Kerjasama Pemerintah Indonesia - Jepang Dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto

KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA - JEPANG DALAM
IMPLEMENTASI MEKANISME PROTOKOL KYOTO
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:
Moch Iqbal Tanjung
106083002737

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

LEMBARPERNYATAANBEBASPLAGUUUSME
Skripsi yang berjudul :

KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA- JEPANG DALAM
IMPLEMENTASI MEKANISME PROTOKOL KYOTO

1.

2.

3.

Merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang ャ。ゥセ@
maka saya
bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
SyarifHidayatullah Jakarta.

jセRPQS@


Moch Iqbal Tanjung
106083002737

Lembar Persetujuan Skripsi

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatrakan bahwa mahasiswa:
Nama

Moch Iqbal Tanjung

Program Studi :

Ilmu Hubungan Intemasional

106083002737
セ@

Telah meneyelesaikan penulisan skripsi denganjudul:

KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA- JEPANG DALAM

IMPLEMENTAS! MEKANISME PROTOKOL KYOTO
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 2013
Menyetujui,
Dosen Pembimbing

(Frianne Aurora)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA-JEPANG DALAM IMPLEMENTAS!
MEKANISME PROTOKOL KYOTO
Oleh
Moch Iqbal Tanjung

106083002737
Telah dipertahankan dalam siding ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakmta pada tanggal 02 Desember 2013 skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S Sos) pada

Program Studi Hubungan Internasional

Ketua

Sekretaris

9
Agus Nilmada Azmi, M.Si
NIP: 197808042009121002

Penguji I

セ@

Febri Dir antara Hasibuan MM

Agus Nilmada Azmi, M.Si
NIP: 197808042009121002

Penguji II


Rahmi Fitriyanti. M.Si
NIP: 197709142011012004

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat keiulusan pada tanggal 02 Desember 2013
Ketua Program Studi Hubungan Intemasional

セM@
Kiky Rizky. M.Si
NIP: 192303212008011002

ABSTRAKSI
Protokol Kyoto merupakan perjanjian negara-negara di seluruh dunia untuk
menanggulangi dampak dari pemanasan global. Pemanasan global saat ini menjadi
salah satu concern dari negara-negara di seluruh dunia dikarenakan dampaknya.
Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme implementasi utama yaitu Joint
Implementation/JI, Emision Trading/ET, Clean Development Mechanism/CDM.
Indonesia sebagai negara berkembang turut mengambil peran penting dalam
pelaksanaan mekanisme Protokol tersebut. CDM merupakan satu-satunya mekanisme
yang dapat dijalankan oleh pemerintah Indonesia sebagai Negara berkembang. Oleh

karena itu pemerinta Indonesia melakukan beberapa kerjasama demi menjalankan
proyek-proyek implementasi Protokol Kyoto. Jepang sebagai Negara maju memiliki
kewajiban menurunkan emisi GRK, kemudian dengan asas saling membutuhkan
Indonesia dan Jepang menjalin kerjasama.
Skripsi ini bertujuan untuk mengannalisis bagaimana peran pemerintah
Indonesia dalam isu pemanasan global terutama dalam pelaksanaan mekanisme
Protokol Kyoto dan bagaimana efisiensi kerjasama Indonesia dengan Jepang dalam
menjalankan proyek mekanisme Protokol Kyoto. Penurunan emisi GRK sesuai
Protokol Kyoto merupakan concern utama penelitian penulis yang akan berkaitan erat
dengan proses pelaksanaan, adaptasi dan pembangunan berkelanjutan bagi
Pemerintah Indonesia.

Kata Kunci: Protokol Kyoto, Pemanasan Global, Clean Development Mechanism
(CDM)

i

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
sampai akhir zaman kelak.
Alhamdulillah, penulis dapat menyusun skripsi ini dengan judul “ Kebijakan
Pemerintah Indonesia Dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto Periode :
2004-2009”. Penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa dalam penulisan skripsi
ini, masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan. Tentunya tanpa bantuan dari
berbagai pihak yang telah memberi bantuan baik secara moril maupun materil, skripsi
ini tidak akan bisa selesai.
Karena itu, pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih
kepada:
1.
Ibu Frianne Aurora, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi
yang dengan sabar dan ikhlas membimbing saya dalam penulisan skripsi ini
2.
Bpk Agus Nilmada Azmi, M.Si, selaku Sekertaris Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta
3.
Bpk Kiky Rizky, selaku dosen mata kuliah seminar yang telah mengawali
skripsi saya di mata kuliah seminar

4.
Bpk Nazaruddin Nasution selaku dosen penasehat akademik yang merupakan
ayah kedua saya dikampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah
5.
Untuk ibunda tercinta yang telah sabar menunggu sampai 7 tahun saya kuliah
di UIN Syarif Hidayatullah. Dengan segala doa dan restunya akhirnya saya dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan untuk ayahanda tersayang yang selalu mendukung
dengan saya baik secara finansial maupun doa yang tidak ada habisnya.
6.
Untuk adinda dan kakanda tersayang turut juga saya sampaikan terimakasih
atas dukungan dan doanya, Adinda Arman Zuhad, Mafida Ria Kartika, Husen Haikal
dan Reza Pahlevi. Serta kakanda Neli kurniati dan Faisal Khadafi yang telah menjadi
contoh yang baik buat hidup saya
7.
Untuk kekasih tercinta Nyimas Diah Permatasari yang selalu mendukung dan
mendoakan saya, serta selalu mendampingi dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih
sudah setia mendampingiku selama penulisan skripsi ini.
8.
Kepada semua sahabat-sahabat satu nasib suka dan duka, yang selalu ada
dalam hari-hari saya. Sahabat-sahabat D’Chimrins Anduh, Dora, Ryadoh, Wahyu,

Kendari.
9.
Pak Jajang dan Pak Ma’ali atas bantuannya dan terima kasih atas
informasinya.
10.
Teman-teman mahasiswa/mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas B
angkatan 2006.
11.
Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian
skripsi ini
namun tidak dapat disebutkan satu persatu.
ii

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan alhamdu lillahi rabbil
'alamin, syukur tak terhingga hanya kepada Allah SWT, kepada-Nyalah bermuara
segala keberkahan. Akhirnya tiada kata lain yang lebih berarti selain sebuah doa dan
harapan semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnnya.
Jakarta, 30 Januari 2013
Moch Iqbal Tanjung

(106083002737)

iii

DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………………………...
DAFTAR ISI………………………………………………………………..
DAFTAR TABEL……………………………………………………….. …
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………. …
BAB I

BAB II

i
ii
iv
vi
vii


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian…… ……………………......................
B. Pertanyaan Penelitian……………………………………..............
C. Kerangka Konseptual .………………..…......................................
D. Metode Penelitian
……..……….......................................
E. Sistematika Penulisan ……………….............................................

1
8
8
17
20

Sejarah dan Mekanisme Protokol Kyoto
A. Proses terjadinya Pemanasan Global………..................................
B. Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto............................................
C. Mekanisme Protokol Kyoto ............................................................
C.1. Emision Trading/ET......................................................
C.2. Joint Implementation/JI...................................................
C.3. Clean Development Mechanism/CDM............................
D. Action Plan dan Target Protokol Kyoto ......................................

22
24
26
27
29
31
35

BAB III

Peran Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang Dalam
Pembentukan Protokol Kyoto
A. Diplomasi Pemerintah Indonesia dalam Isu Lingkungan dan
Pembuatan Protokol Kyot.……………..………...................
39
A.1 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Mekanisme
Protokol Kyoto..............................................................
42
A.2
Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Pemerintah
Indonesia.......................................…………………….
53
B. Diplomasi Pemerintah Jepang dalam Isu Lingkungan..............
57

BAB IV

Analisis
Kerjasama
Pemerintah
Indonesia-Jepang
dalam
Implementasi Protokol Kyoto
A. Proses Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam
Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto................................... 63
B. Kesepakatan Kerjasama Pemerintah Indonesia-Jepang………….. 69

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran………..………………………………...…. 74

iv

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
LAMPIRAN-LAMPIRAN

v

viii

Tabel 1

DAFTAR TABEL
Perkiraan emisi karbondioksida dari sektor energi Indonesia
hingga tahun 2005............................................................................. 47

vi

DAFTAR SINGKATAN

CDM
ET
GRK
JI
UNFCCC
DNPI
CO2
CH4
N2O
NFCs
PFCs
SF6
BOCM
JCM

Clean Develompent Mechanism
Emision Trading
Gas Rumah Kaca
Joint Implementation
United Nation Framework Climate Change Conference
Dewan Nasional Perubahan Iklim
Karbondioksida
Metan
Nitrous Oksida
HidroFluorokarbon
PerFluorokarbon
Sulfurheksafluorida
Bilateral Offset Crediting Mechanism
Joint Creditting Mechanism

vii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang terkait dengan isu
lingkungan hidup. Pemanasan Global adalah isu utama yang dibahas dalam protokol
tersebut. Protokol Kyoto dibentuk untuk mengurangi dampak dari pemanasan global atau
dengan istilah lain perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan poin yang
paling penting dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme
penanganan pemanasan global terkait emisi gas rumah kaca untuk dapat mewujudkan visi
dari protokol tersebut.1 Mekanisme yang Pertama, Perdagangan emisi, yang mana negara
industri diizinkan meningkatkan emisi dengan ditutupi oleh pembelian emisi sebagai
alokasi dana bagi Protokol Kyoto. Kedua, Joint Implementation atau kerjasama antar
negara-negara di dunia untuk dapat mengurangi penggunaan emisi. Ketiga, terdapat
project kerja yang disebut Clean Development Mechanism (CDM) mengharuskan negara
industri untuk membeli kredit dari negara berkembang melalui investasi proyek-proyek
CDM yang dijalankan oleh negara berkembang dengan bekerjasama dengan negara maju.
Isu lingkungan di Indonesia merupakan salah satu isu yang diperhatikan oleh
pemerintah Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan diratifikasinya Protokol Kyoto
pada tahun 2004 dengan ditandai adanya pengesahan Rancangan Undang-undang tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to the Unitied Nations Framework Convention on Climate
1

David, G. Victor. The Collapse of the Kyoto Protocol and the Struggle to Slow Global Warming,
(Princeton University Press: New Jersey, 2001) halaman 04

1

Change (UNFCCC).2 RUU (Rancangan Undang-undang) tersebut disahkan oleh DPR RI
yang merupakan perwakilan dari beberapa Fraksi diantaranya Fraksi PKB, Fraksi Golkar,
Fraksi PDIP, Fraksi PPP serta Fraksi lainnya. Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Indonesia
merupakan kemajuan dari diplomasi lingkungan bagi Indonesia terkait isu Pemanasan
Global. Hal tersebut menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam ikut serta menangani
dampak dari Pemanasan Global dan kemudian turut serta mengimplementasikan poinpoin dalam Protokol Kyoto.
Peranan negara berkembang sangat diperhitungkan dalam isu pemanasan global.
Hal ini disebabkan banyak negara berkembang yang memiliki potensi untuk mengurangi
dampak pemanasan global. Hal tersebut dilihat dari isu pemanasan global yang tidak
terlepas dari adanya hutan, yang mana hutan merupakan salah satu instrumen utama
untuk mereduksi emsisi GRK. Dalam hal ini salah satu negara berkembang yang
berperan adalah Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terbesar kedua di dunia pun turut
serta memainkan perannya dalam konferensi Internasional tentang lingkungan hidup.
Indonesia memainkan perannya sebagai wakil negara berkembang, yang masuk dalam
kelompok G77+ China. G77+ China merupakan kelompok negara-negara berkembang
yang turut serta dalam konferensi internasional terkait isu lingkungan. Pada setiap
konferensi Indonesia mendukung untuk penurunan emisi GRK, karena Indonesia
menganggap perlunya penurunan emisi GRK untuk mengurangi dampak dari pemanasan
global. Akan tetapi, Indonesia juga seringkali disalahkan karena kurangnya perhatian
pemerintah Indonesia terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Contohnya
adalah seringkalinya kebakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah karena faktor
2

www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 18 April 2011 pukul : 23: 23 WIB

2

human error. Karena itu, isu lingkungan dapat berpotensi menimbulkan konflik
antarnegara, sehingga pentingnya pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan yang baik
juga mengurangi konflik serta masalah-masalah keamanan baik dalam negeri maupun
antarnegara.3
Pemanasan global kini semakin menjadi perhatian seluruh masyarakat dunia.
Dalam peringatan Hari Bumi 22 April 2000, majalah Time telah menurunkan edisi
khusus tentang bumi yang semakin panas dan rusak. Efek dari pemanasan global
membahayakan masa depan bumi. Jika pemanasan global tak bisa diatasi, akibatnya bisa
sangat fatal. Akibat dari pemanasan global seperti lapisan es di kutub akan mencair
sehingga permukaan air laut akan naik. Di samping itu gelombang panas pun akan
mengacaukan iklim dan menimbulkan badai yang dapat merusak bangunan di berbagai
wilayah.4
Pada dasarnya prediksi akan terjadinya pemanasan global sudah diungkapkan
oleh seorang ahli dari Swedia yaitu Svante Arrhenius5, pada tahun 1896. Arrhenius
mengungkapkan bahwa sejak terjadinya revolusi industri, tingkat kadar karbon dioksida
di atmosfer semakin meningkat karena penggunaan bahan bakar fossil yang semakin
meningkat. Dengan adanya peningkatan karbon dioksida diatmosfer, maka jelas sekali
bahwa penyebab pemanasan global sudah diproduksi oleh manusia sejak revolusi
industri.
Secara ilmiah pemanasan global dikarenakan keadaan suhu bumi sangat
ditentukan oleh adanya keseimbangan antara energi yang datang dari matahari dalam
bentuk radiasi dengan energi yang diemisikan dari permukaan bumi ke ruang angkasa
3

Thomas L. Friedman, Hot Flat and Crowded. (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009) halaman 434
Prof.Dr. Hadi Alikodra,et al, Global Warming. (Nuansa: Bandung, 2008) halaman 21
5
NASA Facts, Global Warming, The Earth Science Enterprise Series. Maryland April, 1998
4

3

dalam bentuk radiasi infra merah. Biasanya radiasi matahari melewati atomosfer yang
kemudian sebagian besar diserap oleh permukaan bumi. Sedangkan radiasi infra merah
dari permukaan bumi sebagian diserap oleh gas rumah kaca (GRK) sebagian lagi ke
permukaan bumi dan atmosfer bawah. Masalahnya yang terjadi saat ini adalah
konsentrasi gas rumah kaca semakin bertambah melebihi tingkat normal sehingga
sebagian radiasi yang berasal dari matahari maupun permukaan bumi terjebak oleh gasgas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi tidak dapat ke luar angkasa dan kembali ke
permukaan bumi sehingga memanaskan suhu bumi.6
Pemanasan global merupakan ancaman global yang harus diperhatikan oleh
seluruh masyarakat di dunia. Ancaman akan terjadinya bencana terbesar sepanjang masa
menjadikan isu ini menjadi isu yang patut dibicarakan dan diteliti lebih dalam.
Masyarakat pada umumnya harus mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan
pemanasan global. Sebab, sebagian besar masyarakat di dunia masih belum sadar akan
dampak dari aktivitas sehari-harinya sebagai faktor penyebab terjadinya pemanasan
global. Karbon dioksida, metana dan chlorofluorokarbon (CFCs), yang merupakan hasil
dari aktivitas manusia yang dihasilkan dari berbagai peralatan rumah tangga seperti
pendingin ruangan, kulkas, plastik dan lainnya.7
Oleh karena efeknya yang mengancam eksistensi dunia, maka isu pemanasan
global menjadi tanggung jawab setiap negara diseluruh dunia. Akan tetapi, tanggung
jawab terbesar dipegang oleh negara maju, karena negara maju memproduksi emisi gas
terbesar di dunia sebagai hasil dari aktifitas industri. Negara-negara maju telah lama
melakukan industrialisasi dan pembangunan sehingga merekalah yang dipandang sebagai

6
7

LAPAN, Landasan Ilmiah Perubahan Iklim, (Bandung, 2003)
Ibid,

4

emitor terbesar sementara negara berkembang masih dalam proses pembangunan
sehingga masih membutuhkan banyak energi bahan bakar fosil. Jika diprosentasekan
penyumbang emisi GRK terbesar adalah Amerika Serikat sebesar 36,1%, diikuti Federasi
Rusia sebesar 17,4%, Jepang 8,5%, dll.8
Pemanasan Global telah menjadi isu yang dibangun dalam isu penting dalam
bidang lingkungan dan telah menjadi agenda politik internasional. Negara-negara di
dunia telah membahas lebih lanjut mengenai Pemanasan Global sejak berakhirnya Perang
Dunia ke-II. Pada tahun 1972 diselenggarakan Konferensi Stokholm, konferensi ini
merupakan awal dari diplomasi mengenai lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh
negara-negara anggota PBB. Deklarasi Stokholm yang disepakati pada tahun 1972
merupakan hasil dari konferensi Stokholm.9 Deklarasi ini menjadi titik awal dari
konferensi internasional lainnya yang membahas mengenai lingkungan hidup. Hasil lain
di konferensi ini adalah dibentuknya suatu badan lingkungan hidup yaitu UNEP (United
Nations Environmental Programme) pada tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai Hari
Lingkungan Hidup Sedunia.
Pasca konferensi Stokholm pada tahun 1988 masyarakat internasional kemudian
membentuk IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) yang ditujukan untuk
melakukan penelitian lebih lanjut akan dampak dari pemanasan Global. IPCC kemudian
diresmikan pada tahun 1991 yang kemudian memimpin seluruh negara untuk
menandatangani perjanjian kerjasama yang diresmikan di Rio de Jenero pada 1992.10 Rio
de Jenero merupakan taempat berlangsungnya KTT Bumi yang merupakan koferensi

8

WWF presentation, 29 November 2008
Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Halaman
116
10
Matthiew Paterson. Global Warming and Global Politics, (Routladge: London, 1996) halaman 01

9

5

penting dalam isu lingkungan. Konferensi tersebut dihadiri oleh 180 negara anggota PBB
yang merupakan konferensi pertama yang dihadiri oleh keseluruhan negara anggota PBB.
Konferensi tersebut menghasilkan Konvensi kerjasama yang terkait dengan isu
pemanasan global yang kemudian di sebut dengan United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) kemudian diresmikan di Rio de jenero.
Respon masyarakat internasional terhadap isu pemanasan global menjadikan isu
tersebut semakin diperhatikan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya konferensi yang
dianggap sebagai konferensi era baru diplomasi lingkungan. Hal tersebut disebabkan
dengan semakin banyak negara yang peduli terhadap isu lingkungan. KTT Bumi 1992
merupakan KTT yang menjadi sejarah pertama kalinya pera pemimpin semua negara di
bumi berkumpul untuk membuat keputusan penting yang akan memberikan betuk masa
depan dunia.11 KTT Bumi dapat dikatakan sebagai era puncak dari diplomasi lingkungan
dan akan menentukan masa depan umat manusia menjelang berakhirnya abad ke-20.
Pasca perang dingin merupakan era baru hubungan internasional, begitu pula
kaitannya dengan lingkungan hidup. Ruang lingkup yang semakin luas, terbukti dengan
dilibatkannya aktor non negara dalam konferensi internasional yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. COP 3 (Conference of Parties) diadakan di Kyoto, Jepang pada tahun
1997. Konferensi tersebut dihadiri 10.000 delegasi, pengamat dan wartawan mengikuti
pertemuan terbesar dalam sejarah perjanjian tentang lingkungan hidup. Konferensi
tersebut kemudian menghasilkan suatu konsensus berupa keputusan untuk mengadopsi
suatu protokol yang merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990

11

Ibid, halaman 128

6

mennjelang periode 2008-2012.12 Protokol Kyoto, demikian selanjutnya protokol itu
disebut, disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu
penurunan emisi bagi negara maju.
Pada akhirnya menjadi penting bagi pemerintah Indonesia untuk dapat
bekerjasama dengan negara lain. Hal ini dikarenakan mekanisme dalam Protokol Kyoto
terdapat mekanisme yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia yaitu CDM.
Jepang merupakan salah satu negara maju merupakan salah satu tujuan utama untuk
kerjasama terkait proyek-proyek tersebut. Salah satu kerjasama yang terjalin antar dua
negara guna menurunkan emisi GRK adalah BOCM (Bilateral Offset Crediting
Mechanism) yang merupakan Proyek usulan Jepang untuk mengurangi emisi GRK antar
dua negara. Pemerintah Indonesia pun menyambut niat baik Jepang tersebut, dikarenakan
investasi yang akan ditanamkan Jepang terkait proyek tersebut dapat menguntungkan
kedua belah pihak.
C.

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana Efisiensi Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang
dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto

D.

Kerangka Konseptual

Kini terdapat suatu literatur tentang Teori Politik Hijau (Green Political
Theory/GPT) yang dikembangkan dengan baik yang menjadi suatu dasar yang berguna

12

Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang. (PT Kompas Media
Nusantara: Jakarta, 2003) halaman 04

7

sebagai gagasan Politik Hijau mengenai HI. Tiga literatur utama mengajukan gagasan
yang sedikit berbeda tentang penjelasan karakteristik Politik Hijau. Eckersley
menyatakan, karakteristik tersebut adalah erkosentrisme sebuah penolakan terhadap
pandangan hidup dunia antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia
menuju sebuah pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan
semua makhluk hidup13. Goodin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran Politik
Hijau, yang menyatakan bahwa nilai teori hijau berada pada inti teori Politik Hijau.
Perumusannya mengenai nilai-nilai teori Politik Hijau, bahwa sumber nilai segala sesuatu
adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai sejarah yang tercipta oleh proses alami,
bukan oleh rekayasa manusia14
Para pemikir dalam Green Thought ini berasumsi bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tindakan manusia terhadap lingkungannya dengan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup itu sendiri. Green Thought juga menawarkan suatu cara pandang
holistik yang dapat melihat betapa eratnya hubungan antara kehidupan manusia dengan
ekosistem global, pada intinya adalah menekankan tentang keharusan memelihara
lingkungan untuk kelangsungan kehidupan semua makhluk hidup. Istilah lingkungan
hidup sendiri merupakan sebuah penemuan abad ke-19, yang pertama kali muncul dalam
karya Ernst Haeckl. Karya Haeckl itu sangatlah penting karena dari sinilah kita mendapat
gambaran tentang lingkungan hidup sebagai suatu yang saling berkaitan dan tentang alam
sebagai sesuatu yang hidup. Green Thought memiliki etika seperti halnya politik. Hal
yang paling istimewa dalam Green Thought adalah sikapnya terhadap keadilan,
moralitas, dan etika, yang bagaimanapun juga ternyata memiliki hubungan yang pada
13

R. Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach, London,1992,
hal 49
14
R. E . Goodin,Green Political Theory, Cambridge, 1992, hal 27

8

akhirnya dapat memenuhi keseimbangan hidup. Green Thought juga menjelaskan
caranya dalam menentang persepsi mengenai pengertian dari istilah-istilah seperti konflik
dan kekerasan yang kemungkinan ditemui dalam pengaplikasian solusi dari masalah
lingkungan hidup15.
Konflik tidak hanya secara langsung mengkonotasikan kekerasan fisik, namun
konflik disini berarti perbedaan-perbedaan sudut pandang yang masing-masing
berkomitmen untuk menyelesaikan suatu perbedaan menurut caranya sendiri. Dalam hal
ini muncul suatu konflik mendasar dalam berbagai kelompok masyarakat manusia antara
pendukung masyarakat industri yang cenderung menghancurkan lingkungan (sebuah
paradigma pertumbuhan) dan mereka yang menentang cara mengatur masyarakat yang
semacam ini (suatu paradigma pembatasan pertumbuhan). Bagi Green Thought, terdapat
suatu kebutuhan untuk menentang pandangan ini dan memperjuangkan kembali
serangkaian keyakinan tentang karakteristik krisis lingkungan hidup.
Bermula dari pengetahuan (knowledge) dan kesadaran (awareness) akan sebuah
masalah. Scientific origins, dipicu oleh sains dan teknologi. Contoh kasus dalam buku
“Limits to Growth” yang ditulis oleh Club of Rome tahun 1972 bahwa para peneliti
membuat sebuah permodelan komputer untuk membuktikan temuan mereka yaitu faktor
lingkungan hidup akan menjadi penghambat pertumbuhan manusia dan atau menjadi
penyebab kehancuran. Berarti terjadi spekulasi tentang hubungan manusia dengan alam
dan munculnya hubungan yang saling ketergantungan Asumsi dasarnya adalah Greens
lebih menekankan kepada konsep global daripada internasional. Misalnya komunitas
global diperlukan untuk mengawasi sumber daya alam. Greens menganalisa praktekprektek kehidupan manusia yang tidak lagi sinkron dengan lingkungan sekitarnya.
15

Ibid, Hal 411

9

Menurut Greens, krisis lingkungan hidup disebabkan oleh sistem kepercayaan yang
terlalu fokus pada pemenuhan kebutuhan manusia (anthropocentric). Adapun Green
Thought memiliki lima prinsip, yakni pertama biospherical egalitarianism-in principle
yang berarti pengakuan terhadap semua organism dan makhluk hidup memilki kesamaan
martabat. Pengakuan ini menunjukkan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan
bentuk kehidupan di alam semesta. Kedua, prinsip nonantroposentrisme, yaitu prinsip
yang menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam, bukan diatas atau terpisah
dari alam. Manusia tidak dilahat sebagai penguasa dari alam semesta, tetapi sama dengan
status ciptaan tuhan yang lainnya. Ketiga, prinsip self realization yang menurut Naess,
manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi dirinya. Keempat,
survival of the fittest yang dipahami sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam
relasi yang erat. Kemudian yang kelima adalah prinsip live and let live, yang menyatakan
pengakuan dan penghargaan terhadap keanekargaman hidup.
Berdasarkan kelima prinsip dalam pengembangan gerakan lingkungan hidup
tersebut, yang perlu dilaksanakan sekarang ini adalah memelihara kesadaran ekologis
mengenai kesatuan tak terpisahkan dari semua bentuk kehidupan di alam ini. Oleh karena
itu menurut Naess, perlu ditinggalkan konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan
dengan konsep dan paradigma berkelanjutan ekologis. Paradigma ini menurut sikap
hormat dan perlindungan atas kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan di
bumi16. paradigma ini juga menunjukkan tuntutan dari penghentian kebijakkan ekonomi
dan politik yang memiliki tujuan utama yaitu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi serta gaya hidup yang konsumtif. Adapun dalam menanggulangi

16

Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori & Praktek, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hal. 313

10

permasalahan lingkungan hidup, diperlukan pengembangan potensi daerah disebuah
Negara.
Sebuah Negara, pembangunan wilayahnya akan sangat dipengaruhi oleh
pengelolaan lingkungan yang dilakukan dengan menata system pengelolaan tersebut
karena berkaitan pula dengan pendekatan manajemen. Pendekatan manajemen
lingkungan sangat mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya,
sehingga pandangan tersebut harus diubah dengan melakukan sebuah pendekatan yang
disebut dengan ramah lingkungan, dimana ramah lingkungan disini dimaksudkan sebagai
tindakan yang mendukung pembangunan ekonomi. Memang , dalam mengubah sikap dan
kelakuan terhadap lingkungan hidup bukanlah pekerjaan mudah.
Pada dasarnya usaha ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan
instrument dan pengawasan, bertujuan untuk mengurangi pilihan prilaku dalam usaha
pemanfaatan lingkungan hidup, misalnya dengan zonasi, preskripsi teknologi tertentu,
dan pelanggaran kegiatan yang merusak lingkungan hidup17. Kemudian melalui
instrumen ekonomi, yang bertujuan untuk mengubah nilai untung relatif dengan
mempertimbangkan pengurangan pajak untuk produksi dan penggunaan alat yang hemat
energi, pemungutan retribusi limbah dan pemberian denda bagi pelanggar peraturan. Dan
terakhir dengan instrumen persuasif, yang bertujuan mendorong masyarakat secara
persuasif untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup kearah
prioritas. Tujuan jangka panjang instrumen persuasif adalah agar nilai-nilai yang
diajarkan dapat diinternalkan oleh para pelaku, sehingga mengakibatkan perubahan
permanen pada kelakuan terhadap lingkungan hidup, kemudian kelakuan itu dapat
membudaya.
17

Ibid, hal 397

11

Konsep national interest merupakan konsep yang dapat dipahami dalam sebuah
praktik diplomasi dan dalam studi hubungan internasional. Konsep national interest
menjelaskan mengenai bagaimana peranan dari kepentingan nasional sebagai instrument
politik agar dapat mewakili kepentingan publik. Konsep national interest digunakan
sebagai dasar dari pengambilan kebijakan politik, yang mana national interest atau
kepentingan nasional tersebut menjadi income dari sebuah kebijakan.18
Kepentingan nasional merupakan sebuah tujuan utama dari sebuah kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Konsep kepentingan nasional merupakan salah satu
variable dalam sistem politik.19 Kepentingan nasional merupakan sebuah tujuan dari
sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tujuan dari kebijakan-kebijakan
tersebut bisa berupa kekuasaan, uang atau pun kejayaan. Sehingga dalam menentukan
sebuah kebijakan diperlukan analisis rasional yang terkait dengan kepentingan nasional.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepentingan nasional biasanya digunakan melalui dua
cara.20

Pertama, kata kepentingan berarti secara tidak langsung menyatakan sebuah

kebutuhan yang akan diraih, dengan penggunaan standar pembenaran. Status
pembenaraan ini diperlukan agar kepentingan nasional dapat diakui atas nama
kepentingan bersama. Kedua, konsep kepentingan nasional juga digunakan untuk
menggambarkan dan mendukung sebuah kebijakan. Permasalahannya adalah bagaimana
menentukkan kriteria agar kepentingan nasional menjadi hal yang diperlukan dalam
sebuah kebijakan.

18

W. David Clinton, Two Face of National Interest, (Louisiana University Press: Louisiana, 1994)
Halaman 28
19
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2006) halaman 49
20
Martin Griffiths and Terry O’Callaghan, International Relation the Key Consept.(Routledge: New York,
2002) halaman 203

12

Kepentingan nasional menjadi sulit jika digabungkan dengan solidaritas
international.21 Hal tersebut menjadi sulit ketika kepentingan nasional lebih mendominasi
daripada solidaritas internasional. Solidaritas internasional yang berarti kepentingan
bersama yang cenderung sulit untuk diwujudkan. Terkait dengan pernyataan tersebut
terbukti bahwa dalam isu lingkungan pun kepentingan nasional akan lebih mendominasi
dibandingkan dengan solidaritas internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan penolakan
beberapa negara maju terhadap Protokol Kyoto yang merupakan komitmen bersama
negara-negara di dunia dalam mengatasi dampak dari pemanasan global. Hal tersebut
membuktikan bahwa kepentingan nasional lebih penting dibandingkan solidaritas
internasional dan sulit untuk menyatukan kedua hal tersebut.
Isu lingkungan merupakan isu yang dibahas secara multirateral, hal tersebut
berarti isu lingkungan memiliki efek secara massal. Protokol Kyoto merupakan sebuah
perjanjian yang dibuat untuk mereduksi efek dari pemanasan global yang disepakati di
Kyoto, Jepang. Proses pembentukan protocol tersebut melalui sebuah konferensi
multilateral yang melibatkan hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Multilateral diplomasi merupakan landasan utama dari terbentuknya Protokol Kyoto.
Multilateral diplomasi dianggap sebagai cara terbaik dalam menentukan sebuah
keputusan dalam sebuah isu. Dalam menentukan keputusan konferensi akan lebih focus
dalam satu isu untuk kebaikan bersama serta akan mewakili seluruh kepentingan seluruh
anggota konferensi.22
Pasca perang dingin pada tahun 90-an, multilateral diplomasi merupakan pilihan
utama bagi seluruh negara dalam membuat keputusan yang memiliki lingkup missal. Hal
21

Jean-Marc Coicaud and Nicholas J. Wheeler, National Interest and International Solidarity.(United
Nation Press: New York, 2008) Halaman 291
22
G. R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (Palgrave: New York, 2002) Halaman 148

13

tersebut berkaitan dengan isu lingkungan yang impactnya dapat dirasakan oleh
masyarakat seluruh dunia. Walaupun pada dasarnya seringkali ada kontradiksi dengan
keadaan dunia internasional sekarang ini yang terkadang dikuasai oleh satu negara yaitu
Amerika serikat. Hal tersebut juga dirasakan dalam proses pembentukan Protokol Kyoto,
yang mana Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi Protokol tersebut karena
dianggap merugikan bagi negara maju. Sehingga sebuah multilaretal diplomasi seakan
berjalan kurang baik jika negara maju tidak menyetujui sebuah keputusan.
Konferensi yang melibatkan banyak negara memang seringkali memiliki banyak
hambatan, karena kepentingan masing-masing negara yang berbeda. Akan tetapi jika
konferensi tersebut telah melahirkan sebuah keputusan atau perjanjian internasional,
maka setiap negara yang mengikuti konferensi tersebut diharuskan mematuhi sebuah
perjanjian internasional. Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang
hakikatnya mengikat seluruh negarayang menyepakati protocol tersebut. Terminologi
protocol digunakan untuk sebuah perjanjian yang lingkup materunya lebih sempit
dibandingkan treaty atau convention. Dari beberapa jenis protocol, Protocol based on
Framework Treaty merupakan jenis yang cocok dalam membahas isu lingkungan. Hal
tersebut dikarenakan isu yang dibahas cenderung isu yang sederhana dan bukan isu
strategi seperti keamanan dan pertahanan.Selain itu karena protocol tersebut berawal dari
sebuah framewok yaitu UNFCCC.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Metode Penelitian

14

Penelitian ini bersifat kualitatif, sehingga penulis menganalisis tema yang dibahas
dalam penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif. Definisi penelitian dengan
metode kualitaif itu sendiri adalah penelitian yang bersifat dekripstif dengan melakukan
penelitian yang mendalam terhadap sebuah gejala, fakta atau peristiwa.23 Penelitian
dengan menggunakan metode kualitatif tidak memiliki batasan dalam memahami suatu
isu yang dianalisi. Metode yang digunakan dengan metode pendekata empiris dan teoritis
agar penelitian dapat dipahami oleh pembaca dengan lebih mudah. Penelitian dengan
metode kualitatif berbeda dengan penelitian kauntitatif. Perbedaan yang paling mendasar
adalah terkait dengan pertanyaan penelitian kualitatif yang tidak mendetail seperti
penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian interpretative yang tidak
terlepas dari pendapat pribadi dari peneliti.24 Sehingga penelitian ini lebih bersifat
subyektif karena berdasarkan pemikiran penulis dengan didasari oleh data-data yang
mendukung.
Definisi di atas menunjukan bahwa penelitian yang penulis bahas tentang
kebijakan pemerintah Indonesia dalam implementasi mekanisme Protokol Kyoto dapat
menggunakan metode kualitatif. Hal tersebut dikarenakan pembahasan yang bersifat
deskriptif dalam menjelaskan isu yang dianalisis, serta tema yang juga merupakan jenis
gejala, fakta atau peristiwa. Selain itu tema yang diambil penulis juga merupakan isu
yang dapat diteliti tanpa adanya batasan, karena isu yang diambil merupakan sebuah
fakta yang bersifat subyektif. Sehingga dalam melakukan penelitian, penulis mencoba
menyatukan pendapat dari beberapa responden dengan melalui wawancara yang

23

DR.J.R. Raco, ME., M.SC. Metode Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya, (Grasindo:
Jakarta, 2010) halaman 2
24
Ibid, hlm 10

15

merupakan bagian dari metode pengumpulan data dari metode kualitatif. Metode tersebut
sangat penting karena penelitian ini terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia, yang
dalam proses keputusannya meliibatkan banyak pihak, seperti DPR sebagai pembuat
Undan-undang, Presiden

yang memutuskan

Undang-undang serta departemen-

demartemen yang bersangkutan yang menjalankan dan mengawasi kebijakan.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data-data yang diperoleh melalui studi lapangan yaitu
wawancara langsung dengan beberapa narasumber yang berkaitan dan terjun langsung
dalam konteks pemanasan global. Hal ini dikarenakan metode yang digunakan dalam
penelitian ini adaalah metode kualitatif. Metode kualitatif yang bersifat terbuka sehingga
dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode wawancara dan studi
kepustakaan. Dua metode tersebut menjadi dasar dari metode pengumpulan data dari
penelitian, dikarenakan terbatasnya berbagai hal yang menjadikan sulitnya penulis untuk
terjun langsung dalam peristiwa yang dibahas. Kemudian Wilayah penelitian, interview
dan sebagainya dilakukan di Jakarta. Dikarenakan sulitnya penelitian lapangan secara
langsung, yang mana akan menghabiskan banyak dana dan waktu. Jakarta merupakan
alternatif pertama sebagai sumber informasi, karena jakarta merupakan pusat informasi di
Indonesia.
Seperti kita ketahui studi kepustakaan juga merupakan hal paling menungjang
dalam penelitian kualitatif. Sehingga perlu diperhatikan beberapa sumber kepustakaan
yang berkaitan dengan penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan

16

Adapun sistematika pnulisan dalam metodelogi penelitian ini adalah:
BAB I Pendahuluan
A.

Latar Belakang Masalah

B.

Pertanyaan Penelitian

C.

Kerangka Konseptual

D.

Metode Penelitian

E.

Sistematika Penulisan

BAB II Protokol Kyoto
A.

Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto

B.

Mekanisme Protokol Kyoto
1

Perdagangan Emisi (International Emision Trading/ IET)

2

Implementasi Bersama (Joint Implementation/ JI)

3

Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/

CDM)
C.

Action Plan dan Target Protokol Kyoto

BAB III

Peran Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang Dalam Pembentukan

Protokol Kyoto

17

A.

Diplomasi Pemerintah Indonesia dalam Isu Lingkungan dan Pembuatan Protokol
Kyoto

A.1

Kepentingan Nasional Indonesia dalam Mekanisme Protokol Kyoto

A.2

Ratifikasi Protokol Kyoto oleh pemerintah Indonesia

B.

Diplomasi Pemerintah Jepang dalam Isu Lingkungan

BAB IV Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto oleh Pemerintah Indonesia
Bekerjasama dengan Pemerintah Jepang
A.

Kebijakan dan Tujuan Pemerintah Indonesia dalam Implementasi Mekanisme

Protokol Kyoto
B.

Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme

Protokol Kyoto
C.

Adaptasi dan Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Isu Pemanasan Global oleh

Pemerintah Indonesia
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

18

BAB II

A.

Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto

Protokol Kyoto merupakan kesepakatan Negara-negara di dunia terkait dengan
isu lingkungan. Protokol Kyoto merupakan hasil dari konferensi lingkungan terkait
dengan pemanasan global yang diadakan di Kyoto Jepang. Protokol Kyoto dihasilkan
dari Conference of parties (COP) 3 yang diadakan pada bulan desember tahun 1997.25
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan seluruh negara yang mengikuti konferensi
tersebut, yang mana negara-negara tersebut merupakan negara anggota PBB.
Protokol Kyoto mencakup kesepakatan antar negara yang diaplikasikan dalam
tiga poin penting dalam Protokol Kyoto.26 Pertama, Join Implementation (JI) poin
mekanisme ini tertera pada pasal 6 Protokol Kyoto yang menjelaskan kemungkinan dari
negara yang menyepakati Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GRK serta membatasi
proyek yang banyak menghasilkan emisi GRK. Dalam poin tersebut berarti seluruh
negara diharuskan bekerjasama dalam mengimplementasikan mekanisme pengurangan
emisi GRK. Kedua, Clean Development mechanism (CDM) poin mengharuskan Negara
industri untuk memberikan kredit terhadap Negara berkembang dalam project
impementasi dari program protokol kyoto. Ketiga, Perdagangan Emisi merupakan poin
dalam Protokol Kyoto yang menjelaskan mengenai adanya mekanisme dalam Protokol
Kyoto yang mengatur mengenai perdagangan emisi antar negara. Hal tersebut tertera
dalam pasal 17 Protokol Kyoto yang mengeharuskan negara maju atau negara yang

25
26

Michael H. Glantz, Climate Affair.(Island Press: Washington, 2003) halaman 144
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011

19

menghasilkan emisi GRK yang melebihi kapasitas untuk membeli Gas yang dihasilkan
negara yang memiliki hutan tropis seperti indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Hal
tersebut biasa dianggap sebagai pasar karbon yang memungkinkan negara berkembang
mendapat timbal balik dari industrialisasi yang dilakukan oleh negara

maju yang

menyebabkan pemanasan Global.
Sebelum terbentuknya Protokol Kyoto, isu lingkungan telah dibahas dalam
beberapa konferensi penting terkait dengan isu lingkungan. Setelah berakhirnya perang
dunia kedua setidaknya terdapat beberapa konferensi tentang lingkungan, yang kemudian
menghasilkan Protokol Kyoto yang dianggap sebagai babak baru dari kesepakatan negara
anggota PBB dalam mengatasi dampak dari pemanasan global.27 Perjalanan panjang
diplomasi lingkungan merupakan modal utama dari terbentuknya Protokol Kyoto, yang
mana perjalanan diplomasi lingkungan tersebut dimulai dengan Konferensi Stokholm.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perubahan dalam sistem hubungan
internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan berubahnya LBB (Liga Bangsa Bangsa)
menjadi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pada tahun 1945. Keanggotaan PBB semakin
meningkat sejak didirikan pada tahun 1945 dari 51 anggota menjadi 132 anggota sebelum
konferensi Stokholm 1972, yang merupakan konferensi tentang isu lingkungan yang
pertama setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nation
Conference on Human Environment/ UNCHE) yang diadakan di Stockholm Swedia dari
tanggal 5-16 Juni 1972, merupakan konferensi lingkungan pertama yang diselenggarakan
oleh PBB, yang kemudian menghasilkan sebuah Deklarasi yang biasa disebut sebagai

27

Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,
Halaman 111

20

Deklarasi Stockholm. Konferensi Stockholm diadakan oleh PBB merujuk pada Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2849 (XXVI) tanggal 20 Desember 1971. Konferensi
Stockholm dihadiri oleh 113 negara anggota PBB dan 400 peninjau dari berbagai
kalangan. Pembukaan Konferensi Stokholm menandai sebagai Hari Lingkungan Hidup
Sedunia (World Environmental Day). Selama Konferensi berlangsung, Konferensi
Stokholm berlangsung alot, di mana terdapat beberapa negara yang menentang hampir
semua agenda yang dibahas dalam konferensi tersebut. China merupakan salah satu
negara yang menentang agenda konferensi tersebut meskipun akhirnya China menerima
keputusan konferensi. Melalui perdebatan panjang dan melelahkan, antara negara maju
dan berkembang, akhirnya mengasilkan sebuah keputusan yang menjadi Deklarasi
Stokholm, Isi Deklarasi Stockholm adalah:28
1.

Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau yang lebih dikenal dengan
Deklarasi Stokholm, 1972. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 26 asa.

2.

Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi termasuk 18
rekomendasi mengenai Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.

3.

Rekomendasi tentang Kelembagaan dan Keuangan untik menunjang Action
Plan yang terdiri:


Dewan Pengurus UNEP, Dewan Pengurus ini berisi 58 negara yang
dipilih setiap 4 tahun sekali. Dipimpin oleh seorang presiden



Sekertariat yang dikepalai Direktur Eksekutif, yang mana diplih oleh
Majelis Umum PBB yang dinominasian oleh Sekertariat General PBB
dan bermarkas di Nairobi, Kenya.

28

Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,
Halaman 119

21



Dana Lingkungan Hidup, merupakan kesepakatan yang menjelaskan
mengenai pembentukan dana lingkungan dengan berdasarkan sistem
PBB



Badan koordinasi Lingkungan Hidup, dibentuk untuk menjamin kerja
sama semua badan-badan PBB terutama dalam mandat programprogram lingkungan hidup dunia.

4.

Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia
Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 15 Desember 1972 hasil keputusan

konferensi disahkan melalui Sidang Majelis Umum PBB dalam Resolusinya No.
2997. Dengan demikian tampaknya arah perkembangan isu lingkungan mulai ditata
secara global dan menjadi konsep yang jelas untuk meningkatkan kerja sama global
maupun regional di antara negera-negara maupun organisasi Internasional di bidang
lingkungan hidup.
Pasca Perang Dingin Konferensi PBB mengenai isu lingkungan kembali
dilaksanakan di Rio de Jenero, konferensi tersebut disebut United Nation Conference on
the Environment and Development (UNCED). Konferensi Rio diselenggarakan pasca
Perang Dingin yang merupakan konferensi pertama yang terbesar dibandingkan dengan
konferensi-konferensi sebelumnya yang membahas mengenai isu lingkungan.29
Konferensi Rio biasa juga disebut sebagai KTT Bumi yang dihadiri oleh seluruh anggota
PBB. Hal tersebut berbeda dengan konferensi Stokholm 1972 yang hanya dihadiri
sebagian negara anggota PBB yaitu negara-negara Barat dan sebagian negara-negara
berkembang. KTT Bumi dilaksanakan dengan dihadiri oleh 180 negara dan beberapa
aktor non negara seperti NGO, Organisasi internasional dan lainnya. Konferensi tersebut
29

Dieter Helm, Climate Change Policy. (Oxford Universirty Press: New York, 2005) halaman 253

22

mensepakati sebuah kerjasama antar negara terkait dengan isu lingkungan yang disebut
UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change).
Dalam KTT Bumi dibahas tentang perlunya kerangka aksi nyata dari seluruh
negara yang mengikuti konferensi tersebut. Penjelasan mengenai pemanasan global serta
efek dari pemanasan global menjadi perhatian utama dari konferensi tersebut. Sehingga
dalam konferensi tersebut membahas mengenai pentingnya kesadaran dari seluruh negara
untuk mengurangi emisi GRK serta perlunya peranan negara maju untuk dapat
memimpin dalam mewujudkan hal tersebut.30 Dalam KTT Bumi menyebutkan bahwa
hasil dari KTT tersebut memiliki rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang.
Rencana jangka pendek diberlakukan khususnya kepada negara maju untuk dapat segera
mengambil tindakan untuk mengembalikan emisi GRK ke level 1990 pada tahun 2000
terutama untuk gas karbondioksida yang merupakan salah satu gas yang terbanyak
diatmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut berarti negara maju harus
menurunkan kadar emisi GRK sesuai dengan kadar emisi GRK pada tahun 1990 yang
diterapkan pada tahun 2000. Rencana jangka pendek tersebut harus diupayakan agar
kadar emisi GRK diatmosfer dapat distabilisasi. Sedangkan rencana jangka panjang lebih
terkait pada stabilisasi emisi GRK di atmosfer terutama GRK agar dapat mengurangi
dampak dari pemanasan global.
Setelah melalui pertemuan dan perdebatan terkait dengan Action plan jangka
panjang dan pendek yang dibahas dalam KTT Bumi, akhirnya dapat menghasilkan
sebuah keputusan dalam beberapa dokumen penting yaitu:31

30

Sir Jhon Houghton, Global Warming: Complete briefing Third Edition. (Cambridge University Press:
New York, 2004) halaman 242
31
Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,
Halaman 132

23

1.

Rio Declaration on Environmental and Development yang merupakan
kesepakatan antar negara yang mengikuti konferensi tersebut.

2.

Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC)

3.

Konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati

4.

Prinsip-prinsip kehutanan (Non-Legally Binding Authoritative statementof
priciples for a global concensus on the management, Conservation and
Suitainable Development of all type of forest)
Setelah berakhirnya KTT Bumi, kemudian tercipta dasar-dasar hubungan

internasional baru dan perubahan sistem lama mengenai keamanan kolektif yang
terbentuk atas dasar ideologi, konfrontasi bersenjata dan kekhawatiran akan terjadinya
perang dunia, telah bergeser dan berubah menjadi ancaman keamanan akibat
ketidakadilan ekonomi dan kerusakan ekologi. Namun hal terpenting adalah KTT ini
telah memberikan ide, pandangan, gagasan, harapan, dan aspirasi. Setelah KTT ini
diperlukan tindakan-tindakan lanjutan dalam berbagai tingkatan, yaitu tingkat
internasional, regional maupun nasional hingga lokal. Berbagai tindakan lebih lanjut
dilaksanankan yang kemudian terbentuknya Commission on Suitable Development
(COSD), berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.47/191 tahun 199232.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan di Rio de Jenero yang
mempertemukan para pemimpin negara di dunia. Konvensi tersebut bertujuan untuk
menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak membahayakan iklim di bumi.
Negosiasi-negosiasi dilaksanakan melalui konferensi berbagai pihak atau Conference of
Parties (COP).

32

Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,
Halaman 133

24

Conference of Parties pertama kali diselenggarakan di Berlin Jerman pada tahun
1995. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal