Identifikasi Subtipe, Patogenitas, Dan Filogenetik Virus Avian Influenza Isolat 2012–2013.

IDENTIFIKASI SUBTIPE, PATOGENITAS,
DAN FILOGENETIK VIRUS AVIAN INFLUENZA
ISOLAT 2012–2013

SUSSI WIDI KURNIASIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Subtipe,
Patogenitas, dan Filogenetik Virus Avian Influenza Isolat 2012–2013 adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Sussi Widi Kurniasih
NIM P051120161

RINGKASAN
SUSSI WIDI KURNIASIH. Identifikasi Subtipe, Patogenitas, dan Filogenetik
Virus Avian Influenza Isolat 2012–2013. Dibimbing oleh RETNO DAMAJANTI
SOEJOEDONO dan NI LUH PUTU IKA MAYASARI.

Penyakit Avian Influenza (AI) merupakan penyakit infeksius yang sangat
penting pada unggas yang disebabkan oleh virus Avian Influenza. Penyakit ini
pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 2003 dan telah menyebar secara luas
menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan kematian yang tinggi pada
peternakan-peternakan unggas. Dewasa ini wabah penyakit AI masih sering
terjadi secara sporadis meskipun pada peternakan yang telah rutin divaksin AI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan subtipe dan patogenitas
virus AI serta melakukan analisis filogenetik dan jarak kekerabatan gen
hemaglutinin dari virus-virus AI yang diisolasi pada tahun 2012–2013 di daerah
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Medan. Sampel diperoleh dari peternakan unggas

yang mengalami wabah penyakit AI dan diinokulasikan serta dipropagasi dalam
Telur Ayam Berembrio (TAB) specific pathogen free (SPF) berumur 10
hari.Cairan alantois yang dipanen 5 hari setelah inokulasi diuji hemaglutinasi
(HA). Cairan alantois dengan HA positif diuji lebih lanjut untuk menentukan
subtipe hemaglutinin dan neuraminidase menggunakan real-time reverse
transcription polymerase chain reaction (RRT-PCR) dan dipersiapkan untuk
proses pengurutan oligonukleotida menggunakan reverse transcription
polymerase chain reaction (RT-PCR). Hasil proses pengurutan oligonukleotida
dari gen hemaglutinin digunakan dalam analisis pola asam amino daerah
pemotongan gen hemaglutinin dan hubungan kekerabatan antar virus-virus yang
diisolasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua isolat tergolong ke dalam HPAI
H5N1 dengan pola asam amino daerah pemotongan PQRESRRKKR/GLF dan
PQRERRRKR/GLF. Isolat-isolat tersebut terbagi ke dalam klaster 2.1 dan klaster
2.3 dan masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan jarak genetik
kurang dari 0.3 antara virus yang satu dengan yang lainnya dan juga terhadap
beberapa isolat virus AI yang menyebabkan wabah-wabah sebelumnya di
Indonesia.
Di masa mendatang isolat-isolat yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif strain virus untuk produksi vaksin AI yang

diharapkan dapat melindungi peternakan-peternakan unggas terhadap ancaman
wabah AI.

Kata kunci :Avian Influenza, daerah pemotongan, hemaglutinin, patogenitas,
filogenetik

SUMMARY
SUSSI WIDI KURNIASIH. Identification of Subtype, Pathogenicity, and
Phylogenetic of Avian Influenza Viruses Isolated in 2012–2013. Supervised by
RETNO DAMAJANTI SOEJOEDONO and NI LUH PUTU IKA MAYASARI.
Avian Influenza (AI) is an important infectious disease in poultry caused
by Avian Influenza virus. This disease is first isolated in Indonesia in 2003 and
has been widely spreaded in regions and provincies causing major economic
losses and deaths in poultry farms. Recently, AI outbreaks still raised sporadically
although in poultry farms that have been practiced routine vaccination.
The aim of this research is to determine the subtype and pathogenicity and
to analyze the phylogenetic and genetic distances of hemagglutinin gene of
isolated AI viruses in Indonesia in 2012–2013 particularly from West Java,
Central Java, and Medan. Samples were obtained from poultry farms that suffered
AI outbreaks and were inoculated and propagated in ten days old specific

pathogen free (SPF) embryonated chicken eggs. Harvested allantoic fluids 5 days
post-inoculation were tested for hemagglutination activity. Positive allantoic
fluids were further tested to determine the hemagglutinin and neuraminidase
subtype using real-time reverse transcription polymerase chain reaction (RRTPCR) and to be prepared for sequencing using reverse transcription polymerase
chain reaction (RT-PCR).The sequence of hemagglutinin genes were analyzed for
the amino acid pattern of the cleavage site region and the genetic distances and
relationships of the viruses.
The results indicate that all of the isolates are classified as HPAI H5N1
with the pattern of cleavage site regions are PQRESRRKKR/GLF and
PQRERRRKR/GLF. All of the isolates are devided into cluster 2.1 and cluster 2.3
and have close genetic relationship with the genetic distances less than 0.3
between one and another and also with several AI viruses that caused previous
outbreaks in Indonesia.
In future, the isolates used in this research might give benefit as seed
vaccine strain choices of AI virus that could be useful to make vaccine products as
a protection of poultry farms against the upcoming outbreaks of AI.

Key words: Avian Influenza, cleavage site, hemagglutinin, pathogenicity,
phylogenetic


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI SUBTIPE, PATOGENITAS,
DAN FILOGENETIK VIRUS AVIAN INFLUENZA
ISOLAT 2012–2013

SUSSI WIDI KURNIASIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. dr. Sri Budiarti

Judul Tesis : Identifikasi Subtipe, Patogenitas, dan Filogentik Virus Avian
Influenza Isolat 2012–2013
Nama
: Sussi Widi Kurniasih
NIM
: P051120161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr drh Retno D. Soejoedono, MS

Ketua

Dr drh Ni Luh Putu Ika Mayasari
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 17 September 2015

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian adalah penyakit Avian Influenza dengan judul Identifikasi
Subtipe, Patogenitas, dan Filogenetik Virus Avian Influenza Isolat 2012–2013.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr drh Retno D.
Soejoedono, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr drh Ni Luh Putu Ika
Mayasari selaku Anggota Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Suharsono, DEA selaku
Ketua Program Studi Bioteknologi, serta Dr dr Sri Budiarti selaku Penguji Luar
Komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada manajemen PT.
Sierad Produce Tbk. atas dukungan dana dan fasilitas yang telah diberikan
sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik, juga kepada rekan-rekan
sejawat dan seluruh karyawan Prolab Diagnostic Laboratory atas dukungan moral
dan kerjasamanya selama ini, serta rekan-rekan Bioteknologi angkatan 2012.
Tidak lupa penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada suami tercinta,
Prayogo Oetomo Eklas, orang tua serta seluruh keluarga atas dukungan doa,
semangat, dan cinta kasihnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2015

Sussi Widi Kurniasih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian


1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi dan Epidemiologi
Genom Virus AI
Klasifikasi Virus AI
Hemaglutinin
Daerah Pemotongan Gen Hemaglutinin
Penularan
Morbiditas dan Mortalitas
Siklus Hidup dan Patogenesis
Gejala Klinis dan Lesi
Diagnosis
Isolasi Virus
Reverse-transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Pengurutan Oligonukleotida

Hubungan Kekerabatan
Mutasi Virus AI
Penyakit AI pada Unggas Air
Vaksinasi
3 METODE
Waktu dan Tempat
Isolasi Virus
Uji Hemaglutinasi (HA)
Identifikasi H5 dan N1 dengan Real-time Reverse-transcription
Polymerase Chain Reaction (RRT-PCR)
Identifikasi Neuraminidase N1 dengan Reverse-transcriptionPolymerase
Chain Reaction (RT-PCR)
Reverse-transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
untuk Pengurutan Oligonukleotida
Pengurutan Oligonukleotida
Analisis Filogenetik dan Jarak Kekerabatan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kematian Embrio setelah Inokulasi Virus AI
Korelasi antara Jumlah Virus dengan Aktivitas Hemaglutinasi
dan Virulensi Virus
Subtipe Virus Avian InfluenzaIsolat 2012–2013

4
4
5
5
6
6
7
7
9
10
10
10
11
12
12
13
13
14
14
15
16
17
17
18
18
19
20
22

Pengurutan Oligonukleotida Gen Hemaglutinin
Pengurutan Oligonukleotida Daerah Pemotongan Gen
Hemaglutinin
Analisis Filogenetik dan Hubungan Kekerabatan

24
27
30

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

50

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Isolat virus Avian Influenza yang digunakan dalam penelitian
Hasil pengamatan embrio setelah inokulasi virus AI
Kematian embrio setelah inokulasi virus AI
Hasil pengukuran titer HA
NilaiCt dan jumlah kopi RNA hasil uji RRT-PCR H5 dan N1
Hasil pegukuran konsentrasi produk PCR setelah amplifikasidengan
primer H548F-H1215R
7 Pola asam amino daerah pemotongan gen hemaglutinin

14
19
20
22
23
26
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Gambaran struktur virus AI
Gambaran siklus hidup virus AI
Alur penelitian
Gambaran hasil uji hemaglutinasi cepat
Gambaran hasil uji hemaglutinasi dengan mikrotitrasi
Posisi primer yang digunakan dalam proses pengurutan oligonukleotida
pada gen hemaglutinin
Hasil uji hemaglutinasi cepat cairan alantois setelah inokulasi virus AI
Produk PCR hasil amplifikasi dengan primer N1-1 N1-2
Produk PCR hasil amplifikasi dengan primer HA01-HA645
Produk PCR hasil amplifikasi dengan primer H548F-H1215R
Produk PCR hasil amplifikasi dengan primer H5-1–H5-3
Pohon filogenetik hasil analisis nukleotida gen hemaglutininvirusAI
yang digunakan dalam penelitian (nomor 1–9)dipadankandengan virus
AI dari wabah-wabah sebelumnya

5
9
14
15
16
18
21
23
25
25
25

32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel nilai HA dengan mikrotitrasi
2 Urutan oligonukleotida isolat-isolat virus yang digunakandalam
konstruksi pohon filogenetik
3 Urutan oligonukleotida daerah pemotongan gen hemaglutinin
4 Asam amino hasil translasi oligonukleotida daerah pemotongan gen
hemaglutinin
5 Jarak genetik gen hemaglutinin antara virus AI yang digunakan dalam
penelitian ini dengan virus AI dari wabah-wabahsebelumnya

39
40
44
46
49

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Avian Influenza (AI) merupakan penyakit yang berpotensi sangat
merugikan bagi dunia perunggasan di Indonesia dan di seluruh dunia. Penyakit AI
paling banyak terjadi pada ayam, tetapi kejadian penyakit ini juga dilaporkan pada
itik dan unggas lainnya (Susanti et al. 2009; Dharmayanti et al. 2012). Penyakit
AI ditemukan tahun 1878 di Italia, tetapi baru berhasil diisolasi pertama kali pada
tahun 1959 yaitu subtipe H5N1 A/chicken/Scotland/59. Setelah itu wabah AI
yang disebabkan oleh subtipe H5N1 terjadi di Hongkong pada tahun 1997
(Shortridge et al. 1998).
Indonesia pertama kali melaporkan kasus AI yang disebabkan oleh subtipe
H5N1 pada bulan Januari 2004 meskipun wabah sebenarnya terjadi pada Agustus
2003 di daerah Tangerang dan Pekalongan (Dharmayanti et al. 2011). Penyakit ini
sekarang telah bersifat endemik di berbagai daerah di Jawa, Bali, Sumatra, dan
Sulawesi Selatan. Hingga Desember 2008 hanya 2 propinsi di Indonesia yang
tidak melaporkan kejadian penyakit AI, dan hingga April 2012 penyakit AI sudah
endemik di 32 propinsi di Indonesia dan hanya 1 propinsi yang masih dinyatakan
bebas AI yaitu Maluku Utara (Andesfha et al. 2013).
Virus AI penyebab wabah di Indonesia digolongkan ke dalam klaster 2.1,
termasuk ke dalamnya adalah klaster 2.1.1, 2.1.2 dan 2.1.3 (Eagles et al. 2009;
Takano et al. 2009). Semua virus AI klaster Indonesia dikarakterisasi berdasarkan
perbedaan geografis dan spesies inangnya. Klaster 2.1.1 dominan di Jawa sejak
tahun 2003, diisolasi dari unggas yang terinfeksi AI selama periode wabah 2004–
2007. Klaster 2.1.2 diisolasi di Sumatra pada tahun 2004–2007, dan klaster 2.1.3
merupakan klaster dominan bersirkulasi secara luas di Indonesia sejak tahun 2004,
menyebar dan menjadi endemik di banyak daerah di Indonesia. Hasil evolusi dari
klaster inilah yang membentuk beberapa subklaster baru. (Takano et al. 2009),
seperti pernyataan Dharmayanti et al. (2011) bahwa karakteristik molekuler virus
AI Indonesia telah mengalami perubahan secara dinamis sejak pertama kali
diisolasi tahun 2003. Introduksi virus AI dari klaster 2.3 juga telah dilaporkan
(Eagles et al.2009). Wabah virusAI H5N1 klaster 2.3.2 di Indonesia terjadi pada
bulan September 2012 yang mengakibatkan kematian masal itik pada peternakanpeternakan itik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Varian virus yang menyerang
itik tersebut sangat ganas. Sembilan propinsi dilaporkan telah terjangkit dalam
waktu 6 bulan sejak kasus pertama dilaporkan yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur,
Jawa Barat, DIY, Banten, Lampung, Riau, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.
Hingga Desember 2012 tercatat 150000 ekor itik mati dan seluruh kasus kematian
terjadi pada peternakan itik rakyat (WHO 2011). Pada saat terjadi kematian masal
pada itik juga dilaporkan terjadi kematian pada ayam buras yang disebabkan oleh
AI H5N1 klaster 2.1.3 sehingga dapat diduga bahwa klaster lama Indonesia 2.1.3
tetap ada dan masih patogen pada ayam (Andesfha et al. 2013).
Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah bersama para
pelaku industri peternakan adalah melalui program vaksinasi AI. Di Indonesia
setelah pemerintah menetapkan bahwa wabah unggas disebabkan oleh penyakit
AI dari subtipe H5N1, dalam rangka penanggulangannya telah ditetapkan

2
kebijakan pelaksanaan program vaksinasi dengan menggunakan isolat lokal dan
isolat dengan subtipe yang sama (Eagles et al. 2009). Karakter genetik dari virus
H5N1 terus berkembang dan dapat mengalami mutasi sehingga kemungkinan
pergeseran genetik sudah terjadi di lapangan oleh karena tekanan imunologis dari
program vaksinasi. Strain vaksin yang efektif sebaiknya memiliki kesamaan
genetik minimal 80 % dengan virus AI lapangan (Dharmayanti et al. 2011;
Swayne et al. 1999). Adanya 2 klaster yang bersirkulasi bersama menuntut
penyesuaian strategi vaksinasi untuk memaksimalkan pengendalian terhadap
penyakit AI. Perbedaan klaster tersebut juga berimplikasi dalam seleksi kandidat
virus yang akan digunakan sebagai vaksin (Dharmayantiet al. 2014). Perbedaan
klaster ataupun subklaster dapat menyebabkan perbedaan struktur antigenik antara
virus yang satu dengan yang lainnya, sehingga vaksin yang digunakan untuk
mencegah wabah penyakit AI juga berbeda antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya (Smith et al. 2006). Vaksin yang digunakan harus memiliki kesesuaian
antigenik dengan virus yang bersirkulasi di lapangan (Dharmayantiet al. 2014).
Analisis filogenetik sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat penyebaran virus
dan menentukan kedekatan hubungan kekerabatan antara virus yang satu
dengan yang lainnya, sehingga dapat ditentukan strategi pengendalian dan jenis
vaksin yang tepat untuk mencegah wabah AI selanjutnya (Susanti 2008).
Virus AI memiliki 8 macam protein. Dua jenis protein yang berperan
penting dalam patogenitas virus AI adalah hemaglutinin (HA) dan neuraminidase
(NA) (Asmara et al. 2005). Hemaglutinin berfungsi melakukan penempelan virus
dan fusi dengan membran endosom pada sel inang, sedangkan neuraminidase
berperan dalam pelepasan progeni virion ke dalam sel inang (Dharmayanti et al.
2007; Susanti 2008). Hemaglutinin dan neuraminidase menentukan subtipe dari
virus AI. Perbedaan susunan oligonukleotida dalam gen HA ataupun NA
menentukan perbedaan antara subtipe virus AI yang satu dengan yang lainnya.
Virus AI subtipe H5N1 dinyatakan sebagai subtipe virus AI patogen atau highly
pathogenic avian influenza (HPAI) dan dinyatakan sebagai penyebab dari wabahwabah AI yang terjadi di Indonesia dan di seluruh dunia (OFFLU 2014; OIE
2014).
Di dalam hemaglutinin terdapat daerah pemotongan dan komponenkomponen lain seperti daerah antigenik, residu pengikat reseptor, kantong
pengikat reseptor, dan tempat glikosilasi (Perdue 2008; Susanti 2008). Daerah
pemotongan merupakan urutan asam amino pada hemaglutinin sebagai tempat
pembelahan prekursor HA menjadi HA1 dan HA2 oleh protease sel inang
sehingga menjadi perantara fusi antara amplop virus dengan membran endosomal
sel inang (Perdue 2008; Swayne dan Pantin-Jackwood 2008). Aktivitas proteolitik
molekul HA sangat penting dalam infektivitas dan virulensi dari virus AI.
Spesifisitas dari molekul HA inilah yang dapat menjadi faktor utama yang
membedakan patogenitas virus AI (Dharmayanti et al. 2012). Perbedaan antara
molekul-molekul HA dapat ditentukan berdasarkan urutan asam amino pada
daerah pemotongan (Susanti2008; Susanti et al. 2008).
Karakterisasi gen hemaglutinin virus AI perlu dilakukan untuk mengetahui
susunan oligonukleotida masing-masing isolat virus sehingga dapat dilakukan
analisis penentuan subtipe dan pola asam amino pada daerah pemotongan, serta
untuk mengetahui klasifikasi klaster dan tingkat penyebaran dan hubungan

3
kekerabatan virus-virus AI yang masih menimbulkan wabah di beberapa jenis
unggas di berbagai daerah di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan isolat-isolat yang berasal dari beberapa jenis
unggas yaitu ayam kampung, ayam petelur, ayam pedaging, dan itik yang diisolasi
dari berbagai daerah yaitu Bogor, Cianjur, Tangerang, Medan, dan Brebes.
Pemilihan isolat tahun 2012–2013 didasarkan pada kejadian-kejadian wabah AI
yang dipandang penting dan memberikan perubahan pada peta genetik penyakit
AI di Indonesia, antara lain wabah AI pada itik yang memunculkan klaster baru di
Indonesia yaitu klaster 2.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan subtipe dan patogenitas virus AI
yang diisolasi tahun 2012–2013 di beberapa daerah di Indonesia serta melakukan
analisis filogenetik dan jarak kekerabatan baik antar isolat-isolat virus tersebut
maupun dengan isolat virus AI Indonesia dari wabah-wabah sebelumnya.
Hipotesis Penelitian
Virus AI yang diisolasi dan menyebabkan wabah di peternakan unggas di
berbagai daerah di Indonesia tergolong ke dalam HPAI. Virus-virus AI tersebut
memiliki kedekatan genetik antara satu dengan yang lain dan dengan virus AI
penyebab wabah-wabah sebelumnya.
Manfaat Penelitian
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk
melengkapi program pencegahan dan strategi pengendalian terhadap penyakit AI
di masa mendatang, antara lain untuk mengkaji ulang pemilihan galur virus yang
digunakan dalam program vaksinasi AI. Isolat-isolat virus pada penelitian ini
dapat digunakan sebagai alternatif pemilihan kandidat vaksin yang dapat
diaplikasikan di lapangan sebagai salah satu langkah pencegahan terhadap wabah
penyakit AI.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi dan Epidemiologi
Avian Influenza (AI) merupakan penyakit infeksius yang menyerang
unggas, disebabkan oleh virus dari golongan Orthomyxoviridae. Penyakit ini telah
menyebar luas di seluruh dunia.Kasus-kasus AI telah dilaporkan dari Afrika, Asia,
Australia, Eropa, dan Amerika Utara maupun Amerika Selatan (Swayne dan
Halvorson 2003). Virus AI telah berhasil diisolasi dari unggas domestik terutama
ayam, kalkun, itik dan unggas air lainnya, dan burung-burung liar maupun burung
peliharaan. Pada berbagai populasi peternakan kurangnya biosekuriti dan
penanganan yang baik mengakibatkan virus AI menjadi bersifat endemik dan
menjadi ancaman besar bagi tercetusnya wabah penyakit tersebut (Lubroth et al.
2008). Penyakit AI yang disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
telah diidentifikasi pada unggas sejak tahun 2003 (Damayanti et al. 2004; Wiyono
et al. 2004), kemudian secara berturutan terjadi wabah-wabah AI hingga Agustus
2006, dan kini penyakit tersebut bersifat endemis di banyak wilayah di Indonesia
seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Gutierrez et al. 2009). Virus AI yang
diisolasi dari unggas di Indonesia termasuk dalam klaster 2.1 (Takano et al. 2009;
Nidom et al. 2012). Virus AI subtipe H5N1 dari berbagai negara secara
filogenetik terpisah menjadi 2 klaster.Klaster 1 adalah virus AI yang diisolasi di
Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, Korea Selatan, dan Jepang pada tahun 2003–
2004. Klaster 2 terbagi menjadi 3 subklaster yaitu subklaster 1 adalah isolat
Indonesia tahun 2004–2006 dan Hongkong tahun 2003, subklaster 2 adalah isolat
virus AI dari Rusia, Turki, dan Timur Tengah tahun 2005–2006, sedangkan
subklaster 3 adalah dari Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam tahun 2005–2006
(Hulse-Post et al. 2005; WHO 2005; Webster dan Govorkova 2006). Virus-virus
dalam klaster terpisah mempunyai perbedaan struktur antigenik sehingga setiap
klaster memerlukan vaksin yang berbeda (Smith et al. 2006).
Genom Virus AI
Virus AI mempunyai 8 segmen RNA untai tunggal berpolaritas negatif
dengan panjang total mencapai 14 kb dan menyandi 10 macam protein virus
(Swayne 2007). Virus ini memiliki 8 segmen gen yang berbeda yang mengkode
10 jenis protein virus yang berbeda. Struktur protein dalam virion dewasa dapat
dibagi menjadi protein permukaan dan protein internal. Termasuk ke dalam
protein permukaan adalah hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), dan membran
kanal ion (M2), sedangkan protein-protein internal meliputi nukleoprotein (NP),
protein matriks (M1), dan kompleks polimerase yang tersusun dari polimerase
basa 1 (PB1), polimerase basa 2 (PB2), dan polimerase asam (PA). Dua protein
tambahan lainnya adalah protein nonstruktural 1 (NS1) dan nonstruktural 2 (NS2).
Masing-masing protein tersebut memiliki peran dalam kehidupan virus AI
(Hewajuli dan Dharmayanti 2008; SADC 2010). Gambaran struktur virus AI
dapat dilihat pada Gambar 1.

5

Gambar 1 Gambaran struktur virus AI (Garmaroudi 2007)
Klasifikasi Virus AI
Berdasarkan karakter protein M yang dimilikinya, virus influenza A
digolongkan menjadi 3 tipe yang sangat berbeda secara antigenik yaitu virus
influenza tipe A, B, dan C. Tipe A utamanya menyerang unggas meskipun dapat
juga ditemukan pada manusia, babi, kuda, dan spesies mamalia lainnya,
sedangkan tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia dan bersifat ringan
(Swayne et al. 1998; Swayne dan Halvorson 2003; Capua dan Marangon 2006).
Berdasarkan gen hemaglutinin dan neuraminidase pada amplop pembungkus luar
virus maka virus AI dapat diklasifikasikan menjadi beberapa subtipe sehingga
penamaan virus ini didasarkan pada HA dan NA yaitu HxNx. Sampai saat ini
telah diketahui terdapat 18 subtipe HA (H1–H18) dan 11 subtipe NA (N1–N11)
(Mehle 2014). Masing-masing virus AI mempunyai 1 protein HA dan 1 protein
NA yang berpotensi membentuk beberapa kombinasi(SADC 2010; OIE 2014).
Hemaglutinin
Hemaglutinin (HA) berperan dalam proses interaksi langsung dengan
reseptor yang terdapat pada permukaan sel inang (SADC 2010). Tahapan
pengenalan, penempelan, dan infeksi oleh virus AI memerlukan partisipasi dari
gen hemaglutinin (Gutierrez et al. 2009; Chen et al. 2012). Infeksi virus AI
diawali dengan pengikatan virus pada reseptor sel yang diikuti terlepasnya
ribonukleoprotein virus melalui fusi membran. Aktivitas proteolitik setelah
translasi dari prekursor molekul HA (HA0) menjadi subunit HA1 dan HA2 oleh
protease sel hospes menghasilkan domain fusigenik pada asam amino terminus

6
dari HA2 yang selanjutnya akan menjadi perantara fusi antara amplop viral dan
membran endosomal, sehingga aktivitas proteolitik molekul HA sangat penting
dalam infektivitas virus AI (Perdue 2008).
Protein HA juga berperan dalam fusi membran virus dengan membran sel
induk semang sehingga dapat memfasilitasi pelepasan informasi genetik untuk
menginisiasi pembentukan virus baru. Proses tersebut diperantarai oleh daerah
peptida fusi dari gen hemaglutinin yang berlokasi di daerah HA2. Setelah partikel
virus mengalami endositosis dalam vesikula endositosik dan pH mengalami
penurunan, HA2 mengalami perubahan konformasi yang membawa peptida fusi
berdekatan dengan membran vesikula sehingga terjadi fusi dan penekanan
material isinya ke dalam sitoplasma sel. Oleh karena itu pembelahan dari gen HA
sangat penting bagi pembentukan dan pelepasan peptida fusi dan bagi inisiasi
infeksi virus AI (Suzuki dan Nei 2002).
Daerah Pemotongan Gen Hemaglutinin
Daerah pemotongan merupakan urutan asam amino yang berperan dalam
pembelahan prekursor HA (HA0) menjadi HA1 dan HA2 secara enzimatis oleh
protease sel inang sehingga fusi dengan membran endosom dapat terjadi untuk
memfasilitiasi infeksi virus AI ke dalam sel inang (Klenk et al. 1975). Daerah
pemotongan HA0 tergantung dari adanya asam amino arginin (R) atau lisin (K).
Daerah tersebut bersifat spesifik dan spesifisitas tertentu dari protease membatasi
distribusi jaringan yang terinfeksi oleh virus AI. Pada umumnya virus AI
nonvirulen atau dengan patogenitas rendah memiliki 1 asam amino basa di daerah
pemotongan sedangkan strain dengan patogenitas tinggi memiliki lebih dari 1
asam amino basa (Munch et al. 2001; Perdue 2008; Gutierrez et al. 2009).
Daerah pemotongan HA dengan asam amino arginin tunggal pada virus AI
avirulen (misalnya HA1-PSIQVR-GL-HA2) yang hanya dapat dipecah oleh
triptase yang dihasilkan oleh epitel saluran pernafasan dan pencernaan, hanya
memungkinkan terjadinya infeksi lokal pada saluran pernafasan atau pencernaan
atau keduanya, menghasilkan infeksi ringan atau asimtomatis. Sebaliknya daerah
pemotongan HA dengan asam amino arginin atau lisin berulang pada virus AI
virulen (misalnya HA1-KKREKR-GL-HA2) memungkinkan HA dapat dipecah
oleh protease seperti furin dan proprotein konvertase 6 (PC6) yang dapat
ditemukan pada aparatus Golgi dari semua sel sehingga menyebabkan infeksi
sistemik di berbagai organ yang dapat mengakibatkan kematian (Bosch et al.
1979; Chen et al. 2004; Gutierrez et al. 2009; Horimoto et al. 1994). Virus AI
dengan pola daerah pemotongan asam amino basa ganda memiliki distribusi tak
terbatas sehingga virus tersebut dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal,
dan feses (Chen et al. 2004; WHO 2005).

Penularan
Virus AI dapat ditularkan melalui ekskresi virus dari lubang hidung, mulut,
konjungtiva, dan kloaka dari unggas yang terinfeksi karena virus bereplikasi
dalam saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, dan organ reproduksi.
Penularan AI dapat terjadi melalui kontak langsung ataupun tidak langsung

7
dengan unggas penderita, peralatan terkontaminasi, atau dari material organik
yang mengandung virus AI (Capua dan Marangon 2006). Penularan melalui
material eksudat saluran pernafasan merupakan cara penularan yang paling
banyak terjadi karena konsentrasi virus dalam saluran pernafasan tinggi.
Konsentrasi virus yang lebih rendah tetapi dalam volume yang lebih banyak yang
terdapat dalam feces unggas terinfeksi juga menjadi sarana penularan yang utama.
Masa inkubasi penyakit yang disebabkan oleh virus ini bervariasi dari beberapa
jam pada unggas percobaan yang diinfeksi secara intravena, hingga 3 hari pada
unggas yang terinfeksi secara alami, sampai 14 hari pada suatu flok yang
terinfeksi. Masa inkubasi tergantung dari jumlah virus yang masuk, cara
penularan, dan spesies unggas yang terinfeksi (Tabbu 2000).
Morbiditas dan Mortalitas
Morbiditas dan mortalitas penyakit AI bervariasi tergantung dari gejala
klinis,patogenitas virus, dan faktor-faktor induk semang. Pada kasus yang
disebabkan oleh HPAI morbiditas berkisar antara 50–89 % dan mortalitas dapat
mencapai 100 %, sedangkan pada kasus LPAI morbiditasnya cukup tinggi tetapi
mortalitasnya rendah (kurang dari 5 %) kecuali jika terjadi infeksi penyakit lain
yang bersamaan atau unggas yang terserang berumur muda (Capua et al. 2000).
Siklus Hidup dan Patogenesis
Virus AI dapat dikasifikasikan ke dalam 2 patotipe yang berbeda yaitu low
pathogenic avian influenza (LPAI) dan high pathogenic avian influenza (HPAI)
berdasarkan kemampuannya dalam menyebabkan sakit dan kematian pada unggas
yang diserang (Tabbu 2000). Identifikasi patotipe virus AI sangat penting bagi
penggolongan suatu strain atau isolat ke dalam LPAI atau HPAI. Virus LPAI
menyebabkan gangguan respirasi dan penurunan produksi telur pada semua
spesies unggas, sedangkan HPAI menyebabkan gangguan sistemik dengan
kematian yang tinggi pada ayam dan beberapa spesies unggas lainnya hingga
mencapai 100% (Capua dan Marangon 2006).
Virus AI diklasifikasikan sebagai patogen (HPAI) apabila memiliki
intravenous pathogenicity index (IVPI) terhadap ayam umur 6 minggu sebesar
lebih dari 1.2, atau menyebabkan kematian 75 % dalam waktu 10 hari pada ayam
umur 4–8 minggu yang diinfeksi dengan 0.2 ml virus AI secara intravenosa. Virus
AI yang termasuk ke dalam subtipe H5 dan H7 tetapi tidak memiliki IVPI lebih
dari 1.2 atau menyebabkan kematian 75 % pada uji tantang secara intravenosa
harus dilakukan proses pengurutan oligonukleotida untuk menentukan adanya
pola asam amino basa berulang pada daerah pemotongan gen hemaglutinin,
sehingga dapat digolongkan ke dalam AI patogen/HPAI. Virus AI yang
diklasifikasikan sebagai LPAI adalah semua virus AI subtipe H5 dan H7 yang
tidak memenuhi kriteria untuk digolongkan sebagai HPAI (WHO 2006; OIE
2014).
Infeksi oleh virus AI diawali oleh perlekatan protein HA pada reseptor asam
sialat dari sel inang. Protein HA juga berfungsi dalam fusi membran virus dengan
sel inang dan pelepasan materi genetik untuk menginisiasi pembentukan virus
baru. Proses ini diperantarai oleh peptida fusi yang berlokasi di daerah HA2 yang

8
tereksplotasi setelah pemecahan daerah pemotongan protein HA menjadi subunit
HA1 dan HA2 (Skehel et al. 2001). Pada virus LPAI pemecahan daerah
pemotongan terjadi karena aktivitas enzim menyerupai tripsin yang terdapat pada
sel-sel epitel saluran pernafasan, sedangkan pada virus HPAI pemecahan dapat
dilakukan oleh enzim menyerupai tripsin ataupun protease-protease ubikuitus
seperti furin yang terdapat pada hampir semua sel di seluruh tubuh (Swayne 2007;
Swayne dan Halvorson 2008).
Setelah terjadi perlekatan, virus akan mengalami endositosis. Kondisi pH
yang rendah (5.5) menjadi pemicu terjadinya perubahan konformasi HA2 dan
berlanjut dengan fusi antara domain HA yang aktif dengan membran sel inang
sehingga RNA virus dapat dilepaskan ke dalam sitoplasma sel inang (Webster et
al. 1992).Proses tersebut diperantarai oleh protein M2 yang merupakan protein
membran integral yang memungkinkan ion H+ masuk ke dalam virion dan
menyebabkan perubahan konformasi protein HA sehingga protein tersebut
menjadi aktif (Pinto dan Lamb 2007).
Tahap berikutnya adalah RNA yang berorientasi negatif dikopi menjadi
RNA positif oleh kompleks polimerase virus yang melibatkan 3 jenis protein
polimerase (PB1, PB2, dan PA) serta protein NP di dalam inti sel. Virus
menggunakan perangkat dari sel inang yaitu RNA polimerase II untuk
menginisiasi sintesis mRNA virus. Ribonucleic acid (RNA) positif kemudian
bermigrasi dari inti sel menuju sitoplasma untuk mengalami proses translasi, dan
selanjutnya RNA positif berperan sebagai cetakan untuk membentuk RNA negatif
yang akan dirakit menjadi virion baru (Krug 1981).
Dua protein virus yaitu M1 dan NS2 berperan dalam lalu lintas proteinprotein virus ke dalam dan dari inti sel inang. Protein M1 juga memiliki peran
dalam perakitan struktur virion baru. Proses perakitan virus juga terjadi terhadap 3
protein membran yaitu HA, NA, dan M2 yang masuk ke dalam retikulum
endoplasmik dan mengalami pelipatan dan glikosilasi sebelum akhirnya berpindah
ke bagian apikal dari membran plasma. Setelah virion baru terbentuk, terjadi
reaksi enzimatis dari protein NA untuk memotong asam sialat dari glikoprotein
HA (Matrosovich et al. 2004).
Replikasi virus AI dimulai di epitel rongga hidung dan saluran pernafasan.
Pada kasus LPAI virus akan dilepaskan ke sel-sel lain di saluran pernafasan dan
pencernaan. Berbeda dengan LPAI, virus HPAI akan bereplikasi dalam sel-sel
endotelial dan menyebar melalui sistem vaskular atau limfatik untuk menginfeksi
dan bereplikasi dalam berbagai jenis sel dalam organ-organ viseral, otak, dan kulit.
Gejala klinis dan kematian disebabkan oleh kaskade edema, perdarahan, dan
kegagalan fungsi multiorgan. Kerusakan yang disebabkan oleh virus HPAI
merupakan hasil dari proses replikasi virus secara langsung pada sel, jaringan, dan
organ ataupun merupakan efek tidak langsung dari produksi mediator-mediator
seluler seperti sitokin, serta iskemia karena trombosis vaskular (Swayne dan
Halvorson 2003). Pada tingkat seluler perubahan-perubahan yang terjadi karena
infeksi HPAI adalah nekrosis dan apoptosis. Nekrosis berhubungan dengan
tingginya tingkat replikasi virus, paling banyak dilaporkan terjadi pada neuron
otak, sel-sel tubuli ginjal, epitel asinar pankreas, miosit jantung, sel-sel kortikal
adrenal, dan sel-sel epitelial paru-paru dari unggas yang terinfeksi (Suarez et al.
1998). Gambar 2 memperlihatkan gambaran siklus hidup virus AI.

9

Gambar 2 Gambaran siklus hidup virus AI (Das et al. 2010). a. struktur
virus AI,b. perlekatan HA pada permukaan sel, endositosis, dan
viral RNP ditransportasikan ke dalam inti sel, c. sel kompleks
polimerase menginisiasi sintesis virus barudi dalam inti,
d–f. viral RNA ditransportasikan ke dalam sitoplasma untuk
mengalami proses translasi; protein HA, NA, M2 diproses di
dalam retikulum endoplasma dan mengalami glikosilasi di
badan Golgi serta ditransportasikan ke membran sel,
g. pelepasan virion baru dari sel.

Gejala Klinis dan Lesi
Gejala klinis dan lesi karena penyakit AI merupakan refleksi dari replikasi
virus dan kerusakan sistem organ utama termasuk organ-organ viseral,
kardiovaskular, sistem syaraf, dan kulit. Unggas menampakkan gejala-gejala
gangguan syaraf seperti tremor kepala dan leher, tortikolis, tidak mampu berdiri,
opistotonus, paresis, paralisis, eksitasi, konvulsi, inkoordinasi, dan kehilangan
keseimbangan. Secara umum unggas berkurang aktivitasnya, mengalami
penurunan sensitivitas terhadap rangsangan luar, dehidrasi, penurunan nafsu
makan dan minum, penurunan produksi telur, dan diare (Swayne dan PantinJackwood 2008).
Lesi-lesi yang terjadi karena infeksi HPAI meliputi edema, perdarahan,
dan nekrosis. Edema subkutan menyebabkan kebengkakan pada kepala, muka,

10
leher bagian atas, periorbital, intermandibular, tungkai, dan kaki. Hiperemia
terjadi pada kelopak mata, konjungtiva, dan trakea. Perdarahan ptekial hingga
ekimosa dan sianosis terjadi pada pial dan jengger. Lesi pada organ-organ internal
meliputi perdarahan pada permukaan serosa atau mukosa seperti lemak jantung
dan epikardium, proventrikulus dan ventrikulus, otot pektoral, permukaan dalam
sternum, seka tonsil, dan divertikulum Meckel. Nekrosis dapat terjadi pada
pankreas, sedangkan nekrosis dan perdarahan terjadi pada lempeng Peyer dan
paru-paru. Selain itu paru-paru juga dapat mengalami pneumonia interstitialis
disertai dengan edema. Pada otak dapat terjadi nekrosis dan hemoragi yang
disertai edema. Lesi pada ginjal ditandai dengan adanya deposit urat. Pada unggas
muda, bursa Fabrisius dan timus mengalami atropi dengan atau tanpa perdarahan.
Limpa normal atau membesar disertai foki nekrotik (Swayne dan PantinJackwood 2008).
Diagnosis
Diagnosis definitif dari penyakit AI ditetapkan berdasarkan deteksi
langsung terhadap protein virus AI yang terdapat di dalam spesimen seperti
jaringan, preparat usap, kultur sel dan Telur Ayam Berembrio (TAB), atau melalui
isolasi dan identifikasi virus AI (Swayne dan Halvorson 2003; Spackman et al.
2008).
Isolasi virus
Isolasi virus merupakan referensi standar dalam diagnosa penyakit AI.
Metode ini penting untuk mengkonfirmasi ada tidaknya virus pada suatu kasus
penyakit dan untuk dapat melakukan analisis lebih lanjut. Sampel yang diperlukan
untuk isolasi virus dapat berupa suspensi organ dan preparat usap kloaka, trakea,
atau orofaring, serta sampel-sampel dari lingkungan. Metode ini dapat digunakan
untuk mendeteksi keberadaan virus AI pada semua stadium infeksi (Spackman et
al. 2008).
Reverse-trancription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Aplikasi metode molekuler untuk mengetahui ada tidaknya asam nukleat
virus telah menjadi metode yang penting dalam mendeteksi virus AI dan
mengidentifikasi subtipe dari virus tersebut (Spackman et al. 2008). Metode
molekuler yang paling banyak digunakan adalah Reverse-trancription Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR), baik Real-time RT-PCR (RRT-PCR) ataupun RT-PCR
konvensional. Metode ini memiliki banyak kelebihan antara lain sensitivitas dan
spesifisitasnya yang tinggi, mampu mengakomodasi ukuran sampel yang kecil
dan dapat mengurangi kontak dengan material yang infeksius. Kelebihan lain dari
metode ini adalah hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat sedikit. Realtime RT-PCR memiliki kelebihan dibandingkan RT-PCR konvensional yaitu hasil
yang diterima lebih cepat (kurang dari 3 jam), lebih spesifik daripada RT-PCR
konvensional oleh karena menggunakan probe, dan mengurangi potensi
kontaminasi oleh karena sampel tidak dimanipulasi setelah amplifikasi (Trani et al.
2005; Sakurai dan Shibasaki 2012). Metode Real-time RT-PCR menyediakan

11
informasi awal yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan tindakan
yang cepat, sedangkan metode RT-PCR konvensional biasanya akan dilanjutkan
dengan proses pengurutan oligonukleotida untuk melihat lebih jauh karakter virus
AI seperti hubungan kekerabatan, adanya mutasi, atau untuk menentukan
patogenitas virus AI (Hewajuli dan Dharmayanti 2008).
Virus AI merupakan virus RNA untai tunggal sehingga pada reaksi PCR
diperlukan suatu tahap transkripsi balik oleh enzim reverse transcriptase untuk
mendapatkan urutan DNA yang merupakan komplementer dari urutan RNA virus
(complementary DNA atau cDNA). Prinsip reaksi RT-PCR adalah ekstraksi RNA
virus yang kemudian disintesis menjadi cDNA menggunakan enzim reverse
transcriptase.Pada tahap berikutnya cDNA dijadikan cetakan dalam reaksi PCR
untuk menghasilkan DNA untai ganda melalui siklus denaturation, annealing,
dan extension menggunakan primer spesifik.Enzim reverse transcriptase yang
umum digunakan adalah Taq DNA polymerase yang merupakan enzim yang tahan
panas dan dapat bekerja pada suhu tinggi, serta memiliki kecepatan polimerase
dan kemampuan menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara terusmenerus tanpa terdisosiasi dari kompleks primer-DNA cetakan (Yuwono 2006).
Pada PCR konvensional hasil diagnosis ditentukan berdasarkan ada tidaknya
amplikon yang terlihat sebagai pita pada gel elektroforesis. Elektroforesis adalah
proses migrasi fragmen DNA di dalam gel yang direndam dalam larutan
penyangga. Proses migrasi tersebut berjalan mengikuti arus listrik dari kutub
negatif menuju ke kutub positif. Keseluruhan proses diagnosis menggunakan RTPCR konvensional memerlukan waktu kurang lebih 4–5 jam. Metode Real-time
RT-PCR dikembangkan untuk dapat melakukan uji lebih cepat. Di dalam metode
tersebut tahapan elektroforesis dihilangkan sehingga waktu yang diperlukan lebih
singkat (Trani et al. 2005; Hewajuli dan Dharmayanti 2008).
Prinsip kerja Real-time RT-PCR hampir sama dengan RT-PCR
konvensional yaitu melalui denaturation, annealing, dan extension pada 1 siklus.
Perjalanan proses reaksi-reaksi tersebut setiap siklus dapat dilihat per satu satuan
waktu. Di dalam Real-time RT-PCR digunakan suatu penanda yang disebut probe
yang menempel pada suatu urutan DNA. Probe tersebut dilengkapi dengan
pembawa sinyal (reporter) dan penahan sinyal (quencher). Pada saat primer
melakukan perpanjangan rangkaian DNA yang diperantarai oleh enzim
polimerase, proses perpanjangan akan menabrak probe yang menyebabkan
terlepasnya ikatan reporter dan quencher. Terlepasnya ikatan tersebut
mengakibatkan terbacanya emisi sinyal reporter oleh perangkat dalam mesin PCR
yang akan dimunculkan dalam bentuk suatu grafik penambahan kopi DNA per
satuan siklus PCR (Hewajuli dan Dharmayanti 2008; Sakurai dan Shibasaki 2012).
Pengurutan Oligonukleotida
Analisis data hasil proses pengurutan oligonukleotida gen-gen dalam virus
AI sangat penting untuk dapat memprediksi dengan cepat patotipe dari virus AI.
Analisis tersebut dilakukan terhadap pola asam amino daerah pemotongan gen
hemaglutinin (Swayne et al. 1998). Hal ini menjadi salah satu kriteria yang
dipakai oleh World Health Organization (WHO) dan Office International des
Epizooties (OIE) untuk menentukan penggolongan suatu virus ke dalam LPAI
atau HPAI. Selain itu data hasil pengurutan oligonukleotida juga dapat digunakan

12
dalam analisis epidemiologi untuk identifikasi geografi dan asal-usul dari suatu
spesies virus AI, mengetahui ada tidaknya mutasi, dan untuk menentukan
hubungan genetik virus tersebut dengan virus-virus AI sebelumnya yang telah
diketahui karakter genetiknya (Dharmayanti et al. 2004; WHO 2006;OIE 2014).

Hubungan Kekerabatan
Menurut World Health Organization (2012) konstruksi filogenetik
dilakukan atas dasar pendekatan terhadap variasi urutan oligonukleotida gen
hemaglutinin H5 yang telah dipublikasikan, yang merupakan perkembangan dari
virus AI H5N1 A/goose/Guangdong/1996. Virus-virus AI H5N1 yang bersirkulasi
dikelompokkan menjadi klaster menurut karakteristik filogenetik dan homologi
urutan oligonukleotida dari gen HA. Berdasarkan kriteria yang digunakan dalam
membedakan kelompok-kelompok yang bervariasi dari gen HA H5, sistem ini
mengidentifikasi 20 klaster virus AI yang berbeda. Klaster-klaster tersebut
didefinisikan berdasarkan kriteria : 1) digolongkan sebuah klaster baru apabila
memiliki rata-rata persentase jarak pasangan nukleotida antar spesies (average
pairwise distance) lebih dari 1.5 % dari klaster yang telah ada dan terdefinisi
sebelumnya, 2) hasil analisis filogenetik dan keragaman sekuen HA menunjukkan
sharing common ancestral node dengan nilai bootstrap >60 % pada nodus
filogenetik yang menunjukkan klaster setelah 1000 neighbor-joining bootstrap
replicates. Sejalan dengan evolusi virus AI, terdapat potensi terbentuknya klasterklaster baru secara periodik. Apabila terdapat klaster baru yang memenuhi kriteria
tersebut, maka akan didefinisikan sebagai klaster yang terpisah.
Mutasi Virus AI
Virus AI memiliki 2 mekanisme untuk mempertahankan diri di dalam
lingkungan, yaitu dengan cara mutasi dan kemampuan untuk melakukan reasorsi
genetik. Material virus AI yang berupa RNA untai tunggal bersegmen ini
memberi peluang terjadinya pertukaran informasi genomik di antara virus
influenza A. Antigen permukaan yang dimiliki virus AI dapat berubah secara
periodik, dikenal dengan istilah antigenic drift dan antigenic shift. Antigenic drift
merupakan perubahan minor antigenik yang terjadi pada satu titik dari gen HA
atau NA yang dapat menyebabkan perubahan struktur permukaan virus sehingga
antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh sel induk semang akibat proses vaksinasi
tidak mampu mengenali keberadaan virus tersebut, sedangkan antigenic shif
tmerupakan perubahan genetik virus yang lebih besar, meliputi minimal 1 segmen
dari 8 segmen genom virus yang memungkinkan munculnya strain atau varian
virus baru(Munch et al. 2001).
Antigenic shiftdapat timbul akibat reasorsi genetic (pertukaran atau
pencampuran gen) yang terjadi pada 2 atau lebih virus influenza tipe A sehingga
terjadi penyusunan kembali suatu galur virus baru yang bermanifestasi sebagai
subtipe virus AI baru. Antigenic shift terjadi oleh adanya perubahan struktur
antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan HA dan/atau NA,
maupun gen-gen internal yang berakibat meningkatnya diversitas virus baik dalam
sifat antigenik maupun virulensinya. Selain reasorsi gen, di dalam induk semang

13
baru virus AI juga dapat melakukan adaptasi dan evolusi untuk menghasilkan
strain baru yang berbeda dengan virus-virus AI sebelumnya dan lebih
virulen.Mutasi pada materi genetik dapat menimbulkan perubahan polipeptida
virus, yaitu sekitar 2–3 kali substitusi asam amino per tahun (Capua et al. 2000).

Penyakit AI pada Unggas Air
Unggas air diketahui sebagai inang dari semua subtipe virus AI sehingga
memberikan resiko kesehatan yang sangat serius terhadap spesies hewan lain
secara luas dan memungkinkan terjadinya pencampuran genetik (genetic mixing).
Meskipun beberapa subtipe virus AI yang terdapat dalam tubuh inang alami
bersifat tidak patogen atau tidak virulen tetapi keberadaannya menyebabkan inang
alami tersebut menjadi reservoir virus AI (Susanti et al. 2009; Hewajuli dan
Dharmayanti 2012).
Adaptasi virus AI pada unggas air berjalan bertahun-tahun oleh karena
unggas air yang berperan sebagai reservoir juga dapat menyebabkan virus HPAI
H5N1 dalam unggas air menjadi avirulen (Webster et al. 1992; Horimoto dan
Kawaoka 2001). Tingkat patogenitas virus HPAI H5N1 yang rendah dalam
unggas air berhubungan dengan jumlah dan kemampuan yang terbatas dari
protease sel unggas air untuk memecah daerah pemotongan HA0 (Susanti et al.
2008). Sebagai inang alami virus AI, unggas air juga berperan dalam adaptasi
induk semang terhadap virus AI (Hulse-Post et al. 2005; Susanti et al. 2008).
Karakteristik nonpatogenik HPAI H5N1 dalam unggas air menunjukkan bahwa
evolusi virus telah mencapai titik keseimbangan pada inang alami ini. Sebagian
besar virus mungkin telah dieliminasi oleh respon kekebalan dari unggas air tetapi
sebagian kecil populasinya akan tetap bereplikasi dan dikeluarkan lewat feses
(Hulse-Post et al. 2005).
Vaksinasi
Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan penyakit AI.
Vaksinasi terhadap AI pada unggas tidak hanya mencegah gejala klinis dan
penyakit, namun juga dapat mencegah tantangan virus lapang, mengurangi
ekskresi virus yang dapat menjadi sumber infeksi, dan menekan potensi
penularanvirus AI ke unggas lain. Vaksinasi dapat berhasil apabila tindakan
tersebut merupakan bagian dari strategi kontrol yang lebih luas yang melibatkan
biosekuriti dan monitoring perkembangan infeksi (Swayne et al. 2000; Lee dan
Suarez 2005; Capua dan Marangon 2006). Kandungan virus dalam vaksin dapat
homolog ataupun heterolog. Vaksin AI homolog adalah vaksin yang memiliki
kandungan antigen hemaglutinin dan neuraminidase yang sama dengan virus AI
yang sedang berjangkit di daerah yang bersangkutan, sedangkan vaksin AI
heterolog merupakan vaksin yang mempunyai kandungan hemaglutinin yang
sama dan neuraminidase yang berbeda dengan virus AI yang sedang berjangkit
(Mahardika et al. 2009).

14

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 hingga Desember
2014 di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di
Prolab Diagnostic Laboratory PT. Sierad Produce Tbk. Gambar 3
memperlihatkan tahap-tahap pengujian yang dilakukan dalam penelitian.
Alur Penelitian
Isolasi virus

Uji hemaglutinasi
(HA)

HA (-)

HA (+)

Isolasi RNA

Filogenetik

RT-PCR Pengurutan
oligonukleotida

Cleavage site

Penentuan
patogenitas

Analisis urutan
asam amino

RRT-PCR

Penentuan subtipe

Gambar 3 Alur penelitian.Cairan alantois hasil isolasi virus diuji hemaglutinasi.
Hasil uji hemaglutinasi positif dilanjutkanRRT-PCR untuk menentukan
subtipe virus dan RT-PCR untukpengurutan oligonukleotida, analisis
filogenetik serta penentuan patogenitas virus.

Isolasi Virus
Isolat virus yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari unggas pada
peternakan yang mengalami wabah AI pada tahun 2012 – 2013 (Tabel 1).
Tabel 1 Isolat virus Avian Influenza yang digunakan dalam penelitian
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Nama isolat
A/Ck/Parung Panjang/Prl/2012
A/Ck/Cigudeg/Prl/2013
A/Ck/Lyr.Gnsindur/Prl/2013
A/Ck/Gunungsindur/Prl/2013
A/Ck/Cianjur/Prl/2013
A/Ck/Legok/Prl/2013
A/Ck/Medan/Prl/2013
A/Dk/Pakijangan/Prl/2013
A/Dk/Brebes/Prl/2013

Unggas
Kampung
Kampung
Petelur
Pedaging
Pedaging
Pedaging
Pedaging
Itik
Itik

Asal/Tahun
Tangerang/2012
Bogor/2013
Bogor/2013
Bogor/2013
Cianjur/2013
Tangerang/2013
Medan/2013
Brebes/2013
Brebes/2013

15
Isolasi virus dilakukan menurut Swayne et al. (1998) dan OIE (2014).
Sampel yang digunakan dapat berupa preparat usap ataupun organ yang diambil
dari saluran pernafasan (trakea, paru-paru, kantong udara, dan eksudat sinus)
atau saluran pencernaan (preparat usap kloaka). Selain itu virus juga dapat
diisolasi dari hati, limpa, darah, jantung, ataupun otak. Pada penelitian ini
sampel diambil dari trakea, paru-paru, dan otak. Prosedur isolasi dimulai dengan
pembuatan suspensi organ 20 % dalam phosphate-buffered saline (PBS) yang
telah mengandung antibiotik Penicillin10000 IU/ml, Streptomycin 2000 µg/ml,
Kanamycin sulfate 650 µg/ml, dan Amphotericin B 20 µg/ml. Suspensi organ
disentrifus 1500×g selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifugasi
diinokulasikan ke dalam Telur Ayam Berembrio (TAB) Specific Pathogen Free
(SPF) umur 10 hari sebanyak 0.2 ml/TAB, masing-masing 5 TAB untuk tiap
isolat. Kontrol TAB tidak diinokulasi. Telur Ayam Berembrio (TAB) yang telah
diinokulasi, diinkubasikan pada suhu 38–39 °C dengan kelembaban udara 60–
65 % dan dilakukan pengamatan setiap hari terhadap ada tidaknya embrio yang
mati. Semua TAB dengan embrio yang mati disimpan pada suhu 4 °C selama
semalam, selanjutnya dilakukan panen cairan alantois dan uji hemaglutinasi.

Uji Hemaglutinasi (HA)
Uji hemaglutinasi dilakukan dengan metode hmaglutinasi cep