Oleh Ahmad Fanani PW IPM Jawa Tengah

Oleh : Ahmad Fanani (PW IPM Jawa Tengah)

“Di dunia ini tak ada yang abadi kecuali perubahan. Perubahan
system perkaderan dengan demikian merupakan suatu
keniscayaan”.
(Dr. Khoiruddin Bashori)
Bagi organisasi kader seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah, perkaderan
merupakan suatu bagian integral yang menjadi elan vital dan mempunyai
peran strategis serta posisi sentral dalam upaya melangsungkan agenda
gerakan menuju ciata- cita ideal mewujudkan masyarakat islam yang
sebenar- benarnya. Tanpa dukungan sistem perkaderan yang baik dan
kontekstual, IPM tidak akan bisa bertahan dan melangsungkan gerakannya
sesuai dengan khittah perjuangan yang dikibarkan. Tujuan yang dicitacitakan hanya akan menjadi hiasaan mimpi atau teks utopis tanpa adanya
sokongan kader unggul yang memahami benar hakikat gerakan, karena pada
hakikatnya kader adalah aksentuator dan ujung tombak perjuangan
organisasi. Dengan demikian, keberadaan kader unggul yang mempunyai
kualifikasi dan kompetensi serta memahami benar hakikat gerakan
merupakan jaminan atas kelangsungan dan perkembangan organisasi
dimasa depan.
Perkaderan sebagai suatu proses dan sistem pembinaan anggota
untuk terwujudnya kualitas sumber daya manusia yang menjadi kekuatan

pelaku dan ujung tombak gerakan menuju pencapaian yang di cita-citakan
pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sangat penting dan strategis. IPM
tidak akan bertahan dan mampu melangsungkan gerakannya sesuai dengan
misi dan tujuannya manakala tidak didukung dan digerakkan oleh para
kadernya yang memahami hakikat IPM dan sekaligus memiliki kualitas yang
unggul dalam menggerakkan organisasi. Kenyataan yang demikian makin
memperteguh pandangan betapa penting dan strategis posisi dan peran
kader dalam IPM. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah peran strategis
perkaderan IPM tidak hanya berimplikasi pada kelangsungan organisasi
pelajar ini sendiri, melainkan juga mempunyai korelasi positif bagi
perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah sebagai inang dari organisasi
ini. Karena sebagai organisasi otonom, idealnya IPM merupakan pemasok
utama kader penerus muhammadiyah. Sebagaimana termaktub dalam
tanfidz terbarunya bahwa IPM adalah lembaga kaderisasi yang salah satu
fungsinya adalah melakukan proses penyiapan kader-kader untuk terlibat
dalam aktifitas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang lebih luas dari
lingkup IPM. Dan satu pertimbangan yang tidak bisa dipungkiri IPM adalah
bahwa IPM merupakan organisasi otonom Muhammadiyah dan berfungsi
menjaga proses kaderisasi di Muhammadiyah. ltu artinya IPM sebagai
lembaga kaderisasi Muhammadiyah.


Perkaderan: Unteleologis Process
Perkaderan merupakan pendidikan atas realitas yang selelu mengikuti
hukum perubahan, never ending proses yang unteleologis. Seperti halnya
pendidikan, perkaderan juga harus dijalani sepanjang hayat dalam
kapasitasnya sebagai anggota atau fungsionaris pimpinan organisasi.
Merujuk pada asal dan makna katanya, kader dalam bahasa perancis adalah
cadre yang berarti bagian inti tetap dari suatu resimen; kelompok elit yang
terpilih karena terlatih dengan baik. Jadi kader merupakan kelompok elit
yang smapta dan terlatih dengan baik, yang menjadi tulang punggung
organisasi dengan kualitas dan nilai lebih yang dimiliki. (Asep Purnama
Bakhtiar, Kedaulatan Rakyat, 19/9194 dalam Asep P.B, Membaca ulang
Dinamika Muhammadiyah). Sebagai kelompok elit terpilih dan terlatih yang
mempunyai kualifikasi dan nilai lebihnya, maka kader- kader tersebut tidak
bisa dilahirkan dalam tempo yang singkat (instan)., tanpa melalui proses
pelatihan dan kaderisasi yang mapan. Kader–kader tersebut terbentuk
melalui pembinaan dalam ajang pelatihan dan wahana proses didik diri yang
terencana, bertahap dan berkelanjutan(perkaderan formal, informal, dan
nonformal). Pada dasarnya, pembentukan kader itu tidak bisa lepas dari
proses kaderisai dan pendidikan yang harus dijalaninya dalam kurun waktu

yang tak terbatas.
Sebagaimana perubahan adalah keniscayaan, laju regenerasi
kepemimpinan terus bergulir mengikuti arus waktu yang tak bisa dielakkan.
Proses perkaderan merupakan upaya preventif atas tuntutan regenerasi dan
upaya melangsungkan agenda mencapai tujuan mewujudkan masyarakat
islam sebenar-benarnya dalam jangka panjang. Dalam setiap tahap dan
periode keberadaan kader sangat diperlukan sebagai pelopor, pelangsung
dan penyempurna cita – cita besar organisasi. Disamping itu, keberadaan
kader mapan yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi tinggi secara
berkesinambungan, akan menjadi salah satu parameter keberhasilan IPM
dalam penataan kader dan pengembangan organisasi secara akseleratif,
sesuai dengan dinamika dan tuntutan zaman.
Sebagai organisasi otonom Muhammadiyah dengan ketersediaan
fasilitas dan sumber anggota yang melimpah, mustahil rasanya bagi IPM
mengalami krisis kader. Namun, ekalipun melimpah anggota yang
diperlukan, tetapi seringkali kapasitasnya dibawah standar (under estimate
dan underquality). Jika hal ini terus berlanjut, maka muncul skeptisisme
kedepan IPM akan mengalami penurunan kualitas gerak dan involusi. Oleh
karenanya, IPM memang dituntut untuk melakukan reformulasi perkaderan
jika memang ingin merancang masa depan yang lebih baik dengan

keunggulan dan andalan sumber daya manusianya. Pada tingkat konsep
atau pemikiran harus di sepakati mengenai hakikat perkaderan dalam IPM
yang selama ini mengalami kegamangan konseptual. System perkaderan
harus terus dikontekstualkan dengan arus kemajuan zaman, jangan sampai
kemajuan zaman mengikuti deret ukur sedangkan perkaderan mengikuti
deret hitung.

Pasca muktamar XVI Surakarta IPM menegaskan diri kembali ke khittah
perjuangan dengan nama IPM dan mendeklarasikan diri untuk menjadi
“pelopor gerakan advokasi pelajar yang berkemajuan”. Momen perubahan ini
semestinya tidak sekedar pergantian nama dan atribut logistic, kredo yang
diusung tidak sekadar menjadi kata mutiara namun semestinya benar-benar
diartikulasikan dan dimanifestasikan melalui penataan kembali dan
pembaruan gerakan dengan komitmen teguh untuk terlibat aktif pada
persoalan-persoalan riil di tingkatan pelajar. Konsekuensinya, agenda
revitalisasi dan reformulasi perkaderan adalah sesuaatu yang tak terelakkan.
Dan mesti ada upaya integral dan holistic dari seluruh elemen organisasi
untuk mewujudkan agenda besar ini, dengan mengerahkan seluruh potensi
yang ada untuk konsen pada daratan kepelajaran.
Evolusi SPI: Merah, Biru, Hijau, ……. Kuningkah?

Dalam perjalanannya, SPI mengalami beberapa kali formulasi dan
perubahan. Penyusunan SPI diawali pada periode 1986 yang kemudian
dikenal dengan SPI Merah. Pada awal 1990-an, SPI Merah ini menghadapi
kritik beberapa kader karena isinya secara umum dogmatis, kurang dialogis,
eksklusif dan kurang mencerminkan sebuah system pemikiran seorang
kader. Kritik atas SPI Merah ini kemudian diakomodir dengan kelahiran SPI
Biru pada tahun1993. Pada tahun 1998, SPI Biru kembali menghadapi
gugatan dari kelompok minoritas di tingkat elit, dengan alas an bahwa SPI
Biru dari segi content terlihat gemuk, menggelembung, dan kurang
sistematis. Lantas muncul model- model perkaderan formal yang kurang
memperhatikan panduan SPI banyak pimpinan ditingkat local yang
melakukan kreasi model perkaderan yang diramu dari satu unsure ke unsure
lain. Walhasil, muktamar 2000 di Jakarta merekomendasikan PP IRM untuk
meninjau ulang SPI Biru dan melakukan rekonstruksi yang kemudian
melahirkan SPI Baru yang selanjutnya dikenal dengan SPI Hijau.
SPI hijau sebagai sebuah satuan kurikulum perkaderan diidealkan bisa
melahirkan kader-kader unggul dan berbobot serta mempunyai kualifikasi
yang sesuai dengan nilai-nilai gerakan melalui rangkaian proses perkaderan
yang terencana, berjenjang dan berkelanjutan. Sebagai sebuah anti-tesis
dari SPI sebelumnya, sistem perkaderan yang lahir dari TMU Tawang Mangu

ini mencoba mengakomodir kekurangan SPI terdahulu dengan merapikan
system, memperjelas terminology, elaborasi matan, dan memperluas
implikasi. Upaya ini dilakukan melalui tiga jalur yaitu, penjenjangan, materi
dan follow up. Proses penjenjangan dalam SPI Hijau dipersempit dengan
mengutamakan perkaderan formal utama, dan setelahnya baru pelengkap
dan pendukung. Materi di buat lebih fleksibel untuk menjembatani
penyeragaman dengan membuka ruang kreasi materi local. Dan upaya
penjagaan dan elaborasi dilakukan melalui proses pendampingan ( Follow Up
). Sekilas SPI ini terlihat sangat ideal baik konsep, materi maupun sebagai
satuan system perkaderan. Namun dalam ranah praksis di akar rumput,
banyak teridentifikasi problematika dalam penerapannya. Problematika
penerapan SPI Hijau tersebut antara lain:

1.

Macetnya proses transformasi nilai-nilai kekaderan, terminology, konsep,
bahkan paradigma yang di usung dalam SPI Hijau. Dari pengalaman penulis
di grass root, banyak anggota dan kader ex-trainer Taruna Melati yang masih
tak memahami benar konsep dan terminology yang melingkupi paradigma
kritis transformative yang menjadi kredo SPI Hijau. Bahkan tidak sedikit

sekaliber kader madya eks-trainer TM III masih asing dengan falsafah
gerakan yang menjadi pijakan paradigm ini.
2. Di daratan akar rumput, materi yang direkomendasikan kurikulum SPI Hijau
ini sering kali terkendala minimnya sumber daya pemateri maupun fasilitator
yang benar-benar capable manyampaikan materi-materi tersebut. Soft ware
(materi) yang begitu ideal tak berarti tanpa ditunjang hardware (SDM) yang
supportable.
3. Tidak berjalannya proses need assessment yang semestinya menjadi dasar
pijakan penyusunan materi pelatihan. Proses need assessment yang menjadi
prasyarat penyusunan materi pelatihan sering kali di abaikan, fasilitator di
akar rumput sering kali sama sekali tidak hirau dengan basic wawasan dan
pengetahuan peserta pelatihan sehingga pelatihan tidak berjalan optimal
pun output yang dihasilkan tidak ideal sesuai dengan yang diharapkan
karena adanya kesenjangan antara basic wawasan peserta dengan materi,
peserta diperkosa untuk menangkap materi yang melangit, perkaderan pun
menjadi tidak kontekstual. Hal ini tak ubahnya dengan upaya doktrinasi,
yang jelas sangat bertentangan dengan paradigma kritis yang mengusung
pendidikan penyadaran.
4.
Adanya kesenjangan yang cukup tajam antara material kurikulum

perkaderan dengan basic pengetahuan kader. Materi-materi yang di
rekomendasikan dalam kurikulum SPI Hijau memang cukup ideal, namun
sering kali hal ini justru menjadi determinan kendala pelatihan. Ada
beberapa daerah yang berani berkreasi, melaksanakan TM dengan
konsepnya sendiri meski lebih mirip pesantren kilat, dan ada daerah yang
memaksakan diri dan memperkosa kader dengan materi yang sama sekali
diluar jangkauannya. Hal ini bisa jadi karena rangkaian materi, konsep dan
paradigma ini memang jauh dari tema diskursus ke-pelajar-an yang
merupakan basis massa IPM.
Agenda Reformulasi
Melihat vital dan strategisnya peran sentral perkaderan, rasanya ad
urgensitas bagi IPM untuk melakukan agenda reformulasi dan revitalisasi
perkaderan untuk mencapai target menjadi gerakan advokasi pelajar yang
berkemajuan. Reformulasi sistem perkaderan mesti mempertimbangkan
factor kendala, ketersediaan sarana, potensi organisasi dan aspek realitas
akar rumput serta konteks lingkungan yang melingkupinya sehingga sistem
perkaderan benar-benar kontekstual dan bisa menjawab tantangan zaman.
Upaya yang bisa dipertimbangkan antara lain:
1.
Perkaderan IPM mesti benar-benar concern pada kepentingan pelajar

dengan memperhatikan isu-isu yang melingkupi dunia ke-pelajar-an. Selama
ini energy IPM banyak terkuras pada ambisi kritis transformative yang hanya

2.

3.
4.

5.

ada pada diskusus tingkat elit dan kadang justru mengabaikan kepentingan
sentral pelajar sebagai basis massanya.
Adanya penegasan bahwa nomenklatur pergantian nama dari IRM ke IPM
bukanlah sekadar pergantia baju semata. Jangan sampai agenda menjadi
gerakan advokasi pelajar yang berkemajuan hanya dianggap penting dan
strategis di ranah slogan namun terlantar dalam kenyataan. Oleh karenanya,
materi – materi yang diangkat hendaknya adalah tema – tema yang secara
de facto menjadi diskursus ke-pelajar-an.
Adanya kesatuan dan keterpaduan antara ranah epistimologis
( teologi/falsafah gerakan ), ontologis ( paradigma ), dan methodologi

( instrumen analisis ).
Adanya ketersediaan ruang public yang secara intens megupas topic-topik
seputar tema besar kekaderan untuk proses introduksi dan menperlancar
arus transformasi nilai-nilai gerakan. Berangkat dari asumsi bahwa kader
tidak bisa lahir oleh proses instan, maka mesti ada ruang pubik yang secara
intens membahas diskursus nilai-nilai gerakan yang memungkinkan adanya
sharing literasi.
Adanya upaya integral semua elemen organisasi untuk mendukung,
mengawal, menjaga, dan meningkatkan kualitas kader.
Perkaderan dalam IPM memegang peran vital, serta menemapati posisi
sentral dan strategis, namun pada realitanya masih banyak terdapat
sejumlah problematika yang harus diselesaikan secara tuntas, baik yang
berkaitan dengan rancang bangun konsep, sistem maupun aplikasinya.
Momen pergantian nama IRM ke IPM semestinya tidak sekedar pergantian
nama dan atribut logistic, kredo yang diusung tidak sekadar menjadi kata
mutiara namun semestinya benar-benar diartikulasikan dan dimanifestasikan
melalui penataan kembali dan pembaruan gerakan dengan komitmen teguh
untuk terlibat aktif pada persoalan-persoalan riil di tingkatan pelajar.
Konsekuensinya, agenda revitalisasi dan reformulasi perkaderan adalah
sesuaatu yang tak terelakkan. Dan mesti ada upaya integral dan holistic dari

seluruh elemen organisasi untuk mewujudkan agenda besar ini, dengan
mengerahkan seluruh potensi yang ada untuk konsen pada daratan
kepelajaran.