Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di Dataran Rendah

(1)

SUPLEMENTASI

KROMIUM

PIKOLINAT

MURNI

DALAM RANSUM SAPI PERAH DARA YANG DIPELIHARA

DI DATARAN

RENDAH

JOHN

BESTARI

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Suplementasi Kromium Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di Dataran Rendah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

John Bestari


(3)

vi

ABSTRAK

JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.

Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah.

Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral. Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu.

Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan.

Cr-pikolinat murni dapat digunakan dalam metabolisme mikroba rumen dan jaringan tubuh, sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan dan kecernaan yang lebih tinggi serta menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan pernafasan. Suplementasi Cr-pikolinat murni menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan hormon T3 dan T4 plasma sapi perah yang dipelihara di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi Cr-pikolinat murni memperbaiki kemampuan termoregulasi pada sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah yang panas sehinga dapat memperbaiki performannya.


(4)

vii

ABSTRACT

JOHN BESTARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI.

The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucose level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area.

The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.

.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area.

Supplementation of pure Cr-picolinate might be used in metabolism of ruminal microorganism and tissues, that produced heigher body weight gain and digestibility and lower body temperature, cardiac pulses and respiratory rate. Supplementation of pure Cr-picolinate reduced plasma glucose level and increased T3 and T4 hormones content in dairy heifers raised in low land area. It is suggested that supplementation of pure Cr-picolinate improves termoregulatory capability of dairy heifers in warm low land area and improve their performance.


(5)

iii

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tetulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

iv

SUPLEMENTASI KROMIUM PIKOLINAT MURNI

DALAM RANSUM SAPI PERAH DARA YANG DIPELIHARA

DI DATARAN RENDAH

JOHN

BESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

v

Judul Tesis : Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah

N a m a : John Bestari N I M : D051030101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Ketua

Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

vi

ABSTRAK

JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.

Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah.

Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral. Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu.

Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan.

Cr-pikolinat murni dapat digunakan dalam metabolisme mikroba rumen dan jaringan tubuh, sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan dan kecernaan yang lebih tinggi serta menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan pernafasan. Suplementasi Cr-pikolinat murni menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan hormon T3 dan T4 plasma sapi perah yang dipelihara di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi Cr-pikolinat murni memperbaiki kemampuan termoregulasi pada sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah yang panas sehinga dapat memperbaiki performannya.


(9)

vii

ABSTRACT

JOHN BEST ARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI.

The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucos e level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area.

The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.

.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area.

Supplementation of pure Cr-picolinate might be used in metabolism of ruminal microorganism and tissues, that produced heigher body weight gain and digestibility and lower body temperature, cardiac pulses and respiratory rate. Supplementation of pure Cr-picolinate reduced plasma glucose level and increased T3 and T4 hormones content in dairy heifers raised in low land area. It is suggested that supplementation of pure Cr-picolinate improves termoregulatory capability of dairy heifers in warm low land area and improve their performance.


(10)

viii

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang karena berkat limpahan rakhmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Tesis ini mengangkat tema teknologi nutrisi mineral kromium pada sapi perah yang dipelihara di daerah dataran rendah lingkungan panas, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, motivasi dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian mulai dari pembuatan proposal sampai penulisan tesis, sehinga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam tesisi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyerni, M.S, M.Sc sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan kritikan yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf laboratorium percobaan ternak ruminansia besar Balitnak Ciawi (I. Ketut Pustake dan staf) laboratorium ternak lokasi Cicadas (Bambang Eka dan staf), staf laboratorium Fisiologi Nutrisi Balitnak lokasi Bogor, satf laboratorium Fisologi dan Famakologi FKH IPB yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan hingga selesainya penelitian.

Kepada kedua orang tuaku tercinta, Papa H. Moenaf Ali (Alm) dan Ibunda Hj. Ramilan (Alm) serta istriku tersayang Drg. Gadis Sotyandillah, anakku tercinta Mohammad Fidelio Omar Bestari dan Mohammad Aulia Putra Bestari, disampaikan ucapan terima kasih yang dalam karena berkat do’a, dorongan dan bantuan moril maupun materil, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga. Tesis ini penulis persembahkan sebagai buah pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi penulis, rekan-rekan peneliti di Balitnak, IPB dan bagi yang membutuhkannya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya teknologi nutrisi mineral kromium.

Bogor, Februari 2007


(11)

SUPLEMENTASI

KROMIUM

PIKOLINAT

MURNI

DALAM RANSUM SAPI PERAH DARA YANG DIPELIHARA

DI DATARAN

RENDAH

JOHN

BESTARI

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

2007


(12)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Suplementasi Kromium Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di Dataran Rendah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

John Bestari


(13)

vi

ABSTRAK

JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.

Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah.

Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral. Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu.

Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan.

Cr-pikolinat murni dapat digunakan dalam metabolisme mikroba rumen dan jaringan tubuh, sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan dan kecernaan yang lebih tinggi serta menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan pernafasan. Suplementasi Cr-pikolinat murni menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan hormon T3 dan T4 plasma sapi perah yang dipelihara di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi Cr-pikolinat murni memperbaiki kemampuan termoregulasi pada sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah yang panas sehinga dapat memperbaiki performannya.


(14)

vii

ABSTRACT

JOHN BESTARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI.

The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucose level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area.

The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.

.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area.

Supplementation of pure Cr-picolinate might be used in metabolism of ruminal microorganism and tissues, that produced heigher body weight gain and digestibility and lower body temperature, cardiac pulses and respiratory rate. Supplementation of pure Cr-picolinate reduced plasma glucose level and increased T3 and T4 hormones content in dairy heifers raised in low land area. It is suggested that supplementation of pure Cr-picolinate improves termoregulatory capability of dairy heifers in warm low land area and improve their performance.


(15)

iii

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tetulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

iv

SUPLEMENTASI KROMIUM PIKOLINAT MURNI

DALAM RANSUM SAPI PERAH DARA YANG DIPELIHARA

DI DATARAN RENDAH

JOHN

BESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(17)

v

Judul Tesis : Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah

N a m a : John Bestari N I M : D051030101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Ketua

Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(18)

vi

ABSTRAK

JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.

Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah.

Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral. Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu.

Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan.

Cr-pikolinat murni dapat digunakan dalam metabolisme mikroba rumen dan jaringan tubuh, sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan dan kecernaan yang lebih tinggi serta menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan pernafasan. Suplementasi Cr-pikolinat murni menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan hormon T3 dan T4 plasma sapi perah yang dipelihara di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi Cr-pikolinat murni memperbaiki kemampuan termoregulasi pada sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah yang panas sehinga dapat memperbaiki performannya.


(19)

vii

ABSTRACT

JOHN BEST ARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI.

The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucos e level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area.

The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.

.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area.

Supplementation of pure Cr-picolinate might be used in metabolism of ruminal microorganism and tissues, that produced heigher body weight gain and digestibility and lower body temperature, cardiac pulses and respiratory rate. Supplementation of pure Cr-picolinate reduced plasma glucose level and increased T3 and T4 hormones content in dairy heifers raised in low land area. It is suggested that supplementation of pure Cr-picolinate improves termoregulatory capability of dairy heifers in warm low land area and improve their performance.


(20)

viii

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang karena berkat limpahan rakhmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Tesis ini mengangkat tema teknologi nutrisi mineral kromium pada sapi perah yang dipelihara di daerah dataran rendah lingkungan panas, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, motivasi dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian mulai dari pembuatan proposal sampai penulisan tesis, sehinga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam tesisi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyerni, M.S, M.Sc sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan kritikan yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf laboratorium percobaan ternak ruminansia besar Balitnak Ciawi (I. Ketut Pustake dan staf) laboratorium ternak lokasi Cicadas (Bambang Eka dan staf), staf laboratorium Fisiologi Nutrisi Balitnak lokasi Bogor, satf laboratorium Fisologi dan Famakologi FKH IPB yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan hingga selesainya penelitian.

Kepada kedua orang tuaku tercinta, Papa H. Moenaf Ali (Alm) dan Ibunda Hj. Ramilan (Alm) serta istriku tersayang Drg. Gadis Sotyandillah, anakku tercinta Mohammad Fidelio Omar Bestari dan Mohammad Aulia Putra Bestari, disampaikan ucapan terima kasih yang dalam karena berkat do’a, dorongan dan bantuan moril maupun materil, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga. Tesis ini penulis persembahkan sebagai buah pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi penulis, rekan-rekan peneliti di Balitnak, IPB dan bagi yang membutuhkannya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya teknologi nutrisi mineral kromium.

Bogor, Februari 2007


(21)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 14 Jui 1957 dari Bapak H. Abdoel Moenaf Ali (Alm) dan Ibu Hj. Ramilan (Alm) sebagai anak ke enam dari sembilan bersaudara. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan di SMA Negeri Batusangkar Sumatera Barat dan pendidikan Sarjana diselesaikan di Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang dan lulus pada tahun 1985. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program Magíster Sains di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1986 penulis diterima bekerja di Proyek Penelitian Swamps II Badang Litbang Departemen Pertanian di Karang Agung Ulu Sumatera Selatan, dan tahun 1988 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, Badan Litbang Departemen Pertanian dan ditempatkan di Sub Balai Penelitian Sungai Putih Sumatera Utara sebagai peneliti. Selanjutnya pada tahun 1990 penulis kembali ke Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor sebagai peneliti di Program Ruminansia Besar, khususnya meneliti tentang Teknologi Nutrisi dan Makanan Ternak Sapi Potong dan Sapi Perah sampai sekarang.

Selama bekerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, penulis mendapat kesempatan pendidikan di Oestereigh University di Seibersdorf Vienna-Austria tahun 1995 dalam program Magíster, namun tidak selesai. Kemudian pada tahun 1997, penulis mendapat desempatan mengikuti Training Course on Improving The Productivity of Ruminant Livestock through on Farm Assessment of Nutrition, Production and Reproduction Interactios di Belgia selama 4 bulan. Pada tahun 2003 penulis kembali mendapatkan kesempatan mengikuti International Training on Animal Husbandry Nutrition, Production and Management di Nanhu Wuchang, Wuhan, Shanghai Province RRC selama 3 bulan.

Selama menjadi peneliti di Balai Penelitian Ternak Badan Litbang Depar-temen Pertanian, penulis telah mengikuti beberapa Seminar Nasional, Symposium dan Workshop di beberapa daerah di Indonesia seperti Bogor, Jakarta, Jogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Makasar, Palembang, Jambi dan Padang Sumatera Barat, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Beberapa makalah penulis telah diterbitkan antara lain di Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Wartazoa dan di beberapa prossiding di beberapa Universitas dan BPTP.

Penulis menikah dengan Drg. Gadis Sotyandillah pada tahun 1988 dan telah dikarunia dua orang putra yang bernama Mohammad Fidelio Omar Bestari lahir tahun 1990 dan Mohammad Aulia Putra Bestari lahir tahun 1994.


(22)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….……… xii

DAFTAR GAMBAR ……….………..……… xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….……….. xiv

PENDAHULUAN

Latar Belakang ………...

Tujuan Penelitian ………...

Hipotesa ...

Manfaat Penelitian ...

1 3 3 3 TINJAUAN PUSTAKA

Mineral Kromium (Cr) ………...

Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi ...

Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan ...

Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak ...

Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Sapi Perah ………...

Daerah Termonetral pada Sapi Perah …………...

Glukosa Darah dan Regulasinya …………...

Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak …………...

Peranan Hormon T3 dan T4 terhadap Suhu Lingkungan Tinggi ………...

4 6 8 8 9 12 14 16 17 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat ...

Bahan dan Alat Penelitian ...

Metode ...

Percobaan I : In – Vitro ...

Rancangan Percobaan ...

Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) ..

Pengukuran Kadar VFA Total ...

Pengukuran Kadar N – NH3 ...

Analisis Data ...

20 20 21 21 22 22 23 23 24

Percobaan II : In – Vivo ...

Rancangan Percobaan ...

Bobot Badan ...

Konsumsi Ransum ...

Konversi Ransum ...

Analisa Kadar Glukosa Darah ...

Analisa Hormon Triiodotironine (T3) ...

Analisa Hormon Tetraiodotironine (T4) ...

Suhu Rektal ...

Denyut Jantung ...

Pernafasan ...

Analisis Data ...

25 26 26 27 27 27 28 28 29 29 29 29


(23)

xi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Lingkungan Lokasi Penelitian ...

Indikator Fermentasi Rumen ...

Bobot Badan, Konsumsi dan Konversi Ransum ...

Suhu Tubuh Ternak ...

Denyut Jantung Ternak ...

Frekuensi Pernafasan Ternak ...

Kadar Glukosa darah ...

Konsentrasi Hormon Tyroksin ...

Respon Ternak Terhadap Kromium Pikolinat Murni ………...

31 32 33 36 38 39 40 42 46 SIMPULAN DAN SARAN ………... 48

DAFTAR PUSTAKA ………... 49


(24)

xii

DAFTAR

TABEL

Halaman

1. Nilai indek suhu kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan ……….. 11

2. Suhu rectal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam

kondisi suhu lingkungan berbeda ……….………... 12

3. Komposisi dan nilai gizi pakan konsentrat dan rumput gajah ……….. 21

4. Rataan suhu lingkungan, kelembaban udara dan indek suhu

kelembaban (ISK) di lokasi penelitian ……….………... 31

5. Rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO),

NH3 dan VFA sapi-sapi perlakuan ……….………... 32

6. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum sapi-sapi perlakuan ... 34

7. Rataan suhu tubuh sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari 37

8. Rataan denyut jantung sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang

hari ... 38

9. Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan

siang hari ... 39

10. Rataan kandungan glukosa darah sapi-sapi perlakuan sebelum dan

sesudah diber makan ... 41

11. Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam serum darah sapi-sapi


(25)

xiii

DAFTAR

GAMBAR

Halaman

1. Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1972) ………... 6

2. Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a) ………... 13

3. Mekanisme umpan balik sekresi hormon tiroksin akibat perubahan suhu


(26)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Anova kecernaan bahan kering (KCBK) (%) Ransum Perlakuan ... 58

2. Hasil Anova kecernaan bahan organik (KCBO) (%) Ransum Perlakuan ... 59

3. Hasil Anova N-NH3 (mM) Ransum Perlakuan ... 60

4. Hasil Anova VFA (mM) Ransum Perlakuan ... 61

5. Hasil Anova pertambahan bobot badan (kg/ekor/hr) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ... 62

6. Hasil Anova pertambahan bobot badan harian (g/ekor/hr) sapi perah

PFH yang dipelihara di dataran rendah ... 63

7. Hasil Anova konsumsi ransum bahan kering (g/ekor/hr) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah kecernaan ... 64

8. Hasil Anova konversi ransum BK (gBK ransum/PBBH) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ...

65 9. Hasil Anova suhu tubuh pagi (0C/8menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

66 10. Hasil Anova suhu tubuh siang (0C/8menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

67 11. Hasil Anova denyut jantung pagi (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

68 12. Hasil Anova denyut jantung siang (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

69 13. Hasil Anova pernafasan pagi (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

70 14. Hasil Anova pernafasan siang (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

71 15. Hasil Anova glukosa darah pagi (mg/dl) sapi perah PFH yang dipelihara

di dataran rendah ...

72 16. Hasil Anova glukosa darah siang (mg/dl) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ...

73 17. Hasil Anova hormon triiodotironine (T3) pagi (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ...

74 18. Hasil Anova hormon triiodotironine (T3) siang (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ...

75 19. Hasil Anova hormon tetraiodotironine (T4) pagi (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ...

76 20. Hasil Anova hormon tetraiodotironine (T4) siang (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ...

77


(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi sapi perah dalam negeri masih harus dipacu peningkatannya agar permintaan konsumen akan susu sapi secara bertahap dapat dipenuhi. Selama periode tahun 2001 – 2005, kemampuan produksi susu baru mencapai 59.8% per tahun dari kebutuhan Nasional (Ditjennak 2004). Upaya peningkatan produksi susu dalam negeri dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi sapi perah. Populasi sapi perah pada tahun 2005 berjumlah 374000 ekor dengan produksi susu seba-nyak 596303 ton dan jumlah ini masih jauh di bawah permintaan konsumen susu yang sudah mencapai 997 850 ton (Ditjennak 2004).

Sapi perah di Indonesia cendrung dipelihara di dalam dua wilayah ekstrim, yang pertama wilayah dengan ekosistim baik namun kondisi sosial ekonominya rendah yaitu di daerah pedesaan di lereng pergunungan yang memiliki suhu sejuk dan yang kedua wilayah dengan keadaan ekosistim buruk namun memiliki sosial ekonomi yang cukup tinggi yaitu daerah dataran rendah di sekitar kota besar yang bersuhu lingkungan tinggi (Sutardi 1981). Kondisi lingkungan Indonesia yang merupakan daerah tropis dimana suhu dan kelembaban udaranya cukup tinggi akan memberikan pengaruh yang merugikan seperti terjadinya cekaman panas pada ternak sapi perah.

Peningkatan populasi sapi perah dalam upaya peningkatan produksi susu tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah umumnya. Selain faktor genetik dan gizi makanan (kuantitas dan kualitas), lingkungan merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah. Diantara faktor lingkungan yang mempunyai aspek terhadap kemampuan berproduksi sapi perah adalah suhu dan kelembaban udara. Hasil penelitian menunjukan bahwa, sapi yang di datangkan dari daerah suhu udara rendah ke daerah suhu udara tinggi akan mengalami stress, suhu udara merupakan stressor yang besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan berproduksi.

Suhu lingkungan dapat secara langsung maupun tidak langsung mempe-ngaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah. Pengaruh ataupun aspek secara tidak langsung adalah melalui kuantitas dan kualitas penyediaan hijauan pakan ternak (Stobbs 1975). Oleh karena itu antara suhu udara dengan


(28)

2

gizi pakan terjalin suatu interaksi yang berakibat pada pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah.

Mineral kromium (Cr) telah lama diketahui perannya dalam metabolisme karbohidrat, khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (Schwarz & Mertz 1959). Hasil-hasil penelitian kromium menunjukan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, kromium juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein. Defisiensi kromium dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang dipengaruhi oleh kromium adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1987). Burton (1995) menambahkan bahwa kromium berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3), yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesa protein.

Suplementasi kromium ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk komplek organik. Hal ini karena dalam bentuk an-organik. Kromium bersifat racun terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+), walaupun tingkat penyerapannya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+) yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus kromium an-organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat faeses (Offenbacher et al. 1986). Sebaliknya ketersediaan kromium organik cukup tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997).

Moonsie & Mowat (1993) melaporkan bahwa penambahan kromium ragi pada anak sapi yang mengalami stress dengan mempergunakan beberapa tingkatan suplementasi (0.2; 0.5 dan 1 ppm) diperoleh peningkatan berat badan dan konsumsi pakan masing-masing sebesar 29 dan 15% dibandingkan dengan kontrol selama 30 hari pertama di feedlot.

Hasil penelitian Jayanegara (2003) dalam uji in vitro ransum yang disuplementasi kromium organik dan an-organik pada level 1; 2; 3 dan 4 ppm dapat meningkatkan total VFA dan menurunkan konsentrasi NH3. Suplementasi kromium

organik lebih efisien dari pada suplementasi dalam bentuk an-organik. Level terbaik pada penelitian ini adalah suplementasi dalam bentuk an-organik 4 ppm. Astuti (2005) pada penelitiannya mendapatkan bahwa fungi yang mempunyai nilai efisiensi inkorporasi kromium tertinggi dalam pembuatan kromium organik adalah


(29)

3

Rhizopus orizae dan penggunaannya dalam ransum sebesar 1 dan 3 mg/kg

memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan organik (secara

in-vitro) dan menyarankan bahwa penggunaan kromium organik murni dalam

ransum adalah sebesar 4 ppm. Menindak lanjuti hasil penelitian Jayanegara (2003) dan Astuti (2005) serta penelitian lain tentang kromium, maka penelitian ini perlu dilaksanakan pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah untuk mendapatkan hasil yang berguna bagi perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi kromium organik murni (Chromium Pikolinate Pure) terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rectal, denyut jantung dan pernafaan), kandungan glukosa darah, hormon triiodotironine (T3) dan hormon tetraiodotironine (T4) serta tingkat pertumbuhan fase pembesaran sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di daerah dataran rendah.

Hipotesa

1. Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum dapat memberikan tingkat fermentasi rumen, kandungan glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan pertumbuhan yang lebih baik pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah.

2. Suplementasi Cr-pikolinat murni dapat menekan tingkat stress akibat cekaman panas pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah dengan suhu lingkungan dan kelembaban tinggi sehingga tidak mengganggu pertum-buhan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi tentang pengaruh suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara khususnya yang dipelihara di daerah dataran rendah, sehingga memberikan manfaat yang besar bagi pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia.


(30)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Mineral Kromium

Kromium merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0; 2+; 3+; 4+ dan 6+, namun umumnya bervalensi tiga merupakan bentuk yang stabil (Stoecker 1990). Kromium bervalensi empat bersifat toksit, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk bervalensi tiga (Wenk 1995).

Kromium pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaugel pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan lead chromate. Namun kromium diambil dari nama Yunani chroma yang artinya warna, karena unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda. Komponen ini telah lama digunakan untuk mewarnai dan menyamak kulit. Pada tahun 1900 kromium merupakan bahan yang penting sebagai pelindung logam dari korosi dan terus digunakan hingga kini (Ensminger et al. 1990). Mineral kromium pertama kali dilaporkan sebagai mineral jarang esensial pada tahun 1959 (Mc Donald at al. 1988).

Menurut Anderson dan Kozlovsky (1988) penyerapan kromium dalam bentuk organik 5-10 kali lebih baik dibandingkan dengan kromium klorida (hanya 2-3%). Linder (1992) melaporkan bahwa, kemungkinan sistim pengangkutan kromium adalah, setelah diserap, kromium diangkut pada protein pengangkut Fe (iron carrier

protein) dari plasma darah, yakni transferin. Tidak diketahui apakah faktor glukosa

yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Dari usus, hampir semua kromium masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam faktor toleransi glukosa. Sejumlah faktor toleransi glukosa tertentu disekresi ke dalam plasma dan akan tersedia untuk membantu aktivitas insulin. Kalau kadar gula darah meningkat, insulin akan disekresi dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran faktor toleran glukosa atau kromium ke dalam plasma. Faktor toleran glukosa akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin.

Akhir-akhir ini muncul produksi kromium pikolinat dan kromium nikotinat. Asam pikolinat dan asam nikotinat keduanya merupakan isomer yang hanya berbeda pada posisi penempelan asam karboksilat pada cincin piridin. Pada asam pikolinat gugus karboksil menempel pada posisi tiga sedangkan asam nikotinat pada


(31)

5

posisi dua. Kedua bentuk tersebut sama efektifnya. Pada keadaan alami kromium berikatan dengan asam nikotinat sehingga kromium yang berasal dari ragi (nikotinat) lebih disukai karena sifat alaminya.

Menurut Linder (1992) defisiensi kromium dapat menyebabkan hiperkoles terolemia. Mekanisme interaksi kromium dan metabolisme kolesterol belum jelas, walaupun suplementasi dengan preparat kromium aktif dapat menurunkan kadar kolesterol plasma ataupun serum darah. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruhnya dalam menghambat reduktase hidroksimetilglutaril coenzim-A dari hati yang analog dengan aktifitas vanadium. Tetapi pada percobaan in-vitro, pengaruh kromium dapat meransang atau menghambat, tergantung pada konsentrasinya (Underwood & Suttle 1977). Menurut Merkel (1990) kromium tersebar diseluruh jaringan tubuh dengan konsentrasi yang rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi tertinggi adalah waktu lahir dan menurun sesuai dengan pertambahan umur.

Berdasarkan hasil penelitian Lindemann (1966) defisiensi kromium pada tikus akan menunjukan tanda-tanda sebagai berikut : (1) tidak mampu memetabolisme karbohidrat secara normal, (2) menurunkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin, (3) mengganggu metabolisme protein, (4) mengurangi laju pertumbuhan, (5) umur lebih pendek, (6) meningkatkan kolesterol serum darah, (7) meningkatkan sumbatan pada aorta, (8) luka pada selapat bening dan (9) mengurangi jumlah sperma dan fertilitas. Setelah penyuntikan kromium pada tikus, konsentrasi puncak dalam darah tercapai satu jam kemudian dan kadarnya menurun secara logaritmis hingga konsentrasi 20% dalam waktu 24 jam. Umumnya kromium terakumulasi pada limpa, tulang, pangkreas, ginjal dan hati (Stoecker 1990).

Hasil penelitian dari Brasil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 0.4 ppm pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1955). Pangan

et al. (1995) melaporkan bahwa suplementasi kromium pada kuda pacu

berpengaruh positif tehadap respon metabolisme ketika periode latihan berat pada kecepatan tinggi. Suplementasi kromiun sangat nyata menurunkan kadar glukosa laktat, kortisol dan meningkatkan trigliserida dalam plasma darah. Selanjutnya hasil kurva menunjukan bahwa penggunaan energi lebih efisien pada suplementasi kromium.


(32)

6

Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi

Kromium (Cr) dikenal merupakan mineral esensial sejak tahun 1959. Schwartz dan Mertz (1959) adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan meningkatkan potensi aktivitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai faktor toleransi glukosa (Glucosa Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF tersusun dari komplek antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder 1992) seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur Faktor Toleransi Glucosa (Linder 1992).

Di dalam struktur GTF, kromium adalah komponen aktifnya, sehingga tanpa adanya kromium pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995). Anderson dan Kozlovsky (1988) menyatakan kerja GTF pada sistim transpor glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifiknya pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, pengambilan seluler glukosa dan asam amino dipermudah, dalam hal ini fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin.

COOH

N

Glisin

Glutamat

atau Glisin

Sistein

HOOC


(33)

7

Saner (1980) berpendapat bahwa fungsi GTF sebenarnya lebih terpusat pada sel target. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa kerja GTF dalam transport gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Pada sel kelenjer ambing hewan ruminansia pengambilan glukosa ditentukan oleh insulin (Collier 1985; Mc Guire et al. 1995; Manalu 1999), namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin dan tirosin (Laarveld et al. 1981). Hasil penelitian Fleet dan Mepham (1985) mendapatkan bahwa selain asam amino diatas, asam amino lain yang mengambil selulernya ke dalam sel kelenjer ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin.

Yang et al. (1996) menyatakan bahwa suplementasi kromium dapat meningkatkan pengambilan glukosa pada sel kelenjer ambing dengan cara mengurangi jumlah reseptor pada sel hati dan jaringan perifer sehingga sensitifitasnya terhadap insulin menurun. Pendapat ini didukung hasil penelitian Subiyatno et al. (1996) bahwa suplementasi kromium meningkatkan ratio insulin atau glukosa, sementara konsentrasi IGF-I (Insulin Like Growth Factor I) meningkat. Manalu (1994) menghimpun beberapa hasil penelitian tentang pengaruh IGF-I pada produksi susu mendapatkan bahwa hormon tersebut berpengaruh pada pertumbuhan sel kelenjer ambing dan perkembangan sistim transport glukosa pada sel tersebut. Ditambahkan IGF-I bekerja secara langsung pada epithelium sel kelenjer susu untuk meningkatkan sintesa susu. Mc Carty (1993) menduga bahwa kromium dapat meningkatkan aktivitas reseptor IGF-I yang fungsi dan strukturnya sama dengan reseptor hormon insulin.

Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang peranan kromium dalam sistim kekebalan menyimpulkan bahwa kromium berpengaruh baik pada pembentukan sistim kekebalan hormonal (HI) maupun kekebalan yang diperantarai oleh sel (CMI). Dalam kekebalan hormonal suplementasi kromium meningkatkan produksi antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI suplementasi kromium menyebabkan peningkatan respon blastogenik (lymphocit

blastogenesis) terhadap imunostimulan. Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa

peningkatan produktifitas antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol dan kekurangan energi dari pakan. Hormon ini bekerja meningkatan glukogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres. Proses glukogenesis akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga sintesis antibodi juga ditekan.


(34)

8

Dengan kata lain hormon kortisol bekerja berlawanan dengan terbantuknya sistim kekebalan dalam tubuh ternak.

Myers et al. (1997) menyatakan bahwa kromuim dapat memodulasi produksi sitokin (cytokine). Menurut Ganong (1995) salah satu sitokin penting yang dihasilkan limfosit T4 adalah interleukin (IL), yaitu IL-2 yang mempengaruhi proliferasi sel T8 dan IL-4 yang bekerja mempengaruhi proliferasi dan deferensiasi limfosit B. Pada pemeriksaan sel darah limfosit T dan B akan terukur sebagai leukosit total, sehingga pada kondisi terinfeksi konsentrasi leukosit total akan mengikat.

Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan

Kebutuhan kromium pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi stres kebutuhan kromium akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi cadangan kromium dalam tubuh akibat peningkatan mobilitas cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian kromium itu akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan dan laktasi kebutuhan kromium juga meningkat, hal ini karena pada saat tersebut mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al. 1996).

Meskipun konsentrasi kromium dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm dalam bentuk CrCl3 (NRC 1988). Efectivitas suplementasi kromium selain tergantung pada jenis ternak juga tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk kromium yang digunakan.

Komplek organik kromium terdapat dalam bentuk kromium chelate, kromium proteinat ragi (high Cr yeast) dan kromium pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (West & Todd 1961; Combs 1992; Groff & Gropper 2000).

Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak

Page et al. (1993) yang meneliti tentang suplementasi kromium pada babi sedang tumbuh mendapatkan bahwa kromium pikolinat sebanyak 0.2 ppm meningkatkan pertambahan bobot badan (0.87 kg/hr) lebih tinggi dibandingkan kontrol (0.81 kg/hr). Hasil yang sama diperoleh Cho et al. (2000) yang memberikan


(35)

9

kromium pikolinat 0.05% BK ransum pada babi lepas sapih, menghasilkan retensi N dan pertambahan bobot badan (74.88% dan 294.4 g/hari) lebih tinggi dibanding kontrol (67.12% dan 281.6 g/hari).

Pertambahan bobot badan yang tinggi pada penelitian tersebut diatas menggambarkan terjadinya peningkatan síntesis protein dan lemak pada jaringan perifer akibat meningkatnya pengambilan asam amino dan glukosa oleh efektivitas kerja insulin akibat adanya kromium. Namun demikian suplementasi kromium pada kondisi laktasi berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjer ambing untuk produksi susu.

Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada sapi perah laktasi bahwa suplementasi kromium chelate sebesar 5 mg kromium per hari menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.2% (27.5 vs 24.3 kg/hari). Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi kromium juga meningkatkan konsumsi bahan kering sebesar 15% (13.76 vs 11.93 kg/hari), mengubah resistensi insulin pada sel kelenjer ambing, menurunkan kejadian milk fever dan heat edema. Penelitian senada yang dilakukan oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil bahwa, suplementasi kromium pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu meningkatkan produksi susu sebesar 24% (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-I (39.05 vs 49.42 ng/ml) dan ratio insulin atau glukosa (7.27 vs 5.76 µ/mol).

Tang et al. (2000) melihat pengaruh kromium terhadap pembentukan antibodi dengan memberikan suplementasi kromium-yeast sebanyak 0.2 ppm ransum pada babi yang disuntik antigen virus demam. Empat belas hari setelah penyuntikan diperoleh hasil bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang diberi kromium-yeast dibanding kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 µ. Hasil senada diperoleh Burton et al. (1993, 1994) bahwa, suplementasi kromium meningkatkan titer antibodi sapi yang disuntik dengan antigen sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus rhinotracheitis.

Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Sapi Perah

Iklim sangat penting dalam sistim produksi ternak, karena dapat mempengaruhi ternak secara langsung yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pakan dan produktifitasnya. Esmay (1978) menyatakan bahwa,


(36)

10

lingkungan disekitar ternak merupakan total keseluruhan kondisi eksternal yang mempengaruhi perkembangan, respon dan pertumbuhan.

Secara langsung komponen iklim berupa suhu udara dapat mempengaruhi kemampuan sapi-sapi perah dalam berproduktivitas. Kenaikan suhu udara akan mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut nadi dan pernafasan setiap menitnya. Meningkatnya frekuensi pernafasan adalah reaksi tubuh sapi perah itu sendiri untuk mengatasi kenaikan suhu tubuhnya. Meningkatnya frekuensi denyut nadi adalah untuk mempercepat penyaluran darah sebagai transportasi O2 dan panas.

Menurut Yousef (1985) batas suhu kritis minimum sapi FH adalah – 27OC sampai 9OC dan batas suhu kritis maksimum 25OC sampai 26OC. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan turunnya produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu antara lain sebagai akibat dari turunnya nafsu makan dan turunnya efisiensi penggunaan energi untuk produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu. Suhu udara yang tinggi sebenarnya bukan saja berakibat pada turunnya konsumsi pakan, sehingga konsumsi energi menjadi kurang, tetapi juga mengakibatkan tidak efisiennya lagi penggunaan energi.

Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak adalah perbandingan tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban lingkungan udara memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecepatan pelepasan panas ternak, terutama pada suhu udara yang tinggi. Atmadilaga (1959) menyatakan bahwa, toleransi kelembaban untuk sapi perah agar berproduksi tinggi dengan RH maksimum 55%.

Indek suhu kelembaban merupakan tetapan untuk mengetahui adanya cekaman panas karena lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). Nilai ISK ini merupakan indeks imbangan antara suhu udara dan kelembaban. Hahn (1985) menentukan bahwa perhitungan ISK untuk sapi FH menggunakan persamaan :

ISK = DBT + 0.36 W B2 T + 41.2

dimana DBT (Dry bulb temperature = suhu udara bola kering, 0C) dan WBT (Wet bulb temperature = suhu udara bola basah, 0C). Pembagian selang ISK untuk mengetahui tingkat kenyamanan lingkungan hidup sapi perah terlihat pada Tabel 1 berikut.


(37)

11

Tabel 1 Nilai Indek Suhu Kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan.

No. Indek Suhu Kelembaban (ISK) Keterangan

1. < 70 Normal 2. 71 – 78 Waspada 3. 79 – 83 Bahaya 4. > 83 Kritis

Sumber : Yousef (1985).

Produkstifitas sapi perah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, karena faktor tersebut dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas, keseimbangan energi, keseimbangan air dan tingkah laku. Proses keseimbangan tersebut melibatkan sistim syaraf dan hormonal di dalam tubuh (McDowell 1972).

Unsur lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak adalah suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi (Armstrong 1977; Etgen et al. 1987; Payne 1990). Antara suhu lingkungan dan suhu tubuh terdapat suatu keseimbangan yang memungkinkan setiap proses biokimiawi dan faali dapat berlangsung dengan semestinya, bila terjadi ketidakseimbangan akan menyebabkan ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh (McDowell 1972; Mount 1979; Esmay 1978).

Daerah beriklim tropis basah seperti Indonesia, lama dan intensitas penyinaran matahari menyebabkan peningkatan suhu udara (Payne 1990). Akibatnya, ternak yang dipelihara akan menerima panas yang semakin besar. Di samping itu, tingkat kandungan air yang tinggi di udara akan meningkatkan kelembaban, sehingga akan menghambat proses penguapan dari permukaan tubuh ternak. Kedua faktor iklim tesebut secara sendiri-sendiri maupun bersama menekan produktifitas ternak (Esmay 1978). Interaksi suhu dan kelembaban tersebut digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui ketidaknyamanan suatu lokasi terhadap penampilan produktifitas ternak, sehingga (Armstrong 1977; Esmay 1978; Hahn 1985) menyarankan penggunaan indeks suhu dan kelembaban (Temperature Humidity Index = THI) untuk mengetahui adanya cekaman panas karena keadan lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). Sapi mulai tidak nyaman apabila THI sudah melebihi 72 (Armstrong 1977) sedangkan menurut Ryan et al. (1992) adalah 75.


(38)

12

Untuk mengetahui status cekaman panas pada ternak dapat dilakukan dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasi dari hasil pengukuran suhu rektal dan suhu kulit, sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan panas tubuh

(heat loss) dapat dilakukan dengan menetahui suhu kulit, frekuensi pernafasan dan

denyut jantung (Purwanto 1993a).

Pengaruh yang timbul akibat peningkatan suhu tubuh pada keadaan cekaman panas antara lain : (1) penurunan nafsu makan, (2) peningkatan konsumsi minum, (3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, (4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, (5) peningkatan respirasi, (6) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, (7) peningkatan temperatur tubuh, (8) peningkatan denyut jantung (McDowell 1972; Amstrong 1977) dan (9) perubahan tingkah laku (Ingram & Dauncey, 1985).

Perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh sapi Fries Holstein (FH) yang menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 2. Pengaruh cekaman panas atau suhu lingkungan yang tinggi terhadap respons fisiologis sapi sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung.

Tabel 2 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam kondisi suhu lingkungan berbeda.

Suhu Lingkungan Parameter Sumber

Netral Cekaman

Perbedaan (%)

Suhu rektal ( 0C ) 1 2

38.7 38.8

40.0 39.8

+ 3.4 + 2.6 Denyut jantung (kali/menit) 1

2

77.0 64.0

79.0 67.0

+ 2.6 + 4.7 Pernafasan (kali/menit) 1

2

48.0 31.0

87.0 75.0

+ 81.3 + 141.9

Sumber : 1) Kibler (1962). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu netral 21.60C dan suhu cekaman 32.20C.

2) Purwanto (1993a). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu rektal 15.00C dan suhu cekaman 30.00C.

Daerah Termonetral pada Sapi Perah

Daerah termonetral (confort zone ) bagi hewan ternak merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai untuk kehidupannya, di mana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak


(39)

13

menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (McDowell 1972; Yoesef 1985a). Terjadinya metabolisme basal pada kisaran suhu termonetral tesebut berarti pula produksi panas tubuh sangat rendah. Apabila terjadi peningkatan atau penurunan suhu lingkungan (di atas atau di bawah suhu nyaman), mengakibatkan pula peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau mempertahankan panas tubuh (Yoesef 1985a). Kisaran suhu nyaman dan pola perubahan produksi panas di dalam tubuh ternak akibat perubahan suhu lingkungan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a).

Daerah termonetral terdiri atas 3 sub daerah, yaitu daerah optimum (BC), daerah dingin (AB) dan daerah hangat (CD). Daerah BC merupakan daerah yang paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak (sapi perah berkisar antara 0 dan 160C). Daerah AB merupakan daerah dengan produksi panas tetap normal, namun ternak melakukan penyesuaian dengan tingkah laku atau mekanisme otomatik untuk menghasilkan panas tubuh dalam rangka mengimbangkan dengan keadaan yang mulai dingin bagi ternak. Daera CD merupakan daerah dengan produksi panas minimal, namun mekanisme termoregulasi telah mulai bekerja dengan cara meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan evaporasi untuk membuang panas. Apabila suhu udara dibawah suhu kritis (low critical temperature


(40)

14

tidak kedinginan dan ternak akan mati bila beban dingin terus meningkat. Demikian juga bila suhu udara diatas suhu kritis (upper critical temperature = UCT), terjadi peningkatan produksi panas sebagai akibat dari usaha membuang tambahan beban panas dari luar tubuh. Keadaan ini selanjutnya akan meningkatkan suhu tubuh.

Sapi FH mempunyai kisaran suhu termonetral yang rendah, sehingga lebih toleran terhadap perubahan suhu rendah dibandingkan dengan perubahan suhu tinggi (Payne 1990). Penampilan produktivitas sapi FH akan optimal apabila dipelihara di lokasi dengan suhu yang nyaman. Suhu nyaman sapi perah berkisar antara 4,4-21,10C (Schmidt 1971); antara 13-180C (McDowell 1972); antara 4-250C (Yousef 1985a). Suhu kritis sapi FH adalah 270C (Kibler 1962; McDowell 1972), sedangkan menurut Yousef (1985a) adalah 250C. Apabila suhu udara meningkat di atas suhu kritis, sapi akan mulai menderita cekaman panas, sehingga mekanisme termoreguilasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan penguapan air melalui kulit (Hafez 1968; Armstrong 1977; Linvill & Pardue 1992).

Sapi-sapi FH yang dipelihara di daerah tropis, bobot badan sapi dewasa lebih kecil 18 sampai 30 persen dibandingkan bila dipelihara di daerah beriklim sedang, karena adanya tropical degeneration (McDowell 1972).

Glukosa Darah dan Regulasinya

Sumber energi utama dalam tubuh ternak adalah karbohidrat. Sumber energi ini berasal dari pangan yang dikonsumsi setiap hari. Energi yang terbentuk melalui metabolisme, disimpan dalam bentuk apa yang disebut “ikatan energi tinggi” yang menghubungkan fosfor dengan atom oksigen di dalam ATP (adenosin tri

phosphate). Dengan adanya enzim yang cocok (ATPase), sebuah gugus fosfor

terlepas dalam suatu transforilasi dengan membebaskan energi yang siap pakai. Senyawa yang dihasilkan adalah ADP (adenosin di phosphate) yang siap dikonversikan menjadi ATP dengan penambahan fosfat dan energi (Frandson, 1993).

Metabolisme karbohidrat menyangkut semua reaksi yang terjadi dalam tubuh baik berasal dari pakan maupun terbentuk dalam tubuh, bukan berasal dari karbohidrat. Produk metabolisme karbohidrat salah satunya adalah glukosa. Sekitar 8% dari tubuh kita adalah darah (Page 1985). Darah terdiri dari bagian cair (plasma)


(41)

15

dan komponen-komponen seluler yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan trombosit. Fungsi primernya adalah untuk mengangkut oksigen dan metabolit ke sel serta mengangkut karbondioksida dan hasil limbah metabolisme ke luar. Darah merupakan campuran kompleks dari banyak zat, termasuk gukosa (sekitar 65 sampai 90 mg/100 ml, secara normal). Sel darah merah tidak mempunyai mitokondria, oleh karena itu hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar (Colby 1989).

Glukosa darah melalui peredaran darah dihantar dari suatu organ ke organ lain. Organ seperti usus dan hati akan memberikan masukan glukosa ke dalam darah, sehingga dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Alat tubuh lain seperti otak, oto (dalam keadaan aktif) akan menggunakan glukosa dalam darah untuk kebutuhan fisiologisnya yang berakibat turunnya kadar glukosa dalam darah (Djojosoebagio 1990). Dalam keadaan normal, otak secara keseluruhan juga tergantung pada suplai glukosa yang kontiniu karena otak tidak dapat mengambil asam lemak dan hanya dapat mengabsorbsi benda keton setelah beberapa hari puasa, bila konsentrasinya tinggi di dalam darah. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar jaringan yang tergantung pada glukosa darah dipertahankan dalam batas 3.7 mmol/liter. Ini jelas berbeda dengan konsentrasi asam lemak (10 kali) dan benda keton (100 kali).

Terdapat beberapa alasan penting mengapa konsentrasi glukosa darah diatur dengan batas-batas yang sempit. Bila konsentrasi glukosa darah turun di bawah 1.5 mmol/liter, otak tidak cukup disuplai bahan bakar, kadar ATP otak menurun dan fungsi otak terganggu, selanjutnya dapat timbul koma dan kematian (Colby 1989). Menurut Djojosoebagio (1990), meskipun kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, keseimbangannnya diatur oleh dinamika yang unik dan dalam keadaan fisiologis normal selalu relatif konstan. Keadaan ini dapat dipertahankan sebagai hasil kerja alat-alat tubuh yang terkoordinasi dengan rapi. Bila salah alat tubuh melepaskan glukosa ke dalam darah, maka dengan segera glukosa tersebut diserap oleh alat tubuh lainnya. Berbagai faktor mempengaruhi dan mengontrol metabolisme glukosa sejak dikonsumsi sampai diserap oleh usus kemudian tiba di dalam sel-sel yang membutuhkannya. Diantara berbagai faktor tersebut adalah pengaruh hormonal yang salah satunya adalah insulin. Tanpa insulin, sangat menurunlah kemampuan untuk memetabolisasi glukosa menjadi energi atau mensintesis lemak dari glukosa. Insulin memiliki pengaruh utama agar glukosa menembus membran dan masuk ke dalam sel, dimana kemudian


(42)

16

dimetabolisasikan (Frandson 1993). Selama pencernaan makanan, kadar glukosa darah meningkat. Peningkatan kadar insulin dalam situasi yang menyertainya mengakibatkan pengeluaran glukosa dari sirkulasi dengan meningkatkan kecepatan transpor glukosa ke dalam sel dan dengan meningkatkan aktifitas lintasan yang menggunakan glukosa (Colby 1989).

Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak

Peran kromium sebagai suatu trace elemen esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan normal mamalia serta unggas telah didokumentasikan dengan baik (NRC 1997). Pengaruh kromium terhadap kadar glukosa darah mungkin dapat melalui peningkatan efetivitas insulin secara endogen (disekresi, sebagai respon terhadap konsumsi glukosa) atau dalam pengobatan dimana insulin akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh urat daging serta jaringan lemak dan meningkatkan sintesis glikogen dalam urat daging dan hati (Linder 1992). Kromium mempunyai potensi penting dalam metabolisme karbohidrat, lipid, protein dan asam nukleat karena itu kromium diduga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan karbohidrat dan lipid sebagai sumber energi serta protein untuk pertumbuhan sehingga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan. Kromium merupakan bagian dari suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan memperbaiki efisiensi penggunaan insulin dimana substansi ini diketahui sebagai GTF. Komplek GTF juga mengandung asam nikotinat, glysine, asam glutamat dan sistein (Linder 1992).

GTF meningkatkan kesanggupan suatu jaringan yang sensitf terhadap insulin. Semakin cepat transport glukosa kedalam sel maka semakin cepat pemenuhan kebutuhan energi sel oleh glukosa dan dengan cara demikian semakin banyak glukosa (dan tentunya karbohidrat) yang digunakan sebagai sumber energi. Kromium trivalen dalam bentuk komplek organik berperan aktif dalam metabolisme karbohidrat melalui GTF (Mertz 1993). Peningkatan kecepatan transport glukosa oleh insulin dikarenakan pengaruh GTF berarti bahwa level glukosa dalam sel-sel tersebut cendrung turun dengan lebih cepat dibawah level homeostasi. Kondisi ini merangsang se-sel tersebut untuk menyerap glukosa dengan segera.

Pengaruh kromium terhadap metabolisme lipid terlihat tidak bergantung dari pengaruh-pengaruh terhadap metabolisme glukosa. Beberapa penelitian mengemukakan pengaruh dari kromium pikolinat pada metabolisme lemak.


(43)

17

Kromium pikolinat diduga menurunkan retensi lemak melalui penghambatan lipogenesis, yang mana inkonsisten dengan hasil Cho et al. (2000). Kromium diduga berinteraksi dengan biosintesis protein dikarenakan adanya peran insulin dalam meregulasi pengambilan asam amino oleh jaringan hewan. Dengan adanya kromium pikolinat terhadap tingginya sensivitas insulin menyebabkan peningkatan dalam pengambilan glukosa dan asam amino oleh sel-sel otot untuk protein (Yi et al. 1996).

Peranan Hormon Tiroksin (T3 dan T4) Terhadap Suhu Lingkungan Tinggi

Hormon-hormon tiroksin merupakan hormon utama dalam mekanisme panas oleh karena perannya dalam merangsang metabolisme tingkat sel di seluruh tubuh (Ganong 1983; Djojosoebagio 1990). Peningkatan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam darah akan meningkatkan pula metabolisme didalam sel-sel tubuh (Capen & Martin 1989). Dijelaskan lebih lanjut bahwa hormon-hormon tiroksin merangsang penggunaan oksigen dan meningkatkan produksi panas (heat production) oleh sel-sel tubuh. Hal itu disebabkan karena peningkatan penggunaan karbohidrat, peningkatan katabolisme protein yang ditandai dengan ekskresi nitrogen dan peningkatan oksidasi ternak yang ditandai dengan kehilangan bobot badan.

Apabila ternak ada di dalam lingkungan bersuhu tinggi, maka ternak terkena cekaman panas karena mendapatkan tambahan panas dari luar dan merasa tidak nyaman. Sedangkan bila suhu lingkungan dingin terjadi sebaliknya (Capen & Martin 1989; Djojosoebagio 1990). Selanjutnya diuraikan bahwa cekaman panas menyebabkan penghambatan keluarnya tiroksin releasing hormon (TRH) dari hipotalamus, sehingga terhambat pula keluarnya tiroksin stimulating hormone (TSH) dari anterior pituitary dan menyebabkan sekresi T3 dan T4, sehingga proses metabolisme berjalan dalam taraf yang mencukupi. Mekanisme umpan balik pengaruh suhu lingkungan panas dan linkungan dingin terhadap sekresi hormon tiroksin disajikan pada Gambar 3.

Dalam keadaan cekaman seperti perubahan suhu lingkungan yang drastis, terjadi perubahan secara cepat pada sistim hormonal. Keadaan ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan frekuensi pernafasan dan peningkatan kandungan glukosa darah. Hormon yang menaikan peranan pada keadaan ini adalah adrenalin atau epinefrin yang dihasilkan oleh medula adrenal dan norepinefrine yang dihasilkan pada ujung saraf (Ganong 1983). Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam keadaan cekaman, hormon yang ikut berperan adalah


(1)

Myers MJ at al. 1997. Effect of growth hormone or chromium picolinate on swine metabolism and inflammatory cytokine production after endotoxin challenge exposure. Am J Vet Res 58: 594.

Mullick DN, Murty VN, Kehar ND. 1952. Seasonal variation in the feed and water intake of cattle. J Anim Sci 11: 43.

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 1988. Animal Nutrition. Fifth Edition Longman Scientificc and Technical New York.

Merkel RA. 1990. Inorganic constituents, In JF Price and Schweigert. The Science of Meat and Meat Products 3th Ed. Food and Nutrition Press Westport USA.

McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. Freeman and Co. San Francisco.

McDowell RE, Hooven NW, Camoens JK. 1976. Effect of Climate on Performance of Holstein in First Lactation. J Dairy Sci 59: 956-973.

Mowat DN. 1994. Organic chromium : A new nutrient for stressed animal. P: 275-282 In : Biotechnology in the Feed Industry, Proc. Alltech’s Tenth Annual Symposium Leicestershire, UK : Nottingham University Press.

Mowat DN. 1994a. Organic Chromium in Animal Nurition In Asia-Pacific. Lecture Tour August 15-26.

Mallard BA, Borgs P. 1977. Effects of suplemental trivalent chromium hormone and immune responses of cattle. Procc of Alltech 13th Ann Symp. P: 242-250.

Merzt W. 1993. Chromium and human nutrition : a review. J Nutr. 123: 626-633. Mount LE. 1979. Adaptation to Thermal Environmant : Man and His Productive

Animal. Tilmset and Printed by Thompson Litho Ltd. Scotland. P: 1-128. Mooradian AD, Morley JE. 1987. Micronutrient status in diabetes mellitus. Am J Nutr.

45: 877-895.

[NRC] National Research Council 1988. Nutrient Requirement of Dairy Cattle 1989.

Update 6th rev. ed. Natlonal Academic Press. Washington DC. P: 34-81. [NRC] National Research Council. 1997. Recommended Dietary Allowances, 10th ed.

National Academy Press. Washington DC.

Nixon DA, Akasha MA, Anderson RA. 1988. Free and Total thyroid hormones in serum of Holstein cows. J Sci 71: 1152-1160.

Offenbacher EG, Spencer H, Dowling HJ, Pi-Sunier FX. 1986. Metabolic chromium balances in men. Am J Clin Nutr. 44 : 77-82.

Page DS. 1985. Prinsip-prinsip Biokimia. Edisi II. Penerjemah R. Soendoro. Penerbit Erlangga, Jakarta.


(2)

Page DS, Southern LL, Southern, Ward TL, Thompson DL Jr. 1993. Effect of Chromium picolinate on growth and serum and carcass traits of growing-finishing pigs. J Anim Sci. 71: 656-662.

Pagan JD, Jackson SG, Duren SE. 1995. The effect of chromium supplementation on metabolic response to exercise in throughbreed horses. Biotechnology in the Feed Industry. Nottingham University Press.

Payne WJA. 1990. An Introduction to Animal Husbandry in the Trophics. 4th ed. Tropical Agricultural Series. Longman Scientific and Technical. Copublish in the United States with John Wiley & Sons, Inc. New York. P: 1-33.

Purwanto BP, Fujita M, Nishibori, Yamamoto S. 1991. Effect and environmental temperature and feed intake on plasma concentration of thyroid hormones in dairy heifers. Asia-Australasian Journal of Anim Sci. 4: 293-298.

Purwanto BP. 1993a. Heat and Energy Balance in Dairy Cattle Under High Environ-mental Temperatur. [disertasi]. Hiroshima University.

Purwanto BP. 1993b. Respons Fisologis dan Produktifitas Ternak di Daerah Panas. Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Bagian Timur dalam Bidang Agroklimatologi. Jur Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. P: 78-86. Purwanto BP, Nakasamu F, Yamamoto S. 1995. Estimasi kebutuhan energi untuk

termoregulasi pada sapi perah. Forum Ilmu Peternakan. 1:1-8.

Pollard GV, Richardson CR, Karnezos TP. 2000. Effect of suplemental organic chromium on growth. Feed Effisiency and Carcas Characteristics of Feedlot Steers.

Robertshaw D. 1985. Heat Lost of Cattle. In : Stress Physiology of Livestock. Vol II. MK. Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. P: 55-65.

Ryan DP at al. 1992. Evaluating two different evaporative cooling management systems for dairy cows in hot dry climate. J Dairy Sci. 75:1052-1059.

Sastry NSR, Thomas CK. 1980. Farm Animal Management. Vikas Publishing House PVT. Ltd. New Delhi. P: 77-115.

Scott TW, Ashes JR. 1993. Dietary lipid for ruminants : Protection utilization and effects remodeling of skeletal muscle phospholipid. Aust J Agric Res. 44: 495.

Shageer MS, Mowat DN. 1993. Effect of level of supplemental chromium on performance, serum constituents and immune status of stressed feeder calves. J Anim Sci. 71: 232-238.

Shield RG Jr. 1997. Organic chromium potential application in pet food formulation. Procc of Alltech 13th . Annual Symp. P: 251-267


(3)

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik Edisi II. Terjemahan Sumantri B. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Subiyatno A, Mowat DN, Yang WZ. 1996. Metabolite and hormonal responses to glucose or propionate infusions in periparturient dairy cows supplemented with chromium. J Dairy Sci. 79 : 1436-1445.

Sutardi T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sutardi T. 1994. Peningkatan Produktifitas Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah. Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi Dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 1993/1994. Institut Pertanian Bogor.

Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan kapsul lisin serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saner G. 1980. Chromium in Nutritional and Disease. Current Topics in Nutrion and Disease Vol 2. Alan R Liss Inc New York.

Spears JW. 1999. Reevaluation of the Metabolic Essentiality of the Minerals Riview.

Asian Autralian J Anim Sci 12: 1002.

Stoecker BJ. 1990. Chromium In ML Brown. Present Knowledge in Nutrition. International Life Sciences Institute Nutrition Foundation. Washington DC. Stobbs FH, Thompson PAC. 1975. Milk production from tropical pasture. Word

Animal Riview 13: 27.

Schwarz K, Mertz W. 1959. Chromium (III) and the glocose tolerance factor. Arch Biochem Biophys 85: 292-295.

Sohn KS, Kim MK, Kim JD, Han K. 2000. The Role of Immunostimulants in menegastric animal and fish. Review Asian Australian J Anim Sci 8: 1178. Schmidt HG. 1972. Biology of Lactation. W.H. Freeman and Company, San

Francisco. P: 42.

Satter LD, Slyter LL. 1974. Effect of ammonia on rumen microbial protein production

in-vitro. Br J Nutr. 32: 199-208.

Schor A, Gagliostro GA. 2001. Undegradable protein supplemnetation to ealy-lactation dairy cows in grazing conditions. J Dairy Sci. 84: 1597-1606. Schroeder HA. Vinton WH Jr. Balassa JJ. 1963. Effects of chromium, cadmium and

lead on the growth and survival of rats. J Nutr. 80:48.

Schroeder HA. 1966. Crhomium defisiency in rats: A syndrome simulating diabetes mellitus with retarded growth. J Nutr. 88: 439-445.


(4)

Tang L, Deva LI, Wang FL, Xing JJ, Gong LM. 2000. Effect of different sources of organic chromium on immune function in weaned pigs. Review Asian Australian J Anim Sci 14: 1164.

Tilley JMA, Terry RA. 1963. Two-stage technique for the in-vitro digestion of forage crops. J British Grassland Soc 18: 104.

Turner CD, Bagnara JT. 1988. Endokrinologi Umum. Edisi keenam. Airlangga Universiy Press. New York.

Tomlinson DL, James RE, Bethard GL, McGilliard ML. 1997. Influence of undegradability of protein in the diet on intake, dairy gain, feed efficiency and body composition of Holstein heifer. J Dairy Sci. 80: 943-948.

Thomas VM, Beeson WM. 1977. Feather meal and hair meal as protein souces for steer calves. J Anim Sci. 46: 819.

Underwood EJ, Suttle NF. 1977. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Ed. CABI Publishing.

Van Soest PJ, Roberston JB, Lewos BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non-starch polisaccharides in relation to animal nutrition. J Dairy Sci. 74: 3583-3597.

West ES, Todd WR. 1961. Texbook of Biochemistry. 3rd ed. MacMillan Company, New York.

Wenk C. 1995. Organics chromium in growing pigs. observations following a year of use and research in Switzerland. In Biotechnology in the Feed Industry. Nottingham University Press.

Whyte RO. 1957. Milk production in developing countries. Faber and Fabiger Ltd London.

Wikantadi B. 1977. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas gajah Mada Yogyakarta.

Williamson G, Payne WJA. 1978. An Introduction of Animal Husbandry in the Tropic. Longman, London and New York.

Worstell DM, Broody S. 1953. Comparative Physiology Reaction of European and Indian Cattle of Changing Temperature. Mo Agric Exp Sta Res Bul. 515: 3-15.

Yang WZ, Mowat DN, Subiyatno A, Liptrap R. 1996. Effect of Chromium supplementation on early lactation performance of Holstain cows. Can J Anim Sci 76 : 221.

Yousef MK. 1985. Thermoneutral Zone in Stress Physiology in Livestoc. Ed ke 1. CRC Press Inc Boca.


(5)

Yousef MK. 1985a. Heat Production Mechanism and Regulation. In: Stress Physiology of Livestock. Vol. II. M.K. Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. P: 48-52.

Yousef MK. 1985b. Thermoneutral Zone. In: Stress Physiology of Livestock. Vol II. MK Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. P: 68-89.

Yi Z, Park R, Orme L, Silcox R, Hawkins E. 1996. Effect of supplemental chromium picolinate on corpus luteum numbers and carcass trait of gilts under limited feeding. J Anim Sci. 74(Suppl. 1): 194(abstr).


(6)

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni dalam ransum sapi perah peranakan FH yang dipelihara di dataran rendah dengan temperatur lingkungan kandang tinggi (pagi 26.30C dan siang 34.20C) memberikan peningkatan fermentabilitas ransum didalam saluran pencernaan dan peningkatan daya adapatasi sapi perah peranakan FH dengan kondisi lingkungan terhadap cekaman panas.

SARAN

Di daerah-daerah dataran rendah atau bersuhu tinggi hendaknya sapi perah FH atau peranakannya perlu diberi kromium pikolinat untuk mengurangi cekaman panas sebelum dapat beradaptasi dengan kondisi tesebut.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang interakasi kromium pikolinat dengan mineral lain dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan aktifitas mikroba dalam rumen.