Prospek dan Tantangan Implementasi Pasar

Addinul Yakin

Fakultas Pertanian, Universitas Mataram Jl. Majapahit 26 Mataram, NTB, Indonesia 83125 Email: [email protected] ; [email protected] ; Mobile phone: 081339530987

ABS TRAK

Hutan di kawasan ASEAN mempunyai peranan vital bagi pembanguan sosial, ekonomi dan ekologis kawasan dan global. Namun demikian, kawasan ini menghadapi tekanan yang besar akibat deforestasi dan degradasin hutan yang masih mengkhawatirkan. Upaya-upaya kolektif secara internasional dan regional telah berkembang dengan lahirnya Protokol Kyoto dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada 1997 di bawah UNFCCC. Proyek-proyek aforestasi dan reforestasi (A/R CDM) dan REDD+ dapat menyediakan ragam benefit bagi negara-negara ASEAN kalau berpartisipasi baik dalam pasar timber maupun pasar karbon. Secara kolektif, negara-negara ASEAN telah mengembangkan serangkain kebijakan baik penguatan kelembagaan internal ASEAN antara lain ASEAN Multi- Sectoral Framework on Climate Change: Agriculture and Forestry Towards Food Security (AFCC), the Forest Monitoring for Action -FORMA) dibawah the Center for Global Development (CGD), serta memperkuat inteaksi yang positif dengan the United Nation Forum on Forests (UNFF) ASEAN antara lain dengan terbentuknya Caucus on Forestry di bawah the UNFF, serta mengoptimalkan pemanfaatan mekanisme multilateral dan bilateral yang tersedia dalam menyiapkan, melaksanakan, serta perwujudan pembayaran karbon dalam konteks REDD+. Dengan skenario

menghindari deforestasi sebesar 50 % dengan harga US$ 5 per ton CO 2 , kawasan ASEAN akan memperoleh sebesar US$ 2.696,82 juta (96% dari 10 negara dengan potensi REDD+ tertinggi). Estimasi pembiayaan dari alokasi global tahun 2010-2012, negara- negara ASEAN akan memperoleh permbiayaan sebesar US$ 701,70 jut, di mana US$527,88 juta (75,23 %) dialokasikan untuk Indonesia berasal dari mekanisme multilateral dan bilateral. Hasil kajian yang ada tentang potensial benefit ekonomi dan lingkungan dari kebijakan dan program terkait REDD, termasuk potensi penerapan instrumen karbon cukup prospektif, tetapi masih harus terus dikaji terutama terkait dengan kelayakan implementasinya. Selain itu, ragam tantangan baik tataran internasional, regional, dan tingkat pelaksana, misalnya kontroversi internasional tentang factor penyebab pemanasan global, kelayakan program A/R CDM, kompleksitas data dan informasi terkait, keberadaan CER, serta hak pemilik lahan kecil dalam menikmati benefit karbon, harus terus diupayakan jalan keluarnya bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan.

Kata Kunci: deforestasi, perubahan iklim, pemanasan global, aforestasi, reforestasi, mekanisme pembangunan bersih (CDM), pasar karbon, protokol Kyoto.

1. Latar Belakang Hutan di kawasan Asia Tenggara merupakan sumberdaya utama bagi pembangunan sosial,

ekonomi, dan lingkungan karena ratusan juta penduduk di kawasan ini sangat tergantung pada kawasan hutan untuk kehidupan mereka. Selain itu, perdagangan dan ekspor hasil hutan berkontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi kawasan. Karena kawasan ini memiliki kawasan lindung yang luas dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi menjadikannya sangat penting untuk melindungi tanah, memastikan suplai air, serta memelihara iklim global. Namun demikian, sektor kehutanan menghadapi

1 Disampaikan pada Seminar Nasional “Optimalisasi Integrasi Menuju Komunitas ASEAN 2015”, Kerjasama Ditjen Kerja Sama ASEAN, Kemenlu RI dan Universitas Mataram di Grand Legi, Mataram, Sabtu 10 Desember 2011.

masalah dan tantangan yang serius, terutama karena deforestasi, devegetasi, serta degradasi hutan yang masih tinggi sebagai akibat dari tekanan yang meningkat dari pertumbuhan penduduk, perluasan lahan pertanian, kemiskinan, serta penggunaan yang eksesif dan tidak efisien dari sumberdaya hutan.

Masalah deforestasi dan degradasi hutan dipandang sebagai salah satu penyebab utama terjadinya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gasses, GHG) antropogenik, pada lapisan bagian bawah atmosfir (troposfir) yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Para ilmuwan mengestimasi bahwa

temperatur rata-rata global telah meningkat antara 0.3 0 sampai 0.6 0 C selama 100 tahun yang lalu dan diperkirakan pada tahun 2100 temperatur rata-rata bisa meningkat antara 1 0 C sampai 3.5 °C (Dickens dan Murphey 1998; Oberthür dan Ott 1999), yang selanjutnya mengakibatkan adanya perubahan iklim global (global climate change). Perubahan iklim ini diduga memengaruhi suplai bahan pangan, mengubah musim tanam, meningkatnya insiden hama dan penyakit tanaman, menurunnya suplai air, memaksa manusia untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak-dampak perubahan iklim tersebut.

Respon terhadap kekhawatiran global tersebut telah diwujudkan dalam bentuk aksi kolektif internasional, utamanya diadopsinya kerangka UNFCCC pada tahun 1992, yang kemudian melahirkan Protokol Kyoto serta Mekanisme Pembangunan Bersih (the Clean Development Mechanism, yang selanjutnya disingkat CDM) pada tahun 1997. Dengan CDM, negara-negara industri yang berkomitmen untuk pengurangan GHG dapat menginvestasikan proyek-proyek yang mengurangi emisi di negara-negara berkembang sebagai suatu alternatif dari pengurangan emisi yang lebih mahal di negara-negara mereka. Suatu fitur penting dari proyek karbon CDM yang disetujui adalah bahwa program reduksi emisi yang direncanakan akan diberikan insentif tambahan (additionality) yang disediakan oleh kredit reduksi emisi dalam suatu mekanisme pasar karbon. Selain itu, CDM bisa membantu mengidentifikasi biaya kesempatan terendah untuk mengurangi emisi dan menarik partisipasi sektor swasta dalam usaha-usaha pengurangan emisi. Dalam jangka panjang, Zomer et al. (2008) menilai bahwa Protokol Kyoto dengan CDMnya tidak hanya akan menjadi instrumen penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan biaya yang efektif, tetapi juga bisa membantu negara-negara berkembang untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dengan ragam tujuan seperti pengurangan kemiskinan dan peningkatan benefit lingkungan.

Dengan demikian, CDM adalah suatu fasilitas untuk perdagangan reduksi emisi yang tersertifikasi ( certified emission reduction- CER) antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Elemen penting dari keberhasilan CDM adalah dengan diterapkannya instrument pasar karbon di mana para pembeli CER adalah negara-negara maju dan penjualnya adalah negara-negara berkembang. Perdagangan karbon merupakan tahap akhir dari serangkaian proses mulai dari formulasi proyek, implementasi proyek yang berhasil, dan akhirnya memperoleh sertifikasi kelayakan berdasarkan syarat dan ketentuan CDM. Dalam hal ini, mekanisme ini menawarkan peluang-peluang untuk negara-negara berkembang berkolaborasi dengan negara-negara maju dalam usaha global untuk mengatasi dampak-dampak negatif dari perubahan iklim melalui proyek penimbunan karbon.

Salah satu jenis proyek umum yang memiliki kualifikasi untuk CDM adalah proyek sukuestrasi- penimbunan karbon (sequestration projects) yang mengurangi emisi gas rumah kaca (Mendis dan Openshaw, 2004) di mana proyek-proyek hutan tropis cukup menjanjikan untuk keperluan tersebut

(Unruh, 2008) sehingga memberikan kesempatan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek aforestasi 2 dan reforestasi 3 - A/R CDM (Mendis dan Openshaw, 2004), yang bisa menyediakan benefit konservasi dan pembangunan ekonomi bagi negara pelaksananya (Anonymous, 2005) yang menawarkan kesempatan kredit karbon yang terkait dengan penggunaan akhir dari produk hutan (Shin et al., 2008).

Dalam perkembangan terakhir, CDM Protokol Kyoto telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. CDM telah melalui suatu batu loncatan baru, yang merefleksikan kesuksesan dan melipatgandakan usaha-usaha untuk mengembangkan mekanisme tersebut. Sampai saat ini, proyek-proyek CDM telah menghasilkan lebih dari 135 juta CER. Mekanisme tersebut diharapkan untuk menghasilkan 2,7 milyar CER dalam periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto. Protokol Kyoto sampai saat ini mempunyai 178 anggota. Di bawah protokol tersebut, 37 negara yang terdiri dari negara-negara industri terkemuka dan negara-negara yang sedang berlangsung proses transisi pada suatu ekonomi pasar, telah secara hukum mempunyai komitmen reduksi dan pembatasan emisi yang mengikat (UNFCCC, 2008).

Dalam pada itu, karena isu-isu kehutanan cendrung bersifat interdisipliner dan lintas sektor dan mempunyai dampak baik terhadap regional dan global, maka perlu ada upaya dan kegiatan kolektif baik dalam tataran regional (ASEAN), maupun dengan lembaga-lembaga regional lain dan internasional. Pada tingkat kawasan, negara-negara anggota harus bisa melaksanakan komitmen internasional masing-masing secara penuh dan efektif dengan mendayagunakan sumberdaya yang ada serta menghilangkan kendala- kendala sumberdaya yang dihadapi selama ini. Komitmen politik harus terus dikembangkan di kalangan pengambil kebijakan (policy makers) dan direalisasikan dalam rangka melanjutkan upaya pengelolaan hutan berkelanjutan. Oleh karena itu, program REDD+, yaitu selain pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, juga melalui konservasi stok karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan sebagai pendekatan baru untuk mitigasi perubahan iklim sekaligus sebagai sumber pembiayaan bagi pembangunan pedesaan berkelanjutan di kawasan ASEAN serta mengamankan jasa ekosistem yang memberikan benefit untuk lokal, regional, dan global.

Namun demikian, terdapat banyak pekerjaan dan pengkajian yang dibutuhkan oleh ASEAN dalam membangun saling kepahaman yang lebih baik dan menyampaikan isu-isu kehutanan pada arena internasional. Implementasi lokal seperti penertiban dan pengetutan operasi pembalakan dan aktivitas pengelolaan hutan perlu ditingkatkan lagi melalui upaya-upaya dan regulasi yang lebih baik. Oleh karena itu, mengingat pentingnya serta kompleksitas persoalan yang menyertai pelaksanaan pasar karbon dalam konteks A/R CDM dan REDD+ , maka tulisan ini akan mendiskusikan secara ekstensif tentang 3(tiga) hal

2 Aforestasi (afforestasion) adalah proses penanaman jumlah pohon yang banyak pada lahan yang sedikit atau tidak ada pohon

sama sekali. 3 Reforestasi (reforestation) adalah proses penanaman pohon-pohon kayu pada lahan yang sebelumnya memang biasanya

terdapat pohon-pohon kayu, pada lahan hutan yang telah gundul atau sedikit pohon kayu.

penting, yaitu (1) bagaimana potensi dan peran kawasan ASEAN dalam upaya mitigasi iklim global, melalui REDD+ dalam perspektif kebijakan dan ekonomi; (2) mengkaji seberapa besar potensi benefit ekonomi dan non-ekonomi dari instrumen pasar karbon; (3) mengidentifikasi isu-isu teknis dan kelembagaan terkait dengan keberlanjutan dan keberhasilan instrumen pasar karbon dalam konteks pembangunan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.

2. ASEAN bagi Mitigasi Perubahan Iklim Global dalam Perspektif Kebijakan dan Ekonomi Kawasan hutan ASEAN tidak hanya memiliki potensi yang besar baik bagi pembangunan ekonomi,

sosial, dan ekologis kawasan ASEAN, tetapi juga dapat memberikan andil yang signifikan terhadap upaya- upaya mitigasi dampak perubahan iklim global. Sampai tahun 2005, total wilayah kawasan mencapai 4.4

juta km 2 , dengan populasi sekitar 439 juta orang. Tutupan hutan mencapai 203 juta hektar (2,03 juta km 2 ), atau sekitar 45 % dari luas kawasan ASEAN) dan tiga negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina adalah termasuk dalam 17 negara dengan keragaman hayati yang luar biasa. Meskipun kawasan ASEAN hanya 3% dari total permukaan bumi, 20 % dari semua spesies (di gunung, hutan, sungai, danau, dan laut) yang diketahui dunia ditemukan di kawasan ini. Namun demikian, sebagian besar negara-negara di kawasan ASEAN ini (sebagian besar negara), terutama negara-negara dengan luas tutupan hutan serta proporsi luas areal hutan terhadap luas wilayah yang tinggi, mengalami tingkat deforestasi yang tinggi (lihat pada Tabel 1) sehingga perlu upaya-upaya yang serius agar bisa mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management).

Tabel 1: Klasifikasi negara-negara ASEAN berdasarkan tutupan hutan (forest cover) dan tingkat deforestasi, 2005

Perubahan

Tingkat

Negara dengan

luas hutan Luas Hutan

tutupan hutan

deforestasi

Luas areal

Kategori Negara

tahunan

(tinggi: - ≤ 0,5

hutan terhadap

(Tinggi ≥25

(1000 ha)

luas wilayah

Tinggi, tinggi Darussalam Kamboja

Tinggi, tinggi Indonesia

Tinggi, tinggi Laos

Tinggi, tinggi Malaysia

Tinggi, tinggi Myanmar

49 Tinggi-menengah Tinggi, tinggi Filipina

Tinggi, rendah Singapura

Rendah, rendah

Tinggi, tinggi Viet Nam

Timor Leste 798

Tinggi- menengah

Tinggi- menengah

Rendah, tinggi

Sumber: disarikan khusus untuk kawasan ASEAN dari ADB (2010).

Komitmen kawasan ASEAN, kalau dilihat ke belakang, terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan sudah ada sejak tiga dekade yang lalu. Salah satu tonggak penting adalah dengan lahirnya Jakarta Consensus On ASEAN Tropical Forestry Of The Third ASEAN Economic Ministers Meeting On Agriculture And Forestry Jakarta pada tanggal13 Augustus 1981, dengan serangkaian proses berikutnya, yang nampaknya berlangsung agak lamban. Dalam perkembangannya yang mutakhir, ASEAN melihat dan menyadari bahwa ada peluang bagi mitigasi perubahan iklim dalam hutan ASEAN melalui program A/R CDM (Afforestation/Reforestation Clean Development Mechanism- A/R CDM) dan skim REDD+ (Evolusi Perkembangan Komitmen ASEAN menuju Mitigasi Iklim Global lihat Tabel 2). Skim REDD+ ini juga mencerminkan adanya potensi sumber pembiayaan yang besar untuk pembangunan pedesaan berkelanjutan di negara-negara berkembang, termasuk kawasan ASEAN, untuk mengamankan jasa-jasa ekosistem hutan, yang bisa menghasilkan benefit yang besar bagi lokal, regional, dan global.

Tabel 2. Evolusi Perkembangan Komitmen dan Kebijakan ASEAN menuju Pengelolaan Kehutanan Berkelanjutan

Tahun

Perkembangan

1968 Kerjasama ASEAN dalam Suplai dan Produksi Pangan 1973

Kerjasama ASEAN di bidang Kehutanan dimulai 1977

Lingkup kerjasama diperluas menjadi pertanian dan kehutanan. Sekarang ini dikoordinasikan oleh the Committee on Food, Agriculture and Forestry (COFAF dan ditransfer ke SEOM.

1981 Jakarta Consensus On ASEAN Tropical Forestry 1992

Adopsi persetujuan the ASEAN Free Trade Area (AFTA) in 1992, ASEAN cooperation in food, agriculture and forestry diarahkan untuk merealisasikan perdagangan intraASEAN dalam produk-produk pertanian yang tidak diproses.

1993 Menandatangani The Ministerial Understanding on ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Forestry, mengidentifikasi tujuh bidang prioritas kerjasama

1997 Menyetujui pernyataan ASEAN Vision 2020 untuk sektor Pangan, Pertanian, dan Kehutanan: to “enhance food security and international competitiveness of food, agriculture and forest products to make ASEAN a leading producer of these products and to promote the forestry sector as a model in forest management, conservat ion and sustainable development”.

1998 Adopsi the Strategic Plan of Action (SPA) on ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Forestry for the period of 1999-2004.

2004 - SPA baru untuk 2005-2010 disetujui the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry in October 2004 in Yangon. - ASEAN diterima dengan status observer pada United Nations Forum for Forests (UNFF)

2005 Berdirinya ASEAN Social Forestry Network (ASFN) Collaborating to build a framework for social forestry in Southeast Asia

2006 ASEAN memberikan masukan kepada UNFF tentang Regional Elements and Proposals for a Non-legally Binding Instrument (NLBI) on All Types of Forests

2007 UNFCCC ke-13 di Bali mengadopsi dalam Bali Action Plan yang mengidentifikasi REDD di negara- negara berkembang sebagai focus utama agenda iklim ke depan. Pernyataan Menteri-menteri ASEAN tentang Tatapamong dan Penegakan Hukum Kehutanan (ASEAN Ministerial Statement on Forest Law Enforcement and Governance –FLEG) untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN untuk memperbaiki tatapamong hutan di kawasan ASEAN. Pemimpin ASEAN pada KTT 13, November 2007 di Singapore menandatangani "ASEAN Declaration on Environmental Sustainability", menyerukan untuk bekerja erat dengan komunitas internasional untuk memahami lebih baik tentang dampak-dampak buruk dari perubahan iklim, termasuk isu-isu terkait dengan GHG dan penimbunan karbon pada khususnya.

2008 Brunei Darussalam menjadikan semua 10 negara ASEAN menjadi pihak dalam the Convention on Biological Diversity, dan diwajibkan untuk melaksanakan program-program kehutanan dan yang terkait dengan konvensi tersebut.

Disetujui dan dikukuhkannya “Work Plan for Strengthening FLEG (2008 - 2015) yang memberikan landasan untuk memperdalam kerjasama dan pelaksanaan aksi-aksi bersama, serta mengidentifikasi potensi partner untuk kolaborasi dan interaksi dalam penguatan FLEG di ASEAN. Didirikan the ASEAN Regional Knowledge Network on FLEG (ARKN-FLEG) untuk mendorong penggunaan jaringan ilmu pengetahuan regional, yang meliputi para ahli FLEG dan lembaga penelitian terkemuka di ASEAN, yang difasilitasi oleh Sekretariat ASEAN. ARKN tentang hutan dan perubahan iklim dicetus pada Oktober 2008 sebagai wahana bagi negara-negara anggota ASEAN untuk sharing pengetahuan dan pengalaman dan mengidendtifikasi para ahli dan lembaga penelitian di bidang REDD di negara-negara berkembang dan A/R CDM.

2009 Rencana Aksi “ enhancing Cooperation and Coherence among REDD+ Institutions to Support REDD+ Efforts”

2010 the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) mengesahkan the ASEAN Multi-Sectoral Framework on Climate Change: Agriculture and Forestry Towards Food Security (AFCC) dengan Skema REDD+ Konferensi Hutan dan Iklim di Oslo, Mei 2010 didirikan the Interim global REDD+ Partnership

2011 Kehutanan sosial (social forestry), salah satu kerangka skema kehutanan yang melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan, ditempatkan sebagai salah salah pendekatan terhadap skema REDD+ oleh organisasi kerjasama multilateral negara negara di Asia Tenggara atau ASEAN oleh ASFN

Kerangka kebijakan dalam ASEAN Blueprint (2008-2015) dinyatakan bahwa dalam sektor kehutanan ditentukan target untuk mendukung inisiatif-inisiatif regional dan global untuk mengurangi emisi dan melaksanakan program A/R CDM serta mnengidentifikasi bantuan dan insentif internasional. Selain itu, diperlukan penguatan usaha-usaha untuk melawan pembalakan illegal dan perdagangan terkait, kebakaran hutan dan dampak-dampak terkaitnya.

Skim REDD+ yang telah diakui dalam Bali Action Plan 2007 juga dipandang sebagai suatu pendekatan mitigasi iklim dengan potensi yang besar bagi aksi kerjasama jangka panjang. Dalam konteks kerjasama internasional, ASEAN telah mengembangkan kerjasama dengan negara-negara lain di luar ASEAN serta lembaga internasional terkait dengan sumberdaya termasuk bantuan keuangan dan teknis, antara lain dengan kerjasama yang lebih intensif dengan Forum Kehutanan PBB (United Nations Forestry Forum –UNFF) antara lain dengan memperkuat dalam pelaksanaan Instrumen yang tidak mengikat dengan resmi untuk semua tipe hutan dan program kerja multi-tahun dari UNFF, 2007-2015. Sebagai anggota terakreditasi dari UNFF, ASEAN akan terus memperkuat interaksi regional dan interaksi dengan forum dalam mengatasi isu-isu mutakhir kawasan. Untuk keperluan tersebut antara lain telah dibentuk FORMA (Forest Monitoring for Action) untuk memfasilitasi konservasi hutan dengan mengidentifikasi di mana dan kapan deforestasi terjadi per bulan, yang selanjutnya digunakan sebagai system peringatan deforestasi (deforestation alarm system). Informasi ini membuat lebih mudah mengetahui di mana mengintervensi dan menghentikan perluasan deforestasi, dan dimaksudkan untuk melengkapi program-program monitoring hutan nasional dan usaha-usaha konservasi hutan lokal. Fase pertama dari sistem FORMA ini adalah mengidentifikasi penyebaran deforestasi di Indonesia dari tahun 2005-2009, yang kemudian akan diperluas penggunaannya pada negara-negara hutan tropis lainnya.

Skim REDD+ dalam pelaksanaannya akan melalui tiga fase utama, yaitu (1) fase persiapan (readiness) yaitu pengembangan suatu strategi nasional untuk REDD+, termasuk didalamya adalah memperbaharui inventaris hutan nasional serta penelitian stok karbon hutan; (2) fase perubahan-perubahan Skim REDD+ dalam pelaksanaannya akan melalui tiga fase utama, yaitu (1) fase persiapan (readiness) yaitu pengembangan suatu strategi nasional untuk REDD+, termasuk didalamya adalah memperbaharui inventaris hutan nasional serta penelitian stok karbon hutan; (2) fase perubahan-perubahan

Dalam pada itu, negara-negara di ASEAN bisa memanfaatkan beberapa mekanisme multilateral yang sudah ada dalam mendukung pelaksanaan REDD+ sehingga bisa membantu menciptakan kondisi- kondisi yang dibutuhkan untuk memperoleh benefit dari REDD+. Ada 4(empat) sumber dukungan multilateral yang tersedia bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai tujuan REDD+ tersebut, yaitu (1) Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility – FCPF) oleh Bank Dunia, yang mendukung 37 negara di dunia dari dana kesiapan (readiness fund). 8 negara diantaranya berasal dari Asia Pasifik, dan 5 dari 8 negara tersebut merupakan negara anggota ASEAN (Kamboja, Indonesia, Laos, Thailand, dan Viet Nam). (2) UN-REDD Programme, yang dijalankan bersama tiga lembaga yaitu UNDP, FAO dan UNEP) dimana dari 8 negara yang menjadi pilot, dua diantaranya berada di ASEAN yaitu Indonesia dan Viet Nam; (3) Program Investasi Hutan (Forest Investment Program- FIP) dari Dana Investasi Iklim (the Climate Investments Funds) telah memilih dua negara di ASEAN yaitu Indonesia dan Laos, dari 8 negara di dunia untuk mendukung usaha-usaha pengembangan REDD+ dengan mendesain dan mendanai investasi dan leveraging sumberdaya keuangan tambahan, termasuk dana dari sektor swasta untuk membangun pola-pola investasi masa depan yang menjadi dasar pembiayaan karbon hutan; dan (4) Global Investment Facility Sustainable Forest Management dan REDD+ program (GEF-SFM/REDD+). Program ini agak berbeda dengan program REDD+ dalam tiga mekanisme di atas, pembiayaan tidak hanya fokus pada reduksi emisi GHG tetapi juga terkait dengan kehilangan keragaman hayati dan degradasi lahan. Proyek-proyek dan program-program GEF juga potensial menawarkan cara-cara yang berguna dengan menggabungkan partner-partner GEF bagi konservasi karbon hutan dan benefit global lainnya. Oleh karena itu, koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik dari berbagai mekanisme multilateral yang ada akan bisa mempercepat usaha-usaha mendukung terlaksananya program-program REDD+.

Khusus kaitannya dengan dukungan global terhadap REDD+, enam negara yang berkontribusi yaitu Australia, Prancis, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Amerika Serikat menjanjikan US$3,5 milyar untuk dukungan REDD+ di Kopenhagen pada Desember 2009 sebagai bagian dari komitmen US$30 milyar pada “mulai cepat” (fast start) pembiayaan iklim. Pada Konferensi tentang Iklim dan Hutan di Oslo bulan Mei 2010, suatu global interim REDD+ partnership didirikan dengan peningkatan kontribusi sekitar

US$4,2 milyar dari tahun 2010-2012. Negara- negara ASEAN yang memperoleh permbiayaan tersebut adalah Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Viet Nam, dengan total nilai sebesar US$ 701,70 juta. Dari kelima negara tersebut, Indonesia memperoleh nilai terbesar yaitu US$527,88 juta (75,23 %) yang berasal dari keempat mekanisme multilateral di atas dan dari bilateral dengan negara- negara Australia, Finlandia, Jerman, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Amerika Serikat (Lihat ADB, 2010).

ADB (2010) juga menilai bahwa wilayah Asia dan Pasifik bisa secara signifikan mengurangi emisi GHGnya dengan menerapkan pendekatan REDD+, dengan kawasan Asia Tenggara menawarkan potensi reduksi yang paling besar. Aksi-aksi seperti itu harus bisa menghasilkan pembiayaan REDD+ yang besar dan disertai dengan benefit tambahan yang bernilai tinggi, termasuk mempertahankan kelimpahan keragaman hayati dari hutan hujan. Sepuluh negara dengan potensi REDD+ yang tertinggi (5 negara di kawasan ASEAN) bisa menghasilkan US $2.8 milyar dalam kredit reduksi emisi dari tahun tahun 2015 ke 2020 dari suatu reduksi 50 % dalam tingkat deforestasi jika ada pasar karbon yang membayar US $5 per

ton CO 2 . Untuk negara-negara ASEAN, diperkirakan nilai moneter dari kredit reduksi emisi tersebut adalah Indonesia (US$1.482, 29 juta); Myanmar (US$ 552,61 juta); Kamboja (US$ 316,02 juta); Malaysia (US$ 307,08 juta); dan Laos (US $92,82 juta), dengan total nilai sebesar US$ 2.696,82 juta (96%).

Dengan melihat konteks keberadaan kawasan ASEAN dan kondisi hutannya, ASEAN bisa memainkan peranan penting dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim global. Kebijakan dan usaha- usaha dalam internal ASEAN sudah banyak dikembangkan, dan mempunyai potensi mekanisme multilateral yang tersedia untuk mempercepat dan memperluas program-program REDD+ yang dapat memberikan benefit social, ekonomi, dan lingkungan yang signifikan bagi kawasan ASEAN.

3. Benefit Potensial dan Prospek Pengembangan A/R CDM dan REDD+ di Kawasan ASEAN Metode yang harus menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang (termasuk ASEAN)

nadalah bagaimana menghindari deforestasi dan devegetasi, melalui pengembangan pengelolaan hutan berkelanjutan, serta aforestasi dan reforestasi (Dutschke, 2007). Dalam konteks ini, penimbun karbon berbasis kehutanan (forestry-based carbon sinks) adalah opsi penting untuk menghasilkan potensial benefit yang besar bagi penduduk pedesaan, lahan, air dan sumber daya biomassa, mitigasi perubahan iklim dan ketahanan terhadap dampak-dampak pemanasan gobal (Leach dan Leach, 2004). Mekanisme ini tidak hanya bisa mengkompensasi pasar-pasar yang hilang dalam jasa-jasa lingkungan hutan, tetapi juga membantu negara-negara industri untuk menghindar dari reduksi penggunaan energi (Smith dan Applegate, 2004).

Program penyerapan karbon (carbon sequestration) mempunyai potensi untuk menghasilkan pendapatan melalui dalam proyek-proyek yang terkait dengan penggunaan lahan di bawah konsep CDM (Aune et al., 2005). Hal ini bisa diwujudkan melalui konsep kredit karbon (carbon credit), yang bisa digunakan untuk menghasilkan penerimaan dan untuk membiayai proyek-proyek tersebut (Show dan Lee, 2008), di mana, di bawah CDM, para pemilik lahan bisa menerima pembayaran untuk jasa penimbunan Program penyerapan karbon (carbon sequestration) mempunyai potensi untuk menghasilkan pendapatan melalui dalam proyek-proyek yang terkait dengan penggunaan lahan di bawah konsep CDM (Aune et al., 2005). Hal ini bisa diwujudkan melalui konsep kredit karbon (carbon credit), yang bisa digunakan untuk menghasilkan penerimaan dan untuk membiayai proyek-proyek tersebut (Show dan Lee, 2008), di mana, di bawah CDM, para pemilik lahan bisa menerima pembayaran untuk jasa penimbunan

Adanya intrumen perdagangan karbon tersebut memungkinkan bagi kehutanan tropis menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan penggunaan lahan pertanian seperti padang pengembalaan Sapi, karena adanya penerimaan tambahan dari jasa sekuestrasi karbon tersebut ( Olschewski dan Benítez , 2005). Proyek-proyek kehutanan di bawah CDM bisa menyediakan beberapa benefit untuk negara-negara berkembang dengan berpartisipasi baik dalam pasar timber maupun pasar karbon. Oleh karena itu, pengembangan proyek harus memaksimumkan penerimaan mereka berdasarkan ekspektasi pasar karbon dan timber, dengan tetap mengacu pada aturan-aturan internasional untuk proyek-proyek sekuestrasi karbon di bawah CDM ( Gutiérrez et al., 2006).

Dalam satu dekade terakhir telah banyak kajian tentang potensi penimbunan karbon untuk berbagai sistem pengembangan hutan, termasuk dalam pengelolaan berbasis masyarakat, dan serta mengestimasi potensi benefit ekonomi maupun non ekonomi dalam kaitannya dengan investasi A/R CDM di negara-negara berkembang, dengan hasil yang bervariasi.

Dalam konteks penimbunan karbon, perkebunan dengan vegetasi yang tinggi mempunyai potensi penimbungan karbon yang besar. Germer dan Sauerborn (2008) mengestimasi bahwa jika lahan rumput tropis direhabilitasi oleh perkebunan kelapa sawit, fiksasi karbon dalam biomassa perkebunan dan bahan organik tanah tidak saja menetralkan emisi konversi lahan rumput tetapi juga menghasilkan penghapusan (removal) bersih sekitar 135 Mg karbon dioksida per hektar dari atmosfir. Penciptaan mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms) seperti CDM dan perdagangan emisi dalam Protokol Kyoto bisa memasukkan perkebunan sebagai penimbun karbon (carbon sinks) dalam usaha untuk memenuhi target emisi. Oleh karena itu, bagi industri kelapa/minyak sawit, rehabilitasi lahan rumput adalah suatu opsi untuk mempertahankan hutan alam, menghindari emisi dan jika karbon yang disekuestasi bisa diperdagangkan dapat menghasilkan tambahan penerimaan (Germer dan Sauerborn 2008).

Untuk merealisasikan potensi sektor kehutanan di negara-negara berkembang untuk mitigasi emisi skala penuh, potensi sekuentrasi karbon dari spesies yang berbeda dalam tipe-tipe perkebunan yang berbeda harus diintegrasikan dengan sistem perdagangan karbon dibawah CDM Protokol Kyoto. Sebagai contoh, hasil Kajian dari Yong et al. (2007) di Bangladesh menunjukkan bahwa tisu/jaringan pohon dalam hutan-hutan Bangladesh menyimpan rata-rata sebanyak 92 ton karbon per hektar (tC/ha) dan stok kasar sebesar 190 tC/ha dalam perkebunan-perkebunan dari 13 spesies pohon yang berkisar antara umur 6

sampai 23 tahun. Selain itu, pengurangan CO 2 atmosfir yang sangat besar oleh hutan-hutan tersebut jika lahan hutan yang terdegradasi direforestasi dengan proyek-proyek CDM, yang mengindikasikan potensi Bangladesh untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon baik untuk benefit ekonomi maupun lingkungan.

Pengakuan agroforestri sebagai salah satu strategi mitigasi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto di bawah UNFCCC menawarkan suatu peluang bagi para pelaku agroforestri untuk memperoleh benefit dari pasar kredit karbon (C) global. Kebanyakan sistem agroforestri berskala kecil di Asia Tenggara adalah pohon dengan sistem spesies yang kaya yang menghasilkan produk non-kayu dan kayu baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk pasar. Akibat dari biomassanya yang tinggi, sistem-sistem ini mengandung stok karbon (C) yang besar. Sementara sistem-sistem individu petani adalah terbatas dalam luas, pada suatu per area dasar sistem-sistem skalakecil mengakumulasi jumlah karbon yang signifikan, sama dengan jumlah C yang disimpan dalam beberapa hutan sekunder dengan umur yang sama. Kemampuan mereka untuk secara simultan menangani kebutuhan-kebutuhan kehidupan pemilik lahan kecil (smallholders' livelihood needs) dan menyimpan jumlah C yang besar membuat sistem-sistem skala kecil menjadi tipe-tipe proyek yang layak di bawah CDM dari Protokol Kyoto, dengan tujuan gandanya yaitu reduksi emisi dan pembangunan berkelanjutan (Roshetko et al., 2007).

Salah satu sistem agroforestri pemilik lahan kecil adalah tanaman pekarangan banyak dijumpai di kawasan ASEAN dan seluruh kawasan tropis. Karena biomassanya yang tinggi, sistem tersebut secara simultan menawarkan potensi bagi penyimpanan karbon. Hasil studi lapangan yang dilakukan oleh Roshetko et al, (2002) di Indonesia mengindikasikan bahwa tanaman pekarangan dengan umur rata-rata 13 tahun menyimpan 35.3 Mg C ha -1 dalam biomassa di atas tanah mereka, yang adalah sama dengan stok karbon yang dilaporkan untuk hutan-hutan sekunder dengan umur sama di daerah yang sama. Tergantung pada opsi pengelolaan, diperkirakan bahwa stok karbon waktu rata-rata di atas tanah dari sistem tanaman pekarangan bisa bervariasi dari 30 sampai 123 Mg C ha -1 . Jika sistem tanaman pekarangan dan sistem berbasis pohon dari pemilik lahan kecil lainnya ingin dikembangkan dalam lahan-lahan yang sekarang ini terdegradasi dan pemanfaatannya yang tidak optimal, seperti padang rumput imperata, potensi sekuetrasi karbon akan mencapai sekitar 80 Mg C ha -1 , dengan variasi yang sangat besar tergantung pada komposisi spesies dan praktek-praktek pengelolaan.

Batas dasar untuk GHG dan skenario reduksi GHG diperkirakan di Thailand sehingga suatu CDM skala kecil bisa diperkenalkan dalam negara-negara ASEAN lainnya. CDM skala kecil adalah aktivitas- aktivitas proyek yang mengurangi emisi buatan manusia (anthropogenic emissions) dan secara langsung mengeluarkan kurang dari 15 karbon dioksida ekuivalen per tahun (Kaku dan Ikeguchi, 2008). Kirby dan Potvin (2007) bekerja dengan suatu komunitas di Panama Timur menemukan bahwa pengembangan hutan pertanian atau agroforestri dalam daerah-daerah yang sekarang ini merupakan padang pengembalaan (pasture) bisa menyerap atau menimbun sejumlah karbon secara signifikan sembari menyediakan keragaman hayati dan benefit kehidupan yang tidak bisa disediakan oleh sistem reforestasi yang paling umum seperti pada wilayah-wilayah penanaman kayu jati monokultur.

Dengan adanya potensi ekonomi dari pasar karbon banyak para ahli yang mencoba mengestimasi biaya mengadopsi proyek A/R CDM dan dikaitkan dengan potensi penerimaan dan benefit dari sistem pengelolaan hutan tertentu, termasuk dengan dampaknya terhadap ekonomi masyarakat local, dan hasilnya Dengan adanya potensi ekonomi dari pasar karbon banyak para ahli yang mencoba mengestimasi biaya mengadopsi proyek A/R CDM dan dikaitkan dengan potensi penerimaan dan benefit dari sistem pengelolaan hutan tertentu, termasuk dengan dampaknya terhadap ekonomi masyarakat local, dan hasilnya

Hasil kajian Smith dan Applegate (2004) di Asia dan Amerika Latin menemukan bahwa bahwa biaya kesempatan dari pergeseran dari pembalakan konvensional kepada praktek perbaikan diperkirakan terlalu rendah. Pada saat yang sama, benefit-benefit keragaman hayati dan karbon jangka panjang dari perbaikan pengelolaan hutan juga diperkirakan terlalu rendah. Implikasinya adalah bahwa proyek-proyek pengelolaan hutan bisa menjadi kurang hemat biaya didandingkan dengan yang diduga sebelumnya. Selain itu, seberapa jauh proyek-proyek seperti itu akan membuat negara-negara industri untuk menghindari pengurangan polusi industri adalah juga nampaknya tidak akan signifikan. Hasil analisis oleh Yao et al., (2004) terhadap proyek kehutanan di China menunjukkan bahwa biaya proyek-proyek CDM kehutanan di China Utara adalah sangat tinggi sehingga pendapatan dari kredit karbon tidak bisa menutup semua biayanya. Namun demikian, proyek-proyek kehutanan memberikan benefit sosial dan ekonomi yang lain, dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, sehingga proyek-proyek seperti bisa menjadi layak secara ekonomi jika semua dampak-dampak ekonomi eksternalnya diperhitungkan.

Gutiérrez et al. (2006) menemukan bahwa pengelolaan hutan optimal adalah peka terhadap kondisi pasar timber dan karbon. Pada tiap tingkat diskonto, karena harga CER meningkat, frekuensi dan intensitas cendrung menurun dan penebangan optimal dan panjang rotasi cendrung dicapai pada umur yang lebih tua. Annual Equivalent Value( AEV) terbesar ditemukan pada tingkat diskonto 10%, harga-harga CER US$13 dan panjang rotasi 40 tahun untuk semua spesies. Bagi semua spesies penebangan optimal ditemukan pada umur 35 tahun dari umur penanaman adalah pilihan terbaik untuk memaksimumkan profitabilitas proyek - proyek tersebut ( Gutiérrez et al., 2006).

Hasil penelitian di Mali terhadap dua sistem agroforestri (pagar hidup -live fence dan penyimpanan makanan ternak- fodder bank) ditemukan bahwa untuk ukuran standar proyek-proyek pagar hidup (291 m) dan penyimpanan makanan(hijauan) ternak (0.25 ha), NPV yang diestimasi mencapai $ 96.0 dan $158.8 tanpa penjualan kredit karbon, dan $109.9 dan $179.3 dengan penjualan C, berturut-turut. Dari perspektif penjualan karbon, pagar hidup nampaknya kurang beresiko dan lebih menguntungkan dibandingkan penumpukan pakan hijauan ternak (fodder bank). Penjualan kredit karbon nampaknya berkontribusi pada pembangunan ekonomi bagi petani-petani subsistensi (Takimoto et al., 2008). Sementara itu, hasil Kajian Aune et al. (2005) di Nepal, Uganda dan Tanzania menunjukkan bahwa profitabilitas ekonomi dari sistem- sistem penggunaan lahan, dengan asumsi harga karbon sebesar 10 dollar AS per ton (Mg) dengan tingkat bunga per tahun sebesar 10%, NPV meningkat sebesar antara 4.9% dan 6.5% untuk sistem-sistem ini ketika nilai karbon ditambahkan pada nilai timber dan nilai produk non kayu.

Hasil kajian oleh Tomich et al. (2002) di dataran rendah pulau Sumatra, di mana hutan-hutan dan penggunaan lahan lainnya bisa merepresentasikan sistem hutan hujan tropis basah dataran rendah di Asia Tenggara menunjukkan bahwa nilai timber yang terkait adalah suatu bagian yang signifikan dari biaya kesempatan konservasi hutan, bahkan untuk estimasi konservatif dari harga timber. Pertanyaan tentang mengkompensasi untuk nilai-nilai yang hilang ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang kompleks terkait dengan politik ekonomi Indonesia, karena hak-hak pemilikan terhadap sumber daya-sumber daya ini adalah sangat kontroversial. Dibandingkan dengan konservasi hutan, penyerapan karbon (C offsets) melalui agroforestasi kelihatannya lebih layak di Indonesia karena hak-hak pemilikan terhadap timber dari pohon-pohon yang ditanam akan lebih mudah untuk diadakan dan dikembangkan dibandingkan dengan hak-hak pemilikan terhadap timber dari hutan-hutan alam (Tomich et al., 2002).

Hasil kajian Pfaff et al., (2007) di Costa Rica menunjukkan bahwa dampak-dampak signifikan dari penerimaan relatif pada hutan pada berbagai tingkat deforestasi. Oleh karena itu, pembayaran karbon akan mempengaruhi konservasi dan juga sekuestrasi karbon, dan jika pengguna lahan miskin/kecil bisa mengkonservasi hutan sambil menangani kemiskinan pedesaan. Ditemukan bahwa daerah-daerah yang lebih miskin bisa mempunyai suatu respon suplai yang lebih tinggi terhadap pembayaran, tetapi bahkan tanpa dampak ini, daerah-daerah yang miskin bisa dimasukkan dan benefit menjadi lebih besar akibat areal hutan per kapita yang lebih tinggi. Mereka bisa dimasukkan kurang akibat biaya-biaya transaksi. Terkecuali CDM Protokol Kyoto dimodifikasi dalam pelaksanaannya untuk memungkinkan kredit dari deforestasi yang dihindari, benefit-benefit seperti itu nampaknya menjadi terbatas.

Penyaluran dana investasi karbon ke dalam proyek-proyek kehutanan berbasis masyarakat membuat pembangunan dan konservasi hutan menjadi layak secara ekonomi dan menarik bagi komunitas lokal untuk mempertahankan keragaman hayati dan integritas alam (Singh, 2008). Kasus di Karnataka, India, misalnya, pelaksanaan aktivitas-aktivitas proyek yang berbasis hutan yang berhasil melibatkan partisipasi lokal, menghasilkan ragam produk hutan dan jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal (Palm et al., 2008). Biasanya terjadi kompromi antara kehidupan lokal dan penyimpanan karbon, tetapi penilaian terhadap biaya kesempatan dari sekuestrasi C mensyaratkan analisis pada skala komunitas dan lanskap. Ini sejalan dengan desain modalitas internasional dengan pendekatan berbasis hasil untuk meningkatkan penyimpanan karbon dengan fleksiblitas lokal dalam pelaksanaannya (van Noordwijk et al., 2008).

van Kooten dan Sohngen (2007) mereview isu-isu yang terkait dengan penggunaan aktivitas-aktivitas kehutanan teresterial untuk menciptakan kredit offset CO 2 . Estimasi batas dasar biaya-biaya sequestering karbon adalah antara $3-$280 dollar AS per tCO 2 , yang mengindikasikan bahwa biaya-biaya menciptakan kredit offset emisi CO 2 melalui kegiatan-kegiatan kehutanan sangat bervariasi. Perkebunan/penanaman yang intensif di daerah tropis secara potensial bisa menghasilkan benefit positif pada masyarakat, tetapi di Eropah proyek-proyek yang sama biayanya bisa mencapai $195/tCO 2 . Sungguh, Eropah adalah wilayah dengan biaya tertinggi, dengan kisaran biaya antara $50 sampai $280 per tCO 2 . Hal ini bisa menjelaskan van Kooten dan Sohngen (2007) mereview isu-isu yang terkait dengan penggunaan aktivitas-aktivitas kehutanan teresterial untuk menciptakan kredit offset CO 2 . Estimasi batas dasar biaya-biaya sequestering karbon adalah antara $3-$280 dollar AS per tCO 2 , yang mengindikasikan bahwa biaya-biaya menciptakan kredit offset emisi CO 2 melalui kegiatan-kegiatan kehutanan sangat bervariasi. Perkebunan/penanaman yang intensif di daerah tropis secara potensial bisa menghasilkan benefit positif pada masyarakat, tetapi di Eropah proyek-proyek yang sama biayanya bisa mencapai $195/tCO 2 . Sungguh, Eropah adalah wilayah dengan biaya tertinggi, dengan kisaran biaya antara $50 sampai $280 per tCO 2 . Hal ini bisa menjelaskan

dan Amerika Serikat, biaya-biaya sekuestrasi karbon berkisar antara $2 sampai hampir $80 per tCO 2 . Salah satu kesimpulan yang jelas adalah beberapa proyek kehutanan untuk sequester karbon adalah sangat berharga untuk dilaksanakan, tetapi tentu saja tidak semua (van Kooten dan Sohngen, 2007). Eropah telah memulai sistem perdagangan emisi mereka untuk meratifikasi Protokol Kyoto untuk perdagangan karbon, dan menilai kredit hutan adalah suatu cara yang sangat terpercaya untuk menangani perubahan iklim (Anonymous, 2004).

Selanjutnya, Hooda et al. (2007) melakukan dua studi kasus yaitu proyek-proyek agroforestri dan komunitas di Uttaranchal, India dan mnenemukan bahwa proyek tersebut layak secara finansial meskipun tidak terlalu menguntungkan tetapi potensi mitigasi karbon dalam restorasi tipe proyek lahan terdegradasi ini adalah sangat besar karena tantangan-tantangan dalam tahap awal bisa diatasi secara memadai. Penerimaan karbon adalah suatu pemicu utama bagi para investor dalam proyek-proyek masyarakat. Spesies timber dengan rotasi pendek seperti Eucalyptus (Eucalyptus), Poplar (Populus) mempunyai tingkat pengembalian internal (internal rates of return -IRR) dan potensi reversibilitas benefit karbon yang tinggi akibat fluktuasi dalam harga pasar dari komoditas yang dihasilkan. Pemilikan lahan adalah kecil dan banyak/mengumpul sesuai untuk proyek-proyek untuk mencapai skala ekonomi (Hooda et al., 2007).

Sutter dan Parreño (2007) menilai 16 proyek CDM yang terdaftar resmi apakah sudah memenuhi dua tujuan yang disyaratkan oleh Protokol Kyoto: reduksi emisi gas rumah kaca dan kontribusinya pada pembangunan berkelanjutan di negara pelaksanaanya. Sementara sebagian besar (72%) dari total portofolio CER yang diharapkan adalah cendrung menunjukkan reduksi emisi nyata dan terukur, kurang dari 1 persen adalah cendrung berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan berkelanjutan di negara pelaksana proyek CDM. Berdasarkan analisis, sekarang ini, tidak ada proyek-proyek CDM yang terdaftar pada UNFCCC yang cendrung bisa memenuhi tujuan ganda dari Protokol Kyoto yaitu secara simultan menghasilkan reduksi emisi GHG dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan ( Sutter dan Parreño, 2007).

Olschewski dan Benítez (2005) menganalisa proyek-proyek kehutanan di Petagonia Barat laut dari sudut pandang ekonomi yang didasarkan pada perkembangan terbaru dari Protokol Kyoto. Kami mempertimbangkan CER jangka panjang dan temporer dan menentukan syarat-syarat pada perkebunan- penanaman hutan yang mana adalah menarik bagi potensi penyuplai dan yang meminta CER. Disimpulkan bahwa bagi kebanyakan proyeksi harga karbon akhir-akhir ini, proyek-proyek penimbunan karbon akan layak secara ekonomi bagi penyuplai CER dan pada saat yang sama menarik bagi yang butuh CER yang mencari peluang pengurangan emisi yang hemat biaya. Ditemukan bahwa hutan sekunder menjadi menarik

secara ekonomi kalau harga kredit permanen adalah di atas $4.5/tCO 2 , sedangkan perkebunan/penanaman hutan mensyaratkan harga CER permanen sebesar $7.0/tCO 2 . Dalam kedua kasus tersebut, hasil-hasilnya secara ekonomi kalau harga kredit permanen adalah di atas $4.5/tCO 2 , sedangkan perkebunan/penanaman hutan mensyaratkan harga CER permanen sebesar $7.0/tCO 2 . Dalam kedua kasus tersebut, hasil-hasilnya

Hasil kajian oleh Asquith et al. (2002) di Bolivia menunjukkan bahwa proyek-proyek aksi iklim akan mempunyai dampak positif jangka panjang terhadap masyarakat lokal. Namun demikian, dalam jangka pendek, bagian-bagian tertentu dari masyarakat lokal adalah lebih miskin secara finansial. Proyek- proyek proteksi hutan secara jelas mempunyai potensi untuk menyerap C, melindungi keragaman hayati, dan secara simultan berkontribusi pada pembangunan pedesaan berkelanjutan, tetapi jika mereka sungguh- sungguh untuk meningkatkan kehidupan pedesaan, proyek-proyek tersebut harus didesain dan dilaksanakan secara hati-hati dan partisipatif.

4. Isu-isu Strategis dalam Implementasi Program A/R CDM dan REDD+ Meskipun program A/R CDM dalam konteks REDD+ sudah berkembang jauh baik dari segi

metodologi, program, aksi serta analisis ekonomi jangka panjang, masih banyak isu-isu strategis sekaligus tantangan yang harus dipecahkan ke depan agar upaya kolektif regional dan internasional untuk mitigasi dampak perubahan iklim bisa terwujud. Isu-isu strategis tersebut adalah kontroversi internasional ersebut didiskusikan pada bagian berikut ini.

4.1 Kontroversi internasional tentang penyebab pemanasan global Pada tataran global, perhatian internasional sebagai suatu aksi kolektif untuk mengatasi masalah

deforestasi dan degradasi hutan masih terbelah baik karena alasan-alasan akademis, politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Berlawanan dengan kasus ozon, usaha-usaha untuk suatu rezim internasional yang legal tentang menajemen hutan telah menjadi sesuatu kegagalan yang besar. Jika melihat ke belakang pada akhir tahun 1980-an, seorang ahli kehutanan menjelaskan agenda hutan internasional sebagai serangkaian sesuatu yang berbunyi nyaring tapi tanpa aksi ( “a series of loudly trumpeted non-events”). Sekarang ini, telah mengalami sedikit kemajuan dengan ungkapan yaitu serangkaian kejadian yang bersuara nyaring dengan sedikit dampak. Meskipun telah ada inisiatif multilateral yang cukup memadai dan pandangan yang sama dari banyak negara bahwa kerusakan hutan dunia berlanjut pada tingkat yang semakin mengkhawatirkan, negara-negara tersebut belum menghasilkan suatu perjanjian internasional yang komprehensif tentang pengelolaan hutan (Gray, 2000), walaupun dalam beberapa tahun terakhir sudah menunjukkan perkembangan yang positif.