Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi Dalam Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia

PROSPEK DAN TANTANGAN ILMU ADMINISTRASI
DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH
DI INDONESIA
Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Bidang Ilmu Manajemen Pembangunan
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara
Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 7 Februari 2009

Oleh:

MARLON SIHOMBING

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia


Selamat Pagi
Salam Sejahtera untuk kita semua
Yang saya muliakan,









Bapak Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera
Utara
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara
Para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara
Ketua dan Anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara
Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara
Para Dekan Fakultas/Pembantu Dekan, Direktur Sekolah Pascasarjana,
Direktur dan Ketua Lembaga di Lingkungan Universitas Sumatera Utara

Para Dosen, Mahasiswa, dan Seluruh Keluarga Besar Universitas
Sumatera Utara
Seluruh Teman Sejawat serta para undangan dan hadirin yang saya
muliakan

Marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
yang telah memberikan waktu dan kesehatan sehingga kita dapat
menghadiri upacara pengukuhan ini. Pada kesempatan ini perkenankanlah
saya menyampaikan pidato dengan judul:
“PROSPEK DAN TANTANGAN ILMU ADMINISTRASI DALAM
IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH DI INDONESIA”

PENDAHULUAN
Hadirin yang saya muliakan,
Perkembangan ilmu administrasi sebagai disiplin ilmu tidak terlepas dari
hakekat manusia sebagai mahkluk yang bersifat inquisitive, yang selalu
berfikir untuk mencari dan menemukan kebenaran dari waktu ke waktu,
from cradle to cradle manusia berusaha menemukan kebenaran baru.
Karenanya sosok ilmu administrasi menjadi amat dinamis sejalan dengan
upaya dan penemuan kebenaran baru tersebut. Pada masa-masa lalu, ilmu

administrasi dipandang sebagai normative science yang menekankan “what
should be”, namun perkembangan saat ini, pandangan tadi mengalami
demistifikasi, dan para pakar melihat ilmu administrasi sebagai policy
science yang menggabungkan pertanyaan “what should be” dengan “what

1

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

is” dalam bentuk pertanyaan “what is probable” demikian selanjutnya;
Moeljarto (2003; 11).
Selain alasan itu ilmu administrasi sebagaimana dengan ilmu-ilmu sosial
lainya memiliki sifat iconoclastic, bahwa setiap keberadaan teori
senantiasa akan mendapatkan kritikan untuk mencapai tingkat validitas dan
relevansi yang lebih tinggi. Untuk melihat perkembangan ini Irfan Islamy:
mengkatagorikan
aspek
perkembangan
ilmu

administrasi
atas
“administrative
technology
vs
administrative
ideology”.
Dalam
perkembangannya kedua aspek administrasi ini sangat jelas mengalami
ketimpangan. Kita telah merasakan laris manisnya ilmu administrasi yang
berkosentrasi pada administrative technology yang lebih bersifat applied
seperti: human resourches management, e-commerce, e-government,
organization learning, strategic planning, balance score card, benchmarking
(Irfan Islamy; 2006). Dalam proses meningkatkan kinerja administrasi,
perkembangan ini tidak salah, tetapi pelu perhatian pada keseimbangannya
dengan administrative ideology sebagai pure science yang lebih ideologi dan
filosofis, seperti: government ethics, democratic public administration,
welfare economics dan lain-lain.
Dalam satu seminar yang diselenggarakan oleh persadi di STIA LAN RI
Jakarta baru-baru ini (2007). Pada seminar ini banyak mempertanyakan

tentang lambannya perkembangan administrative ideology dan bahkan
disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab kebobrokan administrasi kita
pada saat ini,sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama terutama para
sarjana administrasi, bahwa pengembangan administrasi bukanlah sekedar
menyangkut aspek efektifitas, efesiensi dan ekonomis semata, akan tetapi
political ideology, phylosopy dan government ethics sebagai komponenkomponen daripada administrative ideology.
Tuntutan untuk senantiasa mewujudkan validitas dan relevansi yang lebih
baik sesuai perkembangan, sekaligus telah memicu pergeseran administrasi
negara (tradisional) menuju management public. Ada beberapa alasan
untuk meninggalkan paradigma administrasi negara tersebut;
1. Adminitrasi negara tradisional tidak mampu mencapai tujuannya
secara efektif dan efesien sehingga perlu diganti menuju ke orientasi
ke pencapaian kinerja dan akuntabilitas.
2. Peran birokrasi klasik (weberian) yang kaku lebih menojolkan inward
looking harus diubah menuju ke kondisi organisasi publik outward
looking, bercirikan kepegawaian dan pekerjaan yang lebih fleksibel
sesuai dengan tuntutan stake holder.

2


Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

3. Dalam Administrasi Negara kurang jelas penetapan tujuan organisasi
dan pribadi demikian dengan ukuran kinerja harus diganti dengan
tujuan yang lebih jelas dan penetapan keberhasilan kinerja yang
lebih terukur.
4. Kurangnya komitmen politik para staf pada elit politik yang berkuasa
untuk menumbuhkembangkan sistem birokrasi yang outward looking.
5. Penekanan perlunya transformasi nilai, mewirausahakan administrasi
sektor publik.

Hadirin yang kami muliakan,
Pandangan seperti ini sangatlah menuntut perubahan paradigma birokrasi
Weberian yang bertumpu pada structural and efficiency dan masih
mewarnai birokrasi pemerintahan kita pada saat ini termasuk di daerah,
harus ditransformasi menuju birokrasi yang cultural base, yaitu suatu sosok
birokrasi yang menghargai variasi lokal, partisipasi, serta kepimpinan yang
komit dengan masyarakatnya, atau menjadi ”administrasi publik” D.
Osborne T. Gaebler menyatakan: ”Reinventing Government” (1992).

Sejalan dengan D. Osborne dan Plastrik, bannishing bureaucracy (1994).
Wujud perkembangan dan perubahan paradigma administrasi demikian
tersebut telah menumbuhkan sensitiftas atau perhatian administrasi publik
terhadap
pembangunan.
Hal
ini
dikenal
sebagai
“Manajemen
Pembangunan”, yaitu administrasi yang berbenah untuk melihat persoalanpersoalan pembangunan secara khusus.
Ada berbagai alasan yang mengarahkan perhatian administrasi negara pada
masalah-masalah pembangunan, antara lain:
1. Administrasi Publik tidak terlepas dari masalah-masalah pelaksanaan
dan pencapaian tujuan pembangunan itu sendiri.
2. Administrasi Publik mengembangkan penelaahan mengenai sikap dan
peranan birokrasi (behavorial approach), serta berbagai masalah
hubungan antara manusia, seseorang atau kelompok dalam birokrasi
tersebut, juga ditelaah tentang bagamana keputusan diambil dan
pengetahuan dikembangkan.

3. Kecenderungan
melakukan
pendekataan
manajemen
dalam
administrasi publik. Disini dapat dikembangkan sistem analisis
administrasi pembangunan dan pengembangan teknik-teknik
kuantitatif dan analitis dalam administrasi negara.

3

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

4. Administrasi Publik memberikan tekanan kepada ekologi sosial dan
kultural. Disini ditekankan telaah terhadap hubungan dan sikap
administratif dengan ekologi sosial dan budaya masyarakat tertentu.

Majelis sidang terbuka yang saya hormati,
Keempat alasan tersebut saling tekait satu sama lain dalam pengembangan

administrasi
pembangunan.
Lebih
spesifik
dapat
dilihat
bahwa
kecenderungan administrasi pembangunan berorientasi untuk mendukung
pembangunan dan usaha-usaha ke arah modernisasi, guna mencapai
tingkat kehidupan yang lebih sejahtera secara sosial dan ekonomi. Namun
harus pula dipahami bahwa, administrasi pembangunan tetap mendasarkan
diri pada administrasi publik dan peralatan analisis administrasi negara
sehingga manajemen pembangunan secara disiplin keilmuan tidak dapat
dipisahkan dari administrasi negara.
Perkembangan perhatian administrasi pada masalah-masalah pembangunan
tersebut pada saat ini telah diperkuat dengan pergeseran konsep
“government” menjadi ”governance”. Artinya, dalam penyelenggaraan
pemerintah telah berkembang istilah “governance” yang memiliki makna
aplikasi yang berbeda dengan “government”. Kalau government merujuk
pada institusi negara secara formal, ditandai dengan monopoli kekuasaan

dalam pembuatan dan pelaksanaanya secara otoritatif, sedangkan
governance menunjukkan perubahan makna pemerintahan yang merujuk
tidak semata-mata pada monopoli kekuasaan pemerintah, tetapi melibatkan
segenap elemen (stakeholder) baik internal birokrasi maupun eksternal
birokrasi publik, yaitu rakyat (society) dan dunia usaha (private sector)
Sjamsuddin (2007; 256). Governance adalah mekanisme pengolahan
sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara
dan sektor pemerintahan dalam kegiatan kolektif. Mardiasmo (2002);
Thoha (2003); Prasojo (2005).
Pergeseran konsep ini juga dapat dilihat sekaligus sebagai proses transfer
kewenangan dari pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat harus
diberikan kewenangan dalam proses-proses pembangunan; Marlon (2008;
219). Bahkan popularitas governance yang sering dipadukan dengan istilah
“good governance” telah digunakan pada banyak kasus, seakan-akan
merupakan imbuhan yang berarti reformasi. Saya kira pemahaman seperti
itu tidak salah, karena popularitas good governance sepertinya, menjadi
bentuk
pengakuan
akan
ketidakpercayaan

masyarakat
terhadap
pemerintah. Banyak individu kecewa dengan kemampuan pemerintah

4

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

sampai pada saat ini untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Oleh karena
itu mereka (masyarakat) haruslah dilibatkan dalam proses kepemerintahan
tersebut. Hal ini juga mengandung makna, mempercayai masyarakat agar
dipercaya. Dalam kaitan ini Hubbard (2001) mengatakan governance is
more than government yang kemudian governance diartikan sebagai “how
societies steer themselves”. Dalam arti bagaimana merubah mindset
yang birokratik (inward looking) menjadi public administration yang
(outward looking), Marlon (2008; 207).

HAKIKAT ILMU ADMINISTRASI
Majelis yang saya hormati,
Hakikat Ilmu Administrasi, dalam upaya mencapai tingkat scientific validity
dan policy relevancenya, senantiasa akan menjadi pemicu dinamika
perkembangan teori-teori dan paradigma dalam ilmu administrasi. Karena
masalah pembangunan dan fenomena globalisasi bersifat multifacet, maka
teori administrasi juga akan berkembang sesuai dengan keanekaragaman
tantangan yang dihadapi. Dalam dimensi ekonomi politik globalisasi telah
merubah hubungan negara (state) dengan pasar (market) dalam model
hubungan yang lebih market led development daripada bersifat state led
development seperti selama ini. Hal ini mendorong pengembangan sosok
birokrasi untuk merefleksasikan entrepreneurial bureaucracy. Adapun
birokrasi seperti itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) bersifat sensitif dan responsif terhadap peluang baru yang timbul di
dalam pasar,khususnya sebagai akibat dari proses globalisasi,
liberalisasi, dan regionalisasi perdagangan.
2) Mampu melepaskan diri dari rutinitas kerja yang terkait dengan fungsi
instrumental birokrasi dan mampu melakukan terobosan (breakthrough)
melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif dalam rangka mengatasi
sifat-sifat inertia birokrasi.
3) Mempunyai wawasan jauh kedepan (futuristic) dan melihat sesuatu
persoalan dalam kaitannya dengan variabel-variabel yang lain
(systemic).
4) Jeli terhadap adanya sumber-sumber potensial baik yang berasal dari
dalam negeri maupun sumber eksternal (outsourcing).
5) Mempunyai keamanan untuk mengkombinasikan berbagai sumber
menjadi re-source mix yang mempunyai efek sinergis yang
berproduktifitas tinggi.

5

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

6) Mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan sumber secara optimal
dan menggeser pemanfaatan sumber produktifitas rendah menuju
pemanfaatan sumber bagi kegiatan yang berproduktifitas tinggi.
Birokrasi yang entrepreneural, tidak puas dengan kondisi statis dan
seringkali harus menciptakan destabillizing forces dalam rangka creative
constructive equilibrium. Moeliarto; (2003), Osborne dan Gaebler (1993),
Osborne dan Plastrik (2000).
Salah satu langkah strategis di Indonesia dalam upaya meningkatkan
peranan administrasi publik ataupun manajemen pembangunan, dapat
dikembangkan pada atau melalui implementasi desentralisasi dan otonomi
daerah sebagai salah satu facet yang kompleks namun sangat dinamis.
Pengembangan konsep otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia telah menjadi keharusan, sebagaimana telah ditetapkan oleh
para pendiri negara ini pada UUD 1945 atas berbagai pertimbangan yang
dilakukan, baik pada aspek heterogenitas latar belakang suku, agama,
budaya ataupun dengan luasnya wilayah tanah air, sehingga pilihan sistem
pemerintahan yang desentralistis menjadi pilihan yang paling tepat untuk
diterapkan. Banyak pelajaran secara timbal balik (mutual) dalam hal
prospek dan tantangan yang dapat dipetik oleh ilmu administrasi dalam
memperbaiki tingkat validitas maupun relevansi kebijakannya secara
konseptual dengan upaya memperbaiki praktik desentralisasi untuk lebih
baik dan lebih baik lagi kedepan. Dalam menelusuri kondisi empiris tentang
pengembangan administrasi dan praktik desentralisasi tersebut, penulis
menggunakan hasil penelitian desertasi yang berjudul: “Desentralisasi dan
Pembangunan Masyarakat Wilayah Pesisir Di Kabupaten Langkat Provinsi
Sumatera Utara”, Marlon (2007).

PROSPEK
DAN
TANTANGAN
ILMU
ADMINISTRASI
DALAM
IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH STUDI KASUS PEMBANGUNAN
MASYARAKAT WILAYAH PESISIR KABUPATEN LANGKAT
Secara sosial ekonomi, wilayah pesisir memiliki arti penting bagi Indonesia
karena sekitar 140 juta (60%) penduduk bermukim di wilayah pesisir
(Dahuri 2000). Apalagi Indonesia adalah merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri atas 17.528 pulau, dimana teritorial darat dan
laut seluas 7,7 juta km2 dan lebih 75% wilayahnya adalah perairan laut,
pantai dan pesisir (Dahuri). Wilayah ini mengandung potensi kekayaan alam
yang cukup besar.

6

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

Berbagai jenis flora dan fauna laut, serta potensi keindahan alam yang
seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat
daerah pesisir, namun, keadaannya ”paradoksial”. Besarnya potensi wilayah
pesisir, dengan perkembangan teknologi dan manajemen pengelolaan
sumber daya alam, tidak diikuti oleh tingkat kesejahteraan masyarakat
wilayah pesisir dan bahkan di sisi lain lingkungan semakin rusak.
Salah satu faktor yang dipertanyakan sebagai faktor penyebabnya adalah
ketidakberhasilan faktor pendekatan dan pelaksanaan pembangunan yang
diterapkan, pendekatan pembangunan yang digunakan selama ini lebih
menggambarkan pendekatan sentralistis. Dalam hal mana rancangan dan
pelaksanaan pembangunan sangat diatur melalui pusat.Teori teori politik
klasik sampai dengan Max Weber, yang menempatkan negara sebagai
sentrum utama dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan nasib dan
kehidupan rakyat pada umumnya. Dalam hal ini, negara dipandang dapat
melakukan segala cara untuk memaksakan kehendaknya kepada
masyarakat. Struktur kekuasaan negara dibuat sedemikian rigid untuk
menciptakan birokrasi yang loyal dan tunduk kepada kepentingan
pemerintah pusat. Oleh karena itu, demokrasi dipandang sebagai sebuah
sistem yang jelek, karena memberikan ruang kepada rakyat mengambil
bagian dalam proses dan pengambilan kebijakan publik.
Keadaan ini secara signifikan dirasakan dalam berbagai dimensi
pembangunan terutama pada masa berlakunya Undang-Undang No. 5
tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, undang-undang
ini dikeluarkan oleh Orde Baru terutama didorong oleh faktor, untuk
menyusun strategi menciptakan koordinasi keamanan, ketertiban,
ketenangan dan stabilitas politik.
Walaupun pemerintah dapat menekan jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan dari 70 Juta orang menjadi 15 Juta orang pada masa tahun
1990 namun kesenjangan ekonomi justru makin melebar, demikian juga
dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah serta antara desa
pedesaan dan perkotaan. Hal ini adalah konsekwensi sosial yang harus
dibayar untuk mewujudkan optimisme sentralisasi yaitu untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi (Sutrisno, dalam Dewata dkk 1995).
Faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian, bahwa orientasi
pembangunan kita selama ini lebih cenderung ke wilayah daratan.
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki wilayah pesisir dan laut yang
luas, tetapi perhatian pemerintah ke sektor ini baru dimulai tahun 1988,
yaitu sejak dideklarasikannya studi yang berjudul” Indonesia’s Marine

7

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

Environment: A Summary of Policies, Strategies, Actions and Issues”
sebagai kerja sama BAPPENAS dan lembaga CIDA (Bengen; 2004). Sejak
inilah sektor kelautan dan pesisir mulai mendapat perhatian.
Perhatian ini pada tahun 1993 kelautan menjadi sektor yang tersendiri
dalam GBHN yang mengamanatkan 3 hal perhatian utama yaitu:
1. Pembangunan
kelautan
diarahkan
pada
penganekaragaman,
pemanfaatan, dan pembudidayaan sumber daya kelautan serta
pemeliharaan kelestarian ekosistem
dengan
menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek).
2. Pengamanan kawasan laut sebagai media penghubung perlu terus
ditingkatkan untuk menjamin kelancaran kegiatan perekonomian dan
pelaksanaan pembangunan berwawasan nusantara, dan
3. Pendayagunaan sumber daya kelautan untuk mendukung pembangunan
ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang
sangat memerlukan pendalaman pengetahuan tentang potensi yang
terkandung di dalam dan di dasar nusantara. Pemetaan dasar laut dan
pengungkapan potensi yang ada di dalamnya yang sangat strategis bagi
pengembangan perencanaan pendayagunaan sumber daya kelautan
perlu terus ditingkatkan.
Pada sisi lain, tahun 1999 pemerintah juga telah melakukan perubahan
besar tentang sistem pemeritahan daerah sebagaimana diatur sebelumnya
pada UU No. 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No. 22 tahun 1999. Pada
tahun 2004 kembali direvisi dan diganti dengan UU No. 32 tahun 2004
tentang otonomi daerah. Perubahan aturan ini memaknai akan perubahan
kebijakan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat
yang dapat digaris bawahi dari kelahiran UU tersebut adalah desentralisasi
pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom.
”Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 18 ayat 4, disebutkan bahwa:
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud paling jauh 12 Mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau
ke arah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Kewenangan tersebut lebih
rinci meliputi:
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
2. Pengaturan administratif
3. Pengaturan tata ruang
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah
5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara”.

8

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

Selanjutnya pada tahun 1999 secara kelembagaan perhatian terhadap
eksplorasi terhadap laut dan perikanan menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah yang kuat bagi
pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut. Kalau selama ini
perhatian program pembangunan pesisir tersebar di berbagai instansi maka
dengan departemen baru ini keseluruhan program dapat terkordinir melalui
DKP. Kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 serta kelahiran DKP diharapkan
dapat menjadi modal dasar bagi pengelolaan sumber daya pesisir yang
berkelanjutan melalui suatu pola manajemen kelautan yang profesional dan
berbasis masyarakat. Karena pembangunan dengan dasar otonomi daerah,
akan dapat lebih fokus kepada upaya pembangunan pedesaan melalui
program-program penyedian prasarana, pembangan agribisnis, industri
kecil dan kerajinan, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi
dan pemanfaatan sumber daya alam (Nugroho, 2004; 27).
Kabupaten Langkat sebagai lokasi penelitian dapat dikatakan sebagai
kabupaten pesisir di Provinsi Sumatera Utara memiliki 17 kecamatan dan 8
kecamatan di antaranya adalah kecamatan pesisir dengan memiliki 42 desa
pesisir. 8 kecamatan tersebut adalah Kecamatan Secanggang,Tanjung Pura,
Gebang, Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Besitang dan Pangkalan Susu.
Keadaan masyarakat pesisir di lokasi penelitian ini masih mengalami
persoalan kemiskinan. Hal ini dapat ditunjukkan dari indikator Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2001 dan BPS Provinsi Sumatera Utara
menunjukkan posisi indikator pertumbuhan ekonomi Kabupaten Langkat
berada pada ranking dua terakhir diantara kabupaten/kota se-provinsi
Sumatera Utara. Hal ini secara signifikan tergambar pada kodisi umum
masyarakat pesisir yang masih miskin (Marlon, 2006).
Kawasan hutan bakau seluas 35.000 ha yang sangat penting untuk: (1)
Pelindung pantai dari gelombang dan pelingdung intrusi laut, (2) Penahan
angin, (3) Mencegah abrasi pantai dan (4) Habitat Ikan, telah mengalami
kerusakan 72, 29% dan saat ini terus (bertambah) mengalami kerusakan
(Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, 2002). Pengangguran
dan putus sekolah semakin meningkat (Laporan kuliah internship FISIPUSU, 2006).
Sudah barang tentu berbagai persoalan tersebut haruslah segera dapat
ditangani. Kalau tidak, potensi wilayah pesisir dan laut yang demikian besar
itu

akan

percuma

dan

semakin

rusak.

Demikian

dengan

masalah

9

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

kemiskinan,
wilayah

ketimpangan

pesisir

ini,

pendapatan

sangat

yang

menuntut

menghimpit

penanganan

masyarakat

khusus

daripada

pemerintah. Otonomi daerah sebagai wujud penyelenggaraan desentralisasi
pemerintahan, diharapkan menjadi momentum strategis untuk menjawab
berbagai persoalan pembangunan, harus direfleksikan melalui administrasi
publik dan manajemen pembangunan.
Konsekwensi

daripada

desentralisasi

secara

empiris

adalah

lahirnya

pemerintah daerah yang memiliki kewenangan otonom.
”Hal ini dapat dimaknai menjadi tiga hal. Pertama, sebagai pemerintah
daerah yang mengacu pada organ yang melaksanakan urusan dan fungsi
yang didesentralisasi. Kedua, sebagai pemerintahan daerah yang mengacu
pada fungsi menjalankan dalam kerangka desentralisasi. Ketiga, sebagai
daerah otonom tempat di mana lokalitas berada dan membentuk kesatuan
hukum sendiri yang meskipun tidak berdaulat, tetap memiliki hak untuk
mengurus dirinya sendiri (Muluk, 2006; 36)”.
Sekarang ini, dalam rangka pemerintahan daerah kita mengimplementasikan
kebijaksanaan otonomi daerah undang-undang No 22 tahun 1999 yang
telah direvisi dan diganti dengan undang-undang No 32 tahun 2004, sangat
berbeda dengan kebijaksanaan otonomi daerah sebelumnya terutama
dengan

undang-undang

No

5

tahun

1974

tentang

pokok-pokok

pemerintahan di daerah. Undang-undang ini membungkus sentralisasi pola
hubungan

antara

pemerintah

pusat

dengan

daerah

dengan

istilah

”Dekonsentrasi”. Dengan undang-undang ini, daerah harus bertanggung
jawab untuk memelihara negara kesatuan. Sehingga karena tuntutan
tanggung jawab tersebut, daerah tidak diberi peluang untuk mengambil
inisiatif kebijaksanaan yang sekiranya akan merugikan pusat termasuk di
dalamnya yang menyangkut politik dan bahkan administratif pada tingkat
lokal (Gaffar dalam Rudito, 2003; 56). Banyak urusan pemerinthahan dan
masyarakat yang seharusnya dapat dan lebih baik diselesaikan oleh
pemerintah daerah, harus menunggu arahan atau penanganan langsung
dari pusat.
Kebijaksanaan otonomi daerah melalui undang-undang No 32 tahun 2004
memberikan

otonomi

seluas-luasnya

dalam

arti,

daerah

diberikan

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang
ditetapkan dalam undang-undang (UU No 32 tahun 2004). Seiring dengan
prinsip otonomi tersebut, penyelengaraan otonomi daerah harus selalu

10

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Hal ini ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat
masyarakat

di

daerah,

memberikan

ruang

politik

yang

lebih

luas,

peningkatan kualitas demokrasi, peningkatan efisiensi pelayanan publik,
peningkatan percepatan pembangunan, penanggulangan kemiskinan dan
diharapkan juga untuk meningkatkan kualitas kepemerintahan dalam wujud
kepemerintahan yang baik.
Akan

tetapi

implementasi

sebuah

kebijaksanaan

bukanlah

hal

yang

sederhana, karena implementasi akan menyangkut interpretasi, organisasi,
komitmen,

kesiapan

aparat

dan

masyarakat

secara

sinergis

untuk

melakukan pembangunan. Pemerintah daerah harus kreatif dan senantiasa
menghidupkan inisiatif, dan prakarsa masyarakat, melalui berbagai strategi
yang dapat dilakukan. Persoalannya adalah apakah pemerintah daerah
dalam hal ini mampu menggunakan peluang dan sekaligus tantangan yang
diberikan oleh Undang-Undang No 32 tahun 2004 tersebut melalui refleksi
administrasi publik?
Dari sudut latar belakang masalah inilah penulis melakukan suatu kajian
tentang “Desentralisasi Dan Pembangunan Masyarakat Wilayah Pesisir
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara” (Marlon, 2007) dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
1

Apakah

desentralisasi

mempengaruhi

kesiapan

otonomi

daerah,

kepemerintahan yang baik (Good Governance), perencanaan partisipatif,
kekokohan masyarakat sipil dan hubungan harmonis dengan pemerintah
yang lebih tinggi?
2

Seberapa besar pengaruh yang nyata Otonomi Daerah menurut UU
No.32

Tahun

2004

terhadap:

Ketatapemerintahan

yang

baik,

Perencanaan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat Wilyah Pesisir
Kabupaten Langkat?
3

Bagaimanakah

pengaruh

kepemerintahan

yang

baik,

Perencanaan

Partisipatif, Pemberdayaan Masyarakat dan Hubungan harmonis dengan
Pemerintah

yang

lebih

tinggi

terhadap

Pembangunan

Wilayah

Masyarakat Pesisir Kabupaten Langkat?

11

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Otonomi daerah adalah perwujudan desentralisasi yaitu yang merupakan
penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara,
untuk mengatur dan mengurusi urusan rumah tangganya, mulai dari
kebijakan perencanaan, implementasi dan evaluasi di berbagai bidang
seperti:

keuangan,

kepegawaian,

kelembagaan

untuk

mewujudkan

pelayanan dan demokrasi.
Dari konsep organisasi dan manajemen hakikat desentralisasi dan otonomi
daerah adalah efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu
faktor kesiapan otonomi daerah yang tercermin dari kesiapan birokrasi
(X1), desentralisasi kebijakan (X2), kreativitas aparatur (X3), dapat
dipandang sebagai faktor utama untuk menggerakkan otonomi yang
responsif, cepat, efektif, inovatif terhadap tuntutan masyarakat yang selalu
berubah

dan

kompleks

melalui

active

administration.

Wujud

penyelenggaraan otonomi daerah seperti itu akan menciptakan Good
Governance (X4); perencanaan partisipatif (X5), pemberdayaan masyarakat
(X6), secara sinergis mempengaruhi pembangunan masyarakat wilayah
pesisir (Y).
Dalam

sistem

pemerintahan

Indonesia,

prinsip

penyelenggaraan

pemerintahan daerah dilaksanakan, selain asas desentralisasi dilaksanakan
dengan asas dekonsentrasi dan tugas perbantuan (medebewind). Asas
desentralisasi secara utuh dilaksanakan di daerah dan kota. Pelaksanaan
asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi, sedang asas tugas
perbantuan dapat di laksanakan di daerah provinsi, kabupaten kota dan
desa. Oleh karena itu kondisi eksternal dalam hal ini hubungan pemerintah
daerah kabupaten dengan pemerintah yang lebih tinggi (X7), sudah barang
tentu tidak dapat di abaikan. Secara bersama-sama dengan X4, X5, X6,
mempengaruhi keberhasilan Y.

12

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

Variabel X4
Good Governance (GG)
Participation
Rule of law
Transparancy
Concencus orientation
Acountability
Strategic vision
Responsiveness
Equity
Effectiveness and efficiency

KESIAPAN
BIROKRASI

Variabel X5
Perencanaan Partisipatif (PP)

DESENTRALIS
ASI
KEBIJAKAN
KESIAPAN
APARATUR

Kemandirian
Aspiratif
Otorisasi
Keterlibatan

Pembangunan Masyarakat Wilayah Pesisir
Berkelanjutan (PMWP)
Variabel Y
-

Kreatifitas
Perilaku

Pendapatan
Keadaan Sosial Ekonomi
Sarana prasarana Sektor Pesisir
Pemerataan
Kelestarian Lingkungan

Variabel X6
Pemberdayaan Civil Society (PCS) /
Pengemb kelembagaan
Kelembagaan
Otonom/ mandiri
Akses masyarakat
Solidaritas
Toleransi

Kerjasama

Budaya Partisipatif

Variabel X7
Kondisi Ekternal Desentralisasi (KEDP)
Hubungan dengan pemerintah yang lebih tinggi
Administrasi
Kebijakan
Keuangan

Gambar 1.
Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Desentralisasi
Dan Pembangunan Masyarakat Pesisir
Keterangan:
=

Variabel Eksogen atau Variabel X; Kesiapan Birokrasi
Desentralisasi Kebijakan (X2) dan Kesiapan Aparatur (X3).

(X1),

=

Varabel Endogen terdiri dari variabel Good Governance (X4), Variabel
Perencanaan Partisipatif (X5), Variabel Pemberdayaan Civil Society
(X6) dan Variabel Kondisi Ekternal (X7).

=

Variabel Endogen Utama yaitu Variabel Y.

=

Dimensi/Indikator yang dianalisis melalui pendekatan kualitatif.

13

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

Dari diagram di atas dapat dilihat model hubungan antar variabel melalui
arah-arah panah dengan dimensi atau indikator masing-masing.
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui: Kepemerintahan yang baik (GG),
Perencanaan Partisipatif(PP), Kekokohan Masyarakat Sipil (PCS),dan
Kondisi Eksternal Desentralisasi (KEDP), mempengaruhi Pembangunan
Masyarakat Wilayah Pesisir.
2. Ada pengaruh signifikan antara otonomi daerah terhadap Good
Governance (kepemerintahan yang baik), perencanaan partisipatif dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Ada pengaruh yang signifikan antara Good Governance, Perencanaan
Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pembangunan
Masyarakat Pesisir.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1. Hasil Analisis Data Deskriptif
Tabel 1. Deskripsi Rekapitulasi
Variabel Penelitian

Persentase

Penilaian

Respoden

No.

Variabel Penelitian

Total
Skor

% Persetujuan

Ket.
Peringkat

1
2
3
4
5
6
7

Kesiapan Birokrasi X1
Desentralisasi Kebijakan X2
Kreativitas Aparatur X3
Good goverance X4
Perencanaan Partisipatif X5
Pemberdayaan Masyarakat X6
Hubungan Pemda dengan
Pemerintah X7
Pembangunan Masyarakat
Wilayah Pesisir Y

880
715
696
735
967
961
947

70%
56%
56%
60%
78%
78%
76%

Sedang
Jelek
Jelek
Jelek
Bagus
Bagus
Bagus

699

56%

Jelek

8

Sumber: Hasil Analisis Data Deskriptif Penelitian.

Keterangan:
Sangat Bagus
Bagus
Sedang
Jelek

14

:
:
:
:

> 80%
70 – 80%
60 – 70%
< 59%

per

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

2. Hasil Analisis Data Kuantitatif dan Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil perhitungan analisis jalur, struktur hubungan dapat
digambarkan sebagai berikut:

Kesiapan
Birokrasi
(X1)

0,185
Good
Governance
(X4)

0,842

0,179

-0,180
0,116

0,307
Desentralisasi
Kebijakan (X2)

Perencanaan
Partisipatif (X5)

0,259

0,224

Pembangunan
Masyarakat
Wilayah
Pesisir (Y)

0,059
Tdk Sig
0,317
0 623

0,570
0,475
0,590
Kesiapan
Aparatur
(X3)
Iimplementasi OTDA

0,224

0,618

Pemberdayaan
Civil Society
(X6)

0,113

-0,001
Tdk Sig

Kondisi
Eksternal (X7)
Budaya
partisipatif

Gambar 2. Hasil Analisis Data dan Analisis Jalur

Berdasarkan hasil perhitungan analisis jalur struktur tersebut dapat
dijelaskan secara berurutan sesuai dengan hipotesis yang ditetapkan adalah
sebagai berikut:
Kerangka hipotesis (1) dibuktikan melalui persamaan struktural:
Y = α1 X1 + α2 X2 + α3 X3 + α4 X4 + α5 X5 + α6 X6 + α7 X7 + ε
Y = -0,180 + 0,59 – 0,01 + 0,225 + 0,331 + 0,550 + 0,170 + ε
ε=

1− R2

= 1 − 0,727
= 0,52

15

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

Penjelasan:
1. Besarnya kontribusi kesiapan birokrasi pada saat ini secara empiris
menunjukkan hasil negatif (- 0,180) kalau dihubungkan langsung
dengan pembangunan masyarakat wilayah pesisir di Kabupaten
Langkat.
2. Desentralisasi kebijakan dan kesiapan aparatur tidak memberi
pengaruh secara nyata secara empiris terhadap pembangunan
masyarakat wilayah pesisir apabila dihubungkan secara langsung.
3. Besarnya pengaruh ketatapemerintahan yang baik secara langsung
dengan pembangunan masyarakat wilayah pesisir adalah 0,1162 =
1,4%.
4. Besarnya pengaruh perencanaan partisipatif secara langsung dengan
pembangunan masyarakat wilayah pesisir adalah 0,3312 = 11%.
5. Besarnya pengaruh pemberdayaan masyarakat secara langsung
terhadap pembangunan masyarakat wilayah pesisir adalah 0,5502 =
30%.
6. Besarnya pengaruh hubungan harmonis dengan pemerintah yang lebih
tinggi adalah 0,172 = 2,9%.
7.

ε = 1− R2
= 52%

Kerangka Hipotesis (2.1) dibuktikan melalui persamaan:
X4 = α 1 X1 + α 2 X2 + α 3 X3 + ε
X4 = 0,185 + 0,179 + 0,570 + ε
ε

=
1− R2
= 0,68

Penjelasan:
1. Besarnya pengaruh kesiapn birokrasi secara langsung terhadap
kepemerintahan yang baik adalah 0,1852 = 3,33%.
2. Besarnya pengaruh desentralisasi kebijakan terhadap kepemerintahan
yang baik secara langsung adalah 0,179 2 = 3,2%.
3. Besarnya pengaruh kesiapa aparatur terhadap kepemerintahan yang
baik secara langsung adalah 0,5702 = 32,5%.
4. ε = 68%.
Kerangka Hipotesis (2.2.) dibuktikan melalui persamaan:
X5 = α 1 X1 + α 2 X2 + α 3 X3 + ε
X5 = 0,307 + 0,259 + 0,590 + ε
ε

=

1 − 0,536

= 68%

16

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

Penjelasan:
1. Pengaruh kesiapan birokrasi terhadap perencanaan partisipatif secara
langsung adalah: 0,3072 = 9,4%.
2. Pengaruh desentralisasi kebijakan dengan perencanaan partisipatif
secara langsung adalah: 0,2592 = 6,7%.
3. Pengaruh kesiapan aparatur pemerintah terhadap perencanaan
partisipatif secara langsung adalah: 0,5902 = 35%.
4. ε = 68%.
Kerangka Hipotesis (2.3) dibuktikan melalui persamaan:
X6 = α 1 X1 + α 2 X2 + α 3 X3 + ε
X6 = 0,317 + 0,475 + 0,493 + ε
ε

=

ε =

1− R2
1 − 0,422

= 0,76
Penjelasan:
1. Pengaruh kesiapan birokrasi terhadap pemberdayaan masyarakat secara
langsung adalah 0,3172 = 10%.
2. Pengaruh desentralisasi kebijakan terhadap pemberdayaan masyarakat
secara langsung adalah 0,4752 = 23%.
3. Pengaruh kesiapan aparatur terhadap pemberdayaan masyarakat secara
langsung adalah 0,4932 = 24%.
4. ε = 76%.
Kerangka Hipotesis (3) dibuktikan melalui persamaan:
Y = α 4 X4 + α 5 X5 + α 6 X6 + α 7 X7 + ε
Y = 0,116 + 0,224 + 0,618 + 0,113 + ε
ε

=

1− R2

=

1 − 0,710 = 0,54

Penjelasan:
1. Besarnya pengaruh kepemerintahan yang baik terhadap pembangunan
masyarakat wilayah pesisir secara langsung adalah: 0,1162 = 1,4%.
2. Besarnya pengaruh perencanaan partisipatif terhadap pembangunan
masyarakat wilayah pesisir secara langsung adalah: 0,2242 = 5%.
3. Besarya pengaruh pemberdayaan masyarakat terhadap pembangunan
masyarakat wilayah pesisir secara langsung adalah: 0,6182 = 38%.
4. Besarnya pengaruh hubungan harmonis dengan pemerintah yang lebih
tinggi secara langsung adalah 0,113 = 1,2%.
5. ε = 54%.

17

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

PENUTUP
Hadirin yang saya muliakan,
Hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan mengarahkan,
implementasi
otonomi
daerah
hendaknya
dikembangkan
dengan
mengaplikasikan Good governance, Perencanaan Partisipatif, Pemberdayaan
masyarakat, dalam hal ini pemerintah tidak perlu secara langsung
mengayuh tetapi lebih baik mengambil posisi sebagai pengatur atau
penyetir sesuai dengan pandangan UNDP dalam konsep pengembangan
good governance. Pemerintah harus mengakui bahwa dirinya tidak
profesional untuk mengurusi berbagai masalah terutama yang berhubungan
dengan kegiatan masyarakat secara langsung, oleh karena itu yang perlu
dikembangkan adalah bagaimana menyetir dengan konsep goog
governance, perencanaan partisipatif dengan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai kristalisasi nilai-nilai reformasi, tuntutan daerah dan masyarakat,
UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah sudah barang tentu akan
memberikan peluang dan kesempatan besar bagi daerah dalam
melaksanakan pembangunan apabila dapat dikelola dengan baik dan tepat.
Akan tetapi hasil analisis penelitian menekankan agar kepemerintahan
dapat dilaksanakan dengan mengikuti diagram jalur (path) model hasil
analisis
dan
pembahasan
yang
ditemukan
untuk
memperbaiki
kecendrungan pola perilaku administrasi yang dilakukan selama ini. Adapun
diagram jalur tersebut adalah sebagai berikut:
GOOD
GOVERNANCE

KESIAPAN
BIROKRASI
(X1)

PERENCANAAN
PARTISIPATIF

DESENTRALISA
SI KEBIJAKAN
(X2)

PMWP
(Y)

PEMBERDAYAA
N

KESIAPAN
APARATUR
(X3)

Implementasi OTDA

KONDISI
EKSTERNAL

Aktive administration mewujudkan
pendekatan-pendekatan berbasis
masyarakat/publik

Mencerminkan :
1. Pendekatan Kolaboratif
2. Kreatifitas
3. Kemandirian
4. Masyarakat sebagai subjek
5. Goverment is Us

Gambar 3.
Implikasi dan Rekomendasi Jalur Hubungan antar Variabel
Hasil Penelitian

18

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

Dengan model anjuran diagram jalur ini, pengembangan kepemerintahan
pendekatan desentralisasi akan terwujud dengan baik melalui active
administration.
Active
Administration
adalah
pendekatan
yang
dikembangkan dengan bertumpu pada masyarakat. Active administration
dapt menjadi ruh pendekatan kolaboratif dalam mensinergikan antar
stakeholder pembangunan, menghidupkan kreativitas dengan pendekatan
perencanaan
partisipatif
serta
kemandirian
mayarakat
melalui
pemberdayaan masyarakat, yang akan mengaplikasikan konsepsi
government is us, artinya otonomi daerah harus dilihat sebagai
pelembagaan politik, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menggunakan
hak-hak politiknya (Islamy, 2001).
Dalam hal ini, otonomi daerah menjadi instrumen yang penting untuk
menyuarakan berbagai persoalan sosial ekonomi masyarakat lokal, seperti
masalah pengangguran, kemiskinan dan sebagainya, harus dapat ditangkap
dengan baik oleh administrasi serta dapat diselesaikan dengan pendekatan
active administration yang berbasis pada masyarakat/publik sesuai dengan
perkembangan dan hakekat otonomi daerah.
Hal tersebut juga didukung oleh hasil analisis regresi dan jalur, yang
menunjukkan
bahwa,
pendekatan
birokrasi
Weberian
(Scientific
Management), yang lebih melihat pengembangan kepemerintahan secara
internal dan mekanistis, tidak membawa hasil dalam dinamika tuntutan
pembangunan pada saat ini, namun yang diharapkan adalah sebuah model
yang membuka pembangunan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu,
temuan penelitian ini sangat mendukung, konsep Y.C Yen, Go to the People,
Live among the people, learn with the people dan seterusnya dalam
pembangunan. Dengan upaya seperti ini, sensitifitas administrasi publik
dalam wujud active administration dengan pengembangan pendekatan
desentralisasi kebijakan-kebijakan dapat melembagakan pendekatan good
governance, perencanaan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat serta
pada akhirnya menumbuhkembangkan pembangunan berkelanjutan. Hal
inilah secara timbal balik antara praktis dan konsep menjadi peluang dan
tantangan untuk mewujudkan tingkat validitas dan relevansi administrasi,
secara bersinergis bagi pengembangan ilmu administrasi menuju sosok
eksistensi keilmuan yang sensitif dan komit terhadap pembangunan
masyarakat secara berkelanjutan. Dalam sosok seperti ini, Ilmu
Administrasi akan memiliki kompetensi pembangunan kemasyarakatan
secara berkelanjutan. Oleh karena itu ketidakmampuan birokrat
menjembatani masyarakat dalam hal perencanaan partisipatif atau enabling
social setting, pemberdayaan masyarakat seperti yang ditemukan melalui
hasil penelitian ini, tidak sejalan dengan hakekat dan tuntutan otonomi

19

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

daerah dapat menjadi gap, antara perkembangan ilmu administrasi dengan
prakteknya. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, dalam hal mana
akan dapat diselesaikan melalui aplikasi hakekat ilmu administrasi publik itu
sendiri.

UCAPAN TERIMA KASIH
Hadirin yang saya muliakan,
Dalam perjalanan karier saya sebagai akademisi hingga pada saat ini,
banyak pihak yang telah memberikan kontribusi baik secara langsung
ataupun tidak langsung dalam keberhasilan yang telah saya capai. Untuk itu
izinkanlah saya dengan segala hormat untuk mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof.
Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SPA(k) yang telah memberikan banyak
kemudahan melalui kesempatan, dorongan, dan dukungan moral
maupun moril sehingga saya dapat mencapai pendidikan doktor dan
menjadi guru besar di FISIP USU. Demikian juga, Beliau sebagai
Mahaguru saya, yang telah banyak memberikan inspirasi akademis,
semangat dan ketenangan jiwa. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa melimpahkan suka cita untuk bapak dan keluarga.
2. Yang
terhormat
Alm.
Prof.
Adham
Nasution
yang
telah
merekomendasikan saya menjadi salah seorang dosen di FISIP USU,
serta mendorong saya segera mengikuti Program Pendidikan
Pascasarjana (S-2).
3. Ucapan terima kasih kepada Dekan FISIP USU Bapak Prof. Dr. M Arif
Nasution, MA, yang telah mendorong, memotivasi, dan merekomendasi
saya untuk mengikuti program pendidikan Doktor (S-3). Demikian juga
atas arahan dan bimbingan akademis yang diberikan dalam peranan
sebagai salah seorang promotor saya dalam program pendidikan S-3
cukup memaknai keberhasilan saya. Untuk itu saya ucapkan terima
kasih.
Demikian juga kepada para mantan Dekan FISIP USU, Alm. Prof Adham
Nasution, Almarhumah Prof. Dr. Asma Affan M.P.A., Bapak Drs. Amru
Nasution, M.Kes. dan Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D. serta keluarga besar
FISIP USU sebagai bagian dari hidup dan karier saya selama ± 29
tahun.
4. Kepada guru-guru saya dari SD 1 Pagar Jati, SMP Negeri 1 Sidikalang,
SMP RK. Lubuk Pakam dan SMA Negeri 223 Lubuk Pakam serta para

20

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

dosen dan pembimbing saya di FISIP USU, Almarhum Prof. Adham
Nasution, Almarhum Drs. J. W. Jebua, Almarhum Drs. G.H. Simatupang.
Pembimbing saya di Pascasarjana UGM Alm. Prof. Dr. Moeljarto, M.P.A.,
Alm. Prof. Soepomo, Prof. Dr. Budiwinarno, M.A. dan para dosen saya
antara lain: Prof. Dr. Amien Rais, M.A., Alm. Prof. Dr. Affan Gaffar,
M.A., Prof. Dr. Moctar Mas’ud, M.A., Alm. Prof. Dr. Riswanda Imawan,
Prof. Dr. Miftah Thoha, M.P.A., Prof. Dr. Sofyan Effendy, M.P.A., Prof.
Dr. Agus Dwianto, M.A., Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A. dan Prof. Yahya
Muhaimin, M.A.
Promotor dan co promotor saya di Program Doktor S-3 Perencanaan
Wilayah USU Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Dr. Arif
Nasution, M.A., Prof. Dr. Ramli, M.S., Dr. Ardian, M.A. serta para dosen
saya: Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SPA(k), Prof. Dr. Ir. Rahim
Matondang, M.S.I.E., Prof. Dr. Affandy, M.Sc., Dr. Polin Pospos dan lainlain. Untuk ketulusan para guru dan pembimbing/promotor yang saya
muliakan, saya ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya.
5. Kepada seluruh sahabat-sahabat saya yang tidak mungkin saya
sebutkan satu per satu pada masa pendidikan SD, SMP, SMA, dan
Administrasi Negara FISIP USU, Administrasi Pascasarjana UGM,
Program Doktor S-3 Perencanaan Wilayah Angkatan I USU tahun 2004.
6. Kepada sahabat-sahabat saya khususnya di FISIP USU dan lebih khusus
di Administrasi Negara.
7. Kepada Kepala Balitbang Provinsi Sumatera Utara, Bapak T. Azhar Aziz
serta staf atas dorongan dalam masa-masa studi S-3 dan dukungan
yang tak ternilai bagi saya.
8. Kepada Jemat GKPI Padang Bulan Medan, Bapak Pdt. Jones L. Tobing,
S.Th. Pdt. Simson Tarigan, S.Th., Pdt. Mega Br. Aritonang, S.Th., Pdt.
Kumala Tobing, S.Th., Bapak Guru Jemat St. M.L. Tobing, S.Th., dan
semua parhalado, terima kasih atas dukungan doa.
9. Terima Kasih juga saya sampaikan kepada Panitia Pengukuhan yang
telah memberikan waktunya yang sangat berharga, sehingga dapat
terselenggaranya acara pengukuhan ini.
10. Hadirin yang saya muliakan jabatan akademik Guru Besar yang saya
capai ini tidak mungkin tercapai tanpa doa dan dukungan seluruh
keluarga yang saya cintai, untuk itu izinkanlah saya menyampaikan
ucapan terima kasih dan hormat saya dihadapan sidang yang terhormat
ini.
Kepada Ayahanda dan Ibunda (Bapak dan Omak) saya, yang saya sayangi
dan banggakan; OP. Boy. Bapak saya J. Sihombing dan Omak saya D. Br.
Nadapdap, terimalah ucapan terima kasih ananda yang saya sampaikan dari
lubuk hati yang paling dalam, atas doa, kasih pengorbanan dalam

21

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

membesarkan dan mendidik ananda sehingga dapat mencapai jabatan
akademik tertinggi Guru Besar. Kiranya Tuhan memberikan sukacita,
kesehatan dan umur yang panjang untuk kalian, Tuhan memberkati.
Demikian juga kepada mertua saya Bapak ST. T. Simanjuntak dan Ibu Alm.
T. Br. Pasaribu dan D. Br. Siagian, saya mengucapkan terima kasih atas
segala doa dan kasih yang diberikan sehingga ananda dapat menyelesaikan
pendidikan Doktor dan mencapai jabatan Guru Besar. Kepada istri saya
yang tercinta Ernawaty Debora, S.Sos., saya menyampaikan hormat dan
terima kasih atas cinta kasih, kasih sayang, doa, pegorbanan,
kebersamaan, kesabaran, kesetiaan dalam menghadapi suka dan duka,
kiranya Tuhan senantiasa membaharui cinta dan kasih sayang kita, untuk
sehidup semati mengayuh bahtera keluarga yang telah kita bina selama 23
tahun lebih.
Demikian kepada anak-anak kami tersayang dan saya banggakan, Boy
Reonaldi, Hosiana Ayu Hidayati, dan Erma. Bapak mengucapkan cinta dan
kasih sayang yang tulus untuk kalian bertiga. Rajin belajar, senantiasa
berdoa kepada Tuhan, maka cita-citamu juga akan tercapai.
Demikian juga kepada semua keluarga “adek-adek saya dan Lae-Lae”, saya
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan perhatian kalian semua.
Akhirnya, kepada seluruh hadirin dan undangan sekalian yang telah dengan
penuh sabar dan perhatian untuk mengikuti keseluruhan acara ini, untuk itu
saya juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan mohon
maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa
memberkati. Amin.

22

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Bardach, Eugene, 1979, The Implementation Game: What Happens After a
Bill Becomes a Law, MIT-Press, Cambridge.
,1980, Implementation Studies and The Study of Implements,
American Political Science Association, Washington.
Bengen, Dietrech, 2004, Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut
Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosial Sistem, Pusat Pembelajaran,
Makasar.
Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Cernea, Michael M, 1988, Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembangunan
(Edisi Indonesia), UI Press, Jakarta.
Cohen dan Uphoff, 1977, Rural Development Participation; Concept and
Measurement for Project Design Implementation, and Evaluation,
Cornell University, New York.
Dye, Thomas, R. 1981, Understanding Public Policy, (fourth edition),
Prentice Hall Inc, USA.
Effendi, Sofyan, Pelayanan Publik, Pemerataan dan Administrasi Negara
Baru, Prisma No. 12, 1986.
Edwards III, George C, 1980, Implementating Public Policy, Congressional
Quartely, USA.
Eka, Chandra, Dkk, 2003, Membangun Forum Warga, Akatiga.
Faza, Soraya, 2004, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Gunawan, Jamil, Dkk, 2005, Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal,
LP3ES, Jakarta.
Hariyoso, S, H, 2002, Pembaruan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik,
Peradaban, Bandung.

23

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara

Haris, Syamsudin, 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI-Press,
Jakarta.
Henry, Nicholas, 1980, Public Administration and Public Affairs (second
edition), Prentice-Hall, Inc, USA.
Hidayat, Syaraif, Dkk, 2001, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pustaka
Quantum, Jakarta.
Hossein, Bhenjamin dkk, 2005, Naskah Akademik Tata Hubungan
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, FISIP UI, Jakarta.
Imawan Riswanda, 2002, Hakekat Desentralisasi, Makalah Seminar.
Indradi, Syamsiar Syamsudin, 2006, Mewirausahakan Birokrasi Untuk
Mensejahterkan Masyarakat, Brawijaya Press, Malang.
Islamy, M Irfan, 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat dalam
Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah.
Jala, 2002, Masyarakat Pinggiran Yang Kian Terlupakan, Khopalindo,
Jakarta.
Juliantara, dkk., 2006, Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan dan Praksys,
Pondok Edukasi, Bantul.
Korten, D.C. & Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan (Edisi
Indonesia), Yayasan Obor, Jakarta.
, 1984, Pembangunan Yang Memihak Rakyat; Kupasan Tentang Teori
dan Metode Pembangunan, LSP, Jakarta.
_____, 2002, Menuju Abad Ke-21, Tindakan Suka Rela dan Agenda Global,
Yayasan Obor, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga,
Jakarta.
Mardiasmo, 2002,
Yogyakarta

24

Otonomi

&

Manajemen

Keuangan

Daerah,

Andi,

Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi dalam Implementasi
Otonomi Daerah di Indonesia

Miraza, Bachtiar Hassan, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
ESEI, Bandung.
Mochtar, MS Hilmy, 2005, Politik Lokal dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Muluk, Khairul, 2007, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan
Daerah, FIA Unibraw, Malang.
______, 2006, Desentalisasi Pemerintahan Daerah, Bayu Media, Malang.
Nugroho, Iwan dan Roehim, Dahuri, 2004. Pembangunan Wilayah Prespektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakart