Adsorben Berbasis Limbah Padat Agar-Agar sebagai Penjerap Zat Warna Indigosol dan Zat Warna Limbah Industri Batik

ADSORBEN BERBASIS LIMBAH PADAT AGAR-AGAR
SEBAGAI PENJERAP ZAT WARNA INDIGOSOL DAN
ZAT WARNA LIMBAH INDUSTRI BATIK

NOLA AZALIA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adsorben Berbasis
Limbah Padat Agar-Agar sebagai Penjerap Zat Warna Indigosol dan Zat Warna
Limbah Industri Batik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Nola Azalia
NIM G44090072

ABSTRAK
NOLA AZALIA. Adsorben Berbasis Limbah Padat Agar-Agar sebagai Penjerap
Zat Warna Indigosol dan Zat Warna Limbah Industri Batik. Dibimbing oleh ETI
ROHAETI dan CHARLENA.
Penelitian ini bertujuan membandingkan kemampuan adsorpsi limbah padat
agar-agar dengan hasil karbonisasinya terhadap zat warna indigosol, serta
membandingkan proses koagulasi-flokulasi dengan adsorpsi untuk menurunkan
zat warna limbah industri batik. Limbah setelah diolah melalui netralisasi dan
koagulasi-flokulasi menggunakan tawas diperoleh persen penurunan kebutuhan
oksigen kimia (KOK) dan warna berturut-turut sebesar 45% dan 57.78% pada 50
dan 150 ppm tawas. Limbah padat agar-agar memiliki kadar serat kasar sebesar
69.68% yang menunjukkan tingginya kandungan karbon dalam sampel. Limbah
padat agar-agar dengan karbonisasi menghasilkan kapasitas dan efisiensi adsorpsi
sebesar 6.2394 mg/g dan 83.38% terhadap zat warna indigosol, serta dapat

menurunkan zat warna dan KOK sebesar 59.81% dan 22.19% terhadap limbah
industri batik. Limbah padat agar-agar tanpa karbonisasi menghasilkan kapasitas
dan efisiensi adsorpsi sebesar 3.0644 mg/g dan 40.87% terhadap zat warna
indigosol, serta dapat menurunkan zat warna dan KOK sebesar 52.78% dan
18.13% terhadap limbah industri batik.
Kata kunci: adsorpsi, indigosol, koagulasi-flokulasi, karbonisasi, limbah padat
agar-agar

ABSTRACT
NOLA AZALIA. Solid Waste of Agar-Based Adsorbent for Adsorbing Indygosol
Dyes and Batik Industry Waste Dyes. Supervised by ETI ROHAETI and
CHARLENA.
This study aimed to compare adsorption capacityof solid waste of agar and
its carbonization results for indygosol dyes and to compare coagulationflocculation using adsorpstion process to reduce batik industry waste dyes. The
waste after treatment by netralization and coagulation-flocculation using alum
reduced chemical oxygen demand (COD) and dyes percent by 45 % and 57.78 %
at 50 and 150 ppm alum. Solid waste of agar contained 69.68 % crude fiber which
indicates high carbon content in the sample. Solid waste of agar after
carbonization had adsorption capacity and efficiency of 6.2394 mg/g and 83.38%
for indigosol dyes, and could reduce dyes and COD in the batik industrial waste

decreased by 59.81% and 22.19%. Solid waste of agar without carbonization
resulted adsorption capacity and efficiency of 3.0644 mg/g and 40.87% for
indygosol dyes, and could reduced dyes and COD of the waste by 52.78% and
18.13%.
Keywords: adsorption, carbonization, coagulation-flocculation, indigosol, solid
waste of agar

ADSORBEN BERBASIS LIMBAH PADAT AGAR-AGAR
SEBAGAI PENJERAP ZAT WARNA INDIGOSOL DAN
ZAT WARNA LIMBAH INDUSTRI BATIK

NOLA AZALIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi: Adsorben Berbasis Limbah Padat Agar-Agar sebagai Penjerap Zat
Warna Indigosol dan Zat Warna Limbah Industri Batik
Nama
: Nola Azalia
NIM
: G44090072

Disetujui oleh

Dr Eti Rohaeti, MS
Pembimbing I

Dr Charlena, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal lulus:

ludul Skripsi: Adsorben Berbasis Limbah Padat Agar-Agar sebagai Penjerap Zat
Warna Indigosol dan Zat Warna Limbah Industri Batik
Nama
: Nola Azalia
: 044090072
NIM

Disetujui oleh

Dr Eti Rohaeti, MS
Pembimbing I

Dr Charlena, MSi

Pembimbing II

ita MS

Tanggallulus:

0 3 JAN 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah
ini dengan judul Adsorben Berbasis Limbah Padat Agar-Agar sebagai Penjerap
Zat Warna Indigosol dan Zat Warna Limbah Industri Batik..
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Eti Rohaeti, MS dan Dr Charlena,
MSi selaku pembimbing atas arahan, saran, dan kritikan selama penelitian. Terima
kasih penulis ucapkan juga kepada Bapak Eman, Ibu Nunung, Bapak Dede, dan
Bapak Kosasih yang telah membantu dalam teknis selama penelitian di
Laboratorium Analitik, serta teman-teman Kimia 46 dan Kamila yang selalu
memberikan dorongan dan doa selama melaksanakan penelitian. Terima kasih
tidak lupa penulis haturkan kepada keluarga (Bapak Sartono, Alm Ibu Kholilah,

dan De Shahnaz) atas doanya.
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.Terima kasih

Bogor, Januari 2014
Nola Azalia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE

vii
vii
vii
1
3


Bahan dan Alat

3

Pencirian Limbah Padat Agar

3

Preparasi Adsorben

4

Pencirian LPAK Teraktivasi

4

Adsorpsi Zat Warna Indigosol

5


Pencirian Limbah Industri Batik

6

Pengolahan Limbah Industri Batik

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Karakteritik Limbah Padat Agar

7

Karakteristik Limbah Padat Agar Karbonisasi (LPAK)

8


Adsorpsi Zat Warna Indigosol dengan Kondisi Optimum

9

Isoterm Adsorpsi

11

Karakteristik Limbah Industri Batik

12

Pengolahan Limbah Industri Batik

12

Aplikasi Adsorben pada Limbah Industri Batik

14


SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Karakteristik limbah padat agar
Karakteristik limbah padat agar karbonisasi
Karakteristik limbah industri batik
Pengaruh proses koagulasi terhadap nilai pH, warna, dan KOK
Kualitas limbah batik sebelum dan setelah penjerapan

7
8
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Limbah padat agar
Struktur zat warna indigosol (Suparno 2010)
Adsorpsi indigosol 50 ppm oleh LPAK (a) dan LPATK (b)
Adsorpsi indigosol 100 ppm oleh LPAK (a) dan LPATK (b)
Adsorpsi indigosol 150 ppm oleh LPAK (a) dan LPATK (b)
Warna indigosol sebelum (a) dan setelah adsorpsi pada kondisi optimum
LPAK (b) dan LPATK (c)
7 Isoterm adsorpsi Langmuir (a) dan Freundlich (b) adsorben LPAK
8 Isoterm adsorpsi Langmuir (a) dan Freundlich (b) adsorben LPATK
9 Limbah batik sebelum (a) dan setelah perlakuan koagulasi (b)
10 Warna limbah batik setelah (kiri) dan sebelum (kanan) adsorpsi oleh
LPAK

1
2
10
10
10
11
11
12
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Diagram alir penelitian
Diagram alir preparasi adsorben dan pengujiannya
Diagram alir pengolahan limbah industri batik
Karakteristik limbah padat agar
Karakteristik limbah padat agar karbonisasi
Spektra serapan indigosol (λ = 608 nm) indigosol
Kurva standar zat warna indigosol
Kondisi optimum adsorpsi indigosol oleh limbah padat agar dengan
karbonisasi
9 Kondisi optimum adsorpsi indigosol oleh limbah padat agar tanpa
karbonisasi
10 Isoterm adsorpsi indigosol adsorben LPAK
11 Isoterm adsorpsi indigosol adsorben LPATK

18
19
20
21
21
22
23
24
25
26
26

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya alam perairan yang besar, salah satunya
ialah rumput laut.Rumput laut telah dimanfaatkan sejak lama oleh masyarakat
sebagai bahan pangan, pakan, ataupun obat-obatan. Salah satu jenis rumput laut
yang terdapat di Indonesia ialah Gracillaria sp. Rumput laut jenis agarophyte ini
dapat menghasilkan hidrokoloid yang disebut agar.Agar merupakan polisakarida
rantai panjang yang disusun oleh ulangan dari pasangan 2 unit molekul agarosa
dan agaropektin (Anggadireja et al. 2011). Produksi rumput laut secara nasional
pada tahun 2011 mencapai 95.200 ton, dan tahun 2012 terus meningkat hingga
mencapai 157.600 ton (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).
Kebutuhan agar yang terus bertambah mengakibatkan produksi agar pun
meningkat, demikian pula limbah agar yang dihasilkan. Limbah agar yang
dihasilkan mencapai 65−70% dari total bahan baku (Kim et al. 2007). Jika semua
rumput laut Gracillaria sp. dimanfaatkan menjadi agar, maka tahun 2011 total
limbah padat agar yang dihasilkan sekitar mencapai lebih dari 60 ribu ton.
Penumpukan limbah akan menjadi masalah kebutuhan dan sarana penimbunan
yang memadai. Limbah padat agar (Gambar 1) memiliki kandungan karbon
organik yang tinggi. Karbon tersebut berasal dari selulosa atau hemiselulosa juga
karbohidrat sebagai hasil fotosintesis rumput laut. Kandungan selulosa dalam
limbah padat agar sangat tinggi, yaitu berkisar 27.38−39.45% (Fithriani 2007),
59.69% (Triwisari 2010), dan 38.05% (Faujiah 2012). Selulosa merupakan bahan
alam yang dapat diperbarui dan dapat digunakan secara luas dalam berbagai
aplikasi. Daya adsorpsinya tinggi, serta memiliki kelebihan berupa kuat tarik yang
tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut (Fithriani 2007). Selain itu,
limbah padat agar juga mengandung gugus fungsi asam uronat dan piruvat yang
berasal dari hemiselulosa (Vilar 2008). Kedua hal ini menyebabkan limbah padat
agar berpotensi dijadikan sebagai adsorben.

Gambar 1 Limbah padat agar
Limbah dari industri batik umumnya berasal dari proses pewarnaan yang
banyak memakai zat kimia dan kandungan unsur logam berat sebagai bahan
pewarna sintetis. Dalam kegiatan membatik, zat warna sintetik yang banyak
digunakan salah satunya zat warna indigosol (Gambar 2). Senyawa indigo tidak
larut dalam air dan menjadi larut setelah tereduksi menjadi leuko-indigo. Leukoindigo setelah terserap ke dalam serat kain akan dengan cepat teroksidasi kembali
oleh oksigen dalam udara dan menjadi tidak larut. Hal inilah yang menyebabkan
zat warna indigo tidak mudah pudar, berwarna merata dan cerah, serta banyak
digunakan untuk mewarnai batik tulis kualitas prima (sutra dan primissima)
(Suparno 2010; Musyawaroh 2010). Zat warna sintetik ini memiliki struktur
molekul dua cincin benzena dan sangat stabil, sehingga keberadaannya dalam

2
lingkungan perairan tidak mudah diuraikan secara biologis (Suparno 2010).
Berdasarkan kementerian lingkungan hidup (KLH) Kep-51/MENLH/10/1995,
batas ambang maksimum zat warna pada lingkungan perairan sebesar 50 Pt-Co.

Gambar 2Struktur zat warna indigosol (Suparno 2010)
Nilai kebutuhan oksigen kimia (KOK) atau chemical oxygen demand (COD)
dan zat warna pada limbah industri batik biasanya diluar baku mutu yang
ditentukan oleh pemerintah. Aliran limbah industri batik akan melalui perairan di
sekitar pemukiman, sehingga menurunkan mutu lingkungan tempat tinggal
penduduk, antara lain dapat menaikkan kadar KOK. Jika hal ini melampaui
ambang batas yang diperbolehkan, maka gejala yang paling mudah diamati
adalahmatinya organisme perairan (Al-kdasi 2004). Oleh karena itu, limbah
industri batik perlu diolah lebih lanjut agar aman bagi lingkungan.
Teknologi pengolahan limbah cair zat pewarna meliputi netralisasi,
koagulasi-flokulasi, dan adsorpsi (Babu 2007). Adsorpsi merupakan suatu gejala
permukaan berupa partikel-partikel halus oleh bahan adsorben. Pada proses ini
nilai KOK dan warna yang ada dalam air limbah industri batik juga akan ikut
terjerap (Nugroho dan Ikbal 2005).
Adsorben yang paling efisien dan digunakan secara luas dalam menangani
logam berat dan zat warna dari limbah industri batik adalah karbon aktif.Karbon
aktif adalah karbon amorf yang memiliki porositas internal tinggi dan
mengandung gugus fungsi pada permukaanny sehingga merupakan adsorben yang
baik. Konsumsi karbon aktif di dunia mencapai 300.000 ton/tahun (Hadi
2011).Karbon aktif terbukti efektif dalam menghilangkan logam berat dan zat
warna, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Salah satu upaya untuk
mendapatkan karbon aktif yang relatif murah ialah dengan memanfaatkan limbah,
salah satunya adalah limbah padat agar dari rumput laut Gracillaria sp. Karbon
aktif dari limbah padat agar memiliki efisiensi adsorpsi logam Ag sebesar 100%,
Pb 57.35%, dan Cu 86.30% pada limbah industri tekstil dan dapat menurunkan
nilai kebutuhan oksigen biologi (KOB) sebesar 90% dan KOK 48.15% (Faujiah
2012). Menurut Vilar (2008), kapasitas adsorpsi limbah agar pada Cu 250 ppm
sebesar 16.7 mg g⁻1. Penelitian ini bertujuan membandingkan kemampuan
adsorpsi limbah padat agar dan hasil karbonisasinya terhadap zat warna indigosol
serta membandingkan proses koagulasi-flokulasi dan adsorpsi untuk menurunkan
zat warna limbah industri batik.

3

METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah limbah padat agar dari PT Agarindo Bogatama,
serbuk indigosol, H2SO4 pekat, NaOH 37.5%, H3PO4 30%, I2 0.1 N, Na2SO3 0.1
N, kanji 1%, akuades, tawas (Al2(SO4)3∙18H2O), dan limbah industri batik di
daerah Neglasari, Bogor.
Alat yang digunakan yaitu spektrofotometer DR 2500 Hach dan
spektrofotometer ultraviolet-tampak JASCO, pH-meter, konduktometer HORIBA,
neraca analitik, shaker, penyaring vakum, oven, tanur, desikator, hot plate, dan
alat-alat kaca.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia,
Fakultas MIPA dan Laboratorium Hasil Pengujian, Departemen Teknologi
Industri Pertanian, IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 hingga
Agustus 2013. Diagram alir metodologi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pencirian Limbah Padat Agar
Penetapan Kadar Air. Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C
selama 30 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Serbuk sampel
sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105 °C
selama 5 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai
diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan bobot kering contoh,
ditetapkan sebanyak 6 kali ulangan (AOAC Metode 930.15 2005).
Penetapan Kadar Abu. Cawan porselen dikeringkan dalam tanur untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g serbuk sampel dimasukkan ke dalam
cawan dan dipanaskan dengan nyala Bunsen sampai tidak berasap lagi. Kemudian
cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 600 °C selama 2
jam sampai diperoleh abu, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (AOAC
Metode 942.05 2005).
Kadar Serat Kasar. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan dalam labu
erlenmeyer 500 mL, ditambahkan 50 mL H2SO4 1.25%, dan direfluks selama 30
menit. Selanjutnya ditambahkan 50 mL NaOH 3.25% dan pemanasan dilanjutkan
kembali selama 30 menit. Campuran disaring dengan kertas saring Whatman 41
yang telah diketahui bobotnya. Wadah dicuci dengan air panas yang mengandung
H2SO4 1.25%. Endapan yang diperoleh dicuci dengan etanol 96%, kemudian
dikeringkan dalam oven 105 °C. Setelah itu, didinginkan dan ditimbang sampai
diperoleh bobot tetap (SNI 01-2891-1992).
Kadar serat kasar =

bobot serat

× 100%

bobot sampel

4
Preparasi Adsorben
Limbah padat agar berukuran 100 mesh dikeringkan pada suhu 110 °C
selama 6 jam untuk menurunkan kadar air dan kelembapan sampel. Proses
karbonisasi dilakukan dengan cara memanaskan sampel kering dalam kiln drum
pada suhu 500 °C hingga mengarang. Pengarangan dianggap selesai apabila asap
yang keluar dari cerobong menipis dan berwarna kebiru-biruan (Widhiati 2012).
Tahap selanjutnya ialah pengaktifan limbah padat agar karbonisasi (LPAK)
dengan cara 10 gram sampel ditambahkan 250 mL H3PO4 30%, diaduk dengan
pengaduk magnet selama 6 jam, kemudian disaring dengan vakum. Karbon aktif
dicuci dengan air suling hingga bebas asam, lalu dikeringkan pada suhu 105 °C
hingga kering dan disimpan dalam desikator (Kurniawan 2011).
Limbah padat agar tanpa karbonisasi (LPATK) yang telah berukuran 100
mesh dikeringkan pada suhu 110 °C selama 6 jam. Tahap selanjutnya ialah
aktivasi asam (H3PO4 30%), caranya sama seperti pada aktivasi LPAK
(Kurniawan 2011).

Pencirian LPAK Teraktivasi
Pencirian karbon aktif meliputi perhitungan rendemen, kadar air, kadar abu,
kadar zat mudah menguap, kadar karbon aktif murni, serta daya jerap terhadap
larutan iodin. Prosedur analisis kadar air dan kadar abu (AOAC 2005) sama
seperti pada limbah padat agar.
Rendemen karbon aktif merupakan bobot karbon aktif yang dihasilkan
dibagi dengan bobot bahan baku. Perhitungan rendemen karbon aktif
menggunakan persamaan (SNI 1995)
Rendemen (%) =

obot karbon akti
obot bahan baku

× 100%

Kadar zat mudah menguap ditetapkan dengan cara sebagai berikut: Sampel
sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot
keringnya. Sampel kemudian dipanaskan dalam tanur 950 °C selama 10 menit.
Cawan ditutup selama di tanur. Perhitungan kadar zat mudah menguap
menggunakan persamaan (SNI 1995)
Kadar zat mudah menguap (%) =

obot akhir sampel
obot a al sampel

× 100%

Kadar karbon terikat ditentukan berdasarkan metode SNI (1995). Karbon
dalam arang adalah zat yang terdapat pada fraksi padat hasil pirolisis, selain abu
(zat anorganik) dan zat atsiri yang masih terdapat pada pori-pori arang.
Perhitungan kadar karbon terikat menggunakan persamaan
Kadar karbon terikat (%) = 100% − (kadar zat mudah menguap + kadar abu)

5
Daya jerap iodin ditentukan dengan cara sampel yang telah dikeringkan
pada suhu 105 °C selama 1 jam ditimbang sebanyak ±0.25 g kemudian
ditambahkan 25 mL larutan iodin 0.1 N. Setelah itu, erlenmeyer segera ditutup
dan dikocok selama 15 menit. Suspensi selanjutnya disaring, filtratnya dipipet
sebanyak 10 mL ke dalam erlenmeyer dan lansung dititrasi dengan larutan Natiosulfat 0.1 N sampai warna kuning muda. Setelah ditambahkan beberapa tetes
amilum 1%, titrasi dilanjutkan sampai warna biru tepat hilang. Analisis ini
dilakukan 2 ulangan. Daya jerap iodin dihitung dengan persamaan berikut (SNI
1995):

Qi

{10-

} 12.693 2.5

Keterangan:
Qi = daya jerap iodin (mg/g)
A = bobot sampel awal (gram)
B = volume larutan Na-tiosulfat (mL)
C = normalitas Na-tiosulfat (N)
D = normalitas iodin (N)
12.693 = jumlah iodin yang sesuai dengan 1 mL larutan Na2S2O3 0.1 N

Adsorpsi Zat Warna Indigosol
Tahap adsorpsi zat warna indigosol meliputi pembuatan larutan induk
indigosol, penentuan panjang gelombang maksimum dan penentuan kurva standar
indigosol, penentuan kondisi adsorpsi optimum LPAK dan LPATK, serta
penentuan isoterm adsorpsi, yang dapat dilihat dalam bagan alir pada Lampiran 2.
Larutan induk indigosol dibuat dengan konsentrasi stok 1000 ppm. Panjang
gelombang (λ) maksimum ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis dengan mengukur besar absorbans larutan pada berbagai λ dari 400
hingga 700 nm. Puncak kurva menunjukkan λmaks. Larutan induk kemudian
diencerkan ke konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 ppm dan setiap larutan
standar tersebut diukur pada λmaks yaitu 608 nm.
Kondisi optimum adsorben LPAK dan LPATK ditentukan menurut metode
modifikasi Raghuvansi (2004). Adsorben dengan varian bobot 1, 2, dan 3 g
dimasukkan ke dalam 50 mL larutan indigosol dengan konsentrasi 50, 100, dan
150 ppm, kemudian larutan dikocok dengan varian waktu 60, 90, dan 120 menit.
Campuran selanjutnya disaring dan diukur absorbansnya.Kondisi yang digunakan
sebagai faktor adalah waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi zat warna
sedangkan responsnya ialah kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (E).
Kapasitas dan efisiensi adsorpsi dapat dihitung dengan persamaan
Q(mg/g ) =

-

,

E (%) =

-

Keterangan:
Q = kapasitas adsorpsi per bobot adsorben (mg/g adsorben)
V = volume larutan (mL)

× 100%

6
Co = konsentrasi awal larutan (ppm)
Ca = konsentrasi akhir larutan (ppm)
m = bobot adsorben (g)
Isoterm adsorpsi ditentukan mengikuti model isoterm Langmuir dan
Freundlich. Adsorben ditimbang sebanyak bobot optimum, kemudian
ditambahkan 50 mL larutan zat warna pada konsentrasi 50, 70, 100, 130, dan 150
mg/L dan dikocok selama waktu optimum. Setelah itu, campuran disaring dan
filtrat diukur absorbansnya menggunakan spektrofotometer.

Pencirian Limbah Industri Batik
Pencirian limbah industri batik meliputi pengukuran konsentrasi warna, pH,
daya hantar listrik (DHL), total padatan tersuspensi (TPT), dan kebutuhan oksigen
kimia (KOK). Konsentrasi warna ditentukan berdasarkan metode APHA 2120 C
(2005) menggunakan alat spektrofotometer DR 2500 Hach. DHL ditentukan
berdasarkan metode SNI 06-6989.1 (BSN 2004a) menggunakan alat
konduktometer.
Total padatan tersuspensi ditentukan berdasarkan metode SNI 06-6989.3
(2004b). Sampel limbah cair batiksebanyak 20 mL diaduk sampai homogen dan
disaring dengan vakum menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobot
konstannya. Endapan pada kertas saring dikeringkan pada suhu 103±2 °C selama
1 jam lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot konstan.
TPT (mg/L) =

bobot residu pada kertas sarin

m

olume sampel limbahbatik

Kebutuhan oksigen kimia (KOK) ditentukan berdasarkan metode APHA
5220 C (2005) menggunakan metode dikromat refluks-tertutup. Sebanyak 2.5 mL
limbah dimasukkan ke dalam botol reaksi, lalu ditambahkan 1.5 mL larutan
pelumat serta 3.5 mL campuran Ag2SO4 dan H2SO4. Campuran dipanaskan pada
suhu 150 °C selama 2 jam kemudian didinginkan dan diukur absorbansnya pada
panjang gelombang 600 nm. Konversi nilai absorbans menjadi nilai KOK didapat
melalui persamaan regresi kurva standar. Nilai KOK dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
KOK (mg/L) =

absorbans - intersep
kemirin an

Pengolahan Limbah Industri Batik
Bagan alir pengolahan limbah batik dapat dilihat pada Lampiran 3 meliputi
sedimentasi dan penyaringan, netralisasi, koagulasi-flokulasi, dan adsorpsi.
Sedimentasi dilakukan pada limbah batik sebanyak 1 L, dilakukan selama 1 hari.
Fitrat disaring menggunakan kain blacu selanjutnya dinetralisasi menurut metode
Nugroho dan Ikbal (2005). Filtrat yang telah diketahui pH awalnya ditambahkan

7
bahan penetral: jika terlalu asam, ditambahkan NaOH 13%, sebaliknya jika terlalu
basa, ditambahkan H2SO4 13%.
Proses koagulasi dan flokulasi pada filtrat setelah penyaringan dan
netralisasi ditentukan menurut metode modifikasi Amir dan James (2009). Filtrat
dengan pH 7−8 sebanyak 150 m pada elas piala 250 m ditambahkan koa ulan
(tawas) dengan konsentrasi 50, 100, dan 150 ppm. Campuran diaduk dengan alat
pengaduk bermagnet dengan kecepatan 100 rpm selama 10 menit untuk koagulasi,
dilanjutkan kecepatan 60 rpm selama 30 menit untuk flokulasi. Setelah itu,
campuran disaring dan filtrate diukur kembali pH, kadar KOK, dan penurunan
warnanya.
Adsorben (LPAK dan LPATK) diuji cobakan pada limbah industri batik
untuk mengadsorpsi KOK dan zat warnanya. Adsorben ditimbang sebanyak bobot
optimum kemudian ditambahkan filtrat limbah sebanyak 50 mL dan dikocok
selama waktu optimum. Setelah itu filtrat disaring dan kemudian diukur
penurunan KOK dan zat warnanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteritik Limbah Padat Agar
Limbah padat agar dapat dimanfaatkan menjadi karbon aktif untuk
mengadsorpsi zat warna indigosol dan zat warna limbah industri batik. Pencirian
terhadap limbah padat agar sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif, meliputi
kadar air, kadar abu, dan kadar serat kasar. Hasil pencirian ditunjukkan di Tabel 1
dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 1 Karakteristik limbah padat agar
Parameter
Kadar air
Kadar abu
Kadar serat kasar

Hasil (%)
15.33
37.95
69.68

Kadar air ini perlu diketahui karena menentukan waktu penyimpanan suatu
sampel. Jika kadar air ≥10%, maka bakteri mudah tumbuh (Hadi 2011). Kadar air
yang diperoleh sebesar 15.33%. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan
penelitian Faujiah (2012) yang melaporkan kadar air limbah padat agar sebesar
16.22%. Kadar air dipengaruhi oleh tingkat kekeringan dan jenis rumput laut pada
limbah yang digunakan (Faujiah 2012).
Kadar abu menunjukkan total mineral yang terkandung dalam suatu bahan.
Kadar abu sampel diperoleh sebesar 37.95%, sedangkan pada penelitian Faujiah
(2012) sebesar 42.15%.Kadar abu yang diperoleh keduanya cukup tinggi. Hal ini
disebabkan limbah berasal dari konsentrat bahan-bahan anorganik sisa hasil
produksi agar. Hasil penelitian Afif (2010) menunjukkan bahwa limbah padat agar
mengandung unsur-unsur mineral diantaranya Na 0.04%, Mn 2.24%, Ca 0.5%,

8
Mg 0.08%, K 0.03%, Fe 6.7×10-4%, P 31.6×10-4%, Zn 7.8×10-3%,, dan Cu
0.025%.
Serat merupakan komponen penyusun dinding sel pada tumbuhan yang
meliputi selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Kadar serat kasar diperoleh sebesar
69.68%. Hasil ini lebih tinggi dari pada hasil penelitian Faujiah (2012) dan
Triwisari (2010), yaitu berturut-turut sebesar 38.05% dan 59.69%. Kadar serat
yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kandungan karbon di dalam bahan
tersebut juga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa limbah padat agar berpotensi
sebagai bahan baku karbon aktif.

Karakteristik Limbah Padat Agar Karbonisasi (LPAK)
Pembuatan karbon aktif meliputi dua tahapan, yaitu karbonisasi pada suhu
500 °C dan aktivasi. Proses aktivasi akan menurunkan bobot bahan karena
hilangnya asam-asam organik dan hidrokarbon yang awalnya terdapat pada
permukaan karbon. Selain itu, pori pada permukaan karbon akan menjadi lebih
besar setelah proses aktivasi (Khah dan Ansari 2009). Karakteristik karbon aktif
penelitian ditunjukan pada Tabel 2 dan perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Tabel 2 Karakteristik limbah padat agar karbonisasi
Parameter (satuan)
Rendemen (%)
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar zat mudah menguap (%)
Kadar karbon terikat (%)
Daya jerap iodin (mg/g)

Hasil
85.28
3.47
51.95
3.94
44.11
209.8099

Baku mutu serbuk *)
Maks. 15
Maks. 10
Maks. 25
Min. 65
Min. 750

Sumber: *) Baku mutu: Standar Nasional Indonesia (SNI) Arang Aktif Teknis
06-3730-1995
Rendemen karbon aktif menunjukkan persentase bobot karbon aktif yang
dihasilkandari bahan baku awal. Hasil rendemen karbon aktif dipengaruhi oleh
waktu dan suhu aktivasi, serta adanya penambahan larutan aktivator. Rendemen
yang dihasilkan cukup tinggi sebesar 85.28%. Hal ini disebabkan rendahnya suhu,
waktu, dan konsentrasi aktivator selama proses aktivasi, sehingga jumlah unsur
karbon yang bereaksi dengan uap air panas hanya sedikit (Pari 2008).
Penetapan kadar air bertujuan menentukan sifat higroskopis permukaan
karbon aktif. Kadar air yang dihasilkan sebesar 3.47% dan telah memenuhi
SNI(Tabel 2). Rendahnya kadar air tersebut disebabkan adanya penambahan
larutan aktivator H3PO4 yang membuat permukaan karbon aktif mengandung
banyak gugus fungsi yang bersifat polar sehingga interaksi antara uap air yang
bersifat polar juga banyak (Pari 2008).
Zat mudah menguap dan abu dapat diartikan sebagai pengotor dan dapat
menutup pori pada permukaan karbon aktif. Kadar zat mudah menguap
menunjukkan kesempurnaan penguraian senyawa non karbon seperti N2, CO2, CO,

9
CH4 dan H2 pada saat karbonisasi dan aktivasi, sedangkan kadar abu menyatakan
penetapan senyawa oksida logam (Darmawan 2009). Kadar zat mudah menguap
dan kadar abu yang dihasilkan sebesar 3.94% dan 51.95%, sedangkan kadar zat
mudah mengup dan kadar abu pada penelitian Faujiah (2012) berturut-turut
sebesar 5.99% dan 66.62%. Kadar abu yang diperoleh keduanya cukup tinggi dan
belum memenuhi syarat SNI (1995). Besarnya kadar abu dapat mengurangi daya
adsorpsi karbon aktif, karena pori karbon masih tertutup oleh mineral seperti K,
Na, Ca, dan Mg yang menempel pada permukaan karbon (Pari 2008)
Penentuan kadar karbon terikat bertujuan menentukan kandungan karbon
setelah proses karbonisasi dan aktivasi. Secara langsung nilai ini dipengaruhi oleh
kadar zat mudah menguap dan abu. Kadar karbon terikat diperoleh sebesar
44.11%. Hasil ini lebih besar dari pada penelitian Faujiah (2012) sebesar 27.4%.
Rendahnya kadar karbon terikat menujukkan pori karbon aktif masih memiliki
pengotor, sehingga keadaan ini dapat mengurangi daya jerap karbon aktif sebagai
adsorben.
Daya jerap iodin menggambarkan kapasitas adsorpsi molekul kecil pada
fase cair yang ukurannya tidak lebih dari 1.0 nm (Simsek & Creny 1970 dalam
Darmawan 2009). Daya jerap iodin yang dihasilkan sebesar 209.8099 mg/g dan
belum memenuhi syarat SNI sebesar 750 mg/g. Namun hasil ini lebih besar
dibandingkan hasil Faujiah (2012) sebesar 143.67 mg/g. Daya jerap iodin yang
dihasilkan keduanya cukup kecil yang menunjukkan bahwa karbon aktif ini
kurang mampu menjerap molekul yang berukuran kecil. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan kapasitas adsorpsi iodin perlu dilakukan optimasi suhu dan waktu
aktivasi suatu karbon.

Adsorpsi Zat Warna Indigosol dengan Kondisi Optimum
Kondisi optimum penjerapan indigosol diawali dari pemilihan panjang
gelombang serapan maksimum indigosol yaitu diperoleh sebesar 608 nm
(Lampiran 7). Penentuan kurva standar (Lampiran 8) bertujuan menentukan hasil
pengukuran absorbans hasil penjerapan indigosol melalui proses adsorpsi oleh
LPAK dan LPATK, sehingga persentase hilangnya warna indigosol dapat
ditentukan.
Adsorpsi zat warna indigosol dilakukan dengan membuat variasi bobot dan
waktu kontak LPAK dan LPATK, yang bertujuan menentukan bobot dan waktu
kontak optimum yang akan digunakan pada proses adsorpsi. Variasi bobot yang
dipilih adalah 1, 2, dan 3 gram, sedangkan variasi waktu kontak pada 60, 90, dan
120 menit. Gambar 3, 4, dan 5 merupakan kurva hubungan variasi bobot dan
waktu kontak adsorben dengan kapasitas adsorpsi pada berbagai konsentrasi zat
warna indigosol. Gambar 5amenunjukkan kapasitas adsorpsi yang lebih besar
pada adsorben LPAK terhadap indigosol 150 ppm, dengan bobot 1 gram pada
waktu kontak 60 menit. Kapasitas dan efisiensi adsorpsi yang dihasilkan sebesar
6.2394 mg/g dan 83.38%. Kapasitas adsorpsi ini menunjukkan bahwa sebanyak
6.2394 mg/g adsorbat yang terjerap dalam 1 gram adsorben.
Kapasitas adsorpsi terbesar pada LPATK diperoleh sebesar 3.0644 mg/g
dengan efisiensi adsorpsi 40.87%. Kondisi optimum yang dimiliki pada bobot
adsorben 1 gram dengan waktu kontak 90 menit terhadap indigosol 150 ppm

10
(Gambar 5b). Data perhitungan kondisi optimum LPAK dan LPATKdapat dilihat
pada Lampiran 8dan Lampiran 9. Kapasitas dan efisiensi adsorpsi LPATK yang
diperoleh lebih rendah dibandingkan LPAK. Hal tersebut disebabkan LPAK
adalah suatu karbon aktif yang memiliki porositas tinggi dan mengandung gugus
fungsi pada permukaanya sehingga mampu mengadsorpsi larutan lebih besar
(Khah dan Ansari 2009). Sedangkan kemampuan LPATK dalam mengadsorpsi
indigosol karena adanya perlakuan aktivasi asam sehingga mampu menghilangkan
senyawa-senyawa selain polisakarida yang larut dalam asam (Faujiah 2012).
Perubahan warna larutan indigosol oleh LPAK dan LPATK dapat dilihat pada
Gambar 6.
2,50

0,80
Q (mg/g)

Q (mg/g)

2,00
1,50
1,00

0,60
0,40
0,20

0,50

0,00

0,00
1

2
Bobot (gram)

1

3

2
Bobot (gram)

3

(a)
(b)
Gambar 3 Adsorpsiindigosol 50 ppm oleh LPAK (a) dan LPATK (b)
2,50

5,00

2,00
Q (mg/g)

Q (mg/g)

4,00
3,00
2,00
1,00

1,50
1,00
0,50

0,00
1

2

3

0,00
1

Bobot (gram)

2
3
Bobot (gram)

7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00

Q (mg/g)

Q (mg/g)

(a)
(b)
Gambar 4 Adsorpsi indigosol 100 ppm oleh LPAK (a) dan LPATK (b)

1

2
Bobot (gram)

3

3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
1

2

3

Bobot (gram)

(a)
(b)
Gambar 5 Adsorpsi indigosol 150 ppm oleh LPAK (a) dan LPATK (b)
Keterangan:
60 menit,
90 menit,
120 menit

11

Gambar 6

(a)
(b)
(c)
Warna indigosol sebelum (a) dan setelah adsorpsi pada kondisi
optimum LPAK (b) dan LPATK (c)

Isoterm Adsorpsi

10
8
6
4
2
0

Log x/m (g/L)

c/(x/m)

Tipe isoterm adsorpsi digunakan untuk mengetahui mekanisme penjerapan
zat warna indigosol dengan adsorben LPAK dan LPATK. Isoterm adsorpsi
Langmuir dilakukan dengan cara membuat kurva hubungan c/(x/m) terhadap c,
sedangkan isoterm adsorpsi Freundlich dilakukan dengan membuat kurva
hubungan log (x/m) terhadap log c (Atkins 1999). Data perhitungan isoterm
adsorpsi dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11 untuk LPAK dan LPATK.
Adsorspi indigosol oleh adsorben LPAK menghasilkan kurva yang linear
(Gambar 7). Linearitas tertinggi dihasilkan pada kurva tipe isoterm Freundlich
yaitu sebesar 94.17%, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses adsorspi
indigosol oleh adsorben LPAK mengikuti tipe isoterm Freundlich. Isoterm
Freundlich hanya melibatkan gaya Van der Waals sehingga ikatan antara adsorbat
dengan adsorben bersifat lemah. Hal ini memungkinkan adsorbat bebas bergerak
hingga akhirnya berlangsung proses adsorpsi banyak lapisan (Atkins 1999).

y= 6.7376 - 5.6745x
R2= 0.0059
0

20

40

60

0,8

y= 1.0311x - 0.8596
R2= 0.9417

0,6
0,4
0,2
0
0

1

2

Log indigosol
[Indigosol] (ppm)
(a)
(b)
Gambar 7 Isoterm adsorpsi Langmuir (a) dan Freundlich (b) adsorben LPAK
Isoterm adsorpsi adsorben LPATK sama halnya dengan isoterm adsorpsi
adsorben LPAK, yaitu mengikuti tipe isoterm Freundlich (Gambar 8b). Hasil
linearitas yang diperoleh pada isoterm Freundlich lebih tinggi sebesar 87.16%
dibandingkan dengan linearitas pada isoterm Langmuir sebesar 4.44%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada adsorpsi indigosol oleh LPATK diperkirakan
membentuk banyak lapisan. Namun dalam penelitian ini isoterm adsorpsi LPAK
memberikan hasil yang lebih baik untuk mengadsorpsi zat warna indigosol karena
melalui perlakuan karbonisasi.

12
0,8

Log x/m (g/L)

c/(x/m)

15

y= 0.8731x - 0.7922
R2= 0.8716

0,6

10

0,4

y= 8.7567 + 0.0269x
R2= 0.0444

5

0,2

0
0

20

40

60

0
0

1

2

Log Indigosol
[Indigisol] (ppm)
(a)
(b)
Gambar 8 Isoterm adsorpsi Langmuir (a) dan Freundlich (b) adsorben LPATK

Karakteristik Limbah Industri Batik
Limbah industri batik umumnya bersifat basa, keruh, dan berkadar organik
tinggi. Limbah batik yang berasal dari proses pewarnaan maupun pelepasan lilin
dikumpulkan di dalam bak penampung. Sampel yang diambil dari bak penampung
ini merupakan keadaan sebelum dilakukan proses pengolahan. Karakteristik
limbah industri batik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik limbah industri batik
Parameter

Kadar

Satuan

Baku mutu*)

Warna*
13500
Pt-Co
50
pH
9.78
6-9
Daya hantar listrik
3.6
mmho/cm
0.05-1.5
Total padatan tersuspensi
3035
mg/L
50
Kebutuhan oksigen kimia
8000
mg/L
100
Sumber :*) Baku mutu: Kept. Kementerian Lingkungan Hidup No. 10/MENLH/1995
* Baku mutu: Kept. Gubernur Kepala DIY No. 281/KPTS/1998

Tabel 3 menunjukkan bahwa kualitas air limbah industri batik berpotensi
mencemari lingkungan perairan. Hal ini ditunjukkan dari besarnya konsentrasi
warna, pH, daya hantar listrik, total padatan tersuspensi, dan kebutuhan oksigen
kimiayang keseluruhannya berada di luar baku mutu yang ditetapakan oleh
pemerintah.Hal tersebut disebabkan limbah industri batik mengandung berbagai
macam zat, baik zat organik yang berasal dari proses menganji dan pelepasan lilin,
maupun zat anorganik yang bersal dari zat pewarna kimia dan zat penguat
(Indrayani 2004). Bila air limbah batik ini dialirkan melalui perairan di sekitar
pemukiman, maka hal tersebut dapat mengurangi keindahan perairan dan
menurunkan mutu lingkungan perairan tempat tinggal. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengolahan limbahagar limbah ini aman bagi lingkungan.

Pengolahan Limbah Industri Batik
Dalam kegiatan membatik bahan pewarnaan yang lebih banyak digunakan
adalah bahan pewarna dengan struktur molekul organik yang amat stabil yang

13
tidak dapat dihancurkan dengan proses biologis. Alternatif untuk menghilangkan
warna air limbah yang efisien dan efektif adalah dengan perlakuan secara fisik
dan kimia. Menurut Babu (2007), terdapat beberapa alternatif teknologi yang
dapat digunakan untuk mengolah limbah cair yang mengandung zat pewarna.
Teknologi tersebut meliputi netralisasi, koagulasi-flokulasi, dan adsorpsi.
Tabel 4 Pengaruh proses koagulasi terhadap nilai pH, warna, dan KOK
Tawas
(ppm)
50
100
150

pH

KOK (mg/L)

Awal

Akhir

Awal

Akhir

7.84
7.84
7.84

7.68
7.74
7.68

8000
8000
8000

4400
4700
5000

Penurunan
KOK (%)
45.00
41.25
37.50

Warna (Pt-Co)
Awal

Akhir

13500
13500
13500

6500
6800
5700

Penurunan
warna (%)
51.85
49.63
57.78

Limbah cair batik memiliki pH basa yaitu 9.78, sehingga perlu dinetralkan.
Proses netralisasi dengan H2SO4 13% diperoleh pH sebesar 7.84. Pada beberapa
jenis air limbah yang mengandung zat pewarna, dengan proses netralisasi warna
sudah dapat dikurangi. Selain itu, pH netral dibutuhkan dalam proses koagulasiflokulasi menggunakan tawas karena efektivitas kerja koagulan bergantung pada
pH netral dan dosis pemakaian terhadap air limbah (Gao 2005).
Limbah cair batik yang telah netral kemudian diberi perlakuan koagulasiflokulasi menggunakan koagulan tawas. Penambahan koagulan ke dalam limbah
menyebabkan padatan dan zat pewarna akan saling menempel dan membentuk
partikel dengan ukuran yang lebih besar (flok). Flok selanjutnya dipisahkan
melalui pengendapan dan penyaringan (Gao 2005). Nilai pH memiliki pengaruh
yang besar terhadap pengendapan padatan dan zat warna. Pengaturan pH
koagulasi diperlukan karena koagulan tawas dapat bekerja efektif pada pH 4.5-8,
karena Al(OH)3 relatif tidak larut dalam rentang pH tersebut (Amir dan James
2008). Reaksi kimia sederhana pada pembentukan flok Al(OH)3 adalah sebagai
berikut:
Al2(SO4)3 + 14H2O + 3Ca(HCO3)2

2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6CO2

Warna merupakan salah satu parameter pengujian dalam pengolahan limbah.
Secara visual, warna setelah perlakuan koagulasi-flokulasi berbeda dengan
kondisi limbah awal, yaitu intensitas warnanya lebih berkurang (Gambar 9).
Penurunan konsentrasi warna terbesar terdapat pada penambahan dosis tawas 150
ppm dengan persen penurunan 57.78%. Penurunan warna akan terus terjadi
sampai penurunan tersebut mencapai titik terendahnya, yang diindikasikan
sebagai kondisi optimum dari dosis tawas yang diberikan. Penurunan warna
terjadi akibat muatan positif berasal dari tawas yang diberikan ke dalam air
limbah sehingga partikel koloid yang bermuatan negatif dapat ternetralisasi
sehingga terbentuk flok yang dapat terendapkan (Amir dan James 2007).
Penentuan KOK dilakukan untuk menentukan tingkat pencemaran bahan
organik pada air limbah. Uji KOK dapat dilakukan lebih cepat dari pada uji
kebutuhan oksigen biologi (KOB), karena waktu yang diperlukan lebih cepat
hanya sekitar 2 jam. Dengan mengetahui kadar KOK yang proses oksidasinya
dilakukan oleh K2Cr2O7 maka akan ada hubungannya dengan oksigen terlarut

14
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi limbah yang terdapat dalam perairan
(Suparno 2010). Hasil menujukkan penurunan KOK terbesar yang dihasilkan pada
dosis tawas 50 ppm yaitu sebesar 45%. Penurunan KOK pada dosis tawas terkecil
dapat diindikasikan sebagai kondisi optimumnya, walaupun pada dosis tawas 50
ppm, kadar warna tidak dalam kondisi penyisihan secara optimum. Hal ini bisa
diakibatkan oleh kadar warna limbah batik yang begitu besar yang disebabkan
oleh senyawa organik yang terkandung didalamnya, sehingga dibutuhkan dosis
tawas yang lebih besar dari 50 dan 100 ppm.

(a)
(b)
Gambar 9 Limbah batik sebelum (a) dan setelah perlakuan koagulasi (b)

Aplikasi Adsorben pada Limbah Industri Batik
Adsorben LPAK dan LPATK memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi zat
warna, yang dilihat dari besarnya kapasitas adsorpsi terhadap indigosol.
Kemampuan adsorpsi tersebut dapat diterapkan langsung untuk mengadsorpsi zat
wana limbah industri batik sesuai pada kondisi optimum adsorben.
Tabel 5 Kualitas limbah batik sebelum dan setelah penjerapan
Adsorben
LPAK
LPATK

Warna (Pt-Co)
Awal

Akhir

Penurunan
(%)

13500
13500

5425
6375

59.81
52.78

KOK (mg/L)
Awal

Akhir

Penurunan
(%)

8000
8000

6225
6550

22.19
18.13

Penurunan warna dan KOK yang lebih besar dihasilkan oleh adsorben
LPAK dibanding LPATK, berturut-turut sebesar 59.81% dan 22.19%. Secara
visual, warna limbah setelah adsorpsimengalami perubahan yaitumenjadi lebih
cerah (Gambar 10). Tabel 5 menunjukkan bahwa pengolahan limbah industri batik
dengan kedua adsorben masih berada di luar baku mutu. Hal tersebut dapat
disebabkan kurangnya kemampuan adsorben,karena adsorben yang diberikan
pada percobaan kapasitasnya dilampaui, sehingga perlu jumlah adsorben yang
lebih banyak. Selan itu, solusi lain untuk hal tersebut adalah terlebih dahulu
melakukan tahap pengolahan primer (netralisasi) dan sekunder (koagulasiflokulasi) sebelum tersier (adsorpsi).
Berdasarkan percobaan dapat dikatakan bahwa penurunan zat warna terbaik
dihasilkan dengan adsorpsi oleh adsorben LPAK, sedangkan penurunan KOK
dengan koagulasi-flokulasi. Kemampuan adsorpsi LPAK dan LPATK terhadap
zat warna limbah batik masih cukup kecil (Tabel 5), jika dibandingkan dengan
karbon aktif dari batok kelapa oleh Jannatin (2010) dalam mengadsorpsi zat wana
dan KOK pada limbah batik berturut-turut bekisar 77−100% dan 7.5−83%.

15

Gambar 10 Warna limbah batik setelah (kiri) dan sebelum (kanan) adsorpsi oleh
LPAK

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Limbah padat agar karbonisasi dan tanpa karbonisasi teraktivasi H3PO4 30%,
dapat digunakan sebagai adsorben untuk menjerap zat warna indigosol dan zat
warna limbah industri batik. Adsorpsi zat warna indigosol oleh adsorben limbah
padat agar karbonisasi lebih besar dari pada limbah padat agar tanpa karbonisasi.
Pengolahan limbah industri batik menghasilkan penurunan kebutuhan oksigen
kimia terbesar melalui proses koagulasi-flokulasi menggunakan tawas, sedangkan
penurunan zat warna terbesar dengan proses adsorpsi menggunakan adsorben
limbah padat agar karbonisasi.
Saran
Melakukan optimasi suhu, waktu, dan peningkatan konsentrasi aktivator
selama aktivasi untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi karbon aktif. Pencirian
adsorben lebih lanjut menggunakan scanning electron microscpe (SEM). Perlu
dilakukan pengolahan limbah lebih baik, melalui tahap netralisasi, koagulasiflokulasi, selanjutnya adsorpsi agar limbah batik dapat sesuai dengan baku mutu.

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist Ed2nd. 2005. Official Method
of Analysis Methods. AOAC 930.15&942.15. Arlington: The Association of
Official Analytical Chemist, Inc.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Method for the
Examination of Water and Wastewater ADMI Weighed Ordinate
Spectrophotometric Methods. APHA 2120&5220C. Washington: American
Public Health Association.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989.1-2004. Air dan Air
Limbah-Cara Uji Daya Hantar Listrik. Serpong: BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989.3-2004. Air dan Air
Limbah-Cara Uji Total Padatan Terlarut. Serpong: BSN.

16
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. KKP pacu produksi rumput
laut di Pantura. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1995. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup KEP-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah
cair untuk industri tekstil. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI 01-2891-1992: Serat Kasar. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI-06-3730-1995: Arang Aktif Teknis.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional
Afif AK. 2011. Pemanfaatan limbah padat proses pengolahan agar PT Agarindo
Bogatama sebagai media tanam holtikultura [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Al-Kdasi A, Idris A, Saed K, Guan CT. 2004. Treatment of textile wastewater
byadvancedoxidation processes. Global Nest the Int. J.6:222-230.
Amir R, James NI. 2007. Penentuan dosis optimum alumunium sulfat dalam
pengolahan Air Sungai Cileueur Kota Ciamis dan pemanfaatan resirkulasi
lumpur dengan parameter pH, warna, kekeruhan, dan TSS. Infrastuktur dan
Lingkungan Binaan. 2:1-11.
Anggadireja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2011. Rumput Laut. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisik Jilid 1. Kartohadiprojo I, penerjemah; Rohhadyan
T, Hadiyana K, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physical
Chemistry.
Babu RB, Parande AK, Raghu S, Kumar PT. 2007. Cotton textile processing
waste generation and effluent treatment. Journal of Cotton Science. 11:141153
Darmawan S, Gustan P, Kurnia S. 2009. Optimasi suhu dan lama aktivasi dengan
asam phosfat dalam produksi arang aktif tempurung kemiri. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Hutan. 2(2):51-56.
Faujiah F. 2012. Pemanfaatan karbon aktif dari limbah padat industri agar-agar
sebagai adsorben logam berat dan bahan organik dari limbah industri tekstil
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Fithriani D, Rodiah N, Bakti BS. 2007. Ekstraksi selulosa dari limbah pembuatan
karaginan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
2(2):91-97.
Gao BY, Yue QY, Wang BJ, Wang SG. 2005. Characterization and coagulation of
a Polyalumunium Chloride (PAC) coagulant with high Al13 content. J
Environ Mgmt. 76:143-147.
Hadi R. 2011. Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa dengan
pembakaran sistem suplai udara terkendali.Buletin Teknologi Pertanian.
16(2):77-80.
Indrayani L. 2004. Pengelolaan limbah cair industri batik Di Daerah Istimewa
Yogyakarta [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jannatin DR, Mohammad R, Mahirul M. 2010. Uji efisiensi adsorpsi arang batok
kelapa untuk mereduksi warna dan kadar permanganat dari limbah industri
batik. Jurnal Purufikasi Teknik Lingkungan ITS. 1:1-17.

17
Kep. Gubernur Kepala Daerah Istmewa Yogyakarta (DIY) No. 281. 1998.
Perencanaan Teknik Pengelolaan Pencemaran Industri Skala Kecil Sentra
Batik DIY. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Perkembangan Industri
Kerajinan dan Batik.
Khah AM, Ansari R. 2009. Activated charcoal: preparation, characterization, and
application: a review article. J of Chemtech Research. 1(4):859-864.
Kim GS, Myung KS, Kim YJ, Oh KK, Kim JS, Ryu HJ, Kim KH. 2007. Methode
of Producing Biofuel Using Sea Algae. Seoul: World Intelectual Property
Organization.
Kurniawan T. 2011. Adsorben berbasis limbah padat tapioka [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Musyawaroh, Bambang T, Budi U. 2010. Merancang sistem pengolahan air
limbah produksi batik rumah tangga di Kawasan Konservasi Studi Kasus
Kelurahan Kauman Surakarta. Arsitektura. 8(1):17-26.
Nugroho R, Ikbal. 2005. Pengolahan air limbah berwarna industri tekstil dengan
proses AOPs. JAI. 1(2): 163-172.
Pari G, Hendra D, Ridwan AP. 2008. Peningkatan mutu arang aktif kayu Acacia
mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 24(1): 33-46.
Raghuvanshi SP, Sing R, Kaushik CP. 2004. Kinetics study of methylene blue dye
bioadsorption on baggase. App Ecol Env Res. 2: 35-43.
Simsek M, Cerny. 1970. Active Carbon: Manufacture Properties and Application.
Newyork: Elsevier
Suparno. 2010. Degradasi zat warna indigosol dengan metode oksidasi katalitik
menggunakan zeolit alam teraktivasi dan ozonasi [tesis]. Jakarta: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Triwisari DA. 2010. Fraksinasi polisakarida beberapa rumput laut [skripsi].
Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Vilar VJP, Cidalia MSB, Rui ARB. 2008. Copper removal by algae Gelidium,
agar extraxtion algal waste, and granulated algal waste: kinetics and
equlibrium. Bioresource Technoogy. 99:750-762.
Widhiati IAG, Suastuti Ni GAMDA, Nirmalasari MAY. 2012. Studi kinetika
adsorpsi larutan ion logam kromium (Cr) menggunakan arang batang pisang
(Musa paradisiaca). Jurnal Kimia. 6(1): 8-16.
Widyastuti A, Berlian S, Afghani J. 2013. Karbon aktif dari limbah cangkang
sawit sebagai adsorben gas dalam biogas hasil fermentasi anaerobik sampah
organik. JKK. 2(1):30-33.

18

LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Limbah padat agar

aktivasi
Limbah padat agar tanpa
karbonisasi (LPTAK)

Penentuan kondisi
optimum penjerapan
warna indigosol

Limbah industri batik

Karbonisasi dan
Aktivasi H3PO4 30%

Sedimentasi dan filtrasi

Limbah padat agar
karbonisasi (LPAK)

Filtrat

Penentuan kondisi
optimum penjerapan zat
warna indigosol

Netralisasi

Adsorpsi

Penentuan isoterm
adsorpsi pada zat warna
indigosol

Koagulasi dan flokulasi

19
Lampiran 2 Diagram alir preparasi adsorben dan pengujiannya

Limbah padat
agar-agar

Analisis kadar air,
abu, dan serat kasar

T= 110 °C, ukuran 100 mesh

Limbah padat agar tanpa karbonisasi (LPATK)

Limbah padat agar karbonisasi (LPAK)
Pirolisis (T= 500 °C)

Aktivasi asam
(H3PO4 30%)

Penentuan waktu, bobot, dan
konsentrasi awal optimum pada
larutan zat warna indigosol

Kondisi
optimum
LPATK

Aktivasi asam (H3PO4 30%)
Karakterisasi
karbon aktif

Karbon aktif

Penentuan waktu, bobot, dan
konsentrasi awal optimum pada
larutan zat warna indigosol

Kondisi
optimum
LPAK

-Kadar air
-Kadar abu
-Rendemen
-Kadar zat mudahmenguap
-Kadar karbon terikat
-Penentuan daya jerap iodin

Penentuan isoterm adsorpsipada
larutan zat warna indigosol

Aplikasi adsorben pada
limbah industri batik

20
Lampiran 3 Diagram alir pengolahan limbah industri batik

Pencirian limbah industri
batik

Limbah
industri batik

* pH
* DHL
* KOK
* TPT
* Warna

Sedimentasi dan
filtrasi

Filtrat

Adsorben pada
kondisi moptimum
Adsorpsi

Netralisasi
Penambahan
*NaOH 13%
*H2SO4 13%

Pengocokan toptimum
Filtrat

Pengukuranwarna dan
KOK

Koagulasi
v = 200 rpm
t = 10 menit

Koagulan: tawas
(50, 100, dan 150 ppm)

Flokulasi
v = 50 rpm
t = 30 menit
Filtrat

PengukuranpH, warna,
dan KOK

21
Lampiran 4 Karakteristik limbah padat agar
Paramater

Ulangan

Bobot wadah (g)

Bobot awal
sampel (g)

Bobot akhir
wadah dan isi (g)

Kadar
(%)

Kadar air

1
2
3
4
5
6
Rerata
1
2
3
Rerata

1.9642
1.9628
2.0111
1.9769
1.9683
1.9637

2.0009
2.0006
2.0016
2.0003
2.0008
2.0001

2.2724
2.2705
2.3322
2.2892
2.2671
2.2561

17.4071
22.6357
21.6961

2.0009
2.0004
2.0002

18.1917
23.3995
22.4251

15.40
15.38
16.04
15.61
14.93
14.62
15.33
39.21
38.18
36.45
37.95

1.9499

5.0138

5.4436

Kadar abu

Kadar serat
kasar

69.68

Lampiran 5 Karakteristik limbah padat agar karbonisasi
Parameter

Ulangan

Bobot
wadah (g)

Bobot awal
sampel (g)

Bobot akhir wadah
dan isi (g)

Kadar (%)

Kadar air

1
2
3
Rerata
1
2
3