Penilaian Keragaman Genetik Tanaman Hutan Dengan Penanda RAPD

Karya Tulis
PENILAIAN KERAGAMAN GENETIK TANAMAN HUTAN DENGAN PENANDA RAPD
OLEH :
DWI ENDAH WIDYASTUTI NIP 19750314 200003 2 004
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010
Universitas Sumatera Utara

PENILAIAN KERAGAMAN GENETIK TANAMAN HUTAN DENGAN PENANDA RAPD
Oleh : Dwi Endah Widyastuti, S.Hut, M.Si Staf Pengajar Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian-USU
PENDAHULUAN Secara umum populasi tanaman hutan memiliki keragaman genetik yang tinggi. Hal ini disebabkan pohon hutan bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak selama beberapa generasi pada kondisi dan lingkungan yang berbeda-beda. (Finkeldey, 2005). Keragaman genetik sesungguhnya mencerminkan kemampuan adaptasi tanaman hutan, sehingga dapat dikatakan populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi pula. Menurut Stern dan Roche (1974) nilai adaptasi populasi pada semua niche dari lingkungan yang berbeda-beda menjadi sumber keragaman fenotipa. Adaptasi secara evolusioner diikuti oleh perubahan struktur genetik. Informasi genetik diubah melalui reaksi-reaksi terhadap seleksi dari generasi ke generasi, dimana adaptasi yang telah ada ditingkatkan atau mengembangkan adaptasi yang baru. Menurut Finkeldey (2005), keragaman genetik pada suatu populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu mutasi dan aliran gen yang meningkatkan keragaman genetik. Sedangkan faktor yang menurunkan keragaman genetik adalah seleksi serta hanyutan genetik. Keragaman genetik pada tanaman hutan, pada awalnya diduga dari keragaman morfologi dan fenotipa pertumbuhan yang dihasilkan. Fenotipa tanaman sendiri merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, sehingga merupakan
Universitas Sumatera Utara

hal yang cukup sulit untuk mengetahui nilai keragaman genetik sesungguhnya. Pendugaan keragaman genetik tanaman dengan pengujian-pengujian lapangan membutuhkan waktu dan biaya yang banyak (Boyle dan Liengsiri, 1992)
Seiring dengan perkembangan bioteknologi molekuler, penemuan metodemetode penanda genetik telah mempercepat pendugaan keragaman genetik tanaman. Penanda genetik molekuler dapat menilai keragaman genetik tanpa dipengaruhi lingkungan bahkan umur tanaman. Penanda molekuler yang telah digunakan dalam penilaian keragaman suatu populasi tanaman hutan adalah isoenzim, RFLP, SSR, AFLP dan RAPD.
PENANDA GENETIK RAPD Saat ini penanda genetik merupakan alat yang terpenting dalam mempelajari sistem genetik pohon-pohon hutan. Penemuan penanda genetik terbukti telah mempercepat penilaian terhadap keragaman genetik populasi tanaman hutan dan meningkatkan pemahaman yang lebih untuk memanfaatkan informasi tersebut. Menurut Finkeldey (2005) penanda genetika dapat digunakan untuk identifikasi klon-klon, identifikasi hibrid, pengukuran keragaman genetik antar dan dalam populasi, pengamatan sistem reproduksi (sistem perkawinan dan aliran gen), bukti selektifitas (praktek pengelolaan hutan dan perubahan lingkungan) dan identifikasi lokus sifat kuantitatif/QTL (Quantitative Trait Loci). Banyak jenis penanda telah diidentifikasi, namun hanya beberapa dari segi praktis banyak digunakan dalam genetika hutan. Penanda-penanda tersebut adalah Isoenzim, RFLP, SSR, AFLP dan RAPD. Penanda-penanda genetik tersebut memiliki
Universitas Sumatera Utara

perbedaan yang khas mulai bahan tanaman yang digunakan, alat dan metode, hingga tingkat kesulitan dan biaya yang diperlukan (Linhart 2002). Walau demikian hasil pengukuran keragaman genetik pada populasi dan sampel yang sama jika diuji dengan penanda yang berbeda akan menunjukkan kemiripan (Saidman et.al. 1997).
RAPD adalah salah satu metode penanda genetik berbasis DNA yang telah cukup banyak digunakan untuk menilai keragaman genetik tanaman hutan. RAPD memiliki keunggulan dibandingkan jenis penanda lain yaitu tidak dipengaruhi umur tanaman, mudah dilakukan, biaya relatif murah dan hasil yang cepat diperoleh.

Penanda RAPD menggunakan prinsip kerja mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1990 oleh J. Williams (Williams et al. 1990), dengan menggunakan primer tunggal/sekuen nukleotida pendek (10-20 mer) yang susunan basanya dibuat secara acak. Perbedaan pokok RAPD dengan PCR adalah RAPD menggunakan satu primer pendek berukuran panjang 10 basa, sedangkan PCR menggunakan primer ganda berukuran panjang 20 basa. Urutan-urutan basa yang cocok dengan primer ini akan muncul disepanjang genom.
Teknik RAPD akan mendeteksi polimorfisme DNA yang diakibatkan oleh tidak munculnya amplifikasi pada suatu lokus. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan urutan pada titik pertemuan primer. Ini berakibat primer tidak dapat menempel pada bagian tersebut sehingga tidak terjadi amplifikasi. Oleh karenanya hanya ada dua kemungkinan alel pada penanda RAPD, yaitu timbulnya pita pendek sebagai hasil amplifikasi atau tidak adanya pita karena tidak adanya amplifikasi. Penanda yang demikian ini disebut sebagai dominant marker. Pita yang berbeda
Universitas Sumatera Utara

ukurannya dari satu primer RAPD diasumsikan sebagai berasal dari lokus RAPD yang berbeda. Metode RAPD ini mampu mendeteksi sekuen nukleotida dengan hanya menggunakan suatu primer atau nukleotida yang disusun secara acak. Dengan teknik ini keragaman genetik suatu populasi dapat dianalisis.
Teknik mesin PCR didasarkan pada prinsip amplifikasi sekuen DNA secara enzimatis yang melibatkan pengaturan temperatur. Temperatur yang berbeda di mesin PCR terjadi pada proses pengulangan siklus denaturasi DNA menjadi utas tunggal, penempelan primer (annealing) pada sekuen DNA genom dan perpanjangan primer (elongation).

Gambar 1

Skema siklus PCR (1) Denaturasi pada suhu 94-96°C (2) Annealing pada suhu (mis) 68°C (3) Elongasi pada suhu 72°C (P=Polimerase) (4) siklus pertama selesai. Dua utas DNA yang dihasilkan menjadi cetakan untuk siklus berikutnya, dan menambah jumlah DNA yang diduplikasi setiap siklus baru.

Universitas Sumatera Utara

Secara teoritis jumlah fragmen yang diamplifikasi tergantung pada panjang primer dan ukuran dari target genom. Pada kebanyakan tanaman primer dengan panjang antara 9-10 nukleotida dapat menghasilkan antara 2-10 produk amplifikasi. Primer yang digunakan umumnya mempunyai sekuen acak, terdiri dari sedikitnya 50% G dan C dan tidak mempunyai internal inverted repeats. Produk amplifikasi dapat dengan mudah dipisahkan dengan elektroforesis dan diamati dengan iluminasi ultraviolet. Polimorfisme terjadi sebagai akibat dari perubahan pada titik ikatan primer/primer binding site (misalnya mutasi titik), atau karena perubahan pada ukuran target DNA (seperti yang terjadi pada insersi, delesi, atau inversi). RAPD mendeteksi polimorfisme genetik yang diturunkan sebagai dominant Mendelian makers. Adanya polimorfisme ditunjukkan oleh munculnya band specific yang diakibatkan oleh adanya dua titik bersebelahan, yang mempunyai target sequen cocok dengan sequen primer oligonukeotida. Apabila tidak terjadi pertemuan titik sequen seperti tersebut diatas maka pita dimaksud tidak akan muncul.
Teknik RAPD tidak membutuhkan informasi awal tentang urutan basa suatu jenis. Yang diperlukan hanyalah DNA yang relatif murni dan dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan RFLP. Jumlah lokus RAPD yang dapat dihasilkan juga tidak terbatas. Hingga kini ada lebih dari 2000 jenis primer yang tersedia secara komersial. Teknik ini juga relatif mudah, walaupun konsistensi hasilnya relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena kepekaan pola pita RAPD terhadap kondisi reaksi, khususnya suhu alat PCR atau thermocycler (Rimbawanto et al. 2004).
Universitas Sumatera Utara

ANALISIS DATA RAPD Profil pita DNA hasil analisis RAPD diskoring dengan ada atau tidaknya hasil

amplifikasi. Jika terdapat pita maka genotip tersebut dinilai 1 dan jika tidak terdapat


pita pada genotip yang lain dinilai 0. Hasil skoring digunakan untuk memperoleh

nilai keragaman genetik eluruh populasi dan diferensiasi genetik antar populasi

dengan menggunakan program pengolahan misalnya, POPGEN 1.32. Analisis

pengelompokan berdasarkan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method

Arithmetic Avarage) dikerjakan dengan menggunakan program NTSYS 2.0.

Parameter keragaman genetik yang diukur adalah sebagai berikut :

Keragaman Genetik Populasi

Heterosigositas harapan (HE)/Keragaman genetik Nei (Nei 1973)

∑HE =

⎡⎢⎣1 −


i

p

2 i

⎤ ⎦⎥

Dimana : pi = frekuensi genetik tipe ke-i

Diferensiasi Genetik Antar Populasi
1. Diferensiasi genetik (Gst) (Nei 1973)
Gst = (Ht – Hs) Ht
Dimana : Ht = keragaman genetik total Hs = keragaman genetik dalam populasi
2. Jarak genetik (D) (Nei 1973)
D = - ln I
Dimana : I = Identitas genetik untuk 2 populasi

Universitas Sumatera Utara


PENUTUP Ancaman terhadap semakin menurunnya keragaman genetik tanaman, saat ini akan semakin mudah dibuktikan dengan penanda-penanda genetik molekuler. Hal ini akan semakin membuka peluang untuk menjaga keberadaan hutan. Pemanfaatan penandapenanda semisal RAPD, di masa datang akan semakin banyak dibutuhkan untuk penilaian keragaman genetik, baik untuk kegiatan konservasi dan pemuliaan tanaman hutan, bahkan perdagangan kayu illegal. Karena itu peluang pemanfaatannya harus diperbanyak.
7
Universitas Sumatera Utara

Tabel Penanda molekuler yang telah digunakan pada tanaman hutan

Nama penanda Metode

Keunggulan

Kodominan (penanda lokus tunggal/lokus dikenal)

Isoenzim

Elektroforesis gel, pewarnaan histokimia Murah, mudah digunakan,

enzim dan protein selular.

sistem enzim yang


terdokumentasi baik dapat

menghasilkan pengukuran

frekunsi alel yang tegas.

PCR-RFLP

Lokus organel atau inti spesifik

Membutuhkan sampel DNA

(Restriction

diamplifikasi menggunakan primer PCR dalam jumlah kecil. Primer

fragment length yang dirancang khusus, produk dipotong universal untuk lokus

polymorphism) dengan enzim restriksi dan divisualisasi


spesifik telah tersedia

langsung dengan elektroforesis gel.

banyak.

SSR

Primer PCR khusus digunakan untuk

Alel lokus tunggal yang

(microsatellites mengamplifikasi motif-motif berulang yang tegas dapat dinilai.

atau simple

hipervariabel dalam genom inti atau

sequence repeats) organel.


Dominan (penanda multilokus)

RAPD (Random Primer sequen pendek (biasanya 10-mer) DNA koding dan non-koding

amplified

digunakan untuk mengamplifikasi lokus

tiga genom tanaman,

polymorphic

acak pada seluruh genom dengan PCR

dianalisis secara acak.

DNA)

AFLP (amplified DNA genomik total dipotong dengan 2


Lebih reprodusibel

fragment length enzim restriksi, produk secara selektif

dibandingkan RAPD.

polymorphism) diamplifikasi dengan menggunakan primer Skoring otomatis tersedia.

PCR

Sumber : Linhart (2002)

Kelemahan
Memerlukan jaringan segar dan tertentu (mis : tunas dan kecambah).
Pengembangan primer mahal dan sulit. Gen multilokus atau pseudogen kemungkinan diperbanyak dalam genom inti, memungkinkan kesalahan identitas dan frekuensi alel. Lokasi bermikrosatelit berbeda antar taxa, sehingga diperlukan pengembangan yang mahal dan sulit untuk setiap jenis baru.
Reprodusibilitas dapat rendah, lokasi genomik tidak dapat diketahui tanpa persilangan yang dikontrol
Lebih mahal dibandingkan RAPD. Label radioaktif mungkin diperlukan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA
Boyle T, Liengsiri C. 1992. Design, Measurement and Analysis of Field Trial for Genetic Analysis. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre. Thailand: MuakLek Saraburi 18180.
Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah. Bogor: Fahutan IPB. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetics.
Linhart YB. 2002. Variation in woody plants: molecular biology, evolutionary processes and conservation biology. Di dalam: Forestry sciences, Molecular biology of woody plant. Jain SM, Minocha SC (editor). Kluwer Academic Publisher. Netherland.
Rimbawanto A et.al. 2004. Identifikasi genetik jenis Pinus merkusii. Jurnal Litbang Pemuliaan Pohon dan Bioteknologi Hutan. Yogyakarta.
Saidman et.al. 1997. RAPDs variation in hybrid swarms and pure populations in the genus Prosopis (Leguminosae). Di dalam: Recent advances in biotechnology for tree conservation and management. Proceedings of an IFS Workshop; Florianopolis, Brazil 15-19 September 1997. Swedia: International Foundation for Science. hlm 94-102.
Stren K, Roche L. 1974. Genetics of Forest Ecosystems. Springer-Verlag. Berlin. Heidelberg. New York.
Universitas Sumatera Utara