Kajian Biologis dan Morfologis Oosit Domba setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi

KAJIAN MORFOLOGIS DAN FUNGSl BlOLOGIS
OOSlT DOMBA SETELAH KRlOPRESERVASl
DENGAN METODE VlTRlFlKASl

Oleh
I T A DJUWITA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2001

ABSTRAK
KAJIAN MORFOLOGIS DAN FUNGSI BIOWGIS OOSIT DOMBA
SETELAH KRIOPRESERVASI DENGAN METODE VITRIFIKASI
ITA DSCTWlTA
PEMBIMBING
YUHARA SUKRA, MOZES. R TOELIHERE,
IMAN SUPRIATNA, SRIEADI AGUNGPFUYONO, ARIEF BOEDIONO
Didalam implementasi teknologi transfer embrio serta teknik terkait
lainnya, tersedianya embrio serta oosit secara kesinambungan merupakan faktor
utama yang h a s diupayakan. Penerapan kriopreservasi oosit merupakan salah

satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah maupun pernanfaatan oosit karena
kendala waktu dan jarak pemakaian dapat teratasi. Namun demikian oosit beku
hasil kriopreservasi hams memiliki keadaan morfologi yang normal sehingga
dapat dipakai untuk produksi embrio. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
morfologi dan hngsi biologis oosit domba setelah kriopreservasi dengan metode
vitrifikasi dalam rangka memproduksi oosit beku dan embrio secara in v i f m
Vitrifikasi oosit domba pada tahap perkembangan meiotik inti dilakukan di dalam
larutan vitrifikasi yaitu etilen glikol 30% dalam Iarutan phosphate buffered saline
yang mengandung bovine serum albumine 1% dan satu diantara tiga konsentrasi
sukrosa yaitu 1,00M, 0.50M dan 0,25M
Keadaan morfologi diamati secara
mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya d m mikroskop elektron transmisi,
serta imunositokimia, sedangkan hngsi biologis diamati dengan metode kultur in
vitro terhadap tingkat pematangan, fertilisasi dan perkembangan embrio. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) Konsentrasi sukrosa yang paling baik di
dalam larutan vitrifikasi dalam metode ini adalah 1,OOM-0,50M, (2) tahap oosit
yang menunjukkan ketahanan (viabilitas) yang paling tinggi adalab -sit tahap
metake-I1 (Mt-IT), (3) keadaan ultra-struktur oosit Mt-11 setelah vitrifikasi di
dalam larutan yang mengandung sukrosa 0,50M menunjukkan keadaan
menyerupai oosit normal, (4) fungsi biologis oosit Mt-I1 setelah vitrifikasi di

ddam larutan prig mengandung sukrosa 1,00M-0,50M menunjukkan
kemampuan untuk mendukung proses fertilisasi dan perkembangan embrio
selanjutnya, dan (5) perubahan ultra-struktur oosit setelah vitrifikasi
mengakibatkan terjadinya poliploidi dan mengakibatkan rendahnya tingkat
perkembangan embrio. Hasil ini menunjukkan bahwa metode vitrifikasi dengan
menggunakan larutan vitrifikasi yang mengandung sukrosa 1,OOM-0,50M dapat
dipakai untuk Icriopresewasi oosit domba tahap Mt-I1 dalam upaya memproduksi
oosit beku dan embrio secara in vitro. Implikasi dari temuan hasil penelitian ini
adalah (1) perlunya dukungan dari pihak pemerintah dan swasta untuk
memanfaatkan lebih lanjut teknologi kriopreservasi oosit dalarn upaya
meningkatkan potensi penerapan teknologi transfer embrio dan produksi embrio
secara in M'fm serta pelestluian plasma nutfkh, dan (2) untuk memudahkan
penerapan di lapangan, Iaiopresemasi oosit tahap germinal vesicle (oosit yang
belum matang) perlu dipelajari lebih larjut melalui berbagai modifikasi metode.

ABSTRACT
THE STUDY OF MORPHOLOGY AND BIOLOGICAL FUNCTION
OF CRYOPRESERVED OVElYE OOCYTES
USING VITRIFICATION METHOD
ITA D.JUWITA

ADVISORY CO-E
WHARA SUKRA, MOZES. R TOELIBERE,
lMAN SUPRIATNA, SRIEADI AGUNGPRIYONO, ARIEF BOEDIONO

Embryo transfe; technology has been developed to increase both the
quality and quantity of animal production. Ln the implementation of the embryo
transfer technology and its related techniques, the sustainability o f oocytes has
Oocytes
become the most important factor that should be considered.
cryopreservation would greatly enhance the availability of oocytes at any time (or
distance) from low cost resources such as abbatoir or from high genetic value
animals.
However, cryopreserved oocytes should maintain their normal
morphology and biological function which will piay important role in in vitro
embryo production. Research has been conducted t o study the morphological and
biological function of ovine cryopreserved oocytes using vitrification method.
Ovine oocytes at various meiotic stages were vitrified using 30% ethylene glycol
in phosphate buffered saline containing 1% bovine serum albumine and sucrose
with one of the three concentration i.e. l.OOM, 0.50M and 0.25M. After
vitrification, oocytes morphology were examined by light microscope,

transmission electron microscove and immunocvtochemistrv.
The oocvtes
biological knction was evaluated using in vitro culture technique on the
maturation, fertilization and embryonic development rate. Results showed that:
(1) The vitrification sobtion containing 1.00M-0.50M sucrose was the best
method, (2) the metaphase-IT (Mt-II) stage oocyte showed the highest viability
after vitrification, (3) normal morphology and ultra-structure was showed by MtI1 oocyte after vitrification in vitrification solution containing 0.50M sucrose, (4)
the biological function of Mt-I1 oocytes after vitrification in vitrification solution
containing 1.00M sucrose showed the ability t o support the in vitro fertilization
after insemination and embryonic development, and (5) the ultra-structure
alteration in vitrified oocytes increased the incidence of polyploidy and decreased
the embryonic development rate. Results showed that the cryopreserved ovine MtI1 wcytes using vitrification method in the vitrification solution wntaining
1.00M-0.50M sucrose can be used for in v i m production of embryos. The
implication of this results are: The implementation o f oocytes cryopreservation t o
increase the wcytes added value in supporting the application of in viiro embryo
production and embryo transfer technology and to maintain germplasm (genetic
resources) should be supported by the government, and (2) further study should be
done in germical vesicle (imatured) oocytes cryopreservation for the application
efficacy.


M A N BIOLOGIS DAN MORFOLOGIS
OOSIT DOMBA SETELAH KRIOPRESERVASI
DENGAN METODE VITRIFIKASI

Oleh
ITA DJUWITA

NRP.9650781gIO

Disertasi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Dolctor

pada
Program Studi Biologi

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJ AN A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

200 1

Judul Disertasi

: KAJIAN BIOLOGIS DAN MORFOLOGIS OOSIT DOh4BA

SETELAH KRIOPRESERVASI DENGAN METODE
VITRIFIKAS I
Nama Mahasiswa : ITA DJUWITA
Nomor Pokok

: 965078/BIO

Menyetujui:

'k
~ sPembimbing
i

(Prof. Dr. drh Yuhara Sukra, MSc.)

Ketua

(Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, MSc.)
Anggota

(Dr. drh. Srihadi Agungpriyono)
Anggota
2. Ketua Program Studi Biologi

(Dr. Ir. Dede ~ e t i a d i )
Tanggal lulus : 22 Mei 2001

\
/
(I%
drh. Iman
.
Supriatna)
Anggota


(rk.drh. Arief Boediono)
Anggota
ascasarjana IPB

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putri dari Ayahanda Endorn Nataatrnadja dan Ibunda Rt.
Sukeni. Dilahirkan tanggal 3 April 1959 di Kodya Bogor, Jawa Barat, kernudian
menikah dengan Wiryadi Afandi, pada tahun 1995.
Penulis rnengikuti pendidikan sekolah dasar (SD) sampai menengah atas
(SMA) dari tahun 1966 sarnpai tahun 1979 di Kodya Bogor, Jawa Barat. Pada tahun
1979/1980 melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui Proyek
Perintis 11.
Pada tahun 1983, penulis lulus sebagai sarjana kedokteran hewan dari Institut
Pertanian Bogor, dan pada tahun berikutnya, 1984, lulus sebagai dokter hewan dari
tempat yang sarna. Sejak tahun 1981 rnenjadi asisten luar biasa untuk mata ajaran
Ernbriologi di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan sejak tahun
1986, diangkat rnenjadi pegawai negeri sebagai staf pengajar di Laboratonurn
Ernbriologi, Jurusan Anatorni, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1987 penulis memperoleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia

melalui Proyek Bank Dunia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk
rnengikuti program pendidikan Master ( S 2 ) di bidang bioiogi molekuler pada
Newcastle upon Tyne University, Newcastle upon Tyne, England dan memperoleh
gelar Master of Phylosophy (MPhil) pada tahun 1990.

Pada tahun 1990-1995,

penulis sempat beberapa kali mempelajari metodologi dalam bidang bioteknologi
reproduksi di beberapa universitas di Jepang melalui Program JSPS. Pada tahu 1996
penulis mernperoleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia melalui Bantuan Program

Past-ana, Departemen Pendidikan Nasional, untuk mengikuti pendidikan
Program S3 dalam bidang studi Biologi, Progam Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji
Subhaanahu Wata'aala,


syukur atas anugerah dan ridho Allah

penelitian terhadap 'Kajian

Morfologis dan Fungsi

Biologis Oosit Domba setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi' dapat
penulis selesaikan dan tuangkan dalam bentuk Disertasi sebagai pertanggungjawaban penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor di Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kriopreservasi dan produksi embrio in vitro merupakan bidang ilmu yang
sangat menarik dan berharga dalarn kaitannya dengan penerapan teknik transfer
embrio

dalam

upaya

pengembangan

peternakan


masa

depan.

Metode

kriopreservasi yang efektif akan mendukung penyediaan oosit yang diperoleh
dengan biaya yang relatif murah seperti rumah pemotongan hewan ataupun hewan
yang merniliki nilai genetik tinggi, tanpa batas waktu.
metode

keberhasilan

kriopreservasi,

dukungan

Untuk meningkatkan

penelitian

serta

informasi

mengenai khususnya keadaan morfologi, baik dalam skala makro, mikro maupun
ultra-mikro, serta fungsi biologis oosit setelah kriopreservasi sangat diperlukan.
Penelitian terhadap 'Kajian Morfologis dan Fungsi Biologis Oosit Domba
setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi' telah dilakukan dalam upaya
memproduksi oosit belcu serta produksi embrio in vitro. Metode kriopreservasi
yang dipergunakan adalah metode vitrifikasi dengan penekanan pada penggunaan

larutan sukrosa bertingkat (0,25M,0,50M dan 1,OOM) serta penambahan sukrosa
ke dalam larutan vitrifikasi untuk memfasilitasi proses dehidrasi dan pengeluaran
krioprotektan setelah vitrifikasi dan warming.

Dengan demikian, pengaruh

toksisitas krioprotektan maupun tekanan osmotik dari Larutan vitrifikasi dapat
diminimumkan. Pengarnatan terhadap keadaan morfologi dan ultra-struktur serta
h n g s i biologis oosit yakni tingkat pematangan, fertilisasi dan perkembangan
embrio in vitro menunjukkan bahwa penambahan sukrosa dengan konsentrasi

0,50M-1.00M

memberikan

pengaruh

yang

menguntungkan

dan

dapat

mempertahankan integrasi membran plasma maupun struktur oosit. Diharapkan
hasil

dan

informasi

yang terkumpul

dapat digunakan untuk

mendukung

implementasi kegiatan bioteknologi reproduksi baik yang berhubungan dengan
pengembangan peternakan maupun pelestarian plasma nutfah.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesamya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. drh. H.
Yuhara Sukra, MSG. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan 'Bapak kami', atas
ketulusan, pethatian, bimbingan serta bantuannya baik moril maupun materiil
selama penulis mengikuti pendidikan maupun selama menjadi staf pengajar di
Fakultas Kedokteran Hewan, Instirut Pertanian Bogor. Rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya dan penghargaan yang setingi-tingginya penulis sampaikan pula
kepada Bapalr Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere dan Bapak Dr. drh. Iman
Supriatna,

selaku

bimbingannya

Anggota

Komisi

Pembimbing,

atas

perhatian

serta

Kepada Bapak Dr. drh. Arief Boediono dan Bapak Dr. drh.

Srihadi Agungpriyono, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang tiada lelah
mencurahkan waktu dan memberikan arahan serta dorongan semangat yang tiada
hentinya, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Secara khusus rasa terima kasih yang sebesar-besamya penulis sampaikan
kepada Prof Dr. Poul Hyttel, Department of Anatomy and Physiology, The Royal
Veterinary and Agricultural University, Copenhagen, Denmark, yang telah
rnemberikan kesempatan, fasilitas, arahan serta dorongan rnoril kepada penulis
untuk mernpelajari dan mengerjakan teknik imunositokimia serta penggunaan slat
mikroskop elektron transmisi untuk pengamatan ultra-struktur oosit domba.
Kepada Dr.

Y.Yamarnoto, Gifh University, Japan, penulis mengucapkan terima

kasih atas banS-a

bahan penelitian untuk pengamatan secara imunositokimia.
h s u s pula, rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis

sampaikan kepada Pemerintah Indonesia melalui Bantuan Pendidikan Pasca

Sarjana (BPPS) dan Proyek Hibah Tim Periode Tahun 1999-2001 yang telah
memberikan kepercayaan dan beasiswa serta bantuan biaya penelitian sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan Doktor diProgram Pascasarjana IPB.
Tanpa mengurangi rasa hormat, tak lupa penulis sampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besamya kepada Bapak Rektor lnstitut Pertanian Bogor, serta
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, atas kesempatan dan kepercayaan

yang telah diberikan kepada penulis; kepada Bapak dan Ibu, seluruh staf pengajar
beserta karyawan di Jumsan Anatomi, FKH IPB, atas dorongan sernangatnya,
serta rekan-rekan mahasiswa dan peneliti di Laboratorium Embriologi, Jurusan
Anatomi, FKH IPB, atas diskusinya serta pengertian dan dorongan semangatnya.
Akhirulkdam, dengan rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terima
kasih kepada ayahanda dan ibunda yang senantiasa mendoakan dan memberikan
dorongan semangat, suarni tercinta atas kesabaran, pengertian, serta doa dan
dorongan semangatnya dan seluruh keluarga atas doa dan pengertian yang telah
diberikan kepada penulis.
Penulis berdoa ke hadhirat Ilahi, semoga segala amal perbuatan semua
pihak yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang diridhoi dari
Allah Subhaanahu Wata'aala. Amin ya rabbal'aalamin.
Bogor, Mei 2001,
Ita Djuwita

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR IS1 ...............................................................
DAFTAR TABEL ...........................................................
DAFTAR GAMBAR ..........................................................
DAFTAR LAMPIEUN .....................................................
PENDAHULUAN .............................................................
1. Latar Belakang ...................................................
2 . Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................
1 . Perkembangan Peternakan Domba d m Bioteknologi
Petemakan di Indonesia ..........................................
1.1. Keadaan dan Potensi Pengembangan Peternakan
Domba di Indonesia ..........................................
1.2. Perkembangan Bioteknologi Peternakan ..................
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel ......................
3. Keadaan Morfologi dan Fungsi Biologis Oosit ...............
4 . Potensi Koleksi Oosit dan Produksi Embrio secara In Virro
4.1- Maturasi In Vzfro ...........................................
4.2. Fertilisasi If2 Vitro ..........................................
4.3. Perkembangan Ernbrio In Vifro ...........................

5.1. Metode Pembekuan ........................................
5.2. Metode Vitrifikasi ..........................................
5.3. Faktor-Faktor yang Berperanan didalam Proses
Vitrifikasi ...................................................

MATERI DAN h4ETODE PENELITIAN .................................
1 . Mhteri dan Metode yang Dipergunakan ......................

1.1. Koleksi Ovarium dan Oosit ..............................
1.2. Pernatangan In Viiro ......................................
1.3. Metode vitrifikasi ..........................................

vii

Halaman
1.4. Pengamatan Mikroskopis dan Ultra-Struktur ..........
1.5. Pengamatan Fungsi Biologis Oosit ......................

2.1. Keadaan Umum Ovarium Domba ........................
2.2. Keadaan Morfologi dan Struktur Oosit setelah
V~trifikasi...................................................
2.3. Keadaan Fungsi Biologis Oosit setelah Pemaparan dan
Vitrifikasi ...................................................
3 . Pengumpulan Data dan ~nalisisStatistik .....................
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................
1 . Keadaan Umum Ovarium serta Perkembangan Oosit selama
24 Jam Inkubasi In M t r o

1.1. Keadaan Berat, Jurnlah Folikel dan Oosit pada
Ovarium Domba ............................................
1.2. Perubahan Status Meiotik Inti Oosit seIama 24 Jam
Inkubasi In Vitro ........................................
2 . Keadaan Morfologi dan Ultra Struktur Oosit Mt-I1 setelah
Vitrifikasi ..........................................................
2.1. Keadaan Morfologi Oosit Mt-I1 setelah Vitrifikasi ...
2.2. Keadaan Ultra-Struktur Mt-I1 setelah Vitrifikasi ......
3 . Keadaan Fungs Biologis Oosit setelah Pemaparan dan

Vitrifikasi ...........................................................
3.1. Tingkat Viabilitas Oosit setelah Pemaparan ............
3.2. Tmgkat =abilitas Oosit setelah Vitrifiksi ...............
3.3. Tmgkat Pematangan In Vifro Oosit setelah Permparan
dan Vitrifikasi ..............................................
3.4. Tingkat Fertilisasi dan Perkernbangan Embrio In Vitro
setelah Vitrifikasi ........................
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesirnpulan ........................................................
2 . Saran ................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................
LAMPIRAN ...................................................................

DAFTAR TABEL

Nomor
Teks
1.

Berat ovarium dan jurnlah folikel per ovarium pada masingmasing ovarium kanan dan kiri .................................

2.

Berat ovarium, jumlah folikel dan oosit per pasang ovarium
pada masing-masing ovariurn fase luteal dan folikuler .......

3.

Morfologi oosit setelah proses vitrifikasi di dalam berbagai
. .
larutan vltnfikasi ................................................

4.

V~abilitasoosit pada berbagai tahap pematangan inti setelah
pemaparan di dalam berbagai larutan vitrifikasi ...............

5.

Pengamh dehidrasi di dalam larutan sukrosa bertingkat
terhadap viabilitas oosit Mt-I1 ...................................

6.

Viabilitas oosit pada berbagai tahap pematangan setelah
vitrifikasi di dalam iarutan VSI ..................................

7.

Tingkat pematangan oosit secara in vifro setelah pemaparan
di datam larutan VS ...............................................

8

Tingkat pematangan oosit secara in vitro setelah vitrifikasi di
dalam lamtan VS, ..................................................

9.

Wabilitas dan tingkat fertilisasi in vifro dari oosit setelah

vihifikasi di dalam larutan VSI, VSZdan VSs ................
10.

T i a t fertilisasi dan perkembangan embrio in vitro dari oost
setelah pemaparan dan vitrifikasi di dalam larutan VSI

DAFTAR GAMBAR

Nomor
Oosit domba sebelum dan setelah pematangan in viiro
Tingkat pematangan oosit secara it1 vifro berdasarkan waktu
inkubasi ... . .. . .. . . . ... .. ... . . .. . . . ... .. . . .. .. . . .. ... .. . .. . .. . .. . .. ..
Oosit pada berbagai tahap pematangan meiotik inti .. . .. . . .. ..
Morfhlogi oosit tahap metafase-I1 setelah vitrifikasi ... . .. . . . .
Ultra-struktur oosit metafase-I1 setelah vitrifikasi di dalam
larutan VSz .. . .. . .. . . .. .. . ... . .. ... .. . ... .. . . .... . . . . . . . . . . . . . ... .
Morfologi sitoskeleton tubulin oosit metafase-I1 setelah
vitrifikasi di dalarn larutan VS2 . . . . .. . ... ... . .. . .. .. . . .. . .. .. . .. .
UItrastruktur oosit metafase--11 setelah vitrifikasi di dalam
larutan VS3 ... . . . .. .... .. . . . . .. . .. . . . . .. . . .. .. . .. . .. . . .. . .. .. . . .. . ..
Kelainan lempeng metafase pada oosit setelah vitrifikasi
Oosit setelah vitrifikasi dan 16 jam setelah fertilisasi ... ......
Preparat natif embrio tahap 4 sel sampai-morula yang
dihasilkan dari oosit setelah vitrifikasi . .. .. . ... ... . .. ... ... . .. . ..

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Nomor
Teks
1

Komposisi Dulbecco 'sPhosphate-Buffered Saline (Gibco
BRL) ... . .. .. . .. . ... .. . .. . .. ... . .. . .. . . ..... ... .. . ... . .. .. . ..... . . . .

2

Komposisi medium CRlaa (Rosenkrans dan First) ... . .. . .. ..

1. Latar Belakang

Pada rnasa kini,

salah

satu upaya

yang

dapat

dilakukan

untuk

mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan
penyediaan bibit berkuaIitas tinggi meialui penerapan dan pengembangan
bioteknologi reproduksi, antara lain teknologi Lnseminasi Buatan (IB) dan
Transfer Embrio (TE). Hal ini terbukti dari telah didirikannya Balai Inseminasi
Buatan di Lembang dan Singosari, yang diikuti dengan didirikannya Balai Ernbrio
Ternak di Cipelang, Bogor pada tahun 1992.

Inseminasi Buatan dilakukan

sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah sel garnet jantan (spermatozoa)
dari seekor pejantan unggul sehingga jumlah betina yang dapat dibuahi dapat
ditingkatkan dan keturunan yang diperoleh akan mendapatkan peningkatan mutu
genetik.

Sedangkan TE ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sel

gamet baik dari induk jantan maupun induk betina terhadap proses produksi
ternak, sehingga keturunan yang diperoleh akan rnendapatkan peningkatan mutu
genetik dari kedua tetuanya. Didalam penerapan TE, embrio yang akan ditransfer
dapat dihasilkan baik secara in vivo maupun in vitro, sehingga tersedianya garnet,
terutama sel tetur (oosit) secara kesinambungan merupakan faktor utama yang
hams terus diupayakan.
Kriopresewasi oosit merupakan salah satu cara untuk rneningkatkan nilai
tambah oosit sehingga dapat dipergunakan tanpa dibatasi oleh kendala waktu dan

jar&. Teknik kriopreservasi oosit merupakan suatu cara untuk menyimpan sampel
dalam bentuk beku dengan tujuan untuk penyimpanan, pemeliharaan, menjamin

dan mempertahankan kelangsungan hidup sel. Dengan teknik kriopreservasi daya
tahan hidup (viabilitas) oosit dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fungsifungsi dan aktivitas metabolik tanpa terjadinya kerusakan membran maupun
organel sel sehingga fbngsi biologis, fisiologis dan imunologis tetap ada.
Kemampuan untuk melakukan kriopreservasi oosit marnalia akan mernperpanjang
daya tahan oosit dan secara efektif akan meningkatkan penerapan dan peranan TE
serta kemampuan daya guna teknologi biologi reproduksi secara luas, antara lain
kloning dan rekayasa embrio.
Melalui

teknik

kriopreservasi,

oosit

dari

hewan

temak,

hewan

laboratoriurn maupun hewan liar dapat disimpan dalam keadaan beku tanpa batas
waktu untuk aplikasi komersial ataupun keperluan penelitian di kemudian hari.
Oosit dari betina yang bermutu genetik tinggi, termasuk species-species yang
hampir punah dapat tetap terpelihara walaupun betina teIah kehilangan fungsi
fertilisasi secara normal atau bahkan telah mati; karenanya penyediaan oosit yang
diperoleh dari hewan bermutu genetik tinggi atau memiliki nilai ekonomi dapat
ditingkatkan dan dilakukan setiap saat setelah hewan dipotong atau mati
mendadak.
Keberhasilan kriopreservasi akan memungkinkan tersedianya oosit beku
sehingga (a) dapat mempermudahkan pengaturan waktu didalam program
produksi embrio in vifro berikut transfer embrio (atau program bayi tabung pada
manusia) serta teknik konsepsi terkait lainnya (Rall, 1992), dan (b) secara umum
merupakan upaya penyimpanan dan pemeliharaan pjasma nutfah (Wildt, 1989).
Pada manusia,

kriopreservasi

oosit selain akan mempermudah melakukan

intervensi terbadap siklus reproduksi juga akan memungkinkan mengantisipasi

pada wanita yang kehilangan k n g s i gonadal akibat proses bedah atau kemo-terapi
sehingga potensi reproduksi masih dapat dipertahankan serta mengantisipasi
pertanyaan masalah etika dan legalitas sekitar penyimpanan embrio beku pada
manusia. Sedangkan plasma nutfah dari betina yang berniIai mutu genetik atau
ekonomi tinggi, serta species-species langka yang dilindungi (endangered
species) dapat diselamatkan setelah hewan betina dipotong atau bahkan mati.

Ditinjau dari fenomena fisik, ada dua metode kriopreservasi oosit, yaitu
metode pembekuan w e e z i n g ) , termasuk kedalamnya adalah pembekuan lambat
dan cepat (slow and rapid/ultra rapidfreezing) dan metode vitrifikasi. Perbedaan
yang menyolok diantara kedua metode tersebut adalah pada metode pembekuan
tejadi pemadatan cairan tetjadi melalui pembentukan kristal es, sedangkan pada
vitrifikasi pemadatan cairan t ejadi tanpa melalui pembentukan kristai es (Rall dan
Fahy, 1985). Adapun kerusakan fisik yang dapat ditimbulkan oleh kedua metode
tersebut di atas adalah hampir sama.
Saat ini metode vitrifikasi telah dipakai sebagai metode alternatif
kriopreservasi embrio maupun oosit (Rall dan Fahy, 1985; Nakagata, 1989; Arav
e f al., 1990). Pada proses vitrifikasi, pemadatan cairan terjadi melalui peningkatan

viskositas yang ekstrim pada masa pendinginan cepat (Fahy, el at.,1984). Bagian
padat ini menyerupai kaca sehingga disebut vitreus, serta memiliki distribusi
molekuler dan ionik dalam keadaan cair. Dengan demikian, efek yang merusak

dari kristal es ekstra dan intraseluler dapat menghidari atau diminimumkan -11
dan Fahy, 1985). Kelebihan lain dari metode vitrifikasi adalah sederhana, murah,
mudah dan tidak memerlukan alat khusus penurun suhu

sehingga dapat

diterapkan di tempat-tempat seperti rumah sakit, laboratorium atau balai-balai
ternak yang memiliki fasilitas kontainer nitrogen cair.
Adapun kelemahan pada rnetode vitrifikasi adalah untuk meniadakan atau
meminimunkan terbentuknya

krista1 es dibutuhkan

krioprotektan

dengan

konsentrasi tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan tingginya tekanan osmotik serta
toksisitas krioprotektan terhadap oosit (Arav, et al., 1993).

Salah satu upaya

untuk menimimunkan pengaruh tekanan osmotik, dapat dilakukan dengan
menambahkan krioprotektan ekstra seluler seperti sukrosa dengan konsentrasi
bertingkat (Takahashi dan Kanagawa, 1990; Tada et al., 1994)

Sedangkan

pengaruh toksisitas dapat dirninimumkan dengan menggunakan krioprotektan
dengan toksisitas rendah seperti etilen glikol.

Penambahan sukrosa ke dalarn

larutan ekuilibrasi embrio sebelum dan sesudah kriopreservasi telah dilaporkan
dapat meningkatkan daya tahan hidup ernbrio maupun oosit setelah penghangatan
kembali (warming)(Szell dan Shelton, 1986; Takahashi dan Kanagawa, 1990).
Tada et al. (1994) mempergunakan larutan sukrosa untuk proses dehidrasi oosit
mencit pada proses vitrifikasi untuk menghindari penggunaan krioprotektan intraseluler yang bersifat

toksik

bagi

oosit

dan

memfasilitasi

pengeluaran

krioprotektan intra-seluler pada masa pasca-penghangatan.
Mengacu pada keberhasilan metode vitrifikasi embrio, vitrifikasi oosit
telah dilaporkan pada mencit (Nakagata et d.,
1989; Shaw et al., 1991; Shaw e f
al., 1992; O'Neil, et al., 1998; Bautista, et al., 1998) dan beberapa hewan hewan
ternak seperti sapi (Otoi, e f al., 1998; Vajta et al., 1999; Hyttel et al., 2000), babi
(Arav et d , 1990; Isachenko et al., 1998) dan kuda (Hochi et al., 1996). Namun

demikian, sejauh ini keberhasilan yang telah dilaporkan masih sangat terbatas dan
variatif.
Dari berbagai kajian

tentang kriopreservasi oosit,

kajian terhadap

morfologi dan fingsi biologis oosit setelah vitrifikasi masih sangat terbatas
(Niemann, 1991; Richardson dan Park, 1992; Aman dan Park, 1994; Lim et al.,
1992; Otoi el al., 1992; Rayos, et aL, 1994). Oosit beku akan memiliki nilai
tambah jika setelah kriopreservasi masih menunjukkan keadaan morfologi
maupun struktur organel yang normal. Keadaan ini sangat berkait erat dengan
perananannya didalarn menunjang dan menjalankan aktivitas hngsi biologis
oosit, yaitu sebagai salah satu unsur utama pembentuk sigot pada proses fertilisasi
disamping sebagai sarana atau tempat berlangsungnya proses fertilisasi dan
perkembangan embrio (Hyttel et al., 1997). Dengan demikian, kuantitas serta
kualitas dari organel ataupun bahan-bahan lain yang terkandung di dalam
sitoplasma oosit akan sangat menentukan keberhasilan proses fertilisasi dan
perkembangan embrio selanjutnya (Hyttel et al.,1997).
Dibandingkan dengan sel tubuh lainnya, oosit mamalia memiliki ukuran
yang relatif besar dengan diameter 120 pm, dan memiliki karakteristik morfologik
serta fbngsional yang unik. Keadaan susunan morfologi berturut-huut dari Iuar
adalah zona pelucida, membnrn plasma (oolemma) dan sitoplasma (ooplasma).
Di bagian luar, zona pelucida dikelilingi oleh sel-sel granulosa yang berhubungan
dengan membran plasma melalui g q junction. Sitoplasma oosit mengandung
organel-organel seperti mitokondria, retikulum endopiasmik, butir-butir korteks

dan lemak, vakuoia, serta sitoskeleton. Disamping itu, perbedaan tahap

pematangan ataupun species telah dilaparkan pula menunjukkan

keadaan

perbedaan karakteristik rnembran maupun organel (Agca el al., 1997; Hyttel et
al., 1997). Dengan demikian, sampai saat ini, kriopreservasi oosit masih menjadi
tantangan terbesar bagi kriobiologis yang bekerja di bidang reproduksi. Kerusakan
yang terjadi pada oosit yang mengalami kriopreservasi sangat variatif tergantung
pada dua faktor utama yaitu karakteristik oosit dan metode yang dipergunakan
sehingga penentuan metode yang akan dipergunakan serta kesesuaiannya dengan
karakteristik sel &an sangat menentukan keberhasilan kriopreservasi.

Karenanya

setelah proses vitrifikasi, pemeriksaan morfologi serta keadaan struktur oosit
secara mikroskopis dan imunositokimia adalah penting sekali. Dan keadaan ini
perlu dibuktikan lebih lanjut dengan pengujian aktivitas fungsi biologis oosit
melalui proses pematangan dan fertilisasi in vitro serta perkembangan embrio in
vifro selanjutnya.

2. Tujuan dm Manfaat Penelitian

2. 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk rneningkatkan nilai tambah w s i t melalui
proses kriopreservasi dalam rangka memproduksi oosit beku dan embrio secara in
vitro. Sedangkan secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji keadaan

morfologi dan h g s i biologis oosit domba setelah kriopreservasi dengan metode
vitrifikasi.

2.2. Manfmt Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dengan dihasilkannya oosit beku melalui
penelitian ini adalah:
(1) Memberikan informasi dasar mengenai vitrifikasi oosit yang dapat diterapkan

pada hewan ternak lainnya ataupun hewan mamalia lainnya.
(2) Memudahkan transportasi oosit.
(3) Mendukung dan mernudahkan implernentasi kegiatan proses produksi embrio
in vitro serta teknik terkait lainnya.

(4) Mendukung upaya pelestarian plasma nutfah melalui pembentukan bank
gamet.

(5) Memperluas khasanah pengetahuan dasar mengenai kriopreservasi melalui
diseminasi informasi pada berbagai kegiatan seminar ataupun publikasi.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Perkembangan

Peternakan Domba dam Bioteknologi Peternakan d i

Indonesia
1.1. Keadaan dan Potensi Pengembangan Peternakan Domba di Indonesia

Di Indonesia, khususnya Jawa Barat ternak domba dikenal sebagai salah
satu ternak penghasil daging, disamping penghasil bahan baku industri kulit Jan
serat (wool). Populasi domba pada tahun 1999 adalah sebanyak 7 502 437 ekor
dan sebagian besar tersebar di Jawa Barat (3 464 710 ekor), Jawa Tengah (1 838
214 ekor) dan Jawa Timur (1 355 518 ekor). Kontribusi daging domba terhadap
kebutuhan konsurnsi daging national yaitu 1 334 200 ton, hanya sekitar 2,76%
(Anonimouq 1999). Dibandingkan dengan produksi daging unggas serta kerbau
dan sapi, produksi dan kontribusi daging domba terhadap kebutuhan nasional
masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatan
populasi ternak domba berikut kontribusi daging domba untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi daging nasional masih sangat besar. Beberapa keuntungan
dari ternak domba dibandingkan sapi dan kerbau adalah mudah beradaptasi, cepat
berkembang biak, mudah dipasarkan dan tidak memerlukan modal yang terlalu
besar. Di samping itu, berbeda dengan domba dari daerah sub-tropis, domba lokal
Indonesia (tennasuk domba ekor gemuk) tidak memiliki aktivitas reproduksi
musiman dan pada ternak domba ekor gemuk adalah sifatnya sebagai ternak
prolifik (Sutama, 1992).
Namun demikian, kendala yang dihadapi dalam upaya meningkatkan
populasi domba adalah sifat pemeliharaan domba di Indonesia umumnya masih

berpola tradional dan harnpir 97% dipelihara di pedesaan dalam skala kecil secara
sarnbilan.

Untuk rneningkatkan kontribusi daging domba dalam memenuhi

kebutuhan konsumsi daging nasional perlu diupayakan pengembangan peternakan
domba dari pola tradional menjadi suatu pola usaha komersiaI.

Dan salah satu

cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitasnya adalah rnelalui
penerapan bioteknologi reproduksi.

1.2. Perkembangan Bioteknologi Peternakan
Bioteknologi Peternakan dapat diartikan sebagai produk biologis atau
proses biologis untuk menghasilkan suatu produk petemakan dalam skala besar
dan berwrak industri yang antara lain rneliputi pemanfaatan proses rekayasa
embrio dan garnet serta rekayasa genetika dalam upaya meningkatkan mutu dan
jumlah produksi. Dalam ha1 produksi ternak, penarapan teknologi tepat guna di
bidang reproduksi telah dilaksanakan sejak 35-40 tahun yang lalu dimulai dengan
Inseminasi Buatan (IB). Dengan menggunakan teknik IB seekor pejantan unggul
dapat rnengawini Iebih dari tiga ribu betina setiap tahunnya, sedangkan dengan
perkawinan alamiah seekor pejantan hanya mampu mengawini sekitar tujuh puluh
sapi betina per tahun. Narnun demikian teknik IB hanya mendayagunakan secara
optimal sifat-sifat genetik dari seekor pejantan unggul. Sekitar 20-25 tahun yang
lalu telah diernbangkan teknologi tepat guna untuk mendayagunakan sifat-sifat
genetik tidak saja dari pejantan unggul tetapi juga induk yang unggul.

Dengan

teknologi transfer embrio (TE)seekor betina unggul dapat menghasilkan lebih
dari tiga puluh ekor keturunan dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan

teknik IB -pun

perkawinan alamiah seekor betina unggul hanya menghasilkan

seekor keturunan per tahun.
Sejalan dengan perkembangan teknologi TE, berkembang pula teknologi
yang melibatkan perekayasaan proses biologis.

Perkembangan teknik-teknik

lainnya yang terkait dengan TE antara lain adalah produksi embrio in vitro,
kloning

dan

kriopreservasi.

Karena

embrio merupakan

salah satu

tahap

perkembangan yang banyak dipakai didalam penelitian maupun penerapan teknik
transfer embrio serta teknik terkait lainnya, penelitian yang berkait erat dengan
proses perkembangan embrio berikut faktor-faktor pembentuknya, yaitu oosit dan
sperrna menjadi sangat penting.

2. Pertumbuhan d a n Perkembangan Folikel

Domba memiliki siklus estrus sekitar 14-17 hari, dengan lamanya estrus
sekitar dua sampai tiga hari. Pada hari pertama betina menunjukkan gejala berahi
merupakan hari ke-0 (HO) dari siklus berahi, sehingga dari satu gejala estrus ke
gejala estrus berikutnya dikatakan sebagai satu periode siklus estrus.
Proses pertumbuhan dan perkembangan oosit tejadi bersamaan dengan
sel-sel gramlosa yang mengelilinginya di dalam suatu folikel, sehingga dikenal
dengan proses perkembangan folikel atau folikulogenesis. Serdasarkan keadaan
stmktur dan morfologinya, perkembangan folikel dapat dibedakan atas folikel preantral dan folikel antral.

Folikel pre-antral

merupakan folikel

sebelum

terbentuknya rongga, sedangkan folikel antral merupakan folikel yang telah
memiliki rongga. Folikel pre-antral berasal dari folikel primordial, yaitu foliiel
yang mengandung oosit yang diselubungi oleh selapis set-sel somatis berbentuk

pipih (sebagai prelcursor dari sel-sel lcumulus atau sel-sel granulosa).

Folikel

primordial akan mengalami pertumbuhan dan pematangan menjadi folikel
preantral (folikel primer dan sekunder), antral, dan ovulatori atau mengalami
atretik (Findlay et al., 1996). Pada folikel primer dan sekunder, sel-sel pipih telah
merubah menjadi sel-sel yang berbentuk kuboid masing-masing terdiri dari satu
dan lebih dari dua lapis sel. Pada folikel tertier mulai tarnpak adanya pertumbuhan
intrum (rongga) dan mencapai diameter dua milimeter pada saat mencapai folikel
antral.

Pada tahap ini pertumbuhan folikel berjalan sangat lambat dan sangat

berkait erat dengan proliferasi dari sel-sel granulosa. Pertumbuhan folikel antral
selanjutnya adalah ditandai dengan terjadinya pembesaran antrum, dan pada tahap
ini pertumbuhan sangat tergantung kepada suplai gonadotropin (Momiaux ef al.,
1996).

Pertumbuhan dan perkembangan folikel ovulatori terdiri dari atas beberapa
tahap yaitu rekruitmen, seleksi dan ovulasi. Tahap rekruitmen terjadi pada saat

corpus luteurn (CL) mengalami regresi dan pertumbuhan folikel telah menjadi
sangat tergantung pada gonadotropin. Pada masa tersebut dua sampai lima folikel
berdiameter lebih dari dua milimeter akan direkruit, namun memasuki tahap
seleksi hanya satu atau lebih folikel (yaitu folikel yang berdiameter di atas empat
milimeter) yang &an tetap tumbuh (tergantung species) menjadi folikel dominan
(yang berdiameter enam sampai delapan milimeter), sedangkan folikel lainnya
yang berdiameter kurang dari empat milimeter akan mengalami atresia atau
regresi.
Kriteria untuk menentukan folikel ovulatori adalah (a) ukuran folikel, (b)
kemampuan sel teka dan lapisan sel granulosa untuk mengikat LH (kehadiian

reseptor LH) serta jumlah estradiol yang dihasilkan dan ( c ) perubahan yang
berhubungan dengan populasi folikel kecil subordinat (Driancourt, 1991).
Pada domba dalam satu periode siklus estrus terdapat sekitar dua sampai
tiga gelombang pertumbuhan folikel. Dengan demikian, proses rekruitmen dan
seleksi folikel dorninan tidak terbatas hanya pa& awal masa fase folikuler, namun
juga pada fase luteal. Gelombang pertama terjadi pada fase folikuler, dari hari ke12 sampai hari ke-0, biasanya &an merekruit dua folikel besar yang akan tumbuh

secara cepat sampai hari ke 15, setelah terjadi luteolisis pada hari ke-14. Folikel
yang berdiameter besar atau folikel pre-ovulatori (berdiameter enam sampai
delapan rnilimeter dengan jumlah sel granutosa sekitar 3 x lo6), terlihat pada awal
estrus, dan diikuti dengan atresia dari folikel yang berdiameter medium yaitu dua
sampai empat milimeter.
Gelombang kedua terjadi pada fase luteal, dari hari pertama sampai hari
ke-12, puncaknya pada folikel tertier yaitu pada hari ke-tujuh dan rnenjadi atretik
pada hari ke-sembilan. Pada fase f o l i i l e r kehadiran folikel yang berdiameter
besar akan diakhiri dengan proses ovulasi, sedangkan pada fase luteal kehadiuan
folikel berdiameter besar akan bertahan sampai mendekati fase folikuler,
kemudian

mengalami

atresia.

Namun

demikian,

kehadiran dari

folikel

berdiameter kurang dari dua milimeter terjadi secara konstan sepanjang siklus
estrus. Pada dornba semua folikel sehat yang berdiameter kurang dari dua
milimeter rnemiliki kesempatan untuk owlasi pada saat CL mengalami regresi
(Driancourt, 1991).
Pada sapi tejadinya gelombang pestumbuhan folikuler diawali dengan
peningkatan konsentrasi FSH plasma Konsentrasi FSH akan menurun b e m a a n

dengan disekresikannya inhibin dan estradiol oleh folikel dominan yang
berhubungan dengan regresi cepat dari folikel-folikel non dominan (Kaneko el al.,
1996). Pada fhse folikuler, terjadi pengeluaran LH yang tajam yang berhubungan
dengan peningkatan yang tajam dari reseptor LH pada sel-sel granulosa dari
folikel dominan, dan merangsang perkembangan akhir mencapai tahap preovulatori.
Sebaliknya, pada fase luteal, fiekuensi pulsa LH yang rendah tidak dapat
memelihara pematangan akhir dari folikel dominan, yang kemudian regresi dan
sekresi estradiol serta inhibin menurun, sehingga memungkinkan terjadinya
peningkatan konsentrasi FSH dan dimuiainya gelombang folikular baru (Taya et
al., 1996). Corpus luteum memberikan pengaruh lokal terhadap perkembangan

folikel, yaitu pada fase luteal terdapat lebih banyak folikel yang berdiameter lebih
dari empat rnilimeter pada ovarium yang mengadung CL dibanding ovarium
pasangannya.

Pada domba semua folikel berdiameter lebih dari dua rnilimeter (foiikel
sehat) memiliki kesempatan untuk ovulasi pada saat CL mengalami regresi.
Persentase folikel yang sensitif terhadap LH sangat tinggi (di atas 80%) pada
ovarium tanpa melihat fisiologis ovarium, yang menunjukkan bahwa gelombang
pertumbuhan folikel pada domba berlangsung secara kontinyu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa

sensitivitas terhadap

menunjukkan perbedaan

LH

dari

folikel

dengan pada folikel ovulatori,

konsentrasi estradiol yang dihasilkan.

luteal

tidak

kecuali terhadap

Konsentrasi estradiol pada folikel fase

luted sangat tertekan. Setelah terjadi pelepasan FSH (pada HO) akan diikuti
dengan peningkatan FSH pada H1 dan H2. Peningkatan FSH seringkali terjadi

baik pada fase folikuler maupun fase luteal setiap dua jam walaupun tanpa ritmik
yang tetap. Sebaliknya peningkatan LH terjadi setiap dua setengah jam pada fase
luteat, dan terus meningkat setiap satu jam pada h e folikuler. Puncak pelepasan
estradiol tejadi pada saat level LH dan FSH tinggi.
3. Keadaan Morfologi dan Fungsi Biologis Oosit

Oosit mamalia merupakan sel tunggal dan dibandingkan dengan sel tubuh
lainnya, &ran

oosit relatif sangat besar (120 pm) serta memiliki karakteristik

morfologik dan fingsional yang unik. Keadaan ukuran, serta struktur dan
morfologi sangat berkait erat dengan fungsi biologis oosit, sehingga tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya.
Oosit memiliki fingsi biologis utama yaitu (1) sebagai pembawa unsur

genetis dari maternal melalui proses penggabungan dua unsur genetis yang berasal
dari paternal dan maternal, yang dikenal dengan proses fertilisasi; serta (2)
sebagai tempat atau media yang memungkinkan sigot yang dihasilkan melalui
proses fertilisasi untuk menjalani proses perkembangan embrio.

U&

itu oosit hams merniliki kapasitas untuk mendukung proses

fertilisasi dam perkembangan embrio (Bevers et al., 1997). Oosit akan memiliki
kapasitas tersebut setelah menjalani proses pertumbuhan serta pematangan baik
inti maupun sitoplasma sehingga oosit tersebut memiliki keadaan inti yang
haploid serta kandungan sitoplasma yang siap mendukung proses fertilisasi dan
perkembangan embrio. Selarna menjalani proses pertumbuhan keadaan morfologi
oosit secanr terus menerus mengalami perubahan, yaitu peningkatan ukuran

diameter, aktivitas transkripsi dan kandungan sitoplasma, serta perpindahan inti
dari pusat ke tepi.
Pada folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit dengan sel-sel
granulosa diperantarai melalui jalur endositotik yang ditandai dengan banyaknya
vesikel serta celah-celah pada oosit. Dan setelah pertumbuhan memasuki folikel
sekunder jalur komunikasi mengalami perubahan yaitu berlangsung melalui gap
junction

(hubungan berupa celah) yang terbentuk diantara oosit dan sel-sel

granulosa (Hyttel ef ai., 1997).
Berdasarkan tahap perkembangannya, inti oosit dapat dibedakan atas tahap
Germinal Vesicle (GV), Germinal Vesicle Break Down (GVBD), Metafase-I (MtI) dan Metake-I1 (Mt-11). Oosit pada folikel primordial dan primer berukuran
sekitar 30-50 prn dengan inti berada pada tahap germinal vesicle. Dengan
berlangsungnya proses perkembangan oosit, inti yang semula berada pada tahap
GV dan kromosom dalam keadaan istirahat (tahap profase dari pembelahan
meiosis I), berturut-turut akan mengalami perubahan dimulai dengan pecahnya
membran inti atau germinal vesicle break down, kemudian mencapai Mt-I dan
dilanjutkan ke Mt-I1 yang siap untuk difertilisasi oleh sperma. Pada saat tersebut
ukuran oosit telah mencapai 120 pm.
Pada pematangan sitoplasma teqadi perubahan molekuler dan struktural
yaitu tejadinya peningkatan yang pesat terhadap jumlah maupun ukuran organel
seperti ribosom, butir-butir lernak, badan golgi dan mitokondria serta butir-butir
korteks, sehingga oosit memiliki kapasitas untuk mendukung fertilisasi dan
perkembangan embrio (Bevers et al., 1997). Disarnping itu butir-butir korteks

yang semula berada di bagian dalam ooplasrna kemudian menyusun diri di bagian
perifer di bawah membran plasma.

Pembahan kandungan sitoplasma mulai

tampak pada folikel sekunder dan meningkat pada folikel tertier.

Pada sapi ukuran serta keadaan struktur dan morfologi dari oosit matang
(Mt-II) adalab diameter zona pelucida sekitar 110-120

~ u n granulasi
,

ooplasma

homogen clan diielilingi oleh sel-sel kumulus yang fonggar. Dengan mikroskop
cahaya fase kontras dapat dilihat bahwa inti yang berada pada metafase-I1
mengandung aparatus kumparan anastral di perifer, dengan mikrotubulin yang
memanjang dari masing-masing kutub ke kinetokhors kromosom bivalen.
Sedangkan dengan mikroskop elektron transmisi tampak bahwa butir-butir
korteks berada tepat di bawah membran plasma dimana mereka akan dipacu untuk
menjalani eksositosis pada waktu proses fertilisasi. Keluarnya kandungan butirbutir korteks mengakibatkan perubahan pada zona pelucida (reaksi butit-butir
korteks), rnenciptakan hambatan terhadap polisperma.

Membran plasma oosit

mamalia ditutupi oleh sejumlah mikrovili yang mengandung filament aktin inti
(core).

Komposisi biokimia dari membran lapis ganda (bilayer) pada oosit

mamalia belum banyak diketahui, namun amat mudah mengalami destabilisasi.
Susunan dari mikrofilamen yang mengandung aktim ditemukan di dalam
perinuklear dan korteks sitoplasma yang terlibat didalam distribusi organel pada
masa pematangan oosit, deformasi pemukaan yang berhubungan dengan
pengelurnan badan kutub (polm boby) (Hyttel et al., 1997).

Baik mikrotubulin maupun mikrofilamen merupakan bagian dari skeleton

sel yang berperanan di dalam pergerakan kromosom pada proses mitosis dan

meiosis, fertilisasi, serta kompaksi (compaction) dan kavitasi embrio pada proses
pembentukan biastosis (Kim ei al., 1993).
mengalami perubahan

Skeleton sel bersifat dinamis dan

susunan pada masa pembelahan sel.

Pada masa

pertumbuhan dan pembelahan sel, mikrotubulus akan mengalami perubahan dan
pada saat metafase mikrotubulin tampak sebagai kumparan meiotik yang
memegang kromosom di ekuator.
4. Potensi Koleksi Oosit d a n Produksi Embrio Secara In M t r o

Penggunaan teknik in vitro sudah menjadi suatu prosedur yang rutin di
banyak laboratorium baik untuk tujuan penelitian maupun untuk memproduksi
embrio skala besar yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas
ternak (Gordon dan Lu, 1990). Koleksi oosit maupun produksi embrio secara in
vitro erat kaitan dengan teknologi transfer embrio. Keuntungan lain dari sistern in
vitro, adalah untuk mempelajari perkembangan embrio, mengetahui penyebab
kematian embrio, sintesa protein pada perkembangan transisi antara maternalembrionik, transfer inti dan produksi hewan transgenik (Wilmut et al.,2000).
Telcnologi produksi embrio secara in vitro (in vitro produced; IVP)
merupakan serangkaian sistem kultur in vitro yang meliputi maturasi in vitro (in
vifro maturation; IVM), fertilisasi in vitro (in vitro fertilization; IVF) dan kultur
embrio in vitro sampai tahap morula atau blastosis (in vitro culture; IVC). Sarnpai
saat ini metode-metode tersebut telah dipergunakan secara ekstensif pada
beberapa hewan ternak antara lain sapi (Schellander et al., 1990; Utsumi et al..
1991; Bavister et al., 1992; Lonergan et al., 1992; Boediono et al., 1995; Djuwita

et al., 1998), domba (Slavik et al.. 1992, Walker et al., 1992; Djuwita ef al., 1998;

Czlonkowska ef al., 1999; Wani ef al., 1999; Rusyiyantono et al.,2000) dan
kambing Q3oediono et al.,2000).

4.1.

Maturasi In Viiro (IVM)
Maturasi (pematangan)

oosit yang

meliputi pematangan

inti

dan

sitoplasma merupakan suatu tahapan yang sangat penting didalam mendukung
keberhasilan Fertilisasi serta perkembangan embrio selanjutnya (Bevers et af.,
1997; Hyttel, et al., 1997).

Perubahan yang berhubungan dengan proses

pematangan akhir in vivo dapat ditiru secara in vifro di dalam medium kultur. Hal
ini telah dibuktikan melalui beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa oosit
mamalia setelah dilepaskan dari folikel ovari

dapat melanjutkan

proses

pematangan inti secara spontan di dalam medium kultur in vifro (Edwards, 1965)
dan fertilisasi in vifro (Iritani dan Niwa, 1977). Namun demikian perkembangan
embrio hasil pematangan dan fertilisasi in vifro menunjukkan tingkat yang lebih
rendah dibandingan hasiI pematangan in vivo (Leibfried-Rutledge et at.,1987).
Salah satu penyebab kegagalan fertilisasi adalah oosit yang diperoleh berasal dari
populasi folikel yang kondisinya heterogen, disamping pematangan sitoplasma
yang tidak sempurna atau oosit telah mengalami aging (penuaan) (Pevlok et al.,
1988, Hyttel et al.,1997).
Pemataugan oosit in viiro dimaksudkan agar oosit

primer dapat

berkembang menjadi oosit sekunder yang a k a melakukan proses pembelahan
meiosis dengan normal dan sempurna sehingga dihasilkan oosit yang siap dibuahi
oleh spermatozoa dan akhimya mampu berkembang menjadi embrio yang
berkualitas.

Oosit dapat diperoleh dari hewan hidup ataupun ovaria dari rumah potong
hewan. Oosit yang dipergunakan diperoleh dari ovaria hewan betina tanpa
memperhatikan fase siMus berahinya (Djuwita et a/., 1995; Wani et ai., 1999).
Oosit diambil langsung dari foiikel yang berukuran dua sarnpai fima milimeter

dan disimpan di dalam medium yang s e d untuk kemudian dirangsang proses
pematangannya.
Di luar tubuh, proses pematangan dapat dilakukan di dalam medium
kultur antara lain Tissue Culture Medium (TCM) 199 (Moor dan Trounson,
1977). Untuk membantu proses pematangan, umumnya medium diberi tambahan
protein seperti fetal calf serum (FCS),

newborn calf serum (NCS), bovine

serum albumine (SSA) ataupun serum induk (Schellander et al., 1990). serta
foIIicIe stirnuloring hormone ( F S H ) , luteinizing hormone ( L H ) dan estradiol- 17B (Schellander et al., 1989).

Namun peranan hormon seperti LH dan hormon

steroid diketahui masih bersifat kontroversial (Fukui dan Ono, 1989, Zuelke dan
Brackett, 1990; Keefer et al., 1991). Beberapa fakior pertumbuhan lainnya seperti
Epidermal Growth Factor (EGF), Transfrming Growth Factor (TGF)-a, TGF-p
dan Insulin Growth Factor (1GF)-I diketahui dapa