VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA

(1)

R. Susanti

Diterbitkan oleh

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

VIRUS AVIAN INFLUENZA &

DINAMIKA MOLEKULERNYA

R. Susanti VIRUS A

VIAN INFLUENZ

A & DINAMIKA MOLEKULERNY

MONOGRAF

ISBN : 978-602-18553-5-5


(2)

MONOGRAF

VIRUS AVIAN INFLUENZA dan

DINAMIKA MOLEKULERNYA

R. Susanti

Diterbitkan oleh: FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013


(3)

VIRUS

AVIAN INFLUENZA

dan

DINAMIKA MOLEKULERNYA

Penulis : Dr. drh R. Susanti M.P

Penyunting : _________________

Desain sampul dan tata letak : Yoris Adi Maretta

ISBN : 978-602-18553-5-5

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi monograf tanpa ijin tertulis dari penulis


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt atas anugerah-Nya

sehingga buku monograf berjudul “Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya” ini dapat terselesaikan. Monograf ini

berisi konsep, teori dan hasil penelitian tentang karakter virus avian influenza subtipe H5N1 secara molekuler. Hasil-hasil penelitian mencakup semua isolat virus avian influenza subtipe H5N1 di dunia, namun paparan lebih rinci pada isolat di Indonesia.

Virus avian influenza (VAI) adalah virus influenza tipe A

yang menyerang unggas dan menyebabkan penyakit “flu burung”. Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA berserat tunggal

(single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11

protein. Virus ini merupakanpatogen intraseluler, sehingga untuk dapat beradaptasi, bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospesnya, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes. Mekanisme untuk menghindar dari respon hospes tersebut terjadi melalui fenomena yang disebut hanyutan antigenik (antigenic drift). Hanyutan antigenik adalah perubahan/mutasi secara periodik akibat mutasi genetik struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi atau infeksi alami sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut.

Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia.


(5)

Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat VIA subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, menarik dilakukan karakterisasi molekuler gen-gen penyusunnya. Nukleotida penyusun gen-gen VAI merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter genotip secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut

Buku monograf ini merupakan salah satu bahan ajar untuk mata kuliah biokimia, imunologi, biologi molekuler, taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun biologi umum. Monograf ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa S1, S2 dan S3, masyarakat umum maupun dinas terkait yang berkecimpung dalam penelitian, pencegahan dan pengendalian

penyakit hewan khususnya “flu burung”. Tingginya kemanfaatan hasil-hasil penelitian tentang avian influenza bagi mahasiswa maupun peneliti, mendorong diterbitkannya monograf ini. Buku monograf ini berturut-turut berisi (1) Pendahuluan, (2) Biologi virus avian influenza, (3) Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus avian influenza, (4) Teknik identifikasi virus avian influenza dan subtipenya, (5) Teknik analisa molekuler nukleotida penyusun gen-gen virus avian influenza, (6) Dinamika molekuler virus avian influenza subtipe H5N1 di Indonesia, (7) Epidemiologi virus avian influenza dan penularannya dan (8) Penutup.


(6)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Retno Sri Iswari, SU yang telah menyunting monograf ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada mahasiswa yang terlibat dalam penelitian virus avian influenza, serta semua teman-teman yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan monograf ini. Semoga karya buku monograf ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia. Kritik dan saran demi kesempurnaan monograf ini sangat penulis harapkan.

Semarang, Agustus 2013


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ……… ….……….. viii

DAFTAR GAMBAR ………... x

BAB I PENDAHULUAN 1 Rumusan Masalah ………. 5

Tujuan ...………... 6

Metode...………... 7

BAB II BIOLOGI VRUS INFLUENZA 8 Morfologi ...………... 8

Klasifikasi ...………... 9

Siklus Hidup ...………... 14

Mutasi Gen VAI ...………... 20

Hanyutan antigenik ….………... 25

Reasorsi dan transmisi VAI………... 26

BAB III TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA 29 Preparasi Sampel...………... 31

Media Perbanyakan virus ...……….………... 31

Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF 34 BAB IV TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA 39 Uji Hemaglutinasi (HA)..………... 39

Metode Uji Hemaglutinasi (HA)………... 41

Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test ……..……... 42

Metode uji AGPT….………... 44

Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler 46 Metode Isolasi RNA Virus .………... 47

Metode RT-PCR……..,.………... 52

Elektroforesis ……….………... 54 Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 56 BAB V TEKNIK ANALISA MOLEKULER NUKLEOTIDA 59


(8)

PENYUSUN GEN-GEN VIRUS AVIAN INFLUENZA

Contoh Metode Amplifikasi Gen HA Dengan Primer

Spesifik 60

Purifikasi produk PCR………..……... 61

Sekuensing………..………... 62

Metode analisis nukleotida dengan program MEGA 3.1 62 BAB VI DINAMIKA MOLEKULER VIRUS AI SUBTIPE H5N1 DI INDONESIA 72 Gen Hemaglutnin (HA) ....………... 73

Gen Non Struktural-1 (NS1) ...………... 96

Gen Polymerase Basic 1 (PB1) ...………... 102

Gen Polymerase Basic 2 (PB2) ... 108

Gen Neuraminidase (NA) ….………. 112

BAB VII EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INVLUENZA DAN PERAN UNGGAS AIR 118 Epidemiologi Virus Avian Influenza…………... 118

Telaah Virus Avian Influenza di Indonesia …….……... 121

Peran unggas air pada penyebaran virus avian influenza… 123

Cara Perlindungan dan Pencegahan Infeksi Virus Avian Influenza 128 BAB VIII PENUTUP ………. 132

DAFTAR PUSTAKA ……… 141

GLOSARIUM………. ……… 169

INDEKS ………. ……… 174


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein

yang disandinya ... 12

Tabel 2 Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit... 29

Tabel 3 Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, H1 dan ND serta besaran produk PCR yang

diharapkan……… 53

Tabel 4 Sekuen nukleotida primer untuk mengamplifikasi gen

HA ... 59

Tabel 5 Variasi antigenik site dari gen HA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia …... 76 Tabel 6 Variasi daerah antigenik dari gen HA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 79

Tabel 7 Variasi residu pengikat reseptor dari gen HA virus AI

subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia… 80 Tabel 8 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1

asal hewan dan manusia di Indonesia ... 86

Tabel 9 Variasi sekuen daerah pemotongan virus avian

influenza H5N1 di Indonesia dari tahun 2003-2010 …. 88 Tabel 10 Variasi posisi glikosilasi dari gen HA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 92

Tabel 11 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1

asal hewan dan manusia di Indonesia ... 100

Tabel 12 Variasi dari gen PB1 dan PB1-F2 virus AI subtipe


(10)

Tabel 13 Variasi dari gen PB2 virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 109

Tabel 14 Variasi dari posisi glikosilasi gen NA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 113

Tabel 15 Variasi dari oseltamifir binding pocket gen NA virus AI


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Bentuk pleiomorfik virus influenza ... 9

Gambar 2 Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A ……….…… 14 Gambar 3 Siklus replikasi virus influenza …... 15

Gambar 4 Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB ……….. 36 Gambar 5 Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio……….. 38 Gambar 6 Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi ……… 40 Gambar 7 Gambaran contoh hasil uji HA ...……... 42

Gambar 8 Pembentukan presipitasi pada uji AGPT ... 43

Gambar 9 Interpretasi hasil AGPT...…...………... 44

Gambar 10 Contoh hasil AGPT …………... 46

Gambar 11 Elektroforegram RT-PCR gen H5 ………... 57

Gambar 12 Elektroforegram RT-PCR gen N1………... 57

Gambar 13 Elektroforegram RT-PCR ………..……. 58

Gambar 14 Tampilan program MEGA pada persiapan alignment ……… 64 Gambar 15 Tampilan prosedur alignment………... 66


(12)

Gambar 17 Proses penyimpanan data alignment ke word……... 70 Gambar 18 Pembuatan pohon filogeni dan jarak genetik…….... 71 Gambar 19 Pohon filogenetik 1695 basa gen HA virus AI H5N1 96

Gambar 20 Pohon filogenetik 690 basa gen NS virus AI H5N1.. 101

Gambar 21 Pohon filogenetik 2268 basa gen PB1 virus AI

H5N1 ………

107

Gambar 22 Pohon filogenetik 2200 basa gen PB2 virus AI

H5N1 ………

111


(13)

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Influenza (atau biasa disingkat menjadi flu) bukan penyakit yang asing lagi bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Influenza banyak dan sering menyerang manusia dan hewan.

Avian Influenza (AI) atau dikenal juga dengan “flu burung” adalah

penyakit flu pada unggas yang sangat menular, disebabkan oleh virus influenza tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae (Lamb & Krug 2001). Virus influenza yang menyerang unggas dan

menyebabkan penyakit “flu burung” disebut Virus Avian Influenza

(VAI).

Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA (ribonucleic acid) serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Kedelapan segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al.

2001; Munch et al. 2001). Kedelapan segmen genom RNA dari VAI, segmen genom ke-7 yaitu matriks (M) dianggab paling stabil/conserve dibandingkan 7 genom lainnya. Sementara genom yang paling tinggi tingkat mutasinya adalah genom HA (hemaglutinin). Hasil penelitian Susanti et al. (2008a) menunjukkan bahwa domain asam amino daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor pada gen HA virus AI isolat unggas air di Jawa Barat menunjukkan adanya

polimorfisme, namun spesifisitas reseptor avian α-2,3NeuAcGal masih tetap dipertahankan. Genom yang berperan pada


(15)

mekanisme zoonotik, transmisi dan virulensi/patogenesitas VAI adalah segmen genom polymerase basic 2 (PB2), PB1, hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), dan non-struktural 1 (NS1).

Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus. VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari respon imun bawaan dan adaptif hospes (Coleman 2007).

Virus AI mempunyai kemampuan untuk menghindar dari respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut hanyutan antigenik (antigenic drift). Mutasi yang mengarahkan pada fenomena ini adalah perubahan asam amino glikoprotein permukaan hemaglutinin (HA) (Plotkin & Dushoff 2003). Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Konsep hanyutan antigenik ini menuntut produksi vaksin selalu diperbaharui. Ancaman yang lebih besar dari penghindaran respon imun bawaan dan perolehan adalah kemampuan virus untuk reasorsi melalui fenomena yang disebut lompatan antigenik

(antigenic shift) (Coleman 2007).

Virus AI dengan kepemilikan mekanisme untuk menghindar dari respon imun bawaan dan adaptif hospes,


(16)

merupakan salah satu faktor meluasnya wabah virus ini. Wabah VAI subtipe H5N1 patogenik tinggi (highly pathogenic avian

influenza; HPAI) pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun

1996-1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Wabah virus HPAI subtipe H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama kali pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun secara resmi baru dilaporkan pada Januari 2004. Kasus ini kemudian meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), sejak dideklarasikan Januari 2004, jumlah kasus infeksi VAI secara bertahap menurun setiap tahunnya, yakni 1411 kasus pada tahun 2011. Jumlah tersebut lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yaitu 1502 (tahun 2010), 2293 (tahun 2009), 1413 (tahun 2008), 2751 (tahun 2007) dan 612 (tahun 2006).

Berdasarkan kajian epidemiologi molekuler, Pulau Jawa merupakan pusat penyebaran (epicenter) VAI subtipe H5N1 di Indonesia. Virus-virus H5N1 ini diintroduksi dari pulau Jawa ke pulau-pulau di sekitarnya melalui jalur perdagangan unggas. Sampai saat ini, avian influenza dinyatakan endemis di 32 dari 33 propinsi di Indonesia. Infeksi VAI subtipe H5N1 pada manusia mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI H5N1 pada manusia terjadi secara sporadis dan menyerang beberapa klaster famili


(17)

(Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007). Kasus infeksi VAI H5N1 pada klaster famili kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik, tingkah laku, imunologik, dan lingkungan (Kandun et al. 2006). Semua kasus infeksi VAI H5N1 di Indonesia merupakan VAI H5N1 clade 2 subclade 1 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih

et al. 2007).

Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia (Kalthoff

et al. 2010). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan

kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191 orang positif terinfeksi. Data kejadian dan kematian di seluruh dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO 2012). Kematian manusia paling banyak terjadi di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Semakin banyaknya kasus transmisi zoonotik ke manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya pandemi (Smith et al. 2006).

Virus AI subtipe H5N1 diperkirakan akan selalu bermutasi sehingga berpotensi meningkatkan kapasitas untuk melompati barier spesies, dan dapat menular secara mudah antar manusia. Penularan VAI H5N1 antar manusia merupakan awal terjadinya pandemik secara global. Nampaknya, semua fragmen gen VAI H5N1 secara bersama-sama menentukan apakah suatu strain/galur dapat menginfeksi manusia atau mamalia. Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat flu burung (virus avian influenza) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan


(18)

penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, menarik untuk dikaji dinamika molekuler VAI asal manusia dan hewan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai dasar penentuan pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter fenotip selain ditentukan karakter genotip, juga dipengaruhi oleh lingkungan dan respon hospes yang diinfeksi. Karakter genotip secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut.

Rumusan Masalah

Virus HPAI H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia. Jumlah kasus dan kematian akibat VAI subtipe H5N1 pada manusia tercatat paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 152 orang dari 184 orang positif terinfeksi. Semakin banyaknya kasus transmisi zoonotik ke manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya pandemi. Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus. VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari


(19)

respon imun bawaan dan adaptif hospes. Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat virus flu burung (VIA) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, perlu dilakukan kajian dinamika molekuler melalui karakter gen-gen penyusun VAI asal manusia dan hewan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai dasar penentuan pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter fenotip selain ditentukan karakter genotip, juga dipengaruhi oleh lingkungan dan respon hospes yang diinfeksi. Karakter genotip secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut, permasalahan yang dipecahkan/dikaji dalam buku ini adalah :

1. Bagaimana menumbuhkan dan mengisolasi virus AI ? 2. Bagaimana mengidentifikasi Virus Influenza?

3. Bagaimana mengkarakterisasi virus avian influenza secara molekuler?

4. Bagaimana dinamika molekuler gen-gen virus AI subtipe H5N1 di Indonesia ?

Tujuan Penulisan buku

Penulisan buku ini bertujuan untuk menyebarluaskan teori, konsep dan hasil-hasil penelitian tentang virus AI dengan karakter


(20)

fenotip dan molekulernya. Tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai (a) bahan pengayaan mata kuliah biokimia, imunologi, biologi molekuler, taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun biologi umum (b) dasar pertimbangan berbagai pihak dalam penelitian virus AI secara molekuler dan (c) dasar pengambil kebijakan dalam pencegahan, pengobatan dan pengendalian virus avian influenza (VAI) di Indonesia.

Metode Pemecahan Masalah

Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan melakukan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang biologi virus AI, prinsip dasar isolasi dan identifikasi virus influenza khususnya subtipe H5N1, prinsip dasar teknik karakterisasi molekuler virus influenza,khususnya subtipe H5N1, dan dinamika molekuler virus AI di Indonesia. Dalam tulisan ini dibahas kajian teoritis dan hasil penelitian tentang :

1. Biologi Virus Avian Influenza (struktur, morfologi, klasifikasi, siklus hidup)

2. Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus AI 3. Teknik mengidentifikasi Virus Avian Influenza

4. Teknik analisis gen-gen Virus Avian Influenza secara molekuler

5. Dinamika molekuler gen-gen Virus Avian Influenza subtipe H5N1 di Indonesia

6. Epidemiologi Virus Avian Influenza dan peran unggas air dalam penyebaran virus


(21)

BAB II

BIOLOGI VIRUS AVIAN INFLUENZA

Virus bukan merupakan sel utuh dan tidak dapat bereproduksi sendiri. Untuk dapat bereproduksi atau memperbanyak diri, virus harus menyerang sel hidup dan menggunakan sumber daya sel tersebut untuk memperbanyak diri. Pada dasarnya, virus hanya merupakan material genetik yang dibungkus kantong protein, sehingga virus tidak dapat

dikatakan “hidup”. Meskipun demikian, karena mampu

memperbanyak diri dan memiliki material genetik maka sebagian ilmuwan sepakat virus merupakan makhluk hidup. Berdasarkan material genetik yang dimiliki virus, ada 2 jenis virus yaitu virus yang memiliki ribonucleic acid (RNA) atau deoxyribonucleic acid

(DNA).

Morfologi

Bentuk dan ukuran virus influenza bersifat pleiomorfik (bentuk dan ukuran berubah-ubah), berbentuk filamen atau sferoid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006) (Gambar 1). Virus yang ditumbuhkan secara in vitro, karena pertumbuhannya yang cepat, sehingga lebih banyak berbentuk sferoid dengan diameter dan panjang yang konstan (review oleh Whittaker 2001). Virus yang diisolasi dari infeksi alami biasanya berbentuk filamen dengan diameter konstan 100-150nm tetapi panjangnya bervariasi. Virus influenza mempunyai amplop yang dilapisi protein matriks


(22)

dengan glikoprotein integral yang menjulur keluar membentuk duri (spike) di permukaan virion (Harris et al. 2006). Virus yang berbentuk filamen lebih infektif dan lebih banyak mengandung RNA dibanding virus berbentuk sferoid (Roberts & Compans 1998).

Gambar 1. Bentuk pleiomorfik virus influenza (A) bentuk filamen (Robert & Compans 1998) (B) sferoid

(Whittaker 2001)

Klasifikasi

Virus influenza adalah virus anggota famili

Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini dibagi menjadi

influenza tipe A, B dan C berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein (NP) dan matriks (M) (Payungporn et al. 2004). Namun, dari ketiga tipe tersebut hanya tipe A yang berpotensi menimbulkan pandemik (Liu 2005). Influenza A dan B memiliki kemiripan biologis, antigenik, genetik dan struktur, namun cakupan hospes (host range), pola strategi dan evolusi kode genetiknya bervariasi (Lamb & Krug 1996; Murphy & Webster 1996). Influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan B

B A


(23)

dan manusia, serta dibagi menjadi beberapa subtipe antigenik. Influenza B hanya menginfeksi manusia dan tidak ditemukan menginfeksi hewan secara alamiah, serta tidak dibagi menjadi subtipe-subtipe antigenik. Virus Influenza B hanya bersirkulasi pada manusia, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit sesakit akibat Influenza A. Analisis evolusi gen HA influenza B memiliki karakteristik membentuk 2 jenis antigenik yang berbeda, yaitu B/Yamagata/16/88-like dan B/Victoria/2/87-like (Kanegae et al. 1990; Rota et al. 1990; Rota et al. 1992; Nerome et al. 1998; Lindstrom et al. 1999).

Di dalam virion influenza tipe A dan B terdapat 8 segmen genom RNA serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein (Tabel 1).

Delapan segmen tersebut adalah PB1 (PB1 dan PB1-F2), PB2, PA, HA, NP, NA, M (M1 dan M2), dan NS (NS1 dan NS2) (Horimoto & Kawaoko 2001; Whittaker 2001). Kedelapan segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch

et al. 2001). RNP dikelilingi oleh protein matriks M1. Pada

permukaan amplop virus terdapat glikoprotein HA dan NA serta kanal ion (ion channel) M2 (Elton et al. 2001). Hemaglutinin (HA) virus disandi dalam segmen ke-4 dan neuraminidase (NA) dalam segmen ke-6. Segmen yang lain menyandi protein internal virus dan protein lain yang penting untuk viabilitas virus seperti misalnya segmen 8 yang menyandi NS1 yaitu suatu protein nonstruktural yang berfungsi dalam melakukan hambatan terhadap respon antiviral dari inang (Lamb 1989). Protein lain


(24)

yang dimiliki oleh virus ini antara lain nukleoprotein (NP) yang menjadi protein struktural utama, protein membran/matriks (M1 dan M2), protein polimerase (PA, PB1, dan PB2), dan protein nonstruktural (NS1 dan NS2) (Yuen et al. 1998; Chan 2002; Guan

et al. 2002; Peiris et al. 2004). Glikoprotein HA membentuk tonjolan (spike) pada permukaan virion, berfungsi sebagai media untuk berikatan dengan reseptor pada sel inang dan memasuki sel inang kemudian terjadi fusi dengan membran sel inang. Protein NA membentuk struktur pada permukaan partikel virus dan mengkatalisis pembebasannya dari sel yang terinfeksi, sehingga virus dapat menyebar (WHO 2005a).

Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A terlihat pada Gambar 2. Virus influenza tipe C mempunyai 7 segmen genom RNA, karena hanya mempunyai satu jenis glikoprotein permukaan yaitu hemagglutinin esterase fusion

(HEF). HEF berfungsi sebagai pengikat reseptor (H), fusi membran (F) dan esterase (E) (review oleh Whittaker 2001).

Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005). Virus ini dibagi ke dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) (Lee et al. 2001). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Russell & Webster 2005). Subtipe H16 baru ditemukan tahun 2004, pertama kali diisolasi dan diidentifikasi pada burung camar laut kepala hitam (Fouchier et al. 2005). Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air, dan hanya 3 subtipe HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1-N2)


(25)

ditemukan pada manusia (Hoffman et al. 2001). Subtipe H5 dan H7 yang sangat virulen pada unggas (Lee et al. 2001; Khawaja et al. 2005) dilaporkan berpotensi sebagai penyebab pandemi (Russell & Webster 2005).

Semua strain virus influenza diberi nama sesuai nomenklatur standar, berturut-turut tersusun dari tipe virus influenza/spesies hewan (jika bukan manusia)/wilayah isolasi/urutan nomor isolasi laboratorium/tahun isolasi (subtipe) (WHO 2002). Misalnya Influenza A/goose/Guangdong/1/1996 (H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus influenza A, diisolai dari angsa di Guangdong dengan nomor isolat 1, diisolasi tahun 1996, virus termasuk subtipe H5N1. Jika virus diisolasi dari manusia, tidak perlu disebutkan spesiesnya. Contohnya Influenza A/Indonesia/2A/2005 (H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus influenza A, diisolai dari manusia di Guangdong dengan nomor isolat 2A, diisolasi tahun 2005, virus termasuk subtipe H5N1.

Tabel 1. Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein yang disandinya Segmen/ Gen Protein yang disandi Fungsi

1/PB2 Polimerase Basa 2

Perampasan tudung (cap snatching)

Faktor virulensi 2/PB1 Polimerase Basa

1

Perampasan tudung Polimerisasi sintesis mRNA Perakitan kompleks RdRp (RNA

dependent RNA polymerase)

Menghambat respon imun seluler

PB1-frame 2

(PB1-F2)

Menginduksi apoptosis makrofag Menurunkan penghilangan


(26)

(clearance) virus

Meningkatkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri

3/PA Polimerase Asam Perakitan kompleks RdRp Endonuklease

Replikasi

Menghambat respon imun seluler 4/HA Hemaglutinin Attchment (penempelan virus

pada sel hospes)

Fusi dengan membran endosom Target netralisasi antibodi 5/NP Nukleoprotein Tanda isyarat (signal) impor

vRNP

Menghambat respon imun seluler 6/NA Neuraminidase Memotong ujung asam sialat dari

reseptor sel hospes sehingga progeni virion lepas dari sel Target netralisasi antibodi 7/M Matriks 1 (M1) Perakitan (assembly) progeni

virus

Matriks 2 (M2) Tanda isyarat transpor ke permukaan sel

Kanal ion 8/NS Nonstruktural 1

(NS1)

Ekspor mRNA virus dari nukleus Menghambat pemotongan dan penyambungan (splicing) pre mRNA seluler

Menghambat ekspor mRNA seluler

Menghambat respon anti virus interferon (IFN)

Menginduksi badai sitokin

(sitokines storm)

Nonstruktural 2 (NS2) atau

Nuclear export

protein (NEP)

Bersama-sama dengan M1 sebagai tanda isyarat ekspor vRNP dari nukleus


(27)

Siklus Hidup

Siklus replikasi virus influenza A mempunyai keunikan karena semua sintesis mRNA dan replikasi genom terjadi di dalam nukleus sel hospes yang terinfeksi. Proses replikasi virus sangat cepat, sekitar 10 jam/siklus (Coleman 2007). Infeksi virus influenza diawali dengan masuknya virus ke dalam sel hospes

(entry), diikuti transkripsi, translasi, perakitan dan budding

virion-virion baru keluar sel hospes (Gambar 3).

Gambar 2. Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A (Webster 2001)


(28)

Gambar 3. Siklus replikasi virus influenza (Whittaker 2001)

Virus influenza masuk sel hospes melalui endositosis yang diperantarai reseptor (receptor–mediated endositosis) (Elton et al. 2001). Ikatan pada reseptor merupakan determinan awal patogenesitas, dan spesifisitas ikatan reseptor menentukan tropisme suatu virus pada spesies hospes tertentu. Residu asam amino bagian dari HA yang berikatan dengan reseptor adalah asam amino nomor 222 dan 224 (penomoran menurut H5). Glikoprotein HA virus influenza strain manusia yang mempunyai asam amino leusin pada posisi 222 dan serin pada 224 dapat

berikatan dengan asam sialat α-2,6NeuAcGal. Sementara HA virus influenza strain unggas yang mempunyai asam amino glutamin pada posisi 222 dan glisin pada 224 dapat berikatan


(29)

dengan asam sialat α-2,3NeuAcGal (Vines et al. 1998; Zhou et al.

1999; Suzuki et al. 2000; Leung 2007).

Setelah interaksi virus dengan reseptor pada permukaan sel, terjadi internalisasi virus secara cepat melalui endositosis (Bui et al. 1996). Rendahnya pH dalam endosom (5,5) memacu terjadinya pelepasan mantel (uncoating) virus. Kondisi asam itu juga menyebabkan perubahan konformasi HA sehingga regio peptida fusi HA dapat disisipkan ke membran endosom dan terjadi fusi antara membran endosom dengan membran virus. Proses fusi hanya dapat terjadi jika HA dipotong menjadi HA1 dan HA2 oleh protease sel hospes (Steinhauer 1999).

Rendahnya pH endosom juga menyebabkan aliran ion ke bagian interior virus melalui protein M2 dan memutus interaksi M1-vRNP (Pinto et al. 1992; Bui et al. 1996). Pelepasan mantel virus menyebabkan vRNP dan M1 masing-masing lepas ke sitoplasma dan menuju nukleus melewati nuclear core protein

(NCP) (Bui et al. 1996). Impor vRNP melalui NCP diperantarai oleh nuclear localization signal (NLS) 1 dan 2 pada protein NP (Cros et al. 2005; Ozawa et al. 2007; Wu et al. 2007). Sementara, impor protein M1 ke dalam nukleus terjadi secara difusi pasif (Bui

et al. 1996). Amantadin dan rimantadin yang banyak dipakai

sebagai antivirus bekerja dengan menghambat aktivitas M2 untuk memutus interaksi M1-vRNP sehingga materi genetika virus tidak dapat masuk nukleus (Hayden 2006)

Transkripsi dan replikasi genom RNA virus (vRNA) influenza dilakukan di dalam nukleus sel hospes, dikatalisis oleh enzim RdRp terdiri dari enzim PB1, PB2 dan PA (Honda et al. 2002;


(30)

Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Genom vRNA membentuk kompleks dengan RdRp dan NP membentuk vRNP sebagai cetakan transkripsi (membentuk mRNA) dan cetakan replikasi (membentuk genom vRNA dari cRNA) (Vreede et al. 2004).

Sintesis mRNA virus diawali dengan penambahan fragmen

tudung pada ujung „5 mRNA sebagai primer inisiasi transkripsi.

Fragmen tudung (7mGppp dan 10-13 nukleotida setelah tudung) dari pre-mRNA sel hospes dipotong oleh enzim PB1 kemudian dikenal dan diikat oleh enzim PB2. Proses perampasan tudung dari pre-mRNA seluler tersebut disebut dengan cap snatching

(Rao et al. 2003; Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Setelah penambahan tudung, pemanjangan (elongasi) rantai mRNA berjalan sampai pada sekuen kaya uridin yang terletak 15-22

nukleotida sebelum ujung 3‟ mRNA. Pemanjangan mRNA virus ini dikatalisis oleh enzim PB1. Seperti juga mRNA eukariot, mRNA virus yang baru disintesis juga mengalami poliadenilasi pada

ujung 3‟, dikatalisis oleh RdRp (Honda et al. 2002).

mRNA virus tetap terlindung dari degradasi selama kompleks RdRp terikat pada sekuen spesifik

5‟AGCAAAAGCAGG‟3 yang ditemukan pada semua mRNA virus. Sekuen ini komplementer dengan 12 nukleotida ujung 3‟ dari

genom vRNA. Semua segmen genom virus influenza mempunyai

12 nukleotida pada ujung „3 dan 13 nukleotida pada ujung „5 yang

bersifat stabil (Bae et al. 2001; Crow et al. 2004). Primer untuk mengamplifikasi secara lengkap semua genom virus didisain berdasarkan regio genom yang identik dan stabil ini (Hoffman et al. 2001).


(31)

Replikasi genom vRNA tidak memerlukan primer dan dibentuk dari cetakan cRNA. Pada tahap I replikasi, vRNA dikopi menjadi cRNA berpolaritas positif. Inisiasi pembentukan cRNA tidak memerlukan tudung 7mGppp (Crow et al. 2004; Vreede et al. 2004; Hara et al. 2006). Tahap II replikasi adalah sintesis vRNA berpolaritas negatif dengan cRNA sebagai cetakannya (Hara et al. 2006). Seluruh serat cRNA disebut anti genom karena merupakan cetakan untuk sintesis vRNA. RdRp yang mengkatalisis replikasi genom, tidak mempunyai mekanisme untuk memperbaiki kesalahan (proofreading) sehingga tingkat kesalahan mencapai 1 dari 104 nukleotida per siklus replikasi

(review oleh Webster et al. 1992).

Pembentukan cRNA tidak memerlukan tudung 7mGppp. Perubahan fungsi katalitik polimerase dari transkripsi mRNA ke replikasi cRNA diperantarai oleh protein NP yang berikatan langsung dengan PB1 dan PB2 (Portela & Digard 2002). Perubahan fungsi katalitik polimerase PB1 memerlukan perubahan strukter sekunder polimerase, karena regio ikatan cRNA berbeda dengan regio ikatan mRNA (Gonzales & Ortin 1999). Berbeda dengan mRNA, 2 bentuk RNA lainnya (yaitu cRNA dan vRNA) dibungkus (encapsidated) oleh protein NP membentuk vRNP (Portela & Digard 2002).

Translasi (sintesis protein) dari mRNA virus influenza seluruhnya menggunakan mekanisme translasi dalam sitoplasma sel hospes. Protein PA, PB1, PB2 dan NP hasil translasi selanjutnya masuk ke nukleus untuk mengkatalisis transkripsi dan replikasi, kemudian dirakit dengan vRNA yang baru dan disintesis


(32)

membentuk vRNP (Klumpp et al. 1997). vRNP diekspor ke sitoplasma melalui pembentukan kompleks NEP-M1-RNP, dan berinteraksi dengan reseptor ekspor nuklear sel hospes (superfamili importin-β) yang bersifat stabil (Cullen 2000; Neumann et al. 2000; Sandri-Goldin 2004). Ekspor vRNP virus influenza dihambat oleh antibiotik leptomisin B yang berikatan dengan CRM-1 (Elton et al. 2001).

Fragmen gen virus influenza A ada yang menyandi satu protein (PB1, PB2, PA, NA, HA, NP) ada yang lebih dari satu protein (gen NS dan M). Splicing mRNA dari gen NS menjadi mRNA NS1 dan mRNA NS2 (berturut-turut menyandi protein NS1 dan NS2) dilakukan di nukleus sel hospes menggunakan mekanisme splicing pre-mRNA sel hospes. Splicing yang sama juga dilakukan terhadap mRNA gen M menjadi mRNA M1 dan mRNA M2 (Whittaker 2001).

Sebagai target protein transmembran, protein HA, NA dan M2 mengalami modifikasi pascatranslasi, berupa glikosilasi dan pelipatan, selama melintasi retikulum endoplasma dan aparatus Golgi (Gomez-Puertas et al. 2000). Sebagian molekul M1 berikatan dengan vRNP dan sebagian lagi membentuk selubung di bawah amplop virus. Glikoprotein HA pada transmembran menstimulasi M1 untuk berikatan/menempel pada membran. Interaksi antara ekor transmembran HA dengan M1 merupakan target perakitan virion (Ali et al. 2000; Gomez-Puertas et al. 2000; Ruigrok et al. 2000). Pada perakitan virion, semua komponen virus (HA, NA, M2, M1 dan vRNP) dibawa ke regio plasma


(33)

membran sel yang kaya dengan detergent-insoluble glikolipid

(DIG) atau disebut lipid raft (Zhang et al. 2000).

Perakitan virion diikuti dengan budding, yaitu pembentukan dan penutupan kuncup vRNP yang dikelilingi amplop pada membran sel hospes sehingga virion terlepas ke ekstrasel tanpa merusak membran sel (review oleh Garoff et al. 1998; Chazal & Gerlier 2003). Budding dapat terjadi melalui permukaan apikal atau basolateral sel epitel. Jika budding terjadi pada permukaan membran basolateral epitel, virus akan menyebar secara sistemik (Whittaker 2001).

Progeni virus dilepaskan ke ekstrasel jika NA memotong asam sialat dari reseptor sel hospes, sehingga progeni virus yang baru dilepaskan tidak berikatan kembali dengan reseptornya (Stray et al. 2000; Mishin et al. 2005). Peningkatan afinitas HA pada reseptor asam sialat dapat meningkatkan patogenesitas infeksi, namun di sisi lain dapat menghambat aktivitas NA pada proses budding. Pelepasan virus dan penyebarannya memerlukan keseimbangan fungsi antara kedua glikoprotein (HA dan NA) tersebut (Kobasa et al. 2001). Inhibitor neuraminidase sebagai antivirus yaitu zanamivir (Relenza) dan oseltamivir (Tamiflu) menghambat aktivitas NA sehingga budding tidak dapat terjadi (Hayden 2006).

Mutasi Gen VAI

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa enzim RdRp tidak mempunyai mekanisme enzimatik perbaikan (repair) kesalahan replikasi, sehingga perubahan nukleotida VAI terjadi terus


(34)

menerus dengan tingkatan yang cukup tinggi. Berbeda dengan polimerase DNA yang hanya mempunyai kesalahan 1 dari 109 basa, kesalahan replikasi oleh RdRp adalah 1 dari 104 nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992). Selain mutasi di masing-masing gen akibat tidak adanya mekanisme repair, mutasi juga dilakukan virus sebagai adaptasi terhadap tekanan imun hospes atau adaptasi terhadap spesies hospes baru. Mutasi pada level ini biasanya berbentuk delesi atau substitusi titik/poin. Substitusi titik/poin dapat dibedakan atas substitusi sinonim dan substitusi nonsinonim.

Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida tidak diikuti perubahan ekspresi asam amino. Hal ini terjadi pada semua asam amino, kecuali metionin dan triptofan yang hanya disandi oleh 1 kodon. Substitusi sinonim ini menyebabkan kodon bias, yaitu ketidakseimbangan penggunaan kodon sinonim yang menyandi asam amino. Kodon bias ini terlihat pada semua spesies di semua bagian genom, baik daerah intron maupun ekson. Karena kodon bias tidak mengubah fenotip produk ekspresi, sehingga kodon bias selalu ada dalam genom.

Penggunaan kodon (codon usage) pada gen berkorelasi dengan akurasi dan tingkat translasi. Kodon pilihan (codon preference) biasanya adalah kodon yang tRNA untuk kodon tersebut melimpah sehingga dapat ditranslasi lebih cepat (Lavler & Kotlar 2005; Wu & Freeland 2005).

Seperti organisme lainnya, substitusi sinonim pada VAI juga berkaitan dengan kelimpahan tRNA (Plotkin & Dushoff 2003). Namun, mengingat translasi mRNA pada VAI menggunakan


(35)

mekanisme translasi sel hospes, substitusi sinonim tersebut lebih dikarenakan seleksi penyesuaian terhadap penggunaan kodon sel hospes. Hal ini terjadi karena perbedaan penggunaan kodon antara virus dengan sel hospes dapat mempengaruhi kecepatan translasi protein (Garmory et al. 2003).

Substitusi nonsinonim adalah perubahan nukleotida diikuti dengan perubahan ekspresi asam amino. Substitusi nonsinonim hanya terjadi pada bagian tertentu dari gen yang mengalami tekanan. Semakin sering mengalami tekanan, semakin tinggi tingkat substitusinya (Plotkin & Dushoff 2003). Adanya tekanan seleksi akan menyebabkan munculnya varian dengan tingkat efektivitas replikasi yang tinggi (Jong et al. 2000). Tingkat perubahan asam amino virus di dalam tubuh hospes (in vivo) lebih tinggi dibandingkan virus yang ditumbuhkan secara in vitro. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan imun berkorelasi dengan perubahan asam amino (Nakajima et al. 2003).

Kecepatan substitusi nonsinonim virus influenza mencapai 2-3x substitusi per posisi per tahun (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Rasio kecepatan mutasi nonsinonim dan sinonim sangat penting untuk mempelajari mekanisme evolusi molekuler sekuen gen tertentu. Rasio kecepatan mutasi nonsinonim/sinonim

(ω = dN/dS) juga merupakan indikator tekanan seleksi pada level

protein. Jika ω=1 berarti seleksi netral, ω<1 berarti seleksi

pemurnian (purifying selection) dan ω=>1 berarti seleksi positif

(Yang et al. 2000).

Analisis genom VAI subtipe H5N1 yang menginfeksi unggas dan manusia dari tahun 1997-2004 menunjukkan bahwa gen


(36)

PB2, HA dan NS1 mengalami tekanan seleksi positif, sementara gen lainnya (PA, PB1, M, NA, NS2, NP) mengalami tekanan seleksi pemurnian (Campitelli et al. 2006). Namun, isolat VAI H5N1 penyebab wabah di Indonesia dan Vietnam pada dekade

terakhir menunjukkan bahwa hanya gen M2 (ω=1,23) dan PB1-F2

(ω=3,01) yang mengalami seleksi positif. Hal ini menunjukkan keterlibatan gen ini dalam adaptasi VAI pada hospes baru dan transmisi interspesies. Seleksi positif pada gen M2 terjadi akibat tekanan seleksi untuk adaptasi VAI dari unggas air ke unggas darat. Perbedaan pH dan lingkungan seluler antara unggas air dan unggas darat merupakan tekanan seleksi pada M2 sebagai kanal ion hidrogen. Tekanan seleksi pada PB1-F2 dikarenakan peran protein ini dalam menginduksi apoptosis makrofag (Smith

et al. 2006).

Virus AI subtipe H5N1 garis Asia menunjukkan jumlah asam amino yang mengalami seleksi positif meningkat dari tahun ke tahun, terutama pada daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan patogenesitas dan kemampuan virus untuk transmisi ke manusia (Campitelli et al. 2006). Mekanisme virus untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik) (Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003).


(37)

Adaptasi selalu dilakukan VAI, baik adaptasi terhadap tekanan imun maupun adaptasi pada spesies hospes baru (Voeten et al. 2000; Taubenberger et al. 2005). Adaptasi merupakan kekuatan utama dari evolusi. Perbedaan spesies hospes dan perbedaan tekanan menyebabkan pebedaan kecepatan evolusi VAI (Brown et al. 2001). Lama infeksi dan frekuensi reinfeksi virus influenza pada manusia, menyebabkan tingginya tekanan seleksi oleh sistem imun (Bush et al. 1999; Suzuki & Nei 2002).

Kecepatan mutasi glikoprotein HA kira-kira 2 x 10-3 nukleotida per posisi per replikasi (Webster et al. 1992). Kecepatan mutasi HA tersebut lebih tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003). Sekuen nukleotida VAI isolat unggas air di Jawa Barat yang disepadankan dengan nukleotida Gs/GD/1/96 menunjukkan bahwa jumlah kodon substitusi bervariasi dari 23 sampai 50, dan jumlah substitusi nonsinonim bervariasi dari 5-18 (Susanti et al. 2008a). Tingkat mutasi yang tinggi akibat lemahnya mekanisme proofreading dari RdRp, menyebabkan perubahan nukleotida terjadi terus menerus. Kecepatan mutasi HA lebih tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003).

Protein internal tidak berperan dalam pengikatan dengan reseptor sel hospes dan tersembunyi dari antibodi, sehingga protein ini lebih stabil dibanding glikoprotein permukaan (Plotkin &


(38)

Dushoff 2003; Berkhoff et al. 2005). Struktur dan fungsi protein internal juga sangat mendasar sehingga tidak menguntungkan VAI jika mutasi terjadi secara cepat. Hal ini menyebabkan VAI menghadapi konflik intragenom tentang kecepatan mutasi. Gen atau bagian spesifik gen tertentu dalam genom tersebut mengalami seleksi positif untuk berubah, sementara gen lain mengalami seleksi pemurnian untuk tidak berubah (Plotkin & Dushoff 2003).

Protein/regio protein yang fungsinya berkaitan erat dengan pertahanan terhadap respon imun hospes, daya adaptasi dan patogenesitas mempunyai tingkat substitusi nonsinonim lebih tinggi dibanding substitusi sinonim (Plotkin & Dushoff 2003). Kecepatan substitusi nonsinonim gen subunit HA1 dari VAI subtipe H3 sebesar 5,7 x10-3 per posisi per tahun. Hal ini disebabkan karena pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong pengikat reseptor dan posisi glikosilasi (Bush et al. 1999). Lima virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air (IPB1-RS s/d IPB5-RS), mengalami substitusi nonsinonim 3 asam amino kantong pengikat reseptor. Sebanyak 11 substitusi nonsinonim pada isolat IPB6-RS, 10 diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor. Dari 17-18 substitusi nonsinonim pada 3 isolat virus (IPB7-RS, IPB8-RS dan IPB9-RS), 16 substitusi diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor (Susanti et al. 2008a). Hanyutan antigenik (antigenic drift)

Adaptasi terhadap tekanan imun hospes dilakukan VAI untuk menghindar dari pengenalan dan netralisasi antibodi dan


(39)

sel T sitotoksik. Antibodi netralisasi terhadap protein HA bersifat protektif melawan infeksi, sehingga protein ini paling tinggi mengalami tekanan imun dibandingkan protein internal (Berkhoff

et al. 2005). Mekanisme VAI untuk menghindar dari sistem imun

hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik) (Horimoto & Kawaoka 2001; Munch

et al. 2001; Smith et al. 2004).

Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik struktur glikoprotein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat infeksi atau vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Hanyutan antigenik menuntut pembuatan vaksin selalu diperbarui mengikuti munculnya strain virus baru (Plotkin et al. 2002; Smith et al. 2004).

Reasorsi dan transmisi VAI

Pandemi dapat terjadi jika subtipe virus influenza baru dapat melintasi barier hospes antara unggas dan mamalia, termasuk manusia. Adaptasi VAI strain unggas ke manusia antara lain melalui reasorsi (reassortment), yaitu pertukaran atau pencampuran gen. Genom RNA yang tersusun bersegmen-segmen memudahkan terjadinya reasorsi, yaitu segmen gen pada strain tertentu digantikan segmen gen sealel dari strain


(40)

lainnya. Reasorsi menyebabkan perubahan struktur antigen secara dominan, sehingga disebut lompatan antigenik (antigenic

shift). Reasorsi hanya dapat terjadi jika suatu sel secara simultan

terinfeksi oleh 2 atau lebih strain VAI yang berbeda, sehingga terjadi penyusunan kembali suatu strain virus baru yang bermanifestasi sebagai genotipe virus baru. Hospes yang dapat diinfeksi oleh 2 jenis strain VAI yaitu strain avian dan manusia

dikenal dengan “mixing vessel”. Hospes ini memungkinkan

sebagai hospes perantara transmisi VAI dari unggas ke manusia (Ito et al. 1998; Hoffman et al. 2001; Li et al. 2004).

Virus influenza A subtipe H1N1 penyebab pandemi influenza tahun 1918 mengalami lompatan antigenik sehingga tahun 1958 muncul subtipe H2N2 dan tahun 1968 muncul subtipe H3N2 (Belshe 2005). Transmisi langsung VAI Vdari unggas ke manusia biasanya mengakibatkan kematian, seperti terjadi di Hongkong tahun 1997-1998. Virus HPAI H5N1 yang menyerang dan mematikan manusia dan ayam di Hongkong tersebut (Lee et al. 2001), merupakan produk reasorsi dengan VAI H9N2 yang bertindak sebagai donor gen internal (Guan et al. 1999). Virus tersebut kemudian berkembang cepat di pasar unggas Hongkong, dan mempunyai kemampuan untuk transmisi langsung ke manusia (Zhou et al. 1999; Cauthen et al. 2000).

Kejadian tersebut merupakan kasus pertama, dimana infeksi VAI H5N1 langsung pada manusia tanpa terlebih dulu beradaptasi pada hospes mamalia perantara (Tumpey et al. 2002; Rowe et al. 2003; Sturm-Ramirez et al. 2004). Virus HPAI H5N1 penyebab wabah di Danau Qianghai Cina tahun 2005 yang


(41)

mematikan ribuan unggas air migratori dilaporkan juga merupakan virus hasil reasorsi (Zhou et al. 2006). Burung puyuh menyediakan lingkungan yang memungkinkan VAI H3N2 babi mengalami reasorsi dan menghasilkan virus influenza yang berpotensi menyebabkan pandemi (Perez et al. 2003).

Transmisi VAI H5N1 dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan (Buxton et al. 2000; The Writing Committee WHO 2005; Kandun et al. 2006). Namun, VAI subtipe H5N1 berpotensi sebagai penyebab pandemi influenza pada manusia melalui 2 mekanisme. Manusia yang terinfeksi VAI H5N1 dan strain influenza manusia (misalnya H1N1) akan memicu reasorsi, sehingga memunculkan VAI subtipe H5 yang mampu ditransmisikan dari manusia ke manusia. Alternatif lain adalah mutasi langsung VAI H5N1 yang berkemampuan untuk transmisi dari manusia ke manusia (Russell & Webster 2005).


(42)

BAB III

TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA

Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus dilakukan di laboratorium BSL-3. Semakin tinggi potensi suatu agen penyakit (mikroorganisme) untuk menular dan menyebabkan penyakit pada manusia (peneliti/pekerja laboratorium), semakin tinggi tingkat (level) biosafety laboratorium yang diperlukan. Pada Tabel 2 berisi jenjang safety laboratorium dan penggunaannya.

Tabel 2. Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit

No Laboratorium Penggunaan Contoh

mikroorganisme 1 Biosafety

Level-1 (BSL-1)

Mikroorganisme yang diketahui tidak

menyebabkan penyakit pada manusia dewasa yang sehat dan potensi bahayanya minimal bagi pekerja laboratorium dan lingkungan

Laboratorium tidak memerlukan lokasi terpisah dari lokasi umum dalam suatu bangunan

Bacillus subtilis

Naegleria gruberi

Infectious canine hepatitis virus

E. Coli‐K12

2 Biosafety Level-2

(BSL-Mikroorganisme yang berpotensi secara 

EpsteinBarr virus


(43)

2) moderat dapat menyerang pekerja laboratorium dan lingkungan.

Akses ke laboratorium dibatasi ketika pekerjaan tengah dilakukan

Hepatitis A, B, C, D, E

Neisseria meningitidis

Salmonella

 Clostridium botulinum, tetani

 Blastomyces dermatitidis

 Entomeoeba histolytia 3 Biosafety

Level-3 (BSL-3)

Fasilitas klinis, dignostik, riset atau produksi yang berhubungan dengan agen-agen infeksius yang berpotensi mengakibatkan penyakit berbahaya.

Pekerja laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam penanganan agen-agen patogenik berbahaya dan diawasi oleh ilmuwan yang kompeten terhadap agen-agen tersebut

Bacillus anthracis

M. tuberculosis

Yersenia pestis

Yellow fever (wild type)

Coccidioides immitis

Avian influenza

HIV

SARS

4 Biosafety Level-4 (BSL-4)

Mikroorganis/agen-agen eksotik yang ekstrem berbahaya, dan beresiko tinggi dapat menyebar melalui udara.

Staf laboratorium terlatih khusus, memakai pelindung khusus dengan tabung oksigen tersendiri

Fasilitas laboratorium terisolasi dari tempat-tempat umum, pekerjaan dalam tempat tertutup khusus.


(44)

Preparasi Sampel

Tahap pertama yang harus dilakukan untuk memperbanyak dan mengisolasi virus adalah mengambil contoh/sampel yang diduga mengandung virus. Mengingat VAI berkembang/ bermultiplikasi pada sel epitel saluran pencernaan dan pernafasan, maka sampel dapat diambil dari usap hidung, usap anus atau usap kloaka. Sampel usap kloaka diambil dari hewan yang diperiksa atau hewan/manusia yang diduga terinfeksi VAI. Sampel usap kloaka/anus/hidung selanjutnya dimasukkan dalam tabung berisi media transport PBS gliserol (WHO 2002). Sampel selanjutnya dimasukkan dalam inkubator suhu dingin -4oC atau lebih dingin lagi. Jika pengambilan sampel dari lapangan, tabung berisi sampel dimasukkan dalam ice box kemudian dibawa ke laboratorium. Cara membuat PBS gliserol adalah dengan mencampurkan PBS 1x dan gliserol dengan perbandingan 1:1. Dalam 1 liter PBS Gliserol, ditambahkan Penisilin-G 2x106 U/L dan Srteptomisin 200 mg/L (Susanti et al. 2008b).

Media Perbanyakan virus

Untuk mengetahui apakah pada sampel terdapat virus yang dimaksud atau tidak, sampel harus ditanam pada media yang sesuai. Mengingat virus adalah organisme yang hanya dapat bereplikasi pada sel hidup, maka media yang sesuai untuk menumbuhkan virus adalah sel hidup. Virus influenza A dapat bereplikasi secara in ovo pada telur ayam berembrio (TAB) maupun secara in vitro pada kultur sel Madin Darby Canine


(45)

Kidney (MDCK) (Ito et al. 1997; Whittaker 2001). Sel MDCK

mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-(2,3) sehingga efektif untuk replikasi virus influenza isolat manusia maupun avian. Untuk dapat menumbuhkan virus influenza pada sel MDCK, perlu ditambahkan protease tripsin untuk memotong HA menjadi HA1 dan HA2 (Webster et al. 1992). Pertumbuhan virus ditandai adanya cytopathogenic effect (CPE). Karena sel MDCK memiliki

2 jenis reseptor (α-(2,6) dan α-(2,3)), kultur virus influenza pada MDCK tidak menyebabkan tekanan seleksi sehingga tidak terjadi substitusi asam amino tertentu, namun kurang efektif jika digunakan untuk mendapatkan virus dalam jumlah besar (Ito et al. 1997).

Ruang alantois TAB hanya mempunyai reseptor α-(2,3),

sementara pada sel amnion mempunyai reseptor α-(2,6) dan α -(2,3). Secara in ovo, perbedaan reseptor sel hospes dengan spesifisitas asam amino titik pengikat reseptor merupakan tekanan seleksi yang memicu substitusi hemaglutinin (HA). Kultur virus influenza strain manusia pada sel amnion (yang mempunyai

reseptor α-(2,6) dan α-(2,3)), sampai pasase ke-2 masih

mempertahankan spesifisitas reseptor pada α-(2,6). Namun, jika virus influenza strain manusia ini dikultur pada sel alantois yang

hanya mempunyai reseptor α-(2,3) menyebabkan mutasi substitusi L226G sehingga spesifisitas reseptor bergeser dari α

-(2,6) menjadi α-(2,3) (Ito et al. 1997). Isolasi virus dalam TAB lebih tepat untuk strain avian (Ito et al. 1997). Meskipun demikian, menurut hasil-hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa semua virus influenza dapat tumbuh baik di TAB (Webster et al.


(46)

1992; Harimoto & Kawaoka 2001; Whittaker 2001). Hal ini disebabkan karena protease serupa dengan faktor pembeku

darah “Xa” (anggota famili protrombrin) dalam cairan alantois

bertanggung jawab atas proteolitik HA pada cleavage site

sehingga virus dapat bereplikasi secara in ovo (Harimoto & Kawaoka 2001). Protease yang dapat memotong HPAI dan LPAI

adalah enzim “trypsin like”, yaitu faktor pembeku darah “Xa”,

triptase, mini plasmin dan protease bakterial (Harimoto & Kawaoka 2005). Enzim proteolitik mengenal sekuen asam amino motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino non-basa) (Harimoto & Kawaoka 2001).

Propagasi virus pada TAB merupakan metode yang banyak dilakukan untuk diagnosis, isolasi virus, identifikasi virus dan uji neutralisasi. TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi virus influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur MDCK (Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK merupakan sel yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A dibanding sel kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997). Propagasi virus pada TAB digunakan sebagai metode pembuatan vaksin influenza A yang telah beredar selama beberapa dekade (kurang lebih 30 tahun) (Scannon 2006). Lebih lanjut disebutkan bahwa TAB merupakan media utama produksi vaksin influenza baik inaktif maupun vaksin hidup yang dilemahkan (Lu et al. 2005; Szecsi et al. 2006).


(47)

Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF Setiap sampel dari setiap ekor hewan yang diduga mengandung virus, idealnya ditumbuhkan pada 1 butir TAB. Namun, hal ini bergantung pada tujuan penelitian dan ketersediaan biaya. Jika tujuannya untuk mengetahui apakah hewan-hewan di suatu tempat (biasanya hewan dipelihara berkelompok) terinfeksi, maka sampel diambil secara sampling atau diambil semua. Jika sampel diambil semua, untuk efisiensi biaya dan tujuan tercapai, maka sampel di-polling. Setiap 1-4 sampel usap kloaka/anus/hidung (masing masing sebanyak 100 µl) dikumpulkan (polling) menjadi satu inokulum berdasarkan jenis hewan dan pemilik. Hal ini ditujukan untuk efisiensi jumlah TAB. Jika sampel yang dianalisa menunjukkan hasil positif, hal ini berimplikasi pada pengambilan keputusan bahwa hewan di lokasi dan hewan tersebut terdapat hewan positif terinfeksi virus AI sehingga pencegahan dan pengendaliannya ditujukan pada semua hewan dan manusia di kawasan tersebut (Susanti et al.

2008b). Inokulum yang berhasil ditumbuhkan dalam TAB, menunjukkan bahwa pada sampel mengandung virus yang hidup dengan jumlah melebihi ambang batas untuk dapat tumbuh dalam TAB yaitu 1 egg infectious dose 50% (EID50) (Beato et al.

2007; Terregino et al. 2007).

TAB yang digunakan hendaknya specific pathogen free

(SPF). Artinya, jika kita akan menumbuhkan sampel yang diduga mengandung virus AI, maka TAB yang digunakan minimal bebas dari virus tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa jika hasilnya positif, virus tersebut


(48)

bebar-benar berasal dari sampel dan bukan dari TAB. TAB dapat diperoleh di laboratorium-laboratorium yang memproduksi TAB SPF, seperti laboratorium pada perusahaan yang memproduksi vaksin.

Sampel usap kloaka ditumbuhkan pada TAB (SPF) umur 9 hari. Inokulum dibuat dengan mencampur sampel usap kloaka ke dalam tabung yang telah berisi 10 µl phosphate buffer saline

(PBS) yang mengandung 2x106 U/L penisilin dan 200 mg/L streptomisin. Setelah diinkubasi 30 menit pada suhu kamar, inokulum diinokulasikan pada ruang alantois TAB SPF. Telur diinkubasi pada suhu 37 oC dan diamati setiap hari selama 4 hari. Telur ayam berembrio yang mati sebelum hari keempat dan embrio yang masih hidup sampai hari ke empat, dipanen cairan alantoisnya untuk diidentifikasi kemampuannya mengaglutinasi sel darah merah (SDM) (WHO 2002; Susanti et al. 2008b).

Berdasar hasil penelitian, kurva pertumbuhan virus HPAI H5N1 pada TAB selama 24 jam menunjukkan bahwa virus telah bereplikasi dengan jumlah titer virus cukup tinggi (Gambar 4) (Susanti 2009; data tidak dipublikasi). Menurut Coleman (2007), proses replikasi virus terjadi sangat cepat, yaitu 10 jam. Ambang batas jumlah virus yang viabel yang dapat tumbuh dalam telur ayam berembrio adalah 1 EID50 (Beato et al. 2007; Terregino et

al. 2007). Pada kurva pertumbuhan nampak bahwa pertumbuhan mencapai titer tertinggi pada inkubasi 48 jam (2 hari). Setelah 48 jam, titer virus pada cairan alantois mulai menurun. Menurunnya jumlah titer virus pada inkubasi lebih dari 48 jam, kemungkinan disebabkan oleh semakin banyaknya penyebaran virus pada


(49)

berbagai organ embrio, sehingga pada cairan alantois menunjukkan penurunan titer virus (Susanti 2009, data tidak dipublikasi).

Gambar 4. Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB (Susanti 2009)

Pada inkubasi 24 jam, virus dapat terdeteksi di sebagian besar pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan).

Virus berikatan dengan reseptor α-(2,3) pada sel alantois, bereplikasi dan dilepaskan dalam cairan alantois. Dari cairan alantois, virus masuk sistem pembuluh darah dan keluar pada

tissu-blood junction (Kuiken et al. 2006). Virus HPAI dilaporkan

dapat bereplikasi secara efisien pada sel endotel pembuluh darah dan perivaskuler sel parenkim, sehingga virus dapat terdeteksi pada berbagai organ internal dan pembuluh darah (Harimoto & Kawaoka 2005; Swayne 2007). Dengan metoda imunohistokimia,

0 5 10 15 20

15 jam 24 jam 39 jam 48 jam 63 jam

T it e r v ir u s (l o g 2 )

Kurva pertumbuhan virus

Isolat BP6 Isolat SB6


(50)

antigen virus dapat terdeteksi pada organ ginjal, paru-paru, hati dan intestinum (Gambar 5). Pada ginjal, virus banyak terdapat di glomerulus. Pada intestinum, virus banyak terdeteksi di epitel vili, lumen dan serosa. Pada paru, terutama virus banyak terdapat di pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan). Infeksi virus HPAI H5N1 secara in vivo pada itik menunjukkan bahwa virus menyebar secara sistemik pada trakea, paru, hati, pankreas, rektum, bursa fabrisius, limpa, otak, jantung dan ginjal (Songserm

et al. 2006). Pada mamalia (mencit), infeksi HPAI H5N1 isolat itik

juga menyebar secara sistemik pada limpa, ginjal dan otak (Chen

et al. 2004).

C D


(51)

Gambar 5. Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio. (A) Glomerulus, (C) Intestinum, (E)

Paru-paru. B, D dan F adalah kontrol negatif (Susanti 2009)


(52)

BAB IV

TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA

Deteksi atau identifikais virus AI dapat dilakukan dengan uji hemaglutinasi (HA), Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT), haemagglutination inhibition (HI), atau PRC (WHO 2002; OIE 2005b). Uji HI dan AGID dilakukan untuk mengetahui variasi antigenik molekul HA virus dengan mereaksikannya dengan antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE 2005).

Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebagai skrining awal keberadaan virus influenza adalah uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinasi adalah terjadinya penggumpalan sel darah merah (SDM). Penggumpalan dapat diakibatkan oleh protein hemaglutinin yang dimiliki oleh beberapa virus seperti golongan virus influenza, virus New castle disease, virus mixo, dan virus rabies. Dengan demikian, untuk identifikasi virus AI menggunakan uji HA ini memiliki diagnostik banding virus New-castle yang juga memiliki hemaglutinin. Hemaglutinin akan melekat secara spontan pada SDM. Bagian dari virus yang melekat SDM merupakan bagian spesifik (yaitu glikoprotein hemaglutinin), yang mampu berikatan dengan reseptornya (yang


(53)

spesifik juga) pada SDM. Secara sederhana, konsep dasar hemaglutinasi digambarkan di Gambar 6.

Jika sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas, virus yang berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus golongan Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau Paramyxoviridae (misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004). Dengan demikian, jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel mengandung virus ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih lanjut dengan penanda lain (misal dengan PCR atau uji antigenesitas). Uji HA dapat dilakukan 2 tahap, yaitu secara makro dan secara mikro (Susanti et al. 2008b). Uji HA secara makro hanya ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus yang memiliki protein hemaglutinin (kualitatif) sehingga mampu mengaglutinasi, sementara uji HA mikro ditujukan untuk mengatahui titer virus (kuantitatif) yang mampu mengaglutinasi sel darah merah.

Gambar 6. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi


(54)

Metode Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebelum uji HA titrasi secara mikro, dilakukan uji aglutinasi cepat dengan mencampurkan satu tetes cairan alantois dengan SDM ayam 5% (v/v). Keberadaan virus ditunjukkan adanya aglutinasi SDM dalam waktu 15 detik setelah dicampur. Cairan alantois yang positif berdasar uji HA cepat, selanjutnya dilakukan uji HA secara mikro menggunakan microplate U buttom (Nunc). Uji hemaglutinasi cairan alantois dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang berlaku. Sumur 1–12 dari microplate diisi dengan PBS pH 7,2 masing-masing 25 l dengan mikropipet kapasitas 10-100 l. Cairan alantois diambil sebanyak 25 l dan dimasukkan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor sampel uji. Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat kelipatan dua dengan PBS, kemudian ditambahkan 25 l suspensi SDM ayam 0,5% ke dalam seluruh sumur. Tahap terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyang-goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih 30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan apabila SDM pada sumur kontrol telah teraglutinasi di dasar sumur. Sampel dinyatakan positif apabila SDM pada sumur sampel mengalami aglutinasi. Titer HA dihitung berdasarkan pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi SDM (WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Contoh hasil uji HA terlihat pada Gambar 7.


(55)

Gambar 7. Gambaran contoh hasil uji HA

Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test

Uji AGID atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT) adalah teknik imunopresipitasi, merupakan salah satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur secara kualitatif antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi (dengan alat khusus) membentuk sumur-sumur. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan merembes, berdifusi ke sekitar sumur secara radial (Gambar 8). Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang besar sehingga kompleks akan mengendap dan terjadi presipitasi yang


(56)

membentuk garis putih (homolog). Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi (heterolog), maka garis presipitasi tidak akan terbentuk.

Gambar 8. Pembentukan presipitasi pada uji AGPT

Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi. Presipitat terbentuk apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, hal ini disebut

postzone effect. Sementara jika antibodi berlebih mengakibatkan

komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan, kondisi ini disebut prozone effect.

Uji ini dapat juga digunakan dalam penentuan hubungan antara dua antigen. Pada percobaan ini menggunakan tiga lubang di media agar, satu sumur diisi antibodi dan dua sumur lainnya diisi antigen (Gambar 9). Bila kedua garis presipitasi yang terbentuk tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap identik (9a) Garis-garis presipitasi yang bersilangan menunjukkan


(57)

kedua antigen berbeda (9b) Garis presipitasi yang melanjut sebagai taji mempunyai determinan antigen yang tidak ada pada yang lain (9c). Bila garis-garis bersatu dengan pembentuk taji, maka terdapat identitas parsial dengan masing-masing antigen mempunyai determinan antigen bersama (9d).

Gambar 9. Interpretasi hasil AGPT

Metode uji AGPT

Pada identifikasi virus AI, uji AGPT lebih spesifik dibandingkan uji HA. Karena uji AGPT dapat digunakan untuk menentukan subtipe virus AI, meskipun masih sangat kasar sehingga pelu dilakukan uji subtipe lebih lanjut secara molekuler. Jika sampel cairan alantois yang positif berdasarkan uji HA, akan kita identifikasi subipenya menggunakan uji AGPT, maka kita harus memiliki antibodi spesifik terhadap virus subtipe yang dimaksud. Misalnya kita akan uji virus subtipe H5N1, maka kita harus punya antibodi terhadap H5N1.

1 2

3

1 2

3

1 2

3

1 2

3

a b


(58)

Pertama disiapkan agarnya. Caranya adalah Agar Nobel atau Agarose(0,4gram), Polyethylene Glikol (PEG) 6000 (1,2 gram), Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7,2 (25 ml) dan Aquadest (25 ml) dicampur sampai larut menggunakan magnetic stirer. Selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan terlihat bening semua, yang berarti agar sudah larut sempurna. Kemudian, 4 ml agar yang masih hangat dituang di atas objek gelas secara merata. Selanjutnya dibiarkan sampai dingin dan membeku. Setelah dingin, dibuat sumur-sumur dengan cara melubangi agar menggunakan cetakan khusus untuk AGPT (Gel Puncher). Diusahakan supaya pinggiran sumur tidak retak/pecah.

Setelah terbentuk sumur-sumur pada agar, setiap sumur diisi dengan antigen (cairan alantois) dan serum (berisi antibodi spesifik H5N1 misalnya). Pengisisan pada sumur-sumur dilakukan sesuai dengan jumlah sampel yang akan kita uji. Jika memiliki 6 sampel, maka antibodi dimasukkan pada sumur yang di tengah, dan masing-masing sampel dimasukkan pada sumur di tepinya sehingga semua sampel punya kesempatan berinteraksi dengan antibodi yang posisinya di tengah. Jika sampel sedikit, polanya disesuaikan dengan kebutuhan, namun yang perlu diingat bahwa setiap sampel berkesempatan untuk berinteraksi dengan antibodi. Media agar yang telah diisi (sampel dan antibodi) tersebut dimasukkan ke dalam baskom yang diberi alas kertas yang dibasahi PBS. Baskom ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar selama 20-48 jam. Kelembapan dijaga dengan membasahi alas.kertas. Hasil percobaan diketahui dengan mengamati terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Jika


(59)

terbentuk garis presipitat diantara sumur sampel (berisi cairan alantois) dan antibodi terhadap H5N1 (misalnya), sampel tersebut mengandung virus AI subtipe H5N1. Namun untuk meneguhkan dugaan tersebut perlu diuji lebih lanjut secara molekuler.

Gambar 10. Contoh hasil AGPT

Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler Cairan alantois yang positif bersadarkan uji HA, diisolasi RNA-nya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Seperti disebutkan sebelumnya bahwa virus influenza dikelompokkan berdasarkan tipe A, B dan C. Masing-masing tipe dikelompokkan lagi berdasarkan sub-sub tipe gen HA dan NA. Sampai saat ini telah diketahui ada 9 subtipe N (N1 s/d N9) dan 16 subtipe H (H1 s/d H16). Secara garis besar, identifikasi subtipe virus AI adalah


(1)

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 172

menyebabkan penyakit pada inang/hospes

Patogenik : suatu sifat dari suatu agen penyakit (bakteri, virus, parasit) yang menimbulkan kerusakan (patogen)

Patogenesitas : daya /kemampuan suatu agent penyakit untuk menghasilkan penyakit dengan gejala klinik yang jelas.

merusak atau menimbulkan penyakit pada hospes Patogen

intraseluler

: Patogen yang hidupnya di dalam sel hospes

Prevalensi : jumlah keseluruhan kasus penyakit yg terjadi pd suatu waktu tertentu di suatu wilayah atau tingkat kejadian penyakit di wilayah tertentu dan pada waktu tertentu

Reasorsi : pertukaran segmen gen virus influenza subtipe tertentu dengan segmen gen subtipe virus lainnya

Replikasi : perbanyakan, penggandaan, pembelahan

Reseptor : suatu molekul (biasanya) protein yang menerima sinyal kimia dari luar sel yang mengarahkan kegiatan sel

sepertimembelah atau mengizinkan molekul tertentu untuk masuk atau keluar sel. Molekul pemberi sinyal yang melekat pada suatu reseptor disebut ligan, yang dapat berupa suatu peptida atau molekul kecil lain

seperti neurotransmiter, hormon, obat, atau toksin. Reservoir : Sesuatu (orang, hewan, tanaman atau substansi) dimana

agen infeksius/penyebab penyakit dapat hidup secara normal dan berkembang biak

Resistensi : (1) sistem dalam organisme yang memberikan ketahanan terhadap penyakit/hama atau (2) daya tahan suatu

mikroorganisme/organisme terhadap obat/antibiotik

Respon imun : respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut Respon imun

bawaan

: Respon yang dilakukan oleh sistem kekebalan tubuh

bawaan/alami (sudah ada sejak mahkluk hidup tersebut lahir), seperti neutrofil, sel NK, interferon, makrofag, dll

Respon imun adaptif

: Respon yang dilakukan oleh sistem kekebalan adaptif (hanya dibentuk jika terpapar), seperti antibodi dan sel T

Sekuen : urutan

Seroprevalensi : prevalensi (tingkat kejadian) berdasarkan data serologis Sporadis : penyebaran penyakit di suatu daerah yg tidak merata (hanya

di di beberapa tempat ) tidak secara bersamaan waktunya Strain : Variasi spesifik suatu hewan/organisme/tumbuhan dalam satu

spesies

Subklinis : (1) secara klinis tidak menunjukkan gejala penyakit (2) tanpa tanda-tanda atau gejala klinis, kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan tahap awal dari suatu penyakit atau kondisi, sebelum gejala terdeteksi oleh pemeriksaan klinis


(2)

atau tes laboratorium. Substitusi

sinonim

: substitusi berarti penggantian. Substitusi sinonim adalah substitusi/penggantian/perubahan pada nukleotida yang tidak menyebabkan perubahan asam amino.

Substitusi non sinonim

: substitusi pada nukleotida yang diikuti perubahan asam amino yang disandinya

TAB : telur ayam berembrio. Adalah telur ayam yang mengandung embrio (karena dibuat oleh induk ayam betina yang dibuahi oleh ayam pejantan)

Transmisi : perantara penularan suatu agen penyakit

Unggas air : unggas yang habitat hidupnya di air (itik, angsa, entok, dll) Vaksin : antigen yang mengandung agen penyebab penyakit yang

dimatikan atau dilemahkan yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk merangsang pembentukan kekebalan terhadap agen penyakit tersebut

Vaksinasi : Pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut

Virulensi : derajat /tingkat patogenitas suatu agen penyakit, diukur dari banyaknya organisme yang diperlukan untuk menimbulkan penyakit pada jangka waktu tertentu

Wabah : kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut

Zoonotik : Suatu sifat penyakit yang dapat ditularkan antara hewan dan manusia, seperti rabies, avian influenza, mad cow

disease (bovine spongiform encephalopathyatau BSE).


(3)

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 174

INDEKS AGPT ... 51, 54, 55, 56, 57, 58,

BSL ... 41, 42, 148,

Budding ... 32,

Daerah antigenik .... 91, 92, 94,

DNA . 19, 33, 59, 60, 61, 62, 63, 66, 68, 69, 70, 74, 76, 150,

Elektroforesis ... 66, 68,

Gen ... vii, 23, 32, 37, 65, 73, 87, 110, 116, 122, 126, 150, 153,

GenBank ... 65, 75, 76, 86, 89, 150,

Hemaglutinin (HA) ... 21, 87,

HPAI.. iii, 14, 15, 16, 39, 40, 45, 47, 48, 50, 89, 97, 132, 133, 138, 141, 146, 151,

Kantong pengikat reseptor98,

LPAI ... 45,

MDCK ... 44, 45, 148,

MEGA 3.1 ... vii, 75, 76, 150,

Mutasi vii, 13, 32, 33, 111, 112, 113, 118, 126, 128, 129,

Neuraminidase (NA) ... 126,

Nukleoprotein ... 24,

Pandemi ... 38,

PB1-F2 ... vii, ix, 21, 24, 35, 116, 117, 119, 147, 152,

PBS ... 43, 47, 53, 57,

PCR .vi, vii, ix, xi, 52, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 73, 74, 149, ,

Peptida fusi . 91, 101, 102, 103,

Pertumbuhan ... 44, 48,

Primer .... vii, 29, 65, 66, 72, 73,

RdRp ... 24, 28, 29, 30, 33, 36, 116,

Replikasi ... 24, 30,

Residu pengikat reseptor ..95, 96, 151,

RNA . 12, 19, 20, 21, 22, 24, 28, 30, 39, 58, 59, 60, 66, 73, 116, 122, 147, 149,

Sekuensing ... 75, 150,

Substitusi sinonim ...33,

TAB 43, 44, 45, 46, 47, 48, 148,

Transmisi ... 39, 40, 137, 141, 146,

Unggas air ... 133, 137,


(4)

BIOGRAFI

Penulis dilahirkan di Sragen, 23 Maret 1969 dari ayah Sukardi Indriatmoko, BA (Alm) dan ibu Sumi. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di kota Sragen, berturut-tururt di SDN Bener II (Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen) lulus tahun 1982, SMPN 2 Sragen lulus tahun 1985, SMAN 1 Sragen lulus tahun 1988. Selepas SMA, tahun 1988 melanjutkan studi S1 (sarjana) di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM dan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) tahun 1992. Setelah mendapatkan gelar SKH langsung melanjutkan pendidikan profesi Dokter Hewan di FKH UGM juga, lulus tahun 1994 mendapatkan gelar Dokter Hewan (Drh). Pada tahun 1998 melanjutkan stusi S2 di program studi Sains Veteriner Program Pasca Sarjana UGM, lulus tahun 2000 dan mendapatkan gelar Magister Pertanian (MP). Tahun 2004 melanjutkan studi S3 di program studi Sains Veteriner Sekolah Pasca Sarjana IPB, lulus tahun 2008 dan mendapatkan gelar Doktor (Dr). Selama pendidikan S1 sampai S3 bidang penelitian yang ditekuni adalah bidang biokimia dan biologi molekuler. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, sebagai dosen di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang, mengampu mata kuliah Biokimia, Imunologi, Enzimologi, Parasitologi, dan Kimia Organik. Sejak tahun 1997 sampai sekarang telah melakukan penelitian 37 judul, diantaranya adalah (1) Aktivitas fagositosis dan aktivitas bakterisidal neutrofil terhadap Staphylococcus aureus isolat sapi di Jawa Tengah dengan teknik acridine orange fluorescence (2002), (2) Aspek intoksikasi 2,3,7,8 tetracholorodibenzo-p-dioxin(TCDD) terhadap aktivitas bakterisidal intrasel leukosit polimorfonuklear tikus putih (Rattus norvegicus)(2003), (3) Analisis gen ND3 dari DNA mitokondria dalam studi keragaman genetik burung gelatik Jawa (Padda oryzivora) di Pulau Jawa (2005-2006), (4) Keragaman sekuen gen ND3 dari DNA mitokondria burung famili Ploceidae endemik Pulau Jawa (2006), (5) Stimuli pematangan dini ovarium burung puyuh dengan interaksi fotoperiode dan gonadotrophin releasing hormon (GnRH) (2007), (6) Potensi kucing sebagai reservoir virus avian influenza H5N1 dan bahaya penularannya ke manusia: kajian molekuler dan dinamika virus (2007-2008), (7) Potensi


(5)

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 176

unggas air sebagai reservoir virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) subtipe H5N1 dan peluang penularannya pada manusia (2008-2009), (8) pengembangan model sentra peternakan rakyat terpadu anti flu burung (2009), (9) Potensi Zat gizimikro seng terhadap respon imun seluler pada demam tifoid (2009), (10) Studi Aktivitas Imunostimulan Gel Lidah Buaya (Aloe vera) pada Infeksi Salmonella typhimurium (2010), (11) Indeks Patogenesita Virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) Subtipe H5N1 Isolat Unggas Air (2011), (12) Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Hiperglikemik Akibat Pemberian Ekstrak Etanol Biji Mahoni (2012), (13) Karakterisasi molekuler virus avian influenza subtipe H5N1 asal manusia dan hewan di Indonesia (2012).

Artikel yang telah dipublikasi dalam jurnal ada 33 judul, antara lain (1) Intoksikasi 2,3,7,8 tetracholodibenzo-p-dioxin (TCDD): I. Efek terhadap gambaran darah tikus putih (Rattus norvegicus) (2001), (2) Efek 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) terhadap respon imun neutrofil dan limfosit tikus putih (Rattus norvegicus) (2001), (3) Intoksikasi 2,3,7,8 tatrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD): II. Efek terhadap histopatologis Hati, Ginjal dan Paru tikus putih (Rattus norvegicus) (2002), (4) Efek 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) terhadap aktivitas metabolik neutrofil tikus putih (Rattus norvegicus) (2003), (5) Aktivitas fagositosis neutrofil terhadap Staphylococcus aureus isolat sapi di Jawa tengah dengan teknik acridine orange fluorescence (2003), (6) Peranan air buah mengkudu (Morinda citrifolia L) menurunkan kadar enzim AST dan ALT serum mencit (Mus musculus) yang di-treatment CCL4 (2004), (7) Respon imun seluler terhadap intoksikasi 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) (2004), (8) Pengujian sifat resistensi Staphylococcus aureus terhadap aktivitas bakterisidal intrasel leukosit polimorfonuklear (2004), (9) Gen hormon pertumbuhan dan gen ornitin dekarboksilase sebagai kandidat dalam marker Assisted Selection (MAS) (2004), (10) Kegagalan sistem imun mengatasi infeksi human immunodeficiency virus (HIV) (2006), (11) Potensi unggas air sebagai reservoir virus high pathogenic avian influenza subtipe H5N1(2007), (12) Stimuli pematangan dini overium burung puyuh dengan interaksi fotoperiode dan gonadotropin releasing hormon (2008), (13) Filogenetik dan struktur antigenik virus avian influenza subtipe


(6)

H5N1 isolat Unggas Air (2008),(14) Analisis molekuler gen penyandi hemaglutinin Virus Highly Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Unggas Air (2008), (15) Analisis Molekuler Gen Penyandi Enzim NADH Dehidrogenase Subunit 3 (ND3) Burung Gelatik Jawa (Padda oryzivora)(2008), (16) Hubungan Kekerabatan Burung Gelatik Jawa (Padda oryzivora) di Pulau Jawa Berdasarkan Karakter Morfologi (2008), (17) Isolasi dan identifikasi virus avian influenza subtipe H5N1 pada unggas air di Peternakan Skala rumah tangga di Jawa Barat (2008), (18) Identification of pathogenecity of avian influenza virus subtype H5N1 from waterfowls base on amino acid sequence of cleavage site haemagglutinin protein (2008), (19) Variasi Panjang Fragmen Gen ND3 Burung Famili Ploceidae Endemik Pulau Jawa (2009),(20) Polymorphic sequence in the ND3 region of Java endemic Ploceidae birds mitochondrial DNA (2011) (21) Aktivitas reactive oxygen species makrofag akibat stimulasi gel lidah buaya pada infeksi Salmonella typhimurium (2012).