Analisis Diskriminan untuk Evaluasi Status Ketertinggalan Kabupaten.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintah pusat dan daerah telah
melaksanakan
berbagai
program
pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia. Pembangunan yang berlangsung
selama ini ternyata menimbulkan dampak
kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti
antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan
Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur
Indonesia (KTI), serta antara kota – desa.
Kesenjangan antara desa dan kota disebabkan
oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan
kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi
di daerah perkotaan. Akibatnya, kota
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat

sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal
(KNPDT, 2004)
Kementrian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal (KNPDT) telah mengklasifikasikan
434 kabupaten di Indonesia menjadi daerah
maju dan daerah tertinggal. Sebanyak 226
kabupaten (52.07%) diklasifikasikan menjadi
daerah maju dan 208 kabupaten (47.93%)
diklasifikasikan sebagai daerah tertinggal.
KNPDT menyatakan bahwa pembangunan
daerah tertinggal merupakan upaya terencana
dari pemerintah untuk mengubah daerah
dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi
dan keterbatasan fisik menjadi daerah yang
maju dengan kualitas hidup yang sama atau
tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan
daerah Indonesia yang lain.
Pada tahun 2004, KNPDT dibentuk
sebagai
komitmen

pemerintah
dalam
menanggulangi
permasalahan
daerah
tertinggal di Indonesia. Pembangunan daerah
tertinggal berbeda dengan penanggulangan
kemiskinan
dalam
hal
cakupan
pembangunannya.
Pembangunan
daerah
tertinggal tidak hanya meliputi pembangunan
aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial,
budaya, dan keamanan. Di samping itu,
kesejahteraan kelompok masyarakat yang
hidup di daerah tertinggal memerlukan
perhatian dan keberpihakan yang besar dari

pemerintah (KNPDT, 2004).
KNPDT telah menetapkan 33 indikator
yang digunakan untuk menghitung indeks
ketertinggalan daerah untuk menentukan
status ketertinggalan suatu daerah. Dari hasil
penentuan status ketertinggalan daerah
diperlukan sebuah model yang dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan suatu
objek ke dalam salah satu status
ketertinggalan daerah. Penyusunan model

klasifikasi
tersebut
dilakukan
menggunakan analisis diskriminan.

dengan

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

indikator yang paling berperan dalam
penentuan status ketertinggalan daerah dan
mendapatkan fungsi diskriminan untuk
membedakan status ketertinggalan daerah.

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Tertinggal
Daerah tertinggal adalah suatu daerah
kabupaten yang relatif kurang berkembang
dibandingkan daerah lain dalam skala nasional
berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya
dan wilayah, serta berpenduduk yang relatif
tertinggal.
Dalam
Strategi
Nasional
Pembangunan Daerah Tertinggal, ruang
lingkup daerah tertinggal adalah wilayah
Daerah Otonom Kabupaten. Hal ini
disesuaikan dengan UU Nomor 32 tahun

2004, dimana kewenangan otonomi daerah
secara luas berada di Kabupaten (KNPDT,
2004).
Perhitungan indeks ketertinggalan daerah
didasarkan pada 6 kriteria utama yaitu : (1)
ekonomi, (2) sumber daya manusia, (3)
infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal,
(5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah.
Enam kriteria utama tersebut masing-masing
terdiri dari indikator-indikator yang akan
digunakan
untuk
menghitung
indeks
ketertinggalan daerah.
Pada masing-masing indikator dilakukan
pembakuan dan data yang telah dibakukan
kemudian dikalikan dengan bobot masingmasing indikator.
33


=
=1

dengan :
Y : indeks ketertinggalan daerah sebelum
Dibakukan
1 : Xi menurunkan kualitas kabupaten

-1: selainnya
: bobot indikator ke-i
: indikator ke-i yang telah dibakukan
Indikator yang bertanda positif menunjukkan
bahwa semakin besar nilai yang dimiliki suatu
indikator, maka semakin buruk kondisi di
kabupaten tersebut sehingga status kabupaten
tersebut semakin tertinggal, begitu juga

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemerintah pusat dan daerah telah
melaksanakan
berbagai
program
pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia. Pembangunan yang berlangsung
selama ini ternyata menimbulkan dampak
kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti
antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan
Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur
Indonesia (KTI), serta antara kota – desa.
Kesenjangan antara desa dan kota disebabkan
oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan
kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi
di daerah perkotaan. Akibatnya, kota
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat
sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal
(KNPDT, 2004)

Kementrian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal (KNPDT) telah mengklasifikasikan
434 kabupaten di Indonesia menjadi daerah
maju dan daerah tertinggal. Sebanyak 226
kabupaten (52.07%) diklasifikasikan menjadi
daerah maju dan 208 kabupaten (47.93%)
diklasifikasikan sebagai daerah tertinggal.
KNPDT menyatakan bahwa pembangunan
daerah tertinggal merupakan upaya terencana
dari pemerintah untuk mengubah daerah
dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi
dan keterbatasan fisik menjadi daerah yang
maju dengan kualitas hidup yang sama atau
tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan
daerah Indonesia yang lain.
Pada tahun 2004, KNPDT dibentuk
sebagai
komitmen
pemerintah
dalam

menanggulangi
permasalahan
daerah
tertinggal di Indonesia. Pembangunan daerah
tertinggal berbeda dengan penanggulangan
kemiskinan
dalam
hal
cakupan
pembangunannya.
Pembangunan
daerah
tertinggal tidak hanya meliputi pembangunan
aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial,
budaya, dan keamanan. Di samping itu,
kesejahteraan kelompok masyarakat yang
hidup di daerah tertinggal memerlukan
perhatian dan keberpihakan yang besar dari
pemerintah (KNPDT, 2004).
KNPDT telah menetapkan 33 indikator

yang digunakan untuk menghitung indeks
ketertinggalan daerah untuk menentukan
status ketertinggalan suatu daerah. Dari hasil
penentuan status ketertinggalan daerah
diperlukan sebuah model yang dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan suatu
objek ke dalam salah satu status
ketertinggalan daerah. Penyusunan model

klasifikasi
tersebut
dilakukan
menggunakan analisis diskriminan.

dengan

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
indikator yang paling berperan dalam
penentuan status ketertinggalan daerah dan

mendapatkan fungsi diskriminan untuk
membedakan status ketertinggalan daerah.

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Tertinggal
Daerah tertinggal adalah suatu daerah
kabupaten yang relatif kurang berkembang
dibandingkan daerah lain dalam skala nasional
berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya
dan wilayah, serta berpenduduk yang relatif
tertinggal.
Dalam
Strategi
Nasional
Pembangunan Daerah Tertinggal, ruang
lingkup daerah tertinggal adalah wilayah
Daerah Otonom Kabupaten. Hal ini
disesuaikan dengan UU Nomor 32 tahun
2004, dimana kewenangan otonomi daerah
secara luas berada di Kabupaten (KNPDT,
2004).
Perhitungan indeks ketertinggalan daerah
didasarkan pada 6 kriteria utama yaitu : (1)
ekonomi, (2) sumber daya manusia, (3)
infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal,
(5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah.
Enam kriteria utama tersebut masing-masing
terdiri dari indikator-indikator yang akan
digunakan
untuk
menghitung
indeks
ketertinggalan daerah.
Pada masing-masing indikator dilakukan
pembakuan dan data yang telah dibakukan
kemudian dikalikan dengan bobot masingmasing indikator.
33

=
=1

dengan :
Y : indeks ketertinggalan daerah sebelum
Dibakukan
1 : Xi menurunkan kualitas kabupaten

-1: selainnya
: bobot indikator ke-i
: indikator ke-i yang telah dibakukan
Indikator yang bertanda positif menunjukkan
bahwa semakin besar nilai yang dimiliki suatu
indikator, maka semakin buruk kondisi di
kabupaten tersebut sehingga status kabupaten
tersebut semakin tertinggal, begitu juga

2

sebaliknya. Pada indeks ketertinggalan daerah
yang didapat dilakukan pembakuan dan hasil
pembakuan tersebut
digunakan untuk
menentukan status ketertinggalan daerah.
Hasil perhitungan indeks ketertinggalan
daerah setelah dibakukan memberikan empat
kategori daerah tertinggal dan satu kategori
daerah maju. Jika indeks ketertinggalan yang
dihasilkan bernilai negatif maka daerah
tersebut diklasifikasikan sebagai daerah maju.
Daerah dengan indeks ketertinggalan 0-0.5
diklasifikasikan
sebagai
daerah
agak
tertinggal. Daerah tertinggal dan sangat
tertinggal masing-masing memiliki kisaran
indeks ketertinggalan antara 0.5-1.0 dan 1.02.0. Daerah dengan indeks ketertinggalan
lebih besar dari 2 diklasifikasikan dalam
daerah tertinggal sangat parah.
Analisis Diskriminan
Analisis diskriminan merupakan suatu
teknik statistika yang dipergunakan untuk
mengelompokkan individu atau objek ke
dalam
suatu
kelompok
berdasarkan
sekumpulan peubah bebas (Dillon dan
Goldstein, 1984). Kelompok-kelompok yang
terbentuk bersifat saling lepas artinya setiap
amatan hanya dapat dimasukkan ke dalam
salah satu kelompok saja.
Penyusunan fungsi diskriminan dilakukan
dengan membentuk kombinasi linier dari
peubah bebas yang diamati yang akan
memberikan nilai keragaman sekecil mungkin
bagi objek-objek dalam kelompok yang sama
dan sebesar mungkin bagi objek-objek antar
kelompok (Salwa, 2007). Penggunaan satu
fungsi diskriminan dalam pengklasifikasian
lebih dari dua kelompok kurang efektif,
sehingga diperlukan dua atau lebih kombinasi
linier yang dapat menerangkan perbedaan
antar kelompok dengan efektif (Dillon dan
Goldstein, 1984).
Misalkan X‟ = (X1 X2 … Xp) merupakan
matriks data berukuran ��� sebagai hasil
pengamatan terhadap K kelompok individu
dengan p peubah. Pada setiap kelompok ada ni
individu sehingga � = k=1 ni . Jika T adalah
matriks keragaman total, W adalah matriks
keragaman dalam kelompok dan B adalah
matriks keragaman antar kelompok, maka
ketiga matriks tersebut memenuhi hubungan
�=�+ .
Misalkan peubah respon dinyatakan
sebagai kombinasi linier dari peubah bebas
dalam bentuk Y= ′ , maka berdasarkan
kriteria Fisher
yang terbaik diperoleh
dengan memaksimumkan:

λ=

′�



atau identik dengan solusi dari :

atau :

�−λ
−1

=0

� − λ�

=0

Hal ini berarti
nilai maksimal dari λ
merupakan akar ciri terbesar dari −1 � dan
merupakan vektor ciri yang sepadan.
Karena rang matriks W sama dengan p,
dan rang matriks B sama dengan minimum
−1
dari p dan K-1, maka rang matriks

sama dengan minimum ((K-1),p). Sehingga
fungsi diskriminan yang terbentuk ada
sebanyak r = min ((K-1),p) (Dillon dan
Goldstein, 1984).
Uji Fungsi Diskriminan
Menurut Dillon dan Goldstein (1984),
statistik uji V-Bartlett digunakan untuk
menentukan banyaknya fungsi diskriminan
yang
diperlukan
untuk
membedakan
keragaman antar kelompok. Statistik ini
digunakan untuk menguji bahwa sedikitnya
satu dari r fungsi diskriminan yang dihasilkan
diperlukan untuk membedakan keragaman
antar kelompok. Statistik uji V-Bartlett
dihitung melalui pendekatan khi-kuadrat
sebagai berikut :
p+K
V = n-12

r

ln 1+λj
j=1

dengan :
: statistik V-Bartlett
� : banyaknya amatan
� : banyaknya peubah
� : banyaknya kelompok
� : banyaknya fungsi diskriminan
� : akar ciri ke-j; j= 1, 2, ..., r

Hipotesis
untuk
diskriminan yaitu :

pengujian

fungsi

H0 [j] : λ[j] = λ[j+1] = ... = λ[r] = 0
H1 [j] : λ[j] ≠ 0
Jika H0 benar maka V menyebar � 2 dengan
derajat bebas p(K-1). Jika
> ��2 −1 (�)
[j]
maka H0 ditolak. Jika H0 diterima dan H0 [1],
H0 [2], ..., H0 [j-1] ditolak, maka sebanyak (j-1)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan
k buah kelompok.
Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak
saling berkorelasi, maka komponen aditif dari
V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat
dengan
Vj = n-1-

p+K
ln 1+λj
2

dengan :
: statistik V-Bartlett untuk fungsi
diskriminan ke-j
Pengujian secara berturut-turut dilakukan
dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari
V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett :
Tabel 1. Statistik V-Bartlett
Jumlah Fungsi

Statistik Uji

db

Satu Fungsi

V

p(K-1)

Dua Fungsi

V-V1

(p-1)(K-2)

Tiga Fungsi

V-V1-V2

(p-2)(K-3)

dst

Dst

dst

Analisis Diskriminan Bertatar
Analisis diskriminan bertatar dilakukan
dengan melibatkan peubah bebas satu persatu
ke dalam model, dimulai dari peubah bebas
yang paling dapat mendiskriminasi kelompok
dengan baik, kemudian peubah bebas
berikutnya yang bila dikombinasikan dengan
peubah bebas awal dapat meningkatkan
kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini
berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah
dipertimbangkan
kombinasinya
dengan
kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi
model. Ada kemungkinan pada tahapan
berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah
dimasukkan ke dalam model pada tahapan
sebelumnya menjadi peubah yang harus
dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al.,
1995).
Tingkat Akurasi Fungsi
Untuk mengukur akurasi fungsi melalui
ketepatan prediksi anggota kelompok ke
dalam kelompok awalnya digunakan Correct
Classification Rate (CCR). CCR merupakan
persentase kebenaran (kesesuaian) nilai
amatan dan dugaannya.
CCR = jumlah klasifikasi benar x 100%
jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang
dihasilkan, maka tingkat akurasi yang
dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data dari 208 kabupaten yang
bersumber
dari
Kementrian
Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT)
tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah
respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Perangkat lunak yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows,
Minitab® Release 14, dan Microsoft Office
Excel 2007.
Metode
Metode penelitian ini yaitu :
1. Deskripsi peubah respon
2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan
menggunakan
80%
amatan
(166
kabupaten) yang diambil secara acak dan
proporsional pada setiap kelompok status
ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk
dua model yaitu :
a. Model 1. Menggunakan seluruh
peubah penjelas untuk membentuk
fungsi diskriminan.
b. Model
2.
Melakukan
analisis
diskriminan bertatar dan menggunakan
peubah
terpilih
sebagai
dasar
pembentukkan fungsi diskriminan.
3. Validasi
model
dilakukan
dengan
menggunakan 42 kabupaten yang tidak
dipergunakan pada langkah kedua untuk
menguji tingkat keberhasilan penempatan
amatan ke dalam kelompok tertentu.
Tingkat keakuratan pendugaan model
dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang
telah berhasil diklasifikasikan kedalam
kelompok yang sebenarnya.
4. Memilih model yang terbaik dari langkah
kedua
berdasarkan
ketepatan
klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data
Berdasarkan data KNPDT tahun 2008
terdapat 208 kabupaten yang berstatus daerah
tertinggal. KNPDT menentukan 4 kategori
daerah tertinggal berdasarkan 6 kriteria utama
yaitu 1) ekonomi, 2) sumber daya manusia, 3)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan
k buah kelompok.
Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak
saling berkorelasi, maka komponen aditif dari
V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat
dengan
Vj = n-1-

p+K
ln 1+λj
2

dengan :
: statistik V-Bartlett untuk fungsi
diskriminan ke-j
Pengujian secara berturut-turut dilakukan
dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari
V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett :
Tabel 1. Statistik V-Bartlett
Jumlah Fungsi

Statistik Uji

db

Satu Fungsi

V

p(K-1)

Dua Fungsi

V-V1

(p-1)(K-2)

Tiga Fungsi

V-V1-V2

(p-2)(K-3)

dst

Dst

dst

Analisis Diskriminan Bertatar
Analisis diskriminan bertatar dilakukan
dengan melibatkan peubah bebas satu persatu
ke dalam model, dimulai dari peubah bebas
yang paling dapat mendiskriminasi kelompok
dengan baik, kemudian peubah bebas
berikutnya yang bila dikombinasikan dengan
peubah bebas awal dapat meningkatkan
kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini
berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah
dipertimbangkan
kombinasinya
dengan
kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi
model. Ada kemungkinan pada tahapan
berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah
dimasukkan ke dalam model pada tahapan
sebelumnya menjadi peubah yang harus
dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al.,
1995).
Tingkat Akurasi Fungsi
Untuk mengukur akurasi fungsi melalui
ketepatan prediksi anggota kelompok ke
dalam kelompok awalnya digunakan Correct
Classification Rate (CCR). CCR merupakan
persentase kebenaran (kesesuaian) nilai
amatan dan dugaannya.
CCR = jumlah klasifikasi benar x 100%
jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang
dihasilkan, maka tingkat akurasi yang
dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data dari 208 kabupaten yang
bersumber
dari
Kementrian
Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT)
tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah
respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Perangkat lunak yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows,
Minitab® Release 14, dan Microsoft Office
Excel 2007.
Metode
Metode penelitian ini yaitu :
1. Deskripsi peubah respon
2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan
menggunakan
80%
amatan
(166
kabupaten) yang diambil secara acak dan
proporsional pada setiap kelompok status
ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk
dua model yaitu :
a. Model 1. Menggunakan seluruh
peubah penjelas untuk membentuk
fungsi diskriminan.
b. Model
2.
Melakukan
analisis
diskriminan bertatar dan menggunakan
peubah
terpilih
sebagai
dasar
pembentukkan fungsi diskriminan.
3. Validasi
model
dilakukan
dengan
menggunakan 42 kabupaten yang tidak
dipergunakan pada langkah kedua untuk
menguji tingkat keberhasilan penempatan
amatan ke dalam kelompok tertentu.
Tingkat keakuratan pendugaan model
dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang
telah berhasil diklasifikasikan kedalam
kelompok yang sebenarnya.
4. Memilih model yang terbaik dari langkah
kedua
berdasarkan
ketepatan
klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data
Berdasarkan data KNPDT tahun 2008
terdapat 208 kabupaten yang berstatus daerah
tertinggal. KNPDT menentukan 4 kategori
daerah tertinggal berdasarkan 6 kriteria utama
yaitu 1) ekonomi, 2) sumber daya manusia, 3)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan
k buah kelompok.
Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak
saling berkorelasi, maka komponen aditif dari
V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat
dengan
Vj = n-1-

p+K
ln 1+λj
2

dengan :
: statistik V-Bartlett untuk fungsi
diskriminan ke-j
Pengujian secara berturut-turut dilakukan
dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari
V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett :
Tabel 1. Statistik V-Bartlett
Jumlah Fungsi

Statistik Uji

db

Satu Fungsi

V

p(K-1)

Dua Fungsi

V-V1

(p-1)(K-2)

Tiga Fungsi

V-V1-V2

(p-2)(K-3)

dst

Dst

dst

Analisis Diskriminan Bertatar
Analisis diskriminan bertatar dilakukan
dengan melibatkan peubah bebas satu persatu
ke dalam model, dimulai dari peubah bebas
yang paling dapat mendiskriminasi kelompok
dengan baik, kemudian peubah bebas
berikutnya yang bila dikombinasikan dengan
peubah bebas awal dapat meningkatkan
kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini
berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah
dipertimbangkan
kombinasinya
dengan
kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi
model. Ada kemungkinan pada tahapan
berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah
dimasukkan ke dalam model pada tahapan
sebelumnya menjadi peubah yang harus
dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al.,
1995).
Tingkat Akurasi Fungsi
Untuk mengukur akurasi fungsi melalui
ketepatan prediksi anggota kelompok ke
dalam kelompok awalnya digunakan Correct
Classification Rate (CCR). CCR merupakan
persentase kebenaran (kesesuaian) nilai
amatan dan dugaannya.
CCR = jumlah klasifikasi benar x 100%
jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang
dihasilkan, maka tingkat akurasi yang
dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data dari 208 kabupaten yang
bersumber
dari
Kementrian
Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT)
tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah
respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Perangkat lunak yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows,
Minitab® Release 14, dan Microsoft Office
Excel 2007.
Metode
Metode penelitian ini yaitu :
1. Deskripsi peubah respon
2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan
menggunakan
80%
amatan
(166
kabupaten) yang diambil secara acak dan
proporsional pada setiap kelompok status
ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk
dua model yaitu :
a. Model 1. Menggunakan seluruh
peubah penjelas untuk membentuk
fungsi diskriminan.
b. Model
2.
Melakukan
analisis
diskriminan bertatar dan menggunakan
peubah
terpilih
sebagai
dasar
pembentukkan fungsi diskriminan.
3. Validasi
model
dilakukan
dengan
menggunakan 42 kabupaten yang tidak
dipergunakan pada langkah kedua untuk
menguji tingkat keberhasilan penempatan
amatan ke dalam kelompok tertentu.
Tingkat keakuratan pendugaan model
dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang
telah berhasil diklasifikasikan kedalam
kelompok yang sebenarnya.
4. Memilih model yang terbaik dari langkah
kedua
berdasarkan
ketepatan
klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data
Berdasarkan data KNPDT tahun 2008
terdapat 208 kabupaten yang berstatus daerah
tertinggal. KNPDT menentukan 4 kategori
daerah tertinggal berdasarkan 6 kriteria utama
yaitu 1) ekonomi, 2) sumber daya manusia, 3)

4

infrastruktur, 4) keuangan daerah, 5)
aksesibilitas dan 6) karakteristik daerah.
Setiap kriteria memiliki indikator-indikator
yang relevan untuk menggambarkan kriteria
tersebut. Dari 208 kabupaten, 11 kabupaten
(5.29%) dikategorikan sebagai daerah dengan
status ketertinggalan yang sangat parah, 48
kabupaten (23.08%) termasuk dalam kategori
daerah sangat tertinggal, 60 kabupaten
(28.85%) termasuk dalam kategori daerah
tertinggal, dan 89 kabupaten (42.79%)
termasuk dalam kategori daerah agak
tertinggal (Tabel 2).
Berdasarkan Gambar 1 dan Tabel 2,
indeks ketertinggalan daerah tertinggal
berkisar antara 0.0059-3.1650. Kedua indeks
tersebut dimiliki oleh kabupaten di luar Pulau
Jawa. Sebanyak 91.83% daerah tertinggal
yang setara dengan 191 kabupaten berlokasi
di luar Pulau Jawa, dengan rincian sebanyak
35.58%, 27.88%, 23.08% dan 5.29% masingmasing tergolong sebagai daerah
agak
Boxplot of Agak Terting, Tertinggal, Sangat Terti, Tertinggal S

tertinggal, tertinggal, sangat tertinggal dan
tertinggal sangat parah. Daerah di Pulau Jawa
hanya ada dalam golongan status daerah agak
tertinggal (15 kabupaten) dan tertinggal (2
kabupaten). Oleh karena itu, pembangunan
harus lebih diutamakan untuk daerah di luar
Pulau Jawa agar kesenjangan yang ada dapat
diminimalisir.
Keragaman dalam setiap kelompok status
ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu
ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah
dalam satu kelompok menjadi lebih homogen.
Dengan
demikian
alokasi
anggaran
pembangunan daerah di dalam setiap
kelompok harus disesuaikan dengan indeks
ketertinggalan daerahnya, khususnya untuk
daerah tertinggal sangat parah.
Analisis Diskriminan
Penyusunan dua model fungsi diskriminan
dilakukan untuk memilih model yang paling
baik dan sederhana dalam mengklasifikasikan
status ketertinggalan suatu kabupaten.

3.5



3.0
2.5

Data

2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Agak Tertinggal

Tertinggal

Sangat Tertinggal

Tertinggal Sangat Parah

Model 1 (Menggunakan seluruh peubah)
Hasil analisis diskriminan pada model
1 yang menggunakan 33 peubah penjelas
menghasilkan 3 fungsi diskriminan.
Koefisien-koefisien 3 fungsi diskriminan
yang terbentuk dapat dilihat pada
Lampiran 2. Akar ciri dan statistik uji VBartlett pada ketiga fungsi diskriminan
yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 1. Boxplot Status Ketertinggalan
Daerah
Tabel 2. Deskripsi Indeks Ketertinggalan Daerah
Status
Kabupaten

Frekuensi
(%)

Daerah
Jawa

Agak
Tertinggal

89
(42.79)

Luar Jawa
Jawa

Tertinggal

60
(28.85)

Luar Jawa
Jawa

Sangat
Tertinggal
Tertinggal
Sangat
Parah

48
(23.08)

Luar Jawa
Jawa

11
(5.29)

Luar Jawa

Frekuensi
(%)
15
(7.21)
74
(35.58)
2
(0.96)
58
(27.88)
0
(0.00)
48
(23.08)
0
(0.00)
11
(5.29)

Indeks
Rataan

Minimun

Maksimum

Simpangan Baku

0.0128

0.4873

0.1820

0.1272

0.0059

0.4957

0.2411

0.1392

0.5167

0.5918

0.5542

0.0531

0.5093

0.9943

0.7410

0.1413

-

-

-

-

1.0015

1.9625

1.3452

0.2695

-

-

-

-

2.0822

3.1650

2.5355

0.4102

5

Akar ciri pertama, kedua dan ketiga
menerangkan keragaman data masingmasing sebesar 93.25%, 4.90%, dan
1.85%. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar keragaman antar kelompok
terletak pada fungsi diskriminan pertama.
Tabel 3. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan
Statistik Uji V-Bartlett model 1
Keragaman
Akar
Ciri
Proporsi Kumulatif
15.6773
93.25
93.25
0.8242
4.90
98.15
0.3104
1.85
100.00

Statistik uji db
464.9687
82.02108
16.26366

99
64
31

Hipotesis nol yang menyatakan bahwa
fungsi
diskriminan
pertama
tidak
diperlukan untuk membedakan keragaman
antar kelompok status ketertinggalan
daerah ditolak pada taraf α=0.05, demikian
juga dengan yang menyatakan bahwa
fungsi diskriminan kedua tidak diperlukan
untuk membedakan keragaman antar
kelompok status ketertinggalan daerah.
Hipotesis nol dalam pengujian fungsi
diskriminan ketiga diterima pada taraf
α=0.05, artinya fungsi diskriminan ketiga
kurang mampu untuk membedakan
keragaman
antar
kelompok
status
ketertinggalan daerah. Sehingga dari tiga
fungsi yang dihasilkan hanya dua fungsi
yang
akan
digunakan
untuk
mengklasifikasikan amatan. Dua fungsi
yang digunakan dapat menjelaskan
98.15% keragaman antar kelompok.
 Model
2
(Menggunakan
analisis
diskriminan bertatar)
Penyusunan model kedua dilakukan
dengan melakukan analisis diskriminan
bertatar untuk melihat peubah penjelas
mana yang paling dapat mendiskriminasi
kelompok dengan baik. Hasil analisis
diskriminan bertatar menunjukkan dari 26
langkah terdapat 16 peubah yang terpilih
untuk dimasukkan ke dalam model.
Peubah- peubah tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.
Peubah pertama yang masuk ke dalam
model adalah X35 (persentase rumah
tangga pengguna listrik). Akan tetapi pada
langkah ke 10 peubah tersebut dikeluarkan
dari model, artinya peubah tersebut masih
belum dapat mendiskriminasi kelompok
dengan baik. Pada langkah selanjutnya
peubah X12 masuk ke dalam model, artinya
indeks kemiskinan paling menentukan
status ketertinggalan suatu daerah.

Tabel 4. Hasil Analisis Diskriminan
Bertatar
Langkah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Masuk
X35
X12
X39
X41
X64
X25
X11
X28
X62

Peubah
Keluar

X35
X211
X31
X39
X63
X51
X39
X21
X65
X66
X33
X39
X213
X28
X23
X62
X61

Peubah selanjutnya yang masuk ke
dalam model adalah X25 angka harapan
hidup. Peubah-peubah berikutnya yang
masuk dalam model adalah peubah yang
dapat menambah kemampuan fungsi
dalam mendiskriminasi kelompok yang
ada. Peubah X39 (jumlah desa yang
mempunyai pasar tanpa bangunan
permanen), X28 (rata-rata jarak pelayanan
prasarana kesehatan) dan X62 (persentase
jumlah desa yang rawan tanah longsor)
yang masuk pada langkah ke 3, 8 dan 9
kemudian dikeluarkan kembali pada
langkah ke 13, 23 dan 25, artinya ketiga
peubah
ini
masih
belum
dapat
meningkatkan kemampuan model untuk
mendiskriminasi
kelompok.
Hingga
langkah ke-26 peubah terakhir yang akan
digunakan untuk membentuk fungsi
diskriminan yaitu X61 (persentase jumlah
desa yang rawan gempa bumi).
Hasil analisis diskriminan bertatar ini
sesuai dengan pembobotan yang telah
dilakukan oleh KNPDT sebelumnya.
Kriteria keuangan daerah (celah fiskal)

6

dan kriteria ekonomi yang terdiri dari
indikator persentase kemiskinan dan
indeks kemiskinan yang memiliki bobot
terbesar menjadi salah satu peubah yang
berperan dalam penyusunan fungsi
diskriminan.
Sebanyak 16 peubah terpilih dalam
analisis diskriminan bertatar digunakan
sebagai dasar pembentukan fungsi
diskriminan untuk model kedua. Hasil
analisis diskriminan pada model 2
menghasilkan 3 fungsi diskriminan.
Koefisien-koefisien 3 fungsi diskriminan
yang terbentuk dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Akar ciri dan statistik uji V-Bartlett
dari ketiga fungsi diskriminan yang
terbentuk dapat dilihat pada Tabel 5. Akar
ciri
pertama,
kedua
dan
ketiga
menerangkan keragaman data masingmasing sebesar 94.87%, 4.25%, dan
0.88%. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar keragaman antar kelompok
terletak pada fungsi pertama.
Tabel 5. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan
Statistik Uji V-Bartlett model 2.
Keragaman
Akar
Ciri
Proporsi Kumulatif
12.6532
94.87
94.87
0.5665
4.25
99.12
0.1174
0.88
100.00

Statistik uji db
491.9464
86.7799
17.2073

48
30
14

Statistik uji V-Bartlett pada taraf
α=0.05 menunjukkan bahwa hipotesis nol
yang
menyatakan
bahwa
fungsi
diskriminan pertama tidak diperlukan
untuk membedakan keragaman antar
kelompok status ketertinggalan daerah
ditolak, demikian juga dengan yang
menyatakan bahwa fungsi diskriminan
kedua tidak diperlukan untuk membedakan
keragaman
antar
kelompok
status
ketertinggalan daerah. Hal ini berarti
kedua fungsi diskriminan yang terbentuk

dapat digunakan untuk menerangkan
keragaman antar kelompok.
Hipotesis nol dalam pengujian fungsi
diskriminan ketiga diterima pada taraf
α=0.05, artinya fungsi diskriminan ketiga
kurang mampu untuk membedakan
keragaman
antar
kelompok
status
ketertinggalan daerah. Sehingga dari tiga
fungsi yang dihasilkan hanya dua fungsi
yang
akan
digunakan
untuk
mengklasifikasikan amatan. Dua fungsi
yang digunakan dapat menjelaskan
99.12% keragaman antar kelompok.
Ketepatan Klasifikasi
Dari model yang terbentuk, dengan
menggunakan Correct Classification Rate
(CCR),
dilakukan
evaluasi
terhadap
pengelompokan 80% data (166 kabupaten)
terhadap model tersebut.
• Model 1
Dari 166 kabupaten, 97.0 % amatan
(161 kabupaten) dapat diklasifikasikan
dengan tepat sesuai dengan status
ketertinggalan awalnya. Sisanya 3.0 %
amatan
(5
kabupaten)
salah
diklasifikasikan. Kesalahan klasifikasi
terbesar terdapat pada kelompok daerah
sangat tertinggal, yaitu sebesar 5.3 %
amatan (2 dari 38 kabupaten) salah
diklasifikasikan. Hasil klasifikasi dapat
dilihat pada tabel 6.
• Model 2
Dari 166 kabupaten, 94.0 % amatan
(156 kabupaten) dapat diklasifikasikan
dengan tepat sesuai dengan status
ketertinggalan awalnya. Sisanya 6.0 %
amatan
(10
kabupaten)
salah
diklasifikasikan. Kesalahan klasifikasi
terbesar terdapat pada kelompok daerah
sangat tertinggal, yaitu sebesar 8.5 %
amatan (6 dari 71 kabupaten) salah
diklasifikasikan. Hasil klasifikasi dapat
dilihat pada tabel 7.

Tabel 6. Hasil Klasifikasi Daerah Tertinggal Model 1
Kode
1
2
3
4
Total

Status KNPDT
Nama
Agak tertinggal
Tertinggal
Sangat Tertinggal
Tertinggal Sangat Parah

Status berdasarkan fungsi diskriminan
1
2
3
4
69
2
0
0
1
47
0
0
0
2
36
0
0
0
0
9
70
51
36
9

Total

% benar

71
48
38
9
166

97.2
97.9
94.7
100.0
97.0

7

Tabel 7. Hasil Klasifikasi Daerah Tertinggal Model 2
Kode
1
2
3
4
Total

Status KNPDT
Nama
Agak tertinggal
Tertinggal
Sangat Tertinggal
Tertinggal Sangat Parah

Status berdasarkan fungsi diskriminan
1
2
3
4
65
6
0
0
2
46
0
0
0
2
36
0
0
0
0
9
67
54
36
9

Validasi Model
Untuk melihat kemampuan fungsi
diskriminan
yang
dibentuk
dalam
mengklasifikasikan suatu amatan ke dalam
kelompok yang tepat dapat dilihat dari tingkat
keberhasilan fungsi diskriminan tersebut
dalam mengklasifikasikan amatan. Evaluasi
terhadap pengelompokan yang didapatkan
dengan menggunakan fungsi diskriminan
dilakukan dengan menggunakan Correct
Classification Rate (CCR).
 Model 1
Berdasarkan fungsi diskriminan yang
terbentuk diketahui bahwa dari 42
kabupaten yang digunakan sebagai gugus
data uji, sebanyak 34 kabupaten (81.0%
amatan) berhasil diklasifikasikan dengan
tepat, yaitu sesuai dengan status
ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak
8 kabupaten (19.0% amatan) salah
diklasifikasikan. Hasil validasi untuk
model 1 dapat dilihat pada Tabel 6.
Dari hasil klasifikasi tersebut dapat
diketahui bahwa kategori dengan tingkat
kesalahan klasifikasi terkecil yaitu
kategori daerah agak tertinggal, sebanyak
16 dari 18 kabupaten yang memiliki status

Total

% benar

71
48
38
9
166

91.5
95.8
94.7
100.0
94.0

agak tertinggal dapat dikelompokkan
dengan tepat.
Hasil pengelompokan tersebut juga
menunjukkan bahwa kelompok dengan
status daerah tertinggal sangat parah
adalah kelompok yang mengalami paling
banyak kesalahan klasifikasi. Tingkat
kesalahan klasifikasi pada kelompok
daerah tertinggal sangat parah yaitu 50%
(1 dari 2 amatan salah diklasifikasikan).
Hal ini juga dapat disebabkan oleh
sedikitnya amatan yang ada pada
kelompok status daerah tertinggal sangat
parah.
 Model 2
Dari hasil validasi pada Tabel 7 dapat
diketahui bahwa kategori dengan tingkat
kesalahan klasifikasi terkecil adalah
kategori daerah agak tertinggal karena
seluruh amatan dikelompokkan dengan
tepat. Hasil pengelompokan tersebut juga
menunjukkan bahwa kelompok dengan
status daerah tertinggal sangat parah
adalah kelompok yang mengalami paling
banyak kesalahan klasifikasi. Tingkat
kesalahan klasifikasi pada kelompok
daerah tertinggal sangat parah yaitu 50.0%
(1 dari 2 amatan salah diklasifikasikan).

Tabel 8. Hasil Validasi Model 1
Kode
1
2
3
4
Total

Status KNPDT
Nama
Agak tertinggal
Tertinggal
Sangat Tertinggal
Tertinggal Sangat Parah

Status berdasarkan fungsi diskriminan
1
2
3
4
16
2
0
0
1
10
1
0
0
3
7
0
0
0
1
1
17
15
8
1

Total

% benar

18
12
10
2
42

88.9
83.3
70.0
50.0
81.0

Total

% benar

18
12
10
2
42

100.0
75.0
90.0
50.0
88.1

Tabel 9. Hasil Validasi Model 2
Kode
1
2
3
4
Total

Status KNPDT
Nama
Agak tertinggal
Tertinggal
Sangat Tertinggal
Tertinggal Sangat Parah

Status berdasarkan fungsi diskriminan
1
2
3
4
18
0
0
0
2
9
1
0
0
1
9
0
0
0
1
1
20
10
11
1

8

Berdasarkan fungsi diskriminan yang
terbentuk diketahui bahwa dari 42
kabupaten, sebanyak 37 kabupaten (88.1%
amatan) berhasil diklasifikasikan dengan
tepat, yaitu sesuai dengan status
ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak
5 kabupaten (11.9% amatan) salah
diklasifikasikan.
Untuk masing-masing model, kabupaten
yang mengalami kesalahan klasifikasi untuk
tiap-tiap status ketertinggalan dapat dilihat
pada Lampiran 4. Berdasarkan indeks
ketertinggalan yang dimiliki kabupatenkabupaten tersebut, dapat diketahui bahwa
umumnya kesalahan klasifikasi terjadi pada
kabupaten-kabupaten
yang
indeks
ketertinggalannya berada di sekitar batas
kelas. Daerah dengan indeks ketertinggalan
yang berada di sekitar batas bawah kelas akan
diklasifikasikan
ke
dalam
kelompok
sebelumnya, sedangkan daerah dengan indeks
ketertinggalan yang berada di sekitar batas
atas kelas akan diklasifikasikan ke dalam
kelompok sesudahnya.
Pemilihan model terbaik dilakukan dengan
melihat sejauh mana fungsi yang dihasilkan
oleh kedua model dapat mengklasifikasikan
amatan dengan tepat. Berdasarkan hasil
perhitungan kesalahan klasifikasi yang
didapatkan diketahui bahwa kemampuan
model 2 dalam menempatkan pengamatan ke
dalam kelompok yang benar lebih baik
dibandingkan dengan model 1. Pada model 2,
dengan menggunakan 16 peubah penjelas
ketepatan klasifikasinya mencapai 88.1%.
Dengan demikian model 2 merupakan model
terbaik
untuk
menentukan
status
ketertinggalan
daerah,
karena
dengan
menggunakan peubah penjelas yang lebih
sedikit, ketepatan klasifikasinya lebih tinggi
dibandingkan
dengan
model
yang
menggunakan seluruh peubah penjelas.
Penggunaan peubah penjelas yang lebih
sedikit akan lebih efektif dibandingkan
dengan menggunakan seluruh peubah penjelas
yang ada. Dua fungsi diskriminan yang
menjelaskan 99.12% keragaman data dapat
digunakan
untuk
menentukan
status
ketertinggalan
kabupaten
dengan
menggunakan teritorial map yang dapat
dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN
Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang
setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar
Pulau Jawa sedangkan 8.17% kabupaten yang

berlokasi di Pulau Jawa hanya ada dalam
golongan status daerah agak tertinggal (15
kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten).
Keragaman dalam setiap kelompok status
ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu
ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah
dalam satu kelompok menjadi lebih homogen,
khususnya untuk daerah yang tertinggal
sangat parah.
Dengan menggunakan 80% data (166
kabupaten), didapatkan model 2 sebagai
model terbaik. Fungsi diskriminan dibentuk
dengan menggunakan 16 peubah penjelas dan
menghasilkan dua fungsi yang dapat
menjelaskan 99.12% keragaman data. Setiap
kriteria yang ditentukan oleh Kementrian
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
terepresentasikan dalam model tersebut.
Kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) hanya
terwakili oleh 5 indikator (38.5%), kriteria
infrastruktur terwakili oleh 2 indikator
(22.2%), dan kriteria karakteristik daerah
terwakili oleh 5 indikator (75.4%), sedangkan
semua indikator pada kriteria ekonomi,
keuangan daerah dan aksesibilitas ada dalam
model. Penggunaan model tersebut terhadap
20% (42 kabupaten) yang berperan sebagai
contoh uji menghasilkan ketepatan klasifikasi
sebesar 88.1%.

SARAN
Deskripsi data menunjukkan bahwa
terdapat karakteristik yang berbeda untuk
kabupaten di daerah Jawa dan Luar Jawa. Hal
ini menunjukkan bahwa kriteria untuk daerah
bukan maju di Jawa dan luar Jawa perlu
dibedakan dengan cara menyusun ulang
indikator dan bobot untuk perhitungan indeks
ketertinggalan daerah dan pemodelan yang
lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Dillon WR. & Goldstein M. 1984.
Multivariate Analysis Methods and
Applications. Canada : John Willey and
Sons.
Hair JF et. al. 1995. Multivariate Data
Analysis with Readings. New Jersey :
Prentice Hall
Johnson RA. & Wichern D.W. 1988. Applied
Multivariate Statistical Analysis. New
Jersey : Prentice Hall.
Ramadhani, E. 2003. Fungsi Diskriminan
Untuk
Membedakan
Keberhasilan

8

Berdasarkan fungsi diskriminan yang
terbentuk diketahui bahwa dari 42
kabupaten, sebanyak 37 kabupaten (88.1%
amatan) berhasil diklasifikasikan dengan
tepat, yaitu sesuai dengan status
ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak
5 kabupaten (11.9% amatan) salah
diklasifikasikan.
Untuk masing-masing model, kabupaten
yang mengalami kesalahan klasifikasi untuk
tiap-tiap status ketertinggalan dapat dilihat
pada Lampiran 4. Berdasarkan indeks
ketertinggalan yang dimiliki kabupatenkabupaten tersebut, dapat diketahui bahwa
umumnya kesalahan klasifikasi terjadi pada
kabupaten-kabupaten
yang
indeks
ketertinggalannya berada di sekitar batas
kelas. Daerah dengan indeks ketertinggalan
yang berada di sekitar batas bawah kelas akan
diklasifikasikan
ke
dalam
kelompok
sebelumnya, sedangkan daerah dengan indeks
ketertinggalan yang berada di sekitar batas
atas kelas akan diklasifikasikan ke dalam
kelompok sesudahnya.
Pemilihan model terbaik dilakukan dengan
melihat sejauh mana fungsi yang dihasilkan
oleh kedua model dapat mengklasifikasikan
amatan dengan tepat. Berdasarkan hasil
perhitungan kesalahan klasifikasi yang
didapatkan diketahui bahwa kemampuan
model 2 dalam menempatkan pengamatan ke
dalam kelompok yang benar lebih baik
dibandingkan dengan model 1. Pada model 2,
dengan menggunakan 16 peubah penjelas
ketepatan klasifikasinya mencapai 88.1%.
Dengan demikian model 2 merupakan model
terbaik
untuk
menentukan
status
ketertinggalan
daerah,
karena
dengan
menggunakan peubah penjelas yang lebih
sedikit, ketepatan klasifikasinya lebih tinggi
dibandingkan
dengan
model
yang
menggunakan seluruh peubah penjelas.
Penggunaan peubah penjelas yang lebih
sedikit akan lebih efektif dibandingkan
dengan menggunakan seluruh peubah penjelas
yang ada. Dua fungsi diskriminan yang
menjelaskan 99.12% keragaman data dapat
digunakan
untuk
menentukan
status
ketertinggalan
kabupaten
dengan
menggunakan teritorial map yang dapat
dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN
Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang
setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar
Pulau Jawa sedangkan 8.17% kabupaten yang

berlokasi di Pulau Jawa hanya ada dalam
golongan status daerah agak tertinggal (15
kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten).
Keragaman dalam setiap kelompok status
ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu
ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah
dalam satu kelompok menjadi lebih homogen,
khususnya untuk daerah yang tertinggal
sangat parah.
Dengan menggunakan 80% data (166
kabupaten), didapatkan model 2 sebagai
model terbaik. Fungsi diskriminan dibentuk
dengan menggunakan 16 peubah penjelas dan
menghasilkan dua fungsi yang dapat
menjelaskan 99.12% keragaman data. Setiap
kriteria yang ditentukan oleh Kementrian
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
terepresentasikan dalam model tersebut.
Kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) hanya
terwakili oleh 5 indikator (38.5%), kriteria
infrastruktur terwakili oleh 2 indikator
(22.2%), dan kriteria karakteristik daerah
terwakili oleh 5 indikator (75.4%), sedangkan
semua indikator pada kriteria ekonomi,
keuangan daerah dan aksesibilitas ada dalam
model. Penggunaan model tersebut terhadap
20% (42 kabupaten) yang berperan sebagai
contoh uji menghasilkan ketepatan klasifikasi
sebesar 88.1%.

SARAN
Deskripsi data menunjukkan bahwa
terdapat karakteristik yang berbeda untuk
kabupaten di daerah Jawa dan Luar Jawa. Hal
ini menunjukkan bahwa kriteria untuk daerah
bukan maju di Jawa dan luar Jawa perlu
dibedakan dengan cara menyusun ulang
indikator dan bobot untuk perhitungan indeks
ketertinggalan daerah dan pemodelan yang
lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Dillon WR. & Goldstein M. 1984.
Multivariate Analysis Methods and
Applications. Canada : John Willey and
Sons.
Hair JF et. al. 1995. Multivariate Data
Analysis with Readings. New Jersey :
Prentice Hall
Johnson RA. & Wichern D.W. 1988. Applied
Multivariate Statistical Analysis. New
Jersey : Prentice Hall.
Ramadhani, E. 2003. Fungsi Diskriminan
Untuk
Membedakan
Keberhasilan

ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI STATUS
KETERTINGGALAN KABUPATEN

NADYA NURUL HASANAH

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

8

Berdasarkan fungsi diskriminan yang
terbentuk diketahui bahwa dari 42
kabupaten, sebanyak 37 kabupaten (88.1%
amatan) berhasil diklasifikasikan dengan
tepat, yaitu sesuai dengan status
ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak
5 kabupaten (11.9% amatan) salah
diklasifikasikan.
Untuk masing-masing model, kabupaten
yang mengalami kesalahan klasifikasi untuk
tiap-tiap status ketertinggalan dapat dilihat
pada Lampiran 4. Berdasarkan indeks
ketertinggalan yang dimiliki kabupatenkabupaten tersebut, dapat diketahui bahwa
umumnya kesalahan klasifikasi terjadi pada
kabupaten-kabupaten
yang
indeks
ketertinggalannya berada di sekitar batas
kelas. Daerah dengan indeks ketertinggalan
yang berada di sekitar batas bawah kelas akan
diklasifikasikan
ke
dalam
kelompok
sebelumnya, sedangkan daerah dengan indeks
ketertinggalan yang berada di sekitar batas
atas kelas akan diklasifikasikan ke dalam
kelompok sesudahnya.
Pemilihan model terbaik dilakukan dengan
melihat sejauh mana fungsi yang dihasilkan
oleh kedua model dapat mengklasifikasikan
amatan dengan tepat. Berdasarkan hasil
perhitungan kesalahan klasifikasi yang
didapatkan diketahui bahwa kemampuan
model 2 dalam menempatkan pengamatan ke
dalam kelompok yang benar lebih baik
dibandingkan dengan model 1. Pada model 2,
dengan menggunakan 16 peubah penjelas
ketepatan klasifikasinya mencapai 88.1%.
Dengan demikian model 2 merupakan model
terbaik
untuk
menentukan
status
ketertinggalan
daerah,
karena
dengan
menggunakan peubah penjelas yang lebih
sedikit, ketepatan klasifikasinya lebih tinggi
dibandingkan
dengan
model
yang
menggunakan seluruh peubah penjelas.
Penggunaan peubah penjelas yang lebih
sedikit akan lebih efektif dibandingkan
dengan menggunakan seluruh peubah penjelas
yang ada. Dua fungsi diskriminan yang
menjelaskan 99.12% keragaman data dapat
digunakan
untuk
menentukan
status
ketertinggalan
kabupaten
dengan
menggunakan teritorial map yang dapat
dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN
Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang
setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar
Pulau Jawa sedangkan 8.17% kabupaten yang

berlokasi di Pulau Jawa hanya ada dalam
golongan status daerah agak tertinggal (15
kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten).
Keragaman dalam setiap kelompok status
ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu
ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah
dalam satu kelompok menjadi lebih homogen,
khususnya untuk daerah yang tertinggal
sangat parah.
Dengan menggunakan 80% data (166
kabupaten), didapatkan model 2 sebagai
model terbaik. Fungsi diskriminan dibentuk
dengan menggunakan 16 peubah penjelas dan
menghasilkan dua fungsi yang dapat
menjelaskan 99.12% keragaman data. Setiap
kriteria yang ditentukan oleh Kementrian
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
terepresentasikan dalam model tersebut.
Kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) hanya
terwakili oleh 5 indikator (38.5%), kriteria
infrastruktur terwakili oleh 2 indikator
(22.2%), dan kriteria karakteristik daerah
terwakili oleh 5 indikator (75.4%), sedangkan
semua indikator pada kriteria ekonomi,
keuangan daerah dan aksesibilitas ada dalam
model. Penggunaan model tersebut terhadap
20% (42 kabupaten) yang berperan sebagai
contoh uji menghasilkan ketepatan klasifikasi
sebesar 88.1%.

SARAN
Deskripsi data menunjukkan bahwa
terdapat karakteristik yang berbeda untuk
kabupaten di daerah Jawa dan Luar Jawa. Hal
ini menunjukkan bahwa kriteria untuk daerah
bukan maju di Jawa dan luar Jawa perlu
dibedakan dengan cara menyusun ulang
indikator dan bobot untuk perhitungan indeks
ketertinggalan daerah dan pemodelan yang
lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Dillon WR. & Goldstein M. 1984.
Multivariate Analysis Methods and
Applications. Canada : John Willey and
Sons.
Hair JF et. al. 1995. Multivariate Data
Analysis with Readings. New Jersey :
Prentice Hall
Johnson RA. & Wichern D.W. 1988. Applied
Multivariate Statistical Analysis. New
Jersey : Prentice Hall.
Ramadhani, E. 2003. Fungsi Diskriminan
Untuk
Membedakan
Keberhasilan

9

Mahasiswa Fakultas MIPA UNSYIAH.
Tesis. Jurusan Statistika FMIPA IPB,
Bogor.
Salwa, N. 2007. Analisis Regresi Ordinal dan
Analisis Diskriminan untuk Klasifikasi
Keberhasilan Anggota LPP-UMKM
Kabupaten Tangerang. Tesis. Jurusan
Statistika FMIPA IPB, Bogor.

Sartono B et al. 2003. Modul Teori Analisis
Peubah Ganda. Jurusan statistika FMIPA
IPB, Bogor.
Usman. 1999. Penggunaan Analisis Lintas dan
Analisis Diskriminan Pada Komponen
Hasil dan Hasil Tanaman Padi. Skripsi.
Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.

ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI STATUS
KETERTINGGALAN KABUPATEN

NADYA NURUL HASANAH

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

RINGKASAN
NADYA NURUL HASANAH. Analisis Diskriminan untuk Evaluasi Status Ketertinggalan
Kabupaten. Dibimbing oleh TOTONG MARTONO dan ANIK DJURAIDAH.
Pemerintah melalui Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal telah menetapkan
status ketertinggalan daerah berdasarkan enam kriteria utama, yaitu : (1) ekonomi, (2) sumber
daya manusia, (3) infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal, (5) aksesibilitas dan (6)
karakteristik daerah. Keenam kriteria utama tersebut diwakili oleh 33 indikator dengan bobot yang
berbeda. Penentuan status ketertinggalan daerah bertujuan untuk mengetahui jenis pembangunan
yang tepat untuk diterapkan pada daerah tertinggal tersebut. Di antara 434 kabupaten di Indonesia
ada sebanyak 208 kabupaten yang diklasifikasikan dalam daerah tertinggal dengan empat satus
ketertinggalan, yaitu agak tertinggal, tertinggal, sangat tertinggal, dan tertinggal sangat parah.
Sebanyak 91.83% (191 kabupaten) berlokasi di luar Pulau Jawa dan sisanya (8.17%) berlokasi di
Pulau Jawa dengan golongan status daerah agak tertinggal dan tertinggal. Analisis diskriminan
bertatar terhadap 80% data kabupaten menghasilkan model terbaik dengan 16 peubah penjelas dan
dua fungsi diskriminan yang dapat menjelaskan 99.12% keragaman data dengan ketepatan
klasifikasi sebesar 88.1%. Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap kriteria yang ditentukan oleh
Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal terwakili dalam model tersebut.
Kata kunci : daerah tertinggal, analisis diskriminan, diskriminan bertatar.

ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI STATUS
KETERTINGGALAN KABUPATEN

NADYA NURUL HASANAH
G14052014

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Statistika
Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

Judul
Nama
NIM

: ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI
STATUS KETERTINGGALAN KABUPATEN
: Nadya Nurul Hasanah
: G14052014

Menyetujui,
Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Totong Martono
NIP. 19530428 197802 1 001

Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS
NIP.131 663 019

Mengetahui:
Ketua Departemen,

Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS
NIP. 196504211990021001

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 09 Februari 1987, sebagai anak ketiga dari empat
bersaudara dari pasangan Ambiar Lani dan Hamdani Hamzah. Penulis memulai pendidikan
formalnya di SD Bani Saleh V Bekasi dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan
di SLTP Negeri 5 Bekasi hingga tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan
menengah atas di SMU Negeri 89 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswi
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Satu tahun pertama,
penulis melewati masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) sebelum akhirnya diterima pada mayor
statistika dan minor sistem informasi Departemen Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama kuliah, penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa sebagai staf Komisi
Eksternal (2006/2007) dan ketua Komisi Keuangan (2007). Penulis juga aktif dalam kegiatankegiatan yang diselenggarakan oleh Departemen Statistika melalui Himpunan Profesi Gamma
Sigma Beta serta kegiatan yang diadakan pada tingkat fakultas. Pada bulan Februari 2009 penulis
berkesempatan mengikuti praktik lapang di Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen
Pertanian Republik Indonesia. Pengalaman lain yang penulis dapatkan yaitu saat menjadi validator
quick count pemilu legislatif pada April 2009 dan call center quick count pemilu presiden pada
Juli 2009.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahi Rabbal „Aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Mu