GERAKAN ANTI-TAMBANG LUMAJANG (Studi Kasus: Repertoar Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang)
GERAKAN ANTI-TAMBANG LUMAJANG
(Studi Kasus: Repertoar Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun
Kabupaten Lumajang)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata1 (S1) Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Di Susun Oleh: INDRA SANJAYA
20120520203
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
(2)
GERAKAN ANTI-TAMBANG LUMAJANG
(Studi Kasus: Repertoar Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata1 (S1) Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Di Susun Oleh: INDRA SANJAYA
20120520203
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
(3)
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
GERAKAN ANTI TAMBANG LUMAJANG
(Studi Kasus: Repertoar Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilawun Kabupaten Lumajang)
Oleh:
INDRA SANJAYA 20120520203
Telah dipertahankan dan disahkan didepan Tim Penguji Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Pada:
Hari/ Tanggal : Tempat :
Jam :
SUSUNAN TIM PENGUJI Ketua Penguji
Awang Darumurti, S.IP., M.Si Penguji I
Dr. Zuly Qodir
Penguji II
Erni Zuhriyati, S.IP,. M.Si Mengetahui,
Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan
(4)
HALAMAN PERNYATAAN
Nama : Indra Sanjaya Nomor Mahasiswa : 20120520203 Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar merupakan hasil karya sendiri, dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya dan atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Selanjutnya apabila dikemudian hari terbukti terdapat duplikasi, serta ada pihak lain yang merasa dirugikan dan menuntut, maka saya akan bertanggungjawab serta menerima segala konsekuensi yang menyertainya.
Yogyakarta, Desember 2016
Indra Sanjaya
(5)
HALAMAN MOTTO
(6)
HALAMAN PERSEMBAHAN
(7)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillahhirrobil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabat-sahabat yang selalu membantu perjuangan beliau untuk menegakkan Dinullah di muka bumi ini.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan memperoleh gelar sarjana (S1) pada jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Adapun judul dari skripsi ini adalah “Gerakan Anti Tambang Lumajang (Studi Kasus: Repertoar Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilawun Kabupaten Lumajang)”.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kata sempurna sehingga penulis dengan senang hati untu menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan pendidikan di masa yang akan datang. Penulis menyadari pula bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak lepas dari
(8)
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Awang Darumurti, S.IP., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan masukan, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Zuly Qodir selaku Dosen Penguji I yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Ali Muhammad, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Ibu Erni Zuhriyati, S.IP,. M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Titin Purwaningsih, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
6. Asman Abdullah sedari awal penyusunan skripsi ini telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan masukannya.
7. Pihak Laskar Hijau sebagai objek penelitian dalam skripsi ini (A’ak Abdullah, Ilal Hakim, Pak Imam, AM. Ridwan) yang sudah banyak memberikan informasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
8. Teman-teman di Intrans Publishing khusunya Abdurrahman Sofyan yang sudah bersedia memberikan tumpangan selama proses penelitian
(9)
9. Teman-teman di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Tunas Bangsa yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Hijau Hitam selalu di dalam hati dan tidak akan pernah terganti.
10.Teman-teman GGM, walaupun saya bukan bagian dari GGM tapi hanya kalian teman saya dikampus
11.Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, itu semua karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki dalam menyelesaikan penyusunan skirpsi ini. Untuk itu penulis meminta maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kita semua. Amin.
(10)
Demikianlah Kata Pengantar yang dapat penulis sampaikan, sekali lagi
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendo’akan penulis
selama menempuh Pendidikan Sarjana (S1) di Program Studi Ilmu Pemerintahan dan dalam penyusunan skripsi ini.
YAKIN USAHA SAMPAI!!!
Wassalamualaikum Wr.Wb
Yogyakarta, Desember 2016
Indra Sanjaya
(11)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
SINOPSIS ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Rumusan Masalah ... 9
3. Tujuan Penelitian ... 9
4. Manfaat Penelitian ... 9
4.1. Manfaat Teoritis ... 9
4.2. Manfaat Praktis ... 10
5. Kerangka Teori ... 10
5.1. Gerakan Sosial ... 10
5.2. Teori Repertoar ... 19
6. Definisi Konseptual ... 23
(12)
8. Metode Penelitian ... 24
8.1. Jenis Penelitian ... 24
8.2. Jenis Data ... 25
8.3. Teknik Pengumpulan Data ... 27
8.4. Teknik Analisis Data ... 29
9. Sistematika Pembahasan ... 30
BAB II PROFIL OBYEK PENELITIAN ... 31
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 31
1.1. Sejarah Singkat Kabupaten Lumajang ... 32
1.2. Kecamatan Yosowilangun ... 37
1.3. Desa Wotgalih ... 40
1.4. Dinamika Pertambangan di Desa Wotgalih ... 43
2. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 46
2.1. Latar Belakang Berdirinya Laskar Hijau ... 46
BAB III REPERTOAR PERLAWANAN LASKAR HIJAU TERHADAP PERTAMBANGAN PASIR BESI DI DESA WOTGALIH KECAMATAN YOSOWILANGUN KABUPATEN LUMAJANG ... 60
1. Laskar Hijau Sebagai Gerakan Sosial ... 59
1.1. Tantangan Kolektif ... 62
1.2. Tujuan Bersama ... 69
1.3. Solidaritas Kolektif dan Identitas Kolektif ... 73
1.4. Memelihara Politik Perlawanan ... 77
2. Repertoar Perlawanan Laskar Hijau... 83
2.1. Alasan Penolakan Terhadap Tambang ... 84
2.2. Bentuk-bentuk Perlawanan Laskar Hijau ... 87
BAB IV PENUTUP ... 119
(13)
2. Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA ... 123
(14)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Penduduk Kecamatan Yosowilangun Tahun 2012 ... 40
(15)
SINOPSIS
Penelitian ini menarasikan mengenai sebuah gerakan sosial yang dilakukan oleh Laskar Hijau dalam melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan pasir di Kabupaten Lumajang. Pertambangan selalu digambarkan dengan upaya menghadirkan kesejahteraan. Pasca peristiwa pembunuhan dan penganiayaan petani sekaligus aktivis anti-penambangan Salim Kancil dan Tosan, aktivitas pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang seketika menjadi sorotan publik.
Lokus dalam penelitian ini adalah gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau. Sekelompok masyarakat yang diorganisasikan untuk melakukan gerakan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang semakin kritis. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan rumusan Bagaimana Bentuk Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualititatif dengan metode pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa Laskar Hijau termasuk dalam kategori Gerakan Sosial dengan menggunakan beberapa kategori yakni: tantangan bersama; tujuan bersama; solidaritas kolektif dan identitas kolektif serta memelihara politik perlawanan.
Charles Tilly, yang mempelopori konsep repertoar perlawanan, menegaskan bahwa tanggapan rival perlawanan terhadap inisiatif dari para penentang harus dimasukan dalam komponen integral dalam repertoar perlawanan. Bentuk perlawanan Laskar Hijau mengalami perubahan bentuk dalam kurun waktu tertentu. Kondisi-kondisi yang menyebabkan Laskar Hijau melakukan perubahan bentuk perlawanan karena tanggapan dari pihak lawan dan menganggap bahwa bentuk perlawanan tersebut belum efektif untuk pencapaian tujuan bersama.
Beberapa bentuk perlawanan Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih adalah
pertama, bentuk perlawanan melalui dialog dengan pemerintah, bentuk perlawanan tersebut mengalami perubahan dikarenakan capaian tujuan yang diharapkan tidak tercapai dengan maksimal serta tanggapan dari pemerintah tidak sesuai yang di inginkan oleh Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih. Kedua, demontrasi masa menjadi bentuk perlawanan dominan selanjutnya. Bentuk perlawanan ini dipilih sebagai respon terhadap pemerintah dan pihak PT Antam serta warga pro tambang. Demonstrasi masa dilatarbelakangi oleh adanya kriminalisasi dan penganiayaan terhadap warga anti-tambang. Episode perlawanan ini mengalami tiga periode yang berbeda dengan membawa isu yang berbeda pula. Terakhir, penanaman sebagai bentuk aksi damai dan penegasan bahwa Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih tetap menolak pertambangan di desanya serta sebagai bukti bahwa Wotgalih akan lebih sejahtera bila dikelola sebagai lahan pertanian.
(16)
(17)
(18)
SINOPSIS
Penelitian ini menarasikan mengenai sebuah gerakan sosial yang dilakukan oleh Laskar Hijau dalam melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan pasir di Kabupaten Lumajang. Pertambangan selalu digambarkan dengan upaya menghadirkan kesejahteraan. Pasca peristiwa pembunuhan dan penganiayaan petani sekaligus aktivis anti-penambangan Salim Kancil dan Tosan, aktivitas pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang seketika menjadi sorotan publik.
Lokus dalam penelitian ini adalah gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau. Sekelompok masyarakat yang diorganisasikan untuk melakukan gerakan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang semakin kritis. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan rumusan Bagaimana Bentuk Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualititatif dengan metode pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa Laskar Hijau termasuk dalam kategori Gerakan Sosial dengan menggunakan beberapa kategori yakni: tantangan bersama; tujuan bersama; solidaritas kolektif dan identitas kolektif serta memelihara politik perlawanan.
Charles Tilly, yang mempelopori konsep repertoar perlawanan, menegaskan bahwa tanggapan rival perlawanan terhadap inisiatif dari para penentang harus dimasukan dalam komponen integral dalam repertoar perlawanan. Bentuk perlawanan Laskar Hijau mengalami perubahan bentuk dalam kurun waktu tertentu. Kondisi-kondisi yang menyebabkan Laskar Hijau melakukan perubahan bentuk perlawanan karena tanggapan dari pihak lawan dan menganggap bahwa bentuk perlawanan tersebut belum efektif untuk pencapaian tujuan bersama.
Beberapa bentuk perlawanan Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih adalah
pertama, bentuk perlawanan melalui dialog dengan pemerintah, bentuk perlawanan tersebut mengalami perubahan dikarenakan capaian tujuan yang diharapkan tidak tercapai dengan maksimal serta tanggapan dari pemerintah tidak sesuai yang di inginkan oleh Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih. Kedua, demontrasi masa menjadi bentuk perlawanan dominan selanjutnya. Bentuk perlawanan ini dipilih sebagai respon terhadap pemerintah dan pihak PT Antam serta warga pro tambang. Demonstrasi masa dilatarbelakangi oleh adanya kriminalisasi dan penganiayaan terhadap warga anti-tambang. Episode perlawanan ini mengalami tiga periode yang berbeda dengan membawa isu yang berbeda pula. Terakhir, penanaman sebagai bentuk aksi damai dan penegasan bahwa Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih tetap menolak pertambangan di desanya serta sebagai bukti bahwa Wotgalih akan lebih sejahtera bila dikelola sebagai lahan pertanian.
(19)
(20)
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Penelitian ini akan menarasikan mengenai sebuah gerakan sosial yang dilakukan oleh Laskar Hijau dalam melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang. Gerakan yang berdiri di latar belakangi oleh kerusakan lingkungan hutan di Gunung Lemongan ini sedang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan nasib kaum tertindas dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang.
Lakar Hijau adalah sebuah gerakan yang berorientasi pada kelestarian lingkungan. Ketika lingkungan mengalami kerusakan akan berdampak besar kepada kehidupan manusia atau makhluk hidup lainnya. Ancaman terbesar bagi manusia akibat kerusakan lingkungan adalah tidak tersedianya lagi sumber daya guna menunjang kelanjutan hidup manusia. Permasalahan lingkungan tidak bisa ditinggal dan diabaikan begitu saja, maka dari itu terbentuklah Laskar Hijau di dasarkan atas fenomena kerusakan lingkungan hutan di Gunung Lemongan.
Pertambangan selalu digambarkan dengan upaya menghadirkan kesejahteraan. Ketika investasi pertambangan masuk dalam suatu daerah, dipercaya dapat membawa kesejahteraan berupa: sumbangan pendapatan
(21)
yang besar bagi pemerintah daerah; dan penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar daerah pertambangan. Namun, dalam beberapa kasus pertambangan pun selalu dibarengi dengan penolakan dari masyarakat yang daerahnya akan dijadikan sebagai lokasi pertambangan, seperti pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo, pertambangan dan pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang dan pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang.
Pasca peristiwa pembunuhan dan penganiayaan petani sekaligus aktivis anti-tambang Salim Kancil dan Tosan, aktivitas pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang seketika menjadi sorotan publik. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan telah banyak terjadi di Indonesia. Jutaan hektar hutan digunduli, gunung-gunung dikeruk, sungai-sungai yang tercemar merupakan salah satu akibat dari adanya pertambangan. Publik telah mengenal luas bagaimana kasus Lumpur Lapindo telah menghabisi kehidupan dan penghidupan warga Sidoarjo di puluhan desa hingga saat ini. Juga pencemaran Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, menjadi bukti begitu berbahayanya dampak pertambangan1.
Kasus pertambangan pasir di Kabupaten Lumajang, desa Selok Awar-Awar yang ditentang oleh beberapa kelompok petani termasuk Salim Kancil dan Tosan sejalan dengan alur argumen tersebut diatas. Dampak dari
1
Dwicipta & Hendra Try Ardianto, #Rembang Melawan: Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng, Yogyakarta: Literasi Press, 2005, hlm 39-40
(22)
pertambangan pasir tersebut adalah kerusakan lingkungan berupa rusaknya pesisir pantai Watu Pecak. Kerusakan tersebut tergambar dari banyaknya kolam-kolam raksasa akibat pertambangan pasir secara berlebihan dikawasan tersebut. Pasir terus dikeruk selama dua tahun lebih hingga meninggalkan lubang seluas lapangan sepak bola sedalam empat meter2. Selain itu, sawah warga setempat juga mengalami kerusakan. Dampak dari pertambangan pasir mengakibatkan irigasi pesawahan dan pertanian menjadi rusak sehingga lahan pertanian warga menjadi tandus dan tidak dapat ditanami padi kembali.
Merujuk pada teori terbentuknya aksi-aksi kolektif atau gerakan sosial yang dikemukakan oleh Giddens, Kornblum, berikut Light, Keller, dan Calhoum sebagaimana dikutip oleh Rizal A. Hidayat, menekankan pada penderitaan deprivasi (kehilangan, kekurangan dan penderitaan), misalnya dibidang ekonomi (hilangnya peluang untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan)3.
Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa dimana Salim Kancil terlibat didalamnya, merupakan suatu aksi kolektif atau gerakan sosial yang dilatarbelakangi oleh penderitaan deprivasi akibat dampak dari aktivitas
2 Heny Rahayu, “Pesisir Lumajang Rusak Akibat Tambang Liar” diakses dari http://www.benarnews.org/indonesian/berita/tambang-pasir-11052015122300.html pada tanggal 23/12/2015 pukul 19:23 WIB
3 Rizal A. Hidayat, “Gerakan Sosial sebagai Agen Perubahan Sosial”,
Jurnal Forum Ilmiah Indonusa, Vol.4, No.1. Jakarta: Universitas Esa Unggul, hlm 15
(23)
pertambangan liar di Desa Selok Awar-Awar yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Salim Kancil menolak aktivitas pertambangan liar di desanya dengan mendirikan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa. Forum ini melakukan Gerakan Advokasi Protes tentang Pertambangan Pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di desa mereka dengan cara bersurat kepada Pemerintah Desa Selok Awar-Awar, Pemerintah Kecamatan Pasirian bahkan kepada Pemerintah Kabupaten Lumajang4. Pada 9 September, forum melakukan aksi damai penyetopan aktivitas pertambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar yang menghasilkan surat pernyataan kepada Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan aktivitas pertambangan pasir5. Sehari sebelum Salim dibunuh, 25 September, forum merencanakan aksi penolakan tambang pasir pada Sabtu, 26 September6.
Lokus dalam penelitian ini adalah gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau. Sekelompok masyarakat yang diorganisasikan untuk melakukan gerakan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat
4
Harry Purwanto, Sepak Terjang Perjuangan Salim Kancil Melawan Penambang Liar, http://www.rappler.com/indonesia/107755-sepak-terjang-salim-kancil-dibunuh-lumajang, pada tanggal 24/12/2015 pukul 18:40
5
Ibid. diakses pada tanggal 24/12/2015 pukul 18:40 6
(24)
terhadap kondisi lingkungan yang semakin kritis7. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Kecamatan Klakah (tempat terbentuknya Laskar Hijau) adalah kerusakan hutan di Gunung Lemongan yang mengakibatkan masyarakat sulit memenuhi kebutuhan air bersih8.
Laskar Hijau adalah gerakan penghijauan yang dilakukan oleh masyarakat Klakah untuk melestarikan kembali hutan Gunung Lemongan yang telah rusak. Sebelum terbentuk Laskar Hijau, mulanya kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh masyarakat Klakah tertuang dalam kegiatan Maulid Hijau. Maulid Hijau adalah kegiatan yang digagas dan diselenggarakan oleh masyarakat Klakah/masyarakat sekitar Ranu Klakah sebagai acara perayaan Maulid Nabi yang diikuti dengan kegiatan penghijauan.9
Melihat kondisi Ranu Klakah sudah mulai banyak ditumbuhi pepohonan, masyarakat Klakah mulai belajar untuk membangun organisasi dan manajemen pengelolaan sebuah kegiatan melalui praktek langsung. Mereka terus melakukan penghijauan beralih ke kawasan hutan Gunung Lemongan yang telah gundul. Karena penghijauan di Gunung Lemongan tidak hanya membutuhkan waktu insidentil seperti di Ranu Klakah ini yang penghijauannya hanya bulan maulid, hari lingkungan dan hari bumi. Tapi ketika Gunung Lemongan dengan luas hutan lindung sekitar 2000 hektar
7 Siti Huzaimah, “Gerakan L
askar Hijau dalam Upaya Pelestarian Hutan Gunung Lemongan Klakah Lumajang”, Skirpsi UNEJ, Jember: Universitas Jember, hlm 52
8
Ibid. hal 50 9
(25)
lebih itu maka harus intens, karena itu harus dibentuk tim yaitu Laskar Hijau. Pada tanggal 28 Desember 2008 tepatnya terbentuk sebuah komunitas peduli lingkungan yang menamakan dirinya sebagai Laskar Hijau.10
Dalam perkembangan studi gerakan sosial. Gerakan sosial lingkungan hidup ditandai dengan munculnya konsep ekosentrisme. Konsep ini menjadi penentang dari konsep antroprosentrisme. Konsep antroprosentrisme menjadi konsep dominan ketika itu, konsep ini menempatkan manusia sebagai subjek untuk menjadikan alam semesta sebagai sebuah objek penaklukan. Sedangakan konsep ekosentrisme berpandangan bahwa manusia tidak merasa tinggi dari makhluk hidup lainnya karena satu dengan yang lain saling membutuhkan didalam sebuah system besar alam semesta. Manusia memiliki kewajiban menjaga keseimbangan untuk menjaga keberlanjutan kehidupannya sendiri secara bersamaan bertujuan untuk memenuhi hak makhluk hidup lainnya untuk dihargai keberadaanya11.
Provinsi Jawa Timur adalah salah satu daerah yang mempunyai potensi kekayaan alam berupa hasil tambang yang melimpah dan salah satunya di kawasan Pantai Meleman Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang. Kabupaten Lumajang sendiri terdiri
10
Ibid., hal 48 11
Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm 63-67
(26)
dari dataran yang subur yang diapit oleh tiga Gunung yaitu Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Lamongan. Wilayahnya mempunyai potensi cadangan pasir besi paling luas di Indonesia dengan potensi bahan galian golongan C yang berupa jenis pasir, batu, coral dan sirtu. Selain itu, Kabupaten Lumajang memiliki potensi bahan galian golongan B yang berupa pasir besi, intan dan emas. Potensi bahan galian golongan C dan golongan B ini diperkirakan berasal dari semburan Gunung Semeru yang masih aktif, yang dibawa air sungai hingga ke laut. Partikel zat besi kemudian menjadi pasir besi di tepi pantai dan salah satunya berada di tepi Pantai Meleman di Desa Wotgalih. Potensi bahan galian golongan C dan golongan B jumlahnya terus bertambah seiring dengan aktivitas vulkanis Gunung Semeru yang aktif mengeluarkan material kurang lebih 1 juta M3 /tahun.12
Pemerintah Kabupaten Lumajang memberikan ruang kepada PT Antam (Aneka Tambang) dengan mengeluarkan ijin pertambangan pasir besi di Desa Wotgalih PT Antam sendiri sebelumnya pernah malakukan kegiatan pertambangan di Desa Wotgalih, namun kegiatan tersebut tidak berlangsung lama, hanya 3 tahun (1998-2001). Kegiatan tersebut berhenti di tengah jalan karena dianggap kurang menguntungkan secara ekonomis. Pada tahun 2009 ketika harga jual pasir besi melambung tinggi di pasar internasional, PT ANTAM mengajukan permohonan ijin pertambangan
12ST Risalatul Ma’rifah, dkk, “Konflik Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang Tahun 2010-2011” diakses dari
(27)
kepada pemerintah Kabupaten Lumajang. Permohonan ijin tersebut digunakan sebagai perpanjangan kontrak usaha yang sebelumnya pernah dilakukan.13
Ijin perpanjangan kontrak yang akan dilakukan oleh PT Antam dalam kegiatan pertambangan pasir besi di Desa Wotgalih ditolak oleh masyarakat. Penolakan dilakukan dengan mendatangi Kantor Pemkab Lumajang, Kantor Balai Desa Wotgalih, dan Kantor Pengadilan Negeri Lumajang. Alasannya Desa Wotgalih merupakan kawasan hutan lindung yang tidak dapat dialihfungsikan sebagai tameng tsunami. Selain itu, masyarakat juga khawatir jika pertambangan terus dilakukan akan terjadi kerusakan lingkungan dan pencemaran dari limbah yang ditimbulkan14.
Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini akan berfokus pada gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau sebagai organisasi peduli lingkungan terhadap aktivitas pertambangan pasir di Kabupaten Lumajang. Dengan memahami pola-pola gerakan sosial yang dilakukan oleh Laskar Hijau dalam merespon aktivitas pertambangan pasir di Kabupaten Lumajang. Inilah yang akan menjadi indikator dari bentuk perlawanan Laskar Hijau terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang.
13
Ibid., diakses pada 14/02/2016 Pukul 15:02 WIB 14
(28)
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas maka Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1.Apa Saja Bentuk Perlawanan Laskar Hijau Terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang?
3. Tujuan Penelitian
3.1.Untuk mengetahui bentuk perlawanan Laskar Hijau terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang.
3.2.Untuk memahami bentuk perlawanan Laskar Hijau terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang.
4. Manfaat Penelitian 4.1.Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik. Serta, penelitian ini mampu memperkaya khazana bagi Studi Ilmu Pemerintahan, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan studi Gerakan Sosial.
(29)
4.2.Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi Gerakan-gerakan Sosial lainnya dalam melakukan aktivitas-aktivitas kolektif yang bertujuan melakukan perubahan sosial. 2. Serta dapat memberikan pemahaman teoritis kepada masyarakat
tentang studi gerakan sosial dan pentingnya akan kesadaran lingkungan.
5. Kerangka Dasar Teori 5.1.Gerakan Sosial
Pemberontakan terjadi karena adanya ketidakpuasan, ketidakadilan, perampasan hak, dan tindakan kekerasan oleh penguasa atau negara15. Tanpa adanya ketidakpuasan, gerakan sosial pun tidak mungkin tercipta16. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial, dan digaungkan atau disuarakan oleh resonansi kultural, dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan menjadi matang, dan melahirkan gerakan sosial yang berupa pemberontakan17.
Terdapat beberapa pendekatan untuk memahami teori-teori gerakan sosial. Hasanudin18 menjelaskan beberapa pendekatan teoritis yang berbeda dalam gerakan sosial dapat didefinisikan sesuai dengan
15
Syamsu A. Kamaruddin. Pemeberontakan Petani Unra 1943, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.16, No.1, Makasar: Universitas Veterang Republik Indonesia, 2012, hal 22 16
Ibid. hlm 22 17
Ibid, hlm 22 18
(30)
penekanan pada salah satu diantara empat faktor ini: ketidakpuasan, sumber daya, peluang politis, atau proses-proses konstruksi pemaknaan. Selain itu gerakan sosial telah dikonspetualisasikan sebagai epifenomena dari societal breakdown (perpecahan masyarakat), sebagai kegiatan politik dengan cara lain, atau sebagai kolektivitas di dalam pencarian identitas (baru)19. Penekanan pada faktor ketidakpuasan bersesuaian dengan teori perpecahan (breakdown theories); sumber daya dan peluang cocok dengan pandangan tentang gerakan sebagai tindakan politik dengan cara lain; dan konstruksi makna dan pembentukan identitas adalah konsep yang serumpun20.
Giddens mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective actions) diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan21. Sedangkan Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang wewenang22.
Faktor penyebab terjadinya gerakan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Giddens, Kornblum, berikut Light, Keller dan
19
Ibid, hlm 62 20
Ibid, hlm 62 21
Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.10, No.1, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006, hlm 3
22
(31)
Calhoun menekankan pada penderitaan devripasi (kehilangan, kekurangan dan penderitaan), misalnya dibidang ekonomi (hilangnya peluang untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan)23. Menurut James Davies dengan konsep devripasi relative-nya mengemukakan bahwa meskipun tingkat kepuasan masyarakat meningkat terus, namun mungkin saja terjadi kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi24. Kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan yang diinginkan masyarakat dengan apa yang diperoleh secara nyata, inilah yang dinamakan devripasi relatif25.
Untuk memahami konsep gerakan sosial, kita tidak dapat melepaskan konsep proses terbentuknya masyarakat dalam kemunculan gerakan sosial. Sifat imanen dari gerakan sosial dan kondisi-kondisi sosial dasar yang menumbuhkan gerakan sosial cenderung terletak begitu dalam dan tak terpisahkan dengan kontradiksi-kontradikisi dan konflik-konflik struktur sosial yang relative permanen, yang secara umum tak terelakan dan terus ada dalam proses pembentukan masyarakat26. Kontadiksi-kontradiksi dan konflik-konflik sosial
23 Rizal A. Hidayat, “Gerakan Sosial sebagai Agen Perubahan Sosial”,
Jurnal Forum Ilmiah Indonusa, Vol.4, No.1. Jakarta: Universitas Esa Unggul, hlm 15
24
Ibid, hlm 15 25
Ibid, hlm 15 26
(32)
merupakan sesuatu yang inheren dalam hakekat pembentukan masyarakat dan organisasi sosial27.
Menjadi sebuah masyarakat merupakan sebuah proses yang melibatkan bukan saja sebuah peningkatan perlindungan dan keamanan kelompok-kelompok dan individu-individu dalam latar masyarakat yang bersifat konsensus, namun juga melibatkan proses pengikisan kebebasan dan kemerdekaan memilih pada diri individu28. Penggunaaan kekuatan koersif dan tirani oleh beberapa individu dan kelompok untuk mengkoloni manusia-manusia bebas yang terpencar-pencar dalam sebuah sistem pendudukan, kontrol, dan hukuman menjadi bahan material dasar (yang bersifat konfliktual) yang secara umum ada dalam proses pembentukan masyarakat manusia29. Kekuatan-kekuatan inilah yang secara umum melahirkan konsepsi tatanan sosial.
Sistem koersi dan kontrol, dan penerapannya pada individu-individu dengan mengatasnamakan tatanan sosial, perdamaian dan harmoni sosial memiliki kecenderungan yang tak terelakan untuk menghasilkan sistem pertentangan dan konflik dalam masyarakat30. Situasi-situasi ketimpangan dan dominasi sosial, jika dijalankan dan dipertahankan oleh institusi-institusi dan lembaga-lembaga sosial, pada
27
Ibid, hlm 16 28
Ibid, hlm 18 29
Ibid, hlm 18 30
(33)
gilirannya akan menghasilkan sebuah situasi balik dimana terjadi perlawanan, penolakan dan pemberontakan menentang system-sistem dominasi tersebut31.
Dalam perkembangannya, tidak semua aksi-aski kolektif dapat dikatakan sebagai gerakan sosial. Bagi Tarrow, konsep gerakan sosial harus memiliki empat properti dasar32.
a. Tantangan kolektif (collective challenge)
Tantangan kolektif seringkali ditandai oleh tindakan mengganggu, menghalangi, atau membuat ketidakpastian terhadap aktivitas-aktivitas pihak lain. Dalam system represif, tantangan kolektif disimbolisasikan lewat slogan, corak pakaian dan musik, atau penamaan baru objek-objek familiar dengan symbol yang berbeda atau baru.
Tantangan kolektif merupakan karakteristik paling umum dari gerakan sosial. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa gerakan sosial biasanya kurang memiliki sumberdaya yang stabil (dana, organisasi, akses terhadap negara). Dalam menghampiri konstituen baru dan menegaskan klaim-klaim mereka, penentangan (contention) mungkin hanya satu-satunya
31
Ibid, hlm 19 32
Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vo.10, No.1, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006, hlm 5-7
(34)
sumberdaya gerakan yang bisa dikuasai. Karena itu, gerakan mempergunakan tantangan kolektif untuk menjadi focal point (titik fokus) bagi para pendukung, memperoleh perhatian dari kubu yang dilawan dan pihak ketiga, dan menciptakan konstituen untuk diwakili.
b. Tujuan bersama
Ada banyak alasan bisa dikemukakan tentang mengapa orang bergabung dalam suatu gerakan sosial, dari sekedar keinginan nakal, mencemooh otoritas hingga insting gerombolan yang tidak jelas tujuannya. Namun, jjika ada alasan yang paling jelas mengapa orang terikat bersama dalam gerakan adalah untuk menyusun klaim bersama menetang pihak lawan, pemegang otoritas, atau para elit. Tidak semua konflik semacam itu muncul dari kepentingan kelas, tetapi nilai dari kepentingan bersama dan tumpang tindih merupakan basis dari tindakan-tindakan bersama.
c. Solidaritas dan identitas kolektif
Sesuatu yang menggerakan secara bersama-sama (common denominator) dari gerakan sosial adalah pertimbangan partisipan tentang kepentingan bersama yang kemudian mengantarai perubahan dari sekedar potensi gerakan menjadi aksi nyata. Dengan cara menggerakan konsesus, perancang
(35)
gerakan memainkan peran penting dalam merangsang munculnya konsesnsus semacam itu. Namun, para pemimpin hanya dapat menciptakan suatu gerakan sosial ketika mereka menggali lebih dalam perasaan-perasaan solidaritas atau identitas, yang biasanya bersumber dari nasionalisme, etnisitas, atau keyakinan agama.
d. Memelihara politik perlawanan
Hanya dengan cara memelihara aksi kolektif melawan pihak musuh, suatu episode perlawanan bisa menjadi gerakan sosial. Tujuan kolektif, identitas bersama, dan tantangan yang dapat diidentifikasi membantu gerakan untuk memelihara politik perlawanan ini. Sebaliknya, jika mereka tidak mampu memelihara tantangan bersama, maka gerakan mereka akan menguap menjadi semacam kebencian atau kemarahan individu, atau berubah menjadi sekte religious, atau mungkin menarik diri ke dalam isolasi. Karena itu, memelihara aksi kolektif dalam interaksi dengan pihak lawan yang kuat menandai titik pergeseran dimana suatu penentangan (contention) berubah menjadi suatu gerakan sosial.
Dengan demikian, gerakan sosial perlu dibedakan dengan aksi-aksi kolektif. Setidaknya gerakan sosial memiliki empat properti dasar yang ditawarkan Tarrow diatas. Selain itu, pembeda anatara gerakan
(36)
sosial dan aksi kolektif lainnya yaitu, gerakan sosial merupakan gerakan terorganisir yang mempunyai misi khusus dalam setiap aksinya dan memiliki strategi yang telah dirumuskan sebelumnya. Gerakan sosial juga dilakukan dengan penuh pertimbangan dalam pembentukannya dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Terakhir, gerakan sosial cenderung bertahan lama dan bisa berlangsung sampai kurun waktu bertahun-tahun33.
Dalam proses kemunculannya, gerakan sosial mengalami beberapa tahapan. Proses tahapan sebuah gerakan sosial, adalah meliputi34: pertama, tahap ketidaktentraman (keresahan), ketidakpastian dan ketidakpuasan yang semakin meningkat; kedua, tahap perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah semaikin memuncak. Penyebabnya sudah diidentifikasi dan ada ajakan serta petunjuk-petunjuk dari kalangan tokoh sebagai pembangkit semangat emosi masa; ketiga, tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa dan taktik telah dimatangkan; keempat, tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi diambil alih dari pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideology serta rencana telah diwujudkan. Tahap ini seringkali merupakan akhir dari kegiatan gerakan sosial; kelima, tahap
33I Putu Dedy Wiguna, dkk, “Implikasi Gerakan People’s Alliance ForDemocracy”, Bali: Universitas Udayana, hlm 3
34
Syamsu A. Kamaruddin. Pemeberontakan Petani Unra 1943, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.16, No.1, Makasar: Universitas Veteran Republik Indonesia, 2012, hlm 22
(37)
pembubaran (disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi atau justru mengalami pembubaran.
Gerakan sosial memiliki beberapa jenis tipe gerakan. David Alberle memberikan empat tipe gerakan sosial dengan menggunakan kriteria perubahan yang dikehendaki. Tipologi Aberle adalah35,
alternative movement, merupakan gerakan yang bertujuan mengubah sebagian perilaku perseorangan; redemptive movement, tipe gerakan ini lebih luas dari alternative movement, karena yang hendak dicapai ialah perubahan menyeluruh pada perilaku seseorang; reformative movement, merupakan gerakan yang hendak mengubah masyarakat hanya dalam lingkup segi-segi dalam masyarakat; transformative movement, merupakan gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh.
Sedangkan Kornblum memberikan klasifikasi gerakan sosial yang menekankan pada aspek tujuan gerakan yang hendak dicapai sebagai berikut36: revolutionary movement, merupakan gerakan yang bertujuan untuk mengubah institusi dan stratifikasi masyarakat;
reformist movement, gerakan sosial yang memiliki tujuan untuk mengubah sebagian institusi dan nilai; conservative movement, gerakan yang berupaya untuk mempertahankan nilai dan institusi masyarakat; dan terkahir adalah reactionary movement, gerakan yang tujuannya
35 Rizal A. Hidayat, “Gerakan Sosial sebagai Agen Perubahan Sosial”,
Jurnal Forum Ilmiah Indonusa, Vol.4, No.1. Jakarta: Universitas Esa Unggul, hlm16
36
(38)
adalah untuk kembali ke institusi dan nilai masa lampau dan meninggalkan institusi dan nilai masa kini.ar
5.2.Teori Repertoar
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles Tilly. Kata repertoar memiliki arti berbagai pilihan aksi yang sudah disiapkan sebelumnya. Konsep ini menjelaskan bagaimana setiap pergerakan memiliki set aksi yang dapat dilakukan. Tilly menggunakan frasa “repertoar aksi” untuk merujuk bentuk spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif37. Kata repertoar merujuk kepada serangkaian rutinitas terbatas yang dipelajari, dibagi dan diejawantahkan melalui proses pilihan yang membebaskan38. Repertoar adalah sebuah penciptaan budaya melalui proses pembelajaran. Mereka bukanlah sekumpulan kata filosofi yang abstrak atau berasal dari propaganda politik. Repertoar muncul dari perjuangan39. Tilly lebih lanjut menjelaskan bahwa repertoar adalah sekumpulan alat yang dapat dipergunakan oleh sekelompok masyarakat dalam mencapai keinginan mereka40. Tilly menekankan bahwa repertoar didedikasi sebagai alat
37
Rajendra Singh, Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Resist Book, 2010, hlm 138 38
Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm 47
39
Ibid, hlm 47 40
(39)
interaksi diantara sekelompok masyarakat dalam jumlah besar bukan diantara individu41.
Charles Tilly menegaskan bahwa tanggapan rezim terhadap inisiatif dari para penentang harus dimasukan dalam komponen integral dari repertoar perlawanan pada kurun waktu tertentu. Ini untuk dua alasan. Pertama, tindakan yang dibuat oleh penguasa sering memprovokasi perlawanan masa terhadap tatanan yang mapan, sehingga umumnya menyesatkan untuk mengasumsikan bahwa para pemroteslah yang melakukan tindakan terlebih dulu. Kedua, “repertoar tindakan kolektif melihat bukan pada kinerja individu, tetapi pada cara interaksi di kalangan pasangan atau serangkaian lebih besar para aktor. Pertemanan, bukan individu, yang menjalankan repertoar”.42
Kajian repertoar perlawanan selama ini berhadapan dengan pertanyaan mengapa repertoar berubah dengan menunjuk faktor-faktor jangka panjang yang menentukan ongkos dan keuntungan dari tindakan kolektif bagi mereka yang menentang status quo. Tilly mengatakan bahwa repertoar perlawanan berubah secara dramatis antara 1750 hingga 1840 karena munculnya hal-hal seperti ekspansi manufaktur padat
41
Ibid, hlm 47 42
Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, 2012, Jakarta: Democracy Project, hlm 229
(40)
modal, konsolidasi dalam aparat pemerintah pusat san laju urbanisasi yang meningkat.43
Arthur Stinchcombe mengungkapkan bahwa dalam pandangan Tilly “repertoar dari bentuk-bentuk tindakan kolektif yang efektif berubah secara evolusioner bersamaan dengan perubahan besar dalam struktur sosial.44 White senada dalam menjelaskan adanya perubahan signifikan dalam repertoar protes rakyat pada zaman modern Jepang akibat perubahan organisasi ekonomi nasional dan provinsi, gelombang kemakmuran dan krisis ekonomi, serta transformasi luas dalam kesadaran rakyat.45
Terdapat tiga elemen utama saling terkait yang mendorong taktik repertoar yakni kontentasi, identitas perlawanan dan intensitas perlawanan.
Konsep gerakan sosial mepersyaratkan adanya tujuan bersama. Dalam teori repertoar dikenal dengan adanya claim. Claim ini merupakan properti dari repertoar sekaligus merupakan tujuan bersama dari gerakan repertoar. Lebih lanjut Tilly menjelaskan adanya tiga macam claim yang berbeda dalam teori repertoar46;
43
Ibid, hlm 229-230 44
Ibid, hlm 230 45
Ibid, hlm 230
46Siti Sulastri, Dinamika Gerakan Sosial: Transformasi dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Hijra Hingga Boko Haram, Skripsi UGM, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2015, hlm 7
(41)
a. Identity; Claim yang menginginkan adanya keterlibatan suatu pihak tertentu dalam sebagai pengakuan terhadap eksistensi mereka
b. Standing; Claim yang menginginkan tempat atau posisi tertentu dalam rezim
c. Program; Claim untuk menuntut sebuah program ataupun kebijakan
Tilly menerapkan tiga tema, yaitu: repertoar kompetitif, menyoroti klaim dan perebutan sumberdaya satu kelompok komunal sebagai perlawanan terhadap claim dari kelompok serupa lainnya; repertoar aksi reaktif, disisi lain, menunjuk ke aksi-aksi kelompok-kelompok komunal menentang upaya negara meraih control terhadap populasi sumber dayanya; terkahir adalah repertoar aksi kolektif proaktif. Ia mengacu ke claim ke kelompok atas kekuasaan dan hak-hak istimewa atau atas sumber daya yang sebelumnya tidak ada47.
Aksi proaktif terus-menerus mencari kontrol atas struktur-struktur kekuasaan ketimbang mempertahankan yang ada, dan ia membutuhkan sebuah organisasi yang bertujuan khusus dalam tempatnya diantara kelompok-kelompok komunal tradisional. Aksi kolektif reaktif dengan demikian bersifat bertahan sedangkan yang proaktif bersifat menyerang. Bidikan aksi rekatif adalah
47
(42)
mempertahankan dunia kehidupan tradisional dalam ranah komunal. Aksi proaktif, disisi lain, menggunakan mobilisasi offensive untuk merebut pengakuan dan kekuasaan yang lebih besar48.
6. Definisi Konseptual 6.1.Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk dari aksi kolektif. Suatu aksi kolekftif dapat dikatakan sebagai suatu gerakan sosial apabila didalamnya terdapat unsur-unsur yang meliputi: kegiatan bersifat berkelanjutan, memiliki tujuan untuk menghambat atau mendorong suatu perubahan dalam masyarakat.
6.2.Teori Repertoar
Kata repertoar memiliki arti berbagai pilihan aksi yang sudah disiapkan sebelumnya. Konsep ini menjelaskan bagaimana setiap pergerakan memiliki set aksi yang dapat dilakukan. merujuk bentuk spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif.
7. Definisi Operasional
Untuk menjelaskan lebih rinci mengenai gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau, maka peneliti memakai beberapa indikator sebagai berikut:
48
(43)
7.1.Laskar Hijau sebagai Gerakan Sosial a. Tantangan kolektif
b. Tujuan bersama
c. Solidaritas dan identitas kolektif d. Memelihara politik perlawanan
7.2.Bentuk-bentuk Perlawanan Laskar Hijau a. Kontentansi
b. Identitas perlawanan c. Intesitas perlawanan d. Klaim
8. Metode Penelitian 8.1.Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Pertimbangan pemilihan metode kualitatif sebagai alat pegangan bagi penelitian ini dalam melihat realitas adalah untuk dapat menggali secara mendalam sebuah fenomena yang ada. Sebab penelitian kualitatif sendiri di definisikan sebagai suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dan fenomena yang diteliti49.
49 Ibrahim Arkian, “Protes Masyarakat Terhadap Pembangunan Bandara Oleh PT. Angkasa Pura 1 Tahun 2014”, Skripsi UMY, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2014, hlm 35
(44)
Sedangkan untuk design penelitian, penulis menggunakan case study research. Study kasus adalah strategi penelitian yang memfokuskan analisisnya terhadap sebuah fenomena atau kasus kontemporer dalam kehidupan nyata, baik itu satu kasus atau lebih yang menitik-beratkan pada pertanyaan how atau why dan penulis tidak mempunyai control yang besar terhadap kasus tersebut, sehingga bukti dar multisumber perlu dimanfaatkan dengan sebaiknya untuk mempertegas batas-batas antara kasus dan konteks50.
8.2.Jenis Data
Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan data sekunder.
8.2.1. Data Primer
Data primer merupakan data yang lansung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya. Data primer dalam penelitian ini berupa hasil temuan lapangan yang berasal dari hasl interview dengan responden dan hasil pengamatan di lapangan.
Untuk mendapatkan dari primer, penulis mengklasifikasikan aktor-aktor yang potensial untuk dijadikan
50 Ryana Andryana, “Peranan Komunitas Taring Padi dalam Mengkrit
ik Kebijakan Penambangan Pasir Besi di Kulon Progo”, Skripsi UGM, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, hlm 30
(45)
sebagai narasumber atau informan. Aktor yang potensial untuk dijadikan sebagai narasumber atau informan dalam penelitian adalah aktor-aktor yang terlibat langsung dalam Laskar Hijau dan merupakan penggerak atau anggota dari Laskar Hijau.
8.2.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak langsung berupa dokumen. Data sekunder juga dapat dikatakan sebagai data tambahan yang digunakan sebagai acuan dan elaborasi dari data primer. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder berupa buku-buku, dokumen hasil penelitian, informasi dari media massa dan sebagainya.
Buku-buku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku mengenai gerakan sosial untuk memperkuat data primer. Penulis juga menggunakan dokumen hasil penelitian yang berupa skripsi, tesis dan disertasi mengenai gerakan sosial atau penelitian yang membahas mengenai Laskar Hijau secara langsung. Dan data sekunder lainnya adalah media massa, didalam media massa penulis akan mendapatkan gambaran gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau. Mengingat, bahwa kasus pertambangan di Kabupaten Lumajang pasca terbunuhnya Salim Kancil semakin menjadi sorotan publik dan memunculkan
(46)
perhatian dari berbagai elemen masyarakat dan LSM termasuk Laskar Hijau.
8.3.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara dan dokumentasi
8.3.1. Wawancara
Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan suatu keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian itu merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara dan orang yang diwawancarai.
Dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan aktor-aktor yang potensial untuk dijadikan sebagai narasumber atau informan. Aktor yang potensial untuk dijadikan sebagai narasumber atau informan dalam penelitian adalah aktor-aktor yang terlibat langsung dalam Laskar Hijau dan merupakan penggerak atau anggota dari Laskar Hijau.
(47)
Aktor-aktor potensial untuk dijadikan sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah koordinator dari Laskar Hijau. Mengingat Laskar Hijau memiliki struktur bersifat horizontal dan non-institusional serta Laskar Hijau menganut struktur yang fleksibel.
8.3.2. Dokumentasi
Dokumen diartikan sebagai suatu catatan tertulis/gambar yang tersimpan tentang sesuatu yang sudah terjadi. Dokumen merupakan fakta dan data tersimpan dalam berbagai bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, peraturan, catatan harian, biografi, simbol, artefak, foto, sketsa dan data lainya yang tersimpan. Dokumen tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi untuk penguat data observasi dan wawancara dalam memeriksa keabsahan data, membuat interprestasi dan penarikan kesimpulan.51
Kajian dokumen dilakukan dengan cara menyelidiki data yang didapat dari dokumen, catatan, file, dan hal-hal lain yang sudah didokumentasikan. Metode ini relatif mudah dilaksanakan
51Aunu Rofiq Djaelani, “Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif”, diakses dari http://www.e-journal.ikip-veteran.ac.id/index.php/pawiyatan/article/download/55/64, pada 14/02/2016 pukul 23:41 WIB
(48)
dan apabila ada kekeliruan mudah diganti karena sumber datanya tetap. Dengan membuat panduan/pedoman dokumentasi yang memuat garis-garis besar data yang akan dicari akan mempermudah kerja di lapangan dalam melacak data dari dokumen satu ke dokumen berikutnya.52
8.4.Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif. Teknik analisis kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berfikir yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dalam kegiatannya peneliti tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya.
Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang
52
(49)
sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas objek yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan peristiwa factual dan realistik.
9. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa bab. Untuk bab pertama, memuat latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka dasar teori, definisi konseptual, definisi operasional dan sistematikan pembahasan. Bab kedua,
berisi tentang gambaran umum tentang Laskar Hijau dan bab ketiga
menjelaskan mengenai bentuk perlawanan Laskar Hijau terhadap Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang.
(50)
BAB II
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Lumajang merupakan salah satu Kabupaten dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo di utara, Kabupaten Jember di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Malang di barat. Kabupaten Lumajang terletak di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur.
Kabupaten Lumajang terletak pada 112°53' - 113°23' Bujur Timur dan 7°54' - 8°23' Lintang Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Lumajang adalah 1790,90 km2. Kabupaten Lumajang terdiri dari dataran yang subur karena diapit oleh tiga gunung berapi yaitu: Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Lemongan. Ketinggian daerah Kabupaten Lumajang bervariasi dari 0-3.676 m dpl. dengan daerah yang terluas adalah pada ketinggian 100-500 m dari permukaan laut, yakni seluas 63.405,50 Ha (35,40 % wilayah); dan yang tersempit adalah pada ketinggian 0-25 m dpl yaitu seluas 19.722,45 Ha atau 11,01 % dari luas keseluruhan Kabupaten.
Kabupaten Lumajang beriklim tropis. Berdasarkan klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson sebagian wilayah termasuk tipe C, yang bersifat agak basah, dan sebagian lainnya bertipe D. Bulan-bulan kering, dengan jumlah curah hujan kurang dari 100 mm perbulan, terjadi pada
(51)
bulan-bulan Juli, Agustus dan September, sementara bulan-bulan lainnya adalah bulan basah. Jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 1.500-2.500 mm. Temperatur sebagian besar wilayah 24°C-32°C, sedangkan di kawasan pegunungan dapat mencapai 5°C, terutama di daerah lereng Gunung Semeru.
Kabupaten Lumajang mempunyai 31 sungai dan 6 air terjun. Selain itu juga terdapat danau (ranu) yakni Ranu Pakis, Ranu Klakah dan Ranu Bedali di Kecamatan Klakah serta Ranu Pane dan Ranu Kumbolo di Kecamatan Senduro. Sungai-sungai yang cukup besar dengan daerah aliran di wilayah Lumajang dan sekitarnya antara lain Kali Besuk Sat, Kali Bondoyudo, Kali Asem, Kali Mujur, Kali Pancing dan Kali Rejali yang kesemuanya berakhir di Pantai Laut Selatan.
1.1. Sejarah Singkat Kabupaten Lumajang1
Bumi Lumajang sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "Panjang-punjung Pasir Wukir Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja”
1
Sejarah Lumajang, Diunduh Februari 18, 2016, dari lumajang.kab.go.id:
(52)
Panjang-punjung berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.
Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "Ling Deva Mpu Kameswara Tirtayatra”. Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan Tirtayatra ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri Kertajaya.
Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :
a. Prasasti Mula Malurung b. Naskah Negara Kertagama c. Kitab Pararaton
d. Kidung Harsa Wijaya e. Kitab Pujangga Manik f. Serat Babat Tanah Jawi g. Serat Kanda
Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan berangka tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa Nararyya Kirana, salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati
(53)
(raja kecil) di Lamajang (Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan Nararyya Kirana sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (Harjalu).
Dalam Buku Pararaton dan Kidung Harsya Wijaya disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan Mapatih.
Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati (Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.
Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya (Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan
(54)
membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.
Pupuh 22 lontar Nagara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain Nagara Kertagama, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu Wangsengrana, Putut Lawa, Menak Kuncara (Menak Koncar) dan Tumenggung Kartanegara. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti Menak Koncar hanyalah tokoh dongeng belaka.
Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat Candra Sengkala yang berbunyi "Trusing Ngasta Muka Praja" (Trus=9, Ngasta=2, Muka=9, Praja=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929.
Lumajang dinaikkan statusnya menjadi Regentscah otonom per 1 Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT Kerto Adirejo, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah Kabupaten Probolinggo).
(55)
Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.
Nama-nama seperti Kaptrn Kyai Ilyas, Suwandak, Sukertiyo, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990
Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen/tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.
(56)
a. Visi Misi Kabupaten Lumajang 1. Visi
“Terwujudnya Masyarakat Lumajang Yang Sejahtera dan Bermartabat”
2. Misi
a. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan perekonomian daerah dengan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan, menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pelaku ekonomi.
b. Meningkatkan masyarakat yang bermartabat melalui peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan peningkatan sumber daya manusia dan profesionalisme aparatur.
c. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan kehidupan beragama, kualitas pendidikan, penanganan sosial dan pengentasan kemiskinan.
1.2. Kecamatan Yosowilangun
Yosowilangun adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Jember, memiliki potensi wisata bahari serta keindahan pantai Wotgalih dan Meleman, selain itu daerah ini membudidayakan peternakan ikan dan tambak seperti
(57)
di Meleman yang terdapat tambak udang sebagai penghasilan dari beberapa penduduk.
a. Letak Geografis
Kecamatan Yosowilangun merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Lumajang. Luas Kecamatan Yosowilangun adalah 17 Km2 dengan jumlah penduduk sebesar 60.083 jiwa yang tersebar pada 12 Desa. Penggunaan lahan di Kecamatan Yosowilangun dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lahan sawah dan lahan non sawah. Untuk kondisi dan potensi geografi khusus tanah sebagai berikut:
1. Tanah tegalan : 2.271 Ha 2. Tanah pekarangan : 571 Ha
3. Tanah sawah irigasi tehnis : 3.135 Ha 4. Sawah setengah tehnis : 530.74 Ha 5. Tanah ladang / Huma : 16.10 Ha
Prosesntase lahan sawah mencakup sebagian besar wilayah Kecamatan Yosowilangun yaitu sebesar 75 % dari luas Kecamatan Yosowilangun. Ketinggian Kecamatan Yosowilangun rata-rata 25-50 M dari permukaan air laut.
(58)
Adapun batas-batas secara administrasi Kecamatan Yosowilangun adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara: Kecamatan Rowokangkung 2. Sebelah Selatan: Samudra Indonesia 3. Sebelah Barat: Kecamatan Kunir
4. Sebelah Timur: Kecamatan Jombang perbatasan Jember
b. Kondisi Demografi
Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Lumajang, jumlah penduduk kecamatan Yosowilangun hasil proyeksi keadaan akhir tahun 2012-2013 adalah pada tahun 2012 jumlah penduduk kecamatan Yosowilangun keseluruhan berjumlah 56,639 sedangakan pada tahun 2013 penduduk kecamatan Yosowilangun berjumlah 57,765. Pertumbuhan penduduk kecamatan Yosowilangun mengalami kenaikan sebesar 1,99%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table dibawah
(59)
Tabel 1
Jumlah Penduduk Kecamatan Yosowilangun Tahun 2012
No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase
1 Laki-laki 27,414 48,40 %
2 Perempuan 29,225 51,60 %
Jumlah 56,638 100 %
sumber: BPS Kabupaten Lumajang
Tabel 2
Jumlah Penduduk Kecamatan Yosowilangun Tahun 2013
No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase
1 Laki-laki 27,953 48,39 %
2 Perempuan 29,812 51,61 %
Jumlah 57,765 100 %
sumber: BPS Kabupaten Lumajang
1.3. Desa Wotgalih
Desa Wotgalih merupakan bagian dari wilayah kecamatan Yosowilangun. Desa Wotgalih memiliki 3 Dusun/ Lingkungan yaitu: Dusun Krajan, Dusun Meleman, dan Dusun Talang Sewu. Desa Wotgalih terdiri dari 7 RW dan 49 RT. Mata pencaharian penduduk di Desa Wotgalih adalah sebagai petani, buruh tani, wiraswasta, nelayan dan pedagang.
(60)
Desa Wotgalih sedang beralih menjadi Desa Wisata dimana produk unggulannya adalah wisata pantai selatan wotgalih, batik wotgalih dan wisata kuliner kutuk waung. Aspek pariwisata juga didukung dengan adanya organisasi POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata). Aspek pendidikan di desa Wotgalih juga menjadi perhatian khusus dimana banyaknya sekolah dasar swasta, sedangkan sekolah dasar negeri sudah tersedia. Pemberdayaan wanita sudah mulai berkembang melalui adanya kegiatan arisan Dasawisma yang diadakan sebulan sekali.
Berdasarkan data yang diperoleh dari buku profil Desa Wotgalih. Jumlah penduduk Desa Wotgalih adalah 7.247 jiwa, yang terdiri dari 3.699 perempuan, dan 3.548 laki-laki. Luas wilayah Desa Wotgalih adalah 1.271.635 Ha, yang terdiri atas lahan pertanian seluas 175.168 Ha, luas lahan pertanian seluas 175.168 Ha, luas lahan perkebun 198.398 Ha, luas lading/tegalan 544.621 Ha, luas pemukiman 137.874 Ha, panjang jalan di Desa Wotgalih 170.000 Km, luas wilayah yang dipergunakan sebagai makam adalah seluas 3600 Ha, dan sisanya adalah berupa lahan kosong seluas 41.972 Ha.
Desa Wotgalih memiki total 9 Gedung Sekolah yang terdiri atas 3 Gedung Dispendik dan 6 Gedung Non Dispendik. Terdapat 8 Pendidikan Non Formal yang berupa 5 Pondok Pesantren dan 3 TPQ/TPA, sedangkan pada Pendiidkan Formal dengan rincian ada
(61)
total 3 TK, 1 PAUD, 3 SD, 2 SD Non Dispendik, 2 SMP Non Dispendik dan 2 Madrasah Aliyah. Ada 7 masjid dan 15 Musholla, ditambah dengan sarana kesehatan diantaranya 9 Posyandu, 1 Puskesmas/Pustu, 9 Posyandu penimbangan dengan tenaga kesehatan 1 Dokter, 1 Bidan dan 1 Mantri Kesehatan. Sedangkan untuk organisasi sosial kemasyarakatan dan lingkungan yakni POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata), PKK, Dasa Wisma, Pengajian Muslimat ibu-ibu, Kelompok Pengajian Bapak-bapak Yasinan, Pondok Pesantren, Kelompok Tani dan Kelompok Nelayan.
Sebagian besar penduduk Desa Wotgalih bermata pencharian di bidang Pertanian atau perkebunan yakni sebanyak 3.424 orang dan sebanyak 902 orang sebagai buruh tani sedangkan sisanya 381 orang berwiraswasta, 300 orang nelayan, 277 orang pedagang, guru 12 orang, buruh pabrik 12 orang, pensiunan 11 orang, buruh kasar 10 orang, PNS 12 orang, perawat 2 orang dan 1 orang dokter. Dengan jumlah penduduk sesuai dengan strata pendidikan akhir SD/MI sebanyak 2.553 orang, SLTP/Mts 513 orang, SLTA/MA 330 orang, DI/II 35 orang, DIII 15 orang, S1 47 orang, S2 2 orang, S3 1 orang, tidak tamat SD 1.676, dan belum sekolah/belum tamat sebanyak 2.079 orang.
(62)
1.4. Dinamika Pertambangan di Desa Wotgalih
Pertambangan adalah suatu kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara mekanis maupun manual, pada permukaan bumi, di bawah permukaan bumi dan di bawah permukaan air. Hasil kegiatan ini antara lain, minyak dan gas bumi, batubara, pasir besi, bijih timah, bijih nikel, bijih bauksit, bijih tembaga, bijih emas, perak dan bijih mangan.2 Kegiatan pertambangan sangat beresiko terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Oleh karena itu, sector pertambangan penting dikaji karena kegiatan pertambangan di Indonesia sering menimbulkan konflik.
Pertambangan merupakan potensi kekayaan alam Indonesia, maka pengelolaan sumber daya tambang harus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertimbangan aspek sosial, ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Dimana-mana, ketika ada perusahaan tambang akan melakukan eksploitasi, klaimnnya selalu tentang upaya menghadirkan kesejahteraan. Dengan adanya investasi pertambangan skala besar, sebuah daerah akan mendapat penghasilan yang besar pula. Secara ekonomis kegiatan pertambangan dianggap memberi kontribusi penting pada
2
(63)
peningkatan PAD dan penyerapan tenaga kerja baik tenaga ahli maupun tenaga lapangan.
Provinsi Jawa Timur adalah salah satu daerah yang mempunyai potensi kekayaan alam berupa hasil tambang yang melimpah salah satunya di daerah Kabupaten Lumajang. Kabupaten Lumajang sendiri terdiri dari dataran yang subur yang diapit oleh tiga Gunung yaitu Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Lemongan. Wilayahnya mempunyai potensi cadangan pasir besi paling luas di Indonesia dengan potensi bahan galian golongan C yang berupa jenis pasir, batu, coral dan sirtu.3
Selain itu, Kabupaten Lumajang memiliki potensi bahan galian golongan B yang berupa pasir besi, intan dan emas. Potensi bahan galian golongan C dan golongan B ini diperkirakan berasal dari semburan Gunung Semeru yang masih aktif, yang dibawa air sungai hingga ke laut. Partikel zat besi kemudian menjadi pasir besi di tepi pantai dan salah satunya berada di tepi Pantai Meleman di Desa Wotgalih. Potensi bahan galian golongan C dan golongan B jumlahnya terus bertambah seiring dengan aktivitas vulkanis
3ST Risalatul Ma’rifah, dkk, “Konflik Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang Tahun 2010-2011” diakses dari
(64)
Gunung Semeru yang aktif mengeluarkan material kurang lebih 1 juta M3/tahun.4
Pemerintah Kabupaten Lumajang mengeluarkan kebijakan pemberian izin pertambangan pasir besi di Desa Wotgalih, Lumajang. Ijin ini diberikan kepada PT Antam, sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bertempat di Jakarta dan bekerja sama dengan PT Padmanaba dibawah pimpinan Bambang Pramukantono.5 Sebelumnya, PT Antam telah melakukan penambangan di Desa Wotgalih pada tahun 1998-2001. Kegiatan tersebut terhenti ditengah jalan karena dianggap kurang memberi keuntungan secara ekonomi.6
Pada tahun 2009 ketika harga jual pasir besi melambung tinggi di pasar internasional, PT Antam mengajukan permohonan ijin pertambangan kepada Pemerintah Kabupaten Lumajang dan ijin tersebut digunakan sebagai perpanjangan kontrak yang sebelumnya pernah dilakukan.7 Izin usaha pertambangan (IUP) yang diterima oleh PT Antam berlaku selama 12 tahun dan izin tersebut habis pada tahun 2012. Pada tanggal 28 Juli 2010 Bupati Sjahrazad Masdar mengeluarkan kebijakan ijin operasi kembali pertambangan pasir besi di Desa Wotgalih, yang diatur dalam surat ijin No
4
Ibid, diakses pada 04/06/2016 pukul 08.09 WIB 5
Ibid, diakses pada 04/06/2016 pukul 08.09 WIB 6
Ibid, diakses pada 04/06/2016 pukul 08.09 WIB 7
(65)
180.45/287/427.12/2010 tentang pemberian kuasa pertambangan atas wilayah KW.09.PP0290 di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun dengan Luas 504,4 Ha kepada PT Antam. Surat ijin tersebut merupakan surat perpanjangan kontrak yang sebelumnya sudah dimiliki oleh PT Antam.8
Pertambangan di Desa Wotgalih menimbulkan pro dan kontra. Pada pihak pro tambang pertimbangannya adalah kepentingan ekonomi, mereka menyakini dengan adanya pertambangan di Desa Wotgalih akan membawa peningkatan ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat sekitar. Sedangkan pada pihak kontra mengusung kepentingan lingkungan, mengingat Desa Wotgalih merupakan daerah rawan terjadi gempa bumi dan tsunami. Masyarakat meyakini bahwa gundukan pasir yang membentang luas dari barat ke timur berfungsi sebagai tameng tsunami. Selain itu banyak masyarakat yang memanfaatkan pesisir pantai Meleman sebagai lahan pertanian.
2. Gambaran Umum Objek Penelitian
2.1. Latar Belakang Berdirinya Laskar Hijau
Gerakan-gerakan tidaklah diciptakan, apalagi diluncurkan atau dipimpin oleh para pemimpin. Setiap kali ada kesempatan atau setiap kali muncul ketidakpuasan manusia yang melewati batas-batas
8
(66)
kesabaran manusia, gerakan sosial timbul (muncul) dengan sendirinya dan terwujud dalam aksi-aksi dari kesadaran kolektivitas yang bersifat konfliktual9. Kesadaran kolektivitas merupakan kata kunci ketika kita membicarakan sebuah kolektivitas aksi. Berawal dari kesadaran kolektivitaslah harapan untuk melakukan suatu perubahan menuju kondisi yang lebih baik terjadi. Kemudian dilanjutkan dengan membentuk aksi-aksi kolektif yang berujung pada terbentuknya sebuah gerakan dengan tujuan melakukan perubahan untuk terwujudnya kehidupan lebih baik.
Begitupun dengan sebuah gerakan yang terbentuk di Desa Klakah, sebuah desa yang berada disekitar kaki Gunung Lemongan di Kabupaten Lumajang. Gerakan itu bernama Laskar Hijau. Gerakan tersebut merupakan gerakan penghijauan yang dilakukan oleh masyarakat Klakah untuk melestarikan kembali hutan Gunung Lemongan yang telah rusak10.
2.1.1. Rusaknya Hutan Gunung Lemongan
Gunung Lemongan adalah sebuah gunung berapi tipe
Maar, di Jawa Timur. Gunung ini merupakan bagian dari kelompok Pegunungan Iyang. Puncaknya adalah Tarub (1.651 m). Gunung Lemongan termasuk dalam wilayah dua kabupaten,
9
Rajendra Singh, Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Resist Book, 2010, hlm 12
10Siti Huzaimah, “Gerakan Laskar Hijau Dalam Upaya Pelestarian Hutan Gunung Lemongan
(67)
yaitu Lumajang dan Probolinggo.11 Pada tahun 1799-1899, Gunung Lemongan tercatat sebagai gunung api paling aktif di Pulau Jawa. Gunung Lemongan memiliki 60 pusat erupsi vulkanik parasitik yang terjadi pada masa pra sejarah, yang terdiri dari Kerucut Vulkanik (36 buah), Maar/Ranu yang tidak berair (11 buah), dan Maar/Ranu yang terisi air (13 buah).12
Manfaat yang timbul dari letusan Gunung Lemongan itu memiliki peran yang sangat besar bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Lumajang. Karena letusan Gunung Lemongan yang berupa Maar/Ranu yang terisi air dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pusat penyedia air minum dan sebagai pasokan air untuk persawahan. A’ak Abdullah mengungkapkan:
“Ranu klakah luasnya 32 hektar dengan kedalaman 28 meter tapi dia mampu mengairi pesawahan hingga 620 hektar. Ada juga masyarakat yang membudidayakan ikan air tawar dan juga untuk keperluan pariwisata. Artinya, manfaat yang timbul dari letusan gunung lemongan itu menjadi sangat besar bagi kehidupan kabupaten lumajang termasuk saya.”13
Hal serupa juga diceritakan oleh Ilal Hakim:
“Padahal ranu-ranu itu penting peranannya bagi masyarakat sekitar, terutama dari segi pertanian, perikanan, pariwisata juga. Satu contoh ranu klakah saja, itu ratusan hektar pertanian yang diairi oleh ranu klakah.”
11
https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Lemongan 12A’ak Abdullah Al
-Kudus, Gerakan Konservasi Di Gunung Lemongan, 18 Juni 2016, Pesantren Agraria, Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia
13
(68)
Gunung Lemongan merupakan pusat konservasi bagi 13 Ranu yang berada disekitarnya. Sebagai pusat konservasi kondisi Gunung Lemongan diyakini sangat menentukan kelestarian 13 Ranu tersebut serta kesejahteraan masyarakat disekitar gunung.
Namun, pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu Gus Dur mengeluarkan statement bahwa “Hutan Milik Rakyat”, statement tersebut ternyata memiliki dampak sangat luar biasa bagi kelestarian hutan termasuk hutan Gunung Lemongan. A’ak Abdullah mengungkapkan bahwa statement Gus Dur tersebut
dipelintir dan ditafsirkan secara bebas oleh lawan politik-nya. Akibatnya, tafsiran bebas tersebut menjadikan sebagian besar masyarakat semakin berani untuk membabad dan menebang pohon-pohon dihutan. Seperti yang diceritakan oleh A’ak Abdullah:
“Cerita buruknya, pada masa kepemimpinan Gus Dur. Gus Dur mengeluarkan statement Hutan Untuk Rakyat. Akhirnya masyarakat mulai berani membabat hutan dan mereka sudah menyediakan pembeli.”
Masyarakat menafisrkan pernyataan “Hutan Milik Rakyat” dengan mengganggap bahwa hutan adalah benar-benar menjadi hak rakyat sehingga dalam pengelolaannya semua diserahkan kepada rakyat. Atas dasar tafsiran tersebut,
(1)
Solidaritas dan Identitas Kolektif adalah kecintaan terhadap lingkungan; terkhir yang menjadi faktor utama dari Memelihara Politik Perlawanan adalah budaya yang dibangun oleh Laskar Hijau sebagai organisasi bersifat kerelawanan dan persaudaraan yang kuat dari masing-masing individu. Selain itu, “Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera” menjadi semangat bagi individu-individu dalam Laskar Hijau. Ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadist diatas juga merupakan salah satu faktor memperkuat agar terus dapat mempertahankan gerakan bagi Laskar Hijau.
Charles Tilly, yang mempelopori konsep repertoar perlawanan, menegaskan bahwa tanggapan rival perlawanan terhadap inisiatif dari para penentang harus dimasukan dalam komponen integral dalam repertoar perlawanan. Bentuk perlawanan Laskar Hijau mengalami perubahan bentuk dalam kurun waktu tertentu. Kondisi-kondisi yang menyebabkan Laskar Hijau melakukan perubahan bentuk perlawanan karena tanggapan dari pihak lawan dan menganggap bahwa bentuk perlawanan tersebut belum efektif untuk pencapaian tujuan bersama.
Beberapa bentuk perlawanan Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih adalah pertama, bentuk perlawanan melalui dialog dengan pemerintah, bentuk perlawanan tersebut mengalami perubahan dikarenakan capaian tujuan yang diharapkan tidak tercapai dengan maksimal serta tanggapan dari pemerintah tidak sesuai yang di inginkan oleh Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih. Kedua, demontrasi masa menjadi bentuk perlawanan dominan
(2)
120
selanjutnya. Bentuk perlawanan ini dipilih sebagai respon terhadap pemerintah dan pihak PT Antam serta warga pro tambang. Demonstrasi masa dilatarbelakangi oleh adanya kriminalisasi dan penganiayaan terhadap warga anti-tambang. Episode perlawanan ini mengalami tiga periode yang berbeda dengan membawa isu yang berbeda pula. Terakhir, penanaman sebagai bentuk aksi damai dan penegasan bahwa Laskar Hijau dan masyarakat Wotgalih tetap menolak pertambangan di desanya serta sebagai bukti bahwa Wotgalih akan lebih sejahtera bila dikelola sebagai lahan pertanian.
Hubbul Wathan Minal Iman menjadi pemicu semangat dan penggerak untuk terus melakukan perlawanan terhadap tambang. Tradisi masyarakat tani yang selalu mensyukuri apapun dan berapapun yang dihasilkan oleh bumi juga menjadi faktor penggerak bagi Laskar Hijau dan warga anti-tambang. Semangat dan semboyan pejuang terdahulu juga menjadi sangat efektif untuk mempertahankan gerakan perlawanan terhadap tambang tersebut. Simbol-simbol Islam seperti istigosah menjadi juga menjadi simbol perlawanan bagi Laskar Hijau dan warga anti-tambang bagi mempertahankan perlawanannya dalam suasana damai dan itupun yang memberikan kekuatan spiritual bagi mereka dalam melakukan perlawanan.
Perlawanan yang dilakukan oleh Laskar Hijau dan warga anti-tambang dalam melakukan penolakan terhadap peranti-tambangan dimulai dari tahun 2010-2012. Namun, sampai saat ini perlawanan tetap dilakukan dalam
(3)
bentuk penghijauan dan pertanian sebagai aksi damai. Dari beberapa bentuk yang dipilih, intensitas perlawanan dalam bentuk demontrasi massa memiliki intensitas tertinggi dan melibatkan mobilisasi massa yang massif. Setiap kali persidangan massa selalu mengkonsentrasikan dirinya di depan gedung PN Kabupaten Lumajang.
Dalam gerakan perlawanan Laskar Hijau terhadap pertambangan melibatkan dua unsur klaim dalam repertoar, klaim identitas dan klaim program. Keterlibatan petani dalam agenda-agenda kesejahteraan menjadi salah satu klaim yang terdapat dalam gerakan perlawanan ini. Ketika pertambangan masuk di Desa Wotgalih pada tahun 1997 masyarakat menganggap bahwa kehadiran mereka sama sekali tidak memberikan kesejahteraan. Justru kerusakan lingkungan lah yang di tinggalkan oleh pertambangan di Desa mereka. Klaim program yang terdapat dalam gerakan perlawanan tambang ini adalah adanya tuntutan untuk mencabut kebijakan pemerintah Kabupaten Lumajang yang memberikan Izin Usaha Pertambangan kepada PT Antam. Bentuk-bentuk perlawanan yang dipilih adalah merupakan betuk perlawanan yang menuntut untuk dicabutnya Izin Usaha Pertambangan tersebut.
2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis bagi Laskar Hijau adalah untuk lebih memperluas sekup gerakan tidak hanya di Kabupaten Lumajang saja. Penulis menyarankan Laskar Hijau untuk memperluas jaringan kultural
(4)
122
dengan sesama organisasi gerakan. Mengingat kasus lingkungan terjadi dibeberapa daerah di Indonesia diantaranya adalah di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Kulonprogo. Untuk menegaskan bahwa memang benar Laskar Hijau adalah suatu aksi kolektif yang berorientasi pada kelestarian lingkungan serta untuk mengenalkan diri pada masyarakat diluar Kabupaten Lumajang.
(5)
Daftar Pustaka
Andyana, R. (2014). Peranan Komunitas Taring Padi dalam Mengkritik Kebijakan Penambangan Pasir Besi di Kulonprogo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Djaelani, A. R. (2014). Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif. Retrieved Februari 14, 2016, from eJournal iVET:
http://www.e-journal.ikip-veteran.ac.id/index.php/pawiyatan/article/download/55/64 Dwicipta. (2015). #RembangMelawan: Membongkar Fantasi Pertambangan
Semen di Pegunungan Kendeng. Yogyakarta: Literasi Press.
Hasanudin. (2011). Dinamika dan Pengerucutan Teori Gerakan Sosial. Jurnal Ilmu Pemerintahan Nahkoda, 60-73.
Hidayat, R. A. (2007). Gerakan Sosial Sebagai Agen Perubahan Sosial. Jurnal Forum Ilmiah Indonusa, 15-22.
Huzaimah, S. (2015). Gerakan Laskar Hijau Dalam Upaya Pelestarian Hutan Gunung Lemongan Klakah Lumajang. Jember: Universitas Jember. Kamaruddin, S. A. (2012). Pemberontakan Petani Unra 1943. Jurnal Makara
Sosial Humaniora, 19-35.
Kuntjojo. (2009). Metodologi Penelitian. Retrieved Januari 6, 2016, from https://ebekunt.files.wordpress.com/2009/04/metodologi-penelitian.pdf Lofland, J. (2003). Protes. Yogyakarta88: Insist.
Ma'rifah, S. R. (2014, April 21). Konflik Pertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang Tahun 2010-2011. Retrieved Februari 14, 2016, from Universitas Jember Digital Repository: http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/57151 Mohammad, Y. (2015, Oktober 6). Jejak IMMS, Perusahaan Tambang Pasir
Lumajang. Retrieved Desember 23, 2015, from Beritagar.id:
https://beritagar.id/artikel/berita/jejak-imms-perusahaan-tambang-pasir-lumajang
Naya, I. A. (2014). Protes Masyarakat Terhadap Pembangunan Bandara Oleh PT Angkasa Pura 1 2014. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
(6)
122
Purwanto, H. (2015, Oktober 1). Sepak Terjang Perjuangan Salim Kancil Melawan Penambangan Liar. Retrieved Desember 24, 2015, from Rappler: http://www.rappler.com/indonesia/107755-sepak-terjang-salim-kancil-dibunuh-lumajang
Rahayu, H. (2015, November 5). Pesisir Lumajang Rusak Akibat Tambang Liar. Retrieved Desember 23, 2015, from Berita Benar:
http://www.benarnews.org/indonesian/berita/tambang-pasir-11052015122300.html
Singh, R. (2010). Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book.
Situmorang, A. W. (2013). Gerakan Sosial: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharko. (2006). Gerakan Sosial Baru di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1-34.
Sulastri, S. (2015). Dinamika Gerakan Sosial: Transformasi dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Hijra Hingga Boko Haram. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Tilly, C. (1978). From Mobilization to Revolution. New York: Random House. Tilly, C. (2005). Popular Contention in Great Britain 1758-1834. Boulder:
Paradigm Publisher.
Tilly, C. (2006). Regimes and Repertoires. Chicago: The University Of Chicago.
Wiguna, I. P. (2015). Implikasi Gerakan People's Alliance For Democracy (PAD) Terhadap Kebijakan Luar Negeri Thailand Terkait Hubungan Bilateral Thailand-Kamboja Tahun 2008-2011. Jurnal Hubungan Internasional, 1-14.
Wiktorowicz, Q. (2012). Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial. Jakarta: Democracy Project.