ANALISIS PENJATUHAN PIDANA MINIMAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERKARA NOMOR: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

ABSTRAK
ANALISIS PENJATUHAN PIDANA MINIMAL TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERKARA
NOMOR: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

Oleh
MIA NASYA TAMARA

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi yang berdampak pada kerugian
keuangan negara, sehingga pelakunya harus dihukum maksimal. Permasalahan
penelitian ini adalah: Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor:
32/Pid.TPK/2014/PN.TJK? Apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana
korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa
keadilan masyarakat?
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber
penelitian terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan: Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor:
32/Pid.TPK/2014/PN.TJK sesuai dengan teori keseimbangan, yaitu hakim
mempertimbangan keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan
tindak pidana korupsi dana tilang, dengan ketentuan hukum khususnya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu majelis hakim
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara
selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)
subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana
uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500 (satu miliar empat ratus delapan belas
juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah). Putusan tersebut
memenuhi teori keseimbangan antara kesalahan terdakwa, ketentuan undangundang serta hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa. Putusan hakim terhadap
pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK
terhadap rasa keadilan masyarakat, karena tindak pidana korupsi merupakan
kejahatan luar biasa yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara

Mia Nasya Tamara
luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana

tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang
dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang
mengharapkan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Saran dalam penelitian ini adalah: Majelis hakim yang menangani tindak pidana
korupsi disarankan lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap
pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut sesuai dengan
berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi disarankan untuk
mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana,
kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan
besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa.

Kata Kunci: Penjatuhan, Pidana Minimal, Korupsi

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA MINIMAL TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERKARA
NOMOR: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

Oleh


MIA NASYA TAMARA

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

RIWAYAT HIDUP

Mia Nasya Tamara, lahir di Bandar Lampung pada tanggal 26 Mei 1994, anak
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Budiman A.S., dan Eliyana. Penulis
mempunyai satu orang kakak bernama Rezki Wirmandi dan adik bernama Rio

Armanda.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis, yaitu Taman Kanak-Kanak
Al-Azhar III Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 1999. Sekolah Dasar AlAzhar Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah
Pertama Negeri 23 Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2008 dan Sekolah
Menengah Atas Negeri Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur Prestasi Bibit Unggul Daerah (PBUD). Penulir
mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Kampung Tunas Asri
Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang Barat.

MOTO

“Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya
mengenai orang yang dipimpinnya”

(H.R. Bukhari Muslim)

“Kesuksesan tidak akan bertahan jika dengan jalan pintas”

“Learn from the past, live for today and plan for tomorrow”

(Penulis)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Papa dan Mama
sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan
membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih
sayang yang tulus dan memberikan do’a
yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

Kakak penulis, Rezki Wirmandi
dan Adik penulis, Rio Armanda
yang selalu Mendukung dan Membantu.

Sahabat-sahabat penulis yang tidak bisa untuk disebutkan satu-persatu
yang telah banyak membantu, menemani dan memberikan dukungan

kepada penulis selama ini.
Terimakasih atas persahabatan yang indah yang telah kalian berikan
dan waktu yang telah kalian luangkan

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah
SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: Analisis Penjatuhan Pidana
Minimal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perkara Nomor:
32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas
Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Ibu Dr. Nikmah Rosidah S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran
selama proses perkuliahan dan terutama dalam penulisan skripsi ini sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.

i

5. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran
selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama
proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
7. Bapak M. Farid S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah

memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama
proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
8. Bapak Budiono S.H., selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa
memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
9. Ibu Dr. Erna dewi, S.H.,M.H. yang telah menjadi narasumber, memberikan
izin penelitian, membantu dalam proses penelitian dan penyediaan data untuk
penyusunan skripsi ini.
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik,
menempa, dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung.
11. Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Ibundaku
Eiyana dan Ayahandaku Budiman AS yang telah merawat, membimbing,
mendidik, menempa, dan menyayangiku dari dalam kandungan sampai

ii

kapanpun agar penulis dapat menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan
dan melupakan akhirat serta menjadi semangat untuk menggapai semua citacita maupun harapan yang diinginkan oleh penulis agar dapat menjadi

seseorang yang beriman, berilmu, sukses dan bermanfaat bagi agama, negara,
dan keluarga.
12. Teristimewa pula kepada kakak Rezki wirmadi S.H, dan adik tersyang Rio
Armanda yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada
penulis, serta menjadi pendorong semangat agar penulis terus berusaha keras
mewujudkan cita-cita dan harapan sehingga dapat menjadi contoh yang baik
bagi mereka berdua.
13. Seluruh keluarga besarku (Om dan Tante, Sepupu, Keponakan) yang telah
memberikan doa, motivasi, dan masukan-masukan agar penulis dapat
menyelesaikan kuliah di Universitas Lampung.
14. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terima kasih atas ilmu,
doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.
15. Mbak Sri, Bude dan mbak Yani, Babe Narto atas bantuan dan fasilitas selama
kuliah dan penyusunan skripsi.
16. Septias Herson Sejati, thank you for your support and always being there for
me.
17. Sahabat-Sahabatku, Haryani Irbah, Sartika Aprilia, Meirini atmawidjaja,
Melani Agnes, Riyadhi, Faidzin Khadafi, Ratih Retno, Ketty, Marsha, Dian
Ayu yang telah menghibur penulis, menemani disaat susah maupun senang,

memberikan semangat dan motivasi tiada henti semenjak bangku Sekolah

iii

Menengah Pertama hingga saat ini, semoga kebersamaan ini akan terus
berlanjut hingga kita semua sukses kelak.
18. Sahabat-sahabat seperjuanganku, Murni Triana, S.H. Mutiara Pusparani, S.H,
Untari Rachma Widianti,S.H. Triadhani Khairunissa S.H. yang telah
menemani, menghibur dan memberikan semangat kepada penulis semoga
kelak kita dapat meraih kesuksesan bersama.
19. kawan-kawan Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
tidak dapat penulis sebutkan semuanya karena keterbatasan media namun
tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dari penulis kepada kawan-kawan
semua. Bersama kalian, kulewati saat-saat manis dan pahit perjalanan ini.
terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.
20. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang
lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah

diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususnya.
Bandar Lampung,
Penulis,

Mia Nasya Tamara

iv

Oktober 2015

DAFTAR ISI

Halaman
I

II

III

IV

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ..................................

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................................

8

E. Sistematika Penulisan .......................................................................

13

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pidana ..............................................................................

15

B. Teori Pemidanaan..............................................................................

18

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi....................................................

21

D. Pengertian Keadilan Substantif dan Keadilan Restoratif ..................

24

METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ..........................................................................

31

B. Sumber dan Jenis Data ......................................................................

31

C. Penentuan Narasumber......................................................................

32

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data...................................

33

E. Analisis Data .....................................................................................

34

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................

35

A. Karakteristik Narasumber .................................................................

35

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap
Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perkara Nomor:
32/Pid.TPK/2014/PN.TJK ................................................................

36

V

C. Putusan Hakim terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam
Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK terhadap Keadilan
Masyarakat ........................................................................................

58

PENUTUP ...............................................................................................

64

A. Simpulan ...........................................................................................

64

B. Saran..................................................................................................

65

DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk
menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak
pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, maka
diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Pasal ini
biasanya didakwakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyebabkan
kerugian keuangan negara kurang dari lima juta rupiah.

2
Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi seharusnya dijatuhkan secara
maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus memiliki sistem
pengadilan tersendiri yang disebut dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengadilan ini dibentuk agar majelis hakim yang menangani perkara korupsi lebih
intensif dan fokus dalam memformulasikan dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana korupsi secara maksimal. Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi didasarkan pada spirit semangat reformasi hukum dalam penegakan hukum
dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang
penegakan hukum pidana khusus korupsi bersifat independen dari pengaruh atau
intervensi kekuasaan manapun.

Setiap

pelaku

yang

terbukti

melakukan

tindak

pidana

korupsi

harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan

3
undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian
dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak
melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa
warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah
ditentukan berdasarkan hukum.

Seseorang yang melanggar hukum harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Salah satu perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kota Bandar Lampung
adalah korupsi dana tilang yang dilakukan oleh Rika Aprilia (34) Mantan Bendahara
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung diduga melakukan korupsi penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) tahun 2012-2013 senilai Rp 1.418.479.500. Rika bertugas
menerima, menyimpan, menyetorkan, dan mempertanggungjawabkan uang PNBP di
kantor dan satuan kerja kementerian negara. Ia diangkat sebagai bendahara khusus
penerimaan berdasar Surat Keputusan Kepala Kejari Bandarlampung Nomor: KEP03/N.8.10/Cu.1/01/2012

tertanggal

2

Januari

2012

dan

Nomor:

KEP-

05/N.8.10/Cu.1/02/2013 pada 14 Februari 2013. Sebagai bendahara, seharusnya
terdakwa menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara dalam waktu 1 x 24 jam. Ini
sesuai UU Nomor 20/1997 tentang PNBP, namun, terdakwa tidak menyetorkan uang
itu ke kas negara. Ia menggunakan uang yang telah disetorkan dari Kasipidum
maupun Kasipidsus Kejari Bandar Lampung sebagai PNBP untuk kepentingan
pribadi. Untuk memuluskan aksinya, terdakwa memalsukan bukti surat tanda setoran
(STS) serta surat setor bukan pajak (SSPB) dengan tanda tangan pihak bank sebagai
PNPB. Dengan begitu, ia seolah-olah sudah menyetorkan dana tersebut. Akibat
perbuatan terdakwa, negara dirugikan sebesar Rp 1.418.479.500.

4
Jaksa Penuntut Umum menjerat terdakwa dengan pasal berlapis. Pada dakwaan
primer yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dakwaan subsider melanggar
Pasal 3 ayat 1 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan primair perbuatan
terdakwa telah diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo-Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang
tentang Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling).

Dakwaan subsider, terdakwa diancam Pasal 3 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Majelis
Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang
menenjatuhkan vonis terhadap terdakwa Rika Aprilia selama lima tahun penjara dan
pidana uang pengganti sebesar Rp 1.418.479.500.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang
melalui Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara dan denda
sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan.
Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500

5
(satu miliar empat ratus delapan belas juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu
lima ratus rupiah). Pidana yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Terdakwa tersebut
merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi yang
dilakukan terdakwa.

Kesenjangan yang terjadi dalam putusan tersebut adalah seharusnya terdakwa
dihukum

maksimal,

sebagaimana

diatur

dalam

Pasal

3

Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi pada kenyataannya Terdakwa hanya
dipidana selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta
rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan.

Selain kesenjangan di atas dapat diidentifikasi pula bahwa dalam putusan tersebut
terdapat ketidaksesuaian antara putusan hakim dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan
Sifat Kejahatannya. Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa kecenderungan
meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi
memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu
terhadap tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan
menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak
pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan
di dalam masyarakat

Hakim pada prinsipnya wajib melaksanakan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang, termasuk ketentuan pidana minimal dalam kasus korupsi, namun prinsip itu
tak berlaku secara umum. Meskipun secara prinsip Undang-Undang menyebut syarat
minimal, hakim bisa menyimpanginya dengan catatan ada eksepsional yang

6
dimungkinkan untuk menerapkan rasa keadilan itu. SEMA No. 1 Tahun 2000 jo
SEMA No. 1 Tahun 2001 sebenarnya sudah memberikan arahan agar perkara
korupsi diprioritaskan dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku setimpal dengan
perbuatannya. Spirit yang terkandung dalam SEMA tersebut adalah perbuatan
korupsi sangat merugikan masyarakat. Rendahnya putusan perkara korupsi ini pula
yang menjadi salah satu temuan tim peneliti putusan hakim kerjasama Komisi
Yudisial dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR). Putusan ringan untuk
perkara korupsi masih ditemukan. Rendahnya putusan hakim menurut tim peneliti
membuktikan bahwa hakim kurang peka terhadap upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi karena putusan rendah tidak akan menimbulkan efek jera.1

Setiap

pelaku

yang

terbukti

melakukan

tindak

pidana

korupsi

harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan pidana
maksimal sesuai dengan ketentuan undang-undang. Seseorang yang melanggar
hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya,
yaitu mulai

dari

perlunya

kehati-hatian

serta dihindari sedikit mungkin

ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya
kecakapan teknik dalam membuatnya. 2

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa
kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam
menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
1

http://www.lexregis.com/?menu=news&idn=411.Diakses 10 November 2014
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan
Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 155.

2

7
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang
diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak
korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat. Pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi seharusnya lebih dioptimalkan sehingga memberikan efek jera
kepada pelakunya dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain yang berpotensi
melakukan tindak pidana korupsi agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga
pemberantasan korupsi menjadi lebih maksimal.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan kajian dan penelitian yang
berjudul: Analisis Penjatuhan Pidana Minimal Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap
pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK?
b. Apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara
Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak
pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK dan putusan hakim
terhadap

pelaku

tindak

pidana

korupsi

dalam

Perkara

32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat

Nomor:

8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam
Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim terhadap pelaku tindak
pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah
memenuhi rasa keadilan masyarakat.

2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis, diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya kajian tentang putusan hakim terhadap pelaku tindak
pidana korupsi.
b. Kegunaan Praktis, diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi
aparat dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. 3. Berdasarkan pernyataan di atas
maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

9
a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses
penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian,
putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling
berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara
keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling
berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam
suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan
rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan
kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum.4

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan
putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya. 5

4

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
Grafika,.2010, hlm.103.
5
Ibid, hlm.104.

10
Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara pidana, yaitu:
1) Teori keseimbangan
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau
berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang
berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
2) Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.
Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan
keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan
melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.
3) Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus
dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya
dengan putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan
hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau
instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga
wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
4) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam
menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman
yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari
putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan
pelaku, korban maupun masyarakat.
5) Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari perundang-undangan yang relevan dengan
pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan
putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi pihak yang berperkara.
6) Teori kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini
berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini
menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut
bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi
anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat
dan bagi bangsanya.6

6

Ahmad Rifai, op cit. hlm.105-106.

11
b. Teori Keadilan Subtantif

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang
terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek
prosedural akan di ‘nomorduakan’. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke
dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, kedilan
komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar
segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini,
segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua
pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus
mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan. 7

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak
berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara
formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya
melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja
dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat
menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan)8

2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam
melaksanakan penelitian9. Konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

7

Mahfud M.D., Penegakan Keadilan di Pengadilan, http://mahfudmd.com
Sudarto. Op Cit. hlm. 64
9
Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm.103
8

12
a. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan
prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima
sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah10
b. Penjatuhan pidana adalah proses diputuskannya perkara pidana dengan cara
memberikan hukuman terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan kesalahan
yang dilakukannya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan11
c. Pidana minimal adalah penjatuhan hukuman terendah (minimal) yang bersifat
umum (universal) yang berlaku bagi setiap perkara dengan jenis hukumannya
masing-masing.12
d. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku
tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum13
e. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah).14

10

Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Rineka Cipta, 2005.hlm. 54
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 20.
12
Ibid, hlm. 21.
13
Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25
14
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)
11

13
E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap
isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
I

PENDAHULUAN
Berisi Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan
Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika
Penulisan.

II

TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
yaitu pengertian pidana, pengertian tindak pidana korupsi, pengertian
keadilan Substantif dan keadilan restoratif.

III

METODE PENELITIAN
Berisi metodologi penelitian, yaitu Pendekatan Masalah, Sumber Data,
Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta
Analisis Data.

IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi dan analisis mengenai dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam
Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK dan putusan hakim terhadap
pelaku

tindak

pidana

korupsi

dalam

Perkara

32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Nomor:

14
V

PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan
penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan
kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum
yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan
perundang-undangan. Sedangkan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan
sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu
dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.15

Suatu perbuatan dikategorikan sebagai pidana menurut P.A.F. Lamintang dan C.
Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu
unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan.16

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan
15

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1996, hlm. 152-153.
16
P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981 hlm.193.

16
c. Macam-macam maksud atau oogmerk
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
e. Perasaan takut atau vress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.17

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum
yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan
perundang-undangan. Sedangkan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan
sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian
pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang
perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang disertai ancaman
pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak
pidana di dalam undang-undang.

17

Ibid, hlm.193.

17
Pidana menurut Andi Hamzah adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam
undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung
jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan18

Unsur-unsur suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat perbuatan
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 19

Pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki
unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di
mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan umum.

Pidana menurut P.A.F Lamintang merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan
bentuk tingkah laku yang melanggar Undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang harus dihindari dan arang siapa
melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-

18

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. 2001.
hlm. 22
19
Ibid. hlm. 30

18
kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan
dalam peraturan perundang-undangan. 20
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dirumuskan bahwa pidana
sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum,
yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan
perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila
ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif
mengenai kesalahan yang dilakukan.

B. Teori Pemidanaan

Pemidanaan adalah penderitaan yang sengaja. dibebankan kepada seseorang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana sebagai reaksi
atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara
kepada si pembuat delik itu. Pidana pada hakekanya merupakan suatu pcngenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. Pidana itu
diberikan dengan sengaa oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (orang
yang berwenang) dan pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang. 21
Pemidanaan dapat pula diartikan sebagai reaksi sosial yang terjadi berhubung adanya
pe1anggaran terhadap suatu aturan hukum, dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orangorang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar, mengandung
20

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996.
hlm. 16.
21
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986. Hlm. 35

19
penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan dan
menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar. Unsur-unsur dalam pidana adalah:
a. Mengandung penderitaan atau konsekuesi-konsekuensi lain yang tidak
menyenangkan.
b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar disangka benar melakukan tindak
pidana.
c. Dilakukan dengan sengaja oleh orang-orang yang berlainan dan dari pelaku
tindak pidana.
d. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sitem
hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut22

Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu:
1) Teori Absolut atau pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang
mutlak dari suatu perbuatan tindak pidana tanpa tawar menawar. Tuntutan
keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam pendapat Immanuel Kant
yang menyatakan bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai
sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam
semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan
kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk
menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuhan
terakhir yang masih dipidana di dalam penjara harus dipidana sebelum resolusi
atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus
dilaksanakan karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan
perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena
apabila tidak demikian mereka sernua dapat dipandang sebagai orang yang ikut
ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap
keadilan umum. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa
menurut teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan tuntutan mutlak,
bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu
keharusan kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan.23
2) Teori Relatif atau Tujuan
Tujuan pidana bukanlah sekedar rnelaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan
jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa
pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana
dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan
22

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung. 1984.
hlm.76
23

Ibid. hlm. 77.

20
lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana saja, sehingga dasar
pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada
tujuannya.
Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi
khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention),
prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga
pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi
tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti
telah dikenal dengan rehabilitation theory. Sedangkan prevensi umum
dirnaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegaaan
kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku
masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Ada tiga bentuk pengaruh
dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk
memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan
perbuatan patuh pada hukum. 24
3) Teori Integratif atau Gabungan
Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu
tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak
pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan
untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat.
Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai
pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap
individu maupun terhadap masyarakat. Ajaran ini memungkinkan adanya
kemungkinan untuk menagadakan sirkulasi terhadap teori pernidanaan yang
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus.
Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai
kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding kelemahankelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit untuk menentukan
berat ringannya pidana diragukankan adanya hak negara untuk menjatuhkan
pidana sebagai pembalasan, pidana pembalasan tidak bermanfaat bagi
masyarakat. Dalam teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatantan
sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan umum maupun
teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan
pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan hanya masyarakat
tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri. 25

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa secara umum tujuan
pemidanaan adalah:

24

Ibid. 1984. Hlm.33.

25

Ibid. 1984. Hlm.34.

21
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan
pengayoman masyarakat.
2) Memasyarakatkan dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik
dan berguna.
3) Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4) Membebaskan rasa bersaIah pada terpidana Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia26

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau
kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),
dan nepotisme (nepotism).27

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini
bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:
a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan
b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban
c) Penyembunyian pelanggaran. 28

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai
berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk
golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus,
26

Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2001. Hlm.49
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:
LP3ES, 1983, hlm. 12.
28
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 56.

27

22
termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang orang khusus) dan
hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi.
Selain hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku
sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum
yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan
dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana
suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat
dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum
inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala adanya
pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum
pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan
ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi
sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa
kesalahan" harus tetap dihormati.

Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan
hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum pidana
umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale).
Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan
bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari
umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum,
sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.

Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang

23
lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan perundangundangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan
masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam buku keduanya
memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang di buku ketiga
dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran. Undang-