Keragaman Genetik Jati Rakyat di Jawa Berdasarkan Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

(1)

KERAGAMAN GENETIK JATI RAKYAT

DI JAWA BERDASARKAN PENANDA

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

(RAPD)

AL-KHAIRI

E14202006

PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(2)

KERAGAMAN GENETIK JATI RAKYAT

DI JAWA BERDASARKAN PENANDA

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

(RAPD)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

AL-KHAIRI

E14202006

PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(3)

RINGKASAN

AL-KHAIRI (E14202006). Keragaman Genetik Jati Rakyat Di Jawa Berdasarkan PenandaRandom Amplified Polymorphic DNA(RAPD). Dibimbing oleh Iskandar Z. Siregar.

Indonesia merupakan negara keempat terbesar dalam hal produksi kayu Jati setelah Burma, India, dan Thailand. Pertambahan jumlah penduduk di dunia, khususnya di Indonesia, membuat jumlah permintaan akan kayu Jati meningkat melebihi jumlah yang dapat diproduksi. Kebutuhan kayu Jati olahan untuk Indonesia, baik skala domestik maupun ekspor pada tahun 1999 sebesar 2,5 juta m3/tahun dan baru terpenuhi sebesar 0,8

juta m3/tahun. Saat ini, kesenjangan (gap) yang lebar antara permintaan dan persediaan kayu Jati dipenuhi oleh pihak-pihak yang tidak berwenang dengan cara yang mudah dan ilegal.

Kontribusi sumber bahan baku resmi yang paling besar adalah hutan tanaman sebesar 60,46 %, Hak Pengusahaan Hutan sebesar 21,93 %, Izin Pemanfaatan Kayu 14,31%, Hutan Rakyat 1,68 %, impor 1,28 %, dan Perum Perhutani 0,34 %. Salah satu sumber bahan baku untuk industri kayu nasional adalah dari hutan rakyat. Hutan Jati Rakyat di Indonesia telah ada sejak tahun 2005 seluas 1.568.415 ha dengan potensi mencapai 39.564.000 m3, dimana jumlah pohon mencapai 226.680.000 batang (terdiri

dari jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.486.000 batang dengan potensi produksi kayu minimal 19.621.000 m3). Potensi hutan Jati rakyat tersebut sebagian besar masih

terkonsentrasi di Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sumatra. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat terutama ditentukan oleh pengelolaan sumberdaya genetik Jati dan tempat tumbuhnya. Oleh karena itu perlu dilakukan riset dan pengembangan pengetahuan pengelolaan serta peningkatan teknologi untuk program pemanfaatan sumberdaya genetik agar hutan Jati rakyat dapat berkembang dengan baik. Salah satu teknologi penanda genetik yang dapat digunakan untuk mengetahui status keragaman genetik adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menduga keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Jati rakyat (Tectona grandisLinn. f.) yang dikembangkan di tiga populasi yaitu Jawa Barat-Banten (Populasi 1), Jawa Timur (Populasi 2) dan Jawa Tengah (Populasi 3).

Penelitian dilakukan di dua tempat, pertama tempat pengambilan sampel daun Jati (Tectona grandis Linn. f.) dari tiga populasi yaitu Jawa Barat-Banten (Rangkasbitung, Bogor), Jawa Timur (Ngawi, Bojonegoro, Kebonharjo) dan Jawa Tengah (Cepu, Kendal, Randublatung). Kedua, tempat penelitian elektroforesis dan analisis ADN dilakukan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juli 2007.


(4)

Dari penelitian untuk Jati Rakyat dengan teknik RAPD diperoleh satu primer dari 4 primer yang diseleksi. Primer yang digunakan untuk metode RAPD tersebut adalah OPO10, OPO11, OPO12 dan OPY11. Dari empat primer tersebut yang dipilih adalah primer OPO12, karena teramplifikasi dengan baik dibandingkan dengan tiga primer yang lainnya. Urutan basa primer OPO12 adalah 5' CAGTGCTGTG '3 dengan 11 lokus polimorfik. Untuk ukuran fragmen berkisar antara 100 bp-2642 bp. Dengan teknik tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki nilai rata-ratana = 1.9091,ne = 1.6616, PLP = 90.91 % dan He = 0.2896, nilai

ini merupakan nilai yang paling besar diantara 2 populasi yang lain. Sedangkan populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He

yang paling kecil (na = 1.6364,ne = 1.1755, PLP = 63.64 % dan He = 0.1311

).

Pada variasi genetik antar populasi dapat dilihat bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) berada pada satu klaster pertama dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2). Sedangkan klaster selanjutnya bergabung dengan Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1). Dari hasil analisis gerombol tersebut menunjukkan bahwa jarak genetik terdekat adalah antara populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) yaitu 0.0198 (Lampiran 4). Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dan populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat).

Jarak genetik terdekat antara populasi adalah Jati Ngawi (Jatim) dengan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) yaitu 0.0124. Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Ngawi (Jatim) dan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat). Dari dendrogram tersebut dapat juga dilihat bahwa populasi Jati Rangkasbitung (Jabar-Banten) dan populasi Jati Bogor (Jabar-Banten) membentuk satu kelompok (klaster).

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil analisis keragaman genetik dengan teknik RAPD yang diterapkan pada tanaman Jati Rakyat (Tectona grandis Linn. f.) menunjukkan bahwa Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki nilai rata-ratana = 1.9091,ne = 1.4616, PLP = 90.91% dan He = 0.2896, nilai ini merupakan nilai

yang paling besar diantara 2 populasi lainya. Populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He (na = 1.9091,ne = 1.4124, PLP = 90.91%

dan He = 0.2478)

,

sedangkan populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1)

memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He yang paling kecil (na = 1.6364,ne = 1.1755,

PLP = 63.64% dan He = 0.1311)

.

Berdasarkan analisis gerombol, jarak genetik terdekat

adalah antara Propinsi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) yaitu 0.0198, sedangkan Jarak genetik terdekat antar populasi adalah populasi Jati Ngawi (Jatim) dengan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) yaitu 0.0124. Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Ngawi (Jatim) dan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat). Sedangkan populasi yang memisah dan menunjukkan hubungan kekerabatan terjauh dengan populasi-populasi lainnya adalah Jati rakyat dari Randublatung.


(5)

Lembar Pengesahan

Judul : KERAGAMAN GENETIK JATI RAKYAT DI JAWA BERDASARKAN PENANDA

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) Nama : Al-khairi

NRP : E14202006

Menyetujui, Pembimbing

(Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc) NIP. 131 878 498

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

(Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr) NIP. 131 578 788


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekan Baru tanggal 9 Juni 1984 dari Ayah bernama H. Abdullah Efendy dan Ibu Hj. Nurdianis H.N. Penulis merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara.

Pada tahun 1990 penulis masuk di Sekolah Dasar Negeri 005 Lubuk Bendahara, kemudian pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di MTS Darul-Fallah Labuhan Batu, Rantau Prapat, sampai dengan tahun 1999. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Plus YPMhb Sumut sampai tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Getas. Sedangkan Praktek Umum Kehutanan (PUK) dilaksanakan di BKPH Rawa Timur, BKPH Gunung Slamet, KPH Banyumas Timur. Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di kampus praktek lapang Universitas Gadjah Mada Getas, Jawa Timur. Kemudian Pada bulan Februari-April 2006 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kotamadya Bogor.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2007 penulis memilih judul "Keragaman Genetik Jati Rakyat Di Jawa Berdasarkan PenandaRandom Amplified Polymorphic DNA (RAPD)".

Penelitian ini berisikan kajian keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Jati rakyat (Tectona grandisLinn. f.) yang dikembangkan di beberapa propinsi di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat-Banten (Populasi 1), Jawa Timur (Populasi 2) dan Jawa Tengah (Populasi 3).

Dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayah, Bunda, dan seluruh keluarga besar atas semua dukungan dan do’anya 2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku dosen pembimbing atas segala

bantuan dan bimbingannya

3. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku dosen penguji 4. Ibu Istie Sekartining Rahayu, S.Hut, M.si selaku dosen penguji 5. Tedi Yunanto, S.Hut atas semua bantuan dan ilmunya

6. Teman-teman BDH 39 atas bantuan dan dukungannya

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi pembangunan hutan di Indonesia. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaannya.

Bogor, Maret 2008


(8)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...i

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

DAFTAR LAMPIRAN ...v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jati (Tectona grandis Linn. f.) ... 4

2.1.1. Taksonomi dan tata nama ... 4

2.1.2. Penyebaran dan habitat ... 5

2.1.3. Pemanfaatan ... 6

2.1.4. Ciri-ciri morfologi ... 7

2.2. Prinsip-prinsip Genetika ... 8

2.2.1. Asam Deoksiribonukleat (ADN) ... 8

2.3. Keragaman Genetik Jati (Tectona grandis Linn. f.) ... 10

2.4. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu ... 16

3.2. Alat dan Bahan ... 16

3.2.1. Bahan tanaman ... 16

3.2.2. Alat-alat Penelitian ... 17

3.3. Metode Penelitian ... 19

3.3.1. Ekstraksi ADN... 20

3.3.2. Seleksi primer ... 21


(9)

ii

3.4. Analisis Data ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ekstraksi ADN dan PCR ... 26

4.1.1. Ekstraksi ADN ... 26

4.1.2. Pengujian Primer ... 27

4.1.2.1. Seleksi primer dengan metode PCR ... 27

4.1.2.2. Hasil RAPD ... 28

4.2. Interpretasi dan Analisis Data ... 30

4.2.1. Variasi genetik antar propinsi ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(10)

iii

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Lokasi pengambilan sampel Jati Rakyat (Tectona grandis Linn. f.)... 17

2. Bahan-bahan Ekstraksi ADN dan RAPD... 17

3. Alat-alat Ekstraksi ADN, RAPD dan Analisis Data... 17

4. Komposisi bahan untuk ekstraksi ADN... 21

5. Urutan basa nukleotida 35 primer (Operon Technology)... 23

6. Komposisi bahan untuk reaksi PCR... 23

7. Tahapan-tahapan dalam proses PCR untuk teknik RAPD... 24


(11)

KERAGAMAN GENETIK JATI RAKYAT

DI JAWA BERDASARKAN PENANDA

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

(RAPD)

AL-KHAIRI

E14202006

PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(12)

KERAGAMAN GENETIK JATI RAKYAT

DI JAWA BERDASARKAN PENANDA

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

(RAPD)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

AL-KHAIRI

E14202006

PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(13)

RINGKASAN

AL-KHAIRI (E14202006). Keragaman Genetik Jati Rakyat Di Jawa Berdasarkan PenandaRandom Amplified Polymorphic DNA(RAPD). Dibimbing oleh Iskandar Z. Siregar.

Indonesia merupakan negara keempat terbesar dalam hal produksi kayu Jati setelah Burma, India, dan Thailand. Pertambahan jumlah penduduk di dunia, khususnya di Indonesia, membuat jumlah permintaan akan kayu Jati meningkat melebihi jumlah yang dapat diproduksi. Kebutuhan kayu Jati olahan untuk Indonesia, baik skala domestik maupun ekspor pada tahun 1999 sebesar 2,5 juta m3/tahun dan baru terpenuhi sebesar 0,8

juta m3/tahun. Saat ini, kesenjangan (gap) yang lebar antara permintaan dan persediaan kayu Jati dipenuhi oleh pihak-pihak yang tidak berwenang dengan cara yang mudah dan ilegal.

Kontribusi sumber bahan baku resmi yang paling besar adalah hutan tanaman sebesar 60,46 %, Hak Pengusahaan Hutan sebesar 21,93 %, Izin Pemanfaatan Kayu 14,31%, Hutan Rakyat 1,68 %, impor 1,28 %, dan Perum Perhutani 0,34 %. Salah satu sumber bahan baku untuk industri kayu nasional adalah dari hutan rakyat. Hutan Jati Rakyat di Indonesia telah ada sejak tahun 2005 seluas 1.568.415 ha dengan potensi mencapai 39.564.000 m3, dimana jumlah pohon mencapai 226.680.000 batang (terdiri

dari jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.486.000 batang dengan potensi produksi kayu minimal 19.621.000 m3). Potensi hutan Jati rakyat tersebut sebagian besar masih

terkonsentrasi di Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sumatra. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat terutama ditentukan oleh pengelolaan sumberdaya genetik Jati dan tempat tumbuhnya. Oleh karena itu perlu dilakukan riset dan pengembangan pengetahuan pengelolaan serta peningkatan teknologi untuk program pemanfaatan sumberdaya genetik agar hutan Jati rakyat dapat berkembang dengan baik. Salah satu teknologi penanda genetik yang dapat digunakan untuk mengetahui status keragaman genetik adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menduga keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Jati rakyat (Tectona grandisLinn. f.) yang dikembangkan di tiga populasi yaitu Jawa Barat-Banten (Populasi 1), Jawa Timur (Populasi 2) dan Jawa Tengah (Populasi 3).

Penelitian dilakukan di dua tempat, pertama tempat pengambilan sampel daun Jati (Tectona grandis Linn. f.) dari tiga populasi yaitu Jawa Barat-Banten (Rangkasbitung, Bogor), Jawa Timur (Ngawi, Bojonegoro, Kebonharjo) dan Jawa Tengah (Cepu, Kendal, Randublatung). Kedua, tempat penelitian elektroforesis dan analisis ADN dilakukan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juli 2007.


(14)

Dari penelitian untuk Jati Rakyat dengan teknik RAPD diperoleh satu primer dari 4 primer yang diseleksi. Primer yang digunakan untuk metode RAPD tersebut adalah OPO10, OPO11, OPO12 dan OPY11. Dari empat primer tersebut yang dipilih adalah primer OPO12, karena teramplifikasi dengan baik dibandingkan dengan tiga primer yang lainnya. Urutan basa primer OPO12 adalah 5' CAGTGCTGTG '3 dengan 11 lokus polimorfik. Untuk ukuran fragmen berkisar antara 100 bp-2642 bp. Dengan teknik tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki nilai rata-ratana = 1.9091,ne = 1.6616, PLP = 90.91 % dan He = 0.2896, nilai

ini merupakan nilai yang paling besar diantara 2 populasi yang lain. Sedangkan populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He

yang paling kecil (na = 1.6364,ne = 1.1755, PLP = 63.64 % dan He = 0.1311

).

Pada variasi genetik antar populasi dapat dilihat bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) berada pada satu klaster pertama dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2). Sedangkan klaster selanjutnya bergabung dengan Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1). Dari hasil analisis gerombol tersebut menunjukkan bahwa jarak genetik terdekat adalah antara populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) yaitu 0.0198 (Lampiran 4). Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dan populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat).

Jarak genetik terdekat antara populasi adalah Jati Ngawi (Jatim) dengan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) yaitu 0.0124. Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Ngawi (Jatim) dan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat). Dari dendrogram tersebut dapat juga dilihat bahwa populasi Jati Rangkasbitung (Jabar-Banten) dan populasi Jati Bogor (Jabar-Banten) membentuk satu kelompok (klaster).

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil analisis keragaman genetik dengan teknik RAPD yang diterapkan pada tanaman Jati Rakyat (Tectona grandis Linn. f.) menunjukkan bahwa Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki nilai rata-ratana = 1.9091,ne = 1.4616, PLP = 90.91% dan He = 0.2896, nilai ini merupakan nilai

yang paling besar diantara 2 populasi lainya. Populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He (na = 1.9091,ne = 1.4124, PLP = 90.91%

dan He = 0.2478)

,

sedangkan populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1)

memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He yang paling kecil (na = 1.6364,ne = 1.1755,

PLP = 63.64% dan He = 0.1311)

.

Berdasarkan analisis gerombol, jarak genetik terdekat

adalah antara Propinsi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) yaitu 0.0198, sedangkan Jarak genetik terdekat antar populasi adalah populasi Jati Ngawi (Jatim) dengan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) yaitu 0.0124. Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Ngawi (Jatim) dan populasi Jati Kebonharjo (Jatim) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat). Sedangkan populasi yang memisah dan menunjukkan hubungan kekerabatan terjauh dengan populasi-populasi lainnya adalah Jati rakyat dari Randublatung.


(15)

Lembar Pengesahan

Judul : KERAGAMAN GENETIK JATI RAKYAT DI JAWA BERDASARKAN PENANDA

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) Nama : Al-khairi

NRP : E14202006

Menyetujui, Pembimbing

(Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc) NIP. 131 878 498

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

(Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr) NIP. 131 578 788


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekan Baru tanggal 9 Juni 1984 dari Ayah bernama H. Abdullah Efendy dan Ibu Hj. Nurdianis H.N. Penulis merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara.

Pada tahun 1990 penulis masuk di Sekolah Dasar Negeri 005 Lubuk Bendahara, kemudian pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di MTS Darul-Fallah Labuhan Batu, Rantau Prapat, sampai dengan tahun 1999. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Plus YPMhb Sumut sampai tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Getas. Sedangkan Praktek Umum Kehutanan (PUK) dilaksanakan di BKPH Rawa Timur, BKPH Gunung Slamet, KPH Banyumas Timur. Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di kampus praktek lapang Universitas Gadjah Mada Getas, Jawa Timur. Kemudian Pada bulan Februari-April 2006 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kotamadya Bogor.


(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2007 penulis memilih judul "Keragaman Genetik Jati Rakyat Di Jawa Berdasarkan PenandaRandom Amplified Polymorphic DNA (RAPD)".

Penelitian ini berisikan kajian keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Jati rakyat (Tectona grandisLinn. f.) yang dikembangkan di beberapa propinsi di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat-Banten (Populasi 1), Jawa Timur (Populasi 2) dan Jawa Tengah (Populasi 3).

Dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayah, Bunda, dan seluruh keluarga besar atas semua dukungan dan do’anya 2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku dosen pembimbing atas segala

bantuan dan bimbingannya

3. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku dosen penguji 4. Ibu Istie Sekartining Rahayu, S.Hut, M.si selaku dosen penguji 5. Tedi Yunanto, S.Hut atas semua bantuan dan ilmunya

6. Teman-teman BDH 39 atas bantuan dan dukungannya

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi pembangunan hutan di Indonesia. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaannya.

Bogor, Maret 2008


(18)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...i

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

DAFTAR LAMPIRAN ...v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jati (Tectona grandis Linn. f.) ... 4

2.1.1. Taksonomi dan tata nama ... 4

2.1.2. Penyebaran dan habitat ... 5

2.1.3. Pemanfaatan ... 6

2.1.4. Ciri-ciri morfologi ... 7

2.2. Prinsip-prinsip Genetika ... 8

2.2.1. Asam Deoksiribonukleat (ADN) ... 8

2.3. Keragaman Genetik Jati (Tectona grandis Linn. f.) ... 10

2.4. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu ... 16

3.2. Alat dan Bahan ... 16

3.2.1. Bahan tanaman ... 16

3.2.2. Alat-alat Penelitian ... 17

3.3. Metode Penelitian ... 19

3.3.1. Ekstraksi ADN... 20

3.3.2. Seleksi primer ... 21


(19)

ii

3.4. Analisis Data ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ekstraksi ADN dan PCR ... 26

4.1.1. Ekstraksi ADN ... 26

4.1.2. Pengujian Primer ... 27

4.1.2.1. Seleksi primer dengan metode PCR ... 27

4.1.2.2. Hasil RAPD ... 28

4.2. Interpretasi dan Analisis Data ... 30

4.2.1. Variasi genetik antar propinsi ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(20)

iii

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Lokasi pengambilan sampel Jati Rakyat (Tectona grandis Linn. f.)... 17

2. Bahan-bahan Ekstraksi ADN dan RAPD... 17

3. Alat-alat Ekstraksi ADN, RAPD dan Analisis Data... 17

4. Komposisi bahan untuk ekstraksi ADN... 21

5. Urutan basa nukleotida 35 primer (Operon Technology)... 23

6. Komposisi bahan untuk reaksi PCR... 23

7. Tahapan-tahapan dalam proses PCR untuk teknik RAPD... 24


(21)

iv

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Pohon Jati... 4

2. Daun, Bunga dan BuahTectona grandis Linn. f... 8

3. ADN dapat ditemukan pada inti sel, kloroplasma dan mitokondria... 9

4. Tahapan-tahapan pada proses PCR (Polymerase Chain Reaction)... 14

5. Daun Jati (Tectona grandis Linn. f.)... 16

6. Foto alat-alat penelitian... 18

7. Bagan prosedur penelitian... 19

8. Cara penilaian pita dengan sistem skoring... 25

9. Hasil ekstraksi ADN………... 26

10. Foto hasil seleksi primer pada ADN daun Jati... 28

11. Hasil PCR dengan primer OPO-12... 29

12. Dendrogram jarak genetik Jati Rakyat antar propinsi... 31


(22)

v

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Tabel hasil skoring... 38 2. Analisis genetik dengan POPGENE... 39 3. Jarak genetik Jati rakyat antar populasi... 41 4. Jarak genetik Jati rakyat antar propinsi... 42


(23)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri. Hingga saat ini, Jati masih menjadi komoditas mewah dikarenakan kualitasnya yang tinggi, walaupun harga belinya mahal. Harga jual yang mahal di pasar internasional (US$ 640/m3 untuk kayu papan Jati Jawa tahun 1989), menyebabkan kayu Jati lebih diutamakan sebagai kayu mewah (Palupi, 2006).

Indonesia merupakan negara keempat terbesar dalam penyediaan kayu Jati setelah Burma, India, dan Thailand, dengan jumlah produksi per tahun sekitar 800.000 m3 selama kurun waktu 1984-1988. Pada tahun 1989, Indonesia mampu mengekspor kayu papan Jati sebesar 46.000 m3 dengan nilai US$ 29,4 juta dan sejak tahun 1990, jumlah kayu papan Jati yang diekspor dikurangi untuk dapat memenuhi permintaan industri furnitur dalam negeri (Dephut, 2002).

Pertambahan jumlah penduduk dunia, khususnya Indonesia, membuat jumlah permintaan akan kayu Jati meningkat. Kebutuhan kayu Jati olahan untuk Indonesia, baik skala domestik maupun ekspor pada tahun 1999 sebesar 2,5 juta m3/tahun dan baru terpenuhi sebesar 0,8 juta m3/tahun (Leksono 2001 dalam Siregar 2005). Dewasa ini, kesenjangan (gap) yang lebar antara permintaan dan persediaan kayu Jati dipenuhi oleh pihak-pihak yang tidak berwenang dengan cara yang mudah dan ilegal. Menurut Murthy (1992), kesenjangan yang lebar antara permintaan dan produksi kayu Jati hanya bisa dipenuhi dengan meningkatkan produksi dan menciptakan hutan yang lestari dengan cara memperkenalkan jenis-jenis yang cepat tumbuh (fast-growing species) dan memiliki hasil yang tinggi (high-yielding species), mengurangi panjangnya daur, dan menerapkan strategi genetik dan pemuliaan pohon sepertibreeding dan bioteknologi.

Selama ini industri kayu secara umum masih banyak menyerap kayu dari sumber lain karena jatah produksi tebangan yang diberikan tidak mencukupi. Hal ini mengakibatkan praktek illegal logging yang marak terjadi tahun 2003 yang kemudian berangsur-angsur hilang seiring dengan digelarnya Operasi Hutan


(24)

2

Lestari 2005 oleh Dephut. Kontribusi sumber bahan baku resmi yang paling besar adalah hutan tanaman sebesar 60,46 %, Hak Pengusahaan Hutan sebesar 21,93 %, Izin Pemanfaatan Kayu 14,31%, Hutan Rakyat 1,68 %, impor 1,28 %, dan Perum Perhutani 0,34 %. Dengan demikian apabila dilihat berdasarkan lokasinya, Sumatera dan Kalimantan tetap merupakan sentra produksi bahan baku dan industri kayu nasional (Dephut, 2002).

Berdasarkan pernyataan di atas, salah satu sumber bahan baku andalan untuk industri kayu nasional adalah hutan rakyat. Dan salah satu jenis pohon yang dikembangkan pada hutan rakyat adalah Jati. Potensi hutan Jati rakyat di Indonesia telah ada sejak awal tahun 2005 seluas 1.568.415 ha dengan potensi mencapai 39.564.000 m3, (jumlah pohon mencapai 226.680.000 batang, dan yang siap tebang sebanyak 78.486.000 batang dengan potensi produksi kayu minimal 19.621.000 m3). Potensi hutan Jati rakyat tersebut sebagian besar masih terkonsentrasi di Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sumatra (Effendi, 2005).

Pasar kayu Jati dunia meliputi jangkauan yang luas untuk pasar kayu Jati mentah, kayu untuk bahan baku industri dan pulp, serta pasar untuk produk kerajinan. Pasar produk kerajinan dari kayu Jati sangat membutuhkan pasokan kayu Jati yang besar. Bahkan Asosiasi Kerajinan Kayu seperti Asosiasi Industri Meubel dan Kerajinan Indonesia menjanjikan memberikan sertifikasi produk kayu Jati rakyat yang memasok kebutuhan kayu mereka untuk produk kerajinan (Away, 2001).

Adanya potensi besar industri yang mampu menyerap Jati rakyat dan dukungan regulasi insentif dari pemerintah, maka masa depan pengembangan hutan Jati rakyat menjadi lebih baik, sehingga memiliki keuntungan ganda baik dari sisi finansial ekonomis maupun dari sisi kesejahteraan rakyat di sekitar hutan.

Namun kemampuan riset petani Indonesia masih rendah, sehingga pemerintah harus terus mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk meningkatkan produk hasil pengembangan hutan Jati rakyat. Keberhasilan pengembangan hutan Jati Rakyat terutama ditentukan oleh pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik Jati dan tempat tumbuhnya. Oleh karena itu perlu dilakukan riset dan pengembangan pengetahuan pengelolaan serta


(25)

3

peningkatan teknologi untuk program konservasi genetik dan pemuliaan agar hutan Jati rakyat dapat berkembang dengan baik.

Salah satu dasar yang dibutuhkan untuk melakukan program konservasi genetik dan pemuliaan adalah data mengenai struktur genetik (sifat genotipe) jenis tanaman tersebut. Dan metode yang dapat dilakukan untuk penelusuran sifat tanaman dari segi genotipenya adalah metode isozim dan ADN. Namun teknik isozim memiliki kelemahan yaitu sulit untuk mendeteksi keragaman genetik diantara gen-gen yang memiliki hubungan dekat.

Salah satu metode untuk analisis ADN adalah dengan menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). RAPD adalah metode untuk mendeteksi dengan cepat genom yang polimorfik. RAPD adalah modifikasi dari PCR yang dikembangkan pada tahun 1990 oleh J. Williams (Williamset al. 1990 dalam Kaidah 1999).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Jati rakyat (Tectona grandis Linn. f.) yang dikembangkan di beberapa propinsi di Pulau Jawa.

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diuji adalah adanya keragaman genetik dan hubungan kekerabatan Jati rakyat (Tectona grandis Linn. f.) di beberapa populasi yang diteliti di Pulau Jawa.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi dasar tentang keragaman genetik Jati rakyat (Tectona grandis Linn. f.) yang terdapat di Pulau Jawa untuk program konservasi genetik dan pemuliaan masa datang.


(26)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jati (Tectona grandisLinn. f.) 2.1.1 Taksonomi dan tata nama

Jati merupakan salah satu jenis pohon besar yang menggugurkan daun pada saat musim kemarau. Pada kondisi lingkungan yang baik, Jati dapat tumbuh mencapai tinggi 30 - 40 m. Pohon Jati memiliki kulit batang tebal, abu-abu atau coklat muda keabu-abuan (Gambar 1). Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi yang dikenal dunia dengan namateak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari katathekku, dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah Jati adalah Tectona grandis Linn.f. Dalam sistem klasifikasi tumbuhan, tanaman Jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies :Tectona grandis Linn. f.


(27)

5

Selain jenis Tectona grandis Linn. f, famili Verbenaceae juga memiliki 2 jenis lain yang mirip Jati di Indonesia, yaitu Tectona hamiltoniana Wall. yang tumbuh di daerah kering Myanmar dan Tectona philippinensis Benth & Hooker yang tumbuh di hutan Batangas dan Mindoro (Pulau Iling), Filipina. Dari ketiga jenis Tectona tersebut, Tectona grandis-lah yang mempunyai kualitas paling baik (Sumarna, 2001). Selain itu, ada jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai Jati meski tidak berkerabat, yaitu Jati sabrang, Jati putih, dan Jati pasir.

2.1.2 Penyebaran dan habitat

Jati secara alami menyebar di India, Myanmar, Thailand dan bagian barat Laos sampai ke Jawa. Jati menyebar pada garis lintang 90o LU di India sampai garis lintang 25 o LU di Myanmar dan tersebar antara garis bujur 70o-100oBT. Hutan Jati biasanya terpisah oleh pegunungan, tanah-tanah datar, tanah-tanah pertanian dan tipe hutan lainnya. Di Indonesia, Jati bukan tanaman asli, akan tetapi ditanam sejak beberapa abad lalu di Pulau Kangean, Muna, Sumbawa dan Jawa oleh pemerintah Belanda yang dibawa dari India (Departemen Kehutanan, 2002).

Jati tumbuh di hutan-hutan gugur yang menggugurkan daun di musim kemarau. Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200–3000 mm/tahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0–700 m dpl, meski Jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6–8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air. Pada masa lalu, Jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa, ditanam oleh orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa Jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudzet al. 2004).

Karena nilai kayunya, Jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, New Zealand,


(28)

6

Pasifik dan Taiwan. Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, Jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Di hutan Ngawi dan Muna, Jati tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Terdapat sekurang-kurangnya kayu Jati log dengan volume sebesar 8,6 ribu m3 pada 2001, dan setahun kemudian meningkat menjadi 12,2 ribu, lalu menjadi 5,9 ribu pada 2003, dan meningkat lagi menjadi 21,1 ribu m3 pada 2004 (Aminuddin, 2006). Jati di Muna biasa disebut kulidawa yang artinya Jati yang asalnya dari Jawa. Benih Jati tersebut dibawa oleh Paelangkuta, ketika kapitalao (panglima perang) itu pulang dari membantu rakyat Jepara berperang melawan Inggris. Orang Muna menyebut Jati mereka sebagai Jati Muna (Kompas, 2006). Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera pada abad ke-17.

2.1.3 Pemanfaatan

Kayu Jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis. Untuk interior, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur, kayu Jati juga digunakan dalam struktur bangunan seperti rumah-rumah tradisional di Jawa dimana semua bagian tiang-tiangnya, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir menggunakan kayu Jati.

Industri kayu saat ini mengolah kayu Jati menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis yang mahal, serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga Jati diekspor ke mancanegara dalam bentuk exterior. Ranting-ranting Jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk meubel, dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu Jati mampu menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu banyak digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.

Jati dikenal luas sebagai jenis tanaman yang terdapat pada tapak beriklim tropik. Jati juga sering dijumpai sebagai tanaman pokok pada sistemagroforestry. Jati merupakan kayu serbaguna yang digunakan sebagai konstruksi ringan dan berat, bahan bangunan rumah, kayu pertukangan, ukiran dan lain-lain


(29)

7

(Departemen Kehutanan, 2002). Sebagian besar kebutuhan kayu Jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

2.1.4 Ciri-ciri morfologi

Jati merupakan pohon besar dengan batang yang bulat lurus dengan tinggi total mencapai 40 m. Jati memiliki tinggi batang bebas cabang (clear pole) yang dapat mencapai 18–20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula pohon Jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian Jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam, dan Jati pring (bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.

Jati memiliki daun yang besar, berbentuk bulat telur terbalik dan berhadapan dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar sekitar 60–70 cm × 80–100 cm, sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm, berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas (Gambar 2). Ranting yang muda berpenampang segi empat dan berbonggol di buku-bukunya.

Jati memiliki tipe bunga majemuk yang terletak dalam malai besar berukuran 40 cm × 40 cm atau lebih besar dan berisi ratusan kuntum bunga yang tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting yang jauh di puncak tajuk pohon. Tajuk mahkota berjumlah 6–7 buah dan berwarna keputih-putihan dengan ukuran 8 mm serta merupakan tipe bunga berumah satu. Ukuran bunga kecil dengan diameter 6–8 mm, berwarna keputih-putihan dan berkelamin ganda yang terdiri dari benang sari dan putik yang terangkai dalam tandan besar. Jumlah kuncup bunga sekitar 800–3.800 per tandan, bunga mekar dalam waktu 2– 4 minggu (Departemen Kehutanan, 2002).

Buah berbentuk bulat agak gepeng berukuran 0,5–2,5 cm dan memiliki rambut kasar dengan inti yang tebal. Biasanya berbiji 2–4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang menggelembung menyerupai balon kecil.


(30)

8

Gambar 2 Daun, Bunga dan BuahTectona grandisLinn. f (Wikipedia Indonesia, 2006)

Kayu teras Jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal di bagian luar berwarna putih dan kelabu kekuningan. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.

2.2 Prinsip-prinip genetika

2.2.1 Asam Deoksiribonukleat (ADN)

Asam deoksiribonukleat, lebih dikenal dengan ADN, adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul utama penyusun berat kering setiap organisme. Menurut Finkeldey (2005) ADN adalah makromolekul untuk menyimpan informasi genetik. Sedangkan menurut Suryo (1986) ADN merupakan persenyawaan kimia yang paling penting pada makhluk hidup yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk hidup dalam keseluruhannya dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

ADN dapat dijumpai dalam inti sel dan beberapa pada organel lainnya. Pada tumbuhan tingkat tinggi ADN dijumpai hanya sebatas pada inti sel, mitokondria dan kloroplasma (Gambar 3). Biasanya ada perbedaan cara penurunan antara informasi genetik yang disimpan dalam inti sel dengan


(31)

9

informasi genetik yang disimpan dalam plastid (mitokondria dan kloroplasma). Informasi genetik pada inti sel diturunkan melalui satu induk jantan dan satu induk betina atau penurunan secara biparental. Sedangkan material genetik yang dianalisis dari plastida biasanya hanya berasal dari sifat satu tetuanya kalau tidak dari jantan atau dari betinanya saja atau disebut dengan penurunan secara uni-parental. Pada kebanyakan angiospermae, ADN mitokondria biasanya diturunkan hanya melalui induk betina atau penurunan maternal. ADN kloroplasma pada konifer biasanya diturunkan malalui serbuk sari atau secara parental.

ADN secara ekslusif terletak dalam kromosom. Kromosom adalah bahan dasar berupa benang-benang halus (kromonema) dan kromosom merupakan pembawa keturunan. Secara kimiawi kromosom terdiri dari ADN, ARN, protein histon dan protein non-histon, bahan-bahan tersebut disebut kromatin karena mempunyai daya serap pada zat pewarna tertentu. Jumlah suatu ADN dapat diukur dengan jumlah pewarna fuelgen. ADN terletak pada seluruh inti sel, sedangkan ARN terletak pada inti sel dan sitoplasma.

Gambar 3 ADN dapat ditemukan pada inti sel, kloroplasma dan mitokondria (Anonim, 2006)

ADN merupakan polimer yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu gugus fosfat, gula deoksiribosa, dan basa nitrogen. Sebuah unit monomer ADN yang terdiri dari ketiga komponen tersebut dinamakan nukleotida, sehingga ADN tergolong sebagai polinukleotida.


(32)

10

Rangka utama untai ADN terdiri dari gugus fosfat dan gula yang berselang-seling. Gula pada ADN adalah gula pentosa (berkarbon lima), yaitu 2-deoksiribosa. Dua gugus gula terhubung dengan fosfat melalui ikatan fosfodiester antara atom karbon ketiga pada cincin satu gula dan atom karbon kelima pada gula lainnya.

ADN terdiri atas dua untai yang berpilin membentuk struktur heliks ganda. Pada struktur heliks ganda, orientasi rantai nukleotida pada satu untai berlawanan dengan orientasi nukleotida untai lainnya. Hal ini disebut sebagai antiparalel. Masing-masing untai terdiri dari rangka utama, sebagai struktur utama, dan basa nitrogen, yang berinteraksi dengan untai ADN satunya pada heliks. Kedua untai pada heliks ganda ADN disatukan oleh ikatan hidrogen antara basa-basa yang terdapat pada kedua untai tersebut. Empat basa yang ditemukan pada ADN adalah Adenin (dilambangkan A), Sitosin (C, daricytosine), Guanin (G), dan Timin (T). Adenin berikatan hidrogen dengan timin, sedangkan guanin berikatan dengan sitosin.

2.3 Keragaman genetik Jati

Menurut Soerjanegara dan Djamhuri (1979) menyebutkan bahwa didalam satu pohon akan terdapat beberapa keragaman yaitu keragaman geografis (antar provenan), keragaman lokal (antar tempat tumbuh) dan keragaman dalam pohon serta keragaman antar pohon. Keragaman tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Keragaman lingkungan biasanya disebabkan oleh keadaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam. Keragaman yang dipengaruhi oleh perbedaan genetik merupakan yang tidak dapat diterangkan dengan perbedaan tempat tumbuh, misalnya perbedaan bentuk batang, tebal batang, tebal cabang dan berat jenis kayu dari pohon-pohon dalam suatu tegakan yang diturunkan tetua kepada anaknya (keragaman genetik). Keragaman suatu jenis perlu diketahui untuk dilakukan pemuliaan pohon.

Keragaman genetik disebabkan oleh perubahan pada struktur genetik dari suatu populasi. Menurut Finkeldey (2005), perubahan struktur genetik suatu populasi disebabkan oleh mutasi, aliran gen dan migrasi, penghanyutan genetik, seleksi dan juga sistem perkawinan.


(33)

11

Jati menunjukkan karakter yang bervariasi dalam populasi maupun antar populasi. Berdasarkan penampakan luarnya terdapat beberapa perbedaan morfologi bentuk pohon, batang, dan sifat kayu. Di Jawa terdapat beberapa jenis Jati menurut sifat kayunya yaitu Jati lengo atau Jati malam memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak, berwarna gelap, banyak bercak dan bergaris. Jati sungu berwarna hitam, padat, dan keras, sedangkan Jati werut memiliki kayu yang keras dan serat yang berombak. Jati doreng berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah, sedangkan pada Jati kembang dan Jati kapur kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur, kurang kuat dan kurang awet. Menurut batangnya, Jati dibedakan menjadi Jati ri (knobel), Jati pring, Jati gembol, dan Jati kijong. Jati gembol ini memiliki tumor pada batangnya di bagian bawah karena terinfeksi bakteri tanah. Berdasarkan penampakan bentuk batangnya Jati dibedakan menjadi Jati belimbing, Jati knobel, Jati boleng, dan Jati mulus (Mahfudzet al.2004).

Selain di Jawa, Jati juga memiliki penyebaran di Muna. Jati Muna terkenal memiliki keunggulan tersendiri dibanding Jati di daerah lain. Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makasar menyebutkan bahwa kayu Jati Muna memiliki empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia (Aminuddin, 2006).

2.4 RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

RAPD merupakan salah satu jenis penanda molekular yang banyak dipakai dalam penelitian dan diagnostik biologi molekular. Sebagai salah satu penanda genetik, RAPD dikenal sebagai penanda yang relatif murah dan tidak memerlukan keterampilan teknis yang tinggi. Penanda ini bersifatdominan, dalam arti, ia dapat membedakan kelas genotipe resesif dari kelas-kelas genotipe yang lain. RAPD memerlukan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan elektroforesis gel dalam penerapannya. Kelemahan RAPD yang sangat dikenal adalah mudah memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang reliable, khususnya bagi keperluan diagnostik, seperti sidik jari ADN.


(34)

12

Metode RAPD dapat mengamplifikasi ADN genomik pada daerah intron maupun ekson. Amplifikasi ADN genom dengan menggunakan primer tunggal acak umumnya menghasilkan beragam produk amplifikasi, sesuai dengan daerah genom yang dapat dikenali oleh primer.

Masalah yang dihadapi dalam menganalisis larik-larik RAPD adalah ketika mengintepretasi larik. Larik yang berukuran molekul sama pada gel dapat berupa produk amplifikasi yang berbeda karena visualisasi dengan cara elektroforesis hanya mengetahui ADN secara kuantitas, tidak secara kualitas.

RAPD memerlukan pasangan primer dan setiap pasangan primer akan menghasilkan sejumlah pita (band) yang akan tampak pada hasil elektroforesis gel. Pasangan primer yang dipilih (bisa sudah diketahui atau dipilih beberapa secara acak) diberikan pada sampel-sampel ADN (disebut ADN cetakan) yang sudah dipersiapkan. Pada saat proses PCR, primer akan menempel pada urutan-urutan basa yang komplemen pada ADN cetakan. Diakhir proses PCR akan terdapat sejumlah besar fragmen-fragmen pendek ADN hasil amplifikasi. Apabila terdapat delesi untuk suatu lokasi cetakan, maka akan terjadi polimorfisme. Dengan elektroforesis gel, akan terlihat pita yang terputus-putus apabila terdapat polimorfisme (oleh karena itu bersifat dominan).

Dalam elektroforesis gel terdapat dua material dasar yang disebut ''fase diam'' dan ''fase bergerak'' (eluen). Fase diam berfungsi "menyaring" objek yang akan dipisah, sementara fase bergerak berfungsi membawa objek yang akan dipisah. Sering kali ditambahkan larutan penyangga pada fase bergerak untuk menjaga kestabilan objek elektroforesis gel. Elektroda positif dan negatif diletakkan pada masing-masing ujung preparat elektroforesis gel.

Zat yang akan dielektroforesis dimuat pada kolom (disebut ''well'') pada sisi elektroda negatif. Apabila aliran listrik diberikan, terjadi aliran elektron dan zat objek akan bergerak ke arah sisi elektroda positif. Kecepatan pergerakan ini berbeda-beda, tergantung dari muatan dan ukuran objek. Kisi-kisi gel berfungsi sebagai pemisah. Objek berukuran lebih besar akan lebih lambat berpindah.

Pertama kali teknik RAPD dilakukan oleh Williams et al. (1990) dalam Septimayani (2002). Williams et al. berhasil mengamplifikasi ADN dan bersifat polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq ADN


(35)

13

polymerase. RAPD banyak digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Williamset al. (1990)dalam Septimayani (2002), metode RAPD lebih sederhana, cepat, ADN yang diperlukan sedikit dan tidak perlu terlalu murni, tidak menggunakan satu primer.

Secara umum analisis RAPD terdiri dari empat tahap, yaitu (1) tahap ekstraksi ADN, (2) tahap pengujian kualitas dan kuantitas ekstraksi ADN, (3) tahap amplifikasi ADN (RAPD), dan (4) tahap pengujian kualitas dan kuantitas hasil amplifikasi. Menurut Sambrook (1989), daun yang masih muda dengan berat 0,2-0,3 g cukup untuk menghasilkan ADN yang sesuai dengan kebutuhan selama analisis, sementara itu menurut Kaidah (1999) dari jaringan tanaman dewasa dan daun kering masih bisa didapatkan ekstrak ADN-nya. Menurut Kimball (1992), sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan ADN dalam jumlah yang lebih besar daripada daun yang sudah lebih tua umurnya.

Proses amplifikasi ADN (RAPD), pada intinya adalah proses perbanyakan ADN secara enzimatis. Pada tahap ini terdapat tiga proses, yaitu (1) proses denaturasi ADN pada suhu 950C, (2) proses penempelan ADN (annealing) dan (3) proses ekstensi (Gambar 4).

Paling penting dari proses PCR (adalah kesterilannya, karena PCR ini sangatlah rentan jika adanya kontaminasi. Walaupun terdapat kontaminasi yang sangat kecil, baik pada ADN maupun bahan-bahan PCR, maka hasilnya akan berbeda dari yang seharusnya (false result) (Binder, 1997). Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus:


(36)

14

Gambar 4 Tahapan-tahapan pada proses PCR (Polymerase Chain Reaction) (Wikipedia, 2006)

1. Tahap denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi, 94–96°C) ikatan hidrogen ADN terputus (denaturasi) dan ADN menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas ADN terpisah. Pemisahan ini menyebabkan ADN tidak stabil dan siap menjaditemplate ("cetakan") bagi primer. Durasi tahap ini berlangsung antara 1–2 menit.

2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian cetakan ADN yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45– 60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.

3. Tahap pemanjangan atau elongasi atau ektensi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis ADN-polimerase (P pada Gambar 4) yang dipakai. Dengan Taq-polymerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Tahap 4 pada Gambar 4 menunjukkan perkembangan yang terjadi pada siklus-siklus selanjutnya. Akibat


(37)

15

denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi tempat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas ADN yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah ADN yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.

Menurut Bernard (1998) PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan ADN spesifik. Ada 4 komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses PCR yaitu, 1). ADN target, 2). Primer, 3). ADN polymerase dan 4). 4 dNTP. Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat.

Tahap terakhir dari RAPD adalah pengujian kuantitas ADN hasil amplifikasi. Pada tahap ini terjadi pemisahan pita-pita ADN berdasarkan perbedaan berat molekulnya. Pita ADN yang mempunyai berat molekul lebih ringan “jalan” lebih cepat. Keragaman antara populasi dapat dilihat dengan melihat perbedaan pola pita (polymorphic) ADN antar populasi.


(38)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Tempat pengambilan contoh daun populasi Jati Rakyat (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di 3 populasi yaitu Jawa Barat-Banten (Populasi 1), Jawa Timur (Populasi 2) dan Jawa Tengah (Populasi 3) (Tabel 1). Analisis ADN dilaksanakan di Ruang Analisis Genetika, Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang dimulai dari Februari sampai Juli 2007.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Bahan tanaman

Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah daun Jati dari hutan rakyat (Tectona grandis Linn. f) (Gambar 5). Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi ADN dari daun dan proses amplifikasi ADN dengan teknik RAPD disajikan pada Tabel 2.


(39)

17

Tabel 1 Lokasi pengambilan daun Jati (Tectona grandis Linn. f) dari hutan rakyat di 3 populasi di Pulau Jawa

No. Populasi Kabupaten

Jumlah sampel

1 Jawa Barat-Banten (Pop 1) - Bogor

- Rangkasbitung

3 4 2 Jawa Timur (Pop 2)

- Ngawi - Bojonegoro - Kebonharjo 4 4 4 3 Jawa Tengah (Pop 3)

- Cepu - Kendal - Randublatung 3 3 4

Total 29 sampel

Tabel 2 Bahan-bahan Ekstraksi ADN dan RAPD

Bahan

Ekstraksi ADN RAPD

Tris-HCl 1M, NaCl 5 M, EDTA 0,5 M, CTAB 10%, Merkapetanol, PVP 1%, Aquades dan Fenol.

H20, Gotaq green Master

mix,Primer, ADN.

3.2.2 Alat-alat penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini terbagi dalam empat kegiatan yaitu kegiatan ekstraksi ADN, RAPD, analisis data dan alat-alat yang digunakan secara umum selama penelitian. Gambar dan alat-alat yang digunakan selama kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 6.

Tabel 3 Alat-alat Ekstraksi ADN, RAPD, analisis data dan umum

No Kegiatan Alat yang digunakan

1 Ekstraksi Pestel, mortar, vortex, pH meter,freezer, desikator, water bath, dan tube 2ml.

2 RAPD Microtube 0,2 ml dan mesin PCR

3 Analisis Data Komputer, softwere POPGEN32 dan NTSYS versi 2.0

4 Umum Pipet, pipet mikro, tips, sentrifugasi, koleksi tabung, cetakan gel, bak elektroforesis,microwave, power supply, gelas piala, gelas ukur, timbangan analitik, pengaduk magnet, ultraviolet transiluminator, dan kamera digital, dan sarung tangan.


(40)

18

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

Gambar 6 Foto alat-alat penelitian, a). Mesin PCR, b). Unit elektroforesis, c). MesinWater bath fisherbrand, d). Sentrifugasi, e). Mikropipet, f). Microwave, g). Neraca, pH meter, h).Freezer


(41)

19

3.3 Metode Penelitian

Metode analisis ADN dengan RAPD dibagi menjadi tiga tahapan yaitu ekstraksi, RAPD dan analisis data. Secara umum prosedur penelitian dengan metode RAPD dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Bagan Prosedur Penelitian

Ekstraksi DNA

Ya

Tidak

PCR

Ya

Tidak

RAPD


(42)

20

3.3.1 Ekstraksi ADN

Ekstraksi ADN pada daun Jati rakyat (Tectona grandis Linn. f) secara umum dilakukan dengan prosedur yang sama dengan kegiatan ekstraksi untuk jenis-jenis pohon kehutanan yang lain. Bahan yang akan dianalisis berupa contoh daun Jati rakyat dengan ukuran 2 x 2 cm digerus dengan menggunakan nitrogen cair di dalam pestel yang bersih sampai membentuk serbuk. Hasil gerusan dipindahkan ke dalam tube 1,5 ml dan untuk mempercepat proses penghancuran sel secara kimia ditambahkan 500-700 mikro liter larutanbuffer ekstrak dan 100 mikro liter PVP 2%, kemudian campuran tersebut divortex agar menjadi homogen. Selain itu untuk mempercepat proses penghancuran sel secara thermal dilakukan proses inkubasi di dalamwaterbath selama 45 menit – 1 jam pada suhu 65oC, campuran tersebut setiap 15 menit dibolak-balikan agar semua bahan di dalam tube terjadi proses penghancuran sel baik yang terdapat pada bagian atas dan bawah tube. Setelah 45 menit – 1 jam diinkubasi, tube diangkat dan didinginkan selama 15 menit.

Untuk memisahkan antara cairan bahan kimia dengan cairan yang mengandung ADN (supernatant) ditambahkan Chloroform IAA 500 mikro liter dan Fenol 10 mikro liter, kemudian dikocok dan tube disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Cairan yang mengandung ADN (supernatant) dipindahkan ke dalam tube baru, kegiatan atau proses di atas dilakukan dua kali.

Untuk mendapatkan pellet ADN, ke dalam tube yang berisikan supernatant ditambahkan isopropanol dingin 500 mikro liter dan NaCl 300 mikro liter dan disimpan di dalam freezer selama 45 menit-1 jam. Fase padat (pellet) dicuci dengan etanol 100% sebanyak 300 mikro liter yang ditambahkan ke dalam tube untuk memurnikan ADN dari sisa-sisa bahan kimia, proses tersebut dilakukan 2 kali, kemudian dikeringkan dalam desikator ± 15 menit. Larutan TE sebanyak 20 mikro liter ditambahkan untuk mendapatkanpellet ADN yang pekat.

Pengujian kualitas ADN dilakukan setelah pellet ADN larut secara homogen. Untuk menguji kualitas ADN hasil ekstraksi dilakukan elektroforesis dengan menggunakan gel agarose dengan konsentrasi sebesar 1% (b/v). Gel agarose merupakan campuran antara larutan TAE 1X dengan agarose.


(43)

21

Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 volt selama kurang lebih 30 menit yang pada prinsipnya dilakukan dengan memigrasikan ADN dalam gel agarose pada tegangan tertentu dari arus (-) atau katoda ke arus (+) atau anoda. Secara visual, hasil elektroforesis dapat menggambarkan tingkat keutuhan genom dan tingkat kontaminasi RNA dalam pellet ADN terisolasi. Apabila kondisi hasil elektroforesis smear menunjukkan bahwa ADN yang diisolasi tidak utuh (terbentuk potongan-potongan pendek) atau ADN yang diperoleh terkontaminasi oleh RNA. Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan pewarnaan dengan larutan Ethidium Bromide, selanjutnya pita ADN hasil isolasi dilihat dengan menggunakan alat UV transilluminator. Hasil isolasi meliputi tebal tipis ADN dan ada tidaknya fragmen ADN ataupun RNA. Komposisi bahan untuk ekstraksi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi bahan untuk ekstraksi ADN

No Nama Bahan 1 Sampel reaksi X Sampel reaksi

1 Tris-HCl 1 M 100 mikro liter X x 100 mikro liter 2 NaCl 5 M 280 mikro liter X x 280 mikro liter 3 EDTA 0.5 M 40 mikro liter X x 40 mikro liter 4 CTAB 10% 200 mikro liter X x 200 mikro liter 5 Merkapetanol 5 mikro liter X x 5 mikro liter 6 PVP 1% 100 mikro liter X x 100 mikro liter 7 Aquades 280 mikro liter X x 280 mikro liter

3.3.2 Seleksi Primer

Primer adalah rantai pendek ADN yang dihasilkan secara buatan biasanya terdiri antara 10 – 25 nukleotida. (Finkeldey 2005). Primer berfungsi sebagai titik pemula terjadinya reaksi. Sepasang primer yang sekuennya telah ditentukan untuk dapat menemukan sekuen target pada ADN digunakan dalam PCR. Segmen ADN diantara kedua titik pertemuan primer akan diamplifikasi dalam reaksi PCR. Primer berfungsi sebagai titik awal sintesis oleh enzim yang disebut DNA polymerase yang diperoleh dari bakteriThermus aquaticus. Enzim ini juga biasa disebutTaq DNA polymerase. Enzim ini sesuai untuk proses amplifikasi karena


(44)

22

dapat bertahan pada suhu tinggi hingga 95oC meskipun suhu optimum bagi aktivitas enzim adalah 72oC. Setelah terjadi annealing selanjutnya dilakukan perbanyakan fragmen ADN melalui proses ekstensi pada suhu 72oC.

Dalam teknik RAPD, umumnya primer yang digunakan berupa oligonukleotida yang memiliki panjang sebesar 10-mer yang dipilih secara acak dan minimum memiliki lima basa G dan C. Primer yang mempunyai panjang kurang dari 9-mer dapat digunakan, tetapi akan menghasilkan produk amplifikasi yang lebih sedikit dan diperlukan metode pewarnaan yang lebih sensitif untuk mendeteksinya.

Seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen ADN polimorfik. Pada kegiatan ini dilakukan survei terhadap 35 primer, yaitu primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi olehOperon Technology.

Primer dari golongan OPO yaitu dengan memiliki kode primer O.1, O.2, O.4, O.5, O.6, O.7, O.8, O.9, O.10, O.11, O.12, O.13, O.14, O.15, O.16, O.18, O.19 dan O.20. Sedangkan primer dari golongan OPY memiliki kode primer Y.1, Y.2, Y.3, Y.4, Y.5, Y.6, Y.8, Y.9, Y.11, Y.12, Y.13, Y.14, Y.15, Y.16, Y.17, Y.18 dan Y.20. Urutan basa nukleotida primer OPO dan OPY dapat dilihat pada Tabel 5.


(45)

23

Tabel 5 Urutan basa nukleotida 35 primer (Operon Technology)

No. Primer Urutan Basa No. Primer Urutan Basa

1 OPO-01 5' GGCACGTAAG '3 1 OPY-01 5' GGTGGCATCT '3

2 OPO-02 5' ACGTAGCGTG '3 2 OPY-02 5' CATCGCCGCA '3

3 OPO-04 5' AAGTCCGCTC '3 3 OPY-03 5' ACAGCCTGCT '3

4 OPO-05 5' CCCAGTCACT '3 4 OPY-04 5' GGCTGCAATG '3

5 OPO-06 5' CCACGGGAAG '3 5 OPY-05 5' AGCCGTGGAA '3

6 OPO-07 5' CAGCACTGAC '3 6 OPY-06 5' AAGGCTCACC '3

7 OPO-08 CCTCCAGTGT '3 7 OPY-08 5' AGGCAGAGCA '3

8 OPO-09 5' TCCCACGCAA '3 8 OPY-09 5' GTGACCGAGT '3

9 OPO-10 5’ TCAGAGCGCC '3 9 OPY-11 5' AGACGATGGG '3

10 OPO-11 5' GACAGGAGGT '3 10 OPY-12 5' AAGCCTGCGA '3

11 OPO-12 5' CAGTGCTGTG '3 11 OPY-13 5' CACAGCGACA '3

12 OPO-13 5' GTCAGAGTCC '3 12 OPY-14 5' GGTCGATCTG '3

13 OPO-14 5' AGCATGGCTC '3 13 OPY-15 5' AGTCGCCCTT '3

14 OPO-15 5’ TGGCGTCCTT ‘3 14 OPY-16 5' GGGCCAATGT '3

15 OPO-16 5' TCGGCGGTTC '3 15 OPY-17 5' GACGTGGTGA '3

16 OPO-18 5' CTCGCTATCC '3 16 OPY-18 5' GTGGAGTCAG '3

17 OPO-19 5' GGTGCACGTT '3 17 OPY-20 5' AGCCGTGGAA '3

18 OPO-20 5' ACACACGCTG '3

3.3.3 PCR (Polymerase Chain Reaction)

Proses PCR membutuhkan 4 komponen utama yaitu H2O,Gotaq green master mix,

primer dan cetakan ADN (Tabel 6). Semua bahan tersebut dicampurkan ke dalam tube 0,2 ml. ADN hasil proses ekstraksi sebelum dilakukan proses amplifikasi PCR harus dilakukan pengenceran dengan menggunakanaquabidest. Besarnya perbandingan antara ADN denganaquabidest tergantung dari tebal dan tipisnya ADN genomik hasil ekstraksi.

Tabel 6 Komposisi bahan untuk reaksi PCR

No Nama Bahan 1 Sampel reaksi X Sampel reaksi

1 H2O 2 mikro liter X x 2 mikro liter

2 Gotaq green master mix 7,5 mikro liter X x 7,5 mikro liter

3 Primer 1,5 mikro liter X x 1,5 mikro liter


(46)

24

Dalam proses PCR untuk mengetahui kosentrasi ADN hasil ekstraksi dapat ditetapkan dengan melakukan elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Hasil dari proses PCR sangat ditentukan oleh primer yang digunakan. Proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30–60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat (Tabel 7).

Tabel 7 Tahapan-tahapan dalam proses PCR untuk teknik RAPD

Tahapan Suhu Waktu Jumlah Siklus

Pre-denaturation 950C 2 menit 1

Denaturation Annealing Extension

950C 370C 720C

1 menit 2 menit 2 menit

45

Final Extension 720C 5 menit 1

Proses PCR dilakukan dengan menggunakan primer hasil dari seleksi. Hasil proses PCR kemudian dianalisis dengan melakukan elektroforesis menggunakan 2,0 % gel agarose dalam larutan buffer 1 x TE dan distaining didalam larutan Ethidium Bromide. Produk PCR dari individu pohon yang berbeda akan menghasilkan panjang sekuen yang berbeda pula. Perbedaan ini akan dapat dideteksi dengan elektroforesis dengan gelagarose.

3.4 Analisis Data

Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto dan dianalisis dengan melakukanscoringpola pita yang muncul. Pola pita yang muncul (positif) diberi nilai 1 dan pola pita yang tidak muncul (negatif) diberi nilai 0. Hasil perhitungan kemudian dianalisis untuk mengetahui frekuensi dan keragaman antar popinsi dan antar populasi dengan menggunakan software POPGENE 32. Pendugaan hubungan kekerabatan dilakukan berdasarkan jumlah pita polimorfik yang dimiliki bersama (Nei dan Lei 1979 dalam Yunanto 2006), sedangkan pengelompokan kerabat berdasarkan metode UPGMA (Unweighted Pair Group with Arithmatic Average) (Nei 1973 dalam Yunanto 2006) dengan software NTSYS Ver 2.0 (Rohlf 1998). Prosesscoring dapat dilihat pada Gambar 8.


(47)

25

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1

L-2 L-3

L-4

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

L-1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1

L-2 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1

L-3 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1

L-4 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1

Gambar 8 Cara penilaian pita dengan sistem scoring (1 = ada pita, 0 = tidak ada pita) (Yunanto, 2006)

Selain menggunakan software, nilai variabilitas genetik yang dianalisis dapat dihitung secara manual. Rumus untuk perhitungan variabilitas genetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Finkeldey, 2005):

1. Persentase Lokus Polimorfik (PLP) = ((N(LP)/((N(LP) +(N(LM))) x 100% Keterangan :

N(LP) : jumlah lokus polimorfik N(LM) : jumlah lokus monomorfik

2. Jumlah alel yang diamati (na) = jumlah semua lokus/jumlah lokus yang diamati 2. Jumlah alel yang efektif (ne) = 1 / (jumlah frekuensi alel (p))2

3. Heterozigitas harapan (He) = 1- (jumlah frekuensi alel (p))2

4. Diferensiasi genetik (GST) = (HT - HS)/HT

Keterangan :

HT : keragaman populasi total


(48)

80x

40x 20x

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekstraksi ADN dan PCR 4.1.1 Ekstraksi ADN

Pada umumnya metode untuk ekstraksi ADN dari jaringan tanaman yang terdapat dalam literatur memerlukan waktu yang lama, karena membutuhkan tingkat kemurnian ADN dan berat molekul yang tinggi. Tahapan dan hasil dari ekstraksi ADN ini menentukan langkah selanjutnya untuk tahapan PCR. Untuk mendapatkan hasil ekstraksi dan PCR yang baik maka metode pemurnian yang tepat sering kali dibutuhkan terutama menyangkut kualitas ADN yang tinggi, dengan cara yang mudah dan cepat, serta penggunaan biaya yang tidak mahal. Untuk mendapatkan ADN yang murni pada kegiatan ekstraksi dari kontaminan, maka harus dilakukan proses pencucian pelet ADN. Salah satu bahan kimia yang digunakan untuk proses pencucian ADN adalah etanol.

Dari uji kualitas hasil ekstraksi ADN secara visual dapat ditentukan pengencerannya berdasarkan tebal atau tipisnya pita ADN. Pengenceran dilakukan untuk dapat memperoleh ADN yang lebih bersih dan murni. Uji kualitas ADN dilakukan dengan mengamati hasil ekstraksi ADN (Gambar 9).

Gambar 9 Hasil ekstraksi ADN dengan tingkat pengenceran yang berbeda (20x, 40x, 60x, 80x dan 100x)

100x


(49)

27

Gambar 9 menunjukkan pita ADN yang tebal dimana hasil ekstraksi tersebut sangat kotor (Lengkana 2007). Menurut Qiagen (2001), hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein dan ARN.

Secara visual, pita ADN yang tebal (kotor) memerlukan perbandingan pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µL aquabidest : 1 µL DNA). Pengenceran selanjutnya mengikuti tingkatan ketebalan pita ADN. Pita ADN yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 20x (19 µL aquabidest: 1 µL ADN), karena kualitas ADN-nya termasuk bagus (tidak terlalu kotor).

Setiap sampel ADN mempunyai perlakuan pengenceran yang berbeda-beda, tergantung dari kualitas ADN-nya. Pengenceran ini dimaksudkan agar pada tahap PCR primer dapat menempel pada pita ADN sehingga dapat teramplifikasi. Karena jika terlalu banyak kotoran pada ADN-nya, maka primer tidak dapat menempel pada pita sehingga tidak dapat teramplifikasi dengan baik.

4.1.2 Pengujian Primer

4.1.2.1 Seleksi primer dengan metode PCR

Seleksi primer pada metode PCR digunakan primer dari produksi Operon Technology. Seleksi primer ini diujikan pada bahan tanaman Jati rakyat di Pulau Jawa. Sejumlah primer tersebut memberikan hasil amplifikasi yang berbeda-beda, tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif), dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen ADN polimorfik.

Seleksi primer ini dimaksudkan untuk mendapatkan primer yang menghasilkan pita ADN polimorfik untuk mencari variasi genetik pada Jati rakyat (Tectona grandis Linn. f). Untuk menyeleksi primer yang akan digunakan untuk analisis PCR perlu diperhatikan besar pengencerannya. Primer yang digunakan untuk metode PCR diambil dari hasil seleksi 35 primer yang digunakan pada jenis Tectona grandis Linn. f. Primer yang digunakan untuk metode PCR pada Jati rakyat yaitu OPO10, OPO11, OPO12 dan OPY11. Dari empat primer tersebut yang dipilih adalah primer OPO12, karena teramplifikasi dengan baik


(50)

28

dibandingkan dengan tiga primer yang lainnya (Gambar 10). Urutan basa primer OPO12 adalah 5' CAGTGCTGTG '3.

O10 O11 O12 Y11

Gambar 10 Foto hasil seleksi primer pada ADN daun Jati rakyat dengan primer OPO10, OPO11,OPO12 dan OPY 11

4.1.2.2 Hasil RAPD

Tahapan ini dilalui pada teknik PCR dan RAPD. Yang membedakan adalah pengenceran primer yang digunakan. ADN genom yang kurang murni dan pengenceran yang kurang tepat akan menyebabkan tidak menempelnya primer pada ADN target. Primer RAPD yaitu primer yang acak (10-25 nukleotida) sehingga hasil pemotongan pitanya dapat langsung terlihat.

Teknik RAPD pada penelitian ini menggunakan primer yang telah diuji dengan pengenceran yang tepat. Didapatkan satu primer yang dapat mengamplifikasi dengan baik yaitu, OPO12. Dari hasil PCR yang dilakukan, didapatkan pola pita yang berbeda-beda atau polimorfik. Scoring dilakukan dengan melihat pola pita hasil PCR (Lampiran 1), yang kemudian dimasukan ke dalam program POPGENE 32 untuk menampilkan dendrogram.

Jumlah lokus terbanyak pada OPO12 yaitu 11 lokus. Untuk primer OPO12, ukuran fragmen berkisar antara 100 bp-2642 bp. Semua populasi yang di PCR ada yang tidak keluar dengan jelas, sehingga menimbulkan keraguan dalam menginterpretasikan dan menganalisis pita (Gambar 11). Banyak faktor yang


(51)

29

100 bp 1000 bp 2600 bp

500 bp 2642 bp

100 bp 500 bp 1000 bp 2642 bp

mungkin menyebabkan hal ini, diantaranya adalah kurang murninya ADN genom yang dihasilkan, proses pengenceran dan komposisi bahan-bahan yang kurang tepat (Yunanto, 2006).

Tidak semua pita menunjukkan kualitas yang bagus. Banyak sebab yang dapat mempengaruhi sehingga kualitas pita jelek, atau bahkan tidak ada sama sekali.

M A1 A2 A4 B1B2 B4 B5 C1 C3 C4 C5 D2 D4 D5 E1 E2 E3 E4 F3 F4 F5 H1 H3 H4

(a)

M H5 G1 G2 G3 G4 G5

(b)

Gambar 11 (a) Hasil PCR dengan primer OPO-12 (A1, A2, A4, B1, B2, B4, B5, C1, C3, C4, C5, D2, D4, D5, E1, E2, E3, E4, F3, F4, F5, H1, H3,H4); (b) hasil PCR dengan primer OPO-12 (H5, G1, G2, G3, G4, G5)

(Keterangan: M=marker; A=Jati Banten; B=Jati Bojonegoro; C=Jati Kebonharjo; D=Jati Cepu; E=Jati Bogor; F=Jati Kendal; G=Jati Randu blatung; H=Jati Ngawi)


(52)

30

4.2 Interpretasi dan Analisis Data 4.2.1 Variasi genetik antar propinsi

Data keragaman genetik Jati rakyat (Tectona grandis Linn. f.) antar propinsi didasarkan oleh nilai parameter keragaman genetik seperti disajikan pada Tabel 8. Parameter keragaman genetik yang diukur adalah jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), jumlah lokus polimorfik, persen lokus polimorfik (PLP) dan heterozigitas harapan (He). Hasil perhitungan semua parameter diatas

dengan softwere POPGENE 32 disajikan pada Lampiran 2. Tabel 8 Pengukuran Variasi Genetik antar propinsi (Nei’s 1972)

Populasi Jati Rakyat N na ne He PLP Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Pop 1) 7 1.6364 1.1755 0.1311 63.64 % Jati Rakyat Jawa Timur (Pop 2) 12 1.9091 1.4124 0.2478 90.91 % Jati Rakyat Jawa Tengah (Pop 3) 10 1.9091 1.6616 0.2896 90.91 % Rata-Rata 10 1.8182 1.4165 0.2228 81.82 %

Keterangan :

N : Jumlah Populasi na : Jumlah alel yang diamati

ne : Jumlah alel yang efektif [Kimura dan Crow (1964)] He : Heterozigitas harapan = keragaman gen

PLP : Persentase Lokus Polimorfik

Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki nilai rata-rata na = 1.9091, ne = 1.6616, PLP = 90.91 % dan He = 0.2896, nilai ini merupakan nilai yang paling besar diantara 2 populasi

yang lain, sedangkan populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) memiliki nilai rata-rata na, ne, PLP dan He yang paling kecil (na = 1.6364,ne =

1.1755, PLP = 63.64 %dan He = 0.1311) bila dibandingkan nilai rata-rata 2

populasi yang lain. Nilaina dan PLP populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) sama dengan nilaina dan PLP pada populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) (na = 1.9091 dan PLP = 90.91 %), hal tersebut disebabkan oleh jumlah lokus polimorfik yang sama. Akan tetapi nilai ne dan He populasi Jati Rakyat Jawa

Tengah (Populasi 3) paling besar (ne = 1.6616dan He= 0.2978) dibandingkan

nilai ne dan He pada populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) dan populasi


(53)

31

perbedaan alel pada lokus yang polimorfik. Berdasarkan penelitian sebelumnya nilai rata-rata keragaman genetik antar populasi Jati Muna berdasarkan RAPD adalah He = 0.2782 (Lengkana, 2007). Nilai ini tidak berbeda jauh dengan nilai rata-rata keragaman pada Jati Rakyat yaitu (He = 0.2228). Pada umumnya nilai rata-rata keragaman genetik (He) untuk Jati berkisar antara 0.1-0.3 (Siregar, 2008). Nilai keragaman genetik dari Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) berada pada tingkat terendah dari 3 populasi yang ada, yaitu sebesar (He = 0.1311). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik dalam populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) rendah.

Berdasarkan data parameter keragaman genetik pada Tabel 8, dapat dikatakan populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki keragaman genetik yang paling tinggi diantara 2 populasi Jati Rakyat dari populasi lainnya. Pengelompokan genetik didasarkan pada jarak genetik. Jarak genetik digunakan untuk mengukur perbedaan struktur genetik antar dua atau lebih populasi. Semakin kecil jarak genetik, semakin dekat kekerabatan genetiknya. Sebaliknya, semakin besar jarak genetik, maka semakin jauh kekerabatan genetiknya. Dari pengamatan scoring lokus dari Gambar 11 dengan menggunakan program POPGENE 32, didapatkan analisis gerombol (cluster analysis) dan nilai jarak genetik (Gambar 12).

Gambar 12 Dendrogram Jati Rakyat Antar propinsi dengan teknik RAPD

(Pop 1: Jawa Barat-Banten, Pop 2: Jawa Timur, Pop 3: Jawa Tengah)

Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) berada pada satu klaster pertama dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2). Sedangkan klaster selanjutnya bergabung dengan Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1). Dari hasil analisis gerombol tersebut menunjukkan


(54)

32

bahwa jarak genetik terdekat adalah antara populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) yaitu 0.0198 (Lampiran 4). Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dan populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat).

Berdasarkan pola pita yang dilihat dari hasil RAPD yang telah dilakukan, keragaman pola pita dalam satu populasi tidak terlalu banyak. Dari 3 populasi Jati Rakyat yang di RAPD hanya populasi Jati dari Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) yang memiliki keragaman pola pita yang tinggi dibandingkan dengan 2 populasi Jati lainnya. Tingkat keragaman genetik dalam populasi yang paling rendah adalah populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) dibandingkan 2 populasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh kerapatan populasi yang rendah. Kerapatan populasi yang rendah tersebut menyebabkan suatu jenis kurang bervariasi.

Dari pengamatan scoring lokus dari Gambar 11 dengan menggunakan program POPGENE 32, didapatkan analisis gerombol (cluster analysis) dan nilai jarak genetik. Analisis gerombol (Gambar 13) dan nilai jarak genetik ini menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging, UPGMA), sehingga dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi. Jarak genetik untuk teknik RAPD dapat dilihat pada Lampiran 3.


(55)

33

Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa populasi Jati Kebonharjo dan populasi Jati Ngawi membentuk kelompok (klaster) pertama. Populasi Jati Kendal bergabung dengan kelompok pertama membentuk kelompok kedua. Kelompok ketiga terbentuk dari populasi Jati Rangkasbitung dan Populasi Jati Bogor bergabung dengan kelompok kedua, setelah itu untuk membentuk kelompok keempat populasi Jati Bojonegoro bergabung dengan kelompok ketiga. Kelompok kelima terbentuk dari kelompok keempat dengan populasi Jati Cepu, dan akhirnya kelompok kelima menyatu dengan populasi Jati Randublatung membentuk kelompok yang lebih besar yaitu sebagai kelompok keenam.

Berdasarkan pada Lampiran 3 hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa jarak genetik terdekat adalah antara populasi Jati Kebonharjo dengan populasi Jati Ngawi yaitu 0.0124. Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Kebonharjo dan populasi Jati Ngawi memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat). Dari dendrogram tersebut dapat juga dilihat bahwa populasi Jati Rangkasbitung dan Populasi Jati Bogor membentuk satu kelompok (klaster). Kelompok tersebut bersatu membentuk kelompok selanjutnya dengan Jati dari kelompok kedua.

Berdasarkan penelitian sebelumnya jarak genetik untuk populasi Jati Cepu, populasi Jati Kebonharjo dan populasi Jati Bojonegoro memiliki jarak yang dekat dan berada pada satu kelompok (Lengkana, 2007). Pada penelitian kali ini dapat dilihat bahwa populasi Jati Cepu, populasi Jati Kebonharjo dan populasi Jati Bojonegoro tidak berada pada satu kelompok. Tetapi untuk populasi Jati Kebonharjo berada pada satu kelompok dengan populasi Jati Ngawi yaitu 0.0124, sedangkan jarak genetik antara populasi Jati Kebonharjo dengan populasi Jati Bojonegoro berbeda jauh dengan jarak genetik antara populasi Jati Kebonharjo dengan populasi Jati Cepu yaitu sebesar 0.2136 (Lampiran 3). Berdasarkan data tersebut maka jelaslah bahwa Jati Cepu, Jati Kebonharjo dan Jati dari Bojonegoro memiliki jarak genetik yang jauh (struktur genetik yang tidak sama).

Kemudian untuk populasi Jati Rangkasbitung dan Kendal pada penelitian sebelumnya memiliki jarak genetik yang jauh dan hasilnya sama dengan penelitian kali ini bahwa kekerabatan antara populasi Jati Rangkasbitung dengan Kendal memiliki jarak genetik yang jauh juga (struktur genetik tidak sama).


(56)

34

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Hasil analisis keragaman genetik dengan teknik RAPD yang diterapkan pada tanaman Jati Rakyat (Tectona grandis Linn. f.) menunjukkan bahwa Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) memiliki nilai rata-ratana = 1.9091, ne = 1.4616, PLP = 90.91% dan He = 0.2896, nilai ini merupakan nilai

yang paling besar diantara 2 populasi lainya. Populasi Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) memiliki nilai rata-rata na, ne, PLP dan He (na =

1.9091, ne = 1.4124, PLP = 90.91% dan He = 0.2478), Sedangkan

populasi Jati Rakyat Jawa Barat-Banten (Populasi 1) memiliki nilai rata-ratana,ne, PLP dan He yang paling kecil yaitu (na = 1.6364,ne = 1.1755,

PLP = 63.64% dan He = 0.1311).

2. Berdasarkan analisis gerombol, jarak genetik terdekat antar propinsi adalah antara Jati Rakyat Jawa Tengah (Populasi 3) dengan Jati Rakyat Jawa Timur (Populasi 2) yaitu 0.0198. Sedangkan jarak genetik terdekat antar populasi adalah antara populasi Jati Kebonharjo (Jatim) dengan Jati Ngawi (Jatim) 0.0124. Data ini menunjukkan bahwa populasi Jati Ngawi dan populasi Jati Kebonharjo memiliki struktur genetik yang mirip (kekerabatan yang dekat), sedangkan populasi yang memisah dan menunjukkan hubungan kekerabatan terjauh dengan populasi-populasi lainnya adalah Jati rakyat dari Randublatung.

5.2. Saran

Mengingat peranan hutan Rakyat yang semakin penting dimasa yang akan datang maka perlu disusun peranan strategi pengelolaan sumberdaya genetik Jati Rakyat berdasarkan informasi status keragamannya. Untuk itu survei/inventarisasi sumberdaya genetik skala lebih luas perlu dilakukan.


(57)

35

BAB VI. DAFTAR PUSTAKA

Away SA, Iwan kurniawan dan Ihwanto M. Nuh. 2001. Otonomi Sumberdaya Hutan. Yogyakarta. Dibut Press.

[Anonim]. 2006. DNA.http://academy.d20.co.edu/kadets/lunberg/dnapic.html. [16 Jan 2006].

Aminuddin I. 2006. Jati Kulidawa. http://andreasharsono//.blogspot.com /2006/02/jati-kulidawa.html . [11 Oktober 2006].

Bernard J. 1998. Molecular Biotechnology, Principles and Application of Recombinant DNA. University of Waterloo. Waterloo Ontario Canada. Binder A.1997.Polymerase Chain Reaction. www.pcrlinks.com/ [6 Juni 2006]. Departemen Kehutanan. 2002. Informasi Singkat Benih.

www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Tectona_grandis.pdf . [2

Februari 2006].

Effendi R. 2005. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Coorperative forest Management): Teori dan Potensi Pada Hutan Jati di Jawa. Cetakan II. Beginaf Publishing. Yogyakarta.

Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. E. Jamhuri , I.Z. Siregar, U.J. Siregar dan A.W. Kertadikara, penerjemah. GÖttingen : Institute of

Forest Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-Univerity-Göttingen. Terjemahan dari :An Introduction to Tropical Forest Genetics. Jusuf M. 1991. Genetika. Pusat Antar Universitas. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Kaidah, S. 1999. Analisis Keragaman Genetik Tanaman Salak (Salacca sp.) Indonesia dengan Teknik Random Amplified Polymorfhic DNA (RAPD). [Tesis]. Bogor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kartadikara. 1994. VariasiIsozyme. Yogyakarta. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Kimball J. W. 1992.Biologi. Jakarta: Erlangga.

Kompas. 2006. Kayu Jati Muna, Warisan Paelangkuta. http://www.mfp. or.id/v3/pdf//. [11 Oktober 2006].


(1)

Yunanto T. 2006. Implikasi Genetik Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

(TPTJ) pada Jenis

Shorea johorensis

berdasarkan Metode RAPD (

Random

Amplified Polymorphic DNA

). [Skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur,


(2)

Lampiran 1 Tabel hasil skoring

PRIMER OPO-12

Lokus

Jati Rakyat Jawa Barat-Banten Jati Rakyat Jawa Timur Jati Rakyat Jawa Tengah

Rangkasbitung Bogor Bojonegoro Ngawi Kebonharjo Cepu Kendal Randublatung 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 3 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 4 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 5 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 6 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 7 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 8 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 9 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 10 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 0


(3)

Lampiran 2 Hasil Analisis genetik dengan POPGENE

Nama populasi

: Rangkasbitung

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 1.0000 1.0000 0.8944 0.7746 0.6325 0.6325 0.6325 0.6325 0.8944 0.6325 0.6325 Allele 1 0.1056 0.2254 0.3675 0.3675 0.3675 0.3675 0.1056 0.3675 0.3675

Nama populasi

: Bogor

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 1.0000 1.0000 0.8944 0.4472 0.4472 0.4472 0.4472 0.4472 0.6325 0.4472 0.6325 Allele 1 0.1056 0.5528 0.5528 0.5528 0.5528 0.5528 0.3675 0.5528 0.3675

Nama populasi

: Bojonegoro

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 0.8944 0.8944 0.6325 0.4472 0.6325 0.6325 0.4472 0.4472 0.4472 0.6325 0.4472 Allele 1 0.1056 0.1056 0.3675 0.5528 0.3675 0.3675 0.5528 0.5528 0.5528 0.3675 0.5528

Nama populasi

: Ngawi

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 1.0000 1.0000 0.6325 0.7746 0.4472 0.8944 0.4472 0.4472 0.4472 0.6325 0.4472 Allele 1 0.3675 0.2254 0.5528 0.1056 0.5528 0.5528 0.5528 0.3675 0.5528


(4)

Lampiran 2 Hasil Analisis genetik dengan POPGENE

Nama populasi

: Kebonharjo

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 0.8944 0.8944 0.7746 0.8944 0.8944 0.4472 0.6325 0.6325 0.4472 0.6325 0.8944 Allele 1 0.1056 0.1056 0.2254 0.1056 0.1056 0.5528 0.3675 0.3675 0.5528 0.3675 0.1056

Nama populasi

: Cepu

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 0.7746 0.7746 0.7746 0.7746 0.7746 0.7746 0.6325 0.7746 0.6325 0.7746 0.7746 Allele 1 0.2254 0.2254 0.2254 0.2254 0.2254 0.2254 0.3675 0.2254 0.3675 0.2254 0.2254

Nama populasi

: Kendal

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 1.0000 1.0000 1.0000 0.8944 0.7746 0.7746 0.4472 0.4472 0.6325 Allele 1 0.1056 0.2254 0.2254 0.5528 1.0000 0.5528 1.0000 0.3675

Nama populasi

: Randublatung

Frekuensi

genetik :

Allele \ Locus O12-1 O12-2 O12-3 O12-4 O12-5 O12-6 O12-7 O12-8 O12-9 O12-10

O12-11

Allele 0 0.6325 0.6325 0.6325 0.6325 0.4472 0.4472 0.4472 0.6325 0.6325 0.4472 0.6325 Allele 1 0.3675 0.3675 0.3675 0.3675 0.5528 0.5528 0.5528 0.3675 0.3675 0.5528 0.3675


(5)

Lampiran 3 Jarak genetik Jati rakyat dengan teknik RAPD

Populasi Jati Rakyat

Rangkasbitung

Bojonegoro

Kebonharjo

Cepu

Bogor

Kendal

Randublatung

Ngawi

Jati Raky

at

Rangkasbitung

****

Bojonegoro

0.1567 ****

Kebonharjo

0.2124 0.2136 ****

Cepu

0.3604 0.3301 0.1340 ****

Bogor

0.1728 0.2543 0.3283 0.3562 ****

Kendal

0.3930 0.2124 0.1274 0.1849 0.1676 ****

Randublatung

0.3056 0.1304 0.1536 0.2744 0.2089 0.0965 ****

Ngawi

0.3273 0.2989 0.0124 0.2385 0.2049 0.1594 0.4024


(6)

Lampiran 4 Jarak genetik Jati rakyat antar propinsi dengan teknik RAPD

Populasi Jati Rakyat

Jati Rakyat Jawa Barat-Banten

Jati Rakyat Jawa Timur

Jati Rakyat Jawa Tengah

Ja

ti

Rakyat

Jati Rakyat Jawa

Barat-Banten

****

Jati Rakyat Jawa Timur

0.0583 ****

Jati Rakyat Jawa Tengah