Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

PROSIDING
Seminar Nasional Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Jalan Doktor Mansyur 7, Kampus USU Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 20 September 2014
Hak Cipta Dilindungi Copyright ® 2014 ISBN: 979-458-771-0
Editor Omar Khalifa Burhan, M.Sc Meutia Nauly, M.Si, Psikolog
Ridhoi M. Purba, M.Si
Reviewer Prof. Dr. Irmawati, Psikolog Rika Eliana, M.Si, Psikolog
Zulkarnain, Ph.D Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog
Layout editor Cynthia Marilyn Sitompul
Daniel Novriman Harefa Niesya Ridhania Harahap

USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F Jl. Universitas No. 9 Kampus USU Medan, Indonesia Telp.061-8213737, Fax 061-8213737 Kunjungi kami di : http://usupress.usu.ac.id Terbitan pertama 2014 USU Press Publishing & Printing 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 979 458 771 0 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding Seminar Nasional Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan/ Omar Khalifa Burhan
[et. al.] -– Medan: USU Press, 2014. vii, 280 p. ; ilus.: 29 cm Bibliografi ISBN: 979-458-771-0
Dicetak di Medan, Indonesia

iii

Penasehat Penanggungjawab

PANITIA
: Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)

: Prof. Dr. Irmawati, Psikolog

Panitia inti

Ketua

: Ari Widiyanta, M.Si, Psikolog

Bendahara

: Sherry Hadiyani, M.Psi, Psikolog

Koordinator kesekretariatan Koordinator publikasi dan

: Sarah Fadilla, S. Psi : Omar Khalifa Burhan, M.Sc

proceeding

Koordinator relasi publik : Ridhoi M. Purba, M.Si


Koordinator acara

: Meutia Nauly, M.Si, Psikolog

Koordinator seleksi

: Rika Eliana, M.Psi, Psikolog

makalah

Koordinator keamanan dan : Iskandar

kebersihan

Koordinator konsumsi

: Lili Garliah, M.Psi, psikolog

Koordinator penerima


: Indri Kemala, M.Psi, psikolog

tamu

Koordinator ruangan

: Josetta M. R. Tuapattinaja, M.Psi, Psikolog

Koordinator dokumentasi : Arif Khairul Dalimunthe

Pelaksana

Asisten ruang

: Ajeng Diah Andhini, Cellia Elisabeth

Sertifikat

: Dina Maharani, Priscilla Debora, Yunita


Notulen

: Winda Lidya, Rizqa Rethiza, Niesya Harahap

Penerima tamu

: Laili Isrami, M. Yani Bagus, Rossie Janette,

Nurul Fadhillah, Shellani Raudoh, Wicaksono

Aji, Natasha Irena, Debora Sitompul, Ahmad

Yusuf Tamin, M.Rajief

Teknisi

: Ahmad Khalid, Fauzi Rozi

Publikasi dan relasi publik : Cynthia Marilyn Sitompul, Daniel Novriman


MC dan Dirjen

: Resi Pratiwi, Brenda

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

iv
KATA PENGANTAR
Syukur, alhamdulillah kami panjatkan kepada Tuhan yang maha kuasa, karena atas ijinnya prosiding Seminar Nasional Hidup Harmoni dalam Kebhinekaan ini dapat terselesaikan. Prosiding ini merupakan hasil akhir dari seminar nasional yang sudah diselenggarakan pada tanggal 20 September 2014. Prosiding ini diharapkan akan memberikan penambahan wawasan dan mendorong para peneliti di Indonesia untuk melakukan riset-riset yang dapat memberikan pencerahan bagi terciptanya kehidupan nasional yang harmonis. Selesainya prosiding ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu terimakasih kami ucapkan kepada:
1) Gubernur Sumatera Utara beserta jajarannya. 2) Kepala Bagian Badan Kesbangpol dan Linmas Pemprovsu beserta
jajarannya 3) Rektor Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya. 4) Dekan Fakultas psikologi Universitas Sumatera Utara beserta
jajarannya. 5) Seluruh panitia Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinekaan
yang telah bahu membahu sehingga seminar tersebut dapat menghasilkan sebuah prosiding. 6) Seluruh panelis dan peneliti dari berbagai wilayah Indonesia yang telah mempresentasikan makalahnya. 7) Seluruh pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu yang telah mendukung sampai akhirnya prodising ini dapat selesai. Akhir kata semoga dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan yang maha kuasa. Selanjutnya keberadaan prosiding ini kami harapkan dapat menjadi penggugah semangat dan penambah wawasan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik dan harmonis di Indonesia
Medan, 30 November 2014
Ari Widiyanta, M.Psi, Psikolog
(Ketua Panitia Inti)
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

v


DAFTAR ISI

KEYNOTE SPEAKER & PANELIS
PANITIA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PERANAN KECERDASAN KULTURAL BAGI PENYELENGGARA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Adi Kristiawan dan Kuncono Teguh Yunanto
KARAKTER UTAMA PERAWAT SEBAGAI PELAYAN KESEHATAN YANG MULTIKULTURAL Alhamdu
MODEL KESADARAN TENTANG KONSEP KEBERAGAMAN DAN TOLERANSI UNTUK MENGURANGI POLA PERILAKU KEKERASAN DI MASYARAKAT: STUDI DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MALANG DAN GURUKULA BALI Kadek Wiwik Indrayanti dan Ardhiana Puspitacandri
PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR Ferry Novliadi dan Arief Tri Prabowo
TINGKAT TURNOVER KARYAWAN DITINJAU DARI BUDAYA ORGANISASI PADA KARYAWAN PT. ‗X‘ DI PALEMBANG Dwi Hurriyati
KEBAHAGIAAN PADA BHANTE THERAVADA Hakisukta dan Juliana Irmayanti Saragih
SELF CONSTRUALS DAN KONTAK SEBAGAI PREDIKTOR UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION (STUDI PADA PERGURUAN TINGGI DI KOTA MEDAN) Meutia Nauly dan Moyang Kasih Dewimerdeka
HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN PT. TELKOM MEDAN Nenny Ika Putri
DINAMIKA PERSONAL ADJUSTMENT PADA MANTAN PSK Reza Yoga P. Ginting dan Josetta Maria R. Tuapattinaja

ii iii iv v 1
11
19
29

35 42
51
60 70

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

vi

KEPUASAN HIDUP PADA KOMUNITAS PEDAGANG PASAR TERAPUNG DAN PEDAGANG RUMAH LANTING DI PINGGIRAN SUNGAI SEKITAR BANJARMASIN Sukma Noor Akbar
HUBUNGAN ANTARA RASA AMAN DI SEKOLAH DAN RESPONS BYSTANDER DALAM SITUASI BULLYING PADA SISWA SLTA Aries Yulianto dan Sherly Mega Pratiwi
PENGARUH DARI JENDER PELAKU, KORBAN, DAN BYSTANDER TERHADAP RESPONS BYSTANDER PADA SITUASI BULLYING Aries Yulianto dan Imaniar Agustina
HUBUNGAN PERSEPSI KONGRUENSI BUDAYA DENGAN INTERGROUP CONTACT PADA SUKU BATAK TOBA TERHADAP SUKU NIAS DI KABUPATEN SIMALUNGUN Tota Fierda R. A. Simbolon dan Omar Khalifa Burhan
KEHARMONISAN INTERAKSI ANTAR KOMUNITAS ETNIS DALAM PARTISIPASI PEMBANGUNAN Sismudjito
PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUMANISTIK ABRAHAM MASLOW DALAM MENINJAU MOTIF PENDULANG INTAN YANG PERNAH MENGALAMI KECELAKAAN KERJA Silvia Kristanti Tri Febriana
MAKNA HIDUP PADA WANITA ACEH BERGELAR SYARIFAH YANG MELAJANG Rizki Amanda dan Rahma Yurliani
PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN BEDA ETNIS (BATAK TOBA – TIONGHOA) Rentika Sinaga dan Liza Marini
PERANAN SELEKSI KERJA TERHADAP KOMITMEN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI Rooswita Santia Dewi dan Neka Erlyani
PERAN DARI PERSEPSI ANCAMAN TERHADAP PERILAKU MENGHINDARI SUKU LAUT OLEH SUKU MELAYU DI KEPULAUAN RIAU Meutia Nauly dan Raja Zalia Gustiana
SIKAP GURU TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL Filia Dina Anggaraeni dan Fasti Rola


78 87 99 112 119 126 132 141 148 159 166

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

vii

GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA SANDWICH GENERATION ETNIS MINANGKABAU Cassia Divina L. M. dan Liza Marini
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMENT KARYAWAN PADA PERUSAHAAN DISTRIBUSI Dwiyana Savira dan Ferry Novliadi
PENYESUAIAN SOSIAL ANAK JALANAN YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK DAN PSIKOLOGIS DITINJAU DARI GAYA KELEKATAN DENGAN ORANGTUA Emma Yuniarrahmah, Rooswita Santia Dewi, dan Herawati
TRUST MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP DPRP KOTA MEDAN Ari Widiyanta dan Rahmi Zuraida
DINAMIKA PENGAMBILA KEPUTUSAN UNTUK MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL Juliana Irmayanti Saragih dan Josetta M.R. Tuapattinaja
PENYESUAIAN SEKSUAL PADA WANITA YANG MENIKAH MELALUI PROSES TA‘ARUF Rodiatul Hasanah Siregar dan Zukhrini Khalish Nasution
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DALAM ERA OTONOMI DAERAH Muba Simanihuruk
KENDALA PENDIDIKAN INDONESIA DI DALAM MEWUJUDKAN HARMONI DALAM KEBHINNEKAAN PANCASILA DAN STANDAR NASIONAL PERGURUAN TINGGI SNPT Jusuf Sutanto dan Vinaya
BIG FIVE PERSONALITY PADA SUKU BATAK TOBA Armen Jenranly Samosir dan Etti Rahmawati
GAMBARAN MOTIF SOSIAL MAHASISWA SUKU SIMALUNGUN YANG BERDOMISILI DI KOTA MEDAN Erika Hotmaulina Sinaga dan Ridhoi Meilona Purba
ISLAMISME, DEPRIVASI RELATIF, DAN PERSEPSI ANCAMAN PADA SEBAGIAN MASYARAKAT ISLAM DI MEDAN Irmawati dan Omar Khalifa Burhan

175 185 194 203 213 217 226 238 248 255 260


Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

1
PERANAN KECERDASAN KULTURAL BAGI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Adi Kristiawan dan Kuncono Teguh Yunanto Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta adicapri@yahoo.com
ABSTRAK
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural dapat dijalankan dengan baik apabila didukung oleh kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavior) yang tinggi atas suatu kondisi sosial yang mencerminkan adanya keberagaman budaya dari aktor-aktor yang terlibat di dalam pendidikan tersebut, terutama pada guru dan muridnya. Kesadaran, pengetahuan, sikap dan perilaku yang secara efektif difungsikan dan dikelola dalam situasi keberagaman budaya oleh para ahli disebut dengan kecerdasan kultural (cultural intelligence). Kecerdasan kultural mengkombinasikan dimensi emosi, kognitif dan perilaku dalam menghadapi kondisi lintas budaya dan memberikan kemampuan lebih efektif dalam berkomunikasi lintas budaya. Orang-orang dengan kecerdasan kultural yang tinggi diharapkan dapat secara efektif beradaptasi dan berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, serta mampu dengan cepat menyelesaikan masalah atau konflik yang berkaitan dengan perbedaan budaya. Tulisan ini mencoba menelaah secara kepustakaan pentingnya peranan kecerdasan kultural bagi individu bagi keefektifan pembelajaran yang berbasis multikultural.
Kata-kata kunci: Kecerdasan kultural, pendidikan multikultural
Negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lainlain sehingga negara-negara Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat ―multikultural‖. Bahkan dapat dikatakan Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Keberagaman tersebut semestinya menjadi sumber daya yang besar dalam upaya membangun bangsa. Namun sejarah bangsa ini mencatat beberapa peristiwa yang memilukan akibat konflik yang terjadi karena keragaman yang ada.
Keragaman dapat dilihat dalam dua sisi. Pada satu sisi, keragaman merupakan rahmat Tuhan yang dianugerahkan pada bangsa Indonesia. Namun di sisi lain, keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat mengakibatkan adanya kecurigaan, kebencian dan bahkan permusuhan antara
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

2
individu satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, seperti diskriminasi, ketidakadilan, bahkan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, kejahatan seksual, dan sebagainya.
Perlu adanya upaya kongkrit dalam menanggulangi masalah kemajemukan yang yang memiliki implikasi negatif tersebut. Salah satu upayanya yakni membangun kesadaran bersama akan pentingnya nilai-nilai kebersamaan di dalam masyarakat. Hal tersebut dapat diupayakan dengan penerapan pendidikan multikultural yang dapat ditanamkan baik di rumah, sekolah, tempat kerja, dan lainnya. Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan sikap yang dapat menerima dan menghargai perbedaan.
Pendidikan multikultural dapat dicapai apabila adanya peran serta, dukungan, dan kerjasama yang baik dari guru, institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru selain memiliki sikap yang terbuka terhadap multikultural sebagai modal dasar juga perlu memahami konsep dan strategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi, humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus memberikan contoh-contoh kongkret, dan mempraktekkannya dihadapan para siswa.
Sebagai profesional, seorang pendidik diharapkan dapat menyampaikan materi pembelajaran secara efektif dan membuat kelas menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Pendidikan multikultural juga membutuhkan suatu keahlian (mastery) dari seorang pendidik. Hanya dengan mendapatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang kompeten terhadap masalah kultural, guru diharapkan dapat mengaktualisasikan komitmen profesionalnya untuk tercapainya keberhasilan akademik bagi seluruh siswanya (Moule, 2012). Guru yang memiliki kecerdasan kultural akan lebih mudah mendapatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan tersebut. Kecerdasan kultural merupakan kemampuan individu dalam menemukan, mencerna, memahami dan bertindak tehadap isyarat kultural dengan tepat dalam situasi dimana muncul adanya perbedaan budaya. Hal ini adalah suatu domain spesifik dan mempunyai relevansi khusus terhadap setting multikultural dan konsteks global (Earley & Ang, 2003).
Pendidikan multikultural
Pendidikan multikultural menurut Ameny-Dixon (2011) adalah suatu pendekatan belajar mengajar yang didasari oleh nilai-nilai demokratis yang menghargai adanya pluralisme budaya di dalam masyarakat yang berisikan budaya yang berbeda di tengah dunia yang saling bergantung seperti sekarang ini. Sedangkan menurut Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan


3
Lebih lanjut, Banks, Banks dan McGee (1993) juga mendefinisikan pendidikan multikultural sebgai suatu ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa dengan bermacam-macam latar belakang akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.
Sementara itu, Suparsa (dalam Sutijono, 2010) pendidikan multikultural didefinisikan sebagai suatu proses mengembangkan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok sebagai bagian dari proses menjadikan manusia tumbuh melalui pengajaran, pelatihan, proses, aktivitas dan melalui cara mendidik dan menghargai pluralitas dan heterogenitas. Lebih lanjut menurut Suparsa (dalam Sutijono, 2010) pendidikan multikultural meliputi: (1) pengetahuan tentang pentingnya memposisikan sesuatu, meletakkan apapun di tempat yang sebenarnya, berdasarkan pada nilai keadilan dan keseimbangan; (2) pemetaan dalam pendidikan multikultur sebagai keniscayaan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan yang dikonsepkan. Pemetaan ini berujung pada keragaman, heterogenitas, pluralitas dan diversitas, 3) adalah pendidikan yang membentuk jati diri seseorang, yang berupaya menyeragamkan seluruh aspek kemanusiaannya, sehingga dapat mengangkat potensi seseorang dengan jati dirinya masing-masing.
Menurut Hanum, Raharja dan Rahmadona (2009), pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu:
1. Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya Kiranya perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki
karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Kesadaran akan keragaman (multikultural) berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa. Pendidikan multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Artinya, memiliki pemahaman yang lebih baik tentang dirinya yang ada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa. 2. Gerakan Pembaharuan Pendidikan Ide penting yang lain dalam pendidikan multikultural adalah sebagian siswa karena karakateristiknya, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu, sedang siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu. Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok untuk mendapat pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus, dalam arti dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

4
kelompok sekolah favorit itu. Pendidikan multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program dan praktik yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grant dan Seleeten (dalam Sutarno, 2007), pendidikan multikultural bukan sekedar merupakan praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek-aspek pendidikan. 3. Proses Pendidikan.
Pendidikan multikultural yang juga merupakan proses pendidikan yang tujuannya tidak akan pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi, proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai. Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara untuh bukan sekedar meningkatkan skor. Banks, Banks dan McGee (1993) mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yaitu: 1. Pendekatan kontribusi (the contributions approach)
Level ini yang paling sering dilakukan dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis. Ciri pendekatan kontribusi ini adalah dengan memasukkan pahlawan-pahlawan dari suku bangsa/etnis dan benda-benda budaya ke dalam pelajaran yang sesuai. 2. Pendekatan Aditif (Additive Approach)
Pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan penambahan buku, modul atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansif. 3. Pendekatan Transformasi (the transformation approach)
Pendekatan tranformasi berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pada pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Banks, Banks & McGee (1993) menyebut ini proses multiple acculturation sehingga rasa saling menghargai, kebersamaan dan cinta sesama dapat dirasakan melalui pengalaman belajar. 4. Pendekatan Aksi Sosial (the social action approach)
Mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan mengajari mereka keterampilan pembuatan keputusan untuk memperkuat siswa dan membantu mereka
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

5
memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu mereka menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Selanjutnya Ameny-Dixon (2011), mengemukakan tentang empat dimensi interaktif utama yang merupakan bagian dari kerangka kerja konseptual tentang perspektif global dari pendidikan multikultural yang terdiri dari: (1) kompetensi multikultural (multicultural competence), (2) kesetaraan pedagogi (equity pedagogy), (3) pembaharuan kurikulum (curriculum reform), dan (4) pengajaran tentang keadilan sosial (teaching toward social justice). Dalam tulisan ini, dari keempat dimensi di atas, hanya akan dibahas tentang kompetensi multikultural atau selanjutnya oleh penulis hanya akan disebut dengan kompetensi kultural, disebabkan literatur yang menjadi acuan penulis lebih banyak memakai istilah kompetensi kultural.

Kecerdasan kultural
Kecerdasan kultural melengkapi bentuk lain kecerdasan, seperti IQ (kemampuan mental umum; Schmidt & Hunter, 2000), EQ (emosional intelijen; Mayer & Salovey, 1993), kecerdasan sosial, dan kecerdasan praktis (Sternberg et al., 2000) karena kecerdasan lebih dari hanya kemampuan untuk memahami konsep-konsep dan memecahkan masalah dalam setting akademik (Ackerman, 1996; Gardner, 1993; Sternberg & Detterman, 1986). Bentuk-bentuk kecerdasan ini saling melengkapi karena norma-norma untuk interaksi sosial bervariasi antar budaya dan kecerdasan kognitif atau kecerdasan emosional tidak berfokus secara khusus pada kemampuan unik yang mempunyai relevansi dengan efektivitas interaksi dalam setting lintas budaya.
Kecerdasan kultural (Ang & Van Dyne, 2008; Ng, Van Dyne, & Ang, 2009) adalah kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan keterlibatan aktif di bidang pendidikan, wisata, tugas internasional, dan pengalaman antar budaya yang lain. Earley dan Ang (2003) memposisikan kecerdasan kultural sebagai variabel multidimensi berdasarkan kerangka multiple intelligence dari Sternberg dan Detterman (1986). Secara khusus, Sternberg (1986) menyintesiskan perbedaan pandangan tentang kecerdasan sebelumnya, dengan mengajukan empat cara untuk memahami tingkatan kecerdasan individual, yaitu kecerdasan metakognitif, kognitif, motivasional dan perilaku. Metakognitif dan kognitif adalah kemampuan mental yang menggambarkan fungsi kognitif individu. Motivasi adalah juga kemampuan mental dan mengandung proses kognitif untuk mendorong dan memilih. Sementara kecerdasarn perilaku menunjuk pada kemampuan perilaku dalam fleksibilitas motorik dan menampakkan aksi-aksi verbal dan non verbal.
Menerapkan perbedaan kecerdasan dalam konteks perbedaan budaya, Ang dan Van Dyne (2008) mengidentifikasikan empat faktor dasar dalam kecerdasan kultural. Kecerdasan kultural metakognitif merefleksikan kemampuan mental dalam memperoleh dan mengevaluasi pengetahuan kultural yang berfokus pada kesadaran dan pemantauan proses kognitif. Kecerdasan kultural kognitif merefleksikan tentang pengetahuan umum dan struktural tentang budaya dan perbedaan budaya. Kecerdasan kultural motivasional merefleksikan kemampuan
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

6
mental untuk mengarahkan dan mempertahankan energi pada perilaku dalam situasi antar budaya. Kecerdasan kultural perilaku merefleksikan kemampuan melenturkan perilaku untuk sesuai dengan konteks perbedaan budaya. Keempat faktor dasar ini yang menjadi acuan bagi pengkuran tentang kecerdasan kultural. Individu dikatakan cerdas secara kultural apabila mempunyai kemampuan mental dalam memperoleh dan mengevaluasi pengetahuan kultural yang berfokus pada kesadaran dan pemantauan proses kognitif, mempunyai pengetahuan umum dan struktural tentang budaya dan perbedaan budaya, mempunyai kemampuan mental untuk mengarahkan dan mempertahankan energi pada perilaku dalam situasi antar budaya dan mempunyai kemampuan melenturkan perilaku untuk sesuai dengan konteks perbedaan budaya.
Kecerdasan kultural bagi seorang pendidik dapat membantu memperoleh standar kompetensi kultural yang dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan multikultural. Standar kompetensi dalam pendidikan yang didasarkan pada multikulturalisme adalah untuk menciptakan warga masyarakat yang dapat hidup selaras dengan warga masyarakat lain tanpa memandang agama, ras, bahasa dan budaya, menghormati hak-hak, memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk mengembangkan budaya masing-masing dan mampu mengembangkan kerjasama bagi kejayaan bangsanya. Dari standar ini, kompetensi dasar yang harus dimiliki adalah (1) dapat menerima perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam masyarakat, (2) dapat bekerja sama dalam konteks keragaman etnik, budaya dan agama untuk pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa, (3) dapat menghormati hak-hak orang lain tanpa harus memandang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua aspek kehidupan, (4) dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan ide dan aspirasi dan (5) dapat mengembangkan sikap adil.
Pendidik yang memiliki kecerdasan kultural yang baik akan memiliki kompetensi kultural. Menurut Diller dan Moule (2005) kompetensi kultural adalah kemampuan untuk memberikan pengajaran kepada murid-murid yang mempunyai budaya yang berbeda dengan guru agar supaya pengajaran yang diberikan itu berhasil. Pengajaran tersebut meliputi pengembangan kesadaran dan kepekaan personal dan interpersonal, pengembangan pengetahuan tentang budaya dan penguasaan atas sekumpulan keterampilan yang membuat pengajaran menjadi lebih efektif. Menurut Martin dan Vaughn (2007) kompetensi kultural adalah suatu proses mengembangkan keahlian untuk merespon secara efektif dalam suatu konteks lintas budaya, dimana individu, agen-agen yang terlibat dan sistem saling terintegrasi dan memperbaharui kesadaran atas asumsi, nilai-nilai, bias-bias dan pengetahuan tentang diri sendiri dan orang lain dengan cara memberi penghargaan terhadap perbedaan budaya, bahasa, status sosial ekonomi, ras, latar belakang etnik, agama, gender, orientasi seksual dan kemampuan. Kompetensi kultural mengenali, menguatkan, mendorong dan menilai keluatan individu, keluarga dan komunitas dan melindungi dan memelihara kodrat masing-masing.
Diller dan Moule (2005) mengemukakan adanya empat keterampilan dasar dalam kompetensi kultural, yang dapat diterapkan dalam tiap individu pendidik
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

7
dalam sekolah tempatnya bekerja dan dalam sistem pendidikan secara lebih luas. Keempat keterampilan tersebut dapat mendukung satu sama lain.
1. Menghargai perbedaan Menerima dan menghargai perbedaan latar belakang budaya dan
kebiasaan, perbedaan cara bekomunikasi dan perbedaan tradisi dan nilainilai. 2. Menjadi individu yang sadar budaya
Memahami tentang budaya sendiri, baik pengalaman, latar belakang, pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, nilai-nilai dan minat, akan dapat membentuk pemahaman tentang diri, menempatkan diri dalam keluarga, sekolah dan masyarakat dan bagaimana guru berinteraksi dengan murid. 3. Memahami dinamika interaksi budaya
Mengetahui bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi interaksi antar budaya, termasuk di dalamnya pengalaman akan sejarah budaya dan hubungan antar budaya dalam masyarakat sekitar. 4. Melembagakan pengetahuan budaya dan beradaptasi dengan perbedaan
Merancang sistem pendidikan yang didasarkan pada pemahaman akan budaya-budaya para murid. Guna mengembangkan sistem di mana kompetensi kultural dalam diterapkan dalam pendidikan, Cross dkk (1989) mengemukakan suatu model sistem yang dianggap kompeten: 1. Menghormati keunikan individu, dan pemahaman budaya sebagai kekuatan dalam membentuk perilaku, nilai-nilai dan institusi dan bahwa budaya mempunyai pengaruh pada pendidikan. 2. Memandang sistem alami (keluarga, komunitas) sebagai suatu mekanisme utama dalam mendukung perbedaan budaya. 3. Pengenalan konsep keluarga, komunitas dan semacamnya, adalah berbeda dalam tiap budaya dan bahkan bagi suatu sub-kelompok dalam suatu budaya. 4. Memahami murid dari suatu budaya tertentu biasanya dapat ditangani dengan baik oleh orang yang mempunyai latar belakang budaya yang sama. 5. Mengenali bahwa pola pikir, meskipun berbeda antar budaya, mempunyai kesamaan kebenaran dan berpengaruh terhadap bagaimana murid melihat suatu masalah dan situasi. 6. Menghormati pilihan budaya sebagai suatu proses dibanding sebagai produk dan keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan seseorang dibanding hanya prestasi semata. Terkait dengan penjelasan di atas, Cross dkk (1989) mengusulkan lima keterampilan dasar yang diperlukan untuk dapat mengajar berbasis lintas budaya dengan efektif, yaitu (1) Kesadaran dan penerimaan terhadap perbedaan, (2) kesadaran diri, (3) dinamika dari adanya perbedaan, (4) pengetahuan tentang budaya dari para murid, dan (5) penyesuaian praktek mengajar. Kelimanya dipercaya tidak hanya berguna bagi cara kerja guru tetapi juga bagi iklim sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Keterampilan-keterampilan ini haruslah
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

8
diajarkan, didukung dan lebih mendasar lagi dapat dijadikan pedoman bagi berbagai fungsi dalam sekolah sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan pendidikan multikultural, dibutuhkan guru dengan kualifikasi tertentu. Menurut Aldridge (dalam Rosyada, 2010) yang dikutip oleh Sutijono (2010), guru yang termasuk multikulturalis adalah (1) mampu menciptakan kelas yang bersih, tenang dan nyaman, (2) mampu memberikan kepada murid kesempatan mengakses semua bahan pelajaran, (3) menggunakan cara belajar kooperatif melalui diskusi dalam kelompok kecil, berdebat atau bermain peran, (4) mampu membuat murid menghubungkan informasi baru dan lama untuk memahami apa yang mereka pelajari, (5) mampu mendorong murid mengerjakan tugas melalui cara belajar intensif pada hal-hal baru, dan (6) membuat catatan kemajuan aktivitas belajar dan kemajuan para murid.
DISKUSI
Pendidikan multikultural terlihat akan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat di era global seperti sekarang ini. Orang-orang yang datang dari bermacam tempat dan beragam budaya akan berinteraksi dengan orang lain dari asal dan budaya yang berbeda. Hal ini berarti bahwa memahami budaya orang lain akan menjadi bagian dari masyarakat global. Pendidikan multikultural dapat membuat murid hidup dan menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya dan memahami orang lain.
Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan yang bersifat progresif dalam upaya transformasi pendidikan atas kekurangan-kekurangan dalam pendidikan yang ada selama ini. Pendidikan multikultural didasarkan pada keadilan sosial, kesetaraan pendidikan dan meberikan pengalaman pendidikan dimana para murid dapat mencapai potensi sebagai pembelajar dan secara sosial sadar dan aktif dalam konteks lokal, nasional dan global. Pendidikan multikultural mengakui bahwa sekolah adalah pondasi yang penting bagi upaya transformasi masyarakat dan menghilangkan ketidakadilan.
Untuk dapat menjalankan pendidikan multikultural dengan efektif salah satunya diperlukan guru yang mempunyai kecerdasan kultural. Guru harus mempunyai kecerdasan kultural untuk menjalankan fungsi memberikan pengajaran kepada muridnya, di samping kompetensi-kompetensi lain yang sudah diwajibkan oleh undang-undang, seperti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Pendidik yang memiliki kecerdasan kultural akan memiliki kompetensi kultural seperti memiliki kesadaran dan menerima adanya perbedaan, mempunyai kesadaran diri atas budayanya sendiri, memahami dinamika yang muncul atas adanya perbedaan, mempunyai pengetahuan tentang budaya lain dan melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam praktek mengajar terkait dengan perbedaan budaya. Menurut Moule (2008), kompetensi yang dimiliki guru ini dapat mengajarkan kepada murid untuk selalu memberikan tanggapan yang positif kepada orang lain tanpa syarat (unconditional positive regard) tanpa harus memandang
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

9
latar belakang budaya, agama, ras, status sosial ekonomi, gender dan sebagainya. Sehingga murid diharapkan dapat mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan, memecahkan masalah yang terkait dengan perbedaan dan merayakan perbedaan tersebut sebagai kodrat yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa guru atau pendidik yang akan mengajarkan pendidikan multikultural dapat dengan mudah mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam pendidikan multikultural apabila guru atau pendidik tersebut memiliki kompetensi kultural yang akan muncul apabila guru memiliki kecerdasan kultural yang baik.
REFERENSI
Ameny-Dixon, G. M. (2011). Why multicultural education is more important in higher education now than ever: a global perspective. International journal of scholarly academic intellectual diversity , 1-9.
Ang, P. C. (2003). Cultural intelligence: Individual interactions across cultures. Palo Alto, CA: Standford University Press.
Cross, T. L. (1988). Services to minority populations: What does it mean to be a culturally competent professional. Portland: Research and Training Center, Portland State University.
F. Hanum, S. R. (2009). Implementasi model pembelajaran di sekolah dasar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Artikel Multikultural-Stranas .
Gardner, H. (1993). Multiple intelligences: The theory in practice. New York : Basic Books.
Gur, C. (2010). Cultural competence in high school. Research Journal of International Studies, Issue 16.
J. A. Banks, C. B. (1993). Multicultural education: Issues and perspectives. Boston: Allyn adn Bacon.
M. A. Martin, &. B. (2007). Cultural competence: The nuts & bolts of diversity & inclusion. Dalam B. E. Vaughn, Strategic diversity & inclusion management magazine. San Fransisco: Diversity Training University International Publications Division.
Moule, J. (2012). Cultural competence: A primer for educators. United States: Wadsworth Cengage Learning.
Moule, J. V. (2005). Cultural competence: A primer for educators. Belmont: Thomas Wadsworth.
S. Ang, L. V. Conceptualization of cultural intelligence: definition, distinctiveness, and nomological network. Dalam L. V. S. Ang, Handbook of cultural intelligence: theory, measurement, and applications (hal. 3-15). Armonk, NY: M.E. Sharpe.
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

10 Salovey, J. D. (1993). The intelligence of emotional intelligence. Intelligence, 17,
433-442. T. L. Cross, B. J. (1989). Towards a culturally competent system of care, volume I.
Washington, D.C.: Georgetown University Child Development Center, CASSP Technical Assistance Center.
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

11
KARAKTER UTAMA PERAWAT SEBAGAI PELAYAN KESEHATAN YANG MULTIKULTURAL
Alhamdu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Siti Khadijah Palembang
Universitas Sriwijaya Palembang alhamdu@ymail.com
ABSTRAK
Kualitas pelayanan kesehatan yang multikultural (tanpa membedakan latar belakang budaya, agama, suku, etnis, serta status sosial dan ekonomi) merupakan harapan masyarakat. Kenyataannya, harapan tersebut belum dapat terpenuhi secara maksimal dari sisi pasien dan keluarganya, dikarenakan perawat sebagai ujung tombak pelayan kesehatan diangap belum memiliki karakter sebagai seorang pelayan kesehatan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dalam pandangan pasien dan keluarganya. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan kuesioner dengan analisis deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien yang sedang dirawat dirumah sakit, dengan partisipan berjumlah 345 orang, yang terdiri dari 163 orang laki-laki, dan 182 orang perempuan, dengan karakteristik usia 25-50 tahun. Peneliti sebelumnya telah mendapatkan 15 karakter perawat yang diharapkan pasien dan keluarganya dalam studi pendahuluan. Berdasarkan 15 karakter tersebut peneliti mencari tiga karakter utama perawat yang dinginkan pasien dan keluarganya. Hasil penelitian mendapatkan tiga karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang diharapkan pasien dan keluarganya, yaitu karakter peduli 26.4%, terampil 22.6%, dan ramah 21.2%. sementara 29.8% sisanya tersebar dalam 12 karakter yang lainnya.
Kata-kata kunci: Karakter, perawat, pelayanan, kesehatan, multikultural
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Selain itu, kesehatan juga merupakan salah satu unsur untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, yang berperan penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, yang mempunyai ketahanan dan daya saing, serta mampu terlibat dalam pembangunan bangsa ini. Oleh karena itulah, kesehatan dianggap sebagai investasi penting dalam pembangunan suatu bangsa dan menjadi tanggung jawab semua pihak. Artinya, semua pihak baik itu pemerintah, swasta ataupun masyarakat secara umum mempunyai tanggung jawab dan peran yang tidak bisa diabaikan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tanpa memandang asal dan latar belakang dari masyarakat tersebut.
Pelayanan kesehatan yang tidak membedakan asal dan latar belakang suku, budaya, agama, dan etnis, serta status sosial dan ekonomi (multikultural) merupakan harapan masyarakat secara umum. Masyarakat, dalam hal ini adalah pasien dan keluarganya selalu mengharapkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, yang menekankan pada apa yang dibutuhkan pasien dan keluarganya, serta berujung pada kepuasan pasien terhadap pelayanan itu sendiri sebagai bentuk bantuan bagi pasien untuk mencapai kesembuhan. Artinya, pelayanan kesehatan yang multikultural, tanpa diskriminasi merupakan harapan dan hak masyarakat, sebagaimana diatur dalam UU No. 44 tahun 2009 pasal 32 poin c yang mengatakan
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

12
bahwa setiap pasien berhak untuk memperoleh layanan yang manusiawi, jujur, adil dan tanpa diskriminasi. Akan tetapi harapan dan hak tersebut belum dapat terpenuhi secara maksimal dari sisi pasien dan keluarganya. Diskriminasi dan perlakuan berbeda secara multikultural dalam pelayanan kesehatan masih saja terjadi di negeri yang menggaungkan keberagaman ini.
Sebenarnya, pemerintah telah menjamin warga negaranya yang tidak mampu dengan berbagai program kesehatan, seperti Jamkesmas, Jamkesos ataupun Jamkesda, akan tetapi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi tersebut sering diabaikan dan tidak diberikan pelayanan secara manusiawi dan maksimal. Sebagai contoh adalah kasus dibuangnya seorang pasien Rumah Sakit (RS) di Lampung yang bernama Suparman bin Sariun alias Mbah Edi (64 tahun) yang akhirnya meninggal (ROL, 3 Februari 2014), kasus meninggalnya pasien yang bernama Naila (2 bulan) didepan loket pendaftaran RS di Pinrang Sulawesi Selatan, karena ditolak pihak RS yang menganggap berkas keterangan miskin yang tidak lengkap (Kompas.com; 1 November 2013), kasus Dera, bayi berusia enam hari yang meninggal setelah ditolak oleh 10 RS di Jakarta dengan alasan tidak ada ruangan dan peralatan untuk perawatan (Tempo.com. 18 Februari 2013), serta masih banyak lagi kasus-kasus lain yang mengabaikan dan melakukan penolakan pemberian pelayanan kesehatan yang multikultural dan tanpa diskriminasi kepada para pasien.
Diskriminasi pelayanan kesehatan yang multikultural ini juga terjadi dalam perawatan terhadap pasien. Pasien-pasien yang berlatar belakang status sosial ekonomi yang rendah, atau pasien yang menggunakan kartu-kartu Jaminan Kesehatan (JK) dari pemerintah, serta pasien-pasien yang tidak mempunyai kedekatan secara kesukuan, etnis dan budaya, terkadang juga mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dibanding pasien-pasien yang datang dari strata sosial ekonomi yang tinggi, atau pasien-pasien yang menggunakan kartu-kartu asuransi dengan klaim yang besar, serta pasien-pasien yang mempunyai kedekatan dan hubungan secara kesukuan, etnis dan budaya. Fakta ini tidak lepas dari peran dan tugas para perawat sebagai orang yang bersentuhan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien.
Selanjutnya, sebagai ujung tombak dari pelayanan kesehatan yang multikultural, perawat diharapkan mempunyai karakter sebagai pelayan kesehatan yang kuat, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan tersebut secara maksimal, bukan hanya berdasarkan standar dari penyelenggara pemberian layanan kesehatan, tetapi juga berdasarkan standar kepuasan pasien dan keluarganya selaku pemakai jasa pelayanan kesehatan tersebut. Oleh karena itulah, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari dan mengetahui karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dalam pandangan pasien dan keluarganya.
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

13
METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu pasien dan keluarga pasien yang sedang dirawat di RS, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia antara 25 – 50 tahun. Berdasarkan karakteristik tersebut, dan dengan menggunakan purposive sampling didapatkan sebanyak 345 orang partisipan, yang terdiri dari 163 orang laki-laki dan 182 orang perempuan. Paritisipan dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarganya yang sedang dirawat di empat (4) Rumah Sakit (RS) yang ada di Palembang, yaitu RS Islam Siti Khadijah, RS Muhammad Husin, RS Bari dan RS Muhammadiyah Palembang.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan questionnaire. Wawancara digunakan pada pra-penelitian, dimana peneliti menanyakan kepada para pasien dan keluarganya tentang karakter apa saja yang seharusnya dimiliki oleh seorang perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang multikultural dari sisi pasien dan keluarganya. Hasilnya didapatkan 15 karakter yang diharapkan pasien dan keluarganya ada pada seorang perawat sebagai pelayan kesehatan, yaitu disiplin, cerdas, terampil, bertanggung jawab, jujur, peduli, ramah, sopan, sabar, baik, berani, santun, percaya diri, rajin dan teliti. Selanjutnya, peneliti menyusun 15 karakter tersebut menjadi sebuah questionnaire, dan meminta pasien dan keluarganya untuk memilih satu (1) karakter utama dari 15 karakter tersebut yang seharusnya dimiliki oleh seorang perawat sebagai pelayan kesehatan.
Analisis Data
Penelitian ini bersifat kualitatif yang menekankan pada konteks dan latar alamiah atau naturalistic dengan analisis deskriptif untuk memotret dan menggambarkan tentang fenomena karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural. Oleh karena itulah, analisis data dalam penelitian ini menitik beratkan pada jawaban pasien dan keluarganya dalam proses wawancara dan melihat pilihan pasien dan keluarganya dalam menjawab questionaire yang diberikan, sehingga dari data tersebut diharapkan dapat menjelaskan konsep karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dari sisi pasien dan keluarganya.
HASIL
Berdasarkan hasil wawancara yang digunakan pada pra-penelitian, peneliti mendapatkan 15 karakter yang diharapkan pasien dan keluarganya dimiliki oleh seorang perawat, yaitu disiplin, cerdas, terampil, bertanggung jawab, jujur, peduli, ramah, sopan, sabar, baik, berani, santun, percaya diri, rajin dan teliti. Selanjutnya, peneliti menyusun 15 karakter tersebut menjadi sebuah questionnaire, dan meminta
Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

14

pasien dan keluarganya memilih satu (1) karakter utama dari 15 karakter tersebut yang seharusnya dimiliki oleh seorang perawat sebagai pelayan kesehatan.
Berdasarkan questionaire yang telah diberikan kepada 345 partisipan tersebut, maka peneliti mendapatkan 3 karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dari sudut pandang pasien dan keluarganya, yaitu karakter peduli 26.4% atau dipilih oleh 91 responden, karakter terampil 22.6% atau dipilih oleh 78 responden, dan karakter ramah 21.2% atau dipilih oleh 73 responden. Sementara 29.8% sisanya tersebar dalam 12 karakter yang lainnya. Artinya 3 karakter utama perawat yang diinginkan pasien dan keluarganya ini (peduli, terampil dan ramah) mempunyai persentase yang sangat besar, yakni mencapai 70,2% atau dipilih oleh 242 responden, bila dibandingkan dengan 12 karakter lainnya yang hanya mengumpulkan 29,8% atau dipilih oleh 103 responden.

Perawat

Kata perawat atau yang

dikenal juga dengan sebutan nurse

berasal dari bahasa latin yaitu kata

nutrix yang bermakna merawat atau

memelihara. Wardhono (1998)

mengartikan perawat sebagai orang

yang

telah

menyelesaikan

pendidikan

professional

keperawatan, dan diberi wewenang

untuk melaksanakan peran serta

fungsinya sebagai seorang perawat. Sementara itu Kusnanto (2003), menjelaskan

perawat sebagai seorang profesional yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab

dan kewenangan untuk melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan pada

berbagai jenjang pelayanan keperawatan. Berdasarkan dua penjelasan diatas maka

dapat dikatakan bahwa perawat merupakan suatu bentuk profesi yang diberikan

wewenang dan tanggung jawab berdasarkan kemampuan dan keilmuannya untuk

membantu dan melakukan perawatan terhadap pasien.

Nursalam (2007) mengungkapkan bahwa keperawatan adalah bentuk

pelayanan profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada

masyarakat yang mengalamí gangguan fisik, psikis, dan sosial agar dapat mencapai

derajat kesehatan yang maksimal. Menurut Nursalam (2007), bentuk pemenuhan

kebutuhan dasar tersebut dapat berupa meningkatkan kemampuan yang ada pada

masyarakat, mencegah, memperbaiki, dan melakukan rehabilitasi dari suatu

keadaan yang dipersepsikan sakit menuju suatu kondisi yang dipersepsikan sehat

oleh masyarakat. Melihat dan memperhatikan hal tersebut, maka dunia keperawatan

dapat digambarkan sebagai bentuk pengabdian dan bantuan kepada masyarakat

yang menitik beratkan pada pelayanan yang maksimal, sehingga dapat membantu

perubahan yang ada pada pasien kearah yang lebih baik, yakni kesembuhan dan

kesehatan.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

15
Selanjutnya Kusnanto (2003) menjelaskan bahwa bentuk pelayanan profesional keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang bersandarkan pada ilmu keperawatan dan berbentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi setiap kalangan dan lapisan masyarakat. Artinya, bentuk layanan kesehatan yang professional yang diberikan oleh perawat hendaklah secara total dan menyeluruh sebagai bentuk pengabdian keilmuan secara professional yang membutuhkan karakter tersendiri yang harus dimiliki oleh seorang perawat sebagai pelayan kesehatan, karena bila pengabdian yang professional tersebut tidak diikuti oleh karakter perawat yang tepat, maka pelayanan kesehatan yang diberikan tidak akan maksimal. Oleh karena itu, penting bagi seorang perawat untuk mengetahui, membangun, menumbuhkan dan membekali dirinya dengan karakter keperawatan berdasarkan karakter-karakter utama yang dinginkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan tersebut
Karakter
Secara umum istilah karakter sering disamakan orang dengan istilah kepribadian, personality, temperamen dan juga watak. Berdasarkan istilah tersebut, karakter sering didefinisikan orang sebagai bentuk ataupun gambaran dari kepribadian seseorang. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam pengertian ini karakter menggambarkan sifat-sifat, akhlak dan budi pekerti yang menjadi ciri khas dan membedakan antara satu orang dengan orang lain. Selanjutnya, Hill (2005) menjelaskan karakter sebagai determeninasi yang menunjukkan kekhasan seseorang dalam berpikir dan bertindak, berdasarkan standar perilaku yang tinggi dalam berbagai situasi. Sementara itu, Alwisol (2005) mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku seseorang yang menitik beratkan pada nilai atau value (benar-salah, baikburuk) baik secara eksplisit maupun implisit. Sementara itu, peneliti sendiri mendefinisikan karakter sebagai bentuk kekhasan seseorang, baik dalam berpikir dan berperilaku berdasarkan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Lebih jauh, Maxwell (Husen,dkk., 2010) menjelaskan bahwa karakter yang baik lebih dari sekedar sebuah perkataan, melainkan sebuah pilihan yang dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian, usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup. Artinya, karakter yang baik tidaklah ada dan tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan dan dibentuk, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang mencirikan dan membedakan satu individu atau komunitas dengan individu lain atau komunitas lainnya. Oleh karena itulah, nilai atau value yang terkandung dalam karakter yang tergambar dari perilaku individu, akan menggambarkan bagaimana pola perkembangan dan pendidikan, serta lingkungan yang dialami oleh individu tersebut d