Ayo Berkebun! (Bagian 1)

Ayo Berkebun! (Bagian 1)
6 May 2017 Universitas Pembangunan Jaya

Berkebun? Sebagian besar keluarga urban boleh jadi asing dengan berkebun. Maklum,
lahan kota yang terbatas, minimnya taman kota, waktu yang serba terbatas, banyaknya
“hutan beton” alias gedung pencakar langit membuat kehidupan manusia yang hidup di
kota kering dari sejuknya kehijauan kebun.

Ada banyak sekali manfaat dari berkebun bagi anak. Melalui berkebun, anak belajar:
Melestarikan lingkungan: Belajar sejak dini melalui pengalaman langsung sejak usia pra
sekolah penting dalam edukasi lingkungan hidup. Anak usia SD akan lebih mudah
memahami pentingnya lingkungan hidup apabila sejak kecil mereka paham tentang konsep
lingkungan hidup itu sendiri. Berkebun juga membuat anak belajar tentang cuaca dan iklim
untuk menentukan kapan waktu terbaik menanam benih.

Mengembangkan keterampilan sosial dan pengembangan diri: Dengan belajar
menanam tomat, anak belajar disiplin dalam menyiram tanaman dan pada akhirnya merasa
bangga saat memanen hasil bercocok tanam. Apabila anak berkebun bersama kakak dan
adik, maka si Abang bisa bertugas menyiangi gulma dan si Upik bisa bergantian menyiram
tanaman. Saat kebun terkena hama siput, kakak dan adik sama-sama belajar untuk
memecahkan masalah sebagai satu tim.

Kedewasaan dan tanggung jawab anak muncul karena kini ia bertanggung jawab terhadap
hidup matinya tanaman yang ia rawat. Dengan berkebun, anak juga bisa memahami sebab
akibat, misalnya bahwa tanaman bisa mati jika tidak disiram dan gulma dapat berebut zatzat makanan dengan tanaman yang dirawat oleh si anak.
Mempraktikkan pembelajaran aktif (active learning) lintas disiplin: Anak belajar
keterampilan berhitung dalam kegiatan menghitung benih, memetakan lahan, membuat
grafik panen tanaman. Selain itu, anak belajar membaca dan menulis saat membuat papan
penanda jenis-jenis tanaman serta mencatat jadwal menyiram. Tak hanya itu, anak belajar
ilmu sosial misalnya sejarah bumbu dari berbagai kuliner manca negara atau antar daerah.
Anak juga mengasah bakat seni saat merancang desain taman, mengidentifikasi warna dan
pola atau berkarja menggunakan dedaunan dan bunga, bahkan saat mendesain “orangorangan sawah” yang bisa menghiasi wilayah kebun mereka.
Memahami gizi dan kesehatan: Anak senang mencoba makanan baru, apabila jika
makanan tersebut datang dari kebun mereka sendiri. Pengalaman berkebun bisa
memberikan kesempatan untuk belajar memasak dan menyusun menu keluarga dari hasil
panen. Anak yang gemar berkebun akan cenderung lebih senang makan sayur dan buah
segar ketimbang makanan instan. Belajar tentang gizi dan makanan sehat akan terasa
lebih menyenangkan lewat berkebun. Aktivitas luar rumah juga memberikan anak
kesempatan untuk berolahraga dan menghirup udara segar di bawah hangatnya sinar
matahari.
Memperdalam sains: Konsep-konsep sains seperti fotosintesa mudah dipelajari lewat
pengalaman berkebun. Dengan berkebun, anak dapat belajar tentang ekologi, kebutuhan

tanaman dan hewan, bagaimana mengatasi hama secara alamiah sampai membuat
kompos dari sisa-sisa makanan. Kegiatan berkebun memberikan pengalaman sains yang
lebih relevan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Penting untuk diingat bahwa anak adalah pembelajar aktif (active learners): Anak lebih
mudah menyerap pengetahuan melalui interaksi langsung, bermain dan menemukan
sendiri (discovery) karena anak punya rasa ingin tahu yang alamiah terutama untuk
pengalaman inderawi yang dialami langsung. Anak bisa menyentuh daun, mencium aroma
bunga, merasakan segarnya tomat dan mengumpulkan cabe dari hasil panen
Dari kacamata psikologi, semua hal di atas tak dapat dilepaskan dari tugas perkembangan
anak. Apa yang dimaksud dengan tugas perkembangan? Tugas perkembangan adalah
serangkaian sikap, perilaku atau keterampilan yang muncul dalam periode usia tertentu
dalam kehidupan individu.
Jika tugas perkembangan berhasil dituntaskan, maka hal tersebut akan membawa
kebahagiaan dan kesuksesan dalam menghadapi tugas berikut. Bagaimana agar
pengalaman berkebun selaras dengan tugas perkembangan anak sesuai usia? Nantikan
artikel mendatang ya.

Penulis:
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya