Pemanfaatan biji alpukat untuk pembuatan arang aktif sebagai adsorben alternatif zat warna pada limbah cair batik

PEMANFAATAN BIJI ALPUKAT UNTUK PEMBUATAN
ARANG AKTIF SEBAGAI ADSORBEN ALTERNATIF ZAT
WARNA PADA LIMBAH CAIR BATIK

MEYLINDA PUTRI NUR FADILLAH

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Biji
Alpukat Untuk Pembuatan Arang Aktif Sebagai Adsorben Alternatif Zat Warna
Pada Limbah Cair Batik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Meylinda Putri Nur Fadillah
NIM G44090051

ABSTRAK
MEYLINDA PUTRI NUR FADILLAH. Pemanfaatan Biji Alpukat untuk
Pembuatan Arang Aktif sebagai Adsorben Alternatif Zat Warna pada Limbah
cair Batik. Dibimbing oleh HENNY PURWANINGSIH dan GUSTAN PARI.
Biji alpukat merupakan limbah hasil pertanian yang memiliki kandungan pati
sehingga berpotensi diolah menjadi arang aktif. Tujuan penelitian ini ialah
membuat arang aktif dari biji alpukat sebagai adsorben zat warna remazol pada
limbah batik. Kajian ini melibatkan 2 tipe aktivasi, yaitu aktivasi kimiawi dan
aktivasi fisis. Aktivasi kimiawi dilakukan dengan perendaman menggunakan KOH
30% dan H3PO4 30%, dan aktivasi fisis dengan kukus (steam) pada suhu 700 oC
selama 60 dan 90 menit. Adsorben yang digunakan untuk menyerap zat warna

dalam limbah batik adalah arang aktif yang memiliki total bilangan iodin tertinggi
(AB60). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif biji alpukat mampu
mengadsorpsi zat warna yang relatif rendah, terlihat dari penurunan konsentrasi
warna remazol sebesar 42% dalam limbah cair batik.
Kata kunci: adsorpsi, arang aktif, biji alpukat, limbah cair batik, remazol

ABSTRACT
MEYLINDA PUTRI NUR FADILLAH.The Utilization of Avocado Seeds as
Actived Carbon for Alternative Adsorbent Dyes on Batik Effluent. Supervised by
HENNY PURWANINGSIH dan GUSTAN PARI.
Avocado seeds are agricultural waste containing starch that is potential to be
used as raw materials for activated carbon. The purpose of this experiment is to
produce an activated carbon from avocado seeds and to be applied for adsorbing
remazol dyes on batik effluent. This study performed 2 types of activation, i.e.
chemical and physical activations. Chemical activation was performed by
submerging the charcoal in KOH 30% and H3PO4 30%, while physical activation
performed by steaming at 700 oC for 60 and 90 minutes. The activated carbon with
the highest iodine number (AB60) was used to adsorb dyes in batik effluent. The
result showed that activated carbon from avocado seeds have a relatively low ability
to adsorb dye, as evaluated from the lowering color concentration of remazol dye

by 42% in the batik effluent.
Keywords: active carbon,adsorption, avocado seeds, batik effluent, remazol

PEMANFAATAN BIJI ALPUKAT UNTUK PEMBUATAN
ARANG AKTIF SEBAGAI ADSORBEN ALTERNATIF ZAT
WARNA PADA LIMBAH CAIR BATIK

MEYLINDA PUTRI NUR FADILLAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikankarya
ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei
2014 ini, dengan judul Pemanfaatan Biji Alpukat Untuk Pembuatan Arang Aktif
Sebagai Adsorben Alternatif Zat Warna Pada Limbah Cair Batik di Laboratorium
Kimia Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Laboratorium
Kimia Fisik, dan Laboratorium Bersama Departemen Kimia, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Henny Purwaningsih, SSi, MSi
dan Prof (R) Dr Gustan Pari, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan
motivasi dan masukan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah
ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Laboratorium
Kimia Fisik dan Balai Kehutanan dan seluruh dosen staf di lingkungan Departemen
Kimia IPB atas bantuannya selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih
yang terdalam disampaikan kepada kedua orang tua atas segala doa, nasihat,
semangat, dan masukan kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang

diharapkan dapat tercapai. Amin.
Bogor, Januari 2015
Meylinda Putri Nur Fadillah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE
Bahan dan Alat
Pembuatan dan Aktivasi Arang
Pencirian Arang Aktif
Penentuan Rendemen
Penetapan Kadar Air
Penetapan Kadar Zat Terbang
Penetapan Kadar Karbon Terikat
Penetapan Daya Jerap Benzena
Penetapan Daya Jerap Iodin
Adsorpsi Zat Warna Remazol

Pencirian dan Pengolahan Limbah Industri Batik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivasi Arang
Hasil Pencirian Arang aktif
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Zat Terbang
Kadar Karbon Terikat
Daya Jerap Benzena
Daya Jerap Iodin
Adsorpsi Zat Warna Remazol
Isoterm Adsorpsi
Pencirian dan Pengolahan Limbah Industri Batik
Aplikasi Adsorben pada Limbah Cair Industri Batik
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP


vii
vii
vii
1
2
2
2
3
3
3
4
4
4
5
5
6
7
7
8
8

9
9
9
10
10
10
12
13
14
15
15
15
16
34

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik arang aktif
2 Hasil pencirian, pengolahan dan aplikasi adsorben terhadap limbah

8

13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Struktur zat warna remazol violet (Karmanto 2014)
Adsorpsi remazol 10 ppm oleh AB60
Adsorpsi remazol 20 ppm oleh AB60
Adsorpsi remazol 30 ppm oleh AB60
Isoterm adsorpsi Langmuir adsorben AB60
Isoterm adsorpsi Freundlich adsorben AB60
Limbah batik sebelum dan setelah perlakuan koagulasi
Warna limbah batik sebelum dan setelah adsorpsi oleh AB60


2
11
11
12
12
13
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian
2 Diagram alir preparasi adsorben dan pengujiannya
3 Diagram alir pengolahan limbah industri batik
4 Syarat mutu arang aktif (SNI 06-3730-95)
5 Rendemen Arang Aktif Biji Alpukat
6 Kadar Air Arang Aktif Biji Alpukat
7 Kadar Abu Arang Aktif Biji Alpukat
8 Kadar Zat Terbang Arang Aktif Biji Alpukat
9 Kadar Karbon Terikat Arang Aktif Biji Alpukat

10 Daya jerap Benzena Arang Aktif Biji Alpukat
11 Daya Jerap Iodin Arang Aktif Biji Alpukat
12 Spektra serapan remazol (λ = 598 nm)
13 Kurva standar zat warna remazol
14 Penentuan total bilangan iodin arang aktif biji alpukat
15 Kondisi optimum adsorpsi remazol oleh arang aktif jenis AB60
16 Isoterm adsorpsi remazol adsorben AB60

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

1

PENDAHULUAN
Buah alpukat banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya buah
alpukat yang dikonsumsi menyebabkan bertambahnya limbah biji alpukat yang
dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengurangi volume limbah pertanian tersebut dan meningkatkan nilai tambahnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah mengolahnya menjadi arang aktif yang
selanjutnya diaplikasikan sebagai adsorben. Menurut Alsuhendra et al. (2007), biji
alpukat memiliki kandungan air 12.67%, kadar abu 2.78%, kandungan mineral
0.54%, lebih tinggi dari biji buah lainnya. Selain itu, limbah biji alpukat juga
memiliki kadar pati yang cukup tinggi, yakni sekitar 23%, serta selulosa yang
jumlahnya relatif lebih sedikit daripada pati. Hal ini menyebabkan limbah biji
alpukat berpotensi dijadikan adsorben. Pada penelitian ini arang aktif yang digunakan
dibuat dari limbah biji alpukat, jenis alpukat mentega.
Adsorpsi merupakan peristiwa terakumulasinya partikel pada suatu
permukaan (Atkins 1999), dan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menghilangkan zat pencemar dari air limbah. Arang aktif merupakan adsorben yang
paling efisien dan digunakan secara luas dalam menangani logam berat dan zat warna
dari limbah industri tekstil. Arang aktif adalah karbon amorf dan porositas internal
yang tinggi dan memiliki gugus fungsi pada permukaannya, sehingga merupakan
adsorben yang baik. Arang aktif terbukti efektif dalam menghilangkan logam berat dan
zat warna, tetapi biaya yang dibutuhkan cukup besar. Salah satu upaya untuk
menurunkan biaya tersebut ialah dengan memanfaatkan limbah, salah satunya adalah
limbah biji alpukat.
Arang aktif adalah arang yang telah mengalami proses aktivasi untuk
meningkatkan luas permukaannya, dengan cara membuka pori-porinya agar daya
adsorpsinya meningkat (Darmawan 2007). Arang aktif terbuat dari bahan organik
yang dapat dikarbonisasi, misalnya kayu, batu bara, tempurung kelapa, batang jagung,
dan sabut kelapa sawit. Bahan baku lainnya yang memiliki kandungan karbon yang
tinggi dan telah dilaporkan antara lain ialah kulit durian (Apriani et al. 2013), kulit
ubi kayu (Darmawan 2007). Arang aktif memiliki banyak aplikasi, di antaranya
sebagai adsorben polutan organik dan anorganik, katalis, dan elektrode. Pembuatan
arang aktif (AA) mencakup 2 tahapan utama, yaitu proses karbonisasi bahan baku
dan proses aktivasi bahan terkarbonisasi pada suhu lebih tinggi. Aktivasi AA dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu secara fisis dan kimiawi. Prinsip aktivasi fisis adalah
pemberian uap air atau gas CO2 pada arang yang telah dipanaskan, sedangkan
prinsip aktivasi kimia ialah perendaman arang dalam larutan kimia sebelum
dipanaskan.
Zat pewarna batik adalah zat warna tekstil yang dapat digunakan dalam
proses pewarnaan batik, baik dengan cara pencelupan maupun coletan pada suhu
kamar, sehingga tidak merusak lilin sebagai perintang warnanya. Berdasarkan
sumbernya, zat pewarna batik ada yang alami dan ada pula yang buatan (sintetis).
Limbah dari industri batik umumnya berasal dari proses pewarnaan dengan zat kimia
dan mengandung unsur logam berat. Salah satu zat warna sintetik yang banyak
digunakan ialah remazol. Zat warna sintetik ini dalam lingkungan perairan tidak mudah
diuraikan secara biologis (Suparno 2010). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
melalui Kep-51/MENLH/10/1995 telah menetapkan batas ambang maksimum zat
warna pada lingkungan perairan sebesar 50 Pt-Co. Ambang batas ini terlampaui,

2
maka gejala yang paling mudah diamati adalah matinya organisme perairan (Alkdasi 2005). Oleh karena itu, limbah industri batik perlu diolah lebih lanjut agar
aman bagi lingkungan. Teknologi pengolahan limbah cair zat pewarna meliputi
netralisasi, koagulasi-flokulasi, dan adsorpsi (Babu 2007).
O
O
S

S

NaO
O

O

O
OH
OH

O

NH

N
N
O
NaO

O
S

S
O

O

ONa

Gambar 1 Struktur zat warna remazol violet (Karmanto dan Sulistyo 2014)
Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah biji alpukat sebagai bahan
baku pembuatan arang aktif untuk adsorben limbah batik, serta membandingkan
proses koagulasi-flokulasi dan adsorpsi untuk menurunkan konsentrasi zat warna
dalam limbah industri batik. Larutan asam dan basa akan digunakan untuk
mengaktivasi arang biji alpukat dengan harapan dapat meningkatkan mutu arang
aktif dan kapasitas adsorpsi terhadap limbah cair industri tekstil.

METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan ialah tungku pengarangan (kiln drum modifikasi),
tungku aktivasi (retort) yang dilengkapi ketel uap, alat-alat kaca, neraca analitik,
tanur pembakar, oven, desikator, stirrer, pH-meter, saringan halus (100 mesh),
spektrofotometer DR 2500 Hach, dan spektrofotometer ultraviolet-tampak.
Bahan-bahan yang digunakan ialah limbah biji alpukat jenis mentega yang
berasal dari pedagang jus buah di daerah Dramaga, KOH 30%, H3PO4 30%, I2 0.1
N, serbuk remazol, Na2SO3 0.1 N, kanji 1%, akuades, tawas, NaOH 13%, H2SO4
13%, dan limbah cair industri batik di desa Ngunut, Bojonegoro, Jawa Timur.

Pembuatan dan Aktivasi Arang (Modifikasi Kurniawan 2011)
Pembuatan arang aktif diawali dengan preparasi biji alpukat. Biji alpukat
dikupas, kemudian dipotong-potong dan dicuci bersih dengan aliran air keran
sebelum dikeringudarakan di bawah sinar matahari selama 3െ4 hari. Limbah biji
alpukat dimasukkan ke dalam kiln drum yang terbuat dari drum bekas pakai. Api
dinyalakan dengan cara membakar kayu bakar melalui bagian lubang udara selama
5 jam pada suhu 400 °C. selanjutnya arang direndam dalam larutan KOH dan

3
H3PO4 30% selama 24 jam, kemudian dibilas dengan air sampai bersih dan
dikeringkan. Arang hasil perendaman di dalam KOH diaktivasi menghasilkan arang
aktif basa (AAB), dan H3PO4 menghasilkan arang aktif asam (AAA). Aktivasi
dilakukan selama 60 dan 90 menit dengan pemanasan dalam retort pada suhu 700
°C yang dialiri uap air. Setelah proses aktivasi selesai, alat dibiarkan sampai dingin
(24 jam) kemudian arang aktif dikeluarkan dari dalam tungku. Enam macam arang
aktif dihasilkan, yaitu arang aktif asam dengan dialiri uap air selama 60 menit (AA60),
dan selama 90 menit (AA90), arang aktif basa dengan dialiri steam selama 60 menit
(AB60), arang aktif basa dengan dialiri uap air selama 90 menit (AB90), serta arang
aktif dengan dialiri uap air selama 60 menit (AS60) dan selama 90 menit (AS90)
sebagai pembanding. Pemanasan dan pemberian steam dilakukan untuk mengaktivasi
arang secara fisis, sedangkan perendaman dalam KOH 30% dan H3PO4 30%
mengaktivasi arang secara kimiawi.
Pencirian Arang Aktif
Arang aktif yang telah dikeluarkan dari dalam tungku. Kemudian arang aktif
yang telah berbentuk serbuk diayak dengan ayakan berukuran 100 mesh. Enam
macam arang aktif lalu diuji mutunya mencakup parameter rendemen, kadar air,
kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon terikat, daya jerap benzena, dan daya
jerap iodin.
Penentuan Rendemen (ASTM 1979)
Arang aktif yang diperoleh terlebih dahulu dibersihkan, kemudian ditimbang.
Rendemen dihitung berdasarkan rumus
‡†‡‡ ൌ

Keterangan:
a: bobot arang aktif (g)
b: bobot arang (g)

ܾ
ൈ ͳͲͲΨ
ܽ

Penetapan Kadar Air (SNI 1995)
Cawan porselen dibersihkan, lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu
105െ110 oC selama 15 menit. Setelah itu, cawan dikeluarkan dan didinginkan di
dalam desikator selama 30 menit. Selanjutnya sebanyak 1 g arang aktif ditimbang
(a) dan diletakkan di dalam cawan porselen yang telah ditimbang bobot kosongnya.
Lalu cawan porselen yang telah berisi sampel dipanaskan di dalam oven pada suhu
105-110 oC selama 3-4 jam. Setelah itu cawan berisi sampel dikeluarkan dan
dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit. Cawan berisi sampel yang telah
dingin selanjutnya ditimbang hingga diperoleh bobot konstan dan diperoleh bobot
contoh akhir (b). Berikut merupakan rumus untuk menghitung kadar air:

Keterangan:

ƒ†ƒ”ƒ‹”=

a: bobot contoh awal (g)
b: bobot contoh akhir (g)

௔ି௕


x 100%

4
Penetapan Kadar Abu (SNI 1995)
Cawan porselen dibersihkan, lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105110 oC selama 15 menit hingga diperoleh bobot konstan. Setelah itu cawan porselen
dikeluarkan dan dilakukukan pendinginan di dalam desikator selama 30 menit.
Cawan kosong selanjutnya ditimbang, selanjutnya sebanyak 1 gram arang aktif
ditimbang (a) dan diletakkan di dalam cawan porselen yang telah ditimbang
sebelumnya. Kemudian cawan porselen yang berisi sampel tersebut dipanaskan
dalam tanur pada suhu 700 oC selama 4 jam. Penentuan kadar abu dilakukan duplo.
Cawan berisi abu yang telah didinginkan dalam desikator selanjutnya ditimbang
dan diperoleh bobot contoh akhir (b). Berikut merupakan rumus untuk menghitung
kadar abu:
ƒ†ƒ”ƒ„— ൌ

ܾ
ൈ ͳͲͲΨ
ܽ

Penetapan Kadar Zat Terbang (SNI 1995)
Sebanyak ±1 g arang aktif dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah
diketahui bobot keringnya. Sampel dipanaskan dalam tanur 900 °C selama 5 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Cawan ditutup serapat
mungkin. Analisis dilakukan duplo. Perhitungan kadar zat terbang menggunakan
persamaan berikut:
ܽെܾ
ൈ ͳͲͲΨ
ƒ†ƒ”œƒ––‡”„ƒ‰ሺΨሻ ൌ
ܽ
Keterangan:
a: bobot contoh awal (g)
b: bobot contoh akhir (g)

Penetapan Kadar Karbon Terikat (SNI 1995)
Karbon terikat dalam arang adalah zat yang terkandung pada fraksi padat
hasil pirolisis, selain abu (zat anorganik) dan zat-zat atsiri yang masih terdapat
dalam pori-pori arang. Definisi ini hanya berupa pendekatan SNI (1995), dengan
persamaan
Kadar karbon terikat (%) = 100%− (b + c)
Keterangan:
b: kadar zat terbang (%)
c: kadar abu (%)
Penetapan Daya Jerap Benzena (SNI 1995)
Sebanyak ±1.00 g sampel (a) ditimbang ke dalam cawan petri yang telah
diketahui bobot keringnya (b). Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator
yang telah dijenuhi uap benzena selama 24 jam agar kesetimbangan adsorpsi
tercapai. Selanjutnya cawan berisi sampel ditimbang kembali (c), telah terlebih
dahulu dibiarkan 5 menit di udara terbuka untuk menghilangkan uap benzena yang
menempel pada cawan. Analisis ini dilakukan 2 ulangan. Penentuan daya serap
benzena menggunakan persamaan berikut:

5

ܿെܾ

Daya jerap benzena (%) =  ܽ x 100%

Keterangan:
a = bobot sampel sebelum adsorpsi (g)
c-b = bobot sampel setelah adsorpsi (g)

Penetapan Daya Jerap Iodin (SNI 1995)
Sampel kering sebanyak 0.25 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang
dilapisi kertas aluminium, lalu ditambahkan 25 mL larutan I2 0.1 N dan dikocok
selama 15 menit. Campuran disaring, kemudian filtrat sebanyak 10 mL dititrasi
dengan Na2S2O3 0.1 N hingga berwarna kuning muda, ditambahkan beberapa tetes
amilum 1%, lalu dititrasi kembali sampai warna biru tepat hilang. Hal yang sama
dilakukan terhadap blangko. Penentuan daya jerap iodin menggunakan persamaan
berikut:

୆୶୒
Na2S2O
3
ൈ ͳʹǤ͸ͻ͵šˆ’
െ
‰
୒୧୭ୢ
ƒ›ƒŒ‡”ƒ’‹‘†‹൫ ൗ‰൯ ൌ
ܽ
Keterangan:
A
: volume filtrat (mL)
B
: volume Na2S2O3 terpakai (mL)
fp
: faktor pengenceran
a
: bobot aranng aktif (g)
12.693 : jumlah iod sesuai dengan 1 ml larutan Na2S2O3 0,1N

Adsorpsi Zat Warna Remazol
Tahap adsorpsi zat warna remazol meliputi pembuatan larutan induk remazol,
penentuan panjang gelombang maksimum dan penentuan kurva standar remazol,
penentuan kondisi adsorpsi optimum arang aktif yang memiliki total bilangan iodin
tertinggi, serta penentuan isoterm adsorpsi. Larutan induk remazol dibuat dengan
konsentrasi stok 1000 ppm. Panjang gelombang (λ) maksimum ditentukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan mengukur besar absorbans larutan
pada berbagai λ dari 400 hingga 700 nm. Puncak kurva menunjukkan λmaks. Larutan
induk kemudian diencerkan ke konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 ppm dan setiap
larutan standar tersebut diukur pada λmaks.
Kondisi optimum adsorben ditentukan menurut metode modifikasi
Raghuvansi (2004). Adsorben dengan varian bobot 0.1, 0.2, dan 0.3 g dimasukkan
ke dalam 50 mL larutan remazol dengan konsentrasi 10, 20, dan 30 ppm, kemudian
larutan dikocok dengan varian waktu 15, 30, dan 45 menit. Campuran selanjutnya
disaring dan diukur absorbansnya. Kondisi yang digunakan sebagai faktor adalah
waktu adsorpsi, bobot adsorben, dan konsentrasi zat warna sedangkan responsnya
ialah kapasitas adsorpsi (Q) dan efisiensi adsorpsi (E). Kapasitas dan efisiensi
adsorpsi dapat dihitung dengan persamaan

6


ሺ‰Ȁ‰ሻ  ൌ

୚ሺେ୭ିେୟሻ


ሺ஼௢ି஼௔ሻ
E (%) =
x 100 %
஼௢

Keterangan:
Q : kapasitas adsorpsi per bobot adsorben (mg/g adsorben)
E : efisiensi adsorpsi (%)
V : volume larutan (mL)
Co : konsentrasi awal larutan (ppm)
Ca : konsentrasi akhir larutan (ppm)
m : bobot adsorben (g)

Isoterm adsorpsi ditentukan mengikuti model isoterm Langmuir dan
Freundlich. Adsorben ditimbang sebanyak bobot optimum, kemudian ditambahkan
50 mL larutan zat warna pada konsentrasi 10, 15, 20, 25, dan 30 ppm dan dikocok
selama waktu optimum. Setelah itu, campuran disaring dan filtrat diukur
absorbansnya menggunakan spektrofotometer.

Pencirian dan Pengolahan Limbah Industri Batik
Pencirian limbah industri batik meliputi pengukuran konsentrasi warna dan
pH. Konsentrasi warna ditentukan berdasarkan metode APHA 2120 C (2005)
menggunakan alat spektrofotometer DR 2500 Hach. ‡‰——”ƒ ’ 
‡‰‰—ƒƒ ƒŽƒ– ’ ‡–‡”Ǥ Bagan alir pengolahan limbah batik dapat dilihat
pada Lampiran 3 meliputi sedimentasi dan penyaringan, netralisasi, koagulasiflokulasi, dan adsorpsi. Sedimentasi dilakukan pada limbah batik sebanyak 1 L,
dilakukan selama 1 hari. Fitrat disaring menggunakan kain blacu selanjutnya
dinetralisasi menurut metode Nugroho dan Ikbal (2005). Filtrat yang telah diketahui
pH awalnya ditambahkan bahan penetral: jika terlalu asam, ditambahkan NaOH
13%, sebaliknya jika terlalu basa, ditambahkan H2SO4 13%.
Proses koagulasi dan flokulasi pada filtrat setelah penyaringan dan netralisasi
ditentukan menurut metode modifikasi Amir dan James (2007). Filtrat dengan pH
7−8 sebanyak 150 mL pada gelas piala 250 mLditambahkan koagulan (tawas)
dengan konsentrasi 50, 100, dan 150 ppm. Campuran diaduk dengan alat pengaduk
bermagnet dengan kecepatan 100 rpm selama 10 menit untuk koagulasi, dilanjutkan
kecepatan 60 rpm selama 30 menit untuk flokulasi. Setelah itu, campuran disaring
dan filtrat diukur kembali pH dan penurunan warnanya. Adsorben diuji cobakan
pada limbah industri batik untuk mengadsorpsi zat warnanya. Adsorben ditimbang
sebanyak bobot optimum kemudian ditambahkan filtrat limbah sebanyak 50 mL
dan dikocok selama waktu optimum. Setelah itu filtrat disaring dan kemudian
diukur zat warnanya.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivasi Arang
Arang aktif adalah arang yang konfigurasi atom karbonnya telah dibebaskan
dari ikatan dengan unsur lain, porinya telah dibersihkan dari senyawa atau kotoran
lain, sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi luas, serta kemampuan
adsorpsinya terhadap cairan dan gas meningkat (Sudrajat dan Soleh 1994). Arang
aktif merupakan salah satu jenis adsorben yang efektif digunakan untuk proses
adsorpsi. Bahan baku arang aktif dalam penelitian ini adalah limbah biji alpukat.
Sebelum digunakan biji alpukat dijemur di bawah sinar matahari selama 3-4 hari
untuk mengurangi kandungan air.
Pembuatan arang aktif diawali dengan proses pengarangan atau karbonisasi,
pada suhu 400 oC selama 4 jam. Drum tempat pengarangan dijaga dalam keadaan
tertutup agar tidak ada oksigen yang masuk sehingga mencegah terbentuknya abu.
Pada proses karbonisasi, selulosa organik diharapkan terurai menjadi unsur karbon
dan unsur-unsur nonkarbon dibebaskan. Proses karbonisasi terjadi melalui 4
tahapan. Tahap pertama adalah penguapan air pada suhu 100-120 oC, dan sampai
suhu 270 oC selulosa mulai terurai. Tahap kedua merupakan peruraian selulosa pada
suhu 270-310 oC menjadi asam cuka dan metanol, gas kayu (CO dan CO2), serta
sedikit tar. Tahap ketiga berlangsung pada suhu 310-500 oC, yaitu penguraian lignin,
ditandai dengan dihasilkan banyak tar, gas CO2 menurun, sedangkan gas CH4 dan
H2 meningkat. Tahap keempat terjadi pada suhu 500 oC yang merupakan tahap
pemurnian arang. sebanyak 2091 g arang dihasilkan dari 4978 g biji alpukat kering
dengan kadar air sebesar 16.07%, sehingga diperoleh rendemen 42%. Rendemen
arang dipengaruhi oleh tingkat kekerasan bahan baku yang digunakan. Semakin
besar bobot jenis bahan baku, strukturnya akan semakin keras dan tahan terhadap
proses penguraian oleh panas sehingga menghasilkan rendemen yang lebih tinggi
(Komarayati et al. 2011).
Arang hasil karbonisasi kemudian diaktivasi, dengan menggunakan alat
retort (tungku aktivasi) kedap udara yang terbuat dari baja tahan karat, dan
dilengkapi dengan alat pemanas listrik dan pengatur suhu. Aktivasi secara fisis,
dilakukan dengan mengalirkan uap panas pada suhu 700 oC selama 60 dan 90 menit,
dan aktivasi secara kimiawi dilakukan dengan merendam arang dalam KOH 30%
dan H3PO4 30% selama 24 jam. Perendaman bertujuan agar bahan aktivator
terserap secara optimum oleh arang sehingga dapat memperluas permukaannya.

Rendemen Arang Aktif
Rendemen arang aktif menunjukkan jumlah arang aktif yang dihasilkan dari
proses karbonasi dan aktivasi. Rendemen dihitung berdasarkan bobot kering oven
bahan baku. Biji alpukat menghasilkan rendemen arang sebesar 42%. Proses
aktivasi yang digunakan berpengaruh pada rendemen arang aktif yang diperoleh
(lampiran 5), berkisar antara 29.33െ65.33%. Rendemen tertinggi dimiliki oleh
arang yang diaktivasi pada suhu 700 ºC selama 60 menit dilarutkan dengan
perendaman dalam H3PO4 30% (AA60), sedangkan rendemen terendah terdapat

8
pada arang yang diaktivasi pada suhu 700 ºC selama 90 menit lalu direndam dalam
kombinasi KOH 30% (AB90). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis larutan
pengaktif lamanya waktu pemberian steam berpengaruh pada rendemen arang aktif.
Penggunaan KOH pada AB60 dan AB90 didapati menurunkan rendemen. KOH
merupakan basa kuat yang dapat mempercepat reaksi oksidasi. Meningkatnya
jumlah zat yang teroksidasi akan menyebabkan rendemen berkurang. Rendemen
dipertama AA60, AA90, AB60, dan AB90 menurun ketika pemberian uap air
sedangkan pada AS60 dan AS90 rendemen meningkat.

Hasil Pencirian Arang aktif
Karakteristik arang aktif yang diperoleh pada penelitian ini meliputi nilai kadar
air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon terikat, uji daya jerap benzena, dan uji daya
jerap iodin, yang dibandingkan dengan SNI 06-3730-95. Hasil analisis dapat dilihat
pada Tabel 1.

Sampel

Kadar
Air (%)

AA60
AB60
AS60
AA90
AB90
AS90
SNI

6.17
7.86
9.36
5.18
7.87
10.16
≤15

Tabel 1 Karakteristik arang aktif
Kadar
Kadar
Daya
Kadar
Zat
Karbon
Jerap
Abu
Terbang Terikat Benzena
(%)
(%)
(%)
(%)
10.62
8.12
81.26
11.52
7.27
16.17
76.56
15.65
9.17
12.74
78.09
12.55
11.38
10.20
78.42
10.47
7.76
17.83
74.42
17.80
9.70
15.38
74.93
11.40
≤ 10
≤25
≥65
-

Daya
Jerap
Iodin
(mg/g)
260.60
446.84
546.31
442.80
500.90
415.44
≥ 750

Kadar Air
Kadar air ditentukan untuk mengetahui sifat higroskopis arang aktif. Kadar
air yang tinggi dalam arang aktif dapat mengurangi kemampuannya sebagai
adsorben akibat pori arang aktif yang terisi air (Chahyani 2012). Kadar air arang
aktif masih memenuhi SNI (1995) yang berkisar antara 5.18-10.16%. Data
menunjukkan, penambahan KOH pada AB60 dan AB90 menyebabkan kadar airnya
lebih rendah daripada AS60 dan AS90 (Lampiran 6). Penurunan kadar air ini
disebabkan oleh peningkatan sifat higroskopis karbon aktif terhadap uap air. Sifat
higroskopis KOH membuat air yang terdapat dalam bahan bereaksi dengan KOH.
Pari (2004) menyatakan bahwa bahan pengaktif yang bersifat higroskopis dapat
menurunkan kadar air dari arang aktif.
Kadar air tertinggi dimiliki oleh arang aktif AS90, yaitu 10.16%, sedangkan
kadar air terendah dimiliki oleh AA90, yaitu 5.18%. Kadar air tertinggi diperoleh
pada hasil aktivasi menggunakan steam (AS). Meningkatnya kadar air disebabkan
oleh terserapnya uap air di udara pada saat proses pendinginan dan adanya butir–
butir dari uap air panas yang terperangkap di dalam struktur arang aktif yang
berbentuk heksagonal pada saat aktivasi (Pari, dkk 2008). Kadar air semua jenis
arang aktif tersebut sudah memenuhi kriteria SNI (1995) untuk karbon aktif
berbentuk serbuk, yaitu kurang dari 15.00%.

9

Kadar Abu
Kadar abu ditentukan untuk mengetahui kandungan komponen mineral yang
terdapat di dalam karbon aktif, seperti Ca, K, Na, Mg, dan komponen lain. Kadar
abu yang diperoleh berkisar 7-11% (Lampiran 7). Kadar abu pada semua jenis arang
aktif menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya waktu steam (lampiran 7).
Nilai tertinggi diperoleh untuk arang aktif dengan steam selama 60 menit dengan
perendaman menggunakan H3PO4 30% yaitu, sebesar 10.62%. Hal yang sama juga
terjadi pada arang aktif dengan steam 90 menit, kadar abu tertinggi terjadi pada
aktivasi dengan penambahan H3PO 30% dengan nilai sebesar 11.38%. Namun, nilai
yang diperoleh keduanya tidak memenuhi SNI (1995) untuk arang aktif berbentuk
serbuk, yaitu kurang dari 10%. Kadar abu arang aktif diusahakan sekecil mungkin,
karena tingginya kadar abu menunjukkan banyaknya mineral-mineral logam yang
menutup pori-pori arang sehingga mengurangi daya jerap arang aktif.
Kadar Zat Terbang
Kadar zat terbang atau zat yang mudah menguap menunjukkan kandungan
senyawa yang belum menguap pada proses karbonisasi dan aktivasi, sehingga dapat
diperkirakan besarnya kandungan zat selain karbon pada permukaan arang aktif.
Kadar zat terbang mempengaruhi kemampuan daya jerap arang aktif yang
dihasilkan yang menunjukkan kesempurnaan proses penguraian senyawa
nonkarbon seperti S, N2, CO2, CO, CH4, dan H2 pada proses karbonisasi dan
aktivasi. Kadar zat terbang ini telah memenuhi SNI, dan rendahnya kadar zat
terbang arang aktif menunjukkan lebih sempurnanya penguraian senyawa non
karbon seperti CO2, CO, CH4, dan H2 saat karbonisasi (Chahyani 2012).
Kadar zat terbang tertinggi diperoleh dari arang aktif hasil aktivasi menggunakan
KOH+steam selama 90 menit, jenis AB90, karena dengan adanya steam masih terdapat
gugus OH dan H yang menempel pada permukaan arang aktif selama proses aktivasi
dan KOH yang ditambahkan akan melindungi bahan dari suhu yang tinggi sehingga
semakin sedikit sulfur dan nitrogen dalam bahan yang ikut terbakar dan menguap pada
suhu 950 °C (Sudrajat et al. 2005). Kadar zat terbang arang aktif biji alpukat berkisar
8-15% (Lampiran 8). Data tertinggi pada semua jenis arang diperoleh pada AB90,
yaitu 15.38% Semakin lama waktu pemberian steam maka kadar zat terbangnya
pun semakin tinggi (Lampiran 8). Kadar zat terbang semua jenis arang aktif tersebut
sudah memenuhi SNI (1995) untuk karbon aktif berbentuk serbuk, yaitu kurang dari
25.00%.
Kadar Karbon Terikat
Penentuan kadar karbon terikat dilakukan untuk mengetahui kandungan
karbon setelah proses karbonasi dan aktivasi. Kadar karbon terikat yang dihasilkan
berkisar antara 74,42 - 81,26% (Lampiran 9) dan masih memenuhi SNI (1995),
yaitu lebih dari 65%. Tinggi rendahnya kadar karbon terikat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya kadar zat terbang dan abu. Kadar karbon terikat tertinggi untuk arang
aktif biji alpukat diperoleh pada arang aktif aktivasi H3PO4 (AA60) dan kadar
karbon terikat terendah diperoleh pada arang aktif aktivasi KOH (AB90), masingmasing 81.26% dan 74.42% (Lampiran 9). Hal ini dipengaruhi oleh kadar abu yang
tinggi serta kadar zat terbang yang rendah yang diperoleh pada arang aktif jenis
AA60, sehingga kadar karbon terikat yang diperoleh semakin tinggi. Tingginya

10
kadar tersebut menunjukkan sedikitnya atom karbon yang bereaksi dengan uap air
menghasilkan gas CO sehingga atom karbon tertata kembali membentuk struktur
heksagonal yang banyak (Fauziah 2009). Sebaliknya, kadar karbon terikat terendah
diperoleh pada arang aktif jenis AB90 yang memiliki kadar abu rendah dan zat
terbang yang tinggi sehingga kadar karbon terikat yang diperoleh rendah.
Rendahnya nilai kadar karbon terikat menunjukkan bahwa perlakuan tersebut
memiliki kadar pengotor yang tinggi.
Daya Jerap Benzena
Besarnya daya jerap benzena mencerminkan permukaan arang aktif lebih
bersifat nonpolar sehingga dapat digunakan untuk menjerap polutan yang juga
bersifat nonpolar, serta menunjukkan kemampuan arang aktif dalam menyerap
molekul dengan ukuran lebih kecil dari 6 Å (Pari, dkk 2008). Daya serap benzena
yang dihasilkan berkisar antara 10.47 - 17.80% (lampiran 10). Penjerapan benzena
tertinggi dimiliki oleh arang aktif AB90, yaitu 17.80% dan terendah dimiliki arang
aktif AA90 sebesar 10.47%. Penggunaan KOH mengakibatkan permukaan arang
aktif lebih bersifat non polar (Pari 2004). Selain itu, aktivasi menggunakan steam
dapat lebih meningkatkan sifat nonpolar karena terbentuknya gugus aktif yang
dapat berupa karboksil, quinon, hidroksil, karbonil, karboksilat anhidrat, maupun
lakton. Hal ini menunjukkan bahwa arang aktif yang diaktivasi secara kimia dengan
penambahan KOH mampu menjerap senyawa yang bersifat nonpolar lebih
banyak,diduga karena aktivator memengaruhi gugus fungsi pada struktur arang
aktif (Budiono 2009).
Daya Jerap Iodin
Daya jerap iodin merupakan persyaratan umum untuk menilai kualitas arang
aktif. Daya jerap iodin menunjukkan kemampuan arang aktif dalam menyerap
molekul mikropori bersifat nonpolar yang berukuran lebih kecil dari 10 Å dan
permukaan arang aktifnya lebih bermuatan positif sehingga akan lebih menjerap
senyawa yang lebih negatif (Pari et al. 2008). Daya jerap iodin yang dihasilkan
berkisar 260.60–546.31 mg/g (Lampiran 11) sehingga arang aktif yang diperoleh
belum memenuhi syarat SNI (1995) yaitu sebesar 750 mg/g. Daya jerap iodin yang
dihasilkan keduanya cukup kecil yang menunjukkan bahwa arang aktif ini kurang
mampu menjerap molekul yang berukuran kecil. Penggunaan arang aktif sebagai
penjerap dalam perairan memiliki daya jerap iodin minimal 500 mg/g sehingga
arang aktif tersebut dapat diaplikasikan untuk limbah batik.
Grafik pada lampiran 11 menunjukkan arang aktif dengan perendaman KOH
serta pemberian steam (AB60 dan AB90), semakin meningkat waktu steam maka
semakin meningkat juga daya jerap iodnya. Hal ini menunjukkan adanya interaksi
antara aktivator dengan karbon, sehingga membentuk pori. Semakin banyak pori
yang terbentuk, semakin tinggi luas permukaan karbon yang dihasilkan (Pujiyanto
2010).
Adsorpsi Zat Warna Remazol
Penentuan kondisi optimum penjerapan remazol diawali dari pemilihan
panjang gelombang serapan maksimum remazol yaitu diperoleh sebesar 598 nm
(Lampiran 12). Penentuan kurva standar (Lampiran 13) bertujuan menentukan hasil

11
pengukuran absorbans hasil penjerapan remazol melalui proses adsorpsi oleh arang
aktif jenis AB60 yang memiliki total bilangan iodin paling tinggi (lampiran 14),
sehingga persentase hilangnya warna remazol dapat ditentukan. Adsorpsi zat warna
remazol dilakukan dengan membuat variasi bobot dan waktu kontak arang aktif
jenis AB60, yang bertujuan menentukan bobot dan waktu kontak optimum yang
akan digunakan pada proses adsorpsi. Variasi bobot yang dipilih adalah 0.1, 0.2,
dan 0.3 gram, sedangkan variasi waktu kontak pada 15, 30, dan 45 menit. Gambar
2, 3, dan 4 merupakan kurva hubungan variasi bobot dan waktu kontak adsorben
dengan kapasitas adsorpsi pada berbagai konsentrasi zat warna remazol. Gambar 3
menunjukkan kapasitas adsorpsi yang lebih besar pada adsorben AB60 terhadap
remazol 20 ppm, dengan bobot 0.1 g pada waktu kontak 45 menit. Kapasitas dan
efisiensi adsorpsi yang dihasilkan sebesar 5395.49 mg/g dan 58.27%. Data
perhitungan kondisi optimum AB60 dapat dilihat pada Lampiran 15.
2500,00

Q (mg/g)

2000,00
1500,00
1000,00
500,00
0,00

15
0.1 g

30
menit
0.2 g

45
0.3 g

Gambar 2 Adsorpsi remazol 10 ppm oleh AB60
6.000,00

Q (mg/g)

5.000,00
4.000,00
3.000,00
2.000,00
1.000,00
0,00

15
0.1 g

30
menit
0.2 g

45
0.3 g

Gambar 3 Adsorpsi remazol 20 ppm oleh AB60

12
6.000,00

Q (mg/g)

5.000,00
4.000,00
3.000,00
2.000,00
1.000,00
0,00

15
0.1 g

30
menit

0.2 g

45
0.3 g

Gambar 4 Adsorpsi remazol 30 ppm oleh AB60

Isoterm Adsorpsi
Tipe isoterm adsorpsi digunakan untuk mengetahui mekanisme penjerapan
zat warna remazol dengan adsorben AB60. Isoterm adsorpsi Langmuir dilakukan
dengan cara membuat kurva hubungan C/(x/m) terhadap C, sedangkan isoterm
adsorpsi Freundlich dilakukan dengan membuat kurva hubungan log (x/m) terhadap
log C (Atkins 1999). Data perhitungan isoterm adsorpsi dapat dilihat pada
Lampiran 16. Adsorpsi remazol oleh adsorben AB60 menghasilkan kurva yang
linear (Gambar 6). Linearitas tertinggi dihasilkan pada kurva tipe isoterm
Freundlich yaitu sebesar 95.38 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses
adsorspi remazol oleh adsorben AB60 mengikuti tipe isoterm Freundlich. Isoterm
Freundlich hanya melibatkan gaya Van der Waals sehingga ikatan antara adsorbat
dengan adsorben bersifat lemah. Hal ini memungkinkan adsorbat bebas bergerak
hingga akhirnya berlangsung proses adsorpsi banyak lapisan (Atkins 1999).
7,00

y = 2.6922x + 0.1654
R² = 0.7137

C/(x/m)

6,00
5,00
4,00
3,00
2,00

5

10

15
C

20

25

Gambar 5 Isoterm adsorpsi Langmuir adsorben AB60

13
0,60

y = 0,0765x + 0,1925
R² = 0,9538

Log (x/m)

0,50
0,40
0,30
0,20
0,10
0.6

0.8

1.0
Log C

1.2

1.4

Gambar 6 Isoterm adsorpsi Freundlich adsorben AB60

Pencirian dan Pengolahan Limbah Industri Batik
Limbah industri batik umumnya bersifat basa, keruh, dan berkadar organik
tinggi. Limbah batik yang berasal dari proses pewarnaan maupun pelepasan lilin
dikumpulkan di dalam bak penampung. Sampel yang diambil dari bak penampung
ini merupakan keadaan sebelum dilakukan proses pengolahan.
Tabel 2 Hasil pencirian, pengolahan dan aplikasi adsorben terhadap limbah
pH

Proses
Pencirian limbah
Pengolahan limbah
x Netralisasi
x Koagulasi-flokuasi
¾ Tawas 50 ppm
¾ Tawas 100 ppm
¾ Tawas 150 ppm
Aplikasi adsorben pada limbah
x Adsorpsi

Konsentrasi
warna (PtCo)
Awal Akhir
3040
-

Penurunan
warna (%)

Awal
9.78

Akhir
-

9.78

7.80

-

-

-

7.80
7.80
7.80

3.86
3.71
3.66

3040
3040
3040

850
805
780

72.04
73.52
74.34

7.80

8.89

3040

2140

42.06

-

Tabel 2 menunjukkan bahwa kualitas air limbah industri batik berpotensi
mencemari lingkungan perairan. Hal tersebut disebabkan limbah industri batik
mengandung berbagai macam zat, baik zat organik yang berasal dari proses
menganji dan pelepasan lilin, maupun zat anorganik yang bersal dari zat pewarna
kimia dan zat penguat (Indrayani 2005). Bila air limbah batik ini dialirkan melalui
perairan di sekitar pemukiman, maka hal tersebut dapat mengurangi keindahan
perairan dan menurunkan mutu lingkungan perairan tempat tinggal. Oleh karena itu
perlu dilakukan pengolahan limbah agar limbah ini aman bagi lingkungan sekitar
permukiman.
Alternatif untuk menghilangkan warna air limbah yang efisien dan efektif
adalah dengan perlakuan secara fisik dan kimia. Menurut Babu (2007), terdapat
beberapa alternatif teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair
yang mengandung zat pewarna. Teknologi tersebut meliputi netralisasi, koagulasiflokulasi, dan adsorpsi. Limbah cair batik memiliki pH basa yaitu 9.78, sehingga
perlu dinetralkan. Proses netralisasi dengan penambahan H2SO413% hingga

14
diperoleh pH sebesar 7.80. Pada beberapa jenis air limbah yang mengandung zat
pewarna, dengan proses netralisasi warna sudah dapat dikurangi. Selain itu, pH
netral dibutuhkan dalam proses koagulasi-flokulasi menggunakan tawas karena
efektivitas kerja koagulan bergantung pada pH netral dan dosis pemakaian terhadap
air limbah (Gao et al. 2005).
Limbah cair batik yang telah netral kemudian diberi perlakuan koagulasiflokulasi menggunakan koagulan tawas. Penambahan koagulan ke dalam limbah
menyebabkan padatan dan zat pewarna akan saling menempel dan membentuk
partikel dengan ukuran yang lebih besar (flok). Flok selanjutnya dipisahkan melalui
pengendapan dan penyaringan (Gao et al. 2005). Nilai pH memiliki pengaruh yang
besar terhadap pengendapan padatan dan zat warna. Pengaturan pH koagulasi
diperlukan karena koagulan tawas dapat bekerja efektif pada pH 4.5െ8, karena
Al(OH)3 relatif tidak larut dalam rentang pH tersebut (Amir dan James 2008).
Namun, hasil menunjukkan bahwa pH yang dihasilkan sangat rendah sehingga
koagulan tawas tidak dapat bekerja secara efektif karena tawas yang digunakan
bukan tawas murni yang dimungkinkan adanya pengotor dan zat-zat lain pada tawas
yang dapat mengganggu keefektifan kerja tawas. Hal ini ditunjukkan pada pH yang
dihasilkan relatif kecil. Nilai pH berada di bawah rentang nilai kerja efektif.
Warna merupakan salah satu parameter pengujian dalam pengolahan limbah.
Secara visual, warna setelah perlakuan koagulasi-flokulasi berbeda dengan kondisi
limbah awal, yaitu intensitas warnanya lebih berkurang (Gambar 7). Penurunan
konsentrasi warna terbesar terdapat pada penambahan dosis tawas 150 ppm dengan
persen penurunan 74.34%. Penurunan warna akan terus terjadi sampai penurunan
tersebut mencapai titik terendahnya, yang diindikasikan sebagai kondisi optimum
dari dosis tawas yang diberikan. Penurunan persen konsentrasi warna disebabkan
pemberian tawas, tawas yang digunakan bukan tawas murni sehingga kemungkinan
lebih banyak adanya pengotor sehingga penurunan persen konsentrasi warnanya
sangat tinggi.

(a)
(b)
Gambar 7 Limbah batik sebelum (a) dan setelah perlakuan koagulasi (b)

Aplikasi Adsorben pada Limbah Cair Industri Batik
Adsorben AB60 memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi zat warna, yang
dilihat dari besarnya kapasitas adsorpsi terhadap remazol. Kemampuan adsorpsi
tersebut dapat diterapkan langsung untuk mengadsorpsi zat wana limbah cair
industri batik sesuai pada kondisi optimum adsorben. Kemampuan adsorpsi AB60
terhadap zat warna limbah batik masih cukup kecil terlihat dari persen pernurunan

15
konsentrasi warnanya. Persen penurunan konsentrasi warna (Tabel 2) dari
konsentrasi awal sebesar 3040 PtCo menjadi 2140 PtCo yaitu sebesar 42.06 %. Secara
visual, warna limbah setelah adsorpsi mengalami perubahan yaitu menjadi lebih cerah
(Gambar 14). Hasil persen penurunan konsentrasi warna menunjukkan bahwa
pengolahan limbah cair industri batik adsorben AB60 masih berada di luar baku
mutu. Hal tersebut dapat disebabkan kurangnya kemampuan adsorben, karena
dibutuhkan jumlah adsorben yang lebih banyak untuk diberikan pada percobaan.
Selan itu, solusi lain untuk hal tersebut adalah pada proses Berdasarkan percobaan
dapat dikatakan bahwa penurunan zat warna terbaik dihasilkan dengan koagulasiflokulasi.

(a)
(b)
Gambar 8 Warna limbah batik sebelum (a) dan setelah (b) adsorpsi oleh AB60

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Limbah biji alpukat yang dibuat arang aktif dapat digunakan sebagai adsorben
untuk menjerap zat warna remazol pada limbah batik. Jenis arang aktif AB60
memiliki total bilangan iodin paling tinggi yang digunakan untuk mengadsorpsi zat
warna remazol. Kemampuan adsorpsi AB60 terhadap zat warna limbah batik masih
cukup kecil terlihat dari persen pernurunan konsentrasi warnanya yaitu, sebesar
42.06% yang menunjukkan bahwa arang aktif dari limbah biji alpukat kurang baik
untuk dijadikan adsorben zat warna limbah batik.

Saran
Arang biji alpukat dapat digunakan sebagai arang aktif, namun diperlukan
perlakuan lebih lanjut dalam penambahan dan pencucian arang yang direndam
dengan HCl agar dihasilkan arang aktif yang lebih baik daya jerapnya. Melakukan
optimasi suhu, waktu, dan peningkatan konsentrasi aktivator selama aktivasi untuk
meningkatkan kapasitas adsorpsi arang karbon aktif. Pencirian adsorben lebih lanjut
menggunakan scanning electron microscpe (SEM).

16

DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Method for the
Examination of Water and Wastewater ADMI Weighed Ordinate
Spectrophotometric Methods. APHA 2120&5220C. Washington: American
Public Health Association.
[ASTM] America Society for Testing and Materials. 1979. Standard Test Method
for Benzene, Chloroform, and Iodine Sorption of Activated
Carbon.Philadelphia (US): ASTM.cv
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1995. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup KEP-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair
untuk industri tekstil. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI-06-3730-1995: Arang Aktif Teknis.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Al-Kdasi A, Idris A, Saed K, Guan CT. 2005. Treatment of textile waste water by
advance doxidation processes. J Global Nest the Int (6):222-230.
Alsuhendra, Zulhipri, Ridawati, dan E. Lisanti. 2007. Ekstraksi dan Karakteristik
Senyawa Fenolik dari Biji Alpukat (Persea Americana Mill.). Bandung (ID).
Proseding Seminar Nasional PATPI.
Amir R, James NI. 2007. Penentuan dosis optimum alumunium sulfat dalam
pengolahan Air Sungai Cileueur Kota Ciamis dan pemanfaatan resirkulasi
lumpur dengan parameter pH, warna, kekeruhan, dan TSS. J Infrastuktur dan
Lingkungan Binaan. 2:1-11.
Apriani, Faryuni D, Wahyuni D. 2013. Pengaruh konsentrasi activator kalium
hidroksida (KOH) terhadap kualitas karbon aktif kulit durian sebagai
adsorben logam Fe pada air gambut. J Prisma Fisika 1 (2):82-86.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisik Jilid 1. Kartohadiprojo I, penerjemah; Rohhadyan T,
Hadiyana K, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Physical
Chemistry.
Babu RB, Parande AK, Raghu S, Kumar PT. 2007. Cotton textile processing waste
generation and effluent treatment. Journal of Cotton Science. 11:141-153
Budiono A, Suhartana, Gunawan. 2009. Pengaruh Aktivasi Arang Tempurung
Kelapa dengan Asam Sulfat dan Asam Posfat untuk Adsorpsi Fenol [artikel].
Semarang (ID): Universitas Diponegoro
Chahyani R. 2012. Sintesis dan karakterisasi membran polisulfon didadah karbon
aktif untuk filtrasi air. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Darmawan. 2007. Pembuatan dan karakterisasi karbon aktif dari ubi kayu. J. Kimia
dan Teknologi. 228-298.
Fauziah N. 2009. Pembuatan arang aktif secara langsung dari kulit Acacia Mangium
Willd dengan aktivasi fisika dan aplikasinya sebagai adsorben. [skripsi].
Bogor (ID): Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
Gao BY, Yue QY, Wang BJ, Wang SG. 2005. Characterization and coagulation of
a Polyalumunium Chloride (PAC) coagulant with high Al13 content. J
Environ Mgmt. 76:143-147. .

17
Indrayani L. 2005. Pengelolaan limbah cair industri batik Di Daerah Istimewa
Yogyakarta [tesis]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Karmanto dan Sulistyo R. 2014. Elektrodekolorisasi zat warna remazol violet 5R
menggunakan elektroda grafit. J Kaunia 10(1): 11-19.
Komarayati S, Gusmailina, Pari G. 2011. Produksi cuka kayu hasil modifikasi
tungku arang terpadu. J Pen Hasil Hutan 29(3):234-247.
Kurniawan T. 2011. Adsorben berbasis limbah padat tapioka [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Nugroho R, Ikbal. 2005. Pengolahan air limbah berwarna industri tekstil dengan
proses AOPs. JAI 1(2): 163-172.
Pari G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben
formaldehida kayu lapis. [disertasi]. Bogor (ID): IPB.
Pari G, Hendra D, Ridwan AP. 2008. Peningkatan mutu arang aktif kayu Acacia
mangium. J PHH 24(1): 33-46.
Pujiyanto. 2010. Pembuatan Karbon Aktif Super dari Batubara dan Tempurung
Kelapa. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Raghuvanshi SP, Sing R, Kaushik CP. 2004. Kinetics study of methylene blue dye
bioadsorption on baggase. App Ecol Env Res. 2: 35-43.
Sudrajat R, Soleh S. 1994. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Bogor (ID):
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Suparno. 2010. Degradasi zat warna indigosol dengan metode oksidasi katalitik
menggunakan zeolit alam teraktivasi dan ozonasi [tesis]. Depok (ID):
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

34

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 21 Mei 1991 dari Ayah
Suliana dan Ibu Siti Zubaidah. Penulis merupakan anak ke-1 dari 2
bersaudara.Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri
Kauman IV Bojonegoro dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bojonegoro dan lulus pada tahun 2006,
kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bojonegoro dan lulus pada
tahun 2009.
Pada tahun 2009, penulis diterima di Departemen Kimia Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Organisasi Mahasiswa
Daerah (OMDA) Bojonegoro. selain itu, penulis pernah menjabat sebagai pengurus
Ikatan Mahasiswa Kimia (IMASIKA) Divisi Pengembangan Sumber Daya
Manusia periode 2010/2011, serta aktif dalam beberapa kepanitiaan. Penulis juga
berkesempatan mengikuti praktik lapangan di Balai Besar Pasca Panen pada bulan
Juli-Agustus 2013

18
LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Biji alpukat

Limbah industri batik

Sedimentasi dan filtrasi
Arang
Direndam dengan KOH dan
H3PO4 20% selama 24 jam

Filtrat

Aktivasi kimia
0

Pemanasan pada suhu 700
C dan dialiri uap air selama
60 dan 90 menit

Netralisasi

Aktivasi fisika
Koagulasi dan flokulasi
Digerus dengan mortar, dan
diayak dengan saringan 100 mesh

Karbon aktif

Adsorpsi

Penentuan isoterm adsorpsi
pada zat warna remazol
Penentuan kondisi
optimum penjerapan zat
warna remazol

19
Lampiran 2 Diagram alir preparasi adsorben dan pengujiannya

Limbah biji
alpukat
Kering matahari 3-4 hari

Arang

Aktivasi asam (AA) basa (AB), steam (AS)

Karakterisasi
karbon aktif

Arang aktif

Penentuan waktu, bobot,
dan konsentrasi awal
optimum pada larutan zat
warna remazol

Penentuan isoterm adsorpsi pada
larutan zat warna remazol

Aplikasi adsorben pada limbah
batik

-

Rendemen
Kadar air
Kadar abu
Kadar zat terbang
Kadar karbon terikat
Daya jerap benzena
Daya jerap iodin

20
Lampiran 3 Diagram alir pengolahan limbah industri batik
Pencirian limbah batik

Limbah batik

x
x

Sedimentasi dan filtrasi

pH
Warna

Filtrat
Adsorben pada
kondisi moptimum

Adsorpsi

Netralisasi
Penambahan
*NaOH 13%
*H2SO4 13%

Pengocokan toptimum

Filtrat

Koagulasi
Pengukuran
konsentrasi warna

v = 100 rpm
t = 10 menit

Koagulan: tawas
50, 100, dan 150 ppm

Flokulasi
v = 60 rpm
t = 30 menit
Filtrat

Pengukuran konsentrasi
warna dan pH

21
Lampiran 4 Syarat mutu arang aktif (SNI 06-3730-95)
Persyaratan
Uraian
Butiran
Serbuk
Kadar zat terbang (%)
Mask 15
Mask 25
Kadar air (%)
Maks 4.5
Maks 15
Kadar abu (%)
Maks 2.5
Maks 10
Daya jerap I2 (mg/g)
Min 750
Min 750
Karbon aktif murni (%)
Min 80
Min 65
Daya jerap terhadap benzena (%)
Min 25
Daya jerap terhadap biru metilen
Min 60
Min 120
(mg/g)
Bobot jenis curah (g/ml)
0.45-0.55
0.3-0.35
Lolos mesh
Min 90
Kekerasan (%)
min 80
-

22
Lampiran 5 Rendemen Arang Aktif Biji Alpukat
Jenis Arang
AA60
AB60
AS60
AA90
AB90
AS90

Bobot arang
(g)
150
150
100
150
150
150

Contoh perhitungan:
Rendemen (%)

=




Bobot arang aktif
(g)
98
74
32
45
44
96

Rendemen (%)
65.33
49.33
32.00
30.00
29.33
64.00

x 100%

଻ସ୥

x 100%
ଵହ଴୥
= 49.33%
=

Keterangan:
a: bobot arang aktif (g)
b: bobot arang (g)

70

65.33

64.00

RENDEMEN (%)