8 f.
Dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara ialah usaha untuk menghidupkan, menambah dan memberikan perasaan kesosialan sang anak Ki Gunawan, 1989:
36.
Pandangan yang demikian itu, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses
pembentukan karakter anak. Justru dia memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Tiap-tiap pusat harus mengetahui
kewajibannya masing-masing, atau kewajibannya sendiri-sendiri, dan mengakui hak pusat-pusat lainnya yaitu; alam keluarga untuk mendidik budipekerti dan laku sosial.
Alam sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa secara seimbang. Sedangkan alam pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasan diri
dalam pembentukan watak atau karakter. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya,
sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Hubungan
sekolah perguruan dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati, agar dapat berjalan sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari
belakang dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.
Teori Trikon sebagai rujukan pendidikan karakter
Selain tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengemukakan ajaran Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang
mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
a. Dasar Kontinuitas
Dasar kontinuitas berarti bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya continue, bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan kemajuan
kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putus dari garis asalnya. Loncatan
putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis
9 hidup asalnya, yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari perkembangan
sendiri maupun dari luar. Jadi kontinuitas dapat diartikan bahwa dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri.
b. Dasar Konsentris
Dasar konsentris berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita.
Hanya unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang dapat diambil dan diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian
bangsa. Hal ini merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada budaya bangsa, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar
yang baik dan selaras dengan budaya bangsa.
c. Dasar Konvergensi
Dasar konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersama-sama bangsa lain diusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan
kesatuan umat sedunia konvergen, tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Kekhususan kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus
ditiadakan, demi membangun kebudayaan dunia. Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengembangkan
karakter dan membina kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri kontinuitas menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia konvergensi, dan tetap
terus memiliki dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia konsentrisitas. Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang masuk,
harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas sendiri.
Asas-asas dan Dasar Pendidikan
Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922 bertujuan mengganti sistem pendidikan dan pengajaran Belanda dengan sistem
baru berdasarkan kebudayaan sendiri. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, maka diterapkan asas-asas pendidikan dan dasar-dasar. Asas pendidikan ini dikenal dengan
asas 1922.
10 a.
Pasal pertama: Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan mengingati tertibnya persatuan, dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai itulah tujuan kita
yang tertinggi. Tidak akan ada ketertiban jika tidak ada kedamaian. Sebaliknya tidak ada kedamaian selama orang dirintangi dalam mengembangkan hidupnya yang wajar.
Tumbuh menurut kodrat merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan yang wajar, mengutamakan perkembangan diri menurut kodratnya. Oleh karenanya Ki Hadjar
Dewantara menolak faham pendidikan dalam arti dengan sengaja membentuk watak anak melalui paksaan dan hukuman. Cara yang demikian disebut “Sistem Among”
b. Pasal kedua: Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak menjadi manusia
yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Dengan demikian seorang guru atau pamong tidak hanya memberi pengetahuan yang perlu
dan baik saja, tetapi juga harus mendidik kepada siswa untuk mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum. Hal ini menunjukkan
bahwa ajaran Ki Hadjar Dewantara mengutamakan kemandirian pada diri peserta didik, yang dengannya peserta didik akan memiliki karakter mandiri
c. Pasal ketiga: tentang zaman yang akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan.
Sering kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sulit didapatnya dengan alat
penghidupan kita sendiri. Demikianlah acapkali kita merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering mementingkan pengajaran menuju terlepasnya
pikiran, padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya.
Dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan kita sendiri, kita pakai sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan
akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Pasal ini juga merupakan bagian penting dalam membangun karakter anak bangsa untuk menjadi manusia yang tidak
kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab d.
Pasal keempat: Dasar kerakyatan. Pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil rakyat Indonesia tidak berfaedah untuk bangsa, maka seharusnyalah golongan
rakyat yang terbesar mendapat pengajaran secukupnya. Hal ini mengandung pengertian, bahwa memajukan pengajaran untuk rakyat umum atau kuantitas
11 pendidikan lebih baik daripada meninggikan pengajaran kualitas jikalau
meninggikan pengajaran dapat mengurangi tersebarnya pengajaran. e.
Pasal kelima: Untuk dapat berusaha menurut asas dengan bebas dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan
dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Ini adalah wujud nyata karakter kemandirian.
f. Pasal keenam: Keharusan untuk membelanjai diri sendiri segala usaha Taman Siswa.
Usaha ini terkenal dengan “Zelbedruiping-systeem”. Hal semacam ini amat sukar, karena untuk dapat membelanjai diri sendiri tanpa menerima bantuan orang lain
diperlukan keharusan untuk hidup sederhana. Ajaran ini merekomendasikan kepada kita untuk hidup sederhana, atau dengan kata lain, hidup sederhana sebagai bentuk
karakter positif perlu terus ditradisikan g.
Pasal ketujuh: Dengan tidak terikat lahir atau batin, serta kesucian hati, berminat kita berdekatan dengan “Sang Anak”. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi
menyerahkan diri untuk berhamba kepada “Sang Anak”. Dengan kata lain, keikhlasan
lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan kita kepada selamat bahagianya anak didik.
Selain asas-asas tersebut yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara, Taman Siswa juga memiliki dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar
Dewantara yaitu terkenal dengan sebutan Panca Darma, yaitu: a.
Kodrat alam b.
Kemerdekaan c.
Kebudayaan d.
Kebangsaan e.
Kemanusiaan Muchamad Tauchid dan Ki Suratman, 1988: 16. Kodrat alam mengandung pengertian pada hakekatnya manusia sebagai makhluk
tidak dapat terlepas dari kehendak hukum kodrat alam. Manusia akan mengalami kebahagiaan jika dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala
hukum kemajuan. Dasar kemerdekaan mengandung arti, kemerdekaan sebagai karunia Tuhan
kepada s emua makhluk manusia yang memberikan kepadanya “hak untuk mengatur
12 dirinya sendiri”, dengan selalu mengingat syarat-syarat tertib damainya hidup bersama
masyarakat. Dasar kebudayaan mengandung pengertian, membawa kebudayaan kebangsaan
itu kearah kemajuan dunia dan kepentingan hidup rakyat, lahir dan batin. Dasar kebangsaan memiliki maksud, tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malahan harus menjadi bentuk dan fitrah kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan
mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir serta batin seluruh bangsa.
Dasar kemanusiaan mempunyai maksud bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang
setinggi-tingginya yang dapat dilihat pada kesucian hati seseorang serta adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, yang bersifat
keyakinan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta. Asas dan dasar pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara merupakan
landasan yang kokoh untuk membangun karakter bangsa bersendi pada budaya bangsa dengan tidak mengabaikan budaya asing. Jika asas dan dasar ini digunakan sebagai
landasan penyelenggaran pendidikan kita, maka tidak perlu lagi meributkan tentang carut marut potret pendidikan kita.
Sistem Pendidikan
Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral
proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun
karsa, dan Tutwuri handayani MLPTS, 1992: 19-20.
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha