Pemanfaatan hasil samping untuk pembangkitan energi dan air pada produksi gula kristal putih

PEMANFAATAN HASIL SAMPING UNTUK
PEMBANGKITAN ENERGI DAN AIR PADA PRODUKSI
GULA KRISTAL PUTIH

DESTIARA NOVITASARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Hasil Samping
untuk Pembangkitan Energi dan Air pada Produksi Gula Kristal Putih adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Destiara Novitasari
NIM F34100043

ABSTRAK
DESTIARA NOVITASARI. Pemanfaatan Hasil Samping untuk Pembangkitan
Energi dan Air pada Produksi Gula Kristal Putih. Dibimbing oleh TAJUDDIN
BANTACUT.
Proses produksi gula memerlukan energi dan air dalam jumlah besar.
Sebaliknya, ketersediaan sumber energi dan air bersih semakin menurun.
Pemanfaatan hasil samping secara optimal dapat memenuhi kebutuhan energi dan
air dalam proses produksi sehingga menjadi mandiri energi dan air. Ruang lingkup
studi ini adalah menganalisis kesetimbangan massa, mengkaji potensi energi dari
hasil samping, dan membangun aliran tertutup proses produksi gula mandiri
energi dan air dengan minimal input serta optimal output. Studi ini menggunakan
data sekunder dan data faktual pabrik. Input yang dimasukkan ke dalam sistem
adalah tebu, air, dan bahan tambahan dalam produksi gula. Model proses produksi
tertutup dikembangkan menggunakan prinsip kesetimbangan massa yang

bertujuan untuk mengkaji efisiensi sistem dan rendemen. Kesetimbangan massa
memperlihatkan jumlah hasil samping yang belum dimanfaatkan, sehingga
diketahui besar potensi energi yang dapat dihasilkan secara mandiri. Hasil studi
ini menunjukkan bahwa rendemen gula dapat mencapai 11,82%. Potensi energi
pabrik gula kapasitas 3000 ton tebu per hari yang dapat dimanfaatkan adalah
2.237.500.775 kkal per hari. Potensi energi tersebut dapat memenuhi kebutuhan
energi pabrik, bahkan terdapat kelebihan energi 37.081 kWh dan air 1.477 ton air
per hari. Kelebihan tersebut dapat dijual atau sebagai cadangan energi. Studi ini
menjelaskan bahwa pabrik gula dapat mandiri energi dan air dengan
memanfaatkan energi hasil samping secara optimal dan peningkatan efisiensi
sistem. Hasil penelitian dapat menjadi pertimbangan kebijakan pembatasan
penggunaan energi fosil pada pabrik gula.
Kata kunci: pembaruan energi dan air, industri gula, sistem tertutup.

ABSTRACT
DESTIARA NOVITASARI. By-product Utilization for Power and Water
Generation in White Sugar Production. Supervised by TAJUDDIN BANTACUT.
Sugar production process consumes a lot of energy and water. In contrast,
the availability of energy and clean water sources are now declining. Optimal
utilization of by-products as a new source of energy and water would meet the

need of sugar processing requirement and possible to create an independent
process of energy and water. The scope of this study were to analyze the mass
balance, assess the energy content of by-product, and build a closed flow of the
production process independent energy and water. This study used secondary data
and sugar mill factual data. The inputs entered into the system is the sugar cane,
water, and additives. Closed production system model was developed using the
mass balance principle by assessing the efficiency of the system and yield. Mass
balance showed the amount of by-products from which the potential energy and
water were calculated. This study showed sugar yield of 11.82% is achievable.

Potential energy of 3,000 ton cane per day mill that can be utilized is
2,237,500,775 kcal per day. This potential energy can meet the energy needs of
the plant, with an energy excess of energy of 37,081 kWh. In addition the factory
may product surplus water of 1,477 ton per day. The study explains that the sugar
mills can be independent of energy and water by optimizing the utilization of byproducts and the efficiency of the system. The results of the study can be
considered energy policies to limit the use of fossil energy in sugar mill.
Keywords: energy and water cogeneration, sugarcane mill, closed system.

PEMANFAATAN HASIL SAMPING UNTUK
PEMBANGKITAN ENERGI DAN AIR PADA PRODUKSI

GULA KRISTAL PUTIH

DESTIARA NOVITASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah sistem

produksi tertutup, dengan judul Pemanfaatan Hasil Samping untuk Pembangkitan
Energi dan Air pada Produksi Gula Kristal Putih.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Tajuddin Bantacut, MSc
selaku pembimbing yang telah memberi arahan selama penelitian dan penulisan
skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, dan keluarga
yang senantiasa memberikan semangat dan doanya. Terima kasih kepada temanteman Teknologi Industri Pertanian angkatan 47 atas semangat dan bantuan yang
telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada FRH,
supergirl 34, anak manja, dan kerabat-kerabat dekat yang selalu memberikan
semangat, kebahagiaan, mendampingi dalam proses pembelajaran dan
pendewasan diri. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2015
Destiara Novitasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian


2

METODE PENELITIAN

3

Waktu dan Tempat Penelitian

4

Pemodelan Neraca Massa Produksi Gula

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

14

Neraca Massa Level II


15

Neraca Massa Level III

16

Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas

17

Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas, Blotong, Molase

20

Produksi Gula Mandiri Air

22

SIMPULAN DAN SARAN


24

Simpulan

24

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP


37

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9

Keterangan simbol model neraca massa level II
Faktor efisiensi pada model Level II
Keterangan kompartemen model neraca massa level III
Keterangan simbol model neraca massa level III
Faktor efisiensi pada model Level III
Neraca massa proses produksi gula level I

Output model neraca massa Level II
Perbandingan neraca massa dengan data faktual pabrik gula
Basis nilai kalor yang terkandung dalam hasil samping produksi
gulaa
Tabel 10 Kemampuan hasil samping sebagai pemasok kebutuhan energi
Tabel 11 Alternatif pembaruan efisiensi potensi energi blotong
Tabel 12 Potensi hasil samping model tertutupa
Tabel 13 Volume air teruapkan dari proses produksi GKP

6
7
9
9
14
15
16
16
19
20
21
22
23

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Model neraca massa produksi gula level I
Gambar 2 Model neraca massa produksi gula level II
Gambar 3 Model neraca massa produksi gula level III
Gambar 4 Hasil perhitungan model neraca massa level III
Gambar 5 Model cogeneration proses produksi menurut Ensinas et al.
(2007)
Gambar 6 Model proses produksi mandiri energi dan air
Gambar 7 Perbandingan model standar dan sistem manajemen air non
limbah (Esmeris 2012)

5
5
8
17
18
19
23

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8

Aliran sistem proses produksi gula
Perhitungan model neraca massa level II
Perhitungan model neraca massa level III
Perhitungan potensi energi hasil samping berdasarkan model
neraca massa level III
Potensi masing-masing hasil samping
Potensi energi hasil samping dengan proses pengolahan
Model aliran proses produksi tertutup (mandiri energi dan air)
Model aliran proses produksi mandiri energi dan air (english
version)

28
29
30
32
33
34
35
36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses produksi gula membutuhkan energi dan air dalam jumlah besar.
Kebutuhan energi adalah energi panas dan listrik, yaitu 200-500 kg uap dan 20-24
kWh per ton tebu (Hariyanto 2011; Bhatt, et al. 2001; Pipo dan Luengo 2013).
Hal tersebut setara dengan data parameter operasional yang menyebutkan bahwa
konsumsi listrik per ton tebu adalah 25 kWh (Pippo et al. 2013). Pabrik gula di
Indonesia rata-rata berkapasitas 3000-7000 ton tebu per hari, sehingga
membutuhkan energi panas dan listrik sekitar 600-1.500 ton uap dan 75-175 MWh
per hari.
Kebutuhan energi tersebut akan terus meningkat seiring pertambahan
jumlah kebutuhan gula. Sebaliknya, persediaan energi semakin berkurang.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tahun 2012, mencatat
bahwa konsumsi energi meningkat rata-rata 7,1% per tahun dan didominasi oleh
sektor industri. Diperkirakan, sektor industri dapat mendominasi 47,3% di tahun
2030. Laju pertumbuhan permintaan energi rata-rata sebesar 6,2% per tahun
(KESDM 2010). Ketergantungan energi fosil didominasi kebutuhan minyak
mencapai 41,8%, batu bara 29% dan gas 23%. Kebutuhan ini untuk memenuhi
sektor industri yang mendominasi sebesar 37% penggunaan energi fosil di
Indonesia (ESDM 2007). Kebutuhan dalam jumlah besar ini ternyata tidak bisa
ditopang oleh cadangan energi di Indonesia yang kian menipis. Cadangan minyak
misalnya, hanya cukup untuk 23 tahun, gas untuk 50 tahun dan batu bara 80 tahun
mendatang. Ketiadaan energi akan mempengaruhi kelancaraan produksi di sektor
industri, termasuk di industri gula.
Selain itu, produksi gula juga membutuhkan air dalam jumlah yang cukup
besar. Kebutuhan air selama proses produksi gula adalah sekitar 2,1-2,8 m3 per
ton tebu (Esmeris 2012). Sama halnya dengan energi, persediaan air bersih akan
semakin berkurang. Persediaan air bersih hanya 2,5% dari jumlah air di dunia dan
hanya 1% yang dapat dikonsumsi (Esmeris 2012), dan di dunia hanya tersedia
100.000 km3 air per tahun (Gleick 1994). Pertambahan populasi, kontaminasi
sumber air karena aktivitas manusia, permintaan teknologi baru, menyebabkan
perubahan iklim dan krisis air secara global (UNESCO 2009). Kurang lebih 4%
dari persediaan air tanah sudah tercemar karena aktifitas hidup manusia (Esmeris
2012).
Proses produksi gula menghasilkan hasil samping dengan potensi energi
yang dapat dimanfaatkan, seperti ampas tebu memiliki nilai kalor sebesar 2035
kkal/kg, molase 2700 kkal/kg, blotong 3319 kkal/kg (Moerdokusumo 1993), dan
daun kering 3500 kkal/kg (Subiantoro 2006; Kurniawan dan Santoso 2009).
Pengembangan energi biomassa dengan memanfaatkan hasil samping tidak
termanfaatkan perlu dikembangkan untuk mengatasi ketergantungan dalam
penggunaan energi fosil. Konversi hasil samping dapat menjadi sumber energi
atau bahan penunjang produksi, dan mendaur ulang limbah menjadi produk yang
memiliki nilai guna, seperti pupuk, bioetanol, dan sebagainya. Sebagai contoh,
abu bagasse diolah menjadi bata beton pejal, blotong menjadi bata beton pejal,
dan blotong sebagai bahan pembuatan genteng keramik dan lumpur spray pund

2
sebagai pembuatan sumber protein tinggi untuk nutrisi makro biota air
(Kemenprin 2013). Diversifikasi produk dilakukan Thailand, yaitu produksi etanol
berbasis molase dari tebu, dengan target produksi sebesar 1,92 juta liter per
harinya (Nguyen, et al. 2008).
Pabrik Belle Vue di Mauritius telah memproduksi 105 GWh listrik dari
ampas yang diperoleh dari pengolahan 210 ton tebu per jam (Deepchand 2005).
Pasokan listrik di Mauritius sekitar 26% dan di Hawai 10% dihasilkan oleh pabrik
gula (WADE 2004). Cogeneration dapat menghasilkan listrik 10.500 MWh
melebihi kebutuhan operasional pabrik 3500 MWh, sehingga kelebihan 7000
MWh berpotensi sebagai produk komersil tambahan pabrik gula. Sebagai contoh
NSL Sugars Limited dan Boumar Amman yang ada di Karnataka India sudah
mampu menghasilkan listrik 30 MWh dan etanol 120 kilo per liter per hari
(Tayibnapis 2013). Di Zimbabwe mempunyai potensi untuk menghasilkan 210
MWh listrik (Mbohwa 2003). Di Afrika Selatan dengan mengolah 6000 ton tebu
dapat menghasilkan energi 1 GWh (Mashoko et al. 2013). Alternatif tersebut
menjadi dasar pengembangan aliran proses mandiri energi dan air (closed
production process) dengan zerowaste, agar proses produksi dapat mandiri energi
dan air, sehingga efisiensi proses produksi meningkat.
Berdasarkan fakta tersebut, maka penelitian tentang pengembangan proses
produksi gula menjadi aliran mandiri energi dan air perlu dilakukan. Fokus utama
studi adalah mengkaji pemanfaatan hasil samping sebagai sumber energi,
mengkaji dan menggambarkan siklus massa dan energi di pabrik gula, mengkaji
efisiensi proses, mengkaji potensi hasil samping menjadi energi, dan merancang
sistem aliran proses mandiri energi dan air.

Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah pengembangan rancangan proses
produksi gula yang mandiri energi dan air, minimal input dan optimal output.
Sistem produksi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip kesetimbangan massa dan
energi. Untuk mencapai tujuan ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1. Menganalisis kesetimbangan massa dalam produksi gula kristal putih
2. Mengkaji kandungan energi dari hasil samping
3. Merancang model proses produksi gula mandiri energi dan air (minimal input,
optimal output)

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada analisis proses produksi berdasarkan prinsipprinsip kesetimbangan massa, analisis potensi energi yang dapat dihasilkan dari
hasil atau produk samping produksi gula agar membentuk sistem aliran massa dan
energi tertutup pada proses produksi gula. Basis penelitian yang digunakan adalah
proses produksi gula kristal putih di PT. PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang,
dengan kapasitas 3000 ton tebu per hari (TCD).

3

METODE PENELITIAN
Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari sumber primer (neraca massa faktual PT. PG
Rajawali II Subang) dan sekunder (laporan penelitian, jurnal, skripsi, tesis,
desertasi, buku, majalah, dan situs web) yang mencakup aliran massa proses
produksi, kebutuhan energi dan air, sumber energi, dan hasil samping produksi.
Sebagian besar sumber data sekunder berasal dari data produksi pabrik gula yang
menerapkan sistem mandiri energi dan air.
Pendekatan Sistem
Pemodelan neraca kesetimbangan massa menggunakan pendekatan
perhitungan linier berdasarkan data yang tersedia. Pendekatan sistem bertujuan
untuk menemukan faktor-faktor kritis dan mencari solusi optimal dari nilai
keluaran massa yang relevan dengan menggunakan model kuantitatif untuk
mendukung pengambilan keputusan.
Proses produksi gula merupakan sistem yang kompleks yang melibatkan
banyak faktor dan kendala yang terkait satu sama lain. Faktor dan kendala tersebut
adalah masukan (input) bahan dan energi, hasil samping terbuang, dan kebutuhan
energi serta air dalam jumlah besar. Pendekatan komprehensif diperlukan untuk
menemukan solusi optimal penggunaan energi dan air. Oleh karena itu,
pendekatan sistem ini digunakan untuk menganalisis aliran massa, kebutuhan
energi dan air, serta potensi energi hasil samping dari proses produksi gula.
Sistem Identifikasi
Proses produksi gula terdiri dari lima kompartemen utama yaitu stasiun
gilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, stasiun masakan, dan stasiun
putaran. Bahan masukan utama adalah tebu dengan kapasitas 3000 ton per hari,
ditambah dengan air dan bahan pembantu (kapur, flokulan, gas SO2). Hasil
keluaran utama adalah gula kristal putih dan hasil samping berupa ampas, blotong,
air dan molase. Ampas merupakan keluaran dari kompartemen ke-1 (stasiun
gilingan), blotong dari kompartemen ke-2 (stasiun pemurnian), air dari
kompartemen ke-3 dan ke-4 (stasiun penguapan dan masakan), dan molase dari
kompartemn ke-5 (stasiun putaran).
Sistem Batas
Sebuah model sederhana (Model Level I) dikembangkan dengan asumsi
bahwa proses produksi gula adalah satu kompartemen yang menghubungkan input
(I), produk (P) dan hasil samping (C) (Gambar 1). Meskipun model sederhana ini
tidak dapat menentukan aliran I, P, dan C secara spesifik, sistem ini dapat
digunakan untuk menghitung efisiensi. Perbaikan dan pengembangan model
dilakukan untuk menemukan model yang akurat, konsisten, dan rinci sesuai
dengan proses produksi gula faktual.
Model Level II merupakan pengembangan Model Level I, terdiri dari lima
kompartemen yang menggambarkan lima stasiun utama dalam proses produksi
gula (Gambar 2). Model Level III mengidentifikasi sistem dengan pendekatan dan
prinsip-prinsip yang sama untuk kompartemen Model Level I dan II. Model Level
III merinci menjadi sub-kompartemen yang meggambarkan aliran massa antar alat
dalam setiap stasiun produksi gula (Gambar 3).

4
Model Deskripsi
Model neraca massa merupakan gambaran situasi nyata aliran massa dalam
proses produksi gula. Model dikembangakan untuk meningkatkan akurasi dan
mendapatkan model yang sesuai dengan proses produksi gula nyata. Input dalam
pemodelan sebagai peubah bebas dan output merupakan peubah tidak bebas.
Pemodelan akan menghasilkan nisbah (koefisien efisiensi) dan nilai peubah tidak
bebas dengan menggunakan prinsip persamaan linear. Alat hitung yang digunakan
adalah microsoft excel.
Pemodelan neraca massa menggunakan basis aliran produksi gula kristal
putih (GKP) sistem sulfitasi kapasitas 3000 ton tebu per hari. Hasil perhitungan
dalam model dapat dibandingkan dengan proses produksi di pabrik GKP faktual,
yaitu pabrik gula PT PG. Rajawali II Unit Subang. Berdasarkan kesetimbangan
massa dapat diketahui massa hasil samping yang memiliki potensi energi dan air
untuk memenuhi kebutuhan proses produksi.
Model yang memiliki tingkat akurasi tinggi dan sesuai dengan proses
produksi nyata dijadikan basis analisis perhitungan potensi energi hasil samping
dan pengembangan model proses produksi gula mandiri energi dan air.
Kesetimbangan Massa
Langkah pertama untuk membuat model keseimbangan massa adalah
identifikasi kompartemen. Kemudian, mengatur persamaan keseimbangan massa
untuk menentukan masuknya tebu dan bahan tambahan serta keluaran (output)
antar kompartemen. Persamaan umum kesetimbangan massa:
Input (I) = Produk (P) + Hasil Samping (C)
Hasil samping merupakan limbah yang diasumsikan dapat dimanfaatkan
kembali. Dalam mengidentifikasi persamaan efisiensi (rasio nilai peubah),
menggunakan data sekunder mengenai aliran massa proses produksi gula. Setelah
mengidentifikasi persamaan kesetimbangan massa dan efisiensi, maka nilai faktor
efisiensi dan neraca massa dapat ditentukan.
Potensi Energi Hasil Samping
Berdasarkan model neraca massa yang sesuai dengan proses produksi gula
nyata dan akurat, potensi energi hasil samping dapat dihitung dengan persamaan:
Potensi Energi (kkal) = Massa x Nilai kalor.
Nilai kalor didapatkan dari sumber literatur dan massa hasil samping dari
perhitungan model neraca massa.
Model Aliran Proses Mandiri Energi dan Air
Potensi energi hasil samping dikurangi dengan kebutuhan energi dan air
dalam proses produksi gula. Jika energi dan air yang dihasilkan lebih besar atau
sama dengan kebutuhan energi pabrik, maka pabrik tersebut dapat berpotensi
mandiri energi dan air. Namun, jika energi yang dihasilkan lebih kecil dari
kebutuhan, maka pabrik masih memerlukan input energi dan air dari luar sistem
dan dapat dikatakan bahwa pabrik tidak mandiri energi dan air.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PT. PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang
dan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, bulan Agustus 2013 sampai dengan November 2014.

5

Pemodelan Neraca Massa Produksi Gula
Model Neraca MassaProduksi Gula Level I
Model Level I dibangun dengan asumsi bahwa sistem adalah suatu
kompartemen yang menghubungkan input (I), produk (P), dan hasil samping (C).
Model ini dikembangkan berdasarkan input dan output pabrik gula.
I

P

Proses produksi gula

C
Gambar 1 Model neraca massa produksi gula level I
Keterangan: I = input; P = produk; C = coproduct

Keseimbangan neraca massa diperoleh apabila input sama dengan output
(produk dan hasil samping). Efisiensi proses yang diharapkan mendekati 100%
yaitu semua kandungan bahan baku berupa komponen produk dapat dikonversi
menjadi produk yang dimanfaatkan kembali. Persamaan yang menggambarkan
kesetimbangan massa adalah:
I=P+C
P
Efisiensi (e) =
I

Model Neraca Massa Produksi Gula Level II
Model neraca massa level II dikembangkan dengan membuat kompartemen
yang berdasarkan stasiun-stasiun pengolahan yang terdapat pada pabrik gula, yaitu
stasiun penggilingan (1), stasiun pemurnian (2), stasiun penguapan (3), stasiun
masakan (4), dan stasiun putaran (5). Rancangan dasar model ini dapat dilihat
pada Gambar 2.
I21 I22 I23 I24
I11 I12
x11
I

II

W21
x21

x41

W11

P51

x31
IV

V

W51

W41

III

W31

Gambar 2 Model neraca massa produksi gula level II
Keterangan gambar (Tabel 1)

6
Tabel 1 Keterangan simbol model neraca massa level II
Kode
I
II
III
IV
V
I11
I12
I21
I22
I23
I24
X11
X21
X31
X41
W11
W21
W31
W41
W51
P51

Keterangan
Nira Encer Hasil Pemurnian
Nira hasil penguapan I
Nira hasil penguapan II
Nira hasil penguapan III
Nira kental
Tebu
Air imbibisi
Air
SO2
Susu kapur
Flokulan
Nira mentah
Nira encer
Nira kental
Magma A
Ampas
Blotong
Uap air
Uap air
Molase
Gula kristal putih (GKP)

Persamaan keseimbangan massa
Kompartemen 1: I11 + I12 - X11 – W11
Kompartemen 2: I21 + I22 + I23 + I24 + X11 – W21 – X21
Kompartemen 3: X22 – W31 – X31
Kompartemen 4: X31 – X41 – W41
Kompartemen 5: X41 – P51 – W51
Persamaan koefisien efisiensi
Efisiensi produksi nira mentah (a1)
X11
� �
.� �
a1=
=
I11 + I12






.�

= 0 ..................... (2.1)
= 0 ..................... (2.2)
= 0 ..................... (2.3)
= 0 ..................... (2.4)
= 0 ..................... (2.5)



Air imbibisi yang ditambahkan saat proses penggilingan adalah 24,84% dan hasil
ekstraksi nira yang didapatkan adalah 94,25% dari tebu yang digiling (Hugot
1960; Purwaningsih 2012). Berdasarkan data literatur tersebut nilai koefisien
efisiensi (a1) adalah sebesar 0,76.
Efisiensi pemanfaatan blotong (a2)
W 21

.
a2 =
=
X11


.

Produksi blotong dari stasiun pemurnian sebesar 3% dari nira mentah (Renoef, et
al. 2010; Zeist, et al. 2012; Rahman et al. 2013), maka a2 adalah 0,03.

7

Efisiensi produksi nira kental (a3)
.

X31
a3 =
=
.

X22

Nira kental yang dihasilkan pada stasiun penguapan adalah 68,200 ton dari
290,000 ton nira encer yang dipekatkan (Purwaningsih 2012). Persentase nira
kental adalah 24% dari nira encer hasil stasiun pemurnian, maka a3 adalah 0,24.
Efisiensi air terbuang dari stasiun masakan (a4)

X41
a4 =
=
X31
Magma yang dihasilkan dari stasiun masakan adalah 62% dari nira kental yang
diolah (Fabricagie Controle dalam Moerdokusumo 1993), maka a4 adalah 0,62.
Efisiensi hasil produksi gula (a5)

P51 �
a5 =
=

X41

Produksi gula yang dihasilkan dari stasiun putaran adalah 80% (Demirel 2012),
maka nilai a5 adalah 0,80.
Berdasarkan persamaan efisiensi, ringkasan faktor efisiensi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Faktor efisiensi pada model Level II
Nilai
Simbol
a1
a2
a3
a4
a5

0,76
0,03
0,24
0,65
0,80

Model Neraca Massa Level III
Pada model neraca massa level III terdapat peubah bebas sebagai input
massa dan peubah tidak bebas sebagai hasil output dari proses. Model Level III
memilik 40 peubah yang terdiri atas 6 peubah bebas (I1,I2, I3, I4, I5, dan I6) dan 34
peubah tidak bebas (X1, X2, X3, X4, X8, X9, X10, X11, X12, X13, X14, X15, X16, X17,
X18, X19, X20, X1.2, X2.2, X3.2, X16.2, X17.2, X20.2 ; P1; dan W1 sampai W10). Peubah
tidak bebas X5, X6 dan X7 dapat diabaikan, karena digambarkan sebagai penjelas
aliran proses produksi. Proses di stasiun pemurnian merupakan aliran langsung,
sehingga tidak ada aliran yang keluar sistem (Gambar 3).
Dari 34 peubah tidak bebas didapatkan beberapa persamaan yang dapat
diklasifikasikan menjadi persamaan keseimbangan massa dan persamaan efisiensi.
Persamaan kesetimbangan massa terdiri dari 17 persamaan, maka dibutuhkan 17
persamaan efisiensi untuk dapat mengetahui nilai peubah tidak bebas.

8

Gambar 3 Model neraca massa produksi gula level III
Keterangan: simbol gambar (Tabel 3; Tabel 4); kompartemen 5, 6 dan 7 diabaikan karena tidak
terdapat massa keluar sistem

9

Tabel 3 Keterangan kompartemen model neraca massa level III
Stasiun

Kompartemen

I (GILINGAN)

II (PEMURNIAN)

III (EVAPORATOR)

IV (MASAKAN)

V (PUTERAN)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Keterangan
Gilingan 1
Gilingan 2
Gilingan 3
Gilingan 4
Bak Penampung & Timbangan
Tangki Kapur
Tangki Sulfur
Pemanasan 105˚C & Pengendap
Evaporator 1
Evaporator 2
Evaporator 3
Evaporator 4
Vaccum pan A
Vaccum pan C
Vaccum pan D
Puteran A
Puteran C
Puteran D
Puteran GKP
Puteran D2

Tabel 4 Keterangan simbol model neraca massa level III
Kode
I1
I2
I3
I4
I5
I6
X1
X1.2
X2
X2.2
X3
X3.2
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X14
X15

Keterangan
Tebu
Air imbibisi
Kapur
SO2
Flokulan
Air
Ampas gilingan ke-1
Nira perahan ke-1 (nira perahan pertama)
Ampas gilingan ke-2
Nira perahan ke-2 (nira perahan lanjutan)
Ampas gilingan ke-3
Nira perahan ke-3
Nira perahan ke-4
Nira hasil timbangan
Nira setelah ditambahkan kapur
Nira setelah ditambahkan SO2
Nira Encer Hasil Pemurnian
Nira hasil penguapan I
Nira hasil penguapan II
Nira hasil penguapan III
Nira kental
Nira hasil masakan A
Nira hasil masakan C
Nira hasil masakan D

10
Tabel 4 Keterangan simbol model neraca massa level III (Lanjutan)
Kode
X16
X16.2
X17
X17.2
X18
X19
X20
X20.2
W1
W2
W3
W4
W5
W6
W7
W8
W9
W10
P1

Keterangan
Strop A
Magma A
Strop C
Gula C
Gula D1
Klare GKP
Klare D2
Gula D2
Ampas (hasil samping stasiun giling)
Blotong
Air teruapkan dari evaporator I
Air teruapkan dari evaporator II
Air teruapkan dari evaporator III
Air teruapkan dari evaporator IV
Air teruapkan dari vaccum pan A
Air teruapkan dari vaccum pan C
Air teruapkan dari vaccum pan D
Gula tetes (molase)
Gula kristal putih (GKP)

Persamaan Keseimbangan Massa
Kompartemen 1 : I1 – X1– X1.2
Kompartemen 2 : X1 – X2 – X2.2
Kompartemen 3 : X2 – X3 – X3.2
Kompartemen 4 : X3 – X4 – W1
Kompartemen 5-8 : X1.2+ X2.2+ I3 + I4 + I5– X8– W2
Kompartemen 9 : X8 – X9 – W3
Kompartemen 10 : X9– X10 – W4
Kompartemen 11 : X10 – X11– W5
Kompartemen 12 : X11 – X12– W6
Kompartemen 13 : X12+ X19 + X17.2 - X13– W7
Kompartemen 14 : X16+ X20.2 – X14– W8
Kompartemen 15 : X17+ X20 – X15– W9
Kompartemen 16 : X13 – X16– X16.2
Kompartemen 17 : X14– X17– X17.2
Kompartemen 18 : X15 – X18– W10
Kompartemen 19 : I6 + X16.2 – X19– P1
Kompartemen 20 : X18- X20.2 – X20

= 0……………(3.1)
= 0……………(3.2)
= 0……………(3.3)
= 0……………(3.4)
= 0……………(3.5)
= 0……………(3.6)
= 0……………(3.7)
= 0……………(3.8)
= 0……………(3.9)
= 0……………(3.10)
= 0……………(3.11)
= 0……………(3.12)
= 0……………(3.13)
= 0……………(3.14)
= 0……………(3.15)
= 0……………(3.16)
= 0……………(3.17)

11

Persamaan koefisien efisiensi
Kompartemen 1
Efisiensi pada gilingan pertama (a1)
a1=

1
X1+ X1.2

=

















Ampas yang dihasilkan dari gilingan pertama adalah sebesar 55% dari
berat awal tebu digiling (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a1 adalah
0,55.
Kompartemen 2
Efisiensi pada gilingan kedua (a2)
a2=

2

=

X2 + X2.2









Ampas yang dihasilkan dari gilingan kedua pada stasiun gilingan adalah
sebesar 56% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Hugot 1986;
Moerdokusumo 1993), maka nilai a2 adalah 0,56.
Kompartemen 3
Efisiensi pada gilingan ketiga (a3)
a3=

3
X3+ X3.2

=

















Ampas yang dihasilkan dari gilingan ketiga pada stasiun gilingan adalah
sebesar 50%
dari keseluruhan output yang dihasilkan (Hugot 1986;
Moerdokusumo 1993), maka nilai a3 adalah 0,50.
Kompartemen 4
Efisiensi pada gilingan keempat (a4)
a4=

4
X3 + I2

=













Nira yang dihasilkan dari gilingan keempat pada stasiun gilingan adalah
sebesar 50% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Hugot 1986;
Moerdokusumo 1993), maka nilai a4 adalah 0,50.
Kompartemen 5
Efisiensi pada stasiun pemurnian (a5)
a5=

8
X8 + W 2

=







Pada stasiun pemurnian dianggap satu kompartemen karena proses yang
berjalan dari satu kompartemen ke kompartemen selanjutnya adalah sistem
berkelanjutan (Gambar 3). Peubah tidak bebas yang memenuhi syarat untuk
dijadikan persamaan linear hanya terdapat pada kompartemen akhir
(kompartemen 8). Model pada Gambar 3 tergambar menjadi empat kompartemen
hanya sebagai penjelas proses di stasiun pemurnian secara detail.
Nira encer yang dihasilkan dari stasiun pemurnian pada stasiun gilingan
adalah sebesar 97% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Ensinas et al 2007),
maka nilai a5 adalah 0,97.

12
Kompartemen 6
Efisiensi pada evaporator pertama (a6)
a6=

9
X9 + W 3

=





Nira kental yang dihasilkan pada evaporator pertama memiliki 74% dari
jumlah output keseluruhan (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a6
adalah 0,74.
Kompartemen 7
Efisiensi pada evaporator kedua (a7)
4

a7 =

=

X10 + W 4





Nira kental yang dihasilkan pada evaporator kedua memiliki 28% dari
jumlah output pada evaporator kedua (Deepchand 2005; Hugot 1986;
Moerdokusumo 1993), maka nilai a7 adalah 0,28.
Kompartemen 8
Efisiensi pada evaporator ketiga (a8)
11

a8 =

=

X11 + W 5













Nira kental yang dihasilkan pada evaporator ketiga memiliki 66% dari
jumlah output keseluruhan (Moerdokusumo 1993), maka nilai a8 adalah 0,66.
Kompartemen 9
Efisiensi pada evaporator keempat (a9)
a9=

12
X12 + W 6

=





Nira kental yang dihasilkan pada evaporator keempat memiliki 56% dari
jumlah output keseluruhan (Bhardwaj 2013), maka nilai a9 adalah 0,56.
Kompartemen 10
Efisiensi pada masakan pertama atau masakan A (a10)
a10=

7
X12 + X17.2+X19

=





Uap yang dihasilkan pada proses masakan pertama adalah sebesar 20% dari
jumlah input pada masakan A (Ensinas et al 2007), maka nilai a10 adalah 0,20.
Kompartemen 11
Efisiensi pada masakan keduaatau masakan C (a11)
a11=

8
X16

=

(

�)

Uap yang dihasilkan pada proses masakan kedua adalah 20% (Ensinas et al
2007), maka nilai a11 adalah 0,20.

13

Kompartemen 12
Efisiensi pada masakan ketiga atau masakan D (a12)
a12=

9
X17



=



(

)

Uap yang dihasilkan pada proses masakan ketiga sebesar 20% dari jumlah
inputnya (Ensinas et al 2007), maka nilai a12 adalah 0,20.
Kompartemen 13
Efisiensi pada putaran pertama atau A(a13)
a13=

16
X16 + X16.2

=







Nira terkristalisasi hasil masakan pertama akan diputar untuk memisahkan
kristal gula A dengan stroope A, stroope yang dihasilkan adalah 30% dari jumlah
output keseluruhan (Ensinas et al 2007; Chou 2005), maka nilai a13 adalah 0,30.
Kompartemen 14
Efisiensi pada putaran kedua atau C (a14)
a14=

17
X17 + X17.2

=





Nira terkristalisasi hasil masakan kedua atau C akan diputar untuk
pemisahan gula C dengan stroope C, stroope yang dihasilkan 80% dari jumlah
output keseluruhan (Ensinas et al 2007; Chou 2005; perhitungan penulis), maka
nilai a1adalah 0,80.
Kompartemen 15
Efisiensi pada putaran ketiga atau D1 (a15)
a15=

18

=

X18 + W 10







1




Nira terkristalisasi hasil masakan ketiga atau D akan diputar untuk
pemisahan gula D1 dengan gula tetes, gula D1 yang dihasilkan 35% dari jumlah
output keseluruhan (Gerbens and Hoekstra 2009), maka nilai a15 adalah 0,35.
Kompartemen 16
Efisiensi pada putaran gula kristal putih (a16)
a16=

�1

I6 + X16.2

=











���

Putaran gula kristal berguna untuk membersihkan kristal gula dari larutan
yang tidak mengkristal, karena itu gula yang dihasilkan dari pemisahan kristal
akhir di putaran gula kristal putih adalah 93% dari jumlah input magma A atau
gula hasil putaran A dan air (Moerdokusumo 1993), maka nilai a16 adalah 0,93.
Kompartemen 17
Efisiensi pada putaran D2 (a17)
a17=

20
X20 + X20.2

=

2




2
2

14
Gula hasil putaran D1 akan diputar kembali pada putaran D2, hasil yang
akan diperoleh adalah klare D2 dan gula D2. Klare D2 akan digunakan sebagai
bahan masakan D dan gula D2 akan menjadi bahan masakan C. Klare D2 yang
dihasilkan adalah 30% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Deepchand 2005;
perhitungan penulis), maka nilai a17 adalah 0,30.
Tabel 5 adalah rangkuman nilai efisiensi persamaan pada model neraca
massa Level II.
Tabel 5 Faktor efisiensi pada model Level III
Nilai
Simbol
a1
a2
a3
a4
a5
a6
a7
a8
a9
a10
a11
a12
a13
a14
a15
a16
a17

0,55
0,56
0,50
0,50
0,97
0,74
0,28
0,66
0,56
0,20
0,20
0,20
0,30
0,80
0,35
0,93
0,30

Pengolahan dan Analisis Data
Nilai peubah tidak bebas dari model neraca massa produksi gula diperoleh
dengan bantuan Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Neraca Massa Level I
Model neraca massa level I dengan basis input 3000 ton tebu per hari,
dengan input massa tambahan air imbibisi, susu kapur, belerang, dan flokulan
(Tabel 6).

15

Tabel 6 Neraca massa proses produksi gula level I
Bahan
%a ton/hari
Referensi
INPUT
Tebu
Air
Susu kapur
Flokulan
Belerang (gas SO2)
Total input
OUTPUT
Gula kristal
Ampas
Blotong
Gula tetes
Air diuapkan
Total output
Tidak teridentifikasi
Rendemen
Efisiensi sistem
a

27,00
0,15
0,4
0,05

11,00
30,00
3,00
3,00
75,00
5,6
11
95,6

3000
810
4,5
12,00
1,35
3828

(Moerdokusumo 1993)
(Sunantyo dan Harisutji 2005)
(Anggreini 2008)
(Sunantyo dan Harisutji 2005)

330
900
90
90
2250
3660
168

persentase (%) terhadap tebu

Rendemen gula yang didapat adalah 11%, nilai tersebut sudah masuk dalam
rentang rendemen terbaik yaitu 10-14%. Pabrik gula di Mauritius, Afrika Selatan
memiliki rendemen gula 11% (Deepchand 2005), di Thailand dan Brazil sekitar
10,8% (Bantacut 2013), bahkan di Australia sudah mencapai 14,3% (Renoef et al.
2010). Berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa level I, efisiensi sistem
adalah 95,6%. Perhitungan model ini perlu dikembangkan untuk merinci aliran
massa menurut proses faktual, karena hanya menghitung kesetimbangan massa
secara garis besar dalam satu kompartemen dan tidak menggambarkan proses
secara faktual.

Neraca Massa Level II
Perhitungan neraca massa pada level II memiliki basis yang sama seperti
perhitungan pada level I (Tabel 6). Output model level II adalah rendemen gula
sebesar 11,31% (Tabel 7). Nilai rendemen lebih baik dibandingkan model neraca
massa level I karena model level II menjelaskan aliran massa perstasiun dan detail
aliran input-output yang lebih rinci. Efisiensi sistem model neraca massa level II
adalah 100%, mengartikan bahwa tidak ada bahan terbuang tidak teridentifikasi
dalam proses produksi. Namun, model level II belum dapat menggambarkan
aliran proses secara faktual, karena hanya terdiri dari kompartemen yang
menggambarkan stasiun pokok dari proses produksi gula. Neraca massa proses
produksi gula level II dapat dilihat pada Tabel 7.

16
Tabel 7 Output model neraca massa Level II
(%)a
(ton)
Bahan
b
INPUT
3828
OUTPUT
Gula kristal
339,3
Hasil samping
3489
Total output
3828
Rendemen
11,31
Efisiensi sistem
100
a

persentase (%) terhadap tebu; bbasis mengacu pada Tabel 6

Neraca Massa Level III
Model neraca massa level III adalah pengembangan model level I dan II.
Setiap kompartemen dikembangkan menjadi sub-sub kompartemen yang
menggambarkan mesin di setiap stasiun, sehingga detail perubahan massa akan
terlihat lebih jelas dan rinci. Neraca massa level III dapat dilihat pada Tabel 8.
Model Level III menghasilkan rendemen sebesar 11,82%, lebih besar
dibandingkan level I, II, dan data faktual pabrik. Perbedaan rendemen disebabkan
oleh aliran massa yang lebih detail dan kompleks, sehingga model lebih akurat
dan konsisten. Perhitungan rinci ini mengurangi output yang tidak teridentifikasi
dalam model bekerja, sehingga aliran massa memiliki efisiensi sistem 100%.
Tabel 8 Perbandingan neraca massa dengan data faktual pabrik gula
Bahan
INPUT
Tebu
Air
Susu kapur
Flokulan
Belerang (gas SO2)
TOTAL
OUTPUT
Gula kristal
Ampas
Blotong
Gula tetes
Air diuapkan
Total output
Tidak teridentifikasi
Rendemen
Eisiensi sistem
a

Faktual
(%)a
(ton)

Level III
(%)a
(ton)

3000
840,00
83,74
24,00
1,20
3948,94

3000
810
4,5
12,00
1,35
3828

28,00
2,79
0,80
0,04

8,25
31,11
3,00
4,57
80,16
4,74
8,25
97

247,63
933,34
90,00
137,11
2404,73
3812,81
136,13

27,00
0,15
0,40
0,045

11,78
34,76
2,73
2,07
75,88
0
11,82
100

Referensi

(Moerdokusumo 1993)
(Sunantyo dan Harisutji 2005)
(Anggreini 2008)
(Sunantyo dan Harisutji 2005)

354,71
1043
81,75
62,10
2286,46
3828
0

persentase (%) terhadap tebu

Rendemen gula dapat diperbaiki jika kinerja mesin selama proses berjalan
optimal. Jika dibandingkan data faktual pabrik, potensi perbaikan rendemen

17

adalah 3,53%. Rendemen tersebut termasuk dalam rentang rendemen terbaik 1114% (Deepchand 2005; Renoef et al. 2010). Aliran massa level III dapat dilihat
pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil perhitungan model neraca massa level III
Keterangan: perhitungan (Lampiran 3); kompartemen 5, 6 dan 7 diabaikan karena tidak terdapat
massa keluar sistem

Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas
Ampas tebu, blotong, molase, dan air teruapkan merupakan output proses
produksi gula dengan jumlah yang cukup banyak. Biomassa ini (kecuali air)

18
mengandung energi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi. Banyak
contoh pabrik gula yang sudah mandiri energi dan air. Brazil, India, bahkan
Afrika sudah berhasil mengembangkan pabrik gula menjadi sistem produksi
tertutup, bahkan memiliki surplus energi listrik yang dapat disuplai ke lingkungan
sekitar pabrik atau dijual kepada perusahaan pembangkit listrik.
Sistem cogeneration berbasis tebu di India dapat menghasilkan energi
berkisar 1.500-5.000, dengan rata-rata energi yang dihasilkan adalah 3500 MWh
(Purohit et al. 2007; Sharma et al. 1999; Kamate and Gangavati 2009). Sebaliknya,
pabrik gula Indonesia hanya memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan penghasil
energi. Blotong dimanfaatkan sebagai pupuk, bahkan beberapa pabrik gula hanya
membuang blotong sebagai limbah.. Molase sampai saat ini hanya dijual sebagai
bahan baku kepada pabrik pengolah, seperti pabrik kecap. Pemanfaatan molase
sebagai bahan dasar pembuatan etanol masih kurang maksimal, karena jumlah
pabrik etanol di Indonesia masih minim. Berdasarkan data FAO tahun 2008,
kontribusi Indonesia dalam produksi bio-ethanol di dunia masih di bawah 1%
(FAO 2008; Gerbens and Hoekstra 2009).
Pemanfaatan hasil samping sebagai sumber energi dapat membentuk sistem
proses produksi tertutup (Gambar 5) yaitu model produksi mandiri energi dan air
yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan air tanpa input baru dari luar pabrik
(Ensinas et al. 2007).

Gambar 5 Model cogeneration proses produksi menurut Ensinas et al. (2007)
Keterangan: I=stasiun gilingan; II=stasiun pemurnian; III=stasiun penguapan; IV=stasiun
masakan dan putaran; V=stasiun fermentasi molase; VI=stasiun distilasi dan
dehidrasi pembuatan etanol

Pembuatan model aliran massa mandiri energi dan air dapat dibangun dari
hasil perhitungan aliran massa (Tabel 8). Potensi energi pada hasil samping
tersebut dihitung berdasarkan nilai kalor (heating value) bahan dikalikan massa.

19

Perhitungan potensi hasil samping dapat dilihat pada Tabel 9. Persamaan
perhitungan potensi hasil samping: Potensi Energi (kkal) = Massa x Nilai kalor.
Tabel 9 Basis nilai kalor yang terkandung dalam hasil samping produksi gula a
Hasil
samping
Ampas tebu
Blotong

Massa
(ton)
1.042,98
81,75

Nilai kalor
(kkal/kg)
2.019
3.319

Molase
Air
Jumlah

62,10
2.286,46

2.700
-

a

Potensi energi
Referensi
(kkal)
2.105.774.042,55 Hugot 1986
271.330.368,51 Hugot 1986;
Afriyanto 2011
167.668.083,47 Moerdokusumo 1993
2.544.772.494,53

kapasitas 3000 ton tebu per hari

Pabrik gula membutuhkan listrik 60.000 kWh dan uap sebanyak 720.000 kg
uap per ton tebu (Hariyanto 2011). Jumlah potensi energi yang diperoleh dari hasil
samping proses produksi gula dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi
panas dan listrik yang diperlukan selama proses produksi. Secara perhitungan
teoritis, uap yang mampu dihasilkan dari potensi hasil samping adalah
3.038.851,81 kg per hari, sehingga pabrik gula mandiri energi uap. Potensi energi
listrik yang dihasilkan dapat menutup kebutuhan pabrik, bahkan menghasilkan
surplus listrik sebesar 55.942,59 kWh per hari (Lampiran 4). Model proses
produksi mandiri energi dan air dengan mengacu model cogeneration dapat dilihat
pada Gambar 6.

Gambar 6 Model proses produksi mandiri energi dan air
Keterangan: I=stasiun gilingan; II=stasiun pemurnian; III=stasiun penguapan; IV=stasiun
masakan; V=stasiun putaran; VI= stasiun pembangkit listrik dengan sistem
cogeneration; VII=stasiun pengolahan air (kondensor); perhitungan lengkap pada
Lampiran 4

20
Model proses produksi bersifat umum tidak merinci mekanisme proses yang
dilakukan dalam pemanfaatan hasil samping. Secara teoritis pemodelan tersebut
dapat menjelaskan bahwa produksi gula dapat mandiri energi dan air, serta
optimal rendemen. Bahkan menghasilkan surplus energi yang dapat dijual baik
melalui pemasok listrik maupun langsung ke wilayah sekitar pabrik. Kelebihan air
dapat dijadikan persediaan air proses, pengairan kebun, atau diolah lebih lanjut
menjadi air minum dalam kemasan.
Namun, pada dasarnya potensi energi yang dihasilkan oleh ampas sudah
dapat menjadikan pabrik gula mandiri energi. Sebaliknya, jika hanya
memanfaatkan blotong atau molase, pabrik gula belum dapat mandiri energi.
Mengacu pada analisis potensi energi hasil samping (Tabel 9; Lampiran 4),
kemampuan potensi energi masing-masing hasil samping dalam memenuhi
kebutuhan energi pabrik dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kemampuan hasil samping sebagai pemasok kebutuhan energi
Hasil
Massa
Potensi energi uap
Kemampuan memenuhi
a
samping
(ton)
(kg/hari)
kebutuhan pabrik
(720.000 kg uap/hari)
Ampas
1.042,98
2.514.619,79

Blotong
81,75
324.010,41
x
Molase
62,10
200.221,62
x
a

perhitungan mengacu pada Lampiran 4; perhitungan lengkap pada Lampiran 5; kapasitas 3000 ton
tebu per hari

Potensi energi ampas dapat memenuhi kebutuhan uap pabrik secara mandiri.
Potensi blotong dan molase tidak cukup memenuhi kebutuhan uap pabrik secara
mandiri, sekalipun potensi blotong dan molase dijumlahkan. Sehingga untuk
mengembangkan pabrik gula menjadi mandiri energi, potensi ampas, blotong dan
molase harus digunakan bersama (Lampiran 4).
Potensi energi ampas dapat memenuhi kebutuhan uap dan listrik dari pabrik
gula, bahkan memiliki surplus energi listrik sebesar 29.730,99 kWh per hari. Jika
produksi gula berlangsung selama 200 hari, maka kelebihan energi yang dapat
dihasilkan per tahun adalah 5,9 GWh per tahun. Kelebihan tersebut dapat
memenuhi kebutuhan listrik sektar 1400-2000 rumah sepanjang tahun, dengan
asumsi konsumsi listrik per kapita per tahun 680 kWh dan per rumah terdiri dari
4-6 kapita (Lampiran 5). Jadi, potensi blotong dan molase dapat diolah menjadi
pasokan energi pabrik atau dijual dalam bentuk listrik, gas maupun bahan mentah.

Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas, Blotong, Molase
Pemanfaatan blotong menggunakan modifikasi sistem bioconversion by
anaerobic digestion yang menghasilkan gas CO2 dan metan (Hunter Services
1989; Legrand 1989; Smith 2008) dan molase dikonversi menjadi etanol (Putra et
al. 2014), energi yang dapat dihasilkan dari 81,75 ton blotong adalah
62.405.984,76 kkal (Tabel 11) dan 62,10 ton molase dapat menghasilkan
13.799,84 liter etanol. Model proses produksi gula mandiri energi dan air dapat
dilihat di Lampiran 7.

21

Proses bioconversion by anaerobic digestion dilakukan untuk pengolahan
karena lebih ekonomis dan minimal polusi dibandingkan dengan proses
pembakaran langsung, serta efisien dalam energi dibandingkan proses
pengomposan biasa. Anaerobic digestion adalah proses biologi yang kompleks
dengan menggunakan mikroorganisme untuk merombak bahan organik menjadi
gas CO2 dan metan. Terdiri dari tiga tahap: hidrolisis enzimatis, fermentasi asam,
dan metanogenesis (Smith 2008). Alternatif pembaruan efisiensi energi dari
potensi blotong dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Alternatif pembaruan efisiensi potensi energi blotong
Proses

Anaerobic digestion
- Tanpa pembakaran
sisa zat padat
-

Dengan pembakaran
sisa zat padat

Pembakaran
langsung

blotong

Produk
energi

Persentase
dari
kandungan energi
blotonga (%)

Kandungan energi
blotong (kkal)

Biogas

35

94.965.628,98

SNGb

47

127.525.273,20

23

62.405.984,76

65

176.364.739,53

18

48.839.466,52

Listrik

c

Steam
Listrik

a

b

c

nilai kalor blotong 3319 kkal/kg; blotong 81,75 ton; Substitute Natural Gas; semua biogas
dikonversi menjadi listrik menggunakan turbin; perhitungan mengadopsi Smith (2008); kapasitas
3000 ton tebu per hari

Berdasarkan alternatif pada Tabel 11 antara anaerobic digestion dan
pembakaran blotong langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses yang
menghasilkan energi lebih besar adalah pembakaran langsung, tetapi proses
tersebut menghasilkan polutan. Sebaliknya, proses anaerobic digestion
merupakan proses yang disarankan untuk dipilih, karena lebih ekonomis,
mengurangi polutan, dan memiliki efisiensi energi yang baik. Kekurangannya
adalah memerlukan instalasi baru untuk proses pengolahan blotong, peralatan, dan
teknisi.
Potensi energi blotong dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik
pabrik atau dijual dalam bentuk gas. Energi gas hasil proses anaerobic digestion
tanpa penghilangan CO2 (medium energy gas) dapat dijual ke industri lain dan
energi gas dengan penghilangan CO2 (high energy gas) dapat dijual ke pabrik
penyedia gas alami (Hunter 1989). Proses anaerobic digestion dengan
pembakaran sisa zat padat yang dikonversi menjadi listrik, menghasilkan potensi
energi blotong adalah 62.405.984,76 kkal per hari (Lampiran 6).
Selanjutnya, pengolahan molase menjadi etanol merupakan proses
fermentasi. Etanol yang dihasilkan dari molase sekitar 20-25%. Proses terdiri dari
pencampuran, pembibitan, fermentasi, distilasi dan dehidrasi. Pembuatan etanol
memerlukan input molase, air, H2SO4, bakteri, dan urea. Potensi energi yang
dihasilkan dari pengolahan etanol adalah 69.320.747,63 kkal. Kekurangan dari
pengolahan ini adalah diperlukannya instalasi baru untuk pengolahan molase, alat,

22
dan teknisi. Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia lebih memilih menjual
langsung ke pabrik pengolah molase, seperti pabrik kecap atau pabrik bioetanol.
Jadi, potensi keseluruhan dari hasil samping produksi gula dengan alternatif
proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Potensi hasil samping model tertutupa
Hasil samping
Massa (ton)
Potensi energi
(kkal)
Ampas
Blotong
Molase
Total
a

1.042,98
81,75
62,10

2.105.774.042,55
62.405.984,76
69.320.747,63
2.237.500.774,94

kapasitas 3000 ton tebu per hari

Tabel 12 menunjukkan bahwa dengan kebutuhan steam 720.000 kg dan
60.000 kWh per hari, pabrik gula mampu mandiri energi. Kelebihan energi setelah
memenuhi kebutuhan uap, listrik pabrik dan listrik pengolahan hasil samping
adalah 37.081,09 kWh per hari, dengan pengarahan seluruh potensi energi hasil
samping sebagai pasokan energi pembangkit turbin.
Kelebihan listrik tersebut sebagai pasokan kebutuhan listrik pabrik off
season dan dapat dijual untuk kebutuhan listrik 1500-3000 rumah dengan asumsi
konsumsi per kapita adalah 680 kWh per tahun (Lampiran 6).

Produksi Gula Mandiri Air
Air merupakan salah satu input bahan penting dalam produksi gula. Pabrik
gula Mauritius untuk memproduksi satu ton gula membutuhkan 553 m 3
(Ramjeawon 2008; Chauhan et al. 2011). Selain itu, pabrik gula membutuhkan
440-580 m3 untuk mengolah 5000 ton tebu (Esmeris 2012). Kebutuhan air
tersebut dapat dikurangi dengan cara pengolahan kembali air buangan selama
proses produksi. Salah satu contoh pabrik gula dengan kelebihan (surplus) air
adalah pabrik gula Amatikulu Afrika Selatan, dengan surplus sebanyak 95,8 m3
air per jam (Esmeris 2012). Sistem produksi gula mandiri air dapat diwujudkan
dengan pengolahan kembali uap buangan dari stasiun penguapan, masakan,
gilingan. Contoh model managemen air non limbah di pabrik gula dapat dilihat
pada Gambar 7.
Perancangan model proses produksi mandiri air (basis kebutuhan air
sebanyak 810 m3 per hari) untuk air imbibisi, pelarut kapur, pembuatan flokulan
kapasitas pabrik 3000 ton tebu per hari mengadopsi model produksi gula mandiri
air pada Gambar 7. Jika dihitung secara teoritis, jumlah air yang diuapkan dapat
dimanfaatkan kembali untuk memenuhi kebutuhan air selama proses produksi
(Tabel 13).

23

Gambar 7 Perbandingan model standar dan sistem manajemen air non limbah
(Esmeris 2012)
Tabel 13 Volume air teruapkan dari proses produksi GKP
Stasiun
Air (ton)
Volume air Persentase
(m3)
terhadap
tebu
Evaporator 1
687,25
Evaporator 2
547,96
Evaporator 3
478,83
Evaporator 4
408,98
2.286,46
76%
Vaccum pan A
114,79
Vaccum pan C
27,55
Vaccum pan D
21,38
a

basis kapasitas 3000 ton tebu per hari

Berdasarkan data pada Tabel 13, terdapat kelebihan air sebesar 1.476,46 m3
air per hari. Apabila kelebihan tersebut disalurkan sebagai bahan pengolahan
blotong dan molase, yang membutuhkan air sebanyak 800-1000 m3 per hari, maka
kelebihan yang belum termanfaatkan adalah sekitar 450-700 m3 per hari.
Pemanfaatan air teruapkan memerlukan proses pendinginan dan penyaringan,
guna menjadikan air menjadi bahan baku air yang bersih dan tidak memiliki reaksi
terhadap proses produksi gula. Kelebihan air tersebut juga dapat dimanfaatkan
sebagai air pencuci alat produksi, misalnya untuk proses krengseng pada vaccum
pan saat sedang berhenti kristalisasi atau diolah menjadi bahan baku air bersih
maupun air dalam kemasan.

24

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses produksi gula merupakan proses yang dap