Analisis spasial kabupaten bogor dalam kaitannya dengan ketertinggalan wilayah

(1)

ANALISIS SPASIAL KABUPATEN BOGOR

DALAM KAITANNYA DENGAN

KETERTINGGALAN WILAYAH

AHMAD DANY SUNANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial Kabupaten Bogor Dalam Kaitannya Dengan Ketertinggalan Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2006

Ahmad Dany Sunandar NIM A253040124


(3)

Kaitannya Dengan Ketertinggalan Wilayah. Dibimbing oleh Komarsa Gandasasmita dan Atang Sutandi.

Adanya berbagai variasi dalam suatu wilayah, baik dalam hal sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan menyebabkan adanya perbedaan perkembangan wilayah. Pada tahap yang lebih lanjut, perbedaan yang semakin besar menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Penelitian ini mencoba untuk melihat disparitas wilayah di Kabupaten Bogor, khususnya untuk wilayah barat yang relatif tertinggal dibanding wilayah tengah dan timur, untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya disparitas tersebut. Untuk itu maka dilakukan analisa tipologi wilayah dengan analisa skalogram dan analisa multivariabel. Analisis Spasial dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mendapatkan data-data spasial dari berbagai peta. Unit sampel yang diambil adalah desa yang ada di seluruh Kabupaten Bogor.

Hasil analisa skalogram menunjukkan bahwa di wilayah barat, hanya ada satu desa dari 24 desa yang masuk dalam hirarki I yang ada di Kecamatan Leuwiliang sedangkan di wilayah tengah ada 16 desa dan di wilayah timur ada 7 desa. Hasil analisa klaster juga menunjukkan kecenderungan yang sama dimana klaster 1 yang merupakan klaster dari wilayah yang lebih maju. Sebagian besar dari wilayah ini berada di bagian tengah-utara terus ke arah timur.

Dari hasil analisa skalogram dan klaster juga menunjukkan bahwa sebagian besar desa di Kabupaten Bogor masuk pada hirarki III dan klaster 2 yang menunjukkan bahwa pemerataan terjadi pada tingkat bawah. Hasil analisa diskriminan untuk pengelompokkan berdasarkan analisa skalogram menunjukkan bahwa ada lima variabel yang membedakan desa-desa pada hirarki I dengan desa-desa pada hirarki di bawahnya, yaitu luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%, persen kawasan hutan, rasio guru SMA terhadap murid, luas wilayah dengan kelerengan diatas 25% dan rasio guru SD terhadap murid. Sedangkan untuk pengelompokkan berdasarkan hasil clustering, ada tujuh variabel yang membedakan klaster 1 dengan klaster lainnya, yaitu sarana komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan, jumlah SMP, jarak terhadap ibukota Jakarta, persen keluarga pertanian, jumlah sarana lembaga keuangan, dan kepadatan penduduk. Hasil analisa korelasi kanonikal menunjukkan bahwa tingkat perkembangan desa yang lebih tinggi dipengaruhi oleh tujuh variabel, yaitu persen keluarga pertanian, tingkat kepadatan penduduk, jumlah sarana lembaga keuangan, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi, rasio guru SD terhadap murid, rasio guru SMA terhadap murid, dan jarak terhadap ibukota kecamatan.


(4)

KETERTINGGALAN WILAYAH

AHMAD DANY SUNANDAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(5)

NIM : A 253040124

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 ini adalah disparitas wilayah, dengan judul Analisis Spasial Kabupaten Bogor dalam Kaitannya dengan Ketertinggalan Wilayah.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah yang telah banyak memberikan saran, beserta segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

3. Dr. Ir. Sudarmo, MSi, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan tesis ini.

4. Pimpinan dan Staf Pemda Kabupaten Bogor yang telah banyak memberikan bantuan data.

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Pimpinan dan staf Badan Litbang Kehutanan Departemen, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 7. Teman-teman seperjuangan di PWL Angkatan 2004, atas semua

dukungan dan perhatiannya.

8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Akhirnya, terima kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan, doa dan kasih sayang dari isteri dan anak-anak serta mamah, papah dan adik-adik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006


(7)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Februari 1973 sebagai anak pertama dari pasangan Achmad Djuaeni dan Nengsih. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri I Bogor dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Pengolahan Hasil Hutan, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkan pendidikan pada tahun 1996.

Sejak tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar sebagai staf peneliti. Pada tahun 2004, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB dan penulis memilih Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Hj. Eti Setiawati dan dikaruniai dua orang putra yaitu Ahmad Imam Syamil dan Zaki Abdurrahman.


(8)

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 5

Tujuan dan Manfaat ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Ilmu Pembangunan Wilayah ... 9

Pembangunan Wilayah... 12

Analisis Spasial ... 15

Sistem Informasi Geografis... 17

Indikator-indikator Pembangunan ... 15

Beberapa Hasil Penelitian ...19

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

Pengumpulan Data ... 23

Parameter Yang Digunakan ... 23

Analisa Data 1. Analisa Hiraki Wilayah ... ... 27

2. Analisa Spasial. ... 29

3. Analisis Komponen Utama ... ... 30

4. Cluster Analysis . ... 31

5. Discriminant Analysis . ... 33

6. Analisis regresi berganda . ... 34

7. Canonical correlation . ... 35

Kerangka Pendekatan Masalah ... GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Bogor ... 38

Pengembangan Wilayah ... 40

Strategi Pemanfaatan Ruang ... 47

Penggunaan Lahan ... 48

Kondisi Fisik Wilayah ... 50

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT ...53

Hasil Analisis Skalogram ... ... 50

Keterkaitan Antar Variabel ... 63

Hasil Analisis Komponen Utama.... ... 68

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa . ... 72


(9)

Tipologi Desa-desa di Kabupaten Bogor . ... 77

Hasil Analisis Diskriminan ... 81

Hasil Analisa Korelasi Kanonik ... 85

Arahan Pengembangan Desa-desa di Kabupaten Bogor ... . 89

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .. ... 92

Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN ... 98


(10)

No. Teks Halaman

1. Parameter-parameter yang diukur ... 24

2. Nilai selang hirarki ... 29

3. Jenis data, analisa dan output berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh... 37

4. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2003 ... 39

5. Ikhtisar keterkaitan ruang wilayah Kabupaten Bogor dengan Wilayah sekitarnya ... 43

6 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor ...49

7. Luas wilayah pada setiap tingkat kelerengan ... 50

8 Ketinggian dan jumlah desa ... 51

9 Jenis tanah yang ada di Kabupaten Bogor ... 51

10 Persen penggunaan lahan berdasarkan wilayah pemerintahan ... 60

11 Eigenvalue komponen-komponen utama ... 69

12 Factor Loading dari hasil Factor Analysis ………. . 70

13 Komponen utama yang mempengaruhi IPD . ... 73

14 Hasil dugaan klasifikasi kelompok berdasarkan klaster dan hirarki... 81

15 Koefisien hasil standardisasi untuk pembeda antara grup/kelompok. 83 16 Tes Chi-square untuk masing-masing fungsi kanonik (FC). ... 83

17 Koefisien hasil standardisasi untuk pembeda antara grup/kelompok. 84 18 Tes Chi-square untuk masing-masing fungsi kanonik (FC). ... 84

19 Pembobotan kanonik pada masing-masing fungsi kanonik (FC) . ... 87

20 Karakteristik tipologi wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor …. .... 88


(11)

No. Teks Halaman

1 Peta penyebaran desa dengan densitas jalan yang rendah ... . 7

2 Empat pilar pembangunan wilayah... 10

3 Enam pilar pembangunan wilayah ... 10

4 Peta penyebaran desa IDT menurut wilayah pemerintahan ...55

5 Penyebaran desa berhirarki I menurut kecamatan ...58

6 Peta overlay densitas jalan dengan desa berhirarki III ...62

7 Peta hasil overlay wilayah hirarki I dengan densitas jalan ... 63

8 Peta penyebaran desa berhirarki II menurut wilayah pemerintahan ...64

9 Hasil clustering variabel-variabel yang diukur ... 77

10 Pola penyebaran setiap klaster ...80

11 Hasil overlay desa-desa berhirarki III dengan desa-desa pada klaster 3 ... 86


(12)

No. Teks Halaman

1 Kelas densitas jalan ... 99

2 Kelas kepadatan penduduk . ... 100

3 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa skalogram . ... 101

4 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa klaster . ... 102

5 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa PCA/FA . ... 103

6 Hasil skalogram . ... 104

7 Hasil analisa korelasi sederhana antar variabel . ... 114

8 Hasil analisa regresi berganda . ... 116

9 Hasil analisa klaster . ... 117

10 Desa-desa hasil overlay klaster 3 dengan hirarki III . ... 127


(13)

Latar Belakang

Pembangunan adalah suatu proses untuk meningkatkan taraf kehidupan manusia melalui berbagai proses dan interaksi baik antara manusia maupun antara manusia dengan lingkungannya. Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan proses sosial, ekonomi dan institusional, mencakup usaha-usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Lebih luas sasaran pembangunan mencakup tiga hal penting, yaitu:

1. Meningkatkan persediaan dan memperluas distribusi bahan-bahan pokok seperti sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan perlindungan.

2. Meningkatkan taraf hidup termasuk menambah penghasilan, penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan manusiawi.

3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu dengan cara membebaskan masyarakat dari sikap kebodohan dan ketergantungan.

Dalam melaksanakan pembangunan, ada tiga tujuan yang harus dicapai oleh pemerintah yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan. Ketiga tujuan tersebut mempunyai saling keterkaitan yang erat yang menentukan keberhasilan dari pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan lebih sering menjadi tujuan dalam pembangunan seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini. Hal ini berakibat buruk terhadap pengurasan berbagai sumberdaya yang ada baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia ataupun sumberdaya sosial. Lebih jauh lagi karena tujuan kedua, pemerataan, tidak menjadi prioritas selama ini maka terjadi disparitas yang sangat tinggi antara pusat (Jakarta dan Jawa) dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bentuk-bentuk pengurasan sumberdaya yang terjadi selama ini juga merupakan cerminan dari bentuk tujuan pembangunan sesaat (jangka pendek) yang jelas mengabaikan keberlanjutan.


(14)

Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas adalah 1) Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan dari aspek potensi pasar. Dikarenakan berbagai faktor di atas maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang;dan 4) Wilayah tidak berkembang.

Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak


(15)

memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005).

Sebagai salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta, Kabupaten Bogor mempunyai peran yang penting dalam mendukung pembangunan, khususnya di wilayah Jabotabek. Sebagian dari wilayah Kabupaten Bogor dapat dikatakan sebagai suatu hinterland bagi wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan seperti Jakarta, Kota Bogor, Cibinong, atau Depok.

Wilayah ialah suatu unit geografis yang tidak terikat oleh batas-batas administratif. Wilayah tertinggal adalah wilayah yang memiliki fungsi tertentu yang kondisinya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah lainnya, baik pada aspek sumberdaya alam, struktur fisik, lahan, ekologi dan ekosistem, maupun aspek manusianya. Wilayah tertinggal dapat berupa gabungan beberapa desa, atau gabungan beberapa kecamatan dalam suatu kabupaten yang memiliki ketertinggalan berdasarkan beberapa indikator, antara lain jarak dari pusat desa/kecamatan ke pusat kabupaten, total panjang jalan desa/kecamatan, persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap sumber air bersih (didefinisikan sebagai persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air ledeng atau memiliki sumber mata air terlindungi tetapi berjarak lebih dari 10 km), persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan (didefinisikan sebagai persentase penduduk yang tinggal berjarak 5 km atau lebih untuk menjangkau fasilitas kesehatan) (BAPPENAS, 2005).

Kabupaten Bogor sendiri terbagi menjadi tiga wilayah pertumbuhan, yaitu wilayah barat, tengah, dan timur yang masing-masing wilayah mempunyai kecenderungan serta tingkat pertumbuhan yang berbeda. Adanya perbedaan ini tentunya disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan satu dengan yang lainnya baik dari segi geofisik, faktor spasial, faktor sosial budaya serta faktor-faktor lainnya. Akan tetapi faktor apa yang sesungguhnya menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam perkembangan wilayah di Kabupaten Bogor ini, khususnya wilayah barat, merupakan satu pertanyaan yang menarik untuk dikaji.


(16)

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, wilayah Bogor Barat sebagai bagian dari Kabupaten Bogor mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: 1) penyangga bagi kota Jakarta, berupa pengembangan perkotaan sebagai bagian dari sistem metropolitan Jabotabek, 2) konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Jabotabek, 3) perkembangan pertanian, khususnya hortikultura.

Secara alami, perkembangan suatu daerah ditentukan antara lain oleh karakter dari sumberdaya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut. Daerah yang memiliki sumberdaya alam yang kaya dan melimpah relatif akan lebih maju dibanding daerah yang miskin akan sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya. Demikian juga wilayah yang secara alamiah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan umumnya terletak di suatu wilayah yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang melimpah atau tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain di sekitarnya.

Salah satu indikator dalam perkembangan daerah adalah tingkat interaksi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Daerah-daerah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan daerah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang berdekatan dengan pusat umumnya akan lebih terpacu perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat dibanding daerah-daerah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang menjadi hinterland yang menyangga daerah pusat.

Perbedaan perkembangan ini pada gilirannya akan membentuk suatu hirarki atau struktur wilayah dimana daerah yang lebih maju kemudian akan berkembang menjadi pusat, baik pusat perekonomian maupun pusat pemerintahan. Wilayah yang


(17)

sumberdaya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi suatu push factor terutama bagi sumberdaya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga berakibat pada semakin sulitnya bagi daerah seperti ini untuk berkembang karena kekurangan sumberdaya manusia.

Hal ini terlihat secara nyata dimana perkembangan Kabupaten Bogor juga mengikuti kaidah tersebut. Daerah-daerah yang mempunyai akses langsung ke pusat (baik ke Jakarta ataupun Bandung sebagai ibukota propinsi) akan mempunyai perkembangan yang relatif lebih baik dibanding di wilayah barat yang tidak memiliki akses langsung terhadap kedua pusat tersebut. Selain itu, dari sisi lokasi, jarak yang relatif dekat dari wilayah tengah dan timur terhadap pusat juga menjadikan daerah ini lebih cepat perkembangannya.

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka dalam perencanaan pengembangan suatu wilayah, harus didasari dari evaluasi sumberdaya alam agar dalam pemanfaatannya dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan sumberdaya lain yang ada di suatu daerah, baik manusia, sosial maupun buatan yang ada.

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Wilayah barat dari Kabupaten Bogor, secara historis merupakan daerah-daerah yang lebih banyak mengandalkan pada sektor-sektor yang berbasiskan pada sumberdaya alam seperti pertanian dan perkebunan. Sedangkan sektor-sektor lain seperti industri atau pariwisata belum begitu berkembang, walaupun sebenarnya daerah ini dilalui oleh jalan propinsi yang cukup baik kondisinya. Lain halnya dengan wilayah timur yang perkembangannya telah lebih maju dimana tidak hanya mengandalkan pada sektor-sektor yang berbasiskan sumberdaya alam tetapi juga pada sektor industri dan jasa. Hal ini dapat terlihat dari berbagai kelompok industri yang terkonsentrasi di wilayah tengah dan timur bagian utara, yaitu di Kecamatan Cileungsi sebanyak 100 unit (21.78%), Kecamatan Gunung Putri 103 unit (21.78), Kecamatan Citeureup 58 unit (12.26%) dan Kecamatan Cibinong 67 unit (14.16%).


(18)

Adanya perbedaan ini tentu akan berdampak terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta dampaknya dari proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun sumberdaya alam yang ada. Pada daerah-daerah di wilayah barat, sumberdaya alamnya belum banyak tersentuh oleh pembangunan, kecuali di daerah-daerah pertambangan jenis galian C serta adanya pertambangan emas di Gunung Pongkor. Akan tetapi pada umumnya pertambangan emas ini merupakan enclave tersendiri di lingkungan tersebut.

Dalam hal aksesibilitas, walaupun telah ada jalan propinsi yang menghubungkan Kabupaten Bogor ke Kabupaten Banten di sebelah barat akan tetapi dalam hal densitas jalan (panjang jalan per luas wilayah), pada umumnya di wilayah barat ini relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1 yang menunjukkan penyebaran wilayah yang mempunyai densitas jalan yang relatif rendah (kurang dari 2.254 m per km2).

Adanya disparitas wilayah akan menyebabkan dampak terhadap ketersediaan lapangan kerja. Wilayah yang lebih maju tentunya akan menyediakan lapangan pekerjaan yang jauh lebih banyak dan beragam dan hal ini akan menjadi magnet (pull factor) yang akan menarik tenaga kerja dari berbagai wilayah yang ada di sekitarnya. Hal ini tentunya mengakibatkan ketimpangan dalam penyebaran tenaga kerja dimana daerah yang maju akan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja sedangkan daerah-daerah yang belum maju menjadi kekurangan suplai tenaga kerja.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka perlu untuk merumuskan permasalahan mengenai wilayah pembangunan Kabupaten Bogor serta perlu dilakukan pengujian terhadap variabel-variabel sumberdaya fisik, sosial dan ekonomi maupun aspek spasial wilayahnya sehingga dapat diperoleh faktor dominan yang mempengaruhi disparitas antar wilayah di Kabupaten Bogor.


(19)

660000 660000 680000 680000 700000 700000 720000 740000 720000 740000 92 400

00 92400

00

92

600

00 92600

00

9

280

00

0 9280

000

93

000

00 93000

00 93 20 00 0 93 200 00

Batas wilayah pemerintahan Desa dengan densitas jalan rendah di wilayah barat

Desa dengan densitas jalan rendah di wilayah tengah

Desa dengan densitas jalan rendah di wilayah timur

7 0 7 14 Km

Peta Penyebaran Desa Dengan Densitas Jalan Yang Rendah Keterangan : N E W S Sumber :

- Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor

Program Studi Perencanaan Wil ah

Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006

ay

Gambar 1 Peta Penyebaran Desa dengan Densitas Jalan yang Rendah (kurang dari 2.254 m per km2)


(20)

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membuat tipologi wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan data-data spasial dan data sosial ekonomi wilayah

2. Mengetahui keterkaitan dan perbedaan antar variabel-variabel/indikator-indikator pembangunan.

3. Mencari variabel-variabel penentu utama yang menyebabkan terjadinya disparitas pewilayahan di Kabupaten Bogor

4. Mengetahui kontribusi variabel-variabel tersebut terhadap ketertinggalan wilayah tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan bagi arah pembangunan di Kabupeten Bogor dimana dengan diketahuinya faktor-faktor utama penghambat perkembangan wilayah maka alternatif-alternatif solusi yang akan diberikan pada daerah-daerah tertinggal tersebut menjadi tepat sasaran


(21)

Ilmu Pembangunan Wilayah

Ilmu pembangunan wilayah merupakan ilmu yang relatif baru. Ilmu ini dikembangkan pada awal dasawarsa 1950an, tetapi baru pada dasawarsa 1970an ilmu ini berkembang dengan pesat. Ilmu ini muncul karena ketidakpuasan pakar ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya tingkat perhatian dan analisis ekonomi berdimensi spasial.

Ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan itu sendiri merupakan fenomena multifaset yang memerlukan berbagai usaha manusia dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sesuai dengan pandangan pendiri ilmu wilayah, Walter Isard, bahwa pengetahuan pada berbagai ilmu adalah menyatu dan saling berkaitan.

Menurut Misra (1977 dalam Budiharsono 2001), ilmu pembangunan wilayah merupakan disiplin ilmu yang ditopang oleh empat pilar (tetraploid diciplines) yaitu geografi, ekonomi, perencanaan kota, dan teori lokasi. Pada Gambar 2 disajikan skema ilmu pembangunan wilayah sebagai tetraploid disciplines. Namun pendapat Misra mengenai ilmu pembangunan wilayah ini terlalu sederhana karena tidak memasukkan aspek biogeofisik yang merupakan dasar dari teori geografi dan teori lokasi serta aspek sosial budaya dan lingkungan yang berperan dalam pembangunan wilayah tetapi belum ada keterwakilannya dalam keempat disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, ilmu pembangunan wilayah setidaknya perlu ditopang oleh enam pilar analisis, seperti yang tampak pada gambar 2 (Budiharsono 2001).


(22)

Geografi Ekonomi

Perencanaan Kota Teori Lokasi

Ilmu

Pembangunan Wilayah

Gambar 2 Empat Pilar Pembangunan Wilayah

Analisis Kelembagaan

Analisis Sosial Budaya

Analisis Lingkungan

Analisis Lokasi Analisis

Ekonomi

Ilmu Pembangunan

Wilayah Analisis

Biogeofisik


(23)

Umumnya dapat kita katakan bahwa secara internal kemandirian sebuah kota akan sangat tergantung dari tiga faktor kunci yaitu permodalan, infrastruktur dan sumber daya manusia. Asumsi kita ialah bahwa bila pengelola kota berhasil mengelola faktor-faktor internal tersebut di atas, maka mereka akan dapat mengembangkan “kemandirian” kota tersebut. Sedangkan “kemandirian” itu sendiri adalah persyaratan untuk terbentuknya kota yang mempunyai ciri lokal yang kuat (Santoso 2003).

Mengenai yang pertama yaitu permodalan maka dapat dikatakan bahwa pergerakan modal akan sedikit terpengaruh oleh otonomi daerah, yaitu hanya terkait dengan proses perizinan yang mungkin bisa lebih lancar. Tapi bisa saja hal ini menjadi bumerang, karena pejabat kota melihat ini sebagai kesempatan meningkatkan PAD atau lahan basah untuk KKN dan bisa menjadi momok bagi para calon investor.

Faktor kunci kedua adalah infrastruktur, di mana kita harus membagi menjadi dua kelompok, yaitu yang masih dikelola secara sentral seperti kereta api, listrik, dan telepon, serta yang menjadi tanggung jawab pemerintah kota seperti jalan kota, saluran, air bersih, pengelolaan limbah dan sampah, dan seterusnya.

Yang terberat dari ketiga faktor kunci adalah faktor sumberdaya manusia (SDM). Seperti kita tahu tingkat penghasilan masyarakat kita sangat tergantung dari produktivitas kota. Kota dengan “externalities” yang rendah akan meningkatkan kemampuan badan usaha untuk membayar imbalan jasa yang lebih tinggi. Sebaliknya kota dengan kondisi “high-cost economy” akan mendorong para pengusaha untuk menurunkan penghasilan karyawannya dalam rangka menjaga kemampuannya berkompetisi dengan pesaing mereka. Karena itu kota-kota yang mempunyai externalities tinggi akan cenderung kehilangan SDM yang berkualitas karena mereka akan beremigrasi ke luar kota. Walaupun tingkat penghasilan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi seseorang untuk meninggalkan sebuah kota, tetapi statistik menunjukkan bahwa jumlah SDM berkualitas secara prosentual lebih tinggi di kota-kota dengan tingkat kehidupan yang lebih baik (Santoso 2004).


(24)

Pembangunan Wilayah

Pembangunan atau pengembangan, dalam arti development, bukanlah suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya, dalam hal ini penduduk setempat. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki guna meningkatkan kualitas hidupnya dan juga kualitas hidup orang lain (Zen 2001).

Pembangunan pada hakikatnya adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Ketersediaan sumberdaya sangat terbatas sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian lingkungan hidup agar kemampuan serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia. Memajukan kesejahteraan generasi sekarang melalui pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kebijakan terpadu dan menyeluruh tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Strategi pengelolaan yang dimaksud yaitu upaya sadar, terencana, dan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan sumberdaya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup. Kesadaran bahwa setiap kegiatan selalu berdampak terhadap lingkungan hidup merupakan pemikiran awal yang penting untuk memaksa manusia berpikir lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana wujud dampak tersebut, sehingga sedini mungkin dilakukan langkah penanggulangan dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Penataan ruang merupakan satu proses pembangunan yang perlu mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan. Dalam menyusun suatu rencana tata ruang yang baik, nilai-nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan (BKTRN 2001).

Dalam kenyataannya, seringkali pembangunan ini lebih banyak menekankan pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek-aspek spasial. Hal ini tercermin dari adanya berbagai kelemahan antara lain kesenjangan antar wilayah dan kemiskinan. Kelemahan ini yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran penduduk, barang dan jasa, keuntungan dan kerugian di


(25)

dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergensi menjadi semakin parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi mudah didikotomikan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat maupun pelaku ekonomi (Nugroho dan Dahuri 2004).

Sedangkan pengertian wilayah adalah suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi (Nugroho dan Dahuri 2004). Definisi lain menyebutkan bahwa wilayah adalah unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (Rustiadi et al. 2004). Dalam menganalisis wilayah secara umum dikenal tiga tipe (Blair 1991 dalam Nugroho dan Dahuri 2004). Pertama, wilayah fungsional, yang dicirikan oleh adanya derajat integrasi antara komponen-komponen di dalamnya yang berinteraksi ke dalam wilayah alih-alih berinteraksi ke wilayah luar. Kedua, wilayah homogen yang dicirikan oleh adanya kemiripan relatif dalam wilayah yang dapat dilihat dari aspek sumberdaya alam, sosial dan ekonomi. Ketiga, wilayah administratif. Wilayah ini dibentuk untuk kepentingan pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain.

Dalam memandang suatu wilayah, minimal ada tiga komponen wilayah yang perlu diperhatikan, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi, selanjutnya disebut tiga pilar pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah merupakan interaksi antara tiga pilar pengembangan wilayah (Nachrowi dan Suhandojo 2004)

Lebih lanjut, Triutomo (2001) menyebutkan bahwa tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Di sisi ekonomis, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya. Di sisi lain, secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan.


(26)

Untuk pengembangan wilayah, diperlukan perencanaan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah semata, akan tetapi juga harus mampu memasukkan unsur-unsur sosial, budaya, ekonomi dan politik ke dalamnya. Secara luas, perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri 2004).

Perencanaan pembangunan wilayah sendiri mempunyai tiga pilar penting (Hoover and Giarratani 1985). Pertama, keunggulan komparatif (imperfect factor mobility). Pilar ini berhubungan dengan kondisi spesifik suatu wilayah yang sulit untuk dipindahkan ke wilayah lain. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility) yang merupakan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of goods and services).

Satu pendekatan pembangunan yang dikenal dengan nama pendekatan wilayah menekankan pada penanganan langsung penduduk atau masyarakat yang berada di wilayah-wilayah terisolasi dan di dalam wilayah-wilayah miskin atau terisolasi ini pada gilirannya akan dicari dan dikenali kelompok-kelompok sasaran penduduk termiskin. Dengan demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan, dan bertujuan menutup jurang kesenjangan ekonomi dan sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah (Mubyarto 2000).

Dalam kaitannya dengan pembangunan perdesaan, selama 32 tahun sejarah pembangunan Orde Baru, telah terjadi persaingan antara orientasi pertumbuhan dan pemerataan yang mewujud dalam bentuk perebutan prioritas antara pembangunan sektor industri dengan pertanian, atau antara sektor ekonomi modern di perkotaan dengan ekonomi rakyat tradisional di perdesaan. Kesulitan lain yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah adanya keterkaitan yang sangat erat antara


(27)

pembangunan perdesaan dengan keharusan pemberdayaan masyarakat pendukungnya (Mubyarto 2000).

Analisa Spasial

Menurut Rustiadi et al. (2004), pengertian analisa spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu sendiri dan kedua perbedaan fokus kajiannya. Dari pandangan geografi, pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi secara geografis sangat jelas, tegas dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli geografi dalam analisa spasial tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, dengan kata lain lebih memfokuskan pada aspek “apa” dan “bagaimana” yang terjadi di atas permukaan bumi dan bahkan “dimana”. Domain kajian ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan “peta” yang memiliki akurasi informasi spasial didalamnya sangat penting. Analisis mengenai pola-pola spasial (pemusatan, penyebaran, kompleksitas spasial, dll) kecenderungan spasial, bentuk-bentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi kajian-kajian yang banyak mendapat perhatian dari ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya.

Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan untuk memodelkan dan menganalisis data spasial. Bailey (1995 dalam Rustiadi et al. 2004) mendefinisikan analisis spasial sebagai upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial summarization of data. Spatial summarization of data dilakukan untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial secara


(28)

selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan.

Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut, Haining (1995 dalam Rustiadi et al. 2004) mendefinisikan sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya.

Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah :

1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.

2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.

3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis.

Berdasarkan atas aplikasinya, menurut Fischer et al. (1996 dalam Rustiadi et al. 2004), model spasial digunakan untuk tiga tujuan, yaitu :

1. peramalan dan penyusunan skenario

2. analisis dampak terhadap kebijakan


(29)

Pada data spasial atau data yang memiliki referensi geografis, visualisasi digunakan untuk membuktikan hipotesis-hipotesis mengenai pola atau pengelompokkan di dalam ruang geografis serta mengenai peranan lokasi terhadap aktivitas manusia serta sistem lingkungan (Mac Eachren 1995 dalam Rustiadi et al. 2004). Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) didalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Getis (1995 dalam Rustiadi et al. 2004), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi (zoning) dan network analysis. Namun banyak ahli geografi dan analisis spasial mengklaim bahwa yang selama ini disebut analisis spasial dan permodelan dengan SIG seringkali ternyata tidak lebih dari proses-proses manipulasi data seperti overlay polygon, buffering, dan sebagainya yang pada dasarnya “tidak cukup pantas” menggunakan terminologi analisis.

Analisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan geografi kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal 1960an. Perkembangannya diawali dengan digunakannya prosedur-prosedur dan teknik-teknik kuantitatif (terutama statistik) untuk menganalisa pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Pada perkembangannya, penekanan dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial (spatial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal.

Analisis spasial tidak hanya mencakup statistika spasial. Terdapat dua kajian studi yang bisa dibedakan:

‰ Analisis statistik data spasial: kajian-kajian untuk menemukan metode-metode dan kerangka analisis guna memodelkan efek spasial dan proses spasial

‰ Permodelan spasial: permodelan deterministic atau stokastik untuk memodelkan kebijakan lingkungan, lokasi-lokasi, interaksi spasial, pilihan spasial dan ekonomi regional.


(30)

Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi (proyeksinya).

Pengertian SIG ini sendiri telah diuraikan oleh banyak ahli dan mempunyai arti yang relatif sama. Aronoff (1989 dalam Dulbahri 2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistem informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola (memberi dan mengambil kembali), memanipulasi dan menganalisis data dan memberi uraian. Sedangkan menurut Barus dan Wiradisastra (2000), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.

Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus numerik, artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, data lain adalah data atribut (Dulbahri 2003).

Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok yaitu perangkat keras, penrangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke sistem lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra 2000).

Indikator-indikator Pembangunan

Indikator merupakan ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik


(31)

dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (Rustiadi et al. 2004).

Dalam pembangunan, keberlanjutan merupakan salah satu asas yang sangat penting karena prinsip pembangunan adalah menjamin ketersediaan kebutuhan hidup manusia di waktu sekarang maupun yang akan datang. Penerapan pembangunan berkelanjutan yang kompleks dapat disederhanakan dengan penggunaan sejumlah indikator yang tepat. Ketepatan indikator yang dipilih menentukan pada penilaian akhir karena indikator bersifat spesifik untuk masing-masing kondisi. Pemilihan banyaknya indikator pun perlu diperhitungkan karena jika terlalu banyak tidak saja akan memakan biaya dan waktu yang banyak, tetapi juga dapat mengaburkan fokus yang ingin dicapai. Sebaliknya bila terlalu sedikit, dirasakan adanya kelemahan, bahkan kekeliruan dalam menerjemahkan keadaan. Karena itu penetapan sekumpulan indikator yang tepat untuk menggambarkan pembangunan berkelanjutan menjadi satu tugas yang sulit.

Indikator diterapkannya konsep pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang dapat dibagi sesuai dengan tiga aspek yang ingin dicapainya, yaitu ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup dengan beberapa contoh sebagai berikut:

) Indikator Ekonomi: PDB/PDRB, pendapatan perkapita, volume ekspor-impor, dan lain-lain secara stabil serta kemajuan sektor kegiatan ekonomi yang telah ada sekaligus tumbuhnya sektor kegiatan baru yang mendukung perekonomian nasional.

) Indikator Sosial Budaya: kualitas sumberdaya manusia, angka harapan hidup, intensitas kegiatan budaya; tingkat kebergantungan penduduk (desa-kota, nonproduktif-produktif, jumlah pengangguran, dan lainlain).

) Indikator Lingkungan Hidup: standardisasi kualitas air, udara, tanah; perubahan suhu udara, tingkat permukaan air tanah, intrusi air laut, frekuensi bencana, dan lain-lain.


(32)

Beberapa Hasil Penelitian

Menurut Dugo (2003), tipologi wlayah dari Kabupaten Bogor bagian barat terdiri dari tiga klaster yaitu Ciampea (mencakup Kecamatan Ciampea, Cibungbulang, Pamijahan, Leuwiliang dengan Ciampea sebagai pusat klaster), Jasinga (mencakup Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Sukajaya dan Nanggung dengan Jasinga sebagai pusat klaster) serta Parung Panjang (mencakup Kecamatan Parung Panjang, Tenjo dan Rumpin dengan Parung Panjang sebagai pusat klaster). Untuk klaster Ciampea dicirikan oleh:

1. Tingginya aktivitas-aktivitas perekonomian yang dicerminkan oleh PDRB sektor listrik-gas-air, bangunan-konstruksi, perdagangan, angkutan-komunikasi. Wilayah pembangunan satu ini memiliki akumulasi PDRB yang paling tinggi di sektor pertanian, dimana sektor pertanian khususnya tanaman pangan lebih cocok dan potensial untuk dikembangkan (tercermin dari produktivitas padi sawah, ubi jalar yang tinggi). Sementara sektor industri kecil dan jasa-jasa bersifat sebagai sektor penunjang, mengingat upaya dalam mengatasi permasalahan alokasi tenaga kerja dengan berkembangnya pusat-pusat pemukiman serta dampak daya tarik kota Bogor dan pengembangan Kampus IPB Darmaga.

2. Tinginya tingkat inflasi yang terkait dengan sektor listri-gas-air, bangunan-konstruksi, perdagangan, angkutan-komunikasi.

3. Tingginya jumlah sarana dan prasarana yang terkait dengan sarana pendidikan (SD, SLTP, SLTA), sarana kesehatan, sarana transportasi dengan ketersediaan sarana pendidikan SLTA, sarana kesehatan berupa dokter praktek umum dan spesialis yang lebih khas bila dibandingkan dengan tipologi wilayah pembangunan lain.

Karakteristik tipologi wilayah pembangunan dua sebagai klaster Jasinga dicirikan oleh:

1. Tingginya aktivitas-aktivitas perekonomian yang dicerminkan oleh PDRB sektor pertambangan dan penggalian dan aktivitas lainnya di sektor kehutanan rakyat,


(33)

terutama pada Kecamatan Nanggung, Sukajaya, Cigudeg yang tercermin dari fenomena-fenomena pemusatan penggunaan lahan hutan pada kecamatan tersebut. Ditinjau dari sektor pertanian yang penyebarannya relatif merata, tipologi wilayah pembangunan dua ini lebih cocok dan potensial untuk tanaman keras dan tanaman tahunan dimana tanaman semusim (ladang jagung, kacang kedelai) dapat dikembangkan sebagai tanaman sekunder.

2. Tingginya tingkat inflasi yang terkait dengan sektor pertambangan dan penggalian, keuangan-sewa-jasa-perusahaan.

3. Tingkat ketersediaan sarana pendidikan SD, SLTP, SLTA yang relatif cukup terutama pada Kecamatan Jasinga dan Cigudeg, tingginya ketersediaan sarana transportasi angkutan desa pada Kecamatan Nanggung, Cigudeg dan angkutan kota pada Kecamatan Jasinga serta tingginya ketersediaan sarana kesehatan berupa tenaga medis terutama pada Kecamatan Cigudeg.

Karakteristik tipologi wilayah pembangunan tiga sebagai klaster Parung Panjang dicirikan oleh:

1. Tingginya aktivitas-aktivitas perekonomian yang dicirikan oleh PDRB sektor industri dan jasa-jasa. Ditinjau dari sektor pertanian yang penyebarannya relatif merata, tipologi wilayah pembangunan tiga ini lebih cocok dan potensial untuk dikembangkan sebagai pusat produksi peternakan ayam skala besar dan sentra produksi buah-buahan seperti durian, rambutan, pisang, mangga (RTRW Bogor Barat Kabupaten Bogor 2001-20011) serta pusat perkebunan terutama pada Kecamatan Rumpin. Tanaman pangan berupa ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau yang bersifat local spesific sebagai tanaman sekunder. Sedangkan sektor penunjang berupa pertambangan dan galian pasir, kaolin dan trass.

2. Tingginya tingkat inflasi yang terkait dengan sektor industri dan jasa-jasa.

3. Tingkat ketersediaan sarana pendidikan SLTP yang relatif tinggi, SD dan SLTA yang relatif rendah serta sarana kesehatan berupa tenaga medis dan pos Keluarga


(34)

Berencana yang relatif tinggi terutama pada Kecamatan Parung Panjang sebagai pusat klaster.

Jika dikaitkan dengan karakteristik fisik wilayah, tipologi wilayah pembangunan satu mayoritas memiliki jenis tanah Latosol maupun asosiasi Latosol dan Regosol dengan bahan induk abu/pasir dan tuf volkan intermedier. Untuk tipologi wilayah pembangunan dua mayoritas memiliki jenis tanah Latosol maupun aosiasi Latosol dan Podsolik Merah Kuning dengan bahan induk berupa batuan volkan masam yang lebih dominan. Untuk tipologi wilayah pembangunan tiga keberadaan jenis tanah aluvial relatif cukup luas di bagian barat laut Kecamatan Tenjo dan adanya aliran sungai menunjang ketersediaan air bagi budidaya padi sawah. Untuk di Kecamatan Rumpin, berkembangnya sektor/aktivitas penunjang berupa pertanian tanaman pangan ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau dan perkebunan lebih disebabkan oleh keberadaan jenis tanah Latosol berbahan induk tuf volkan intermedier dan jenis tanah Aluvial dengan fisiografi dataran yang cocok bagi budidaya ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau serta kedua jenis tanah yang berbahan induk mulai dari intermedier sehingga basis ini juga relatif cocok bagi budidaya perkebunan berupa perkebunan kakao (Dugo 2003).

Dalam kaitannya dengan lokasi-lokasi agroindustri, menurut Zulfah (2004), sebagian besar berlokasi di sebelah timur dan tengah Kabupaten Bogor yang mempunyai aksesibilitas dan infrastruktur yang lebih berkembang seperti akses jalan tol, jalan raya dan lebih dekat dengan lokasi pasar. Demikian pula dengan pola spasial tenaga kerja yang cenderung memusat di bagian wilayah tengah dan ini merupakan lokasi dengan jumlah industri terbesar. Wilayah ini merupakan wilayah yang memiliki aksesibilitas distribusi dan infrastruktur yang lebih mudah serta pusat aktivitas perekonomian dan konsentrasi penduduk yang lebih tinggi.


(35)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, mencakup semua kecamatan dan desa yang ada yaitu 35 kecamatan dan 425 desa. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2005 hingga Desember 2005.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain BPS Kabupaten Bogor, Bakosurtanal dan instansi lain yang terkait. Data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari data sosial ekonomi yang berasal dari pengolahan data Potensi Desa (Podes) tahun 2003 serta Kecamatan Dalam Angka tahun 2003 serta data yang berkaitan dengan kondisi fisik wilayah seperti data topografi, ketinggian, atau jenis tanah.. Data lain yang juga digunakan adalah peta-peta, seperti peta administratif, peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta kawasan

hutan, peta landuse, peta kelas kemampuan lahan dan lain-lain. Unit contoh yang

digunakan dalam penelitian ini adalah desa.

Parameter Yang Digunakan

Untuk mengetahui ketertinggalan suatu wilayah, terlebih dahulu harus ditentukan indikator-indikator pembangunan yang menjadi ukuran dari keberhasilan pembangunan atau ketertinggalan suatu wilayah. Indikator yang paling umum digunakan adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Akan tetapi karena data PDRB untuk tingkat kecamatan di Kabupaten Bogor belum tersedia, maka dilakukan pendekatan dengan berbagai indikator lain, antara lain:

) Jumlah penduduk per km2

) Jumlah tempat pelayanan kesehatan per 1000 penduduk


(36)

) Proporsi penduduk usia sekolah

) Proporsi penduduk usia produktif (15 – 55 tahun)

) Jumlah lembaga keuangan per 1000 penduduk

) Rasio jalan aspal per luas wilayah

) Jumlah kendaraan bermotor (roda dua dan empat) per 1000 penduduk

) Pendapatan asli daerah (PAD) per kapita

) Jumlah sarana perbelanjaan per 1000 penduduk

) Jumlah sarana komunikasi per 1000 penduduk

) Jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi

) Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi

Untuk selengkapnya, parameter-parameter yang diukur adalah seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Parameter-parameter yang diukur

No Bidang Variabel Parameter Sumber

1 Pola Penganggaran Pembangunan

PAD PAD per kapita

PODES 2003 2 Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba per 1.000 penduduk 3 Jumlah

Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman

Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman per 1.000 penduduk 4 Sarana Perekonomian (Pasar dan Perbelanjaan) Jumlah Toko/Warung/Kios

Jumlah Toko/Warung/ Kios per 1.000 penduduk

PODES 2003

5 Bank Umum Jumlah Bank umum per 1.000 penduduk

6 Bank Perkreditan

Rakyat

Jumlah Bank Perkreditan Rakyat per 1.000 penduduk 7 Koperasi Unit Desa

(KUD)

Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) per 1.000 penduduk 8

Sarana Perekonomian

(Lembaga Keuangan)

Koperasi Non-KUD Jumlah Koperasi Non-KUD per 1.000 penduduk

PODES 2003


(37)

Tabel 1 Lanjutan

No Bidang Variabel Parameter Sumber

9 Wisata Alam Bahari Wisata Alam Bahari per 1.000 penduduk

10 Wisata Alam Non Bahari

Wisata Alam Non Bahari per 1.000 penduduk

11 Wisata Budaya Wisata Budaya per 1.000 penduduk

12 Wisata Lainnya Wisata Lainnya per 1.000 penduduk

13 Gedung Bioskop Gedung Bioskop per 1.000 penduduk

14

Sarana Pariwisata

Hotel/Penginapan Hotel/Penginapan per 1.000 penduduk PODES 2003 15 Wartel/kiospon/warp ostel/warparpostel Wartel/kiospon/warpostel/war parpostel per 1 000 penduduk 16 Warung internet Warung internet per 1 000

penduduk

17 Telepon umum Telepon umum per 1 000 penduduk

18 Rumah Tangga yang Memiliki TV

Rumah Tangga yang Memiliki TV per 1.000 penduduk

19 Rumah Tangga yang Berlangganan telepon

Rumah Tangga yang Berlangganan telepon per 1.000 penduduk

20 Sarana Komunikasi dan Informasi Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK)

Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK) per 1.000 penduduk

PODES 2003

21 Jumlah Dokter Jumlah Dokter per 1.000 penduduk

22 Jumlah Bidan Jumlah Bidan per 1.000 penduduk

23 Jumlah Dukun Bayi Jumlah Dukun Bayi per 1.000 penduduk

24 Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah

Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah per 1.000 penduduk

25 Jumlah Unit

Puskesmas

Jumlah Unit Puskesmas per 1.000 penduduk

26 Jumlah Unit

Puskesmas Pembantu

Jumlah Unit Puskesmas Pembantu per 1.000 penduduk

27 Jumlah Unit

Posyandu

Jumlah Unit Posyandu per 1.000 penduduk

28 Sarana dan Tenaga Kesehatan Jumlah Praktek Dokter

Jumlah Praktek Dokter per 1.000 penduduk

PODES 2003


(38)

Tabel 1 Lanjutan

No Bidang Variabel Parameter Sumber

29 Jumlah Unit

Poliknik

Jumlah Unit Poliknik per 1.000 penduduk 30 Sarana dan Tenaga Kesehatan Jumlah Unit Apotik dan Toko obat

Jumlah Unit Apotik dan Toko Obat per 1.000 penduduk

PODES 2003

31 Jumlah

SD/Madrasah

Jumlah SD/Madrasah per 1.000 penduduk

32 Jumlah

SMP/Madrasah

Jumlah SMP/Madrasah per 1.000 penduduk

33 Jumlah

SMA/Madrasah

Jumlah SMA/Madrasah per 1.000 penduduk

34 Rasio siswa SD

terhadap sekolah

Rasio siswa SD terhadap sekolah

35 Rasio siswa SMP

terhadap sekolah

Rasio siswa SMP terhadap sekolah

36 Rasio siswa SMA

terhadap sekolah

Rasio siswa SMA terhadap sekolah

37 Rasio guru SD

terhadap murid

Rasio guru SD terhadap murid

38 Rasio guru SMP

terhadap murid

Rasio guru SMP terhadap murid 39

Pendidikan

Rasio guru SMA terhadap murid

Rasio guru SMA terhadap murid

Kecamatan Dalam Angka 2003

40 Masjid Masjid per 1.000 penduduk

41 Surau/langgar Surau/langgar per 1.000 penduduk

42 Gereja kristen Gereja kristen per 1.000 penduduk

43 Gereja katolik Gereja katolik per 1.000 penduduk

44 Pura Pura per 1.000 penduduk

45 Vihara Vihara per 1.000 penduduk

46

Sarana Peribadatan

Klenteng Klenteng per 1.000 penduduk

PODES 2003

47 Kepadatan

Penduduk

Kepadatan Penduduk per km2

48 Rasio Angkatan

kerja

Jumlah Angkatan kerja per jumlah penduduk

49 Rasio keluarga

pertanian

Rasio keluarga pertanian per jumlah penduduk

50 Rasio keluarga

pra sejahtera

Rasio keluarga pra sejahtera per jumlah penduduk 51 Tata Ruang dan Lingkungan Rasio rumah permanen

Rasio rumah permanen per jumlah rumah

PODES 2003

52 Roda 2 Jumlah Roda 2 per 1.000 penduduk

53 Roda 4 Roda 4 per 1.000 penduduk

54 Panjang jalan

aspal

Panjang jalan aspal per luas wilayah

55

Transportasi

Panjang jalan aspal

Panjang jalan aspal per luas wilayah

PODES 2003


(39)

Tabel 1 Lanjutan

No Bidang Variabel Parameter Sumber

56 Jarak terhadap

ibukota kecamatan

Jarak terhadap ibukota kecamatan

57 Jarak terhadap

ibukota kabupaten yang membawahi

Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi

58 Jarak terhadap

ibukota kabupaten lain yang terdekat

Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat

Podes 2003

59 Jarak sentroid desa Jarak sentroid desa terhadap

sentroid Kota Bogor

60 Jarak sentroid desa Jarak sentroid desa terhadap

sentroid Ibukota Jakarta 61

Aksesibilitas

Densitas Jalan Densitas jalan per luas wilayah

Peta Topografi

1999

62 Persen lereng rendah Persen luas lahan dengan

lereng 0 – 8% terhadap luas wilayah

63 Persen lereng

sedang

Persen luas lahan dengan lereng 8 – 25% terhadap luas wilayah

64

Faktor Fisik (Kelerengan)

Persen lereng tinggi Persen luas lahan dengan lereng > 25% terhadap luas wilayah

Peta Topografi

1999

65 Kawasan hutan

lindung

Luas kawasan hutan lindung per luas wilayah

66 Kawasan hutan lain Luas kawasan hutan lain per

luas wilayah 67

Faktor Fisik (Status kawasan

hutan) Bukan kawasan hutan

Luas bukan kawasan hutan per luas wilayah

68 Faktor Fisik (Sungai)

Densitas sungai Densitas sungai per luas wilayah

Pemda Kab. Bogor

2003

70 Angkatan kerja Proporsi angkatan kerja per

jumlah penduduk

71 Kependudukan Keluarga pertanian Proporsi keluarga pertanian per jumlah keluarga (KK)

PODES 2003

Analisa Data

Š Analisa Hirarki Wilayah

Analisa dilakukan dengan metode skalogram untuk membuktikan adanya hirarki di wilayah Kabupaten Bogor, khususnya dalam hal sarana infrastruktur. Data yang digunakan adalah data dari Potensi Desa Tahun 2003 dan data dari


(40)

Kecamatan Dalam Angka (KCDA) Tahun 2003. Parameter yang diukur meliputi bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perekonomian dan aksesibilitas.

Urutan kegiatan pada analisis data dengan metode skalogram antara lain (Saefulhakim 2004):

1. Melakukan pemilihan terhadap data PODES 2003 dan KCDA 2003 sehingga hanya tinggal data yang bersifat kuantitatif

2. Melakukan seleksi terhadap data-data kuantitatif tersebut sehingga hanya yang relevan saja yang digunakan.

3. Melakukan rasionalisasi data

4. Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh 38 variabel untuk analisa skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan desa di Kabupaten Bogor.

5. Melakukan standardisasi data terhadap 38 variabel tersebut dengan menggunakan rumus (Statsoft 2004) yang dimodifikasi:

Zij =

dimana:

Zij = nilai baku untuk desa ke-i dan jenis sarana ke-j

Yij = jumlah sarana untuk desa ke-i dan jenis sarana ke-j

minimum Yj = nilai minimum untuk jenis sarana ke-j

St.Dev = nilai standar deviasi

6. Menentukan indeks perkembangan desa (IPD) dan kelas hirarkinya untuk kemudian diplotkan pada peta.

Dari data yang diukur dibagi ke dalam dua kelompok yaitu yang bisa langsung dibuat indeks (data jenis dan jumlah sarana) dan yang harus diinverskan terlebih dahulu (data aksesibilitas atau jarak dari ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten yang membawahi dan jarak dari ibukota kabupaten lain yang terdekat).

Yij – minimum Yj St. Dev


(41)

Setelah proses pembakuan kemudian dilakukan penjumlahan nilai baku tersebut untuk setiap desa. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi data dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di barisan atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom paling kiri.

Pada penelitian ini, IPD dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuannya didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPD dan nilai median. Nilai yang didapat untuk selang hirarki dan digunakan untuk menentukan kelas hirarki dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai Selang Hirarki

No Hirarki Nilai Selang (X) Tingkat Hirarki

1 I X > [median + (2*St Dev IPD)] Tinggi

2 II median < X < (2* St Dev) Sedang

3 III X < median Rendah

∗ Analisa Spasial

Adanya pewilayahan pembangunan di Kabupaten Bogor dimaksudkan untuk memfokuskan proses pembangunan di masing-masing wilayah. Akan tetapi hal ini menjadi kendala tersendiri mengingat lokasi dan medannya yang relatif berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat spesifik untuk setiap wilayah tersebut. Agar kebijakan tersebut lebih terarah, maka perlu informasi yang mudah diperoleh dan tepat. Untuk itu maka salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan sistem informasi geografis untuk wilayah bersangkutan.

Analisa spasial berguna untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai suatu wilayah. Selain itu juga dapat memetakan permasalahan-permasalahan yang ada untuk dianalisa secara spasial sehingga keterkaitan antar wilayah dapat dianalisa dengan lebih mudah dan akurat. Sebagai dasar pemetaan,


(42)

diperoleh dari pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang juga akan digunakan sebagai peta master.

Analisa spasial yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada analisa melalui sisitem informasi geografis berdasarkan data-data peta yang ada seperti peta jaringan jalan, peta sungai, peta status kawasan hutan, peta kelerengan dan peta administrasi dan yang berkaitan dengan hiraki wilayah dan selain itu juga digunakan untuk mengetahui jarak dari masing-masing unit contoh terhadap pusat (pusat kegiatan ekonomi yaitu Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi dan Bogor sebagai kota yang berada di tengah-tengah kebupaten Bogor).

Untuk melakukan tipologi wilayah di Kabupaten Bogor, dilakukan analisa

gerombol (clutering)dari data-data atribut yang diekstrak dari peta yaitu meliputi

kepadatan penduduk, densitas jalan, densitas sungai, kelerengan, jarak lurus setiap

pusat (centroid) desa terhadap Jakarta dan Kota Bogor dan hutan (status hutan).

Sebelum dilakukan clustering, data-data tersebut lebih dahulu distandardisasi

(standardized) selanjutnya dilakukan analisa gerombol. Hasil dari analisa ini adalah berupa tipologi wilayah berdasarkan data spasial yang ada dan akan

ditampilkan sebagai data-data spasial berupa peta-peta. Software yang digunakan

untuk melakukan analisa ini adalah ArcView GIS ver. 3.2.

Š Analisis Komponen Utama

Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah data dari PODES 2003 kuantitatif yang melalui proses rasionalisasi dan terdiri dari 71 variabel seperti yang tercantum pada Tabel 1. Variabel-variabel tersebut adalah variabel yang dapat mencirikan tipologi wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor.

Analisis komponen utama ini dilakukan beberapa kali hingga diperoleh nilai

PC Score terbaik, yaitu: PC Score g\dengan nilai akar ciri (eigenvalues) diatas


(43)

sepuluh; dan korelasi antar variabel-variabel asal dengan faktor-faktor baru pada

factor loading dapat diinterpretasikan secara logis.

Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan dasar dari PCA dan FA, yakni:

(1) Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan

variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.

(2) Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh

lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah. (Saefulhakim, 2004).

y Cluster Analysis (Analisis Gerombol)

Teknik pewilayahan merupakan salah satu teknik untuk membatasi wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik tertentu dari suatu hamparan wilayah. Teknik ini dapat mengadopsi konsep wilayah yang telah berkembang, seperti konsep wilayah nodal atau konsep wilayah homogen.

Secara umum, teknik pewilayahan ini mengadopsi konsep klasifikasi sebagaimana diadopsi oleh ilmu taksonomi. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya konsep klasifikasi ini adalah mengelompokkan berbagai unit pengamatan (spesies hewan, tanaman, tanah, atau wilayah) berdasarkan kemiripan/ kedekatan karakteristiknya.

Teknik klasifikasi wilayah yang akan digunakan menggunakan bantuan teknik analisis multivariabel dengan Analisis Gerombol. Secara umum terdapat dua metode penggerombolan dalam analisis gerombol ini yaitu: (1)

metode berhirarki (hierarchical clustering method) dan (2) metode tak


(44)

∑ = p

i 1

X

Y

2

2 / 1

(

)

⎭⎬

⎩⎨

j i

= D

Metode berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol yang akan ditentukan sudah diketahui. Misalnya orde pembangunan wilayah yang secara umum diketahui berjumlah lima, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah, atau tiga yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengklasifikasian selanjutnya akan dilakukan berdasarkan jumlah yang kita inginkan tersebut. Unit-unit analisis yang dikelompokkan akan bergerombol sesuai dengan kedekatan/ kemiripan karakteristiknya masing-masing.

Sedangkan metode tidak berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol belum diketahui. Penggerombolan selanjutnya dilakukan terhadap seluruh unit berdasarkan seluruh karakteristik yang diamati. Selanjutnya berdasarkan kenampakan hasil penggerombolan ditentukan pemotongan seberapa banyak gerombol yang akan digunakan.

Sebelum melakukan penggabungan data perlu dihitung terlebih dahulu jarak antara dua data atau jarak antara dua gerombol data dengan ciri yang serupa. Untuk dapat dilakukan penggerombolan diperlukan suatu skala pengukuran yang sama. Jika skala data tidak sama maka data perlu ditransformasikan dalam suatu bentuk skor tertentu yang disebut jarak baku. Dalam analisis gerombol dikenal terdapat beberapa ukuran jarak antara lain : jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak kuadrat eucledian, jarak manhattan (city-block), jarak chebycev, power distance, dan percent disagreement.

Ukuran jarak yang sering digunakan adalah jarak eucledian (Eucledian

distance). Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua gerombol adalah:

dimana:

Xi = pusat data dari gerombol X


(45)

Nilai D merupakan jarak antara titik data/gerombol X dan Y. Makin kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Dalam analisis gerombol ini tidak dilakukan ortogonalisasi variabel akan tetapi dilakukan standardisasi data mentah yang ada sebelum dilakukan penggerombolan. Hal ini pengaruh multikolinearitas sangat kecil sehingga dapat diabaikan apabila data sudah distandardisasi (Johnson & Wichern 1998).

3. Discriminant Analysis

Analisis diskrimanan merupakan salah satu analisis multivariabel untuk menentukan variabel mana yang membedakan secara nyata kelompok-kelompok yang telah ada secara alami. Dengan kata lain analisis diskriminan digunakan untuk menentukan variabel yang mana yang merupakan penduga terbaik dari pembagian kelompok-kelompok yang ada.

Penentuan dalam analisis diskriminan ini dapat dinyatakan berbalikan

dengan metode penentuan dalam analisis gerombol (cluster analysis). Jika

analisis gerombol (khususnya gerombol unit) menentukan gerombol dari ciri-ciri yang diduga mirip, maka analisis diskriminan ini menentukan dengan kelompok yang sudah tentu yang terbentuk secara alamiah ingin ditentukan variabel yang mana yang sebenarnya secara nyata membedakan kelompok-kelompok tersebut.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis diskriminan ini antara lain:

1. Data contoh merupakan data multivariabel yang menyebar normal.

Walaupun demikian, jika syarat penyebaran normal ini tidak dipenuhi, perbedaan hasil pengujian tidak ‘fatal’. Artinya hasil pengujian masih layak untuk dipercaya.

2. Matriks ragam (variances) atau peragam (covariances) variabel antar

kelompok bersifat homogen. Jika terdapat deviasi kecil masih bisa diterima. Oleh karena itu, akan lebih baik jika sebelum menggunakan


(46)

hasil pengujian terlebih dahulu dilihat lagi nilai korelasi dan ragam variabel dalam setiap kelompoknya.

3. Tidak terdapat korelasi antara nilai tengah variabel antar kelompok

dengan nilai ragam atau standar deviasinya.

4. Variabel yang digunakan tidak bersifat ”redundant”. Jika kondisi ini tidak

terpenuhi maka matrik tersebut disebut singular, yaitu matrik yang tidak mempunyai determinan. Matriks yang singular tersebut tidak dapat diinverskan.

5. Nilai toleransi seharusnya tidak mendekati 0. Di dalam analisis

diskriminan akan dilakukan pengujian terhadap kondisi redundant yang

diharapkan tidak terjadi yang disebut dengan pengujian nilai toleransi.

Nilai toleransi ini dihitung dengan persaman 1 - R2 . Jika kondisi

redundat terjadi, maka nilai toleransi akan mendekati 0.

Fungsi yang terbentuk sebenarnya mirip dengan fungsi regresi. Dalam hal ini variabel bebas (Y) adalah resultan skor klasifikasi. Sedangkan variabel tak bebasnya (X) adalah variabel-variabel yang digunakan sebagai penduga.

Skor = a + b1X1 + b2X2 + bmXm

Variabel dengan nilai koefisien regresi terbesar merupakan variabel yang mempunyai peranan terbesar dalam membedakan kelompok-kelompok yang ada.

Hasil pengolahan statistik ini akan menghasilkan tipologi wilayah yang

kemudian dibuat peta tipologi wilayah yang akan dioverlay dengan data-data

fisik wilayah untuk kemudian dilakukan analisis deskripsi.

4. Analisis Regrasi Berganda (Multiple Regression)

Analisis ini merupakan analisis regresi dimana beberapa variabel dependent (y1, y2,...,yp) diukur dan diregresikan terhadap variabel


(47)

independent (x1,...,xk) Model umum untuk analisis regresi berganda ini adalah (Srivastava, 2002):

y = ε1x1 + . . . + εkxk + e

dimana y adalah respon atau variabel dependen yang nilainya tergantung dari

k variabel independen x1,...,xk. Diasumsikan bahwa nilai variabel bebas

diketahui dan nilai ε1,..., εk belum diketahui yang dinamakan parameter

regresi. Untuk menghasilkan model yang dapat digunakan sebagai penduga yang baik maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi adalah :

a. E(e) = 0

b. E(e2) = σ2

c. Tidak ada korelasi antar variabel sehingga Kov (yi,yj) = kov(ei,ej) = 0, i ≠j

Analisis regresi berganda dilakukan untuk merumuskan model pendugaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan desa. Data yang diperlukan dalam analisis ini adalah data IPD sebagai

variabel tujuan dan PC Score sebagai variabel penjelas dengan metode

Forward Stepwise..

5. Canonical correlation

Suatu korelasi kanonikal adalah korelasi dari dua set variabel, satu merupakan variabel bebas dan yang lain adalah variabel dependent. Dalam analisa korelasi kanonik ini ada beberapa asumsi yang harus diperhatikan. Pertama adalah distribusi sampel. Tes signifikansi dari korelasi kanonik didasarkan pada asumsi bahwa distribusi dari variabel pada populasi menyebar normal. Kedua, ukuran sampel, dimana semakin besar ukuran sampel maka hasil dari analisa korelasi kanonik akan semakin sempurna. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk interpretasi yang baik, jumlah sampel hendaknya 20 kali jumlah variabelnya. Ketiga adalah pencilan. Pencilan ini mempunyai pengaruh terhadap besarnya koefisien korelasi kanonik. Untuk itu hendaknya pencilan ini dapat diketahui sebelumnya.


(48)

Keempat adalah matriks harus mempunyai invers atau bukan matriks singular (Statsoft 2005). Selain itu, pengukuran dilakukan pada unit sampling yang sama (Rencher 1996).


(49)

1 Melakukan tipologi wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan data-data spasial wilayah

Peta kelas lereng, peta landuse, peta jaringan jalan, peta status hutan, peta sungai. Data diambil dari Peta Topografi Tahun 1999 dan Pemda Kabupaten Bogor Tahun 2003.

Clustering terhadap data atribut

Tipologi Wilayah berdasarkan data-data spasial (data atribut)

2 Mengetahui keterkaitan dan perbedaan antar

variabel-variabel/ indikator-indikator pembangunan

Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003

- Factor Analysis - Regrasi Berganda

Hubungan antar variabel/indikator pembangunan

3 Mencari variabel-variabel penentu utama yang menyebabkan terjadinya disparitas wilayah di Kabupaten Bogor

Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003

Discriminant Analysis Canonical Correlation

Variabel penentu utama yang menyebabkan disparitas wilayah

4 Kontribusi variabel-variabel tersebut terhadap ketertinggalan wilayah tersebut

Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003

Discriminant Analysis Canonical Correlation

Besarnya kontribusi variabel penentu utama terhadap disparitas wilayah


(50)

Keadaan Umum Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan wilayah dari Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Banten dan bagian dari wilayah Jabotabek. Secara geografis, Kabupaten Bogor terletak pada 6º18’10” – 6º47’10” lintang selatan dan 106º23’45” – 107º13’30” bujur timur. Ibukota kabupaten terletak di Cibinong. Luas wilayah berdasarkan data terakhir adalah 298.027 hektar. Adapun batas-batas wilayah ini adalah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah utara, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat serta Kota Bogor yang berada di tengahnya.

Kabupaten Bogor terdiri dari 35 kecamatan dengan 425 desa dan kelurahan, 3.286 RW, 12.535 RT dan 804.455 rumah tangga. Dari jumlah desa tersebut, dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu desa kota dan desa perdesaan yang masing-masing berjumlah 200 dan 225 desa. Desa kota mempunyai dua pola kawasan, yaitu yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar dan yang tidak berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar (cenderung bersifat penduduk komuter) sedang desa perdesaan mempunyai empat pola kawasan yaitu pemukiman sekitar sawah beririgasi teknis, pemukiman sekitar hutan, pemukiman sekitar perkebunan besar dan pemukiman sekitar kebun campuran, tegalan atau sawah tidak beririgasi teknis.

Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor hingga akhir tahun 2003 tercatat sebanyak 3.340.151 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.695.001 jiwa dan perempuan sebanyak 1.645.150 jiwa dan kepadatan penduduk rata-rata sebanyak 1.427 jiwa per km2. Tingkat kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor sangat bervariasi dari yang relatif rendah yaitu Kecamatan Cariu (329 jiwa per km2) hingga yang sangat relatif tinggi yaitu Kecamatan Ciomas (6.515 jiwa per km2).


(51)

Tabel 4 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2003

Kode Kecamatan Jumlah

Penduduk (Jiwa)

Luas wilayah (km2)

Kepadatan (Jiwa/km2)

010 Nanggung 72.859 180.25 404

020 Leuwiliang 144.727 110.01 1 316

030 Pamijahan 113 008 83.74 1 349

040 Cibungbulang 106 520 45.77 2 327

050 Ciampea 154 593 70.38 2 197

060 Dramaga 75 185 28.24 2 662

070 Ciomas 99 660 15.30 6 515

071 Tamansari 66 743 44.55 1 498

080 Cijeruk 127 280 53.14 2 395

090 Caringin 95 438 53.40 1 787

100 Ciawi 66 677 64.33 1 037

110 Cisarua 93 661 85.91 1 090

120 Megamendung 78 211 59.88 1 306

130 Sukaraja 124 185 42.63 2 913

140 Babakan Madang 124 197 87.85 1 414

150 Sukamakmur 65 384 164.39 398

160 Cariu 91 673 278.25 329

170 Jonggol 91 140 154.11 591

180 Cileungsi 139 607 81.81 1 707

181 Klapanunggal 61 093 67.38 907

190 Gunung Putri 126 665 75.90 1 669

200 Citeureup 119 730 61.60 1 944

210 Cibinong 162 195 42.74 3 795

220 Bojonggede 195 828 56.71 3 453

230 Kemang 69 713 29.40 2 371

231 Rancabungur 41 820 16.09 2 600

240 Parung 69 713 25.91 2 691

241 Ciseeng 80 492 43.95 1 831

250 Gunung Sindur 66 266 48.88 1 356

260 Rumpin 97 973 126.75 773

270 Cigudeg 103 911 187.92 553

271 Sukajaya 50 505 132.71 381

280 Jasinga 93 318 187.69 497

290 Tenjo 55 467 93.87 591

300 Parungpanjang 83 527 78.84 1 059

Kabupaten Bogor 3 408 810 2 980.27 1 144


(52)

Berdasarkan data jumlah penduduk di atas, jika dikelompokkan ke dalam tiga wilayah, yaitu barat, tengah dan timur maka kepadatan penduduk rata-ratanya secara berturut-turut adalah sebagai berikut 1.041 jiw/km2, 2.370 jiw/km2, 934 jiw/km2. Terlihat bahwa konsentrasi penduduk berada di wilayah tengah sebesar 2.28 kali dari kepadatan di wilayah barat dan 2.54 kali di wilayah timur.

Tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah tengah ini selain karena adanya pusat pemerintahan yang berlokasi di Kecamatan Cibinong juga karena faktor spasial yang cenderung lebih dekat dengan Kota Bogor dengan aksesibilitas yang lebih baik dan keadaan dimana Kota Bogor ini juga merupakan titik awal dari pintu masuk menuju Jakarta melalui Terminal Bis di Baranang Siang ataupun Stasiun Kereta Api Bogor.

Pengembangan Wilayah

Dalam rangka menurunkan tingkat disparitas antar wilayah, maka pengembangan wilayah Kabupaten Bogor dibagi dalam tiga wilayah pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan. Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga Wilayah Pembangunan, yaitu: 1. Wilayah Pembangunan Barat yang meliputi sebelas kecamatan, yaitu

Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan, dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha.

2. Wilayah Pembangunan Tengah yang meliputi delapan belas kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur,


(1)

No Desa Kecamatan Klaster

270 Pasarean Pamijahan 2

271 Bojong Sempu Parung 2

272 Cogreg Parung 2

273 Iwul Parung 2

274 Jambon Mekar Parung 2

275 Cikunar Parungpanjang 2

276 Cikupa Parungpanjang 2

277 Dago Parungpanjang 2

278 Gintung Cilejet Parungpanjang 2

279 Gorowong Parungpanjang 2

280 Jagakita Parungpanjang 2

281 Kabasiran Parungpanjang 2

282 Lumpang Parungpanjang 2

283 Pingku Parungpanjang 2

284 Bantar Jaya Rancabungur 2

285 Bantar Sari Rancabungur 2

286 Candali Rancabungur 2

287 Mekarsari Rancabungur 2

288 Pasir Gaok Rancabungur 2

289 Ranca Bungur Rancabungur 2

290 Cibodas Rumpin 2

291 Cidokom Rumpin 2

292 Cipinang Rumpin 2

293 Kampung Sawah Rumpin 2

294 Kerta Jaya Rumpin 2

295 Mekar Sari Rumpin 2

296 Rabak Rumpin 2

297 Sukamulya Rumpin 2

298 Sukasari Rumpin 2

299 Taman Sari Rumpin 2

300 Kiara Pandak Sukajaya 2

301 Sukajaya Sukajaya 2

302 Pabuaran Sukamakmur 2

303 Cadas Ngampar Sukaraja 2

304 Cibenon Sukaraja 2

305 Cikeas Sukaraja 2

306 Cilebut Barat Sukaraja 2

307 Cilebut Timur Sukaraja 2

308 Gunung Geulis Sukaraja 2

309 Nagrak Sukaraja 2

310 Pasir Jambu Sukaraja 2

311 Pasir Laya Sukaraja 2

312 Sukaraja Sukaraja 2

313 Sukatani Sukaraja 2

314 Pasir Eurih Tamansari 2


(2)

Lampiran 9 Lanjutan

No Desa Kecamatan Klaster

316 Sukajadi Tamansari 2

317 Sukajaya Tamansari 2

318 Sukamantri Tamansari 2

319 Sukaresmi Tamansari 2

320 Batok Tenjo 2

321 Bojong Tenjo 2

322 Cilaku Tenjo 2

323 Ciomas Tenjo 2

324 Singabangsa Tenjo 2

325 Singabraja Tenjo 2

326 Bojong Koneng Babakan Madang 3

327 Cijayanti Babakan Madang 3

328 Karang Tengah Babakan Madang 3

329 Cinagara Caringin 3

330 Tangkil Caringin 3

331 Antajaya Cariu 3

332 Buanajaya Cariu 3

333 Cibadak Cariu 3

334 Cikutamahi Cariu 3

335 Selawangi Cariu 3

336 Sirnarasa Cariu 3

337 Sirnasari Cariu 3

338 Sukarasa Cariu 3

339 Tanjung Sari Cariu 3

340 Gunung Malang Ciampea 3

341 Tapos 1 Ciampea 3

342 Bojong Murni Ciawi 3

343 Cibedug Ciawi 3

344 Citapen Ciawi 3

345 Argapura Cigudeg 3

346 Bangunjaya Cigudeg 3

347 Banyu Asih Cigudeg 3

348 Banyu Resmi Cigudeg 3

349 Banyu Wangi Cigudeg 3

350 Batu Jajar Cigudeg 3

351 Cigudeg Cigudeg 3

352 Cintamanik Cigudeg 3

353 Mekarjaya Cigudeg 3

354 Renggasjajar Cigudeg 3

355 Suka Maju Cigudeg 3

356 Tegalega Cigudeg 3

357 Wargajaya Cigudeg 3

358 Ciburayut Cijeruk 3

359 Cijeruk Cijeruk 3


(3)

No Desa Kecamatan Klaster

361 Pasir Jaya Cijeruk 3

362 Tajur Malang Cijeruk 3

363 Tanjung Sari Cijeruk 3

364 Tugujaya Cijeruk 3

365 Batulayang Cisarua 3

366 Cibeureum Cisarua 3

367 Cilember Cisarua 3

368 Citeko Cisarua 3

369 Jogjogan Cisarua 3

370 Tugu Selatan Cisarua 3

371 Tugu Utara Cisarua 3

372 Hambalang Citeureup 3

373 Sukahati Citeureup 3

374 Tangkil Citeureup 3

375 Jugala Jaya Jasinga 3

376 Cibodas Jonggol 3

377 Sukajaya Jonggol 3

378 Sukanegara Jonggol 3

379 Bojong Klapanunggal 3

380 Cikahuripan Klapanunggal 3

381 Kelapa Nunggal Klapanunggal 3

382 Leuwikaret Klapanunggal 3

383 Ligar Mukti Klapanunggal 3

384 Kalong 2 Leuwiliang 3

385 Pabangbong Leuwiliang 3

386 Wangunjaya Leuwiliang 3

387 Kuta Megamendung 3

388 Megamendung Megamendung 3

389 Suka Galih Megamendung 3

390 Sukaresmi Megamendung 3

391 Bantar Karet Nanggung 3

392 Cisarua Nanggung 3

393 Hambaro Nanggung 3

394 Malasari Nanggung 3

395 Nanggung Nanggung 3

396 Pangkal Jaya Nanggung 3

397 Sukaluyu Nanggung 3

398 Ciasih Pamijahan 3

399 Ciasmara Pamijahan 3

400 Cibunian Pamijahan 3

401 Gunung Bunder 1 Pamijahan 3 402 Gunung Bunder 2 Pamijahan 3

403 Gunungsari Pamijahan 3

404 Purwabakti Pamijahan 3


(4)

Lampiran 9 Lanjutan

No Desa Kecamatan Klaster

406 Leuwibatu Rumpin 3

407 Cileuksa Sukajaya 3

408 Cisarua Sukajaya 3

409 Harkatjaya Sukajaya 3

410 Kiarasari Sukajaya 3

411 Pasir Madang Sukajaya 3

412 Sipayung Sukajaya 3

413 Sukamulih/Sukamulya Sukajaya 3

414 Cibadak Sukamakmur 3

415 Sirnajaya Sukamakmur 3

416 Sukadamai Sukamakmur 3

417 Sukaharja Sukamakmur 3

418 Sukamakmur Sukamakmur 3

419 Sukamulya Sukamakmur 3

420 Sukaresmi Sukamakmur 3

421 Sukawangi Sukamakmur 3

422 Wargajaya Sukamakmur 3

423 Taman Sari Tamansari 3

424 Babakan Tenjo 3


(5)

NO DESA KECAMATAN

1 Malasari Nanggung

2 Bantar Karet Nanggung

3 Cisarua Nanggung

4 Pangkal Jaya Nanggung

5 Hambaro Nanggung

6 Sukaluyu Nanggung

7 Pabangbong Leuwiliang

8 Wangunjaya Leuwiliang

9 Kalong 2 Leuwiliang

10 Cibunian Pamijahan

11 Purwabakti Pamijahan

12 Ciasih Pamijahan

13 Gunung Bunder 2 Pamijahan 14 Gunung Bunder 1 Pamijahan

15 Tapos 1 Ciampea

16 Cisarua Sukajaya

17 Kiarasari Sukajaya

18 Harkatjaya Sukajaya

19 Sipayung Sukajaya

20 Sukamulih/Sukamulya Sukajaya

21 Suka Maju Cigudeg

22 Banyu Resmi Cigudeg

23 Banyu Wangi Cigudeg

24 Wargajaya Cigudeg

25 Cintamanik Cigudeg

26 Mekarjaya Cigudeg

27 Banyu Asih Cigudeg

28 Tegalega Cigudeg

29 Batu Jajar Cigudeg

30 Bangunjaya Cigudeg

31 Cileuksa Sukajaya

32 Pasir Madang Sukajaya

33 Jugala Jaya Jasinga

34 Tapos Tenjo

35 Pasir Jaya Cijeruk

36 Ciburayut Cijeruk

37 Cijeruk Cijeruk

38 Tanjung Sari Cijeruk

39 Tajur Malang Cijeruk

40 Tangkil Caringin

41 Cibedug Ciawi

42 Bojong Murni Ciawi

43 Batulayang Cisarua

44 Sukaresmi Megamendung


(6)

Lampiran 10 Lanjutan

NO DESA KECAMATAN

46 Kuta Megamendung

47 Bojong Koneng Babakan Madang 48 Karang Tengah Babakan Madang

49 Tangkil Citeureup

50 Cibadak Cariu

51 Tanjung Sari Cariu

52 Sirnasari Cariu

53 Sirnarasa Cariu

54 Buanajaya Cariu

55 Antajaya Cariu

56 Sukarasa Cariu

57 Cikutamahi Cariu

58 Cibadak Sukamakmur

59 Sukamulya Sukamakmur

60 Sirnajaya Sukamakmur

61 Wargajaya Sukamakmur

62 Sukawangi Sukamakmur

63 Sukaharja Sukamakmur

64 Sukaresmi Sukamakmur

65 Sukanegara Jonggol

66 Sukajaya Jonggol

67 Cibodas Jonggol

68 Leuwikaret Klapanunggal

69 Cikahuripan Klapanunggal