Interaksi Aktor dalam Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun 2012-2013

(1)

Ismail Nahri Alfajri*)

*Alumni Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung Bandar Lampung

ABSTRAK

Desentralisasi yang diterapkan di Indonesia telah membawa konsekuensi munculnya aspirasi pembentukan wilayah otonom melalui pemekaran, termasuk di dalamnya pemekaran kampung. Demikian halnya pemekaran 14 kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat yang dilaksanakan tahun 2012-2013 dalam kerangka penataan kampung dan kecamatan.

Penelitian ini bertujuan menganalisis aktor yang terlibat dalam pemekaran 14 kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, bentuk interaksi para aktor tersebut dan apa kepentingan mereka terhadap perumusan kebijakan pemekaran kampung. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan interview, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu reduksi data atau penyederhanaan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prakarsa pemekaran kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat lebih didominasi oleh elit tingkat kampung yang berkeinginan untuk berkuasa di tingkat kampung maupun elit kabupaten yang memiliki program penataan wilayah. Perspektif kepentingan aktor menunjukan bahwa Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat mentargetkan untuk membentuk 100 kampung dan 10 kecamatan. Namun baik eksekutif maupun legislatif sama-sama memiliki kepentingan untuk mengakomodasi keinginan konstituen yang menginginkan pemekaran kampung.

Interaksi antar aktor menunjukkan terjadinya proses asosiatif, yaitu bentuk kerjasama dan persetujuan. Proses assosiatif ini terbentuk melalui cara kooptif oleh pemerintah daerah dengan membangun koalisi melalui satuan kerja dengan komisi dan fraksi yang mengarah pada terjadinya akomodasi oleh Pansus di DPRD.

Nilai-nilai politis dan ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pemekaran. Pemekaran kampung merupakan kepentingan elit baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat kampung yang memiliki kekuatan politis yang potensial sehingga dalam proses perumusan kebijakan pemekaran kampung terjadi keberpihakan terhadap kepentingan elit, karena keberpihakan itu merupakan “investasi politik” maupun “modal legitimasi” bagi aktor kebijakan.


(2)

(3)

THE INTERACTIONS OF ACTORS IN FORMULATING VILLAGE EXPANSION POLICY IN TULANG BAWANG BARAT DISTRICT IN 2013-2013

Ismail Nahri Alfajri*)

*Alumni Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung Bandar Lampung

ABSTRACT

The application of decentralization in Indonesia results in consequences of rising aspirations about forming autonomous regions through administrative enhancement, including village expansion. The expansions of 14 villages in Tulang Bawang Barat Regency which was conducted from 2012 to 2013 was for sub district and village rearrangement.

The objectives of this research were to analysis actors who were involved in 14 village expansions in Tulang Bawang Barat Regency, forms of interactions of these actors, and their interests in the formulations of village expansion policies. This was a qualitative research. Data were collected with interview, observation, and documentation. Data were analyzed using data reduction, data presentation, and drawing conclusion.

The results showed that the initiatives of village expansions in Tulang Bawang Barat Regency were likely dominated by village elites who desired to have power in the villages and district elites who had regional arrangement programs. The perspective of actor’s interests showed that the Tulang Bawang Barat government had a target to form 100 villages and 10 sub districts. However, both executives and legislatives had the same interests to accommodate public desires who wanted village expansions.

Interactions between actors showed associative process in form of cooperation and agreement. The associative process were formed through cooptation by regional government by establishing coalition through working unit with commission and fractions in Regional House of Representative which lead to accommodation by Special Committee (Pansus) in Regional House of Representative.

Political and economical values are strongly affecting expansion implementation. It could be understood because village expansion was elites’ interests in district and


(4)

was a “political investment” or “legitimation capital” for actors formulating the policy.


(5)

INTERAKSI AKTOR DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN

PEMEKARAN KAMPUNG DI KABUPATEN TULANG

BAWANG BARAT TAHUN 2012-2013

Oleh

ISMAIL NAHRI ALFAJRI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sendang Rejo Kecamatan Sendang Agung Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 28 September 1982, anak dari pasangan Bapak M. Mutsani. K dan (Alm) Ibu Siti Aisyah.

Jenjang akademis penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di MI Maarif Sendang Rejo pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Almuallimin Sendang Rejo dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK)-MAN 1 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan diwisuda pada Februari 2006. Selanjutnya penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung tahun 2013. Saat ini penulis bekerja di Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat.


(10)

SANWACANA

All Thanks to Allah SWT

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Interaksi Aktor dalam Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun 2012-2013” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Pascasarjana Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Lampung; 3. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan Pembimbing Utama penyusunan tesis ini. Terima kasih atas kesediannya yang dengan sabar memberikan bimbingan, saran, kritik serta motivasi dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. 4. Bapak Drs. Yana Ekana PS, M.Si. selaku Koordinator Sekretariat Program Studi

Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, yang telah banyak memberikan wawasan ilmu kehidupan;


(11)

tesis ini;

6. Bapak Dr. Deddy Hermawan, S.Sos, M.Si selaku Penguji Utama Tesis, terima kasih atas saran dan kritiknya demi perbaikan tesis ini;

7. Seluruh Jajaran Dosen Pengajar di Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, terimakasih atas wawasan ilmu yang telah diberikan;

8. Seluruh Staf Administrasi dan Karyawan TU Fisip Unila yang membantu dan melayani urusan administrasi perkuliahan;

9. Jajajaran Pemkab Tulang Bawang Barat, Bapak Drs. Ahmad Hariyanto, mantan Kabag Tapem yang kini jadi Kadishubkominfo, Kabag Tapem saat ini Bapak Desmi Anwar, SE, Kasubbag Pertanahan Bapak Nazarudin, SIP, MIP, Kasubag Otda Bu Mulyana, S.Sos dan staf Bagian Tata Pemerintahan.

10.Semua informan yang telah bekerjasama dengan Penulis;

11.Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Unila angkatan 2013.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga tesis yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis


(12)

MOTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka

apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah

dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada

Allah-

lah hendaknya kamu berharap”

{QS. Al-Insyirah (Kelapangan):5-7}

Kebenaran berarti terpenuhinya jati diri. Kaidah atau hukum

moral

berarti

kesesuaian

dengan

kaidah

kemanusiaan.

Kebenaran adalah awal dan akhir (subtansi) dari kehidupan.

Tanpa kebenaran tidak akan ada kehidupan. Dengan alasan

inilah manusia bermoral menilai kebenaran

(Konfusius)

Sesuatu selalu nampak mustahil sampai selesai dilakukan

(Nelson Mandela)

You Exist Only in What You Do. So, Do It


(13)

SANWACANA

All Thanks to Allah SWT

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Interaksi Aktor dalam Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun 2012-2013” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Pascasarjana Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Lampung; 3. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan Pembimbing Utama penyusunan tesis ini. Terima kasih atas kesediannya yang dengan sabar memberikan bimbingan, saran, kritik serta motivasi dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. 4. Bapak Drs. Yana Ekana PS, M.Si. selaku Koordinator Sekretariat Program Studi

Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, yang telah banyak memberikan wawasan ilmu kehidupan;


(14)

tesis ini;

6. Bapak Dr. Deddy Hermawan, S.Sos, M.Si selaku Penguji Utama Tesis, terima kasih atas saran dan kritiknya demi perbaikan tesis ini;

7. Seluruh Jajaran Dosen Pengajar di Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, terimakasih atas wawasan ilmu yang telah diberikan;

8. Seluruh Staf Administrasi dan Karyawan TU Fisip Unila yang membantu dan melayani urusan administrasi perkuliahan;

9. Jajajaran Pemkab Tulang Bawang Barat, Bapak Drs. Ahmad Hariyanto, mantan Kabag Tapem yang kini jadi Kadishubkominfo, Kabag Tapem saat ini Bapak Desmi Anwar, SE, Kasubbag Pertanahan Bapak Nazarudin, SIP, MIP, Kasubag Otda Bu Mulyana, S.Sos dan staf Bagian Tata Pemerintahan.

10.Semua informan yang telah bekerjasama dengan Penulis;

11.Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Unila angkatan 2013.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga tesis yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik... 14

B. Perumusan kebijakan Publik... 18

C. Model Perumusan Kebijakan Publik. ... 23

D. Aktor Kebijakan... 31

E. Interaksi Aktor Kebijakan ... 35

1. Interaksi Pemerintah Daerah dan DPRD ... 44

2. Karakteristik Interaksi Pemerintah Daerah dan DPRD ... 47

3. Tipologi Interaksi Aktor ... 53

F. Pemekaran Wilayah dan Desa/Kampung ... 69

G. Kerangka Pemikiran ... 75

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 78

B. Fokus Penelitian... 81

C. Jenis Data Yang Diperlukan ... 83

D. Teknik Pengumpulan Data ... 84

E. Teknik Analisa Data ... 86


(16)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 89

1. Kondisi Geografis ... 90

2. Sejarah Terbentuknya Pemerintahan ... 93

3. Kondisi Demografi dan Sosial Budaya ... 97

B. Gambaran Umum 14 Kampung Pemekaran ... 99

1. Kondisi Geografis dan Demografi 14 Kampung Pemekaran ... 100

2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat 14 Kampung Pemekaran ... 108

3. Deskripsi Pemerintahan14 Kampung Pemekaran ... 110

C. Arah Kebijakan ... 112

V. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Analisis Kelayakan Pemekaran ... 114

B. Dinamika Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung ... 123

1. Usulan pemekaran : Pertarungan Elit ... 125

2. Verifikasi Lapangan oleh Tim Kabupaten ... 135

3. Analisis Proses Legislasi ... 138

C. Analisis Interaksi Aktor Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung . 147 1. Pemetaan Aktor Kunci dalam Perumusan Kebijakan ... 148

2. Analisis Kepentingan Aktor Kebijakan ... 156

3. Analisis Proses, Tipe dan Karakteristik Interaksi Aktor ... 165

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 183

B. Saran ... 184

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel

1. Jumlah Kecamatan dan Kampung di Kabupaten

Tulang Bawang Barat ... 95

2. Jumlah Penduduk di Tulang Bawang Barat ... 97

3. Komposisi Jumlah Penduduk Tulang Bawang Barat Berdasarkan Agama ... 98

4. Komposisi Penduduk Kabupaten Tulang Bawang Barat Berdasarkan Usia ... 98

5. Komposisi Penduduk Kabupaten Tulang Bawang Barat Berdasarkan Pendidikan ... 99

6. Komposisi Penduduk 14 Kampung Pemekaran Berdasarkan Agama ... 108

7. Komposisi Penduduk 14 Kampung Pemekaran Berdasarkan Pendidikan ... 109

8. Nama 14 Penjabat Kepala Kampung Pemekaran ... 111

9. Matriks Penilaian Kelayakan Pemekaran Kampung Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 118

10. Matrik Penilaian Kelayakan Pemekaran Kampung Berdasarkan Jumlah KK ... 119

11 Kepadatan Penduduk Kampung Induk ... 120

12. Matrik Kelayakan dan Potensi 14 Kampung Pemekaran ... 122

13. Pemetaan Aktor Kebijakan Pemekaran Kampng ... 149

14. Temuan Kepentingan dan Perilaku Aktor dalam Proses Inteaksi Kebijakan Pemekaran Kampung ... 163

15. Matriks Perspektif Interaksi Pemda Tulang Bawang Barat dan DPRD dalam Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung ... 173


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar

1. Bagan Perencanaan Kebijakan Pemerintahan Daerah ... 41

2. Bagan Kerangka Pemikiran ... 77

3. Peta Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 91

4. Kerangka Kerja Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung...146

5. Karakteristik Proses Interaksi Pemerintah Daeah dengan DPRD dalam Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung...168

6. Skema Interaksi Aktor dalam Perumusan Kebijakan Pemekaran Kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 176


(19)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Otonomi daerah yang telah berjalan di Indonesia menyebabkan konsekuensi terhadap pola pembangunan di berbagai daerah. Diantaranya menyangkut penataan daerah dalam rangka mempercepat akselerasi pembangunan. Hal ini adalah konsekuensi otonomi daerah yang kemudian memunculkan kebijakan desentralisasi.

Desentralisasi pemerintahan melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan sendiri adalah konsep yang dipakai oleh hampir 60 negara sebagai salah satu strategi pembangunan. Selain dipandang positif dari sisi efektivitas manajemen pemerintahan, pelaksanaan otonomi juga dipandang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga Negara untuk menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Lindaman dan Thurmaier dalam Budi Setiyono, 2012 ; 181).

Pemerintah daerah melihat di dalam otonomi daerah terdapat pembagian kekuasaan (sharing of power), distribusi pendapatan (distribution of income) dan pemberdayaan administrasi lokal (empowering local administration). Ketiga hal inilah yang diharapkan oleh daerah agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik. Disamping itu, otonomi daerah diharapkan akan


(20)

mampu memacu pembangunan daerah, sehingga kesenjangan pertumbuhan antar daerah secara perlahan dapat dikurangi (Warsito, 2002 ; 14).

Sejalan dengan dilaksanakannya pola pemerintahan ke arah desentralisasi, maka tuntutan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan good governance. Good governance adalah suatu bentuk paradigma baru manajemen pembangunan yang dilakukan melalui sinergi antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dengan melakukan pemberdayaan masyarakat, pengembangan institusi yang sehat, menunjang sistem produksi yang efisien dan mendorong adanya perubahan yang terencana(Tjokoamidjojo, 2001 ; 19).

Penerapan desentralisasi melalui Undang-undang Nomor 32/2004 ternyata telah membuka dinamika politik lokal yang memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan kondisi daerah. Dinamika ini juga terlihat dalam bentuk interaksi antara pemerintah daerah dengan DPRD sebagai wujud dari fungsi mengatur (policy formulation) dan fungsi mengurus (policy implementation) yang dimiliki oleh pemerintah daerah bersama DPRD. Interaksi kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah tersebut menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pemerintah daerah.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan Rondinelli (1983:27) bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi adalah interaksi antara penyelenggara pemertintahan tingkat lokal. Dalam konteks ini


(21)

interaksi antara pemerintah daerah dan DPRD sebagai institusi utama yang melaksanakan tanggung jawab mengelola urusan daerah menjadi salah satu faktor penting keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Dalam konteks kebijakan, interaksi dalam policy process memegang peranan yang sangat penting karena dari keefektifan proses interaksi tersebut dapat dihasilkan suatu kebijakan publik yang benar-benar solutif. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam tulisan Kickert dkk. (1999) bahwa dalam public policy making dan governance perlu dibangun dalam kerangka network antar berbagai aktor meliputi individu, koalisi, biro, ataupun organisasi. Aksentuasi konsep ”interaksi” dalam proses perumusan atau formulasi dan implementasi kebijakan publik ini selanjutnya dikenal dengan konsep jejaring kebijakan atau „policy networks1.

Jejaring kebijakan merupakan bagian dari proses kebijakan. Suatu program kebijakan akan lebih mudah diimplementasikan jika pelaksanaan program mengidentifikasi stakeholder atau aktor kunci, kepentingan mereka, apa yang akan mereka dukung serta strategi organisasi publik untuk bekerjasama dengan mereka. Dalam artian, dalam mencapai tujuan para aktor tersebut melakukan interaksi satu sama lain dalam proses kebijakan.

Terkait dengan hal tersebut, pada perkembangannya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di indonesia ternyata membawa konsekuensi munculnya

1

InteraksiDalamKonteks New GovernanceOleh: EsaWahyuEndarti, Taman Internasional B1 Citra


(22)

aspirasi pembentukan berbagai daerah otonom baru melalui pemekaran daerah atau wilayah yang disertai dengan penyerahan kuasa ke daerah otonom.Tidak hanya pembentukan daerah otonom baru tingkat provinsi dan kabupaten, namun juga pembentukan desa/kampung.

Pembentukan wilayah secara mendasardimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan titik berat otonomi daerah pada daerah kabupaten dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mendewasakan politik rakyat dan memberikan keleluasaan bagi daerah kabupaten untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya.

Namun demikian, pembentukan daerah harus tetap mempertimbangkan berbagai persyaratan dan kriteria pembentukan daerah atau desa. Tren pemekaran daerah di Indonesia merupakan salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dan peningkatan pelayanan publik, termasuk dalam hal ini adalah pemekaran desa/kampung.

Pemekaran atau pembentukan kampung-kampung baru dipercaya akan mendorong terjadinya penataan daerah dalam rangka mempercepat akselerasi pembangunan. Pembentukan/pemekaran kampung dianggap sebagai babak baru dalam pola tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada saat itulah dimulai penataan kembali kehidupan warga dan masyarakat sebagai kesatuan


(23)

masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Pasal 6 menjelaskan tentang persyaratan dan kriteria pembentukan maupun pemekaran sebuah daerah. Syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan merupakan rangkaian persyaratan yang harus diperhatikan jika suatu daerah akan di mekarkan. Syarat teknis mencangkup sebelas indikator, yaitu: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan, keamanan, pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali pelaksanaan pemerintah daerah. Suatu daerah akan memperoleh rekomendasi untuk di mekarkan jika total nilai dari sebelas indikator tersebut masuk dalam kategori mampu atau sangat mampu. Sementara syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasana pemerintah.

Terbentuknya Kabupaten Tulang Bawang Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2008 berdampak positif terhadap penataan wilayah, tata ruang, rentang kendali pemerintahan dan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam rangka memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, mempercepat pelayanan, serta mempercepat pemerataan pembangunan fisik


(24)

dan sosial kemasyarakatan di kampung-kampung, Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat kemudian mengeluarkan kebijakan pemekaran kampung.

Pemekaran kampung juga menjadi upaya jajaran eksekutif dan legislatif di Kabupaten Tulang Bawang Barat untuk menghargai dinamika yang berkembang seiring dengan aspirasi masyarakat untuk dilakukan pembentukan kampung-kampung baru sekaligus cerminan tumbuhnya iklim demokrasi serta intensifnya diskusi dan kepedulian untuk memajukan daerah.

Pemekaran kampung diharapkan akan dapat meningkatkan daya dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, mengoptimalkan potensi yang ada dikampung, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia; potensi sosial, ekonomi, budaya, adat istiadat, maupun faktor-faktor pendukung lainnya.

Bupati Tulang Bawang Barat periode 2011-2016, Bachtiar Basri, mentargetkan jumlah kampung/kelurahan di Kabupaten Tulang Bawang Barat yang pada tahun 2010 baru mencapai 79 dapat mencapai 100 kampung. Sementara jumlah kecamatan ditargetkan bertambah dari 8 menjadi 10 dan untuk mencapainya sejumlah kampung harus dimekarkan terlebih dahulu.

Kebijakan pemekaran dimulai dengan pembentukan 3 (tiga) kampung sekaligus, yakni Kampung Bumi Agung dan Sido Makmur Kecamatan Gunung Terang serta Kampung Marga Jaya Indah Kecamatan Pagar Dewa yang


(25)

dibentuk pada tahun 2011. Periode selanjutnya adalah pembentukan empat belas kampung dari 5 kecamatan yang dilakukan secara bersamaan, yakni: 1. Kampung Tirta Makmur, Candra Mukti dan Candra Jaya Kecamatan

Tulang Bawang Tengah yang dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 5 Tahun 2013.

2. Kampung Kibang Mulya Kecamatan Lambu Kibang yang dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 6 Tahun 2013. 3. Kampung Indraloka Mukti dan Indraloka Jaya Kecamatan Way Kenanga

yang dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 7 Tahun 2013.

4. Kampung Setia Agung, Margodadi, Mulyo Jadi, Mulyo Sari, Toto Makmur dan Terang Makmur Kecamatan Gunung Terang yang dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 8 Tahun 2013. 5. Kampung Dwi Kora dan Kampung Sumber Rezeki Kecamatan Gunung

Agung yang dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 9 Tahun 2013.

Berbagai persyaratan untuk pembentukan kampung baru menurut Pemkab Tulang Bawang Barat telah terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan. Kemudian Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat


(26)

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kampung serta Perubahan Kampung Menjadi Kelurahan. Syarat-syarat tersebut meliputi jumlah penduduk, luas wilayah yang terjangkau secara berdayaguna dan berhasil guna dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan pembinaan masyarakat.

Penelitian ini mengkaji interaksi aktor kebijakan dalam proses perumusan kebijakan pemekaran14 kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat yang inisiasinya telah dilakukan sejak 2010, namun baru diseriusi oleh kalangan politisi dan birokrasi pada tahun 2012 saat suasana mulai hangat dengan upaya para politisi meraih simpati masyarakat pada Pemilu Legislatif 2014 serta adanya tekanan dari elit kampung.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasil pemekaran keempat belas kampung tersebut tidak dapat dilepaskan dari dinamika antar aktor dalam mempengaruhi dan memperjuangkan kebijakan tersebut. Ini karena setiap kebijakan yang dirumuskan tidak lepas dari kepentingan para aktor yang ingin mendapat keuntungan terhadap kebijakan yang dibuat. Keterlibatan para aktor ini dalam beberapa kebijakan terkadang menyebabkan munculnya dinamika dan konflik kebijakan karena adanya benturan kepentingan.

Namun demikian bagaimana struktur pembuat kebijakan dan para aktor yang berperan dalam proses perumusan kebijakan tersebut dipengaruhi nilai-nilai pribadi (elit kampung), kepentingan politik (politisi/DPRD/kepala daerah),


(27)

agen-agen pemerintah (birokrasi), kelompok kepentingan serta masyarakat di masing-masing kampung, menarik untuk dikaji.

Seperti yang diungkapkan oleh Santoso (1988 : 7), “Kebijakan publik adalah bagian yang penting dalam suatu proses politik”. Dalam analisis sistem mengenai kehidupan politik, kebijaksanaan publik suatu bagian dari output yang dihasilkan oleh proses pembuatan keputusan di dalam sistem politik sehingga analisa kebijakan sesuangguhnya menjadi bagian dari analisa mengenai proses politik.

Interaksi aktor dalam perumusan kebijakan pemekaran kampung-kampung tersebut menarik untuk diteliti karena upaya pemekaran kampung bisa saja urung dilaksanakan karena keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/418/PMD tanggal 13 Januari 2012 tentang Moratorium Pemekaran Desa dan Kelurahan.

Surat Menteri Dalam Negeri tersebut adalah respon Pemerintah Pusat atas maraknya pemekaran desa dan kelurahan yang dilakukan Kabupaten/Kota tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, PP Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan dan Permendagri Nomor 28 tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan. Pemerintah Pusat menilai pembentukan desa dan kelurahan yang tidak efektif dan efisien sehingga mengakibatkan beban bagi APBD Kabupaten.


(28)

Moratorium juga dilakukan dalam rangka penataan desa dan kelurahan di seluruh Indonesia mengingat saat itu sedang disusun Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang mengatur berbagai ketentuan tentang penataan desa, antara lain penguatan kewenangan desa, keuangan desa, kelembagaan desa, dan sebagainya. Moratorium juga dilakukan untuk penertiban kode dan data wilayah administrasi pemerintahan serta untuk mendukung pelaksanaan Pemilu 2014, terutama pembentukan daerah pemilihan (dapil). Namun demikian, ketentuan moratorium tersebut dikecualikan bagi desa yang benar-benar mengalami kesulitan geografis dan managerial dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, seperti desa dan kelurahan di kepulauan, daerah terpencil dan di daerah-daerah perbatasan antar negara.

Menindaklanjuti Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 140/418/PMD tersebut, Kemendagri kemudian mengeluarkan surat Nomor 146.2/2006/PMD tentang Pembentukan Desa dan Kelurahan. Surat Edaran tersebut memerintahkan agar Pemerintah Kabupaten segera menyampaikan Peraturan Daerah mengenai pemekaran desa dan kelurahan yang telah disahkan sebelum Surat Menteri Dalam Negeri 140/418/PMD tersebut dengan melampirkan peta desa dan kelurahan kepada pemerintah provinsi untuk mendapatkan rekomendasi dan kemudian disampaikan ke Dirjend Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tersebut sempat menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan legislatif dalam menyikapi pemekaran keempat belas kampung tersebut. Namun adanya tuntuan di akar rumput dan kepentingan


(29)

politik para elit yang telah mempengaruhi proses politik sehingga pembentukan 14 kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat akhirnya dapat dilaksanakan.

Namun demikian, bagaimana kebijakan pemekaran kampung tersebut dirumuskan dan dinamika antar aktor dalam mempengaruhi dan memperjuangkan kebijakan tersebut menarik, karena perumusan kebijakan juga melibatkan konflik antar kelompok kepentingan. Interaksi tersebut terjadi dalam bentuk kerjasama (cooperation) dan persetujuan karena adanya kesamaan kepentingan dari masing-masing aktor. Namun siapa yang mendominasi dalam interaksi tersebut dan bagaimana hal itu dapat terjadi menjadi pertanyaan yang patut dicermati.

Hubungan yang terjadi dalam interaksi antara aktor tersebut menggambarkan peran masing-masing aktor, siapa yang paling dominan dalam perumusan kebijakan pemekaran kampung karena bersinggungan dengan kepentingan masing-masing aktor. Pemerintah daerah yang sejak awal memiliki kepentingan terhadap pemekaran dan upaya mengakomodasi aspirasi masyarakat berupaya keras memperjuangkan pembentukan kampung-kampung baru tersebut.

Di sisi lainbeberapa politisi yang mencoba untuk merespon usulan pemekaran tersebut cenderung melakukannya karena kepentingan konstituen, terutama anggota DPRD yang terpilih atau bakal mencalonkan diri kembali di daerah pemilihan (dapil) dimana pemekaran kampung akan dilakukan. Sikap mereka berbeda dengan anggota lain yang berasal dari dapil yang tidak memiliki


(30)

agenda pemekaran kampung, atau yang menganggap pemekaran tidak dapat dilaksanakan karena adanya moratorium pemekaran kampung.

Hal tersebut melahirkan nuansa ketidaksepakatan dalam interaksi di antara anggota DPRD, terutama saat menentukan perlunya merumuskan kebijakan pemekaran kampung. Pada akhirnya interaksi yang terjadi diantara kedua institusi pemerintahan daerah berlangsung dalam suasana yang dinamis. Selain itu, upaya pemerintah daerah meyakinkan terhadap berbagai perbedaan persepsi akan pentingnya pemekaran kampung mengindikasikan terjadinya akselerasi oleh pihak eksekutif. Seperti yang dikemukakan Long & Long (1992) bahwa perumusan kebijakan publik yang partisipatif, interaksi aktor harus berlangsung secara setara, intersif dan interface.

B. RumusanMasalah

Dari uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, Bagaimana bentuk interaksi yang terjadi antar aktor dalam perumusan kebijakan pemekaran kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat?”

C. TujuanPenelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis aktor atau stakeholder yang terlibat dalam kebijakan pemekaran kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat.

2. Menganalisis karakteristik interaksi dan proses terbentuknya interaksi yang terjadi antar aktor dalam perumusan kebijakan pemekaran kampung.


(31)

3. Menganalisis nilai dan kepentingan para aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan pemekaran kampung serta tingkat bargaining masing-masing aktor sehingga diketahui aktor mana yang memiliki peran dominan serta kerjasama yang dilakukan dalam mencapai tujuan.

D. ManfaatPenelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari : 1. Manfaat Akademis

Manfaat secara akademis penelitian ini memberikan sumbangan dalam pengembangan kajian kebijakan publik, khususnya terkait interaksi aktor dalam proses perumusan kebijakan publik yang berorientasi kepada masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai aktor yang setara dengan stakeholder lain dalam proses kebijakan.

2. Manfaat praktisnya, hasil penelitian ini menjadi rekomendasi agar kebijakan dapat disusun secara lebih tepat sasaran, tepat metode dan sesuai dengan tujuannya sehingga pembangunan yang berkeadilan dan sejahtera dapat menjadi komitmen bersama, khususnya bagi pelaksana kebijakan publik.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Publik

Sekitar tahun 1970-an mulai berkembang konsep public policy dalam ilmu administrasi publik dan yang menjadi pokok perhatian utama administrasi publik saat itu ialahpublic policy. Munculnya public policy dalam administrasi publik dikarenakan banyaknya teknisi-teknisi administrasi menduduki jabatan politik, dan sebagian lainnya karena bertambahnya tuntutan-tuntutan masyarakat untuk mendapatkan kebijakan yang lebih baik. (Thoha, 2008:101-102 dalam pidato pengukuhan Sri Suwitri sebagai Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Administrasi Publik Undip Semarang, 13 April 2011).

Thomas R. Dye yang dikutip Young dan Quinn (2005:5) memberikan definisi kebijakan publik yang relatif lebih spesifik sebagai berikut :

Public policyis a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern.

Sedangkan menurut Anderson, kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badandan pejabat-pejabat pemerintah. (Hanif Nurcholis, 2005:158).

Selanjutnya Bridgeman dan Davis (2004) dalam Suharto (2008:5-8) menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai tujuan (objective), sebagai pilihan tindakan yang


(33)

legal dan sah secara hukum (authoritative choice) dan sebagai hipotesis (hypothesisi).

Kebijakan publik sebagai tujuan adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal dan sah karena kebijakan publik dibuat oleh lembaga yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan. Kemudian kebijakan publik sebagai hipotesis, kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku.

Untuk keperluan praktis, Mustopodidjaja dalam Rakhmat (2009:132) menawarkan suatu working definition1 yang diharapkan dapat mempermudah pengamatan atas fenomena kebijakan yang aktual. Dikatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilaksanakan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Dalam kehidupan administrasi publik, secara formal keputusan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk perundang-undangan.

1Working definitionmenurut en.wiktionary.orgadalah (1) sebuah definisi yang dikembangkan;

definisitentatifyang dapat disesuaikanuntuk membuatdefinisiotoritatif. (2) A definition that is chosen for an occasion and may not fully conform with established or authoritative definitions. Not knowing of established definitions would be grounds for selecting or devising a working definition


(34)

Istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal dan grand design. Meskipun kebijakan publik kelihatan abstrak atau dipandang sebagai sesuatu yang terjadi terhadap seseorang, kehidupan sehari-hari telah dipengaruhi secara mendalam oleh kebijakan publik tersebut.

Anderson mengatakan :

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Sedangkan Robert Eyestone mengatakan :

Secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Thomas R Dye mengemukakan batasan sempit terhadap kebijakan publik, yakni “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. (Winarno, 2012:19-20).

Adapun Carl Friedrichmemandang kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh Friderich ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan


(35)

yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun individu. (Abdul Wahab, 1998: 3).

Namun demikian kebijakan publik tidak pernah muncul di “ruang khusus” (Nugroho, 2003). Seperti yang dikemukakan oleh Kraft dan Furlong (2005:31), bahwa:

Kebijakan publik tidak dibuat dalam keadaan vakum. Kebijakan publik dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi, nilai politik yang berlaku dan suasana hati masyarakat pada suatu waktu, struktur pemerintahan dan nama nasional serta norma budaya lokal, merupakan variabel yang lain.

Kebijakan adalah selalu tentang keputusan Negara atau pemerintah. Tujuan kebijakan adalah untuk mengubah kondisi yang sudah ada kearah kondisi yang lebih baik. Oleh karena itu harus diketahui konteks yang memicu “kelahiran” kebijakan publik. Konteks tersebut merupakan rangkaian proses yang meletakkan kebijakan publik pada langkah-langkah kritis. (Nugroho, 2014 : 105).

Richard Titmuss dalam tulisannya Social Policy and Introduction (1997) menasehatkan satu pemahaman yang sangat bagus tentang kebijakan sebagai penggerak utama ke arah perubahan sosial. Titmuss menyatakan bahwa kebijakan adalah prinsip tindakan pemerintah menuju tujuan tertentu.Sementara kebijakan publik di Negara-negara berkembang selalu berada dalam konteks perkembangan. Kebijakan publik merupakan platform utama rekayasa


(36)

perubahan sosial agar dapat mencapai visinya ke arah Negara-bangsa yang baru dan sejahtera.

B. Perumusan Kebijakan Publik

Salah satu tahapan penting dalam kebijakan publik adalah saat proses perumusan kebijakan yang sesungguhnya meliputi tiga fase penting yang dapat dipahami sebagai fase yang penuh dengan perspektif konflik kepentingan di antara akor yang terlibat. Ketiga fase tersebut adalah perumusan masalah, fase penyusunan agenda dan fase pengajuan kebijakan (Madani, 2011 : 20).

Budi Winarnomengemukakan perbedaan pembuatan dan perumusan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) dan perumusan kebijakan sekilas merupakan konsep yang mirip, namun sebenarnya keduanya merupakan konsep yang berbeda walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Proses pembentukan kebijakan publik melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung mempunyai percabangan yang luas, mempunyai perspektif jangka panjang dan penggunaan sumber daya yang kritis untuk meraih kesempatan yang diterima dalam kondisi lingkungan yang berubah.

Sedangkan Anderson dalam Winarno (2012 :96) mengatakan bahwa :

perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Perumusan kebijakan merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek seperti misalnya, bagaimana masalah-masalah publik menjadi perhatian para pembentuk kebijakan, bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang saling berkompetisi. Pembentukan kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan publik yang berupa rangkaian keputusan.


(37)

Perumusan kebijakan juga dapat dipahami sebagai bagian dari policy process, dimana terjadi proses transformasi atau pengubahan input-input (sumber daya) politik menjadi output-output politik. Don K. Price (dalam Wahab, 2004) menyebutkan bahwa proses pembuatan kebijakan yang bertanggungjawab adalah proses yang melibatkan interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi profesional, para profesional, dan para politisi.

Demikian juga Amitae Etzioni (1968) menjelaskan bahwa melalui proses pembuatan keputusan komitmen-komitmen masyarakat yang acapkali masih kabur dan abstrak diterjemahkan oleh para aktor politik ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan yang konkrit. Untuk menterjemahkan komitmen-komitmen masyarakat yang abstrak dan kompleks tersebut diperlukan suatu pola interaksi yang efektif. Dengan kata lain, interaksi dalam policy process memegang peranan yang sangat penting karena dari keefektifan proses interaksi tersebut dapat dihasilkan suatu kebijakan publik yang benar-benar solutif.

Hal yang sama ditegaskan kembali dalam tulisan Kickert dkk. (1999) bahwa dalam public policy making dan governance perlu dibangun dalam kerangka network antar berbagai aktor meliputi individu, koalisi, biro, ataupun organisasi. (DalamEsa Wahyu Endarti, Jurnal Administrasi Publik. Vol. I, No. 1, April 2004).


(38)

Perumusan kebijakan publik sendiri merupakan proses yang rumit. Beberapa metode untuk mempelajarinya telah dikembangkan oleh para ilmuwan yang menaruh minat terhadap kebijakan publik. Suatu metode yang populer membagi perumusan kebijakan ke dalam tahap-tahap dan kemudian menganalisis masing-masing tahap tersebut. Pertama-pertama dipelajari bagaimana suatu masalah timbul dan masuk ke dalam agenda pemerintah, kemudian siapa dan bagaimana merumuskan masalah-masalah tersebut untuk mengambil tindakan, serta sikap apa yang diambil oleh lembaga legislatif atau lembaga lainnya, kemudian bagaimana para pemimpin menerapkan kebijakan itu, dan akhirnya, bagaimana kebijakan tersebut dievaluasi.

Parson (2005 : 247) mengemukakan bahwa pembuatan keputusan ( decision-making) berada di antara perumusan kebijakan dan implementasi. Akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Keputusan mempengaruhi implementasi dan implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan keputusan selanjutnya, yang pada gilirannya akan memperngaruhi implementasi berikutnya. Karenanya, pembuatan keputusan bukanlah proses pasif.

Oleh karena itu, menurut Dunn (2003 ; 22), proses pembuatan kebijakan tidak terlepas dari analisis kebijakan, yakni serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politik tersebut yang kemudian dijelaskan sebagai proses perumusan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling


(39)

bergantung yang diatur menurut aturan waktu ; penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.

Perumusan kebijakan adalah fase utama proses kebijakan publik. Namun kebijakan publik seringkali berbalik sebagai kebijakan individu. Keyakinan atau kebaikan digantikan oleh keyakinan dan kepentingan pribadi atau kelompok. Kebijakan publik tidak menunjukkan kepentingan publik. Oleh karena itu, beberapa kebijakan publik justru tidak menimbulkan kebaikan.

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji (Winarno, 2005:28). Lebih lanjut Winarno (2005:81) mengemukakan bahwa suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah, atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih.

Menurut Winarno (2012:122-125), tahapan-tahapan dalam perumusan kebijakan meliputi :

1. Perumusan masalah (defining problem)

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk itu, masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik. Seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan menarik dalam


(40)

evaluasi kebijakan. Namun apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketetapan masalah publik dirumuskan. Rushefky secara eksplisit menyatakan bahwa kita sering gagal menemukan pemecahan masalah yang tepat dibandingkan menemukan masalah yang tepat.

2. Agenda kebijakan

Yakni ketika para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik karena tidak semua masalah publik akan masuk dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan. Selanjutnya masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif dan eksekutif .

3. Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Disini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut.

4. Penetapan kebijakan

Salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam


(41)

pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan.

C. Model Perumusan Kebijakan Publik

Model didefinisikan sebagai bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Silallahi (1989:35) mendefinisikan model adalah sarana untuk menggambarkan situasi atau serangkaian kondisi sedemikian rupa sehingga perilaku yang terjadi didalamnya dapat dijelaskan. Thoha (2008:124) mengatakan model yang digunakan dalam kebijakan publik termasuk golongan model konseptual.

Adapun kegunaan model menurut Thoha adalah sebagai berikut :

1. Menyederhanakan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang politik dan public policy

2. Mengidentifikasikan aspek-aspek yang penting dari persoalan-persoalan policy

3. Menolong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan memusatkan pada aspek-aspek (features) yang esensial dalam kehidupan politik

4. mengarahkan usaha-usaha kearah pemahaman yang lebih baik mengenai publicpolicydengan menyarankan hal-hal manakah yang dianggap penting dan yang tidak penting.


(42)

5. Menyarankan penjelasan-penjelasan untuk public policy dan meramalkan akibat-akibatnya.

Adapun berdasarkan pada literatur kebijakan publik dari Barat, paling tidak ada tiga belas model perumusan kebijakan :

1. The Institusional Model

Menurut model ini, proses perumusan kebijakan adalah proses institusional dalam organisasi pemerintah. Dye (1995:19) dalam Riant Nugroho memverifikasi pendekatan dengan menyebutkan bahwa pemerintah adalah institusi legal untuk membuat kebijakan publik dan mempunyai wewenang serta legitimasi untuk menegakkannya. Model ini diperoleh dari konsep politik tradisional yang menekankan pada pentingnya struktur politik, bukan proses politik dan perilaku.

2. Proses

Afan Gaffar (2002) mengatakan bahwa negara memiliki otoritas dalam pembuatan kebijakan publik yang memiliki daya pengaruh ke seluruh masyarakatnya. Hal itu sebagaimana dikatakan A. Dahl (1989) bahwa:

“ The State is the ultimate regulator of the legitimate use of force within its territory”(dalam Faturohman dan Sobari, 2002:37).

Pembuatan kebijakan publik menjadi domain kekuasaan elit pemerintah, mulai dari membentuk agenda publik dan memformulasikan kebijakan publik, baru kemudian disetujui dan disahkan oleh DPR.Sedangkan rakyat justru teralienasi dari proses politik tersebut.


(43)

Nicholas Henry (1975) dalam Islamy (2007:36) mengelompokkan dua tipologi dalam analisis model kebijakan, yaitu (1) kebijakan publik dianalisa dari sudut proses; (2) kebijakan publik dianalisa dianalisa dari sudut hasil dan akibat (efek)nya.

Kebijakan publik yang masuk ke dalam kelompok penganalisasian dari sudut proses adalahsebagai berikut:

1. Model Institusional

Model ini merupakan model yang tradisional dalam proses pembuatan kebijakan publik. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah. Maka kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah.

2. Model elit-massa

Menurut Nicholas Henry (1975) dalam Setyodarmodjo (2005:251) model ini memandang administrator-adminitrator pemerintahan tidaklah tampil sebagai “pelayan rakyat” melainkan lebih bertindak sebagai “penguasa”. Dalam model elit-massa ini, kekuasaan pemerintah berada ditangan kaum elit. Kaum elitlah yang menentukan kebijakan publik, sedang pejabat pemerintah atau para administrator hanya melaksanakan kebijakan yang ditentukan oleh kaum elit. Dengan demikian masyarakat hanya tinggal menerima apa saja yang dikehendaki pejabat.


(44)

3. Model Kelompok

Model ini menganut paham David B. Truman (1951) dalam Islamy (2007:42) yang menyatakan bahwa interkasi kelompok-kelompok adalah merupakan kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik secara formal maupun informal kedalam kelompok kepentingan (interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah. Menurut teori kelompok, kebijakan publik adalah merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasi perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan sistem politik adalah menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.

4. Model SistemPolitik

Model ini sebenarnya merupakan pengembangan dari teori sistem David Easton. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (input, withinputs, outputs dan feedback) dan memandang kebijakan publik sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya.

5. Model Deliberatif

Model deliberatif merupakan bentuk derivasi konsep demokrasi deliberatif. Sementara demokrasi deliberatif berakar pada konsepsi “ruang publik”


(45)

(public sphere) dari Habermas (2007a, 2007b, 2008). Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria 2.

Frank Marten Hajer dan Hendrik Wagenaar (2003), memperkenalkan konsep Deliberative PolicyMaking oleh Frank Fincher dan John Forester (1993) yang sering juga disebut model kebijakan argumentatif atau “pembuatan kebijakan kolaboratif” (Nugroho, 2014 : 166).

Model ini mengatakan bahwa perumusan kebijakan dengan melibatkan argumentasi dari para pihak atau dengan mempelajari argumentasi tertulis dari berbagai pihak sebagai dasar perumusan. Model ini dikembangkan dari keyakinan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui diskusi dan perdebatan antara para pihak. Dalam konteks proses perumusan kebijakan publik, nilai-nilai good governance termanifestasikan dalam proses perumusan kebijakan publik deliberatif (Nugroho, 2008). Oleh karena di dalamnya tersedia “ruang publik” yang memadai untuk terjadinya proses diskursus dalam konteks kesetaraan antar stakeholder kebijakan guna meraih kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan bersama.

2Antun Mardiyanta, Analisis Proses Perumusan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah


(46)

Proses perumusan kebijakan publik deliberatif sendiri memerlukan komitmen dan kemauan politik yang kuat dari para elit pimpinan pemerintahan guna mendukung implementasi kebijakan secara konsisten dan koheren agar efektif.Proses perumusan kebijakan publik deliberatif juga memerlukan kemauan dan kemampuan government stakeholders khususnya para “public manager” untuk berubah peran dari policy maker menjadi policy moderator atau policy facilitator.

Proses perumusan kebijakan publik deliberatif juga memerlukan tahapan identifikasi dan pemetaan stakeholders secara sistematis dan inklusif sejak di awal proses agar proses deliberasi mampu meningkatkan legitimasi proses kebijakan, meniadakan ketidakadilan politik bagi kaum marginal, dan meningkatkan kualitas output kebijakan.

Perlu diketahui bahwa hal yang penting dalam proses kebijakan publik adalah formulasi (perumusan) kebijakan (policy formulation). Begitu pentingnya tahap formulasi kebijakan maka tahap ini dianggap sebagai tahap fundamental dalam siklus kebijakan publik.Mengapa? Karena formulasi kebijakan publik adalah inti dari kebijakan publik. Formulasi kebijakan bukan pekerjaan yang main-main tapi sebaliknya sebuah tugas berat karena membutuhkan mengkajian dan keseriusan dari aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan. Kekeliruan atau kesalahan dalam formulasi kebijakan akan berdampak pada proses implementasi, sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru hanya bersifat politis.


(47)

Widodo (2007:43) mengatakan manakala proses formulasi kebijakan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang diformulasikan tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Artinya, bisa jadi tidak bisa diimplementasikan (unimplementable). Akibatnya, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan sulit dicapai sehingga masalah publik yang mengemuka dimasyarakat juga tidak bisa dipecahkan. Bukankah kebijakan publik itu dibuat hakikatnya untuk memecahkan masalah publik yang mengemuka dimasyarakat. Oleh karena itu, pada tahap ini perlu dilakukan analisis secara komprehensif agar diperoleh kebijakan publik yang betul-betul bisa diimplementasikan, dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, dan mampu memecahkan masalah publik yang mengemuka di masyarakat.

Tentunya agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif yang dilakukan adalah kemauan pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor diluar pemerintah, yaitu aktor privat dan aktor civil society. Pemerintah sudah tidak tepat lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai ”lawan politik” tapi sudah saat pemerintah menjadikan aktor-aktor itu sebagai ”sahabat” dalam membicarakan produk -produk kebijakan publik di daerah.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kebijakan publik yang dikeluarkan pasti memiliki nilai “politis”. Untuk menghindari kebijakan yang bersifat “politis” tentu dimulai dari proses formulasi kebijakan. Kebijakan -kebijakan yang politis ini lahir karena -kebijakan yang dirumuskan hanya


(48)

melibatkan kelompok-kelompok tertentu saja. Dalam pandangan teori elit, kelompok-kelompok tertentu itu adalah dari elit yang memerintah.

Menurut pandangan teori elite, kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elite yang memerintah. Argumentasi pokok dari teori elite ini adalah bahwa bukan rakyat yang menentukan kebijakan publik, tetapi berasal dari elite yang memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah.

Oleh karenanya, padangan teori elit dalam formulasi kebijakan tidak dapat memecahkan masalah publik justru hanya akan melahirkan masalah baru karena tidak diberikannya ruang bagi publik untuk ikut berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan. Padahal kerangka baru dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) perlu sinergitas antara pemerintah, privat dan civilsociety.

Oleh karena itu, dalam kerangka good governance, tindakan bersama (colletive action) adalah sebuah keharusan. Dalam kerangka ini, keinginan pemerintah untuk memonopoli proses kebijakan dan memaksakan kebijakan tersebut harus ditinggalkan dan diarahkan kepada proses kebijakan yang inklusif, demokratis dan partisipatis. Masing-masing aktor kebijakan harus berinteraksi dan saling memberikan pengaruh (mutually inclusive) dalam rangka merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


(49)

D. Aktor Kebijakan

Dalam pembahasan kebijakan publik, aktor mempunyai posisi yang sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri. Interaksi aktor dan dalam kelembagaan inilah yang kemudian menentukan proses perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas.

Pada prinsipnya aktor kebijakan adalah mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analis kebijakan publik, baik berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif dalam melakukan interaksi dan interrelasi dalam konteks analisis kebijakan publik (Howlett & Ramesh, 1995 ;Weimer dan Vining, 1989 dalam Madani, 2011:37).

Secara lebih makro konsep aktor kebijakan menurut Anderson (1984) meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang mempunyai perhatian terhadap kebijakan. Mereka dapat terdiri dari aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Mereka juga melakukan interaksi dan interrelasi di dalam setiap tahapan proses kebijakan publik. Merekalah yang pada dasarnya menentukan pola dan distribusi kebijakan yang akan dilakukan oleh birokrasi yang di dalam proses interaksi dan interrelasinya cenderung bersifat konfliktif dibandingkan dengan sifatnya yang harmoni dalam proses itu sendiri.


(50)

Aktor dalam proses pembuatan kebijakan juga dipahami dengan aktor yang resmi(formal) seperti agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), dan yudikatif, maupun aktor-aktor tidak resmi (non formal) seperti kelompok kepentingan (interest group), partai politik, dan warga negara individu. Seperti yang dikemukakan Charles Lindblom dalam Winarno (2012 : 93), bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu dipahami sifat-sifat semua pemeran serta (partisipants), bagian atau peran apa yang mereka lalukan, kewenangan atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi.

Dari berbagai jenis pemeran serta, masing-masing pemeran serta ini menurut Lindblom mempunyai peran khusus, yaitu warganegara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin lembaga legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.

Adapun menurut Howlet dan Ramesh (dalam Madani, 2011 : 37) aktor-aktor dalam kebijakan terdiri atas lima kategori,yaitu sebagai berikut:

1. Aparatur yang dipilih (elected official) yaitu berupa eksekutif dan legislatif. Keduanyaadalah aktor mempunyai wewenang konstitusional langsung untuk bertindak dan berhubungan dengan tugas politik sentral dalam pembuatan peraturan dan pembentukankebijakan dalam suatu sistem politik.

2. Aparatur yang ditunjuk (appointed official), sebagai asisten birokrat, biasanyamenjadi kunci dasar dan figursentral dalam proses kebijakan atau subsistem kebijakan.


(51)

3. Kelompok-kelompok kepentingan (interest group),pemerintah dan politikusseringkali membutuhkan informasi yang disajikan oleh kelompok-kelompok kepentinganguna efektifitas pembuatan kebijakan atau untuk menyerang oposisi mereka;

4. Organisasi-organisasi penelitian (research organization), berupa Universitas,kelompok ahli atau konsultan kebijakan;

5. Media massa (mass media), sebagai jaringan hubungan yang krusial diantaraNegara dan masyarakat sebagai media sosialisasi dan komunikasi melaporkan permasalahanyang dikombinasikan antara peran reporter dengan peran analis aktif sebagai advokasi solusi.

Sementara mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), maupun James P. Lester dan Josep Stewart, Jr (2000). Aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi (the official policy makers) dan pemeran tidak resmi (un official policy makers). Pemeran serta resmi meliputi agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif, dan Yudikatif. Adapun pemeran tidak resmi meliputi ; kelompok-kelompok kepentingan (interest group), partai politik, dan warga Negara individu. (Winarno; 2012). Kelompok besar tersebut kemudian jika dianalisis secara lebih detil maka aktor kebijakan seringkali terlibat dalam proses perundingan dan pengambil kebijakan internal birokrasi dapat berupa : (1) Mereka yang mempunyai


(52)

kekuasaan tertentu (authoritative), dalam hal ini adalah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; (2) mereka yang tergolong sebagai partisipan atau aktor tidak resmi. Mereka adalah yang secara serius seringkali terlibat di luar kelompok mendukung atau menolak hasil kebijakan yang ada. Kelompok ini biasanya adalah kelompok kepentingan, aktor partai politik, aktor para ahli dan sarjana atau entrepreneur serta para intelektual yang ada. Kelompok yang ada biasanya terlibat dalam proses konfliktif dalam memperjuangkan kepentingannya.

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudiaktif, administrator, penasihat raja dan semacamnya. Mereka ini adalah orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebagian tersbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan. (Winarno, 2012 : 23)

Adapun dalam mengenalisa ruang lingkup kelompok kepentingan terkait masalah kebijakan dapat diidentifikasi ke dalam ; (1). Kepentingan sendiri (Self-interest), atau kepentingan individu bila perumusan kebijakan secara individu; (2). Kepentingan organisasi (organization interest), kepentingan


(53)

kolektif atau kepentingan perumus kebijakan melalui anggota organisasi, dan (3). Kepentingan ekstra organisasi, yaitu kepentingan yang lebih luas dari lingkungan kebijakan atau kepentingan perumus kebijakan sebagai warga Negara. (Hogdkinson dalamWinarno ; 2011).

E. Interaksi Aktor Kebijakan

Konsep interaksi pada awalnya banyak digunakan untuk menganalisisdinamika dalam proses kelompok. Sebagaimana dilakukan oleh Homans (1950) (dalamSoekanto, 1986) dalam menyajikan suatu kerangka sederhana namun cukup luas danmencakup kehidupan berkelompok. Unsur-unsur pokok kerangka tersebut adalahaktivitas, perasaan, interaksi, dan kaidah-kaidah. Dalam kerangka kelompoknya yangsederhana itu, Homans hanya ingin menyajikan bukti-bukti bahwa unsur-unsur itumerupakan variabel-variabel yang secara mutual saling mempengaruhi. MenurutHomans, inti dari proses kelompok adalah interaksi.

Pemikiran yang masih sederhana itu kemudian mendapat tanggapan daribeberapa ilmuwan sosial, diantaranya Kurt Lewin yang mengenalkan teori dinamikakelompok. Di dalam teori tersebut, dikembangkan konsep-konsep seperti valensi,vektor, kohesif, bidang kekuasaan dan kekuatan kelompok, dan beberapa simbol yangdapat dipakai untuk menelaah dinamika dan perubahan kelompok.


(54)

Para peneliti kemudian menggunakan analisis proses interaksi yangdikembangkan olah Robert F. Bales pada tahun 1950 untuk penelaahan dinamikakelompok yang terjadi. Adapun titik tolak dari analisis proses interaksi ini adalahpemecahan masalah. Selanjutnya Bales menganggap proses interaksi sebagai suatualiran berlangsungnya aksi, lambang-lambang, reaksi, gerak badan, isyarat, dan lainlain(dalam Soekanto, 1986). Untuk menganalisis jenis-jenis diferensiasi interaksidiantara anggota-anggota kelompok, Bales merumuskan empat dimensi kelompok.Dimensi-dimensi itu adalah perbedaan derajat pada:

1. Akses terhadap sumber daya; 2. Pengendalian terhadap orang;

3. Kedudukan dalam skala stratifikasi yang didasarkan pada prestise

4. Solidaritas atau identifikasi terhadap kelompok sebagai satu kesatuanmenyeluruh dalam Soekanto, 1986:26).

Berangkat dari pemahaman tentang konsep interaksi pada kelompokkelompokkecil sebagaimana disampaikan di atas, interaksi juga akan terjadi padaorganisasi-organisasi besar bahkan sangat urgen perannya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai pendekatan dikembangkan dalam rangka mencari pemecahanterhadap permasalahan-permasalahan di bidang penyelenggaraan pemerintahan danguna menemukan suatu model terbaik yang sesuai dengan dinamika sosial, politikdan ekonomi. Perjalanan panjang tersebut tampaknya mulai menemukan titik terang,dengan mulai dikembangkannya


(55)

konsep governance dalam penyelenggaraanpemerintahan.

Berbagai perpekpetif dikembangkan sehubungan dengan pemaknaan akan konsep governance sebagai respon terhadap keterbatasan konsep government. Diantaraperspektif tersebut salah satunya berkaitan dengan struktur pemerintahan yang timbulantara lain:

1. Hubungan antara pemerintah dengan pasar 2. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya

3. Hubungan antara pemerintah dengan organisasi voluntari dan sektorprivat 4. Hubungan antara pejabat yang dipilih (pejabat politik) dan pejabat

yangdiangkat (pejabat birokrasi)

5. Hubungan antara lembaga pemerintah daerah dengan pendudukperkotaan dan pedesaan

6. Hubungan antara legislatif dan eksekutif

7. Hubungan antara pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional(Thoha, 2003:61-62).

Sedangkan interaksi dalam policy process memegang peranan yang sangat penting karena dari keefektifan proses interaksi tersebut dapat dihasilkan suatu kebijakan publik yang benar-benar solutif. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam tulisan Kickert dkk. (1999) bahwa dalam public policy making dan governance perlu dibangun dalam kerangka network antar berbagai aktor meliputi individu, koalisi, biro, ataupun organisasi. Aksentuasi konsep


(56)

”interaksi” dalam proses perumusan atau formulasi dan implementasi kebijakan publik ini selanjutnya dikenal dengan konsep „policy networks’ 3.

Konsep policy networks digunakan untuk mendeskripsikan pola hubungan saling ketergantungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan publik. Ketergantungan antara aktor-aktor dalam network tersebut dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi atau mencapai tujuan secara sendirisendiri, melainkan memerlukan sumber daya lain yang dimiliki oleh pihak lain di luar dirinya (Kickert dkk., 1999). Saling ketergantungan tersebut didasarkan pada distribusi sumber daya di antara pihak-pihak atau aktor-aktor terkait. Selain terjadi pertukaran sumber daya dan informasi, dalam interaksi juga didorong adanya pertukaran tujuan yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Inti dari networks adalah adanya upaya pencapaian tujuan atau kepentingan dari berbagai pihak (aktor) secara bersama-sama dengan saling melakukan pertukaran sumber daya (resources exchange). Salah satu syarat keberhasilan sebuah network adalah adanya realisasi tindakan kolektif (collective actions) untuk memunculkan tujuan bersama (common purposes) dan untuk mengatasi ancaman bersama (common threats).

3


(57)

Namun upaya untuk itu tidaklah mudah. Pada umumnya sering terjadi kegagalan dalam sebuah network yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Kurang intensifnya hubungan dan adanya hambatan dalam melakukan tindakan kolektif;

2. Kurang jelasnya tujuan atau tujuan kurang menarik bagi semua pihak; 3. Tidak adanya aktor kunci;

4. Kurang tersedianya informasi penting mengenai tujuan, cara dan aktor-aktor yang perlu terlibat;

5. Kurang adanya komitmen antar aktor untuk mencapai tujuan bersama (Kickert dkk., 1999:9).

Kegagalan policy networks yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas, tentu berpengaruh terhadap keseluruhan policy process, mulai dari identifikasi problem, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi dan penilaian atau evaluasi kebijakan. Terutama dalam formulasi atau perumusan kebijakan, kegagalan network berarti menghasilkan sebuah kebijakan yang kurang tepat.

Hal tersebut dikarenakan keterbatasan kapasitas pemerintah dengan sistem yang sentralistik dalam menangkap dan mengakomodir aspirasi masyarakat yang makin berkembang serta isu-isu politik, sosial, ekonomi dan juga perkembangan lingkungan yang semakin mengglobal sehingga menuntut peran serta berbagai pihak. Pemerintah tidak akan mampu mengatasi seluruh


(58)

permasalahan tersebut sendiri, oleh karenanya dibutuhkan kehadiran resources dari aktor-aktor yang lain baik dari kalangan organisasi pemerintah sendiri maupun dari luar pemerintah.

Dengan demikian, karakteristik policy network antara lain adalah fokus pada relation dan komunikasi dalam network. Mengingat dalam policy process melibatkan banyak aktor, dengan banyak kepentingan maka kemungkinan terjadinya ambigu sangat tinggi. Untuk itu diperlukan komunikasi dan relation yang dapat mengkontekstualisasikan perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, preferensi, dan strategi dari masing-masing aktor tersebut.

Sebagaimana diungkapkan Santoso (1988:7) dalam Muhlis Madani, bahwa kebijakan publik adalah bagian yang penting dalam suatu proses politik. Dalam analisa sistem mengenai kehidupan politik, kebijaksanaan publik suatu bagian dari output yang dihasilkan oleh proses politik sehingga analisa kebijakan sesungguhnya adalah bagian dari analisa mengenai proses politik. (Dalam Muhlis Madani, 2001 :47).

Long & Long (1992) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perumusan kebijakan publik yang partisipatif, interaksi aktor harus berlangsung secara setara, intersif dan interface. Model inilah yang oleh kedua penulis disebut sebagai model orientasi aktor. Sementara de Zeeuw (2001), seorang psikolog menyimpulkan bahwa perumus kebijakan publik seharusnya memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat anggota kolektivitas secara keseluruhan


(59)

sehingga kebijakan yang ditentukan tidak memihak dan dapat diakses oleh seluruh aktor yang terlibat dalam kolektivitas tersebut.

Kebijakan publik yang paling efektif dari sudut pandang teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi (Rhodes,1996; Stoker,1998; dalam Putra (2003:78)). Adanya proses interaksi antara institusi penyelenggara pemerintah daerah dan masyarakat dan interaksi antara pemerintah daerah dan DPRD pada proses formulasi kebijakan pemerintahan daerah dapat digambarkan pada gambar 1.1 di bawah ini :

Gambar2.1 : Perencanaan kebijakan pemerintah daerah

Sumber :Hanif Nurcholis, 2005 dalam Madani 2011 : 46

Dari gambar diatas dapat dipahami dalam kerangka interaksi, proses kebijakan harus dilandasi oleh aspirasi dan pemenuhan kepentingan serta kebutuhan

Menyusun arah Kebijakan Umum Pembangunan Daerah Menyusun Rencana Strategis

Menyusun Program Pembangunan Daerah Menyusun Peraturan Daerah

Menetapkan Peraturan Daerah Melaksanakan Peraturan Daerah

PEMDA DPRD


(1)

184

politis yang potensial sehingga dalam proses perumusan kebijakan pemekaran kampung terjadi keberpihakan terhadap kepentingan elit.

3. Interaksi yang terjadi antara pemerintah daerah dan DPRD dalam perumusan kebijakan pemekaran kampung menunjukkan terjadinya proses asosiatif, yaitu bentuk kerjasama dan persetujuan. Praktik kooptasi dilakukan pemerintah daerah dan diakomodasi oleh DPRD. Sedngkan tipe interaksi yang berlangsung selama perumusan kebijakan kampung adalah decisional, anticipated reaction dan systemic.

4. Dari sisi kebijakan, pemekaran kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat masih bersifat elitis sehingga kebijakan yang dihasilkan merupakan preferensi politik dari para elit baik di tingkat Kabupaten maupun tingkat Kampung.

B. SARAN

Berdasarkan masalah yang muncul dalam penelitian ini, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Dalam merumuskan kebijakan pemekaran kampung, Pemkab Tulang Bawang Barat hendaknya melakukan konsultasi dengan masyarakat melalui forum rembuk kampung atau musyawarah rencana pembangunan sehingga pemekaran benar-benar hasil aspirasi masyarakat dan bukan preferensi elit semata.


(2)

185

2. Perlunya memperhatikan aspek teknis pembentukan sebuah kampung sehingga kebijakan yang dilakukan akan memenuhi tujuan utamanya, yaitu mengefektifkan rentang kendali, mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

3. Perlunya perbaikan terhadap proses pemekaran melalui kajian secara cermat terhadap proposal-proposal yang diajukan dengan memperhatikan kondisi yang jelas, potensi maupun prediksi negatif dari kampung yang akan dibentuk.

4. Pemkab dan DPRD Tulang Bawan Barat dalam menentukan pilihan atau prioritas kebijakan kiranya agar dapat lebih memperhatikan subtansi dan konteks yang melingkupi prioritas kebijakan yang akan diambil, tidak hanya memperhatikan sumber daya yang lebih besar yang dimiliki oleh kelompok kepentingan saja, sehingga prioritas kebijakan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat.

5. Interaksi DPRD dan pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan tidak terlepas dari peran kelompok kepentingan, kiranya dapat ditingkatkan agar tetap terjalin hubungan sinergis dalam kerangka hubungan assosiatif .


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Almond, G. & Verba, S. 1985. Budaya Politik: Studi Perbandingan Budaya Politik di Berbagai Negara. Jakarta : Rajawali Press.

Abdul Wahab, Solichin. 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan Yang Responsif dan Berkualitas. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

Abdul Wahab, Solichin. 2004. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.

Dunn, William N. 2001. Muhajir Darwin (editor). Analisis Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya.

Gafar, Afan dkk. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Kerjasama Pustaka Pelajar [dengan] Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan.

Islamy, M.Irfan. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.

Koswara, E. 2002. Otonomi Daerah untuk Daerah dan Kemandirian Rakyat. Jakarta : Candi Cipta Piramida.

Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Relasi Aktor Kebijakan ; Graha Ilmu, Yogyakarta Nazir, Muhammad. 1999. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Nugroho, Riant, 2014. Kebijakan Publik di Negara-negara Berkembang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Nugroho, Riant. 2008, Public Policy: Teori Kebijakan – Analisis Kebijakan – Proses Kebijakan Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate – Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta : Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia.

Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik : Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Grasindo.

Pambudi, Himawan S dk. 2003. Politik Pemberdayaan Dalam Mewujudkan Otonomi Desa. Yogyakarta : Pondok Pustaka.

Parsons, Wayne. 2005. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan Publik. Jakarta : Kencana Prenada Media Grop.


(4)

Pratikno. 2007. Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Kepemerintahan : Kemitraan, Partisipasi dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM dan Jogja Global Media.

Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daerah :Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi. Jakarta : Pustaka Pelajar.

Sabarno, Hari. 2007. Memadu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta : Sinar Gravika.

Santoso, Purwo. 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta : JIP UGM, Pustaka Pelajar.

Soekanto, Seorjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta, Setyodarmodjo, Soenarko. 2005. Public Policy: Pengertian Pokok untuk Memahami

dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya : Airlangga University Press.

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta : PT. Pustaka LP3S Indonesia.

Seokanto, Soerjono,2006, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Thoha, Miftah. 2000. “Peranan Ilmu Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan Yang Baik”. Makalah dalam Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

____________.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : Rajawali.

Umar, Husein. 2003. Metode Riset Komunikasi Oraganisasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Widodo, Joko. 2007. Analisa Kebijakan Publik. Malang : Bayu Media Publishing. Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik, Teori, Proses dan Studi Kasus. Yogyakarta :

Caps Publishing. Jurnal dan Makalah

Antun Mardiyanta ; Analisis Proses Perumusan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Kebijakan Deliberatif (Studi di Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur).

Edy Suharto ; Modal Sosial dan Kebijakan Publik. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.


(5)

Esa Wahyu Endarti. Interaksi Dalam Konteks New Governance Oleh. Taman Internasional B1 Citra Raya, Surabaya, Jurnal Administrasi Publik. Vol. I, No. 1, April 2004.

Hanna Eka Puspitasari dkk; Pemekaran Desa Dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Publik di Bidang Kesehatan Berkebutuhan Khusus (Studi Pada Desa Sidoharjo, Kec. Sukorejo, Kab. Ponorogo, Jawa Timur); Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol 1, No.2, hal. 201-210 , Unibraw, Jatim.

Khairullah dan Cahyadin, Malik.2006. Evaluasi Pemekaran Wilayah di Indonesia : Studi Kasus Kabupaten Lahat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. XI (3) : 261-277.

Sri Suwitri. Jejaring Kebijakan Publik : Kerangka Baru Penyelenggaraan Pemerintahan. Pidato Pengukuhan sebagai Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Administrasi Publik Undip Semarang, 13 April 2011.

Peraturan Perundangan-perundangan:

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Desa menjadi Kelurahan.

Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kampung Tirta Makmur, Candra Mukti dan Candra Jaya Kecamatan Tulang Bawang Tengah.

Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 6 Tahun 2013 tentang Kampung Kibang Mulya Kecamatan Lambu Kibang.

Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kampung Indraloka Mukti dan Indraloka Jaya Kecamatan Way Kenanga.

Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kampung Setia Agung, Margodadi, Mulyo Jadi, Mulyo Sari, Toto Makmur dan Terang Makmur Kecamatan Gunung Terang.

Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kampung Dwi Kora dan Kampung Sumber Rezeki Kecamatan Gunung Agung.

Dokumen :

Data Kependudukan Disdukcapil Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun 2014.


(6)

Risalah Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Tulang Bawang Barat dalam Rangka Pembicaraan Tingkat II atas 5 (lima) Raperda tentang Pemekaran Kampung.

Studi Kelayakan Pemekaran Kampung/Kecamatan se-Kabupaten Tulang Bawang Barat ; Kerjasama Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat dengan Lembaga Penelitian Unila Tahun 2012.

Kompilasi Dokumen Pemekaran Kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Berita :

Radar Lampung, Senin, 20 Juni 2011 : Tuba Barat Lakukan Pemekaran Kecamatan Lampung Post, 5 Juni 2012 : Pemekaran Kampung ; Pemkab Tulang Bawang Barat

Diminta Tindaklanjuti Usulan.

Selasa, 6 November 2012 : Pemkab Ajukan 5 Raperda