Studi fusi protoplas solanum khasianum clarke dengan protoplas Solanum mammosun L.

STUD! FUSl PROTOPLAS Solanurn khasianum Clarke D E N G A N
P ROTOPLAS Solanum mammosum L.

Olah

BUDHI PRIYANTO

PROORAM PASCASARJANA

INBTITUT PLRTANIAN BOOOR

loss

1

Ringkasan

BUDHI PRIYANTO. Studi Fusi Protoplas S khasianum Clarke dengan protoplas

S mammosum L. (Di bawah bimbingan Prof. Dr Ir G. A. WATTIMENA, MSc., sebagai ketua, Dr Ir L I W WINATA GUNAWAN, Dt Ir H. A. A. MATTJIK, Dr Ir M.
A. CHOZTN, MAgr. dan Prof. Dr G. WENZEL sebagai anggota).


Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan hibrida somatik S. khasia-

w(+)&
mammosum yang fertil melalui elektrofusi protoplas.
Protoplas diisolasi dari daun tanaman in vitro dengan campuran enzim selulase 0.8% dan maserozim 0.1% dalam medium yang mengandung sukrosa 14%. Pemurnian protoplas dengan pengapungan di atas medium sukrosa 14% diikuti dengan
dua kali pencucian dalam larutan NaCL dan manito10.5 M ternyata tidak mengurangi
viabilitas protoplas. Dari satu gram daun segar S; khasianum dan S, mammosum

h

diperoleh masing-masing 3.5 juta dan 7.4 juta protoplas. Elektrofusi dilakukan
dengan menerapkan parameter fusi: frequensi medan K 1 000 lcHz dengan kuat
medan 100 V/cm dan pulsa tunggal atau ganda selama 20 atau 30 ps pada kuat medan
1 200 hingga 2 000 Vlcm. Protoplas hasil fusi diregenerasikan dalam medium SKM

dan K8p yang dimodifikasi dengan mengubah susunan zat pengatur tumbuh dan osmotikumnya. Medium SKMT, SKMB, KMS, dan KMBA didapati mendorong pertumbuhan dan perkembangan sel dan mikrokalus. Regenerasi tanaman diperoleh
-:

lewat dua kali pemindahan dalam medium pembesaran kalus dan rege


/

P

Komposisi dan kadar zat pengatur tumbuh pada medium pembesaran tunas temyata
kritis bagi perkembangan kalus yang lebih lanjut. Kalus yang regeneratif lebih banyak dihasilkan dalam medium pembesaran kalus PR yang mengandung zat pengatur
1

tumbuh tunggal zeatin sebesar 0.1 mgll daripada medium PK yang mengandung BAP
dan NAA. Kombinasi zeatin (2 mg/l) dan IAA (0.1 mg/l) dalam medium regenerasi
tanarnan RS lebih mendorong regenerasi tanaman lengkap dibanding dengan medium
RMB yang mengandung kombinasi zeatin ( 1 mgll), BAP (0.5 mgll), IAA (0.5 mg/l)
dan GA, (0.2 mg/l). Zeatin tampaknya mutlak hams tersedia pada medium pembesaran kalus dan regenerasi tanaman agar diperoleh laju regenerasi yang tinggi. Secara
rata-rata laju regenerasi tanaman lengkap adalah 10.4% dari kalus yang ditanam dalam medium regenerasi. Jalur pemindahan kultur SKMT ke PR ke RS dan SKMB ke

PR ke RS memberikan laju regenerasi tanaman tertinggi, yaitu masing-masing 22.9%
dan 33.3%. Jalur pemindahan melewati PK hanya menghasilkan laju regenersi 3.6%.
Analisis isozim untuk menduga hibrida somatik dilakukan dengan sistem enzim peroksidase, glutarnat oksaloasetat transaminase, leusin aminopeptidase, malat
dehidrogenase, isositrat dehidrogenase, dan esterase. Elektroforesis dijalankan pada

gel poliakrilamida bergradien konsentrasi akrilamida 8-14.5% dengan sistem discon-

a.
Dari sistem enzim yang dicoba diketahui, bahwa hanya esterase yang memberikan resolusi pita yang jelas. Sebanyak 44 tanaman regeneran diperiksa dengan
sistem enzim esterase dan diketahui, bahwa 25 (56.8%)di antaranya adalah hibrida

--

somatik. Angka ini setara dengan yang dilaporkan dalam literatur (Sihachakr et d.,
1988; Stattrnann a d.,
1994; Thach

ad.,1993). Analisis pola isozim esterase ini

r

dapat memperkirakan sifat hibrida regeneran dengan tepat karena semua tanaman
yang menunjukkan pola isozim gabungan kedua tetua (hibrida) ternyata terbukti hibrida pula di lapang.
/


Hasil pengamatan di lapang menunjukkan adanya keragaman morfologi di
antara hibrida soamtik. Hampir semua tanaman tub*da membentuk buah tetapi
hanya sebagian yang berbiji. Enam genotipe, yaitu R34, R57, R58, R8 1, R83, dan
R102 menunjukkan fertilitas yang lebih tinggi daripada regeneran hibrida lainnya.
Solasodin dalam buah masak diekstrak denga metanol dan dianalisis secara
kuantitatif dengan HPLC pada kolom =versed

dan eluen bufer Tris.HC1 dalam

asetonitril. Kandungan solasodin buah hibrida somatik ternyata hampir setara dengan
kandungan solasodin buah S. fiasianum dan jelas lebih besar dibanding dengan buah
S. mammosum. Tanaman hibrida somatik mempunyai potensi resistensi terhadap
penyakit layu.
Dari hasil yang diperoleh, 6 tanaman hibrida somatik, yaitu R34, R57,R58,
R81, R83, dan R102, dapat direkomendasikan sebagai sumber keragaman genetik
barn dalam pemuliaan S. Usianum. Kandungan solasodin buah tanaman-tanaman
tersebut mendekati kandungan solasodin buah S.khasianum dan lebih resisten terhadap penyakit layu. Regeneran nomor R57 dan R83 mernpunyai keunggulan, yaitu
pertumbuhannya cepat dan tegar serta fertil. Selain itu duri pada nomor R57 relatif
sedikit dibanding hibrida somatik yang lain dan S.mammosum.


I

STUD1 FUSI PROTOPLAS Solanum khasianum Clarke DENGAN
PROTOPLAS S o l a ~ ~ umammosun~
m
L.

oleh

BUDHI PRIYANTO

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk mernperoleh
gelar Doktor
pada
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PEIlTANIAN BOGOR


Bogor

1996

Judul Disertasi

: STUD1 FUSI PROIOPLAS Solanum khasianum

Clarke DENGAN P R W P L A S Solanum
mamrnosum L.
Narna Mahasiswa

: BUDHI PRIYANTO

Nornor Pokok

:

90509 AGR
Menyetujui

I . Komisi Pembimbing

Prof.Dr Ir G. A. Wattimena, MSc.
Ketua

(ILL;

Dr Ir M. A. Chozin, MAgr.
Anggota

D r Ir Livy Winata Gunawan
Anggota

\

Prof. Dr G. Wenzel
Anggota

Dr Ir H. A. A. Mattiik
Anggota


Pascasarjana

Tanggal lulus:

--

Judul Disertasi

STUD1 FUSI PROIQPLAS S o l a n u ~ ~khasianum
l

:

Clarke DENGAN PROTOPLAS Solanum

mammosum L.
Nama Mahasiswa

:


BUDHI PRlYANTO

Nomor Pokok

:

90509 AGR
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir G. A. Wattimena, MSc.
Ketua

p r Ir Livy Winata Gunawan
Anggota

Dr Ir M. A . Chozin, MAgr.
Anggota


Dr Ir H. A. A. Mattjik
Anggota

Anggota

2. Ketiia Program Studi

3. Direktur Program Pascasarjana

A
-

Prof Dr Ir A. Surkati

-

?

Tanggal lulus:


PETE~F~G-

Penulis dilahlrkan di Jakarta pada tanggal 5 September 1955 dari orang tua
Soenarni dan Soepardjo Pnjopoespito. Menikah derigan Taruni Sri Prawasti dan dikaruniai dua orang anak, Wirasmi Primadiyanti (Iyas) dan Rizky Wirastomo (Uki).
Pendidikan SD hingga SMA diselesaikannya di Jakarta. Pada tahun 1974 penulis lulus SMAN VI Jakarta.
Penulis memperoleh gelar kesarjanaan dalan Ilmu-ilmu Pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tahun 1981. Pendidikan
pascasajana diselesaikannya pada tahun 1987 di University College London dengan
memperoleh gelar Master of Science dalam Biochemical Engineering.
Penulis sekarang bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

/

,

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis mengucapkan segala pujian bagi Allah, Tuhan Penguasa

,

Alam dan Yang Menguasai Pengetahuan.
3

Dalam kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan karya ini sebagai
penghargaan dan rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua, ibunda
Soenarni Prijopoespito dan almarhum ayahanda Soepardjo Pnjopoespito. Karya ini
merupakan buah dari usaha beliau berdua dalam mendidik dan mengarahkan anakanaknya. Penulis ingin pula mempersembahkan karya ini kepada kedua mertua, Bapak Condronagoro dan almarhumah Ibu Condronagoro. Dorongan dan doa mereka
menguatkan penulis dalam usaha menyelesaikan karya ini. Karya ini juga merupakan
kenangan kepada almarhumah Ibu Condronagoro karena material Solanum mamrno9yang digunakan dalam karya ini adalah atas usaha beliau.

Penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang mendalam dan pengharga:

an setinggi-tingginya kepada Komisi Pembimbing. Nasehat, saran, dan kritik dari
Prof. Dr Ir Wattimena, MSc. selaku Ketua, dan Dr Ir Livy Winata Gunawan, Dr Ir H.
A. A. Mattjik, Dr Ir M. A Chozin, dan Prof. Dr G. Wenzel, selaku Anggota, telah

membentuk dan mewarnai disertasi ini. Oleh karena itu penghargaan atas karya ini
pantas disampaikan kepada beliau semua. Demikian pula penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr Makin Ibnu Hadjar dan Prof Dr Ir Jajah Koswara selaku Penguji
-:

di luar Komisi serta penguji-penguji lain atas saran dan kritiknya.

Penelitian ini dilaksanakan di berbagai laboratorium dan lapang. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Direktur PAU Bioteknologi IPB,
Ketua Jumsan Biologi FMIPA IPB, Direktur Teknologi Pemukiman dan Lingkungan
Hidup (TPLH) BPPT dan Direktur Institute for Resistance Genetics di Griinbach, Jerman, atas fasilitas yang disediakan untuk penelitian ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan ingin penulis tujukan pada kolega di
Direktorat TPLH, BPPT, khususnya kepada Dominikus dan Joko atas bantuan pengamatan di lapang dan analisis isozim; kepada Saeful clan Tuti yang telah membantu
analisis solasodin; kepada Titin Handayani atas saran-sarannya dalam analisis kromosom; dan kepada Sati, Mardi dan Atang yang telah tekun memelihara kultur dan melaksanakan aklimatisasi. Penulis ingin meyampaikan terimakasih dan penghargaan
kepada kolega Institute for Resistance Genetics di G ~ n b a c h :E. Gerrick, M.
Stattmann, A. Lossl, U. Frei, dan N. Q. Thach, atas saran dalam fusi protoplas clan
analisis isozim serta kromosom.
Bantuan teman-teman di IPB telah melancarkan penyelesaian karya ini. Oleh
karena itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan
khusus kepada Dr M. Jusuf dan kolega: Ibu Utut, Pak Ence, Pak Miftah, Pak Soni dan
Pak Aris di Lab Genetika; Dr Alex Hartana di PAU Ilmu Hayati; Pak Ikin Mansyoer
dan rekan-rekan di Lab Zoologi: Pak Bambang, Pak Joko, Pak Dedi dan Pak Farajalah. Komentar, saran serta kritik dan keleluasaan dalam menggunakan fasilitas yang
tersedia di laboratorium-laboratorium tersebut telah membantu kelancaran penelitian.
. ?

,

Terimakasih clan penghargaan juga disampaikan kepada teman-teman Laboran
dan Teknisi, khususnya Helmiah dan Pak Ajat di PAU Bioteknologi IPB, Pak Nunuk
di Lab Zoologi, dan Pak Nana, Pak Kosasih, serta Pak Tijan di Kebun IPB di Tajur.
1

Penetitian ini didukung oleh dana dari berbagai sumber. Untuk itu perkenankan penulis menyampaikan terimakasih kepada Deputi Ketua BPPT Bidang Administrasi atas dana untuk pelatihan di Jerman dan beasiswa PPKP bagi disertasi ini; serta
kepada Direktur Teknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup, BPPT, Pimpro P.P.
Biotek dan Proiect Leader BTIG yang telah mengusahakan darn bag1 penelitian ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan pula kepada Rektor IPB,
Direktur Program Pascasarjana, dan Ketua Program Studi Agronomi yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas bagi penulis selama menempuh pendidikan di IPB.
Kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, baik langsung maupun tidak langsung, diucapkan terimakasih dan penghargaan .
Kemudahan yang penulis nikmati selama penelitian ini tidak lepas dari keluasan pergaulan isteri penulis, Tamni Sri Prawasti. Semangat dan dorongan - kadangkadang menjadi setengah pemaksaan - yang diberikannya merupakan api pendorong
bagi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Kenakalan dan kelucuan serta
komentar anak-anak, Iyas dan Uki, telah sering mengendorkan ketegangan dalam
masa-masa yang sulit selama penulis menyelesaikan disertasi ini. Untuk jasa yang
demikian besar, penulis tidak dapat menemukan rangkaian kata-kata yang sepadan.
Akhimya penulis mohon maaf atas kekhilafan selama penelitian dan penyusunan disertasi ini

8

DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

.............................
I1. TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
A . Isolasi dan Regenerasi Protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . .
B . Fusi Protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
111. BAHAN DAN METODE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
A . Sumber Eksplan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
B . Isolasi dan Kultur Protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
I. PENDAHULUAN

C. Elektrofusi Protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
D. Seleksi Dini Tanarnan Hasil Fusi Protoplas . . . . . . . . . .
E . Keragaan Fenotipik Tanaman Hasil Fusi di Lapang . . . . .
F . Analisis Solasodin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
A . Percobaan Awal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
B . Regenerasi Tanaman Hasil Fusi Protoplas . . . . . . . . . . .
C . Identifikasi Tanaman Regeneran In Vitro . . . . . . . . . . . .
D. Keragaan Fenotipik Tanaman di Lapang . . . . . . . . . . . . . . .

E . Analisis Kandungan Solasodin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
V . PEMBAHASAN UMUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
VI . KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

viii

x
1

4

/

DAFTAR TABEL

Halaman

Nomor

/

Komposisi campuran enzim . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Komposisi larutan pencuci . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Komposisi medium induksi kalus . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Komposisi medium pembesaran kalus dan regenerasi tanaman
Viabilitas protoplas S, khasianum pada tiga langkah isolasi dan
pemurnian protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

39
39
43
45
57

Daya hasil dan viabilitas protoplas & khasianum dan S. mammosum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

57

Pertumbuhan sel dan mikrokalus dari protoplas S,khasianum
yang ditanam di dalam medium induksi kalus SKM dan K8p
dengan berbagai kerapatan awal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

59

Jumlah kalus yang tumbuh pada medium pembesaran kalus PK
satu minggu setelah pernindahan kultur induksi kalus . . . . . . . .

60

Kenampakan hasil fiisi pada berbagai kuat medan clan lama
pulsa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Regenerasi kuncup tunas dan tanaman lengkap menurut medium induksi kalus, pembesaran kalus dan regenerasi tunasnya

72

Pengelompokan regeneran hasil fusi protoplas berdasarkan
. . .
pola pita isozim EST . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

82

Jumlah kromosom pada S, khasianum, S, mammosurn dan
regeneran hasil fusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

83

Besaran kuantitatif berbagai karakter morfologi S.khasianum,
S. mammosum, clan regeneran hasil fusi protoplas . . . . . . . . . .
Eigenvalue dan nilai koefisien komponen utarna dari
peubah-peubah tipe
pola EST dan karakter morfologi tanaman
. .
dilapang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Beberapa karakter morfologi terpilih pada kelompok genotipe
Hl/A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kadar solasodin pada buah S, khasianum, S,mammosum, dan
beberapa sampel regeneran hasil fusi protoplas keduanya . . . . .

65

93

109
113
117

,

Lampiran

1.
2.
3.

Komposisi medium SKM dan K8p . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pola pita EST regeneran hasil fusi protoplas dan penamaan tipe
polapita . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Data kuantitatif karakter morfologi regeneran hasil fusi
protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

138
140
141

/

,

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Nomor

Skema distribusi genom inti dan sitoplasmik pada sel hasil hibridisasi seksual dan fusi protoplas . . . . . . .'. . . . . . . . . . . . . . . .
Diagram alir isolasi dan pemwnian protoplas . . . . . . . . . . . . . .
Diagram alir kultur protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Diagram alir fusi protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pelepasan protoplas dari jaringan daun S, khasianum . . . . . .
Efisiensi penaburan kultur protoplas S, khasianum, S, mammosum,clan hasil fusinya dalam medium SKMB . . . . . . . . . . .
Perkembangan kulturprotoplas dalam medium induksi kalus .
Perkembangan kalus dan organogenesis tunas pada medium
pembesaran kalus dan regenerasi tunas . . . . . . . . . . . . . . . .
Tanaman in vitro tetua dan regeneran hasil fusinya . . . . . . . .
Pola pita isozim EST dan MDH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Karakter morfologi organ generatif tanaman .& khasianum . . .
Karakter morfologi organ generatif tanaman S,mammosum . .
Habitus tanaman tetua dan regeneran hasil fusi protoplas . . . . .
Ketidakberaturan bentuk daun pada beberapa genotipe kelompokH1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Perkembangan pucuk tunas tidak normal tanaman hasil fusi
protoplas S, khasianurn dengan S: mammosum . . . . . . . . . . . . .
Bentuk dan sebaran dun S, khasianum, S, mammosum, dan
regeneran hasil fusi protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Morfologi bunga % khasianum, S. mamrnosum, dan regeneran
hasil fusi protoplas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Stmktur tidak normal pada bunga tanaman kelompok H1 . . . . .
Morfologi polen dewasa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Buah masak dari regeneran kelompok H1 . . . . . . . . . . . . . . . . .
Buah masak dari regeneran kelompok H2 . . . . . . . . . . . . . . . . .
Irisan melintang buah regeneran hasil fusi protoplas S , khasia-

num dengan S, mammosum . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .

23 .
24.

Viabilitas polen danpersentase buah yang berbiji dari S.khamammosum dan regeneran hasil fusi protoplas . . . .

105
/

25 .
26:

Morfologi biji S. khasianum. S, mammosum. dan regeneran
hasil fusi protoplasnya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Proyeksi genotipe hasil fusi pada sumbu 1 clan sumbu 2 . . . . . .
Proyeksi genotipe hasil fusi pada sumbu 1 dan sumbu 3 . . . . . .

27 .

Proyeksi genotipe hasil fusi pada sumbu 2 clan surnbu 3 . . . . . .

107
110
110
111

28

Dendogram regeneran hasil fusi protoplas S, khasianum denganS,marnmosum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

114

.

I. PENDAHULUAN

Latar belakang
/

Solanum khasianum Clarke diintroduksi ke Indonesia dan India sebagai tanaman penghasil alkaloid solasdin pada tahun 1977 (Rosita, Rostiana, Wahid, dan
Sitepu, 1991). Menurut Sudiarto, Chairani, Rosita, dan Wahid (1985), spesies ini lebih unggul dalam ha1 produksi alkaloid per satuan luas lahan dan waktu dibanding
dengan spesies penghasil diosgenin, Dioscorea composita dan Q@@ speciosus.
Budidaya S,khasianum menghadapi kendala karena tanaman ini berduri dan
rentan terhadap penyakit layu, terutama di dataran rendah (Sudiarto a d.,1985;
Supriadi, 1985; Januwati dan Poerba, 1985). Penyambungan dengan batang bawah
S. sanitwongsai dan S. torvum dapat menekan infeksi bakteri pada pembuluh kayu
-

(Supriadi, 1985). Namun penyambungan dipandang tidak praktis mengingat S, &
sianum adalah tanaman semusim dengan populasi 25 000 tanaman per ha (Sudiarto et
al., 1985). Selain itu ketidaksesuaian sambungan antara S, khasianum dengan species
Solanum lain dapat menurunkan daya hasil (Rosita

d.,1991).

Resistensi S. khasianurn terhadap penyakit layu dapat ditingkatkan dengan
rekombinasi genetik dengan spesies yang resisten melalui upaya persilangan, transformasi genetik dan fusi protoplas. Sifat resistensi dapat ditransfer dari satu kultivar
ke kultivar lain melalui wahana fusi protoplas (Thach, Frei dan Wenzel, 1993). Salah

-

satu sumber resistensi terhadap penyakit l a p adalah S. torvum (McCammon dan
:

Honma, 1983; Supriadi, 1985). Tetapi kindungan solasodin buah s

,

yaitu 0.1% (Mann, 1978). S, mamrnosum L. resisten terhadap penyakit layu (Boma,
1990). Spesies ini telah beradaptasi dengan lingkungan Indonesia, berbuah besar, dan
kandungan solasodin buahnya tinggi, yaitu 2% Wann, 1978). Dengan demikian S,

/

mammosum mempunyai potensi sebagai sumber sifat resistensi yang dapat ditransfer
>

ke S,khasianum.

Masalah penelitian
Kendala terbesar dalam usaha menyilangkan S, khasianurq dengan S.mammo-

sum adalah inkompatibilitas seksual (Boma, 1990).

Fusi protoplas dapat mengatasi

masalah ini karena mampu menghasilkan hibrida dari spesies yang secara seksual inkompatibel (Gleba dan Shlumukov, 1990; Grosser, Gmitter, Jr., Tusa, dan Chandler,
1990).
Keberhasilan kultur protoplas antara lain ditentukan oleh genotipe donor.
Dengan demikian untuk merealisasi pembentukan hibrida somatik antara S. khasia-

num dan S. mammosum diperlukan pengetahuan mengenai isolasi, fusi protoplas dan
regenerasi protoplas serta hasil fusinya.
Sarnpai sekarang informasi rnengenai kuitur dan fusi protoplas S, khasianum
dengan spesies Solanum lain masih langka. Dan pustaka-pustaka diketahui, bahwa
hibrida dapat diperoleh melalui fusi protoplas L hasianum dengan S. melongena (Sihachakr, Haicour, Serraf, Barrientos, Herbreteau, Ducreux, Rossignol dan Souvanna-:

vong, 1988) dan S. khasianum dengan S, aculeatissimum (Stattmann, Gerick dan

Wenzel, 1994). Namun penulis belurn mengetahui adanya publikasi mengenai fusi
protoplas S, khasianum dengan S. mammosum.

Tujuan penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan tanaman hibrida hasil fusi
protoplas S, khasianum dengan S. mammosum. Hibrida somatik ini diharapkan fertil.
Untuk mencapai tujuan itu diperlukan mempelajari:
1.

Metode isolasi dan regenerasi protoplas S. khasianum dan protoplas S. mammosum

2.

Metode fusi protoplas S. khasianum dengan protoplas S. mammosum serta regenerasinya menjadi tanarnan yang lengkap

3.

Metode pembuktian secara dini hibrida somatik yang terbentuk

4.

Keragaan fenotipik tanaman hasil fusi di lapang

It. TINJAUAN PUSTAKA

Fusi protoplas dapat menghasilkan hibrida-hibrida somatik yang mempunyai
keragaman genom inti dan sitoplasmik yang luas. Manfaat praktis dari fusi protoplas
antara lain pemindahan resistensi antar kultivar (Thach

/

aJ., 1993) atau bahkan antar
>

genera (Lelivelt dan Krens, 1992). Keragaman sitoplasmik dari hibrida yang dihasilkan yang berkaitan dengan sifat mandul jantan ( cvto~lasnicmale sterilitv [c.m.s.l)
(Pelletier, Primard, Ferault, Vedel, Chetrit, Renard dan Delounne, 1987) dapat dimanfaatkan secara praktis. Akhir-akhir ini ditunjukkan, bahwa daya hasil umbi
tanaman kentang hasil fusi protoplas berhubungan dengan komposisi tipe mitokondrianya (Lbssl, Frei dan Wenzel, 1994).
1994;
Dalam beberapa kasus, hibrida somatik bersifat fertil (Stattrnann g d.,
Sundberg, Landgren dan Glimelius, 1987). Dibanding dengan hibrida SI aculeatis-(x)L

khasianum yang praktis steril (Titin Handayani, 1996), viahilitas polen

hibrida somatik & aculeatissimum(+)S, khasianum sebesar 87% (Stattrnann g
t aJ.,

,

1994)jelas menunjukkan tingkat fertilitas yang lebih besar. Namun pada beberapa
kasus lain fertilitas hibrida somatik rendah (Guri dan Sink, 1988; Kirti, Narasimhulu,
Prakash dan Chopra, 1992; Sihachakr g aJ., 1988). Hal ini menjadi masalah pada
spesies yang diperbanyak dengan biji. Pada tanaman yang dibiakkan secara vegetatif,
misalnya kentang, fertilitas rendah tidak menjadi masalah.

-

A. lsolasi dan Regenerasi Protoplas

1. Sumber Protoplas
/

Protoplas dapat diisolasi dari suspensi sel (Chand, Davey dan Power, 1990;
Gleddie, Keller dan Setterfield, 1985) atau organ tanaman seperti hipokotil (Dupuis,
Pean dan Chagvardieff, 1990), daun (Binding, Nehls, Kock, Finger dan Mordhorst,
1981; Kowalczyk, Mackenzie dan Cocking, 1983; Serraf, Sihachakr, Chi, Herbreteau, Rossignol dan Ducreux, 1988), keping kotiledon biji muda (Wei dan Xu, 1988;
Dhir, Dhir dan Widholm, 1991), daun kotiledon pada kecambah (Jia, Fu dan Lin,
1986), tangkai daun (Eilers, Sullivan dan Skirvin, 1988) danpolen (Yang dan Zhou,
1992). D a m merupakan sumber yang lebih umum digunakan karena lebih mudah
diperoleh dan menghasilkan protoplas yang seragam (Ferreira dan Zelcer, 1989;
Eriksson, 1985).
Tanarnan in vitro merupakan sumber protoplas yang digunakan oleh banyak
peneliti. Dengan kultur in vitro, jaringan tanaman dapat dimudakan kembali melalui
pemindahan ke medium baru. Tanaman ini secara fisiologis seragam sehingga dapat
menghasilkan protoplas dengan daya hasil

(m)dan daya regenerasi yang lebih be-

sar (Binding, 1975; Binding@ d., 1981; Binding dan Nehls, 1977; Haberlach, Cohen, Reichert, Baer, Towill dan Helgeson, 1985). Keuntungan lain dari kultur in vitro
sebagai sumber eksplan adalah penghindaran kontaminasi sehingga organ tanaman tidak perlu disterilkan. Sterilisasi, yang merupakan keharusan bila menggunakan
. ?

r

sumber tanaman dari rumah kaca, dapat merugikan viabilitas protoplas yang diperoleh (Eriksson, 1985; Scott, Chin dan Wood, 1981; Shahin, 1985).
Tanaman in vitro pada umumnya ditumbuhkan dengan lama penyinaran
/

antara 12 dan 16 jam. Intensitas cahaya yang diperlukan antara 2 000 hingga 6 000
1981;
., Haberlach a aJ., 1985; Serraf a &1988).
I., Kadanglux (Binding gt &I
kadang intensitas setinggi 12 000 hingga 23 000 lux diterapkan (Masson, Lecerf,
Rousselle, Perennec dan Pelletier, 1987; Thomas, 1981) dengan alasan penempatan
tanaman di bawah cahaya berintensitas kuat dengan lama penyinaran yang lebih
pendek dapat memperbaiki pertumbuhan protoplas kentang.
Daya hasil dan viabilitas protoplas yang diisolasi dari tanaman yang dikultur
dalam wadah bertutup rapat adalah rendah (Cassels, 1980; Perl, Aviv dan Galun,
etilen di dalam wadah diduga menjadi penyebabnya. De1988). Cekaman (w)
ngan penambahan antietilena (perak tiosulfat) ke dalam medium, daya hasii dan viabilitas protoplas dapat diperbaiki (Mbllers, Zhang dan Wenzel, 1992; Perl gt d.,
1988; Rethmeier, Jansen, Snel, Nijkamp dan Hille, 1991; Xu, Pehu, Malone clan
Jones, 1991).

2. Isolasi Protoplas

Pelaksanaan isolasi protoplas dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu praplasmolisis, perlakuan enzim, dan pemumian protoplas. Setiap langkah selalu menggu-:

nakan medium yang mengandung gula atau garam berkonsentrasi tinggi. Osmolalitas

>

yang tinggi ini penting untuk menjaga agar protoplas tetap utuh. Karena dengan hilangnya dinding sel yang berfungsi sebagai penguat mekanik, integritas protoplas
menjadi sangat bergantung pada osmolalitas medium,

a. Pravlasmolisis
Manfaat praplasmolisis adalah untuk mengurangi penyerapan enzim melalui
endositosis selama pengerutan sel (Eriksson, 1985) dan mencegah pengaruh toksik
dari enzim pektolisis, yaitu enzim yang menyebabkan maserasi jaringan, terhadap sel
(Bateman dan Basham, 1976). Praplasmolisis dilakukan dengan perendaman bahan di
dalam larutan garam (Dupuis

a!., 1990) atau gula, misalnya manitol 0.4 - 0.7 M

atau sukrosa 0.3 M (Binding, 1975; Diaz, Moreno, dan Power, 1988; Kowalczyk
al.,
-

1983; Mollers, 1990; Rethmeier

d.,1991;

Shahin, 1985).

Langkah praplasmolisis kadang-kadang diganti dengan pengkondisian bahan
di dalam medium yang mengandung BAP dan NAA selama 24 jam pada 4'C (Haberlach a d.,1985; Shepard dan Totten, 1977). Hal ini diyakini dapat meningkatkan
kestabilan protoplas.
Dalam beberapa protokol, langkah praplasmolisis dihilangkan sama sekali
(Perl a gl.,
1988; Scott &a!., 1981) karena praplasmolisis dianggap tidak memperbaiki daya hasil protoplas yang diisolasi.

Dinding sel terdiri atas tiga bagian, yaitu lamela tengah, dinding primer, dan
dinding sekunder (Bateman dan Basham, 1976). Lamela tengah tersusun sebagian besar atas pektin. Dinding primer clan sekunder disusun terutama oleh selulosa dan
hemiselulosa. Oleh karena itu pada umumnya komposisi medium enzim mengandung aktivitas pektinase (maserase), hemiselulase, dan selulase.
Ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam perlakuan enzim, yaitu metode satu tahap dan metode dua tahap (Eriksson, 1985; Keller, Setterfield, Douglas,
Gleddie, dan Nakamura, 1982). Pada metode satu tahap, maserase (mengandung aktivitas pektinase dan hemiselulase) dan selulase diberikan sekaligus di dalam medium
enzim. Pada metode dua tahap, jaringan mula-mula diberi enzim maserase atau pektinase yang menghancurkan iamela tengah sehingga sel terpisah satu sama lain. Selsel bebas itu kemudian diberi selulase yang melarutkan dinding sel sehingga terben-

tuk protoplas. Metode satu tahap banyak diterapkan karena praktis, walaupun cara
itu, dengan bahan berupa daun, menghasiikan lebih sedikit protoplas karena hanya sel
palisade yang terikut.
Jenis enzim yang dipakai ditentukan oleh jenis jaringan tanamannya. Carnpuran maserozim R-10 dan selulase R-10 digunakan untuk isolasi protoplas dari mesofil daun tanaman in vitro S. khasianum &
X
J S. laciniatum (Serraf a 4, 1988),

S. melon~ena,S. tonzlm (Sihachakr g d.,
1988; Sihachakr, Haicour, Chaput, Barrientos, Ducreux dan Rossignol, 1989) dan kentang (Moilers, 1990). Untuk daun
-:

J

tanaman pot dibutuhkan campuran enzim yang lebih kuat aktivitasnya, misalnya pektoliase Y-23 untuk S. khasianum (Kowalczyk g A,, 1983) dan campuran selulisin clan
driselase untuk S. t o m (Guri, Volokita dan Sink, 1987).
/

Selain osmotikum, di dalam campuran enzim biasanya ditarnbahkan garam
1983) atau
sederhana seperti CaCl, (Binding dan Nehls, 1977; Kowalczyk gt d.,
campuran beberapa garam seperti CPW (Frearson, Power dan Cocking, 1973; Serraf
et al, 1988; Sihachakr g A,, 1988) clan garam makro dan mikro suatu medium (Guri
-et al.,
--

1987; Haberlach a al, 1985; Mbllers, 1990; Shepard dan Totten, 1977).
Senyawa lain sexing ditambahkan, misalnya albumin serum anak sapi (BSA)

t & 1985; Shepird
(Hunt dan Helgeson, 1989), polivinilpirolidon (PVP) (Haberlach g

dan Totten, 1977), natrium tiosulfat (Zaghmout, Holland, Torrello dan Polacco,
1990), kalium dekstran sulfat (Moilers, 1990) dan zat pengatur turnbuh (Haberlach g
al., 1985; Masson &&
1987;
I, Shahin, 1985). Manfaat kaliurn dekstran sulfat adalah
untuk menghllangkan pengaruh toksik beberapa unsur yang dikandung enzim atau
1982). BSA dan PVP didilepas oleh protoplas, misalnya ribonuklease (Keller g d.,
yakini berfiungsi mengikat senyawa fenol dan fenoloksidase. Penambahan auksin dan
sitokinin dipercaya dapat mencegah kekurangan zat pengatur tumbuh selama inkubasi
semalam sehingga diperoleh daya hasil protoplas yang konsisten (Masson g aJ.,
1987).

>

c. Pemurnian Proto~las
Pemurnian protoplas dilakukan untuk membuang sisa enzim dan memisahkan
protoplas dari serasah sel. Prosedur pemurnian biasanya terdiri atas beberapa langkah

/

penyaringan dan sentrifugasi. Larutan pencuci yang digunakan bersifat hipertonik
dan biasanya mengandung garam, terutama Ca-- yang berfungsi menstabilkan membran plasma (Eriksson, 1985). Untuk memisahkan protoplas dari serasah besar, campuran enzim dan protoplas disaring dengan saringan halus (50 sampai 100 pm) yang
terbuat dari nilon atau baja tak berkarat. Untuk memisahkan protoplas dari serasah
halus dapat diterapkan beberapa metode, antara lain pengapungan, sentrifugasi dan
pencucian berulang, dan pengendapan tanpa sentrifugasi (Larkin, 1976). Metode
pengapungan biasanya memberikan hasil yang lebih konsisten.
Metode pengapungan dikembangkan berdasarkan prinsip pemisahan diferensial karena adanya perbedaan kerapatan jenis. Protoplas mesofil daun, yang bewakuola banyak, mempunyai kerapatan jenis yang lebih kecil dari serasah sel sehingga bila
campuran disentrifugasi dalam lamtan berkerapatan jenis tertentu, protoplas akan
mengapung. Larutan yang berkerapatan jenis besar dapat diciptakan dari larutan sukrosa 11-2 1% (rapat jenis 1.044 - 1.09 g/ml) (Wolf, Brown dan Prentiss, 1989), Lymphoprep (rapat jenis 1.077 g/ml) (Larkin, 1976; Guri

&I
1987),
., atau campuran

isoosmotik yang bergradien kerapatan jenis 1.01 - 1.06 g/ml (Harms dan Potrykus,
1978a, 1978b; Poulsen, 1987). Bergantung pada tujuan mengisolasi protoplasnya,
-:

pemumian protoplas selanjutnya dapat dilakukan dengan beberapa kali pengapungan

>

dengan sukrosa 11-18% (Frearson g gl., 1973; Haberlach g gl., 1985; Kowalczyk g
al., 1983; Shahin, 1985) atau pencucian dengan larutan garam atau manitol (Diaz g
al., 1988; Guri g
t d.,
1987; Mdllers 1990; Rethmeier g gl., 1991; Sihachakr ef gl.,
-

/

1988; Zaghmout g
t gl., 1990).
Kemurnian protoplas dapat dilihat dengan mengetahui viabilitasnya. Viabilitas protoplas dapat ditetapkan dengan metode eksklusi zat wama dan fluoresensi.
Pada metode eksklusi, protoplas yang mati dengan cepat menyerap zat warna karena
membran protoplas mati tidak selektif terhadap zat wama tersebut. Sebaliknya,
membran protoplas hidup menolak zat wama tersebut sehingga protoplasnya tidak
tenvamai (Gaff dam Okong'O-ogola, 1971; Larkin, 1976; Widholm, 1972). Pada metode fluoresensi dengan fluoresein diasetat (FDA), membran protoplas hidup bersifat
permeabel terhadap FDA tetapi tidak permeabel terhadap fluoresein, yaitu senyawa
hasil pemecahan FDA oleh esterase yang terdapat dalam protoplas. Hasilnya, protoplas viabel berfluoresensi hijau-kuning karena mengakumulasi fluoresein sedangkan
protoplas mati tidak (Larkin, 1976; Widholm, 1972).

3. Regenerasi
Regenerasi protoplas menjadi tanaman lengkap adalah proses perkembangan
yang bertahap. Proses regenerasi diawali dengan pembentukan dinding sel. Tahap
perkembangan ini merupakan tahap yang sangat kritis karena integritas protoplas
sangat mudah terganggu oleh perubahan fisik dan kimia medium, terutama

I

osmolalitasnya. Setelah dinding sel terbentuk, perkembangan sel selanjutnya adalah
seperti pada kultur seI lainnya. Di dalam Mtur, sel membelah dan membentuk
koloni sel yang berkembang dari individu protopias. Koloni sel ini berkembang lebih
/

lanjut menjadi mikrokalus. Pada medium yang sesuai mikrokalus berkembang menjadi kalus yang regeneratif dan akhrnya menjadi tanaman lengkap.

a. Induksi Kalus
(i) Komposisi Medium Kultur
Protoplas dapat dikulturkan dalam medium sederhana yang tersusun atas garam makro dan mikro, vitamin, zat pengatur turnbuh, dan gula sebagai osmotikum
(Durand, Potrykus dan Donn, 1973; Frearson
gata dan Takebe, 1971; Per1

g.,1988;

aJ.,

1973; Masson a aJ., 1987; Na-

Shepard, 1980; Shepard dan Totten, 1977;

Thomas, 1981). Namun dalam medium yang lebih kaya, efisiensi pembelahan sel
dan pembentukan kalus dari protoplas & aviculare serta S. sisvmbriifolium (Gleddie
et a]., 1985) dan S,khasianum (Kowalczyk g
td.,
1983) meningkat.
-Komposisi medium kompleks pada umurnnya diturunkan dari medium K8p
(Kao dan Michayluk, 1975). Modifikasinya antara lain dengan mengubah kadar glukosa, sukrosa serta komposisi zat pengatur tumbuh (Chand

e aJ.,

1990; Kowalczyk g
t

al., 1983). Menurut Kowalczykgt d.(1983), kadar sukrosa yang tinggi dapat mencegah penurunan pH yang mengganggu pertumbuhan sel semasa awal kultur protoplas

..

S. khasianum. Bufer lemah MES dapat digunakan untuk mencegah perubahan pH di
-

I

dalam medium K8p (Tan, Rietveld, van Marrewijk dan Kool, 1987; Serraf @ d.,
1988; Sihachakr @ aJ, 1988).
Dua medium lain, yaitu VKM dan SKM, banyak digunakan untuk berbagai
spesies Solanaceae. Medium VKM (Binding dan Nehls, i977) disusun berdasarkan
komposisi bahan organik dari K8p dan garam anorganik dari V-47 (Binding, 1974).
Medium VKM dan modifikasinya digunakan untuk regenerasi protoplas herba dikotil
(Binding

gl.,
198l), kentang (Binding, Nehls, Schieder, Sopory dan Wenzel, 1978;

Mbilers, 1990; Mallers g d.,1992; Serraf, Sihachakr, Ducreux, Brown, Allot, Barg h dan
~ Rossignol, 1991; Thach @ d.,1993), dan hasil fusi protoplas S, khasianum

dengan &. aculeatissimum (Stattrnann @ aJ., 1994). Modifikasi yang diterapkan meliputi pengurangan glukosa dan penambahan sukrosa.
Medium SKM menurut Hunt dan Helgeson (1989) disusun berdasar K8p dengan perubahan kadar beberapa unsur tertentu termasuk gula. Pada medium ini asam
organik dihilangkan sama sekali, sedangkan albumin serum anak sapi (BSA) ditambahkan dengan kadar 0.2%. BSA dinyatakan sebagai unsur yang sangat mendukung
perkembangan sel sehingga tidak dapat dihlangkan dari komposisi ini tanpa mengganggu pertumbuhan dan perkernbangan protoplas. Beberapa vitamin dikurangi kadamya atau dihilangkan sama sekali dan kadar fosfat dinaikkan menjadi empat kali
kadar semula di dalam K8p. Dengan susunan medium baru ini, protoplas dan sel
tunggal Solanum dapat dikulturkan dengan kerapatan sangat rendah. Thach

4.

(1993) memodifikasi lebih lanjut medium SKM dengan menambahkan 0.1 M manitol
dan zeatin untuk menaikkan laju regenerasi protoplas kentang

/

Selain ketiga komposisi tersebut, para peneliti menyusun komposisi medium
yang khas untuk regenerasi genotipe tertentu. Medium TM dikembangkan untuk regenerasi protoplas tomat oleh Shahin (1985). Medium ini dilaporkan sesuai pula un/

tuk kultur protoplas kentang (Lillo, 1989). Medium khas yang mengandung asam
organik dari K8p mgunakan untuk regenerasi protoplas S. torvum (Guri a &. (1987)
dan Guri dan Sink (1988),

(ii) Zat Pengatur Tumbuh
Medium yang digunakan dalarn kultur protoplas mengandung kombinasi zat
pengatur tumbuh, terutama auksin dan sitokinin, yang diperlukan untuk mendorong
pembelahan dan pertumbuhan protoplas (Eriksson, 1975). Tidak adanya auksin dan
sitokinin dalam medium kultur protoplas tomat mengakibatkan gagalnya pembelahan
sel (Shahin, 1985).
Kebutuhan akan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuhan ditentukan oleh
spesies atau kultivar. Secara umum kombinasi NAA dan 2,4-D dengan zeatin atau
BAP banyak diterapkan, terutama untuk regenerasi protoplas Solanum. Kolnbinasi
zat pengatur tumbuh yang sering digunakan antara lain NAA + 2,4-D + zeatin (Binding dan Nehls, 1977; Kowalczyk g
td., 1983; Serraf @ d.,1988; Sihachakr s d.,
1988), NAA + 2,4-D + BAP (Lillo, 1989), NAA + BAP (Frearson g &., 1973; Hunt
dan Helgeson, 1985; Nagata dan Takebe, 1971; Shepard dan Totten, 1977; Shepard,

..

1980), NAA + zeatin (Shahln, 1985), dan 2,4-D + zeatln (Thomas,

'

Konsentrasi zat pengatur turnbuh yang digunakan bergantung pada genotipe. Selang
konsentrasi yang dilaporkan dalam pustaka-pustaka tersebut adalah NAA 0.4 - 1 mg~l,
2,4-D 0.1 - 5 mg/l, zeatin 0.2 - 2 mg/l, dan BAP 0.5 - 1 mgil.

(iii) Kondisi Fisik Kultur
Pada umumnya protoplas dikuiturkan pada suatu wadah sederhana berupa cawan petri. Pada kasus yang sulit, beberapa peneliti menggunakan cawan berkonstruksi khusus, misalnya cawan X (Gun dan Sink, 1988; Guri

aJ.,

1987; Shepard,

1980). Cawan X adalah suatu cawan petri yang dibagi menjadi empat quadran oleh
sekat poms untuk memungkinkan berlangsungnya perpindahan nutrien antar quadran.
Suspensi protoplas dalam medium cair atau semi padat diletakkan dalam quadran
berselang-seling dengan quadran yang berisi medium cadangan.
Sistem kultur pada medium padat jarang digunakan karena komposisi mediumnya sukar dimanipulasi selama kultur. Pada kasus khusus perpaduan kultur padat
dan cair, misalnya rnetode sektor agarosa dan aaarose bead culture, dapat diterapkan.
Pada kedua metode ini protoplas dibenamkan dalam medium padat dan medium
padat ini ditenggelamkan dalam suatu medium cair (Chand a aJ., 1990; Diaz g
t d.,
1988). Metode agarose bead culture dapat mengatasi masalah polifenol pada kultur
t d.,
1988), menaikkan laju pembelahan sel dari
protoplas Capsicum annuum (Diaz g

protoplas & dulcarnara (Chand a gl.,
1990), dan mencegah mencoklamya medium
-:

kultur protoplas tomat ( T a n g aJ., 1987).

Pada dasamya kultur protoplas dalam medium cair dilaksanakan secara sederhana, yaitu protoplas ditaburkan langsung ke dalam medium cair. Setelah mikrokalus
berkembang, seluruh kultur atau individu kalus dipindah ke medium padat. Cara ini
berhasil digunakan untuk regenerasi protoplas spesies Solanaceae, seperti tomat (Shahin, 1985), Solanum sp. (Stattmann a d.,1994; ~ h a c g
ht d.,1993), Petunia sp.
(Frearson Gal., 1973), dan tembakau (Nagata dan Takebe, 1971).

(iv) Pengenceran Kultur
Salah satu keuntungan kultur cair adalah komposisi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh dan osmotikum dapat disesuaikan dengan kebutuhan sel melalui pengenceran. Dengan pengenceran kerapatan sel dapat diatur. Dengan demikian dapat
diperoleh laju pernbelahan sel dan pembentukan mikrokalus yang lebih tinggi (Binding dan Nehls, 1977; Binding g aJ., 1981; Chand
Kowalczyk

aJ., 1990; Diaz a d . , 1988;

d.,1983; Masson gt d.,
1987; Mollers g
t aJ., 1992; Serraf g
t d.,

1988; X u e t d . , 1991).
Pada umumnya pengenceran dilakukan dengan medium yang mengandung
sitokinin dan bebas dari auksin atau berkonsentrasi auksin rendah. Regenerasi protoplas & khasianum, S. laciniatum (Serraf
dan S. to-

a d.,1988) dan protoplas hasil fusi S. melo-

(Sihachakr a d.,1989) dilaporkan lebih baik bila kultur

diencerkan pada minggu ke-3 dengan medium yang mengandung 0.1 mg/l zeatin.
-:

Pernbentukan struktur meristematik pada mikrokalus S. laciniatum berkurang bila

a

medium pengencerannya rnengandung kombinasi sitolunin dan auksin (Serraf @ d.,

Pengenceran untuk rnenyesuaikan osmolalitas medium sangat penting untuk
/

mempertahankan laju pembelahan sei yang tinggi pada kultur protoplas S.dulcamara
(Chand @ d.,1990), kentang (Mdllers @ aJ., 1992; Thomas, 1981), dan & khasianum
(Kowalczyk @ aJ., 1983). Genotipe tertentu perlu ditanam dengan kerapatan awal
yang tinggi agar diperoleh laju pembelahan sel yang tinggi pula. Sel dalam kultur ini
sering berhenti membelah dan mati sehingga wama kultur berubah menjadi coklat
Pengenceran kultur untuk mengurangi kerapatan sel dapat mengatasi masalah ini
(Binding@ d.,1981; Mollers et aJ., 1992; Shahin, 1985).

(v) Kerapatan Penaburan

Kerapatan penaburan (platinv density) merupakan faktor penting dalam kultur
protoplas. Efisiensi penaburan protoplas S. khasianum (Kowalczyk @ d.,1983) dan
tembakau (Nagata dan Takebe, 1971) rendah bila ditanam dengan kerapatan bukan
pada taraf optimumnya. Kebanyakan protoplas Solanum dapat dikulturkan dalam
ordo kerapatan lo3- 10' protoplas/ml (Chand g
Hunt dan Helgeson, 1989; Kowalczyk

d.,1991;

Ferreira dan Zelcer, 1989;

gl.,
1983; Mdllers Gal., 1992). Sedangkan

protoplas mesofil dan pucuk tunas 77 spesies dikotil dapat dikulturkan dengan baik
t d.,
1981).
pada kerapatan penaburan 1 hingga 2x10" protoplas/ml (Binding g

r

Kerapatan optimum dipengaruhi oleh kondisi fisik medium (Chand a &.,
1990). Protoplas &. dulcamara mempuwai kerapatan optimum 1.5x105/mlbila ditanam dalam medium cair, sedangkan kerapatan optimum pada kultur aearose bead
adalah 0.5x10S/ml.

b. Pembesaran Kalus
Untuk meningkatkan respon regenerasi tanaman, mikrokalus yang terbentuk
biasanya ditransfer teriebih dahulu ke medium pembesaran kalus. Komposisi media
yang digunakan bermacarn-macam. Pada tomat (Tana aJ., 1987), kentang (Thomas,
t a.,1981), respon regenerasi diinduksi
1981) dan berbagai herba dikotil pinding g

oleh pemindahan secara bertahap ke dalam medium dengan osmolalitas lebih rendah.
Kalus regeneratif dari berbagai spesies Solanum diperoleh dengan memindahkan mikrokalus ke &lam medium cair berosmolalitas sama tetapi berbeda konsentrasi sitokinin (Masson g aJ., 1987; Serraf

aJ., 1991; Serraf

aJ., 1988; Sihachakr d.,

1988; Sihachakr a &., 1989) atau auksinnya (Guri g &., 1987). Cara lain untuk
menginduksi kalus yang regeneratif adalah dengan menaburkan mikrokalus ke medium padat MS (Guri dan Sink, 1988; Kowalczyk et al., 1983) atau k6mposisi khas
(Haberlach Gal.,
1985; Shepard, 1980; Shepard dan Totten, 1977; Shahin, 1985)
t d.,1985; Kowalczyk
yang diperkaya dengan kombinasi BAP dan NAA (Haberlach g

et al., 1983; Shepard, 1980), 2,4-D dan BAP (Shahin, 1985) atau zeatin dan IAA
--:

(Guri dan Sink, 1988).

c. Regenerasi Tunas dan Tanaman
Setelah sekitar dua minggu &lam medium pembesaran kalus ini, kalus dipindah ke medium MS padat yang mengandung kombinasi sitokinin (BAP danlatau
zeatin) dan auksin (IAA atau NAA). Kombinasi zat pengatur turnbuh yang digunakan
bergantung pada genotipe. Regenerasi tunas dari protoplas S,khasianum memerlukan kombinasi zeatin dan IAA (Kowalczyk g &I., 1983; Serraf ad.,1988) sedangkan zeatin atau BAP secara tunggal tidak mendorong regenerasi (Kowalczyk ad.,
1983). Sebaliknya, sitokinin tunggal BAP mendorong regenerasi tanaman dari protot d.,1983) dan zeatin atau 2ip atau kinetin mendorong replas & laciniatum (Serraf g

generasi protoplas S. to-

(Guri dan Sink, 1988; Guri @ d.,1987).

Pada kentang, konsentrasi optimal zeatin yang dibutuhkan untuk regenerasi
adalah seperlima dari BAP (Lillo, 1989). Masson a 4. (1 987) melaporkan, bahwa
laju regenerasi dengan kombinasi BAP + NAA adalah lebih rendah daripada kombinasi zeatin + NAA. Hal yang sama diperoleh bila NAA diganti dengan IAA. Menurut mereka, zeatin dapat mengoreksi pengamh penghambatan NAA dan IAA terhadap
regenerasi tunas. BAP tidak mempunyai daya koreksi ini dan pada kadar tinggi bahkan bersifat toksik.
Morfogenesis pada kultur protoplas tomat di dalam medium yang mengandung GA, dipengamhi oleh jenis sitokinin (zeatin, 2ip, atau kombinasi 2ip + BAP)
dan genotipenya (Shahin, 1985). Sedangkan pada kultur protoplas kentang, pengamh

..

kombinasi IAA + BAP terhadap regenerasi tunas tidak berbeda dari kombinasi IAA +
zeatin sepanjang GA, diberikan dengan kadar 0.2 mg/l (Mbllers 9 d.,1992).

'
>

Pada kadar kurang dari 0.2 mgtl, ABA dilaporkan menaikkan respon regenerasi tunas pada kentang kultivar 'Russet Burbank' (Shepard, 1980). Tetapi menurut
Haberlach gj 4. (1985), penambahan ABA tidak diperlukan bila kadar zeatin diting/

katkan lima kalinya. Penambahan hidrolisat kasein, beberapa bahan organik khusus
dan adenin sulfat dilaporkan dapat menaikkan respon morfogenesis pada kentang
(Shepard dan Totten, 1977).
Konsentrasi gula yang dapat dimetabolisme (sukrosa) dan inert (manitol)
mempengaruhi regenerasi tunas. Konsentrasi sukrosa sebesar 1-5 gll dilaporkan optimum untuk berbagai kultivar kentang dan tomat, terutama bila ditambahkan pula
manitol dengan kadar 0.1 hingga 0.2 M (Lillo, 1989; Shepard, 1982; Tan a &.,
1987). Mollers g d.(1992) menerapkan kombinasi 10 g/l sukrosa dan 15 g/l (sekitar
0.1 M) manitol untuk regenerasi galur dihaploid kentang.

B. Fusi Protoplas

Fusi protoplas tejadi bila dua protoplas mendekat, membran plasmanya berlekatan dan kemudian melebur satu sama lain (Constabel dan Cutler, 1985). Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan. Enzim tertentu seperti selulisin menginduksi fusi
spontan protoplas jagung, padi, dan asparagus; sedangkan selulase CELF tidak mendorong te jadinya fusi spontan (Ye dan Earle, 1991).
Laju fusi dapat dipacu dengan pengaruh berbagai agensia (Constabel dan Cutler, 1985; Gleba dan Sytnik, 1984). Virus tertentu diketahui menjadi perantara pada

>

fusi protoplas hewan, tetapi tidak efektif untuk tanaman. Liposom juga mendorong
terjadinya fusi. Garam tertentu, temtama Ca" (Melchers, 1981), clan polimer seperti
polietilen glikol (PEG) (Kao dan Michayluk, 1974) dapat meningkatkan laju fusi pro/

toplas. Fusi protoplas dalam skala besar dapat diinduksi di bawah pengaruh medan
listrik (Zimmermann dan Scheurich, 1981).

1. Metode-metode Fusi

Protoplas tanaman dapat difusikan secara efisien dengan salah satu dari dua
metode, yaitu cara h m i a dengan polietilen glikol (PEG) dan cara elektrik dengan
elektrofusi.

a. Fusi dengan PEG
Teknik fusi protoplas tanaman yang menghasilkan produk fusi dalam jumlah
besar di bawah pengamh PEG dikembangkan oleh Kao dan Michayluk (1974). Protokol fusi dengan PEG terdiri atas dua tahap, yaitu inkubasi protoplas dalam larutan

PEG selama beberapa menit dan setelah itu konsentrasi PEG diencerkan bertahap
dengan penambahan lamtan bebas PEG. Menurut Kao dan Michayluk (1974),
molekul PEG yang panjang bertindak sebagai jembatan molekul yang melekatkan
protoplas-protoplas yang berdekatan. Ion kalsium bertindak membantu perlekatan ini

.

.

dengan menghubungkan gugusan negatif PEG dan protein pada membran plasma.
Ketika larutan PEG diencerkan, tejadi goncangan (kejutan hipotonik) dan

J

pendistribusian ulang muatan listrik. Karena kedua protoplas telah melekat pa&
suatu permukaan membran yang luas, distribusi ulang muatan akan menimbulkan
ikatan-ikatan baru antara muatan berlawanan pada membran kedua protoplas dan ha/

silnya adalah teqadi fusi.
Berat molekul PEG, ion Ca--, K- atau Na-, pH tinggi, dan umur jaringan donor
rnerupakan faktor yang mempengaruhi perlekatan antar protoplas, fusi dan viabilitas
produk fusi (Kao, 1981; Kao dan Michayluk, 1974). Kombinasi kejutan hipotonik
dan pH dilaporkan meningkatkan pembentukan heterokarion hingga 30% (Kao, 1986;
Kao dan Saleem, 1986). Dimetilsulfoksida (DMSO) (Haydu, Lazar dan Dudits,
1977), kombinasi DMSO dan pH tingg (Menczel dan Wolfe, 1984), dan kombinasi
DMSO dan pH serta Ca" tinggi (Deimling, 1989) dapat meningkatkan pembentukan
heterokarion hingga 3 kali daripada yang tanpa DMSO. Manfaat DMSO adalah meningkatkan permeabilitas membran (Saleem dan Cutler, 1986). Tetapi DMSO berbahaya bagi integritas protoplas, terutama pada konsentrasi lebih dari 5%, yaitu
konsentrasi yang efisien meningkatkan permeabilitas (Menczel dan Wolfe, 1984)

b. Elektrofusi
Fusi di bawah pengaruh medan listrik rnensyaratkan adanya kontak erat antar
protoplas dan adanya suatu rnekanisme yang rnenginduksi peleburan membran plasma untuk mernungktnkan terjadinya fusi. Mekanisme elektrofusi seperti yang diurai-:

kan oleh Zimmennann dan Scheurich (1981) adalah sebagai berikut. Di dala

larutan, protoplas saling tolak karena muatan permukaannya negatif sehingga tidak
tejadi kontak erat antar protoplas. Di dalam pengaruh medan listrik arus bolak-balik
protoplas bersifat dwikutub. Sifat menyebar dari medan listrik akan menyebabkan
dwikutub berada dalam wilayah yang tidak sama kuat medannya. Hal ini rnendorong
dwikutub bergerak menuju daerah dengan kuat medan yang lebih besar. Pergerakan
ini dikenal sebagai dielektroforesis. Protoplas yang mengalami dielektroforesis
cenderung mendekat satu sam