Polimorfisme Gen Growth Hormone Sapi Bali Di Dataran Tinggi Dan Dataran Rendah Nusa Penida.

(1)

TESIS

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI

BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN

RENDAH NUSA PENIDA

NI LUH MADE IKA YULITA SARI HADIPRATA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI

BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN

RENDAH NUSA PENIDA

NI LUH MADE IKA YULITA SARI HADIPRATA NIM 1492361004

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI

BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN

RENDAH NUSA PENIDA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

NI LUH MADE IKA YULITA SARI HADIPRATA NIM 1492361004

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 13 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof.Dr.drh.Ni Ketut Suwiti,M.Kes Dr. Drh. I Wayan Suardana, M.Si NIP. 19630716 198903 2 001 NIP. 19700122 199512 1 001

Mengetahui

Ketua Program Magister Direktur

Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof.Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001


(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal 13 Januari 2016

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 0287/UN14.4/HK/2016 Tanggal : 11 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis adalah : Ketua : Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes Anggota :

1. Dr. Drh. I Wayan Suardana, M.Si 2. Dr. Drh. I Nengah Wandia, M.Si

3. Prof. Dr. Drh.Iwan Harjono Utama, MS 4. Prof.Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes


(6)

vi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Luh Made Ika Yulita Sari Hadiprata Nim : 1492361004

Program Studi : Kedokteran Hewan

Judul Tesis : Polimorfisme Gen Growth Hormone pada Sapi Bali di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Nusa Penida

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 13 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,


(7)

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Ni Luh Made Ika Yulita Sari Hadiprata dilahirkan pada tanggal 20 Juli 1991 di Denpasar, Provinsi Bali. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan suami istri Drh. I Ketut Hadiprata dan Ni Wayan Sulastrini, S.Pd. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Kerobokan Kelod dan menamatkan pendidikan tahun 2003, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Denpasar, diselesaikan pada tahun 2006, Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3 Denpasar, diselesaikan pada tahun 2009. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2013 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Hewan Tahun 2014. Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2014. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana berjudul “Polimorfisme Gen Growth Hormone Sapi Bali di

Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Nusa Penida”. Penelitian ini dibuat sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.


(8)

viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. drh. I Wayan Suardana, M.Si. selaku pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Dr. drh. I Nengah Wandia, M.Si dan Prof. Dr. drh. Iwan Utama, MS yang


(9)

ix

telah memberikan masukan, saran dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Komang Sri, Nanik Astuti dan Senshi Septia yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak I Ketut Hadiprata dan Ibu tersayang Ni Wayan Sulastrini yang telah memberikan dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Kepada Sita, Eka, Gea, Mei, Sista, dan Wela terutama terimakasih banyak kepada Kadek Sumara yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini.

Denpasar, 13 Januari 2016 Penulis


(10)

x

ABSTRAK

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik dan polimorfisme gen growth hormone sapi bali di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Sampel yang digunakan adalah darah sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dan dataran rendah Nusa Penida yang berjumlah 50 sampel. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) yang dipotong dengan enzim HaeIII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 sampel menunjukkan satu alel dengan frekuensi 1.00 dan nilai PIC marker 0.000. Hasil restriksi produk PCR menggunakan enzim HaeIII menunjukkan seluruh sampel terpotong menjadi dua pita dengan ukuran 179 pb dan 225 pb. Dapat disimpulkan gen growth hormone pada sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida bersifat monomorfik. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode lain tentang keragaman genetik dari gen growth hormone pada sapi bali di Nusa Penida sehingga dapat digunakan kriteria untuk seleksi sapi bali unggul di Nusa Penida.

Kata kunci: Gen growth hormone, sapi bali, kepulauan Nusa Penida, metode PCR-RFLP, enzim HaeIII.


(11)

xi

ABSTRACT

THE POLYMORPHISM OF GROWTH HORMONE GENE OF BALI CATTLE AT HIGHLANDS AND LOWLANDS OF NUSA PENIDA

ISLAND

The research has been conducted to know the characteristics and polymorphisms of growth hormone gene of bali cattle at Nusa Penida island. Totally 50 samples of blood Bali cattle reared in Nusa Penida island were used in this study, and the PCR-RFLP method with enzym HaeIII was used in order to know the polymorphism of their growth hormone gene. The results showed that among 50 samples that were studied, the growth hormone gene of bali cattle in Nusa Penida island showed one allele with frequency of 1.00 and PIC marker value of 0.000. The digestion of PCR product using HaeIII enzyme showed all of samples divided into two bands i.e 179 bp and 225 bp. The result conclude, the growth hormone gene of bali cattle that breeding in Nusa Penida island is monomorphic. Eventhough, the others research with another methods in order to know the genetic diversity of growth hormone gene of bali cattle in Nusa Penida island is still needed so that can be used as a criterion for selecting of bali cattle superior in Nusa Dua island.

Keywords: Growth hormone gene, bali-cattle, Nusa Penida island, PCR-RFLP method, enzyme HaeIII.


(12)

xii

RINGKASAN

Nusa Penida merupakan kawasan pengembangan dan pusat pembibitan sapi bali, oleh karena itu diperlukan strategi untuk mendapatkan bibit yang unggul tidak hanya dengan seleksi secara fenotipe namun juga secara genotipe melalui marka gen yang disebut Marker-Assisted Selection (MAS). Salah satu gen yang berpotensi menyandi sifat produksi seperti bobot badan, tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada adalah gen Growth Hormone (GH). Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang karakteristik genetik gen GH yang direstriksi dengan enzim HaeIII serta polimorfismenya dari bibit sapi bali di Nusa Penida yang dipelihara di daerah dataran tinggi dan dataran rendah sehingga dapat digunakan sebagai penanda genetik bibit sapi bali di Nusa Penida. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode PCR-RFLP (Polymerase Chain

Reaction-Restriction Length Polymorphism), dengan jumlah sampel sebanyak 50

sampel. Hasil penelitian menunjukkan dari 50 sampel yang teramplifikasi pada PCR dengan ukuran produk 404 bp menggunakan primer 2F 2R dan direstriksi menggunakan enzim HaeIII menunjukkan hanya terdapat satu macam pola potongan yang terdiri dari dua pita dengan ukuran 179 pb dan 225 pb. Hasil analisis frekuensi alel dan PIC menunjukkan nilai masing-masing 1.00 dan 0.000. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa karakteristik gen GH sapi bali di Nusa Penida bersifat monomorfik.


(13)

xiii

SUMMARY

Nusa Penida is an area for developing and breeding centers of bali cattle in Bali, therefore it is needed a strategy to improve the cattle which superior performance in this area. In order to reach those purposes, the selection of cattle can be conducted not only by phenotype selection, but also genotype phenotype through marker gene that familiarly as Marker-Assisted Selection (MAS). One of the genes that can be used as a MAS is growth hormone (GH) gene which known encoding potential production such as body weight, shoulder height, body length and chest circumference . This research obtain to know the information about the genetic characteristics of GH gene of Bali cattle in Nusa Penida island that were restricted by HaeIII enzyme and its polymorphism. The method used in the study was the PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Length Polymorphism) method. Totally 50 blood samples collected from low lands and high lands of Nusa Penida island were used in the study. The results showed among 50 samples that were studied, the growth hormone gene of bali cattle in Nusa Penida island showed one allele with frequency of 1.00 and PIC marker value of 0.000. The digestion of PCR product using HaeIII enzyme showed all of samples divided into two bands i.e 179 bp and 225 bp. The result conclude, the growth hormone gene of bali cattle that breeding in Nusa Penida island is monomorphic. Eventhough, the others research with another methods in order to know the genetic diversity of growth hormone gene of bali cattle in Nusa Penida island is still needed so that can be used as a criterion for selecting of bali cattle superior in Nusa Dua island.


(14)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI . ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Gambaran Umum Sapi Bali... 5

2.2 Keragaman Genetik ... 6

2.3 Gen Bovine Growth Hormone... 7

2.4 PCR-RFLP ... 10

BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 13

3.1 Kerangka Berpikir ... 13

3.2 Konsep ... 15

BAB IV METODE PENELITIAN ... 16

4.1 Rancangan Penelitian ... 16

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 18

4.4 Penentuan Sumber Data ... 18

4.5 Variabel Penelitian ... 19

4.6 Bahan Penelitian ... 20

4.7 Instrumen Penelitian ... 21

4.8 Prosedur Penelitian ... 21

4.8.1 Pengambilan Sampel Darah ... 21

4.8.2 Ekstraksi DNA... 21

4.8.3 Amplifikasi Gen Growth Hormon ... 22

4.8.4 Restriksi Gen GH dengan Enzim HaeIII ... 23

4.9 Analisis Data ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1 Amplifikasi Gen GH ... 25

5.2 Keragaman Genetik GHSapi Bali ... 27

5.2.1 Frekuensi alel Gen GH yang diretriksi dengan enzim HaeIII ... 27


(15)

xv

5.2.2 Nilai Polymorphic Informative Content (PIC) ... 30

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 32

6.1 Simpulan ... 32

6.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

Tabel 5.1. Jumlah genotipe dan frekuensi alel sapi bali Nusa

Penida-Bali………. 27

Tabel 5.2. Nilai Polymorphic Informative Content (PIC) sapi bali di Nusa


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

Gambar 2.1. Posisi primer depan, primer belakang dan produk PCR gen

GH………... 10

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian……… 15 Gambar 4.1. Alur Pelaksanaan Penelitian……… 17 Gambar 5.1. Visualisasi amplifikasi gen Growth Hormon sapi bali pada

gel agarose 1,5% ( M ; marker 100 bp, 1-8 : sampel

penelitian)……… 25

Gambar 5.2. Visualisasi PCR-RFLP GH HaeIII pada gel poliakrilamid 8% (M ; marker 100bp, 1-4 ; amplifikasi gen GH, R1-R4 ;


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal

Lampiran 1. Perhitungan Rumus………...………... 39 Lampiran 2. Visualisasi 50 Produk PCR dan Restriksi GH HaeIII...…… 41


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal Indonesia yang memberi kontribusi dalam penyediaan daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Sapi bali mempunyai keunggulan diantaranya memiliki tingkat fertilitas yang tinggi, mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang baru, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak yang rendah, serta memiliki produksi karkas yang tinggi (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Dengan keunggulan tersebut sapi bali menjadi salah satu kandidat sapi lokal yang mutu bibitnya perlu ditingkatkan.

Sapi bali tersebar di seluruh wilayah Indonesia bahkan juga terdapat di Negara Asia Tenggara lainnya, Australia, Texas, dan tersebar di 112 kebun binatang dan penangkaran dalam jumlah terbatas di seluruh dunia (Davendra et al., 1973; Kirby, 1979; Scherf, 1995; Talibet al., 1998). Walaupun demikian, sapi bali di Indonesia hampir semuanya bermula dari sapi bali yang ada di Bali dan hasil pembuktian menunjukkan sapi bali di Bali adalah yang paling murni (Namikawa dan Widodo, 1978; Namikawa et al., 1980) jika digunakan darah banteng sebagai kontrolnya.

Kepulauan Nusa Penida merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali yang merupakan suatu wilayah yang terpisah dengan pulau Bali. Populasi sapi bali di Nusa Penida terlokalisir dan bebas dari penyakit kuku, ngorok, antrak dan lainnya. Sesuai Perda Kab Klungkung No. 1 Tahun


(20)

2

2013, Nusa Penida merupakan kawasan pengembangan dan pusat pembibitan sapi bali oleh karena itu diperlukan strategi untuk mendapatkan bibit yang unggul tidak hanya dengan seleksi secara fenotipe namun juga secara genotipe melalui marka gen yang disebut Marker-Assisted Selection (MAS) (Chung et al., 1998).

Salah satu gen yang berpotensi menyandi sifat produksi seperti bobot badan, tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada adalah gen Growth

Hormone (GH) (Unanian et al., 2002). Gen GH yang menyandi hormon

pertumbuhan diketahui sangat berperan dalam pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu, gluconeogenesis, aktivasi lipolisis dan memicu inkorporasi asam amino dalam protein otot (Burton et al., 1994). Gen GH telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al., 1990).

Nusa Penida merupakan kawasan pemurnian dan pembibitan sapi bali dimana Nusa Penida terdiri dari wilayah dataran tinggi dan dataran rendah (Tejasinarta, 2013). Menurut Noor (2002), suatu individu/genotipe dapat menampilkan lebih dari satu bentuk morfologi, status fisiologi dan/atau tingkah laku sebagai respon terhadap perubahan lingkungan yang dikenal dengan sebutan kelenturan fenotipik.

Sapi bali yang dipelihara dikawasan Nusa Penida beradaptasi sesuai dengan kondisi lingkungan untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama sehingga terjadi proses evolusi dan seleksi alam. Hal tersebut dibuktikan dengan ukuran tubuh sapi bali di Nusa Penida lebih kecil dibandingkan sapi bali


(21)

3

di wilayah lainnya di Bali. Demikian juga dengan kadar hormon sapi bali di Nusa Penida (Suwiti et al., 2014 ; Saka et al., 2011). Dimana diketahui sekresi hormon pertumbuhan dipengaruhi oleh gen GH. Kondisi geografis dataran tinggi Nusa Penida curah hujannya lebih tinggi dibandingkan dataran rendah dimana berpengaruh terhadap nutrisi pada pakan ternak dimana pakan hijauan pada daerah tersebut mengandung nutrisi lebih baik (Kadarsih, 2004). Dengan nutrisi yang baik akan semakin meningkatkan growth hormone releasing hormone

(GHRH) yaitu IGF-1 dan ghrelin dimana merupakan penginduksi pelepasan

hormon pertumbuhan (Kojima et al., 2001). Sebaliknya, dataran rendah Nusa Penida memiliki suhu yang terlalu tinggi yang dapat menyebabkan ternak menjadi stres sehingga terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan (Shimon et al.,

1997). Sebelumnya, Schlee et al., (1994) menemukan bahwa perbedaan genotipe dari gen GH mempengaruhi konsentrasi sirkulasi hormon pertumbuhan dan IGF-I pada sapi Eropa jenis Simental. Dengan adanya fenomena tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik genetik gen penyandi pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida pada daerah dataran tinggi dan dataran rendah terhadap gen GH dengan metode PCR-RFLP.


(22)

4

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah karakteristik gen Growth Hormone bibit sapi bali di Nusa Penida ?

1.2.2 Apakah ada perbedaan polimorfisme gen Growth Hormone yang direstriksi dengan enzim HaeIII pada bibit sapi bali yang dipelihara di daerah dataran tinggi dengan daerah dataran rendah di Nusa Penida ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengidentifikasi karakteristik gen Growth Hormone bibit sapi bali di Nusa Penida.

1.3.2 Untuk mengetahui polimorfisme gen Growth Hormone pada bibit sapi bali yang dipelihara pada daerah dataran tinggi dengan daerah dataran rendah di Nusa Penida.

1.4 Manfaat Penelitian

Memperoleh informasi tentang karakteristik genetik gen GH yang direstriksi dengan enzim HaeIII serta polimorfismenya, bibit sapi bali di Nusa Penida yang dipelihara di daerah dataran tinggi dengan yang dipelihara di daerah dataran rendah sehingga dapat digunakan sebagai penanda genetik bibit sapi bali di Nusa Penida.


(23)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Sapi Bali

Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak akhir abad ke-19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi bali. Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson dan Payne, 1993) sebagai berikut ; Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata, Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae, Genus : Bos, Species : Bos sondaicus.

Ciri – ciri sapi bali yaitu berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk, kulitnya berwarna merah bata, cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam, kaki-kakinya ramping pada bagian bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin (Batan, 2001). Sapi bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat sapi bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai 140 cm. Sapi bali betina bertanduk dan berbulu warna merah bata kecuali bagian kaki dan


(24)

6

pantat. Dibandingkan dengan sapi bali jantan, sapi bali betina relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg (Darmaja, 1980).

2.2 Keragaman Genetik

Genotipe hewan merupakan sebuah pendekatan yang berguna untuk menggambarkan prinsip-prinsip genetika dan penerapan langsung dalam hal pewarisan sifat. Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ditemukan seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Sifat-sifat ditemukan dalam keragaman genetik dalam spesies dan bangsa atau galur dalam masing-masing spesies. Genetika dipandang dari segi populasi, terutama frekuensi gen dengan efek yang diinginkan (Yuniarsih et al., 2011).

Frekuensi gen merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan proporsi dari semua lokus untuk pasangan gen atau rangkaian alel ganda dalam suatu populasi. Frekuensi gen dari perbedaan-perbedaan itu sangat beragam dari bangsa-bangsa dan antar galur. Frekuensi gen yang timbul dipengaruhi oleh seleksi, mutasi gen, pencampuran dua populasi yang frekuensi gen berbeda, silang dalam (inbreeding), silang luar (outbreeding) dan genetic drift (Yuniarsih et al.,

2011).

Variasi genetik dapat muncul akibat adanya gen-gen dengan daerah penyandi dan bukan penyandi yang berbeda-beda akibat proses mutasi (Sofro, 1994). Semua variasi genetik yang alamiah didefinisikan sebagai perubahan dari sekuensing DNA. Perbedaan sekuensing menentukan alel dan lokasi gen pada


(25)

7

kromosom disebut lokus. Bila individu mempunyai alel yang sama pada pasangan kromosom individu tersebut disebut homozigot dan bila alelnya berbeda pada sekuensing DNA maka individu tersebut disebut heterozigot. Alel ditemukan berada pada lokus dan mempengaruhi genotipe dari lokus tersebut. Menurut Hartl dan Clark (1997) sebuah lokus yang polimorfik ditandai dengan salah satu frekuensi alel yang kurang dari 0,95.

Eksperesi gen dapat mempengaruhi sifat yang muncul. Fenotipik yang muncul dapat dipengaruhi oleh variasi gen pada arah dan besar respon terhadap perubahan lingkungan (Noor, 2008). Fenotipik yang bersifat ekonomis merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor, 2008). Gen semacam ini disebut dengan gen mayor yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau

quantitative traits loci (QTL). Gen mayor dapat digunakan sebagai kandidat

dalam program Marker Assisted Selection (MAS) apabila gen tersebut mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif (Diyono, 2009).

2.3 Gen Bovine Growth Hormone

Pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dada dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan


(26)

8

dikarakterisasikan oleh peningkatan ukuran dari sel individu (hypertrophy) sama seperti peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) (Aberle et al., 2001).

Pertumbuhan dipengaruhi oleh bovine growth hormon (BGH) secara alami dihasilkan oleh somatotrof, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al. 2001). BGH merupakan hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) yang disusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen BGH (Gordon et

al., 1983). Sekresi hormon pertumbuhan pada sapi dipengaruhi oleh banyak faktor

salah satunya adalah faktor ketinggian tempat pemeliharaan (Herd dan Sprott, 1986). Hal ini berkaitan dengan curah hujan, karakteristik lahan, suhu dan kelembaban yang berpengaruh terhadap nutrisi pada pakan ternak dimana pakan hijauan pada daerah yang curah hujannya tinggi mengandung nutrisi lebih baik daripada daerah dengan curah hujan yang rendah (Kadarsih, 2004). Dengan nutrisi yang baik akan semakin meningkatkan growth hormone releasing hormone

(GHRH) yaitu IGF-1 dan ghrelin dimana merupakan penginduksi pelepasan

hormon pertumbuhan (Kojima et al., 2001). Perbedaan vegetasi dan kondisi geografis dapat berpengaruh terhadap kadar hormon pertumbuhan sapi bali, dimana suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ternak menjadi stres sehingga terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan (Milfa et al., 2015 ; Shimon et al., 1997). Hal ini terbukti dengan lebih rendahnya kadar hormone pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida dibandingkan dengan kadar hormon sapi bali yang dipelihara di wilayah lainnya di Bali (Suwiti et al., 2014).


(27)

9

Gen Bovine Growth Hormone (BGH) adalah gen yang menyandi hormon pertumbuhan (growth hormone) pada kelompok bovine. Gen BGH merupakan salah satu gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan dengan mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan. Fungsi dari gen BGH pada sapi menjadi hal yang penting dikarenakan gen BGH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi (Carnicella et al. 2003). Gen BGH memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak.

Gen Bovine growth hormon (BGH) merupakan gen yang sangat

mendasar dan berperan dalam pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada ternak (Sutarno, 1998). Gen BGH merupakan gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon imun (Granner, 2003). Selain itu, gen BGH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al., 1994).

Gen BGH telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al., 1990). Sekuen gen ini terdiri dari sekitar 2856 bp yang terbagi dalam lima exon dan dipisahkan oleh 4 intron. Intron A, B, C dan D berturut-turut terdiri dari 248 bp, 227 bp, 227 bp dan 274 bp (Gordon et al., 1983).


(28)

10

Gambar 5.1. Posisi primer depan, primer belakang dan produk PCR gen GH (Sari

et al., 2012)

2.4 Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism

(PCR-RFLP)

Polymerase chain reaction (PCR) adalah satu dari teknik yang paling banyak diaplikasikan dalam biologi molekuler. PCR dikembangkan pertama kali pada tahun 1985 oleh Kary Mullis (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in-vitro. Teknik ini memungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui hanya di dalam tabung reaksi tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in-vivo).

PCR dilandasi oleh struktur DNA. DNA merupakan double helix yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan anti-paralel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa-basa Adenin (A) dengan Thymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfodiester (Lisdiyanti, 1997).

Intron 4 1865 pb – 2137 pb

Exon 5 2138 pb – 2439 pb

Flanking Region 3 2440 pb – 2856 pb 2054 pb – 2074 pb 2437 pb – 2457 pb


(29)

11

Lima bahan baku yang diperlukan untuk melakukan PCR adalah DNA template yaitu DNA tempat PCR dilakukan, primer, enzim taq polimerase, nukleotida (dNTP), dan bufer polimerase. Sampel target merupakan DNA yang ingin diamplifikasi. Primer merupakan untai DNA pendek yang menempel pada fragmen DNA target, serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Enzim taq polimerase berfungsi untuk replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu ditambahkan agar DNA polimerase dapat membentuk kompleks rantai baru yang komplementer. Reaksi PCR membutuhkan suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase

dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook et al., 1989).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) merupakan suatu

teknik pengembangan dari PCR yang menganalisis variasi pada sekuen DNA homolog. Hal ini mengacu pada lokasi situs enzim restriksi yang berbeda antar sampel molekul DNA homolog. Pada analisis RFLP, sampel DNA terpisah menjadi potongan-potongan dan selanjutnya dicerna oleh enzim restriksi kemudian fragmen restriksi yang dihasilkan dipisahkan menurut panjangnya dengan gel elektroforesis. Tahapan RFLP meliputi 4 tahap yaitu isolasi DNA, pemotongan DNA dengan enzim restriksi endonuklease, elektroforesis hasil pemotongan DNA dan southern blot (Fanani, 2011).

Pada prinsipnya RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (insersi),


(30)

12

penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Metode RFLP telah diterapkan untuk mendeteksi Quantitative

Traits Loci (QTL) pada ternak. Pendeteksian RFLP telah dikembangkan dan

digunakan untuk studi linkage pada ternak seperti sapi, ayam dan babi. Pendeteksian RFLP dilakukan pada sekuen DNA yang telah diketahui fungsinya, misalnya gen (penyandi protein), dan juga pada sekuen DNA yang belum jelas fungsinya (Montgomery dan Kinghorn, 1997).

Menurut Suryanto (2003), PCR-RFLP digunakan untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme dengan menggunakan suatu enzim pemotong tertentu (enzim restriksi), karena sifatnya spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrangement dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang ukurannya berbeda dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa enzim yang digunakan untuk memotong pada reaksi PCR-RFLP diantaranya enzim


(1)

kromosom disebut lokus. Bila individu mempunyai alel yang sama pada pasangan kromosom individu tersebut disebut homozigot dan bila alelnya berbeda pada sekuensing DNA maka individu tersebut disebut heterozigot. Alel ditemukan berada pada lokus dan mempengaruhi genotipe dari lokus tersebut. Menurut Hartl dan Clark (1997) sebuah lokus yang polimorfik ditandai dengan salah satu frekuensi alel yang kurang dari 0,95.

Eksperesi gen dapat mempengaruhi sifat yang muncul. Fenotipik yang muncul dapat dipengaruhi oleh variasi gen pada arah dan besar respon terhadap perubahan lingkungan (Noor, 2008). Fenotipik yang bersifat ekonomis merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor, 2008). Gen semacam ini disebut dengan gen mayor yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau quantitative traits loci (QTL). Gen mayor dapat digunakan sebagai kandidat dalam program Marker Assisted Selection (MAS) apabila gen tersebut mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif (Diyono, 2009).

2.3 Gen Bovine Growth Hormone

Pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dada dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan


(2)

dikarakterisasikan oleh peningkatan ukuran dari sel individu (hypertrophy) sama seperti peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) (Aberle et al., 2001).

Pertumbuhan dipengaruhi oleh bovine growth hormon (BGH) secara alami dihasilkan oleh somatotrof, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al. 2001). BGH merupakan hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) yang disusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen BGH (Gordon et al., 1983). Sekresi hormon pertumbuhan pada sapi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor ketinggian tempat pemeliharaan (Herd dan Sprott, 1986). Hal ini berkaitan dengan curah hujan, karakteristik lahan, suhu dan kelembaban yang berpengaruh terhadap nutrisi pada pakan ternak dimana pakan hijauan pada daerah yang curah hujannya tinggi mengandung nutrisi lebih baik daripada daerah dengan curah hujan yang rendah (Kadarsih, 2004). Dengan nutrisi yang baik akan semakin meningkatkan growth hormone releasing hormone (GHRH) yaitu IGF-1 dan ghrelin dimana merupakan penginduksi pelepasan hormon pertumbuhan (Kojima et al., 2001). Perbedaan vegetasi dan kondisi geografis dapat berpengaruh terhadap kadar hormon pertumbuhan sapi bali, dimana suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ternak menjadi stres sehingga terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan (Milfa et al., 2015 ; Shimon et al., 1997). Hal ini terbukti dengan lebih rendahnya kadar hormone pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida dibandingkan dengan kadar hormon sapi bali yang dipelihara di wilayah lainnya di Bali (Suwiti et al., 2014).


(3)

Gen Bovine Growth Hormone (BGH) adalah gen yang menyandi hormon pertumbuhan (growth hormone) pada kelompok bovine. Gen BGH merupakan salah satu gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan dengan mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan. Fungsi dari gen BGH pada sapi menjadi hal yang penting dikarenakan gen BGH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi (Carnicella et al. 2003). Gen BGH memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak.

Gen Bovine growth hormon (BGH) merupakan gen yang sangat mendasar dan berperan dalam pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada ternak (Sutarno, 1998). Gen BGH merupakan gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon imun (Granner, 2003). Selain itu, gen BGH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al., 1994).

Gen BGH telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al., 1990). Sekuen gen ini terdiri dari sekitar 2856 bp yang terbagi dalam lima exon dan dipisahkan oleh 4 intron. Intron A, B, C dan D berturut-turut terdiri dari 248 bp, 227 bp, 227 bp dan 274 bp (Gordon et al., 1983).


(4)

Gambar 5.1. Posisi primer depan, primer belakang dan produk PCR gen GH (Sari et al., 2012)

2.4 Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)

Polymerase chain reaction (PCR) adalah satu dari teknik yang paling banyak diaplikasikan dalam biologi molekuler. PCR dikembangkan pertama kali pada tahun 1985 oleh Kary Mullis (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in-vitro. Teknik ini memungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui hanya di dalam tabung reaksi tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in-vivo).

PCR dilandasi oleh struktur DNA. DNA merupakan double helix yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan anti-paralel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa-basa Adenin (A) dengan Thymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfodiester (Lisdiyanti, 1997).

Intron 4 1865 pb – 2137 pb

Exon 5 2138 pb – 2439 pb

Flanking Region 3 2440 pb – 2856 pb

2054 pb – 2074 pb 2437 pb – 2457 pb Produk PCR 2457 pb – 2054 pb = 404 pb


(5)

Lima bahan baku yang diperlukan untuk melakukan PCR adalah DNA template yaitu DNA tempat PCR dilakukan, primer, enzim taq polimerase, nukleotida (dNTP), dan bufer polimerase. Sampel target merupakan DNA yang ingin diamplifikasi. Primer merupakan untai DNA pendek yang menempel pada fragmen DNA target, serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Enzim taq polimerase berfungsi untuk replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu ditambahkan agar DNA polimerase dapat membentuk kompleks rantai baru yang komplementer. Reaksi PCR membutuhkan suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase

dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook et al., 1989).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) merupakan suatu teknik pengembangan dari PCR yang menganalisis variasi pada sekuen DNA homolog. Hal ini mengacu pada lokasi situs enzim restriksi yang berbeda antar sampel molekul DNA homolog. Pada analisis RFLP, sampel DNA terpisah menjadi potongan-potongan dan selanjutnya dicerna oleh enzim restriksi kemudian fragmen restriksi yang dihasilkan dipisahkan menurut panjangnya dengan gel elektroforesis. Tahapan RFLP meliputi 4 tahap yaitu isolasi DNA, pemotongan DNA dengan enzim restriksi endonuklease, elektroforesis hasil pemotongan DNA dan southern blot (Fanani, 2011).


(6)

penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Metode RFLP telah diterapkan untuk mendeteksi Quantitative Traits Loci (QTL) pada ternak. Pendeteksian RFLP telah dikembangkan dan digunakan untuk studi linkage pada ternak seperti sapi, ayam dan babi. Pendeteksian RFLP dilakukan pada sekuen DNA yang telah diketahui fungsinya, misalnya gen (penyandi protein), dan juga pada sekuen DNA yang belum jelas fungsinya (Montgomery dan Kinghorn, 1997).

Menurut Suryanto (2003), PCR-RFLP digunakan untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme dengan menggunakan suatu enzim pemotong tertentu (enzim restriksi), karena sifatnya spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrangement dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang ukurannya berbeda dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa enzim yang digunakan untuk memotong pada reaksi PCR-RFLP diantaranya enzim HaeIII, MspI, Alu I, Rsa I, Taq I dan Hinf I (Jain, 2004).