapat didefinisikan sebagai variasi individu dalam cara memandang,
mengingat, dan berpikir atau sebagai cara tersendiri dalam hal memahami,
menyimpan, mentransformasi, dan menggunakan informasi.
Gaya kognitif bersifat bipolar (Candiasa, 2002) yaitu memiliki dua kutub,
namun tidak menunjukkan adanya keunggulan salah satu kutub terhadap kutub
yang lainnya. Masing-masing kutub cenderung memiliki nilai positif pada situasi
tertentu, atau sebaliknya cenderung memiliki nilai negatif pada situasi yang lain.
Atkinson (dalam Lamba, 2006) membedakan gaya kognitif atas gaya kognitif
field independent dan field dependent. Pengertian dari masing-masing gaya
kognitif tersebut dikemukakan oleh Crowl, Keminsky, & Podell (dalam Bundu,
2003), yaitu: a) field independent adalah gaya kognitif seseorang dengan tingkat
kemandirian

yang

tinggi

dalam

mencermati

suatu

rangsangan

tanpa

ketergantungan dari faktor-faktor luar dan kurang dapat bekerja sama, b) field
dependent adalah gaya kognitif seseorang yang cenderung dan sangat bergantung
pada sumber informasi dari luar dan bekerja sama lebih baik dengan orang lain.
Witkin, Moore and Goodenough (dalam Nurdin, 2005) mengemukakan bahwa
orang yang memiliki gaya kognitif field independent lebih suka memisahkan
bagian-bagian dari sejumlah pola dan menganalisis pola berdasarkan komponenkomponennya, sedangkan orang yang memiliki gaya kognitif field dependent

11

cenderung memandang suatu pola sebagai keseluruhan, tidak memisahkan ke
dalam bagian-bagiannya.
Nasution mengemukakan bahwa mahasiswa yang bergaya kognitif field
dependent sangat dipengaruhi atau bergantung pada lingkungan, sedangkan
mahasiswa yang bergaya kognitif field independent tidak atau kurang dipengaruhi
oleh lingkungan. Witkin menyatakan bahwa orang yang mempunyai gaya kognitif
field independent merespon suatu tugas cenderung bersandar atau berpatokan pada
syarat-syarat dari dalam diri sendiri, sedangkan orang yang memiliki gaya
kognitif field dependent melihat syarat lingkungan sebagai petunjuk dalam
merespon suatu stimulus. Winkel mengemukakan bahwa orang yang bergaya
kognitif field dependent cenderung memandang suatu pola sebagai keseluruhan
dan kerap lebih berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial,
sedangkan orang yang bergaya kognitif field independent cenderung untuk lebih
memperhatikan bagian dan komponen dalam suatu pola dan kerap pula lebih
berorientasi pada penyelesaian tugas dari pada hubungan sosial. Menurut Lamba
(2006) gaya kognitif seseorang dapat dilihat dari sikap dan perilaku, seperti
keuletan, ketekunan, daya tahan, keberanian menghadapi tantangan, dan
kegairahan serta kerja keras.
a. Gaya Kognitif Field Independent
Menurut Witkin, et.al (dalam Candiasa, 2002) karakteristik individu yang
memiliki gaya kognitif field independent, yaitu: 1) memiliki kemampuan
menganalisis untuk memisahkan objek dari lingkungan sekitar, sehingga
persepsinya tidak terpengaruh bila lingkungan mengalami perubahan, 2)
mempunyai kemampuan mengorganisasikan objek-objek yang belum terorganisir

12

dan mereorganisir objek-objek yang sudah terorganisir, 3) cenderung kurang
sensitif, dingin, menjaga jarak dengan orang lain, dan individualistis, 4) memilih
profesi yang bisa dilakukan secara individu dengan materi yang lebih abstrak atau
memerlukan teori dan analisis, 5) cenderung mendefinisikan tujuan sendiri, dan 6)
cenderung bekerja dengan mementingkan motivasi intrinsik dan lebih dipengaruhi
oleh penguatan instrinsik.
Secara ringkas ciri-ciri individu field independent dalam belajar yaitu: 1)
memfokuskan diri pada materi kurikulum secara rinci, 2) memfokuskan diri pada
fakta dan prinsip, 3) jarang melakukan interaksi dengan dosen, 4) interaksi formal
dengan dosen hanya dilakukan untuk mengerjakan tugas, dan cenderung memilih
penghargaan secara individu, 5) lebih suka bekerja sendiri, 6) lebih suka
berkompetisi, dan 7) mampu mengorganiskan informasi secara mandiri (Liu &
Ginter, 1999; Musser, 1997).
Musser (1997) mengemukakan kondisi pembelajaran yang dapat
menunjang mahasiswa yang memiliki gaya kognitif field independent

agar

belajar secara maksimal, antara lain: 1) pembelajaran yang menyediakan
lingkungan belajar secara individual atau mandiri, 2) disediakan lebih banyak
kesempatan untuk belajar dan menemukan sendiri suatu konsep atau prinsip, 3)
disediakan lebih banyak sumber dan materi belajar, 4) pembelajaran yang hanya
sedikit memberikan petunjuk dan tujuan, 5) mengutamakan intruksi dan tujuan
secara individual, dan 6) disediakan kesempatan untuk membuat ringkasan, pola,
atau peta konsep berdasakan pemikirannya.
Individu

yang

bergaya

kognitif

field

independent

mempunyai

kecenderungan untuk mencapai prestasi lebih tinggi dari pada kecenderungannya

13

menghindari kegagalan. Mereka selalu optimis akan berhasil dan cenderung akan
mencapai prestasi yang maksimal. Individu yang mempunyai gaya kognitif field
independent apabila dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks dan bersifat
analitis cenderung melakukannya dengan baik, dan apabila berhasil, antusias
untuk melakukan tugas-tugas yang lebih berat lebih baik lagi dan mereka lebih
senang untuk bekerja secara mandiri.
b. Gaya Kognitif Field Dependent
Witkin, et.al (dalam Candiasa, 2002) juga mengidentifikasi 6 karakteristik
dari individu yang memiliki gaya kognitif field dependent, yaitu: 1) cenderung
berpikir global, memandang objek sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya,
sehingga persepsinya mudah terpengaruh oleh perubahan lingkungan, 2)
cenderung menerima struktur yang sudah ada karena kurang memiliki
kemampuan merestrukturisasi, 3) memiliki orientasi sosial, sehingga tampak baik
hati, ramah, bijaksana, baik budi, dan penuh kasih sayang terhadap individu lain,
4) cenderung memilih profesi yang menekankan pada kemampuan sosial, 5)
cenderung mengikuti tujuan yang sudah ada, 6) cenderung bekerja dengan
mengutamakan motivasi eksternal dan lebih tertarik pada penguatan eksternal,
berupa hadiah, pujian atau dorongan dari orang lain.
Ciri-ciri individu field dependent dalam belajar (Liu & Ginter, 1999;
Musser, 1997), yaitu: 1) menerima konsep dan materi secara umum, 2) agak sulit
menghubungkan konsep-konsep dalam kurikulum dengan pengalaman sediri atau
pengetahauan awal yang telah mereka miliki, 3) suka mencari bimbingan dan
petunjuk dari dosen, 4) memerlukan hadiah atau penghargaan untuk memperkuat
interaksi dengan dosen, 5) suka bekerja dengan orang lain dan menghargai

14

pendapat dan perasaan orang lain, 6) lebih suka bekerja sama daripada bekerja
sendiri, dan 7) lebih menyukai organisasi materi yang disiapkan oleh dosen.
Individu yang memiliki gaya kognitif field dependent lebih cenderug
mengantisipasi kegagalan dengan memilih tugas-tugas yang mudah dan sifatnya
harus banyak bimbingan.
Menurut Musser (1997) kondisi pembelajaran yang memungkinkan
mahasiswa yang memiliki gaya kognitif field dependent belajar secara maksimal,
antara lain: 1) belajar secara kelompok atau belajar dalam lingkungan belajar
sosial, 2) diberikan lebih banyak petunjuk secara jelas dan eksplisit, 3) disediakan
strategi tertentu sebelum melakukan suatu instruksi, 4) disajikan lebih banyak
umpan balik, 5) disajikan informasi secara umum atau garis–garis besarnya, dan
6) disediakan banyak contoh.
Implikasi gaya kognitif mahasiswa yang field dependen-field independent
dalam pembelajaran dapat dirangkum dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Implikasi Gaya Kognitif Mahasiswa dalam Pembelajaran
NO
1
2

Gaya kognitif field dependent
Penerimaan secara global

Gaya kognitif field independent
Penerimaan secara analitis

Memahami secara global struktur Memahami
yang diberikan

struktur

secara

artikulasi

dari

yang

diberikan

atau

pembatasan
3

Membuat perbedaan yang umum Membuat perbedaan konsep yang
dan luas antara konsep, melihat

spesifik dengan sedikit mungkin

hubungan/ keterkaitan

tumpang tindih

4

Orientasi sosial

Orientasi pada perorangan

5

Belajar materi yang lebih bersifat Belajar materi sosial hanya sebagai

15

sosial
6

tugas yang disengaja

Materi yang baik adalah materi Belajar materi sosial hanya sebagai
yang

relevan

dengan

tugas yang disengaja

pengalamannya
7

Memerlukan
penguatan

bantuan
untuk

luar

dan Tujuan

mencapai

dapat

dicapai

dengan

penguatan sendiri

tujuan
8

Memerlukan pengorganisasian

Bisa dengan situasi struktur sendiri

9

Lebih dipengaruhi oleh kritik

Kurang dipengaruhi oleh kritik

10

Menggunakan
penonoton
konsep

pendekatan Menggunakan pendekatan pengetesan
untuk

mencapai

hipotesis

dalam

pencapaian

konsep

(Nurdin, 2005)
Kajian Heller (dalam Lamba, 2006) menyimpulkan ada 6 karakteristik
gaya kognitif yang nampak konsisten ditemukan dalam konteks sekolah, yaitu (1)
individu yang memiliki field independent lebih menyukai terlibat dalam situasi di
mana ada resiko gagal. Sebaliknya, indifidu yang memiliki gaya kognitif field
dependent cenderung memilih tugas-tugas yang mudah, (2) faktor kunci yang
memotivasi individu bergaya kognitif field independent adalah kepuasan intrinsik
dari keberhasilan itu sendiri, bukan pada ganjaran ekstrinsik, seperti uang atau
prestise. Individu yang memiliki gaya kognitif field independent akan bekerja
keras agar berhasil, (3) cenderung membuat pilihan atau tindakan yang realistis,
dalam menilai kemampuannya dengan tugas-tugas yang dikerjakan, (4) Individu
yang memiliki gaya kognitif field independent menyukai situasi di mana ia dapat
menilai sendiri kemajuannya dan pencapain tujuannya, (5) individu yang bergaya
kognitif field independent perspektif waktu jauh ke depan, dan (6) individu yang

16

bergaya kognitif field independent tidak selalu menunjukkan rata-rata nilai yang
tinggi di sekolah.
2.1.2 Tinjauan Tentang Konsep Diri
2.1.2.1 Pengertian Konsep Diri
Manusia senantiasa berinteraksi dengan lingkungan baik sesama manusia
maupun dengan alam sekitarnya. Dalam konteks interaksi dengan sesama
seseorang tidak hanya berusaha mengerti tentang persoalan dan prilaku orang lain,
namun juga berusaha untuk mengerti tentang dirinya sendiri dalam rangka
mengadaptasi diri. Melalui komunikasi akan akan terbentuk saling pengertian,
tumbuh rasa saling menyayangi, persahabatan menyebarkan pengetahuan dan
melestarikan peradaban. Demikian pula dengan komunikasi juga dapat
menimbulkan permusuhan dan perpecahan serta dapat merintangi kemajuan.
Konsep diri merupakan bagian penting dalam perkembangan kepribadian.
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui
individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan
orang lain. Hal ini termasuk persepsi individu terhadap sifat dan kemampuan,
interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek, tujuan serta keinginan. Secara umum, Campbell at al.,
1966 (dalam Syamsul B. T, 2010) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan
pandangan penilaian dan kepercayaan terhadap dirinya, sebagai sekema kognitif
tentang diri sendiri yang mencakup sifat-sifat, nilai-nilai, peristiwa-peristiwa dan
memori semantik tentang diri sendiri serta control terhadap pengolahan informasi
diri yang relevan. Secara lebih luas, konsep diri dirumuskan sebagai skema

17

kognitif atau pandangan dan penilaian tentang diri sendiri, yang mencakup
atribut-atribut spesifik yang terdiri atas komponen pengetahuan dan komponen
evaluatif. Komponen pengetahuan termasuk sifat-sifat karakteristik fisik,
sedangkan komponen evaluatif termasuk peran, nilai-nilai, kepercayaan diri, harga
diri dan evaluasi diri global.
Konsep diri menggambarkan pengetahuan tentang diri sendiri yang
mencakup konsep diri jasmaniah, konsep diri sosial dan konsep diri akademik.
Konsep diri merupakan filter dan mekanisme yang mewarnai keseharian. Siswa
yang memiliki konsep diri positif menjadi tidak cemas dalam menghadapi situasi
baru, mampu bergaul dengan teman sebayanya, lebih kooperatif dan mampu
mengikuti aturan dan norma-norma yang berlaku. Siswa yang menunjukkan
konsep diri yang rendah atau negatif, akan memandang dunia di sekitarnya secara
negatif. Sebaliknya, siswa yang memiliki konsep diri yang tinggi atau positif,
cenderung memandang dunia sekitarnya positif.
Konsep diri sebagai pandangan yang dimiliki setiap orang mengenai
dirinya sendiri yang terbentuk, baik melalui pengalaman atau pengamatan
terhadap diri sendiri, baik konsep diri secara umum maupun konsep diri secara
spesifik termasuk konsep diri dalam kaitannya dalam bidang akademik, karier,
atlentik, kemampuan artistik dan fisik. Konsep diri merupakan verifikasi diri,
konsisten diri dan kompleksitas diri yang terbuka untuk interprestasi sehingga
secara umum berkaitan dengan pembelajaran dan menjadi mediasi variabel
motivasi dan pilihan tugas-tugas pembelajaran, Black & Bornholt (2000) (dalam
Syamsul B. T., 2010).

18

Konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau
penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu bersangkutan (Chaplin, 2000:
451). Konsep diri dapat diartikan sebagai suatu gambaran mental seseorang
mengenai dirinya atau penilaian terhadap dirinya. Dapat pula diartikan sebagai
kepercayaan siswa terhadap kemampuan sendiri untuk melakukan suatu tugas/
tindakan yakni tindakan belajar.
Mengacu pada pengertian konsep diri, selanjutnya dapat disimpulkan
bahwa konsep diri merupakan gambaran diri, penilaian diri dan penerimaan diri
yang bersifat dinamis, yangterbentuk melalui ersepsi dan interprestasi terhadap
diri dan lingkungan, mencakup konsep diri umum (general self-consept) dan
konsep yang lebih spesifik (spesifik self-consept) dan konsep diri yang lebih
spesifik (spesifik self-consept) termasuk konsep diri akademik, sosial dan fisik.
Konsep diri ini sangat besar peranannya bagi siswa yang bersangkutan,
sebab konsep diri ini merupakan pusat semua prilaku individu. Dengan demikian
prilaku belajar dan prestasi belajar sangat dipengaruhi oleh konsep diri. Konsep
diri adalah bagaimana orang berpikir tentang dirinya dan nilai apa yang diletakkan
pada dirinya. Hal-hal seperti ini akan menentukan konsep dirinya. Konsep diri
sangat penting artinya dalam menentukan tujuan yang akan dirumuskan dalam
sikap yang dipegang, tingkah laku yang diprakasai dan respon yang dilakukan
terhadap orang lain dan lingkungannya (Cohen, 1976).
Berdasarkan kajian di atas dalam penelitian ini meneliti variable konsep
diri digunakan dasar teori Cohen (1976). Yang menyatakan bahwa konsep diri
adalah pandangan, penilaian dan kepercayaan seseorang mengenai dirinya baik
menyangkut aspek fisik, aspek akademis, maupun aspek sosial.

19

2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri
seseorang sebagaimana yang di kemukakan oleh para ahli dalam tulisantulisannya. Menurut Louisajanda (1978 :132) yang mengatakan bahwa seseorang
anak tidak membawa konsep diri sejak lahir. Menurutnya anak-anak secara
perlahan-perlahan belajar untuk mendefinisikan dirinya berpijak pada cara-cara
oranglain memperlakukan dirinya. Karena kebanyakan anak-anak memulai
interaksinya dirumah, maka orang tua dan pengasuh adalah penentu utama
pembentukan konsep diri anak, individu-individu lain yang juga turut berperan
adalah saudara kandungnya, teman-temannya, pare guru serta orang-orang lain
yang berpengaruh dimata anak. Selain Louisayjanda, ahli lain seperti Ausubel
(dalam Dinkmeyer, 1965 :184) juga menyimpulkan bahwa konsep diri individu
merupakan produk sosial yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman dengan
sesama, orang tua, teman sebaya, maupun masyarakat lainnya.
Konsep yang tidak jauh berbeda dengan kedua ahli di atas dikemukakan
oleh Rakhmat (1986 : 126) yang merangkum pendapat beberapa orang ahli.
Rakhman menyebutkan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri seseorang. Kedua faktor tersebut adalah faktor faktor
orang lain dan faktor kelompok rujukan. Dengan melihar pendapat-pendapat di
atas, maka berikut ini dipaparkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsep
diri seseorang.
1.

Faktor Orang Lain
Jika seseorang diterima oleh orang lain, dihormati dan disenangi karena
keadaan dirinya, maka orang tersebut juga cenderung akan bersikap
20

menerima dan menghormati dirinya. Sebaliknya, apabila seseorang selalu
merasa diremehkan, maka ia cenderung akan bersikap tidak menyenangi
dirinya. Selain itu, tetap harus diingat bahwa tidak semua oramg mempunyai
pengaruh yang sama terhadap diri seseorang. Ada beberapa orang yang
memberikan pengaruh sangat kuat, yaitu orang-orang yang sangat dekat diri
seseorang seperti orang tua, saudara dan orang-orang yang tinggal dalam satu
rumah.
2.

Faktor Kelompok Rujukan
Kelompok rujukan yang dimaksud dalam hal ini adalah kelompok yang
dikaitkan dengan hubungan sosial di masyarakat. Dalam kaitannya dengan
pergaulan di sekolah, perkembangan konsep diri seseorang sangat
dipengaruhi oleh teman sebaya dan para guru.
Apabila seseorang merasa dirinya diterima dan dihormati oleh teman

sebaya dan oleh guru, hal itu akan membentuk konsep diri yang positif pada
dirinya. Akan tetapi, apabila seseorang merasa tidak diterimadan tidak dihormati
keberadaannya, maka kondisi ini akan berimplikasi pada terbentuknya konsep diri
negatif dalam dirinya.
2.1.2.3 Ciri-Ciri Konsep Diri
Seperti halnya dengan teori-teori kepribadian lainnya konsep diri secara
ekstrim selalu digambarkan berada dalam dua kutub, yaitu konsep diri positif dan
konsep diri negatif. Untuk memudahkan mengidentifikasi mereka yang memiliki
konsep diri tinggi dan mereka yang memiliki konsep diri rendah maka kita perlu
mencari ciri-ciri kedua konsep diri tersebut.

21

Brooks dan Emmert (1976), sebagaimana yang dikutip oleh Rakhmat
(1996: 132), mendeskripsikan mereka yang memiliki konsep diri tinggi dapat
diidentifikasi melalui beberapa ciri, yaitu (1) mereka merupakan orang yang yakin
akan kemampuannya dalam mengatasi suatu permasalahan, (2) mereka
merupakan orang yang sadar benar bahwa masyarakat tidak dapat sepenuhnya
menyetujui setiap perasaan, keinginan dan perilakunya. (3) mereka adalah orang
yang mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspekaspek kepribadiannya yang kurang baik dan mengubahnya, (4) mereka adalah
orang yang merasa dirinya setara dengan orang lain, dan (5) mereka merupakan
tipe orang yang menerima pujian tanpa rasa malu.
Selain ciri di atas, Brooks dan Emmert serta ahli lainnya, yaitu
Hamacheck (dalam Rakhmat, 1996 : 132) juga mengidentifikasi bahwa ada
sebelas indikator untuk mengenali orang yang memiliki konsep diri positif, yaitu:
(1) mereka merupakan orang yang meyakini benar nilai-nilai dan prinsip-prinsip
tertentu, serta bersedia mempertahankan walaupun menghadapi pendapat
kelompok yang lebih kuat. Namun mereka juga merasa lebih kuat untuk
mengubah prinsip-prinsipnya apabila pengalaman dan bukti-bukti menunjukkan
bahwa mereka memang keliru, (2) mereka adalah orang-orang yang mampu
bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah secara
berlebihan, atau menyesali tindakannya apabila orang lain tidak menyetujui
tindakan mereka, (3) mereka tidak mau membuang-membuang waktu dengan
mencemaskan hal-hal yang akan terjadi nanti, hari ini maupun yang telah terjadi,
(4) mereka memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,
bahkan ketika mereka menemui kegagalan atau kemunduran, (5) mereka merasa

22

sama dengan orang lain meskipun mereka sadar bahwa sebagai manusia tiap
orang memiliki perbedaan dalam hal kemampuan, latar belakang keluarga, atau
sikap orang lain terhadap mereka, (6) mereka sanggup menerima dirinya sebagai
orang yang mampu dan bernilai bagi orang lain, setidak-tidaknya bagi sahabatsahabat mereka, (7) mereka dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah
hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah, (8) mereka cenderung
menolak usaha orang lain untuk mendominasinya, (9) mereka mampu mengakui
pada orang lain bahwa mereka merasakan berbagai dorongan dan keinginan dari
perasaan marah sampai cinta, dari perasaan sedih sampai bahagia, serta perasaan
kecewa sampai puas yang mendalam pula, (10) mereka mampu menikmati diri
mereka secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan,
ungkapan diri yang kreatif, persahabatan atau sekedar mengisi waktu, (11) mereka
peka pada kebutuhan orang lain, kebutuhan sosial yang telah diterima, terutama
sekali pada gagasan mereka tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan
orang lain.
Sebaliknya Emmert (dalam Rakhmat), 1996 : 131) juga mengemukakan
ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif. Mereka digambarkan melalui
lima cirri; (1) ia tidak tahan menerima kritik dan mudah marah. Baginya, koreksi
sering dipersepsikan sebagai upaya untuk menjatuhkan dirinya. Ia juga berusaha
menghindari

dialog

yang

terbuka

serta

senantiasa

berusaha

untuk

mempertahankan pendapatnya dengan berbagai cara pembenaran atau logika yang
keliru, (2) ia sangat responsif terhadap pujian meskipun sering berpura-pura
menghindari pujian, (3) ia bersifat hiperkritis terhadap orang lain dengan selalu
mengeluh, mencela, meremehkan apa saja dan siapa saja, (4) ia cenderung merasa

23

tidak disenangi oleh orang lain sehingga ia bereaksi pada orang lain sebagai
musuh. Karena itu , ia tidak dapat menciptakan kehangatan dan keakraban
persahabatan, (5) ia bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terlihat dari
keengganannya bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.
2.1.3 Tinjauan Tentang Pemahaman Konsep
Menurut Parera (1993) pemahaman mencakup pengertian hubungan baik
secara lisan maupun secara tertulis dalam bentuk verbal dan simbolik. Tujuan
khas dari pemahaman ini adalah pelajar/mahasiswa dapat mengerti, mengatakan
dengan kata-kata sendiri, menerjemahkan, menafsirkan dan sebagainya.
Pemahaman merupakan rekonstruksi makna dan hubungan-hubungan, bukan
hanya sekedar proses asimilasi dari pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan
transformasi ilmu pengetahuan (Gardner, 1999b). Artinya bahwa pemahaman
bukan hanya sekedar proses asimilasi dari pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya (existing knowledge), tetapi restrukturisasi makna melalui proses
akomodasi. Dalam beberapa taksonomi pembelajaran, pemahaman menduduki
posisi pada tingkatan kognitif yang berbeda. Berdasarkan taksonomi Gagne,
pemahaman berada pada level informasi verbal (verbal information), menurut
taksonomi Bloom pada level comprehension, menurut taksonomi Anderson pada
level pengetahuan deklaratif (declarative knowlwdge), berdasarkan taksonomi
Merrill pada level remember paraphrased, dan menurut taksonomi Reigeluth pada
level memahami hubungan-hubungan (understand relationship) (Reigeluth &
Moore, 1999). Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa pemamahan
memerlukan prasyarat pengetahuan pada level yang lebih rendah dan merupakan

24

prasyarat untuk meraih pengetahuan pada level yang lebih tinggi seperti
penerapan, analisis, sintesis, evaluasi, wawasan, dan kebijakan seseorang.
Pemahaman merupakan prasyarat untuk mencapai pengetahuan atau
kemampuan pada tingkat yang lebih tinggi, baik pada konteks yang sama maupun
pada konteks yang lebih tinggi. Pembelajaran untuk pemahaman harus
memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki mahasiswa Dochy, 1996 (dalam
Warpala 2006).
Pengertian konsep dikemukan oleh Rosser (Dahar, 2006), menyatakan
bahwa konsep merupakan suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek,
kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai
atribut yang sama. Karena konsep-konsep itu adalah abstraksi berdasarkan
pengalaman dan tidak ada dua orang yang memiliki pengalaman yang sama
persis, maka konsep-konsep yang dibentuk setiap orang akan berbeda pula. Walau
berbeda tetapi cukup untuk berkomunikasi menggunakan nama-nama yang
diberikan pada konsep-konsep itu yang telah diterima. Pemahaman konsep adalah
tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami konsep, situasi
dan fakta yang diketahui, serta dapat menjelaskan dengan kata-kata sendiri sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya, dengan tidak mengubah artinya Purwanto
(2008: 11). Menurut Bloom (Akhmad sudrajat, 2008), segala upaya yang
menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Salah satu yang
termasuk ke dalam ranah kognitif yaitu pemahaman (comprehension).
Pemahaman merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami
sesuatu setelah sesuatu tersebut diketahui dan diingat, dengan kata lain memahami
adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi.

25

Seseorang siswa dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan
penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan
berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. Kilpatrick dan
Findell (Dasari 2002: 21) mengemukakan indikator pemahaman konsep yaitu: 1)
Kemampuan menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari. 2) Kemampuan
memberi contoh dari konsep yang telah dipelajari. 3) Kemampuan mengaitkan
berbagai konsep yang telah dipelajari.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman
konsep IPA adalah cara seseorang memahami suatu konsep IPA yang telah didapat
melalu serangkaian kajadian atau peristiwa yang dilihat maupun didengar yang
tersimpan dalam pikiran dan yang nantinya dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari (Linda, 2012).
2.1.4

Profil Jurusan PGSD Undiksha

2.1.4.1 Identitas Jurusan PGSD Undiksha
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar didirikan pada tanggal 1
September 2006 dengan nomor SK pendirian 3331/D/T/2006. Berdasarkan SK
Rektor Universitas Pendidikan Ganesha No.1103/H48/PP/2009 tentang dosen
tetap jurusan pendidikan guru sekolah dasar maka jurusan PGSD telah memiliki
dosen tetap sebanyak 70 orang dosen (Jurusan PGSD, 2011). Kualifikasi dosen
Jurusan PGSD saat ini, S2:53 orang, S3:3 orang, dan S1:1 orang. Dosen yang
sedang mengikuti S3:2 orang. Pelaksanaan pembelajaran di PGSD di dukung oleh
dosen-dosen dari jurusan lain untuk matakuliah tertentu. Di samping itu, sejak

26

tahun 2009 juga telah diterima dosen tidak tetap sebanyak 16 orang.
Pengangkatannya dilakukan berdasarkan SK Rektor sesuai dengan kebutuhan dan
usul dari jurusan.
Jurusan PGSD berada di bawah Fakultas Ilmu Pendidikan. Jurusan
dipimpin oleh seorang ketua jurusan dibantu oleh sekretaris jurusan dan ketua
Lab. Jurusan PGSD membawahi 2 UPP yaitu UPP Singaraja dan UPP Denpasar.
Masing-masing UPP dipimpin oleh seorang ketua UPP dibantu oleh sekretaris
UPP. Ketua jurusan, sekretaris, dan ketua Lab jurusan PGSD dipilih berdasarkan
rapat pimpinan fakultas. Pemilihan ketua dan sekretaris UPP dilakukan melalui
rapat dosen UPP. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pimpinan jurusan
termasuk civitas akademika lainnya berpedoman pada pedoman studi yang
memuat tentang aturan, disiplin, dan etika yang harus dipenuhi.
Pola

kepemimpinan

jurusan

menggunakan

pola

kepemimpinan

demokratis. Setiap program yang dirancang dan dilaksanakan oleh jurusan
ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat melalui rapat rutin jurusan
setiap bulan atau rapat insidental oleh staf pengelola jurusan. Setiap dosen jurusan
PGSD wajib melaksanakan Tri Dharma PT dengan baik. Dosen yang dilibatkan
mengajar tidak hanya dari dosen Jurusan PGSD, tetapi juga dosen dari Jurusan
lain atau fakultas lain di lingkungan Undiksha. Beberapa mata kuliah diampu oleh
dosen luar biasa. Kegiatan dosen dalam P2M dan kegiatan akademik lainnya
berjalan dengan baik. Para dosen PGSD diberi kesempatan yang sama dalam
bersaing memperebutkan dana penelitian dan P2M dari Fakultas maupun
Universitas. Namun demikian, kemampuan para dosen dalam menyusun proposal

27

untuk memperoleh dana di tingkat pusat (Dikti), penulisan menulis karya ilmiah
pada majalah nasional dan internasional masih rendah.
Adapun visi jurusan PGSD yakni mewujudkan jurusan PGSD yang
mampu mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta menghasilkan
guru sekolah dasar yang cerdas dan berdaya saing tinggi, dengan misi
menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (PT) dalam bidang kependidikan
untuk menghasilkan guru sekolah dasar yang cerdas dan berdaya saing tinggi
dalam bidang profesi akademik dan profesi. Untuk meraih visi dan misi tersebut
maka jurusan PGSD undiksha memiliki target maupun tujuan sebagai indikator
keberhasilan mengemban amanah pendidikan. Dengan mencetak tenaga pendidik
yang : 1) Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2) Memiliki
kesadaran tinggi sebagai warga negara dari masyarakat dan bangsa

yang

pancasilais, 3) Memiliki kemampuan mengenal peserta didik secara mendalam, 4)
Menguasai

bidang

studi,

5)

Memiliki

kemampuan

menyelenggarakan

pembelajaran yang mendidik, 6) Memiliki kemampuan profesional secara
berkelanjutan, 7) Memiliki kebiasaan, nilai, dan kecendrungan pribadi yang
menunjang perkembangan profesi, 8) Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi
secara sosial, dan profesional dengan lingkungan sejawat maupun masyarakat, 9)
Memiliki kemandirian dan beretos kerja tinggi.

2.1.4.2 Profil Mahasiswa dan Lulusan Jurusan PGSD
1. Sistem Seleksi

28

Sejak tahun akademik 2008/2009, Jurusan PGSD menerima mahasiswa
melalui tiga jalur yaitu: jalur Penerimaan Mahasiswa Jalur Khusus (PMJK),
Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), dan Penerimaan
Mahasiswa Jalur Lokal (PMJL) yang dilaksanakan secara terpusat di tingkat
institusi. Jumlah mahasiswa yang diterima secara keseluruhan mengacu pada hasil
rapat koordinasi yang dilakukan sebelumnya antara

lembaga Undiksha dan

seluruh Kepala Dinas Pendidikan di Bali. Dalam rapat tersebut, diputuskan
banyaknya calon mahasiswa yang akan diterima dari setiap kabupaten/kota.
2. Profil
Jumlah mahasiswa yang diasuh di Jurusan PGSD adalah sebanyak 2321
orang, yang terdiri atas 2000 orang mahasiswa reguler (semester II, IV, VI dan
VIII), 321 orang non reguler (alih kredit) (Laporan Evaluasi Diri, 2010).
Mahasiswa sebanyak itu adalah mahasiswa yang diterima dalam 4 angkatan, yaitu
tahun 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010. Pada tahun 2006
mahasiswa yang diterima sebanyak 96 orang dari jalur reguler. Pada tahun 2007,
jumlah mahasiswa yang diterima sebanyak 664 orang yang terdiri dari 605 orang
mahasiswa program reguler dan 59 orang mahasiswa dari program nonreguler
(alih kredit). Pada tahun 2008, jumlah mahasiswa yang diterima sebanyak 723
orang, yang berasal dari 607 orang mahasiswa progran reguler dan 116 orang
program non reguler. Pada tahun 2009, jumlah mahasiswa yang diterima adalah
812 orang, yang berasal dari 667 orang mahasiswa program reguler dan 145 orang
mahasiswa program nonreguler (alih kredit). Hal ini, menunjukkan bahwa animo
masyarakat untuk melanjutkan studi di Jurusan PGSD cukup tinggi.

29

Dengan adanya sistem seleksi tiga jalur, diharapkan kualitas mahasiswa
akan semakin meningkat. Mahasiswa yang diterima sebagian besar berasal dari
daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali. Usia mahasiswa berkisar antara 19 tahun
sampai dengan 22 tahun. Dilihat dari jenis kelaminnya, mahasiswa Jurusan PGSD
lebih banyak wanita dibandingkan dengan pria, dengan rasio sekitar 60 % wanita
dan 40 % laki-laki.
Dilihat dari latar belakang sosial ekonominya, sebagian besar mahasiswa
berasal dari golongan menengah ke bawah. Sejak tahun 2008, mahasiswa Jurusan
PGSD penerima beasiswa PPA sebanyak 93 orang, beasiswa jenis BBM sebanyak
48 orang, beasiswa supersemar 4 orang, beasiswa PPE 1 orang, beasiswa BRI 4
orang, beasiswa Pemda tingkat I sebanyak 4 orang, beasiswa Dikluspora 10
orang, dan beasiswa BKN 96 orang. Untuk tahun 2009 penerima beasiswa terdiri
dari PPA 108 orang, beasiswa BBM 82 orang, beasiswa supersemar 31, beasiswa
BRI 8 orang, beasiswa Dikluspora 23

orang, dan beasiswa BKN 51 orang.

Jumlah dosen yang dilibatkan sebagai pengajar di Jurusan PGSD adalah 70 orang,
yang terdiri dari dosen dengan home base PGSD (56 orang), dosen kontrak (4
orang), dan dosen luar biasa (10 orang). Dengan demikian, perbandingan antara
jumlah dosen dengan jumlah mahasiswa adalah 1:33.
Kesempatan mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan dan kegiatan ekstrakurikluler tergolong tinggi. Hal ini terbukti
dari banyaknya jenis organisasi yang ada di Undiksha, baik Himpunan Mahasiswa
Jurusan (HMJ) PGSD, Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM), maupun Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM).
Kegiatan ekstrakurikuler di tingkat jurusan, fakultas, maupun universitas meliputi

30

kegiatan: seni tari, seni tabuh, pramuka, olahraga, pesantian, teater, dan porseni.
Namun, tingkat partisipasi mahasiswa dalam kegiatan akademik maupun non
akademik masih tergolong rendah, karena persentase keterlibatan mahasiswa
dalam kegiatan akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM),
seminar, dan penelitian masih tergolong rendah. Saat ini, keterlibatan mahasiswa
Jurusan PGSD dalam kegiatan penulisan karya ilmiah baru mencapai 25 orang
(0,99%). Demikian pula dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang lain.
Manifestasinya adalah keterlibatan mahasiswa Jurusan PGSD dalam organisasi
kemahasiswaan (HMJ) baru mencapai 65 orang (2,8%).
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang kajian gaya kognitif telah dilakukan oleh Darmayanti
(2013) yang berjudul Pengaruh Model Collaborative Teamwork Learning
Terhadap Keterampilan Proses Sains dan Pemahamanan Konsep Fisika ditinjau
dari Gaya Kognitif Siswa SMA. Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 1 Gianyar.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara model
pembelajaran dan gaya kognitif siswa dalam pencapaian keterampilan proses sains
dan pemahaman konsep fisika siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Madiya
(2012) dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap
Prestasi Belajar Kimia dan Konsep Diri Siswa SMA Ditinjau dari Gaya Kognitif
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan
gaya kognitif terhadap prestasi belajar kimia dan konsep diri siswa SMA N 1
singaraja. Penelitian yang dilakukan oleh Rini (2012) dengan judul Pengaruh
Pembelajaran Berbasis Multimedia dan Gaya Kognitif terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Negeri Lubuk Pakam menunjukkan

31

hasil berupa terdapat interaksi antara pembelajaran berbasis multimedia dan gaya
kognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
Penelitian Reta (2012) tentang Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis

Masalah Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Ditinjau Dari Gaya Kognitif Siswa
kelas X SMAN 1 Gianyar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan
berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar melalui model PBLdengan
kelompok siswa yang belajar dengan model PK pada kelompok tipe gaya kognitif.
Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Dona, dkk (2012) dengan judul
Kemampuan Komunikasi Matematis Dalam Pemecahan Masalah Matematika
Sesuai Dengan Gaya Kognitif Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Surakarta
Tahun Pelajaran 2012/2013, diperoleh hasil terdapat perbedaan kemampuan
komunikasi matematis dalam pemecahan masalah matematika sesuai dengan tipe
gaya kognitif siswa. Sulistyowati (2010) telah meneliti tentang Pengaruh
Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Kognitif terhadap Sikap Nasionalisme Siswa
Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Kuta Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2009-2010,
dengan hasil terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara pembelajaran
Kontekstual dan gaya kognitif siswa terhadap sikap nasionalisme dengan
FAB(Hitung) = 254,358 yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan
temuan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dan gaya kognitif
dapat meningkatkan sikap nasionalisme siswa.
Penelitian tentang gaya kognitif juga dilakukan oleh Eka (2014) dengan judul

Pengaruh Model Pembelajaran Perubahan Konseptual Terhadap Pemahaman
Konsep Siswa Ditinjau Dari Gaya Kognitif. Hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan terdapat perbedaan pemahaman konsep antara kelompok siswa yang

32

belajar dengan perubahan konseptual dan konvensional untuk siswa yang
memiliki gaya kognitif.
Penelitian tentang kajian konsep diri telah dilakukan oleh Qondias (2012)
yang meneliti tentang Determinas