Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung PITP, IPB

ANALISIS PERPINDAHAN PANAS ATAP BETON DAN
ATAP HIJAU DI GEDUNG PITP, IPB

DILA RACHMAYUDILA PUTRI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOG I PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perpindahan
Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung PITP, IPB adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juli 2014
Dila Rachmayudila Putri
NIM F44100027

ABSTRAK
DILA RACHMAYUDILA PUTRI. Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan
Atap Hijau di Gedung PITP, IPB. Dibimbing oleh YUDI CHADIRIN.
Lapisan kedap air memiliki sifat kapasitas panas yang kecil sehingga
pemantulan panas lebih besar. Salah satu solusinya adalah dengan menggunaka n
atap hijau. Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengura ika n
gradien suhu sesuai ketinggian dan untuk menguji perbedaan fluks panas antara
green roof dan atap beton dengan menggunakan sensor termokopel dan VH400.
Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu pembuatan model, pengambila n
data dan pengolahan data dengan menggunakan Hukum Newton. Pada green roof,
interval suhu sebesar 20-34.9°C. Hal itu menunjukkan bahwa semakin ke bawah,
suhu semakin turun yang disebabkan karena adanya penyerapan panas. Adanya
penyerapan panas akan membuat gradien suhu bernilai negatif. Pada atap beton,
interval suhu sebesar 27-38.9°C. Hal itu menunjukkan bahwa semakin ke bawah,
suhu semakin tinggi. Peningkatan suhu disebabkan adanya pantulan dari material

dalam hal ini beton ke udara. Hal itu akan menyebabkan gradien suhu bernilai
positif. Interval perpindahan panas di green roof sebesar 807.52 MJ/m2 jam dan di
atap beton sebesar 975.47 MJ/m2 jam. Pada atap beton menghasilkan fluks panas
yang lebih tinggi dari pada atap hijau. Sehingga panas yang hilang yang disebabkan
dengan adanya green roof rata-rata sebesar 17.30%.
Kata kunci: perpindahan panas, gradien suhu, sensor, termokopel, VH400

ABSTRACT
DILA RACHMAYUDILA PUTRI. Heat Transfer Analysis of Concrete Roof and
Green Roof in PITP building, IPB. Supervised by YUDI CHADIRIN.
Impermeable layer has characteristic of small heat capacity so that greater
heat reflection. One of the solutions was to use a green roof. The purpose of the
research were to explain temperature gradient and the height of the heat flux to
examine differences between the green roof and concrete roof using thermocoup le
sensors and VH400. Procedures were divided into three stages, the making of
model, data retrieval and data processing using Newton's law. On the green roof,
the temperature interval was 20-34.9°C. It showed that further down, the
temperature was getting lower due to the absorption of heat. The existence of
absorption heat will make the temperature gradient negative. In the concrete roof,
the temperature interval was 27-38.9°C. It showed that further down, the

temperature was higher. The increase of temperature caused by the reflection of the
material in this concrete into the air. It will cause the temperature gradient become
positive. Heat flux at green roof was 807.52 MJ/m2 hours and at the concrete roof
was 975.47 MJ/m2 hours. The concrete roof produce higher heat flux compared to
the green roof so heat loss caused by the presence of green roof was 17.30%.
Key words: heat flux, temperature gradient, sensors, thermocouple, VH400

ANALISIS PERPINDAHAN PANAS ATAP BETON DAN
ATAP HIJAU DI GEDUNG PITP, IPB

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOG I PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi : Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung
PITP, IPB
Nama
: Dila Rachmayudila Putri
NIM
: F44100027

Disetujui oleh

Dr Yudi Chadirin, S.TP, M.Agr
Pembimbing I

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Budi Indra Setiawan M.Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
perpindahan panas, dengan judul Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap
Hijau di Gedung PITP, IPB
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Yudi Chadirin STP, M.Agr
selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak,
mamah, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Dila Rachmayudila Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Bahan

2


Alat

2

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Data Hasil Pengukuran di Lingkungan Sekitar PITP

5

Kalibrasi Sensor

7


Data Hasil Pengukuran Suhu

8

Perpindahan Panas di Tanah

11

Gradien Suhu

12

Laju Perpindahan Panas

13

Panas yang Hilang

15


SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18


RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Pemodelan atap hijau dan atap beton
Grafik distribusi suhu udara dan kelembaban udara selama pengukuran
Data radiasi harian total di lingkungan sekitar PITP, IPB
Grafik hubungan waktu dan radiasi harian selama pengukuran
Grafik suhu dan kelembaban diurnal harian selama 24 jam di lingkunga n
sekitar PITP, IPB
Grafik hubungan sensor termokopel dengan termometer standar
Grafik hubungan kadar air tanah dan nilai yang terbaca oleh sensor
VH400
Grafik distribusi nilai suhu di atas green roof selama pengukuran
Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di green roof pada saat radiasi
maksimum
Grafik distribusi nilai suhu di atas atap beton selama pengukuran
Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di atap beton pada saat radiasi
maksimum
Grafik distribusi suhu udara dan radiasi matahari selama pengukuran
Grafik distribusi kelembaban tanah dan curah hujan selama pengukuran
Grafik distribusi radiasi matahari dan kelembaban tanah selama
pengukuran
Grafik gradien suhu saat radiasi maksimum (a) Pagi 10.00 WIB, (b) siang
14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB
Grafik gradien suhu saat radiasi minimum (a) Pagi 10.00 WIB, (b) siang
14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB
Fluks panas di green roof
Fluks panas di atap beton
Fluks panas di green roof dan atap beton

4
6
6
6
7
7
8
9
9
10
10
10
11
12
12
13
14
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian
2 Detail tahapan penelitian
3 Sketsa titik sensor
Pemodelan green roof

18
19
20
21

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan pembangunan infrastruktur dan kawasan pemukiman baru
menyebabkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berdasarkan UU No.26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa luasan RTH minimal sebesar 30% dari
luas wilayah kota. Fakta di lapangan, keberadaan RTH jauh dari proporsi. Pada
awal tahun 1970, luasan RTH sebesar 35% yang berkurang menjadi 10% pada akhir
tahun 2013 (BIG 2013). Berkurangnya RTH disebabkan oleh konservasi lahan yaitu
beralih fungsinya RTH menjadi lapisan kedap air seperti bangunan, jalan raya dan
lainnya.
Pada umumnya, atap bangunan menggunakan lapisan kedap air yang
memiliki porositas yang kecil. Lapisan kedap air memiliki sifat kapasitas panas
yang kecil sehingga pemantulan panas lebih besar. Salah satu solusinya adalah
dengan menggunakan atap hijau. Media tanam pada atap hijau dapat berupa tanah,
pasir atau bebatuan. Material tersebut memiliki porositas yang tinggi sehingga air
mudah masuk. Porositas yang tinggi memiliki kapasitas simpan panas yang tinggi
pula. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya penyerapan panas.
Atap hijau (green roof) adalah atap yang sebagian atau seluruhnya ditutup i
dengan vegetasi dan media tumbuh yang memberikan manfaat umum bagi
kota/masyarakat (Dyanna Becker dan Daisty Wang 2011). Salah satu manfaatnya
adalah mengurangi aliran panas (heat flow). Di Vancouver,B.C., Kanada,
pengurangan aliran panas pada saat musim semi/panas sebesar 83-85% dan pada
saat musim dingin/hujan sebesar 40-44%. Keseluruhan pengurangan adalah 66%
jika dibandingkan dengan atap konvensional.
Atap konvensional dalam hal ini adalah atap beton. Aliran panas atap beton
dengan atap hijau akan berbeda yang dipengaruhi oleh konduktivitas termal.
Konduktivitas termal (thermal conductivity) adalah jumlah panas yang
ditransmisikan melalui ketebalan unit dalam arah yang normal ke permukaan dari
satuan luas (Gaylon S.Campbell dan John M.Norman 1998). Nilai konduktivitas
panas dapat digunakan untuk mengukur penghematan energi atap. Oleh karena itu,
analisis diperlukan untuk mengetahui pengurangan panas oleh green roof.

Perumusan Masalah
1.
2.

Perumusan masalah pada penelitian ini sesuai dengan pertanyaan berikut.
Bagaimana gradien suhu udara dan tanah terhadap waktu pada sistem green
roof ?
Bagaimana perbandingan aliran panas antara atap beton dengan green roof ?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah untuk menguraika n
gradien suhu udara dan tanah sesuai ketinggian atau kedalaman terhadap waktu

2
pada green roof. Selain itu menguji perbedaan fluks panas antara green roof dan
atap beton.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang akan dilakukan ini adalah memungkinkan para
peneliti atau pelajar di masa datang memahami green roof. Selain itu manfaat
lainnya adalah mengetahui effisiensi dalam pengurangan aliran panas oleh green
roof. Data yang ada dapat digunakan untuk menganalisis aliran panas melalui
lapisan atap dan untuk mengendalikan tingkat pemanasan dan pendinginan tanah.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah menyiapka n
pemodelan green roof dengan lapisan dasar green roof berupa tanaman, tanah, ijuk
dan kerikil. Penggunaan sensor untuk mengukur distribusi suhu pada atap beton dan
lapisan media green roof dengan menggunakan sensor termokopel. Selain itu sensor
VH400 digunakan untuk mengukur distribusi kelembaban tanah pada lapisan green
roof. Analisis dilakukan terhadap perpindahan panas pada atap beton dan lapisan
green roof.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian yang akan dilakukan mulai Maret sampai Juli 2014. Percobaan
lapangan dilakukan di atap gedung Pusat Informasi Teknologi Pertanian (PITP),
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini diantaranya adalah
data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan berasal dari pemodelan
dengan menggunakan bahan-bahan seperti tanaman yaitu lili paris, tanah, ijuk dan
kerikil. Sedangkan data sekunder yaitu data suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin, radiasi matahari dan curah hujan di sekitar lingkungan PITP. Data
sekunder didapat dari stasiun cuaca Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB.

Alat
Alat yang digunakan untuk pemodelan green roof adalah kotak akrilik
berukuran 1m x 1m x 0,35 m, besi siku dan pipa untuk drainase berdiameter 5 cm
dengan panjang 1 m. Selain itu pipa berdiameter 10 cm dengan panjang 1 m

3
digunakan untuk pengukuran suhu udara. Penelitian untuk aliran panas dalam tanah
menggunakan sensor suhu yaitu termokopel dan sensor kelembaban yaitu VH400.
Midi logger adalah alat yang digunakan untuk merekam data hasil pengukuran
sensor dengan interval 5 menit. Alat pendukung lainnya adalah kipas, kabel, obeng,
solder, penggaris, wadah penampung air drainase, alat perekat, alat tulis dan laptop.
Software yang digunakan berupa Microsoft Word, Microsoft Excel dengan
Visual Basic dan GL220_820APS. Program microsoft digunakan untuk membantu
penelitian dan perhitungan cepat melalui program Visual Basic. GL220_820APS
adalah program graptech untuk menghubungkan Personal Computer (PC) dengan
midi logger.

Prosedur Analisis Data
Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga tahap. Tahap tersebut adalah
pembuatan pemodelan, pengambilan data dan pengolahan data dengan
menggunakan program komputer. Detail tahapan penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 2. Tahapan pertama dalam pembuatan pemodelan adalah merancang
bentuk dan lapisan yang akan digunakan. Lapisan yang digunakan berupa kerikil,
ijuk, tanah dan tanaman. Dimensi kotak disesuaikan dengan kebutuhan yaitu 1m x
1m x 0.35 m.
Atap memiliki kapasitas pembebanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu
diperlukan perhitungan beban green roof. Pembebanan dihitung pada setiap
material dengan menggunakan densitas setiap material. Satuan dalam densitas
adalah kg/m3 dan volume yang sudah ditentukan berupa cm3 yang dikonversi
menjadi m3 sehingga didapat beban setiap material. Beban green roof ini harus
kurang dari kapasitas beban atap. Hal itu dimaksudkan agar atap dapat menahan
beban dari green roof yang akan digunakan.
Tahap selanjutnya adalah membuat kotak model dengan ukuran 1m x 1m x
0.35 m menggunakan bahan akrilik. Lapisan green roof adalah kerikil (8 cm), ijuk
(5 cm), tanah (20 cm) dan tanaman lili paris (50 tanaman). Kemiringan pemodelan
yang digunakan sebesar 5° pada ketiga sudut kotak sehingga air drainase akan
keluar pada satu sudut. Pipa berlubang diletakkan di atas tanah green roof untuk
pengukuran suhu udara. Pada ujung pipa diletakkan kipas yang mengarah keluar.
Hal itu dimaksudkan bahwa persyaratan dalam pengukuran suhu udara adalah
sensor tidak boleh terkena cahaya matahari secara langsung dan harus berada dalam
udara yang bergerak. Selain itu, Pipa berlubang dan kipas angin diletakkan di atap
beton. Gambar pemodelan atap hijau dan atap beton dapat dilihat pada Gambar 1.
Sensor termokopel dan VH400 diletakkan di atap hijau dan atap beton. Pada
green roof, titik yang digunakan sebanyak tujuh titik yaitu -33 cm, -28 cm, -20 cm,
-10 cm, 0 cm, 20 cm dan 67 cm. Titik -33 cm berada di dasar green roof. Titik -28
cm berada di antara lapisan kerikil dan ijuk. Titik -20 cm berada di antara ijuk dan
tanah. Titik -10 cm berada di tanah kedalaman 10 cm. Titik 0 cm berada di
permukaan tanah. Titik 20 cm berada di dalam pipa 20 cm dari tanah. Titik 67 cm
berada di dalam pipa 67 cm dari tanah.
Sensor diletakkan juga di dalam pipa atap beton. Titik yang digunaka n
sebanyak tiga titik yaitu –33 cm, 17 cm dan 67 cm. Titik -33 cm berada di
permukaan atap beton. Titik 17 cm berada di 50 cm atas permukaan beton. Titik 67

4
cm berada di 100 cm atas permukaan beton. Posisi pipa tegak lurus dengan
permukaan beton tanpa kemiringan. Sketsa titik sensor dapat dilihat pada Lampiran
3.

Gambar 1 Pemodelan atap hijau dan atap beton
Kalibrasi adalah tahapan verifikasi bahwa suatu akurasi alat ukur sesuai
dengan rancangannya. Sensor termokopel yang digunakan dibandingkan dengan
termometer standar sehingga selisih perbedaan akan diketahui. Penambahan es batu
dan air dilakukan untuk mendapatkan suhu yang diinginkan. Kemudian grafik
dibuat dengan sumbu x adalah suhu yang terbaca oleh sensor dan sumbu y adalah
suhu di termometer standar.
Kalibrasi pada sensor kelembaban dilakukan dengan membandingkan dengan
kadar air tanah. Tanah diambil sebagai contoh uji kemudian ditimbang untuk
mendapatkan massa tanah. Contoh uji disimpan dalam oven dengan suhu 105°C
selama 24 jam. Contoh uji ditimbang kembali dan sensor kelembaban yaitu VH400
digunakan sehingga muncul nilai yang keluar berupa volts. Air ditambahkan pada
contoh uji dan disimpan dalam oven lagi. Prosedur yang sama dilakukan sampai
kadar air jenuh.
q = U x ΔT

dimana : q
=
U =
ΔT =

(1)
Fluks panas (W/m2 )
Keofisien konveksi (W/m2 K)
Gradien suhu (K)

Pengukuran laju fluks panas (heat flux) adalah pengukuran laju perpindahan
panas melalui bahan per satuan luas. Heat flux akan berbeda-beda sesuai dengan
suhu, material dan ketebalan lapisan setiap materialnya. Pengukuran laju
perpindahan ini secara konveksi sehingga persamaan yang digunakan berdasarkan
Hukum Newton. Nilai konduktivitas suhu berbeda-beda sesuai dengan material
yang digunakan.

5
1

U = [�� + ∑�=1

dimana : U
Lx
K
fi
fo



=
=
=
=
=

1 −1

+� ]

Koefisien konveksi (W/m2 K)
Jarak titik suhu (m)
Konduktivitas termal (W/mK)
Koefisien konveksi permukaan dalam
Koefisien konveksi permukaan luar

fi = 5.7 + 3.8 V
dimana : fi
V

(3)
=
=

fo = 1-0.0018 ̅
T-10

dimana : fo

ΔT
L

(2)

=
=
=
=

Koefisien konveksi permukaan dalam
Kecepatan angin (m/detik)
1.14 ΔT 0.31
L0.07

(4)

Koefisien konveksi permukaan luar
Suhu rata-rata material (K)
Gradien suhu (K)
Tebal material (m)

Konduktivitas termal yang digunakan sesuai dengan materialnya.
Konduktivitas termal kerikil, ijuk, tanah dan udara berturut-turut sebesar 0.27
W/mK, 0.04 W/mK, 0.41 W/mK dan 0.024 W/mK. Selain itu digunakan
konduktivitas termal beton sebesar 1.40 W/mK (ASHRAE 1967 dalam Dyanna
Becker dan Daisy Wang 2011). Kemudian panas yang hilang dapat diketahui
dengan membandingkan fluks panas atap hijau dengan atap beton.
Heatloss =

q kontrol -q atap hijau
q kontrol

x 100 %

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Pengukuran di Lingkungan Sekitar PITP
Suhu dan kelembaban setiap lingkungan akan berbeda-beda yang dipengaruhi
oleh morfologi lingkungan itu sendiri. Data kondisi umum di sekitar lingkunga n
PITP (Pusat Informasi Teknologi Pertanian) didapat dari stasiun cuaca Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB. Data yang digunakan dimulai dari tanggal 23
April sampai dengan 10 Juni 2014. Lokasi stasiun cuaca memiliki vegetasi dengan
rerumputan yang lebat dan letak pohon yang mengelilingi stasiun tersebut.

6

Gambar 2 Grafik distribusi suhu udara dan kelembaban udara selama pengukuran
Suhu maksimum terjadi pada tanggal 25 April 2014 pukul 15.00 WIB sebesar
34.6 °C. Sedangkan suhu minimum terjadi pada tanggal 23 Mei 2014 pukul 07.00
WIB sebsar 22.4°C. Pada kelembaban, interval nilai dari 51% sampai dengan 98%.
Pada grafik, suhu udara berbanding terbalik dengan kelembaban. Peningkatan suhu
disebabkan oleh pancaran radiasi matahari yang besar. Panas radiasi menyebabkan
terjadinya penguapan air. Kadar uap air dalam udara akan menguap dengan cepat.
Hal itu menyebabkan kelembaban rendah saat suhu tinggi.

Gambar 3 Data radiasi harian total di lingkungan sekitar PITP,IPB
Pada gambar, radiasi maksimum terjadi pada tanggal 23 April 2014 sebesar
182.05 MJ/m2 dan radiasi minimum sebesar 25 Mei 2014 sebesar 78.16 MJ/m2 .
Radiasi matahari ini akan mempengaruhi proses keseimbangan panas di dalam atap
hijau dan atap beton. Data radiasi total harian maksimum dan minimum dibuat
dalam bentuk diurnal harian agar terlihat fluktuatif dalam satu hari.

Gambar 4 Grafik hubungan waktu dan radiasi harian selama pengukuran
Pada gambar 5, Suhu pada siang hari lebih tinggi dari pada pada malam dan
pagi hari. Hal itu disebabkan karena terdapat sinar matahari yang menyebabkan

7
peningkatan suhu khususnya pada pukul 14.00 (Gambar 4). Pada pukul 12.00 waktu
setempat, matahari berada tegak lurus dengan atap menyebabkan peningkata n
beban panas. Panas di atmosfer akan melaju ke permukaan bumi sehingga sekitar
pukul 14.00 terjadi peningkatan suhu maksimum.

Gambar 5 Grafik suhu dan kelembaban diurnal harian selama
24 jam di lingkungan sekitar PITP,IPB

Kalibrasi Sensor
Kalibrasi sensor perlu dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara alat
yang akan digunakan dengan alat yang sudah distandarisasi. Sensor termokope l
yang digunakan sebanyak sepuluh sensor kemudian dibandingkan dengan
termometer standar. Kemudian grafik dibuat untuk melihat persamaan garis. Sumbu
y berupa suhu di termometer standar dan sumbu x yaitu suhu di sensor yang muncul
pada midi logger.

Gambar 6 Grafik hubungan sensor termokopel dengan termometer standar
Persamaan
Persamaan garis
Persamaan garis
Persamaan garis

garis yang dihasilkan pada sensor 1 adalah y = 1.0148x-0.6031.
yang dihasilkan pada sensor 2 adalah y = 1.0143x-0.585.
yang dihasilkan pada sensor 3 adalah y = 1.0209x-0.8274.
yang dihasilkan pada sensor 4 adalah y = 1.0165x-0.664.

8
Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 5 adalah y = 1.0133x-0.60207.
Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 6 adalah y = 1.0209x-0.778.
Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 7 adalah y = 1.033x-1.2695.
Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 8 adalah y = 1.0297x-1.1073.
Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 9 adalah y = 1.0128x-0.7167.
Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 10 adalah y = 1.0299x-1.181.
Kemudian persamaan digunakan untuk data suhu sensor sehingga sesuai dengan
standar.
Sensor kelembaban tanah menggunakan sensor VH400 yang harus
dikalibrasi. Kalibrasi sensor kelembaban membandingkan dengan kadar air tanah
(basis volume). Tanah yang digunakan pada awalnya tanah kering atau kadar airnya
rendah sampai tanah jenuh. Sensor dimasukkan ke dalam tanah setiap kali
penambahan air. Grafik dibuat sehingga muncul persamaan y = 0.1201x-21.639
dengan sumbu x adalah kadar air dan sumbu y adalah nilai yang terbaca oleh sensor
VH400. Persamaan digunakan untuk data kelembaban tanah.

Gambar 7 Grafik hubungan kadar air tanah dan nilai yang terbaca
oleh sensor VH400

Data Hasil Pengukuran Suhu
Suhu yang dihasilkan di atap hijau dan atap beton menunjukkan lebih besar
dari pada suhu lingkungannya (suhu yang terukur di stasiun cuaca). Hal itu
disebabkan keadaan atap PITP yang menggunakan material beton dan tidak adanya
vegetasi di sekitar titik pengukuran. Pada grafik terdapat data yang kosong sekitar
tanggal 13 Mei-18 Mei 2014. Data yang kosong disebabkan karena tidak dilakukan
pengukuran. Adanya permasalah pada tanggal 13 Mei yaitu berupa ganggua n
eksternal sehingga perlu dilakukan perbaikan. Perbaikan selama enam hari agar
pengukuran dapat dilakukan kembali.

9

Gambar 8 Grafik distribusi nilai suhu di atas green roof selama pengukuran
Di antara titik -33 cm dan titik -28 cm berupa material kerikil. Di antara titik
-28 cm dan titik -20 cm berupa material ijuk. Di antara titik -20 cm sampai titik 0
cm berupa material tanah. Di antara titik 0 cm dan 67 cm berupa udara bebas. Pada
green roof, interval suhu pada titik -33 cm sebesar 20-28.9°C. Interval suhu pada
titik -28 cm sebesar 20.3-29.9°C. Interval suhu pada titik -20 cm sebesar 21.530.9°C. Interval suhu pada titik -10 cm sebesar 22.2-31.8°C. Interval suhu pada titik
0 cm atau permukaan tanah sebesar 24.7-32.8°C. Interval suhu pada titik 20 cm
sebesar 24-33.9°C. Interval suhu pada titik 67 cm sebesar 22-34.9°C.

Gambar 9 Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di green roof
pada saat radiasi maksimum
Grafik suhu diurnal dibuat selama 24 jam pada saat radiasi maksimum. Grafik
diurnal dibuat untuk melihat fluktuasi suhu yang terjadi dalam satu hari. Pada grafik
dapat dilihat bahwa di siang hari, suhu udara lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
di kerikil, ijuk dan tanah. Hal itu menunjukkan adanya penyerapan panas oleh green
roof. Penyerapan panas material dipengaruhi oleh kapasitas panas. Kapasitas panas
yang menentukan jumlah energi yang diserap atau dilepaskan, atau perubahan
entalpi dalam tubuh sebelum suhunya berubah (Gunn D.A. 2005). Kapasitas panas
setiap material berbeda-beda. Kapasitas panas material kerikil, ijuk dan tanah lebih
besar dibandingkan kapasitas panas udara.
Pada malam dan pagi hari, suhu udara lebih rendah dibandingkan dengan
suhu kerikil, ijuk dan tanah. Hal itu menunjukkan adanya pelepasan panas oleh
ketiga material. Panas yang diterima pada siang hari akan dilepaskan pada malam
hari. Hal itu disebabkan panas bergerak dari suhu tinggi ke suhu yang lebih rendah.

10

Gambar 10 Grafik distribusi nilai suhu di atas atap beton selama pengukuran
Pada atap beton, interval suhu pada titik -33 cm sebesar 27-40.9°C. Interval
suhu pada titik 17 cm sebesar 27-39.9°C. Interval suhu pada titik -33 cm sebesar
27-38.9°C. Data diurnal harian dibuat pada saat radiasi maksimum. Pada Gambar
menunjukkan bahwa semakin ke bawah, suhu semakin tinggi. Suhu di permukaan
beton lebih tinggi dari pada suhu di titik 50 cm dan 100 cm di atas permukaan beton.
Hal itu disebabkan beton memiliki porositas yang kecil. Kapasitas panas
berbanding lurus dengan porositas material. Pemantulan panas di beton lebih besar
disebabkan kapasitas panas beton yang kecil.

Gambar 11 Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di
atap beton pada saat radiasi maksimum
Setiap waktu, suhu material akan berfluktuatif yang disebabkan oleh beberapa
faktor seperti suhu lingkungannya. Pada Gambar 10, grafik terjadi penurunan suhu
pada selang tanggal 9-12 Mei, 27-29 Mei, 1-4 Juni dan 5-6 Juni 2014. Penurunan
suhu pada atap beton disebabkan karena suhu lingkungan semakin menurun. Tetapi
berbeda pada tanggal 27-29 Mei dan 5-6 Juni. Pada grafik, suhu mengala mi
penurunan tetapi suhu lingkungan mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan oleh
radiasi matahari yang mengalami peningkatan (Gambar 12).

Gambar 12 Grafik distribusi suhu udara dan radiasi matahari selama pengukuran

11
Perpindahan Panas di Tanah
Tanah adalah material berpori yang terbuat dari partikel padat, air dan udara.
Aliran panas dalam tanah akan berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh ukuran
partikel tanah, kadar air tanah, kerapatan tanah, komposisi mineral dan suhu tanah.
Pada green roof, suhu dan konduktivitas termal adalah dua variabel untuk
menghitung perpindahan panas (Paulo Cesar T.V., et al 2012). Tingkat perpindahan
panas melalui bahan diatur oleh konduktivitas termal. Semakin tinggi konduktivitas
termal maka semakin besar perpindahan panasnya.
Umumnya bahan dengan massa termal yang tinggi akan memilik i
konduktivitas termal yang tinggi. Jika terdapat lapisan tanah dan vegetasi di atap
dapat mempengaruhi konduktivitas termal seluruh atap. Nakshabandi, 1964 dalam
Dyanna Becker dan Daisy Wang, 2011 menyebutkan bahwa perpindahan panas
lebih baik melalui air dan udara. Ketika kandungan air tanah meningkat maka
konduktivitas termal akan cepat meningkat. Jika kadar air mencapai kapasitas
maksimum maka konduktivitas termal akan melambat. Hal itu karena tambahan air
tidak akan memberikan konstribusi lebih dalam perpidahan panas melalui padatan.

Gambar 13 Grafik distribusi kelembaban tanah dan curah hujan selama
pengukuran
Suhu tanah yang tinggi berbanding terbalik dengan kelembaban tanah. Salah
satu yang mempengaruhi kelembaban tanah adalah curah hujan. Pada grafik dapat
dilihat bahwa terjadi fluktuatif dengan curah hujan maksimum sebesar 16.4 mm
pada tanggal 26 April 2014 pukul 17.00 WIB. Pada saat itu, kelembaban tanah
masih rendah yaitu sekitar 64%. Tetapi selanjutnya kelembaban tanah meningkat
yaitu menjadi 82%. Hal itu disebabkan karena terdapat proses pergerakan dan
penyerapan air oleh tanah.
Air hujan yang diterima tanah akan berkumpul di permukaan tanah. Gaya
gravitasi membuat adanya infiltrasi dan perkolasi. Infiltrasi adalah proses
masuknya air ke dalam tanah. Sedangkan perkolasi adalah kelanjutan dari infiltras i
yaitu masuknya air ke tanah yang lebih dalam. Proses itu memerlukan waktu
sehingga adanya curah hujan tidak membuat tanah menjadi lembab secara
langsung.
Pada tanggal 5-8 Mei 2014 dan 4-7 Mei 2014 terjadi penurunan kelembaban
tanah yang disebabkan oleh radiasi matarahari. Radiasi matahari dapat
menyebabkan evaporasi pada tanah. Evaporasi adalah proses penguapan dimana air
dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air (vaporazion) dan dipindahkan dari
permukaan penguapan (vapour removal). Gaya penggerak untuk memindahkan uap
air dari permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan. Tekanan permukaan

12
berbeda dengan tekanan udara atmosfir. Hal itu menyebabkan air yang ada di
permukaan bumi akan menjadi uap air di udara.

Gambar 14 Grafik distribusi radiasi matahari dan kelembaban tanah selama
Pengukuran

Gradien Suhu
Gradien suhu adalah perubahan suhu terhadap kedalaman atau ketinggia n
yang dapat memberitahu pergerakan suhu secara vertikal yang biasanya digambar
sebagai grafik dalam sistem koordinat dimana sumbu Y adalah ketinggian dan
sumbu X adalah suhu. Radiasi maksimum menyebabkan suhu pada setiap material
menjadi tinggi. Pada satu hari, suhu akan berfluktuatif dengan suhu maksimum
terjadi pada siang hari dan suhu minimum terjadi pada pagi dan malam hari. Pada
siang hari, suhu berada di sekitar 29-34°C untuk kedua jenis atap. Pada pagi dan
malam hari, suhu berada di sekitar 26-31°C.

Gambar 15 Grafik gradien suhu saat radiasi maksimum (a) pagi 10.00 WIB,
(b) siang 14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB
Saat radiasi minimum, suhu material yang diterima lebih kecil dari pada hari
lainnya. Saat siang hari, suhu yang diterima atap hijau dan atap beton sekitar 2731°C. Pada malam dan pagi hari, suhu yang dihasilkan lebih rendah dari siang hari
sekitar 26-29°C. Suhu yang rendah pada malam dan pagi hari disebabkan tidak
adanya radiasi matahari atau sumber panas lainnya.

13

Gambar 16 Grafik gradien suhu saat radiasi minimum (a) pagi 10.00 WIB,
(b) siang 14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB
Gambar suhu harian memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan suhu pada
atap hijau (garis biru). Semakin ke dalam suhu yang dihasilkan semakin rendah.
Hal itu menunjukkan adanya penyerapan panas oleh material dalam hal ini kerikil,
ijuk dan tanah. Adanya penyerapan panas akan membuat gradien suhu bernilai
negatif. Sedangkan pada atap beton, suhu ke permukaan semakin meningkat. Hal
itu akan menyebabkan gradien suhu bernilai positif.
Adanya perbedaan gradien suhu di atas atap akan mempengaruhi suhu di
bawah atap atau di dalam ruangan. Pada atap beton, suhu di dalam ruangan akan
lebih panas dari pada suhu di luar ruangan. Hal itu disebabkan karena beton mudah
meneruskan panas. Selain itu pada atap beton tidak adanya penyerapan dan
penyimpanan panas. Menurut Mangun Wijaya Y.B 1994 dalam Yuniati 2013 secara
umum suhu ruangan yang ideal ialah antara 20°C-25°C dan kelembaban 40%-50%.
Penggunaan green roof diterapkan sehingga suhu di ruangan menjadi lebih rendah
dengan pengurangan suhu sekitar 3-5°C jika dibandingkan dengan atap beton.

Laju Perpindahan Panas
Perpindahan panas (heat transfer) adalah perpindahan energi karena adanya
perbedaan temperatur (gradien suhu). Ada tiga bentuk mekanisme perpindahan
panas yang diketahui, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Konduksi merupakan
perpindahan panas dari tempat yang bertemperatur tinggi ke tempat yang
bertemperatur rendah di dalam medium yang bersinggungan langsung. Konveksi
adalah perpindahan panas yang terjadi antara permukaan padat dengan fluida yang
mengalir di sekitarnya dengan menggunakan media penghantar berupa fluida
(cairan/gas). Radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi karena pancaran/
sinaran/radiasi gelombang elektromagnetik tanpa memerlukan media perantara.
Pengukuran perpindahan panas dilakukan secara konveksi sehingga
persamaan yang digunakan adalah Hukum Newton. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fluks panas adalah luas penampang material, tebal material, gradien
suhu, arah rambatan kecepatan angin dan konduktivitas termal. Konduktivitas
termal kerikil, ijuk, tanah, udara dan beton berturut-turut sebesar 0.27 W/mK, 0.04
W/mK, 0.41 W/mK, 0.024 W/mK dan 1.40 W/mK.

14

Gambar 17 Fluks panas di green roof
Interval fluks panas untuk kerikil dan ijuk sebesar 324.2-342.0 MJ/m2 jam dan
76.4-80.1 MJ/m2 jam. Sedangkan interval untuk tanah green roof dan udara di
atasnya sebesar 395.3-416.8 MJ/m2 jam dan 17.5-18.0 MJ/m2 jam. Fluks panas
tertinggi terjadi di media tanah. Hal itu disebabkan tebal lapisan yang mencapai 20
cm dan konduktivitas termal yang paling tinggi di antara kerikil, ijuk dan udara
yaitu sebesar 0.41 W/mK.
Pada atap hijau, energi panas terjadi pada udara, material yang digunaka n
dalam atap hijau dan uap air yang dihasilkan dari penguapan. Keseimbangan energi
panas dalam atap hijau atau green roof adalah absorption, reflection dan
evapotranspiration. Absorption adalah penyerapan yang dalam hal ini yaitu panas
matahari oleh material di permukaan bumi. Reflection adalah pemantulan radiasi
matahari oleh material. Evapotranspiration adalah perpaduan antara evaporasi dan
tranpirasi yaitu penguapan dari bentuk cair menjadi uap air baik oleh tanah dan
tanaman.

Gambar 18 Fluks panas di atap beton
Interval fluks panas yang terjadi di atap beton sekitar 957.3-996.6 MJ/m2 jam.
Terjadinya fluktuatif pada fluks panas beton disebabkan karena radiasi matahari
dan curah hujan yang terjadi. Pada atap beton menghasilkan fluks panas yang lebih
tinggi dari pada atap hijau. Hal itu disebabkan gradien suhu atap beton lebih besar
dari pada atap hijau sehingga panas yang hilang dapat diketahui.
Pada atap beton, keseimbangan energi terjadi pada udara dan materia l.
Perbedaan keseimbangan panas antara atap hijau dengan atap hijau adalah tidak
adanya proses Evapotranspiration. Hal itu menyebabkan proses pemantulan panas
di atap beton lebih besar dari pada di atap hijau. Perbedaan itulah dapat
menyebabkan pengurangan panas atau heatloss.

15
Panas yang Hilang
Interval perpindahan panas di green roof sebesar 807.52 MJ/m2 jam dan di
atap beton sebesar 975.47 MJ/m2 jam. Adanya selisih fluks panas antara atap beton
dan green roof maka akan terjadi pengurangan panas oleh green roof. Panas yang
hilang yang disebabkan dengan adanya green roof sebesar 17.30%. Pada atap hijau
akan terjadi penyerapan panas sehingga panas yang dihasilkan akan lebih kecil jika
dibandingkan atap beton. Hal itu disebabkan oleh kapasitas panas dan konduktivitas
termal material.
Kapasitas panas volumetrik (volumetric heat capacity) adalah jumlah dari
kapasitas panas dalam hal ini komponen tanah, ijuk dan kerikil. Kapasitas panas
material sesuai dengan porositas material. Semakin banyak porositas pada material
maka kapasitas panas akan lebih besar. Hal itu disebabkan karena perpindahan
panas lebih baik melalui air dan udara. Tanah, ijuk dan kerikil memiliki porositas
yang tinggi sehingga terjadi penyerapan panas. Hal itu berbanding terbalik dengan
beton yang memiliki kepadatan material yang sangat kuat.

Gambar 19 Fluks panas di green roof dan atap beton
Konduktivitas termal (thermal conductivity) adalah jumlah panas yang
ditransmisikan melalui ketebalan unit dalam arah yang normal ke permukaan dari
satuan luas (Gaylon S.Campbell dan John M.Norman 1998). Konduktivitas termal
sesuai dengan jenis materialnya. Jika porositas material semakin rendah maka
konduktivitas termalnya semakin tinggi. Beton memiliki porositas yang rendah
sehingga konduktivitas termalnya tinggi mencapai 1.40 W/mK.
Konsep penyerapan panas oleh green roof yaitu radiasi matahari yang
diterima material akan disimpan oleh material penyusunan lapisan media tanam
green roof dalam hal ini adalah tanah, ijuk dan kerikil. Perpindahan suhu akan
terjadi dengan meneruskan panas dari lapisan media tanam paling atas sampai
dengan lapisan yang paling bawah dalam hal ini tanah sampai ke kerikil. Kemudian
berlanjut ke dalam suhu di dalam ruangan sehingga suhu di ruangan akan lebih
rendah dibandingkan dengan suhu dalam ruangan atap beton. Penyimpanan panas
akan terjadi pada material sesuai dengan kapasitas panasnya masing- masing. Panas
akan dilepaskan pada malam dan pagi hari karena panas bergerak dari suhu tinggi
ke suhu rendah. Penyimpanan panas oleh green roof akan menyebabkan
pengurangan panas jika dibandingkan dengan atap konvensional dalam hal ini
adalah atap beton.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Gradien suhu pada green roof semakin ke bawah maka suhu semakin turun.
Hal itu disebabkan adanya penyerapan panas. Sedangkan pada atap beton suhu
semakin meningkat jika mendekati permukaan beton. Peningkatan suhu disebabkan
adanya pantulan dari material dalam hal ini beton ke udara. Rata-rata perpindahan
panas di green roof sebesar 807.52 MJ/m2 jam dan di atap beton sebesar 975.47
MJ/m2 jam. Pada atap beton menghasilkan fluks panas yang lebih tinggi dari pada
atap hijau. Sehingga panas yang hilang yang disebabkan dengan adanya green roof
sebesar 17.30%.

Saran
Penelitian dari awal harus memperhitungkan gangguan eksternal seperti
adanya hewan yang dapat mengganggu pengukuran. Hal itu akan mengura ngi
kesalahan sehingga tidak ada data yang kosong. Selain itu pengamatan perlu
dilakukan setiap hari baik pagi, siang dan malam agar saat langsung diperbaiki jika
tidak sesuai dengan standar.

DAFTAR PUSTAKA
American Society of Heating, Refrigerating and Air-Condition Engineers, Inc.
1967. Handbook of Fundamentals. New York, NY: ASHRAE.
Anwar, Nadjadji dkk. 2012. Penentuan Nilai Konduktivitas Hidrolik Tanah Tidak
Jenuh Menggunakan Uji Resistivitas di Laboratorium. Jurnal Teknik
Pengairan , Volume 3, Nomor 1, Mei 2012, Hlm 81–86. Jurusan Teknik Sipil,
FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
BCIT Green Roof Research Facility. 2003. Centre for the Advancement of Green
Roof Technology. Vancouver,B.C., Canada.
Becker Dyanna dan Wang Daisy. 2011. Green Roof Heat Transfer and Thermal
Performance Analysis. Civil and Environmental Engineering. Carnegie
Mellon University.
BIG (Badan Informasi Geospasial). 2013. Ruang Terbuka Hijau Yang Semakin
Terpinggirkan.
Caesar, Paulo T.V., et al. 2012. Validation of Predictive Heat and Mass Transfer
Green Roof Model With Extensive Green Roof Field Data. Ecologica l
Engineering. The Pennsylvania State University. United States
Campbell, Gaylon S. Dan Norman, John M. 1998. An Introduction to
Environmental Biophysics. Second Edition. Springer-Verlag New York, Inc.
D.A. De Vries. 1952. The Thermal Conductivity of Soil. Meded. Landbouwhogesc h,
Wageningen.

17
D.A. Gunn, L.D. Jones, M.G. Raines, D.C. Entwisle, and P.R.N. Hobbs.2005.
Laboratory Measurement and Correction of Thermal Properties for
Application to The Rock Mass. Geotech. Geol. Eng., 23, 773-791.
Komar, Nur dkk. 2001. Teknik Penyimpanan Bawang Merah Pasca Panen di Jawa
Timur. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 2, No. 2, Agustus 2001: 79-95.
Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universita s
Brawijaya.
Mangunwijaya YB dalam Yuniati. 2013. Analisis Perbandingan Kenyamanan
Termal Gedung Kuliah B1, FEM – IPB dengan Menggunakan Atap Beton
dan Green Roof (Tanaman Hias). Departemen Teknik Sipil dan Lingk unga n.
IPB. Bogor.
Ma’sum, Zuhdi dkk. 2012. Analisis Perpindahan Panas Dengan Konveksi Bebas
dan Radiasi Pada Penukar Panas Jenis Pipa dan Kawat. Jurnal Teknik Kimia
Vol.7, No.1, September 2012. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi
Industri, Univeritas Tribhuwana Tunggadewi, Malang.
Nababan, Binsar dkk. 2006. Analisis Eksergi Penyimpanan Panas Untuk Sistem
Berenergi Surya. Bagian Energi Dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen
Teknik Pertanian, Intsitut Pertanian Bogor.
Nakshabandi, G. and Kohnke, H., 1964. Thermal Conductivity and Diffusivity of
Soils as Related to Moisture Tension and Other Physical Properties.
Agricultural Meteorology 2 (1965), pp. 271-279.
Prasetyo, Eko. 2004. Perancangan penyimpan Panas Pada Pengering Tembakau
dengan Memanfaatkan Tenaga Surya. Teknik Fisika FTI-ITS.
P.J. Wierenga, D.R. Nielsen, and R.M. Hagan. 1969. Thermal properties of soil
based upon field and laboratory measurements. Soil Science Society of
America Proceedings, 33, 354-360.
Rosenzweig C, Soelcki WD, Parshall L, Lynn B, Cox J, Goldberg R, et al. 2009.
Integrating Stakeholder Perspectives and Scientific Evaluation. Bulletin
American Meteorological Society.1297–311.
Stewart, Curtis. 2005. Thinking Above the Box: Green Roof History and Systems.
Department of Plant Sciences. The University of Tennessee.
Sucipta, Made. 2011. Analisa Performansi Destilasi Air Laut Tenaga Surya
Menggunakan Penyerap Radiasi Surya Tipe Bergelombang Berbahan Dasar
Beton. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol. 5 No.1. April 2011 (7-13). Jurusan
Teknik Mesin,Fakultas Teknik Universitas Udayana.
Sysoev, Victor V Et All. 2014. Temperature Gradient Effect On Gas
Discrimination Power Of A Metal-Oxide Thin-Film Sensor Microarray.
Departmen Fisika, Saratov State Technical University, Polytechnichesk a ya
77, Saratov 410054, Russia.

18
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

19
Lampiran 2 Detail tahapan penelitian

20

21

22

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 10 Desember 1992 dari ayah
Achmad Sutedjo dan ibu Lilis Darwati. Penulis adalah putri ketiga dari empat
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Garut dan pada tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknik Sipil
dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkulihan, penulis menjadi asisten praktikum Polusi
Tanah dan Air Tanah pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014, asisten
praktikum Analisis Struktur pada tahun ajaran 2012/2013, asisten praktikum
Teknik Kontrol Lingkungan pada tahun ajaran 2013/2014 dan asisten praktikum
Teknik Lingkungan Biofisik pada tahun ajaran 2013/2014. Bulan Juni-Agustus
2013, penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT.Indonesia Power UBP
Kamojang dengan judul Mempelajari Dampak Lingkungan Pengelolaan Listrik
Tenaga Panas Bumi.
Penulis pernah aktif sebagai anggota Akustik Club di Asrama TPB IPB pada
tahun 2010/2011, staf Kependidikan Himpunan Mahasiswa Garut 2011/2012, staf
Departemen Mitra Desa BEM FATETA 2011/2012 dan Sekretaris Umum 1
HIMATESIL 2012/2013. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan dan
kegiatan seminar, pelatihan dan forum di lingkungan kampus ataupun di nasional.