ANALISIS POSISI DAN PERAMALAN PERDAGANGAN GULA KRISTAL PUTIH DAN GULA KRISLAL RAFINASI INDONESIA

(1)

Oleh

HANDINI PUJITIASIH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS POSISI DAN PERAMALAN PERDAGANGAN GULA KRISTAL PUTIH DAN GULA KRISLAL RAFINASI INDONESIA

Oleh Handini Pujitiasih

Penelitian bertujuan untuk : (1) Menganalisis posisi perdagangan gula Indonesia di

perdagangan internasional (2) Menganalisis tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor gula (3) Meramal jumlah impor gula nasional dalam sepuluh tahun yang akan datang

Penelitian ini dilakukan di Indonesia menggunakan data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1972 sampai 2011. Pengambilan data dilakukan pada bulan Desember di instansi terkait yaitu Biro Pusat Statistik, Dewan Gula Indonesia, dan Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), analisis ketergantungan impor dengan menggunakan metode Import Dependency ratio (IDR) dan analisis peramalan impor gula menggunakan Autoregressive Integreted Moving Average

(ARIMA).

Hasil penelitian penunjukkan bahwa : (1) Gula Indonesia memiliki daya saing yang lemah, karena nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan gulaIndonesia lebih kecil dari satu (< -1). (2) Tingkat ketergantungan impor gula Indonesia yang dihitung dengan menggunakan Import Dependency Ratio. Rata-rata tingkat ketergantungan impor gula kristal rafinasi Indonesia tahun 2006-2012 (IDR GKR=19,29%) lebih tinggi daripada rata-rata tingkat ketergantungan impor gula kristal putih Indonesia (IDR GKP=6,13%) pada periode yang sama. (3)

Berdasarkan hasil analisis peramalan (forecasting) dengan menggunakan metode

Autoregressive Integreted Moving Average (ARIMA), peramalan impor gula Indonesia sampai dengan tahun 2022 mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan pada hasil

peramalan yang menyatakan bahwa impor gula Indonesia yang meningkat setiap tahunnya. Kata kunci : gula, posisi, ketergantungan impor, perdagangan international


(3)

(4)

(5)

i

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifkasi Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 11

E. Keterbatasan Penelitian ………... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 13

A. Tinjauan Pustaka ... 13

1. Teori Karakteristik Gula ... 14

2. Teori Perdagangan Internasional ... 18

3. Indeks Spesialisasi Perdagangan ... 22

4. Import Dependency Ratio ... 24

5. Metode Autoregressive Integrated Moving Average ... 25

B. Penelitian Terdahulu ... 30

C. Kerangka Pemikiran ... 32

III. METODE PENELITIAN ... 36

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional ... 36

B. Jenis dan Sumber Data ... 37

D. Metode Analisis Data ... 37

1. Indeks Spesialisasi Perdagangan ... 37

2. Import Dependency Ratio ... 40


(6)

2. Masa Setelah Kemerdekaan ... 51

B. Kebijakan Pergulaan Indonesia ... 59

C. Ekspor dan Impor Gula Indonesia ... 66

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Indeks Spesialisasi Perdagangan ... 68

B. Import Dependency Ratio ... 70

C. Model Autoregressive Integrated Moving Average ... 73

D. Ekonomi Gula ……… 84

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ……….. 102


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan kegiatan ekonomi pedesaan melalui pengembangan usaha berbasis pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian yang positif dan terjaga konsistensinya akan berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu subsektor pertanian yang cukup penting dan menjadi bukti nyata akan kekayaan alam Indonesia adalah subsektor perkebunan yang hingga saat ini masih menjadi sumber penghidupan bagi sebagian penduduk Indonesia yang bermata

pencaharian sebagai petani.

Usaha perkebunan di Indonesia sangat berkaitan langsung dengan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Dalam aspek ekonomi, usaha perkebunan telah

memberikan peranan penting antara lain dalam penerimaan devisa negara, sumber ekonomi wilayah serta sumber pendapatan masyarakat. Dalam aspek sosial, subsektor perkebunan telah mampu menyerap tenaga kerja yang besar, baik sebagai petani maupun sebagai tenaga kerja, sedangkan dalam aspek ekologi, tanaman perkebunan memiliki sifat tanaman yang berupa pohon, usaha perkebunan mendukung kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, seperti sumberdaya air, penyedia oksigen dan mengurangi degradasi lahan. Salah


(8)

satu komoditas subsektor perkebunan yang memberikan andil yang cukup besar bagi pendapatan petani adalah gula.

Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama beras, jagung dan kedelai (Arifin, 2008). Gula merupakan komoditi penting bagi Indonesia. Selain sebagai salah satu bahan makanan pokok, gula juga merupakan sumber kalori bagi masyarakat selain padi, jagung dan umbi-umbian. Sebagai bahan pemanis utama, selain dikonsumsi langsung oleh rumah tangga, gula digunakan pula sebagai bahan baku pada industri makanan dan minuman. Oleh karena itu gula menjadi semakin penting perannya pada kebutuhan pangan masyarakat. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia, karena pentingnya gula berguna untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kalori bagi masyarakat maupun industri di satu sisi, dan di sisi lain merupakan sumber pendapatan dan kehidupan sekitar satu juta petani dan hampir dua juta tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sistem industri tersebut. Oleh karena strategisnya, dinamika produksi, konsumsi, dan harga akan berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung, pada parameter ekonomi, seperti inflasi, kesempatan kerja, pendapatan, dan bahkan kesejahteraan petani dan masyarakat.


(9)

B. Identifikasi Masalah

1. Perdagangan Gula Indonesia di Pasar Internasional

Perekonomian dunia mengalami perubahan sejak dasawarsa 1970-an hingga tahun 2000-an, yang bersifat mendasar atau struktural dan mempunyai kecenderungan jangka panjang. Perubahan ini diistilahkan sebagai globalisasi. Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang

kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antar negara dalam berbagai praktik usaha atau bisnis tidak berlaku lagi.

Dampak globalisasi perdagangan dapat meningkatkan ekspor, impor atau pangsa pasar dunia. Namun globalisasi perdagangan juga dapat mengurangi pangsa pasar jika suatu negara tidak siap menghadapi globalisasi perdagangan sebagai akibat dari persaingan dengan negara produsen lain. Peningkatan persaingan

perdagangan terjadi karena arus perdagangan antar negara semakin tidak terbatas sejalan dengan menipisnya batas geografis antar negara dan kecanggihan

teknologi komunikasi.

Kondisi perdagangan bebas atau globalisasi berdampak pada nilai ekspor dan impor gula Indonesia. Tercatat nilai ekspor gula Indonesia tertinggi selama tahun 2006-2011 terjadi pada tahun 2006 sebesar 819.521 US$. Nilai ekspor gula Indonesia mengalami penurunan tahun 2007, yaitu sebesar 156.231 US$ dan meningkat kembali pada tahun 2011, sebesar 507.937 US$. Nilai impor terendah pada tahun 2009 yaitu 55.124.031 US$ dan mengalami kenaikan pada tahun 2011 yaitu sebesar 143.888.777 US$. Tercatat nilai impor gula Indonesia tertinggi


(10)

selama tahun 2006-2011 terjadi pada tahun 2010 (sebesar 422.015.799 US$). Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan devisa negara sebagai dampak dari pertambahan nilai impor. Perkembangan ekspor dan impor gula Indonesia tahun 2006-2011 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan ekspor dan impor gula Indonesia tahun 2006-2011

Tahun Nilai (US$)

Ekspor Impor

2006 819.521 273.984.174

2007 156.231 410.183.777

2008 142.404 242.395.264

2009 341.201 55.124.031

2010 316.723 422.015.799

2011 507.937 143.888.777

Sumber : BPS (diolah), 2012

2. Ketergantungan Indonesia terhadap Impor Gula

Secara historis, agribisnis gula merupakan salah satu agribisnis perkebunan tertua di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh sejarah dimulainya industri gula sejak abad ke 17 pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia. Pada tahun 1928

Indonesia mengalami era kejayaan industri gula di mana terdapat 178 pabrik gula dengan luas areal panen kira-kira 200.000 hektar dan menghasilkan hampir 3 juta ton gula. Pada saat itu Indonesia menjadi negara eksportir gula terbesar ke dua di dunia setelah Kuba (Maria, 2009).

Sejak tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda telah melakukan segala upaya untuk meningkatkan produksi gula antara lain melalui penelitian, peningkatan budidaya, pembangunan jaringan irigasi, penataan tataguna tanah yang optimal dan meningkatkan manajemen dan permodalan. Kesemuanya itu bertujuan untuk


(11)

mencapai produktivitas yang tinggi agar diperoleh rendemen dan hablur yang tinggi pula. Upaya ini membuahkan hasil, sehingga pada tahun 1920-an sampai tahun 1930-an produktivitas tebu di Indonesia rata-rata sebesar 130,6 ton per hektar dengan rendemen sebesar 11,3 persen dan produksi hablur 14,79 ton per hektar. Dalam periode 1930-1940, produktivitas mencapai 137,8 ton per hektar, rendemen 12,8 persen dengan hablur 17,63 ton per hektar. Angka tersebut merupakan angka produktivitas tertinggi dalam sejarah perkembangan industri gula Indonesia (Hafsah, 2002).

Pada periode tahun 1930-1981 produktivitas, rendemen maupun gula hablur per hektar menunjukkan laju pertumbuhan yang menurun yakni masing-masing sebesar 0,6 persen, 0,7 persen dan 1,2 persen per tahun, akan tetapi luas areal tanam menunjukkan laju peningkatan yang sangat berarti, yakni sebesar 5,1 persen per tahun. Pada tahun 1981, produktivitas tebu hanya mencapai 73,8 ton per hektar, rendemen 8,7 persen dan hablur 6,39 ton per hektar. Angka tersebut merupakan angka terendah pada produktivitas, rendemen, dan produksi hablur per hektar sejak pertanaman tebu ada di Indonesia sampai dengan tahun 1981

(Hafsah, 2002).

Saat ini luas areal tebu di Indonesia secara umum berfluktuasi dengan

kecenderungan menurun dari tahun 2006 sampai 2008. Pada tahun 2006 luas areal tebu sebesar 396.441 hektar meningkat hingga tahun 2008 menjadi 436.504 hektar. Produksi tebu Indonesia juga cenderung fluktuatif, pada tahun 2007 jumlahnya adalah 33.289.453 ton menurun menjadi 32.960.166 ton pada tahun 2008. Jumlah produksi tebu paling tinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar


(12)

34.216.548 ton. Perkembangan luas areal, jumlah produksi, dan produktivitas tebu Indonesia tahun 1996-2011 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan luas area, jumlah produksi, dan produktivitas tebu Indonesia tahun 1996-2011

Thn

Luas Areal Produksi Tebu Produktivitas Rendemen Total (ha) r (%) Total (ton) r (%) Total

(ton/ha) r (%)

Total

(%) r(%) 1996 403.266 28.603.531 70,9 7,32

1997 385.666 -4,56 27.950.863 -2,34 72,5 2,21 7,84 6,63 1998 395.085 2,38 27.177.684 -2,84 68,8 -5,38 5,45 -43,85 1999 340.823 -15,92 21.397.912 -27,01 62,8 -9,55 6,98 21,92 2000 340.660 -0,05 24.031.365 10,96 70,5 10,92 7,03 0,71 2001 344.441 1,10 25.186.254 4,59 73,1 3,56 6,85 -2,63 2002 350.723 1,79 25.533.429 1,36 72,8 -0,41 6,88 0,44 2003 335.725 -4,47 22.631.109 -12,82 67,4 -8,01 7,21 4,58 2004 344.793 2,63 26.743.179 15,38 77,6 13,14 7,67 6,00 2005 381.786 9,69 31.242.267 14,40 81,8 5,13 7,18 -6,82 2006 396.441 3,70 30.232.833 -3,34 76,3 -7,21 7,78 7,71 2007 428.401 7,46 33.289.453 9,18 77,7 1,80 7,65 -1,70 2008 436.504 1,86 32.960.166 -1,00 75,5 -2,91 8,01 4,49 2009 422.935 -3,21 32.165.572 -2,47 76,1 0,79 7,83 -2,30 2010 418.259 -1,12 34.216.548 5,99 81,8 6,97 6,47 -21,02 2011 437.731 4,45 33.258.084 -2,88 76,0 -7,63 8,18 20,90

Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 Ket: r = pertumbuhan

Terlihat pada Tabel 2 bahwa penurunan areal tanaman tebu di Indonesia yang cukup drastis terjadi pada tahun 1999 (sebesar 15,92%). Penurunan luas areal tanaman mengakibatkan penurunan produksi tebu (27,01%) dan produktivitas tebu Indonesia (9,55%). Penurunan luas areal tanam yang berdampak pada turunnya produktvitas tebu merupakan akibat dihapuskannya kebijakan tebu rakyat intensifikasi serta adanya konversi lahan (Dirjen Perkebunan 2006).

Dari sisi rendemen, secara nasional rendemen gula Indonesia turun dari 7,78 persen pada 2006 menjadi 7,65 persen pada 2007. Penurunan rendemen terbesar


(13)

terjadi pada tahun 2009, yaitu dari 7,83 persen menjadi 6,47 persen pada tahun 2010. Selain itu, penurunan produktivitas gula juga terkait dengan berbagai faktor, seperti penggunaan dan penataan varietas unggul, kultur teknis dan masa tanam tidak optimal, serta manajemen tebang angkut yang belum baik.

Tabel 3. Pertumbuhan produksi gula Indonesia tahun 2005-2011

Tahun Produksi Gula

Total (ton) Pertumbuhan (%)

2005 2.241.742 8,48

2006 2.307.027 2,83

2007 2.448.143 5,76

2008 2.668.428 8,26

2009 2.519.675 -5,90

2010 2.214.488 -13,78

2011 2.270.000 18,64

Rata-rata 2.381.358

Sumber: Dewan Gula Indonesia (diolah), 2012

Terlihat pada Tabel 3 bahwa produksi gula nasional mengalami peningkatan dari tahun 2005-2011. Pada tahun 2008 peningkatan jumlah produksi gula mencapai 2.668.428 ton. Namun pada tahun 2010 jumlah produksi gula Indonesia

mengalami penurunan yaitu sebesar 2.214.488 ton. Pada tahun 2011 produksi gula nasional mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 18,64 persen dengan total nilai 2.721.727 ton. Hal tersebut terjadi karena pada tahun 2011 terdapat kenaikan jumlah luas areal perkebunn tebu dari 418.259 ha menjadi 437.731 ha.

Masalah-masalah yang dihadapi gula di Indonesia terkait dengan masalah

produksi dan konsumsi. Dari sisi produksi, masalah yang dihadapi oleh agribisnis gula antara lain adalah luas areal dan produktivitas yang cenderung menurun


(14)

(Tabel 2), karena banyak dari petani tebu yang mengubah komoditas pertaniannya ke komoditas non tebu. Selain itu, pabrik gula juga banyak yang sudah tidak efisien lagi, sehingga menyebabkan penurunan produksi, dan umur mesin sudah tua serta pemeliharaan kurang diperhatikan.

Dari sisi konsumsi, terjadi peningkatan konsumsi gula terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, dan

pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman, yang memerlukan gula sebagai bahan bakunya. Perkembangan jumlah penduduk dan jumlah konsumsi gula Indonesia, tahun 2006-2012 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan jumlah penduduk dan konsumsi gula Indonesia tahun 2006-2012

Tahun Jumlah penduduk (jiwa)

(r) (%)

Jumlah konsumsi gula (ton)

(r) (%)

2006 224.742.000 2.481.135

2007 224.986.000 0,1 2.681.833 7,4

2008 228.523.000 1,5 2.680.575 -0,04

2009 231.370.000 1,2 2.593.658 -3,35

2010 237.556.000 2,6 2.610.740 0,65

2011 240.825.720 1,3 2.641.858 1,17

Rata-rata 231.333.787 2.614.967

Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012 Ket: r = pertumbuhan

Jumlah konsumsi gula terus meningkat karena meningkatnya jumlah penduduk. Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada tahun 2009, jumlah penduduk Indonesia adalah 231.370.000 jiwa, dan mengkonsumsi gula sebanyak 2.593.658 ton, sedangkan pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia meningkat menjadi 237.556.000 jiwa dan membutuhkan konsumsi gula sebanyak 2.610.740 ton. Konsumsi gula Indonesia terus meningkat hingga tahun 2011. Pada tahun 2011


(15)

jumlah konsumsi gula nasional adalah 2.641.858 ton. Peningkatan konsumsi gula juga diakibatkan oleh peningkatan jumlah pabrik makanan, minuman serta

farmasi yang baru didirikan sebagai akibat peningkatan gaya hidup yang juga membutuhkan gula sebagai bahan bakunya.

Ketidakseimbangan produksi dengan konsumsi gula di Indonesia menimbulkan keharusan bagi pemerintah untuk mengimpor gula. Hal tersebut menyebabkan volume gula impor semakin meningkat setiap tahunnya (Zaini, 2008).

Peningkatan impor gula disebabkan kebutuhan gula dalam negeri yang semakin meningkat, tetapi produksi gula dalam negari tidak dapat memenuhinya. Gula impor yang masuk ke Indonesia menyebabkan petani tebu berada di posisi yang sulit. Harga gula impor yang relatif murah, konsumen cenderung memilih gula impor karena harga yang relatif lebih murah. Harga gula impor yang relatif lebih murah disebabkan oleh tariff yang rendah dan pengawasan masuknya gula impor yang tidak terlalu ketat. Selain itu, tidak ada hambatan nontarif bagi gula impor yang masuk ke Indonesia, sehingga mengakibatkan penurunan kesejahteraan petani dan pabrik gula (Hafsah, 2002).

Ketidakpastian dalam perdagangan gula saat ini sangat memprihatinkan karena pemenuhan kebutuhan gula Indonesia sangat bergantung pada pasar dunia. Sebagai ilustrasi untuk menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap pasar gula dunia ditunjukkan oleh kondisi produksi dan konsumsi gula secara nasional sebelum dan setelah krisis tahun 1998. Sebelum terjadi krisis (tahun 1996), produksi gula Indonesia mencapai 2,1 juta ton dan mengalami penurunan yang sangat signifikan pada tahun 2000, dengan produksi hanya sekitar 1,7 juta ton, sedangkan konsumsi gula terus meningkat baik karena meningkatnya jumlah


(16)

penduduk, maupun karena semakin berkembangnya industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku industri. Pada tahun 1996 konsumsi gula Indonesia hanya 3 juta ton, tetapi pada tahun 2000 mencapai 3,3 juta ton. Pemenuhan kebutuhan gula yang semakin meningkat ini dilakukan melalui pada impor. Pada tahun 1996, impor gula Indonesia sekitar 975 ribu ton meningkat jumlahnya menjadi 1,6 juta ton pada tahun 2000. Hal tesebut memperlihatkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap gula impor (Hafsah, 2002).

Perkembangan mengenai volume impor gula Indonesia tahun 2006-2011 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Volume impor gula Indonesia tahun 2006-2011

Tahun Volume impor (ton) (r)

(%)

2006 1.405.942

2007 2.972.788 7,4

2008 983. 944 -0,04

2009 1.373.546 -3,35

2010 1.296.248 0,65

2011 982.449 1,17

Sumber: Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012 Ket: r = pertumbuhan

Menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004), tingginya impor gula Indonesia disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) rendahnya harga gula di pasar internasional sebagai akibat surplus pasokan dan distorsi kebijakan (konflik poliik dan inervensi pemerintah di negara produsen gula), (2) rendahnya proteksi

(subsidi pupuk dan tarif impor) pemerintah terhadap produk-produk pertanian, termasuk gula, dan (3) produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Kondisi Indonesia sebagai negara pengimpor gula


(17)

membuat Indonesia sangat bergantung pada gula impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Apabila impor gula tidak dilakukan, maka kebutuhan konsumsi gula di Indonesia tidak dapat terpenuhi, jika mengandalkan hasil produksi dalam negeri saja hampir dipastikan kebutuhan konsumsi akan gula Indonesia tidak akan terpenuhi karena produksi gula dalam negeri tidak

mencukupi. Oleh karena itu, Indonesia sangat bergantung pada gula impor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi gula.

Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu:

1. Bagaimana posisi perdagangan gula Indonesia di perdagangan internasional? 2. Bagaimana tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor gula?

3. Bagaimana peramalan volume impor gula nasional 10 tahun mendatang?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Menganalisis posisi perdagangan gula Indonesia di perdagangan internasional 2. Menganalisis tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor gula

3. Meramal jumlah impor gula nasional dalam sepuluh tahun yang akan datang

4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat bagi:

1. Pemerintah, sebagai masukan dan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan industri gula nasional dan peningkatan


(18)

kesejahteraan masyarakat serta petani tebu pada khususnya dan mengurangi ketergantungan impor gula.

2. Peneliti lain, sebagai bahan rujukan dan bahan pertimbangan atau perbandingan untuk penelitian sejenis.

5. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis memiliki keterbatasan penelitian yaitu : 1. Peneliti melakukan pencarian data pada tahun 2012 sehingga hanya

memperoleh data hingga tahun 2011.

2. Dalam menganalisis indeks spesialisasi perdagangan gula kristal putih dan gula kristal rafinasi, penulis hanya memperoleh data impor dan ekspor gula tahun 2006-2011.

3. Pabrik gula rafinasi Indonesia aktif beroperasi sejak tahun 2006 sehingga baru dapat diteliti mulai tahun 2006.

4. Peneliti tidak menganalisis gula jenis gula mentah atau raw sugar , karena semua gula jenis ini diperoleh dari impor


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka 1. Karakteristik Tebu

Menurut Supriyadi (1992) tebu (Sacharum officanarum) merupakan bahan baku utama produksi gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Bentuk fisik tanaman tebu dicirikan oleh terdapatnya bulu-bulu dan duri sekitar pelepah dan helai daun. Banyaknya bulu dan duri beragam, tergantung varietas. Tinggi tanaman bervariasi tergantung daya dukung lingkungan dan varietas, yaitu antara 2,5-4 meter dengan diameter batang antara 2-4 cm. Daun tanaman tebu yang matang memiliki total rata-rata permukaan daun sekitar 0,5 persegi, tergantung pada keragaman dan kondisi pertumbuhan. Klasifikasi tanaman tebu adalah: Divisi : Spermatophyta

Subsdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Graminalis Famili : Gramineae Genus : Saccharum


(20)

Batang tanaman tebu memiliki anakan tunas dari pangkal batang yang

membentuk rumpun. Tanaman tebu memerlukan waktu tanam sepanjang 11- 12 bulan. Tanaman tebu berasal dari daerah tropis basah sebagai tanaman liar. Batang tanaman tebu beruas-ruas, dari bagian pangkal sampai pertengahan, ruasnya panjang-panjang, sedangkan di bagian pucuk ruasnya pendek. Tinggi batang antara 2 sampai 5 meter, tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Pada pucuk batang tebu terdapat titik tumbuh yang mempunyai peranan penting untuk pertumbuhan meninggi. Bunga tebu

merupakan malai yang bentuknya piramida, panjangnya antara 70 sampai 90 cm. Bunga tebu biasanya muncul pada bulan April-Mei. Bunganya terdiri dari tenda bunga yaitu 3 helai daun kelopak dan 1 helai daun tajuk bunga. Bunga tebu memiliki 1 bakal buah dan 3 benang sari, kepala putiknya berbentuk bulu-bulu

(Supriyadi,1992).

Daun tebu merupakan daun tidak lengkap, karena hanya terdiri dari pelepah dan helai daun, tanpa tangkai daun. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling. Pelepah memeluk batang, makin ke atas makin sempit. Pada pelepah terdapat bulu-bulu dan telinga daun. Pertulangan daun sejajar. Helai daun berbentuk garis sepanjang 1 sampai 2 meter dan melebar 4 sampai 7 cm dengan ujung meruncing, bagian tepi bergerigi, dan permukaan daun. Tebu mempunyai akar serabut yang panjangnya dapat mencapai satu meter. Sewaktu tanaman masih muda atau berupa bibit, ada 2 macam akar, yaitu akar setek dan akar tunas. Akar setek (bibit) berasal dari setek batangnya. Akar ini tidak berumur panjang dan hanya berfungsi sewaktu tanaman masih muda. Akar


(21)

tunas berasal dari tunas. Akar ini berumur panjang dan tetap ada selama tanaman masih tumbuh (http://repository.usu.ac.id, 2013)

Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat menghasilkan gula dengan optimal. Walaupun demikian, tanaman tebu dapat tumbuh di daerah beriklim panas dan sedang (daerah tropik dan subtropik) dengan daerah penyebaran yang sangat luas yaitu antara 35o LS dan 39o LU. Unsur-unsur iklim yang penting bagi pertumbuhan tanaman tebu adalah curah hujan, sinar matahari, angin, suhu, dan kelembaban udara.

Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya, namun menghendaki keadaan kering menjelang berakhirnya masa petumbuhan vegetatif agar proses pemasakan (pembentukan gula) dapat berlangsung dengan baik. Berdasarkan kebutuhan airnya pada setiap fase pertumbuhan tanaman tebu, secara ideal curah hujan yang diperlukan adalah 200 mm per bulan selama 5–6 bulan berurutan, 2 bulan transisi dengan curah hujan 125 mm per bulan, dan 4–5 bulan berurutan dengan curah hujan kurang dari 75 mm tiap bulannya

Radiasi sinar matahari sangat diperlukan oleh tanaman tebu untuk pertumbuhan dan terutama untuk proses fotosintesis yang menghasilkan gula. Jumlah curah hujan dan penyebarannya di suatu daerah akan menentukan besarnya intensitas radiasi sinar matahari. Cuaca berawan pada siang maupun malam hari bisa menghambat pembentukan gula. Pada siang hari, cuaca berawan menghambat proses fotosintesis, sedangkan pada malam hari menyebabkan naiknya suhu yang bisa mengurangi akumulasi gula karena meningkatnya proses pernafasan. Suhu


(22)

sangat menentukan kecepatan pertumbuhan tanaman tebu. Suhu siang hari yang hangat atau panas dan suhu malam hari yang rendah diperlukan untuk proses penimbunan sukrosa pada batang tebu. Suhu optimal untuk pertumbuhan tebu berkisar antara 24 – 300C (www.pertanianfery.wordpress.com, 2013).

Jumlah produksi gula tergantung pada beberapa faktor yaitu produktivitas lahan, rendemen yang dicapai, tingkat efisiensi pabrik, dan luas tanaman.

Perkembangan jumlah produksi gula beberapa tahun terakhir cenderung menurun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan konsumsi gula pun semakin meningkat. Apabila produksi gula nasional tidak mencukupi kebutuhan gula nasional maka kebijakan impor tidak dapat dihindari.

2. Karakteristik Gula

Pemerintah menetapkan ada tiga jenis gula yang beredar di Indonesia, yaitu gula kristal mentah (raw sugar), gula kristal rafinasi (rafined sugar), dan gula kristal putih (white sugar). Gula kristal putih adalah gula yang dapat dikonsumsi langsung tanpa memerlukan proses lebih lanjut. Gula kristal putih merupakan gula yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Bahan baku pembuatan gula kristal putih adalah tebu. Gula kristal rafinasi adalah jenis gula yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan industri makanan maupun minuman. Bahan baku

pembuatan gula kristal rafinasi adalah gula kristal mentah. Gula kristal mentah adalah gula yang dihasilkan dari tebu, tetapi belum siap untuk dikonsumsi.


(23)

(a) Gula Kristal Mentah (Raw Sugar)

Raw sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecokelatan dengan bahan baku dari tebu. Untuk menghasilkan raw sugar perlu dilakukan proses seperti Gambar 1.

Gambar 1. Proses pengolahan tebu menjadi gula kristal mentah Sumber : Natawidaja dkk, 2012

Raw sugar memiliki nilai ICUMSA sekitar 600-1.200 IU. ICUMSA adalah

International Commision For Uniform Metods Of Sugar. ICUMSA merupakan lembaga internasional yang bertugas untuk menganalisa kualitas gula, dalam ICUMSA biasanya dilihat kualitas grade warna gula. Indonesia sepenuhnya melakukan impor gula jenis raw sugar (Natawidjaja, dkk, 2012). Indonesia tidak memproduksi gula kristal mentah sendiri karena pendirian pabrik gula kristal mentah dinilai tidak efektif, karena kegunaan gula kristal mentah hanya sebagai bahan baku gula kristal rafinasi saja, sedangkan gula kristal putih yang biasa

Tebu

Giling

Nira

Penguapan


(24)

dikonsumsi rumah tagga langsung tidak membutuhkan bahan baku gula kristal mentah, melainkan tanaman tebu langsung.

(b) Gula Kristal Rafinasi ( Rafined Sugar )

Gula kristal rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula kristal mentah atau raw sugar melalui proses defikasi (yang tidak dapat dikonsumsi langsung oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut). Yang membedakan dalam proses gula kristal rafinasi dan gula kristal putih adalah gula kristal rafinasi

menggunakan proses karbonasi, sedangkan gula kristal putih menggunakan proses sulfitasi. Proses pengolahan gula kristal rafinasi dapat dilihat pada Gambar 2

Gambar 2. Proses pengolahan gula mentah menjadi gula kristal rafinasi Sumber : Natawidaja dkk, 2012

Gula rafinasi memiliki 2 tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Standar mutu gula rafinasi tipe 1 harus memiliki nilai ICUMSA <45 dan gula rafinasi tipe 2 memiliki standar mutu ICUMSA 46-80 (Natawidjaja, dkk, 2012). Gula kristal rafinasi


(25)

digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Peredaran gula rafinasi dilakukan secara khusus dimana distributor gula rafinasi tidak bisa sembarangan beroperasi, tetapi harus mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang kemudian disahkan oleh Departemen Perindustrian.

(c) Gula Kristal Putih

Gula kristal putih merupakan gula yang dapat dikonsumsi langsung oleh rumah tangga. Pengolahan tebu menjadi gula berlangsung melalui beberapa tahap, yaitu pemerahan cairan tebu (ekstraksi nira), pembersihan kotoran dari dalam nira, penguapan, dan pemisahan kristal gula. Namun, sebelum sampai pada tahap pengolahan, pengolahan tebu didahului oleh tahap panen dan pengangkutan yang merupakan tahap penyediaan bahan baku. Diagram alir proses pembuatan gula dapat dilihat pada Gambar 3.


(26)

Gambar 3. Proses pengolahan tebu menjadi gula kristal putih Sumber: Mubyarto dan Daryanti, 1991

Pengolahan dalam agribisnis gula adalah memerah nira dari batang tebu dan memprosesnya menjadi gula kristal dengan tingkat kehilangan gula (pol) sekecil mungkin. Pada proses pengolahan tebu menjadi gula, tingkat kehilangan tersebut terjadi pada ampas dan tetes. Rata-rata mutu tebu yang berada di pabrik gula di Jawa memiliki mutu yang rendah dengan nilai polarisasi berkisar antara 8,3-11,2% nilai nira perahan pertama 9,9-12,4%, dan kadar kotoran tebu antara 6-20% (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2002).

Kristal Gula

Molasse

Pengkristalan (kristalisasi)

Pemisahan Kristal

Air Air

Pembersihan (klarifikasi)

Penguapan (evaporasi)

Air Imbibisi

Bahan Pembersih

Ampas

Blontong Batang Tebu

Penggilingan (ekstraksi)


(27)

3. Teori Perdagangan Inernasional

Menurut Lindert dan Kindleberger (1995) perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Permintaan (demand) dan penawaran (supply) akan tampak dalam bentuknya yang sudah dikenal serta merupakan suatu interaksi dari kemungkinan produksi dan preferensi konsumen. Terdapat dua hal penting untuk terjadinya perdagangan internasional, yakni spesialisasi produksi dan informasi akan kebutuhan barang yang diperdagangkan. Hal pertama adalah spesialisasi, terjadi karena keadaan yang alamiah, yakni tumbuhnya atau tersedianya bahan alamiah yang ketersediannya berbeda-beda di berbagai tempat di dunia. Hal ke dua adalah ketersediaan informasi, yang berkaitan erat dengan tingkat kemajuan daya pikir manusia. Informasi diperlukan untuk mengetahui apa yang diperlukan orang lain.

Perdagangan internasional terjadi karena terdapat banyak komoditas yang sama sekali tidak dapat ditanam atau diproduksi dalam suatu negara akibat keterbatasan keadaan alam dan iklim. Hal yang lebih penting secara kuantitatif adalah bahwa banyak produk yang dapat diproduksi di suatu negara, namun hanya dapat

dilakukan dengan biaya lebih tinggi dibandingkan jika produk tersebut diproduksi di negara lain. Semua hal ini menyebabkan semakin pentingnya manfaat atau keuntungan perdagangan internasional. Teori perdagangan internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya (Salvatore, 1997).

Terdapat dua teori perdagangan yang dikemukakan oleh dua tokoh ekonomi terkenal pada masanya yakni perdagangan berdasarkan keunggulan absolut dari


(28)

Adam Smith dan perdagangan berdasarkan keunggulan komparatif dari David Ricardo. Menurut Adam Smith, perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien atau memiliki kerugian absolut dibandingkan negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore, 1997).

Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam

memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan

keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian komparatif) (Salvtore,1997). Dalam kegiatan ekspor suatu komoditi, Salvatore (1997) menyatakan bahwa secara teoritis volume ekspor suatu komoditi tertentu dari suatu negara ke negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Kelebihan penawaran dari negara tersebut di lain pihak merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand).


(29)

Secara teoritis, suatu negara (misalkan negara A) akan mengekspor suatu

komoditi (misal gula) ke negara lain (misalkan negara B) apabila harga domestik di negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B (Gambar 2). Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply

(memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, di negara B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand), sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli gula dari negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar negara A dan negara B.

Negara A Perdagangan Negara B (Pengekspor) (Pengimpor)

SB

ES

Ekspor PB B

SA IMPOR

PW

P* DB

PA A ED

DA

X 0 X 0 X Gambar 4. Kurva terjadinya perdagangan internasional


(30)

Gambar 4 memperlihatkan sebelum terjadi perdagangan internasional, harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran di pasar

internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA dan

permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih

rendah dari PB. Pada saat harga internasional sama dengan PA atau PB, maka tidak

terjadi perdagangan internasional. Apabila harga internasional lebih besar dari PA, maka terjadi excess supply (ES) pada negara A dan apabila harga

internasional lebih rendah dari PB, maka terjadi excess demand (ED) pada negara B. Dengan demikian, dari A dan B tersebut akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar internasional, di mana perpotongan antara kurva ES dan ED akan

menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P* (Salvatore, 1997).

3. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)

Indeks spesialisasi perdagangan adalah salah satu alat untuk mengukur tingkat daya saing. Indeks spesialisasi perdagangan digunakan untuk melihat apakah suatu negara cenderung menjadi negara eksportir atau importer atas produk tertentu. Secara matematis, indeks spesialisasi perdagangan (ISP) dapat dirumuskan sebagai :

ISP = ( Xia - Mia ) / ( Xia + Mia) ……….….………….(1)

di mana X dan M masing-masing adalah ekspor dan impor; i dan a masing-masing adalah barang jenis i dan negara a. Secara implisit, indeks ISP


(31)

identik dengan supply domestik – permintaan domestik, atau sesuai perdagangan internasional yakni teori vent for surplus. Ekspor dari suatu barang terjadi apabila ada kelebihan atas barang tersebut di pasar domestik. Sebenarnya dengan

mengobservasi indeks spesialisasi perdagangan menurut komoditi atau industri sepanjang waktu, dapat dibahas kesenjangan permintaan dan penawaran di pasar domestik dan sekaligus mengukur derajat dari daya saing komoditi atau industri bersangkutan. Nilai dari indeks spesialisasi perdagangan adalah antara -1 dan +1. Jika nilai dari indeks ISP positif (0<ISP<1), maka komoditi bersangkutan

mempunyai daya saing yang kuat atau negara tersebut cenderung sebagai

pengekspor komoditi (suplai domestik lebih besar daripada permintaan domestik). Sebaliknya, daya saing suatu negara adalah rendah atau cenderung sebagai

pengimpor (suplai domestik lebih kecil daripada permintaan domestik) jika nilai ISP negatif (-1<ISP<0). Jika indeks spesialisasi perdagangan naik berarti daya saingnya naik, dan sebaliknya (Tambunan, 2004).

Menurut Tambunan (2004) indeks spesialisasi perdagangan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan yang terbagi ke dalam 5 tahap sebagai berikut:

1. Tahap Pengenalan

Ketika suatu industri (forerunner) di suatu negara (negara A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) di negara B impor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP dari

industri latercomer adalah -1,00 sampai -0,50. 2. Tahap Subtitusi Impor


(32)

negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditi tersebut, pada tahap ini, negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.

3. Tahap Pertumbuhan

Nilai indeks ISP naik antara 0,01 sampai 0,80, dan industri di negara B

melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada permintaan.

4. Tahap Kematangan

Nilai indeks berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi menyangkut teknologi yang dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara net exporter. 5. Tahap kembali mengimpor

Nilai indeks ISP kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini industri di negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.

4. Import Dependency Ratio (IDR)

Import Dependency Ratio atau rasio ketergantungan impor adalah alat yang digunakan untuk melihat sejauh mana ketergantungan impor suatu negara


(33)

terhadap suatu komoditas tertentu. Dengan menganalisis Import Dependency Ratio, maka dapat diketahui seberapa besar ketergantungan impor suatu negara terhadap suatu komoditas. Secara matematis import dependency ratio dapat dirumuskan sebagai (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2009) :

IDR =

- ……….…………..(2)

di mana : M = impor X = ekspor i = jenis barang a = negara.

Dengan diketahuinya Import Depedency Ratio, maka akan terlihat seberapa besar ketergantungan impor suatu negara terhadap suatu komoditas. Semakin besar nilai IDR maka ketergantungan impor negara tersebut terhadap suatu komoditas juga semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil nilai IDR maka ketergantungan impor suatu negara juga semakin rendah.

5. Metode Peramalan Autoregressive Integreted Moving Average (ARIMA)

Menurut Assuari (1984) peramalan adalah kegiatan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Peramalan terutama diperlukan karena peramalan merupakan alat bantu yang penting dalam perencanaan. Dapat dikatakan bahwa peramalan merupakan dasar untuk penyusunan rencana. Efektif tidaknya suatu rencana yang disusun sangat ditentukan oleh kemampuan para penyusunnya untuk meramalkan situasi dan kondisi pada saat rencana tersebut dilaksanakan. Keputusan yang baik adalah keputusan yang didasarkan atas pertimbangan apa yang akan terjadi pada masa yang akan terjadi pada saat


(34)

keputusan tersebut dilaksanakan. Apabila ramalan yang dibuat kurang tepat maka keputusan yang diambil menjadi tidak tepat.

Model ARIMA dalam banyak kasus memberikan model peramalan yang paling akurat untuk set data manapun. Metode ini menawarkan pendekatan yang lebih sistematis dalam membangun, menganalisa dan meramal model time series. Hanya saja, tidak ada prosedur otomatis dalam meng-update model ketika data baru dimasukkan-modelnya harus diduga dari awal lagi. Model ARIMA terdiri atas autoregressive model, moving average model dan Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) model (Assauri, 1984).

a. Model Autoregresif (Autoregressive, AR)

Menurut Halim dalam Chandra (2012), model AR adalah suatu persamaan di mana jika series stasioner adalah fungsi linier dari nilai-nilai lampaunya yang berurutan. Model AR memiliki asumsi bahwa data periode sekarang dipengaruhi oleh data pada periode sebelumnya. Model AR dengan ordo p disingkat menjadi AR(p) atau ARIMA (p,0,0), dan diformulasikan sebagai :

Yt = B0 + B1 Yt-1 + B2 Yt-2 + … + Bn Yt-n + et………...(3)

di mana:

Yt = nilai series yang stasioner tahun t

Yt-1, Yt-2, Yt-n = nilai lampau series yang bersangkutan atau variabel independen

yang merupakan nilai lag dari variabel dependen. B0 = konstanta

B1, B2, Bn = koefisien model

et = eror

Banyaknya nilai lampau yang digunakan (p) pada model AR menunjukkan tingkat dari model tersebut. Jika hanya digunakan sebuah nilai lampau, maka model AR


(35)

dinamakan model autoregressive (AR) tingkat satu dan dilambangkan dengan AR (1). Agar model AR stationer, maka jumlah koefisien model autoregressive ( ) harus selalu kurang dari 1. Hal tersebut merupakan syarat perlu dan bukan syarat cukup, sebab masih diperlukan syarat lain untuk menjamin

stationarity.

b. Model Rata-rata Bergerak (Moving Average, MA)

Menurut Sartono (2006) model MA adalah proses Moving Average berordo q, menyatakan hubungan ketergantungan antara nilai pengamatan dengan nilai-nilai kesalahan yang berurutan dari periode t sampai t-q. Model Moving Average (MA) pertama kali diperkenalkan oleh Slutzky pada tahun 1973, dengan orde q ditulis MA (q) atau ARIMA (0,0,q) dan dikembangkan oleh Wadsworth pada tahun 1989 dan memiliki formulasi (Halim dalam Chandra,2012) :

Yt = A0– A1 Wt-1 – W2 et-2 - ....- An Wt-n + et ………...….(4)

di mana :

Yt = nilai series yang stasioner

Wt-1, Wt-2, Wt-n = variabel bebas yang merupakan lag dari residual

A0 = konstanta

A1, A2, An = koefisien model

et = eror

Terlihat bahwa Yt merupakan rata-rata tertimbang kesalahan sebanyak n periode

ke belakang. Banyaknya kesalahan yang digunakan pada persamaan ini (q) menandai tingkat dari model moving average. Jika pada model tersebut

digunakan dua kesalahan masa lalu, maka dinamakan model average tingkat 2 dan dilambangkan sebagai MA (2). Agar model MA stationer, maka diperlikan sesuatu adalah yang dinamakan invertibility condition yaitu jumlah koefisien


(36)

model ( ) selalu kurang dari 1. Hal ini berarti bahwa jika makin ke belakang, peranan kesalahan makin mengecil. Jika kondisi ini tak terpenuhi, maka kesalahan yang makin ke belakan justru semakin berperan. Model MA meramalkan nilai Yt berdasarkan kombinasi kesalahan linier masa lampau (lag),

sedangkan model AR menunjukkan Yt sebagai fungsi linier dari sejumlah nilai Yt

aktual sebelumnya (Halim dalam Chandra, 2012).

c. Model ARMA (Autoregressive Moving Average)

Menurut Assauri (1984) model AR (p) dan MA (q) dapat disatukan menjadi model yang dikenal dengan Autoregressive Moving Average (ARMA), sehingga memiliki asumsi bahwa data periode sekarang dipengaruhi oleh data pada periode sebelumnya dan nilai sisaan pada periode sebelumnya. Model ARMA dengan berorde p dan q ditulis ARMA (p,q) atau ARIMA (p,0,q) yang memiliki formulasi sebagai (Halim dalam Chandra, 2012) :

Yt = B0 + B1 Yt-1+ … + Bn Yt-n– A1 Wt-1 - … - An Wt-n + et…………..(5)

di mana:

Yt = nilai series yang stasioner

Yt-1, Yt-2 = nilai lampau series yang bersangkutan

Wt-1, Wt-2 = variabel bebas yang merupakan lag dari residual

et = eror

B0 = konstanta

B1, Bn, A1, An = koefisien model

d. Model Autoregressive Integreted Moving Average (ARIMA)

Model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA) menggunakan asumsi bahwa data deret waktu yang dihasilkan sudah bersifat stasioner. Pada


(37)

integrated (Sadeq, 2008). Jika data tidak stasioner, maka metode yang digunakan untuk membuat data menjadi data stasioner adalah differencing (untuk data yang tidak stasioner dalam rata-rata) dan proses transformasi (untuk data yang tidak stasioner dalam varian) (Mulyana, 2004). Seringkali proses random stasioner tak dapat dengan baik dijelaskan oleh model moving average saja atau autoregressive

saja, karena proses ARIMA mengandung keduanya. Oleh karena itu, gabungan kedua model, yang dinamakan Autregressive Integrated Moving Average

(ARIMA) model dapat lebih efektif menjelaskan proses AR dan MA. Pada model gabungan ini series stasioner adalah fungsi dari nilai lampaunya serta nilai

sekarang dan kesalahan lampaunya. Bentuk umum model ARIMA dapat dinyatakan dalam persamaan (Sartono, 2006) :

Yt = Yt-1 + B0 + B1 (Yt-1 – Yt-2) + … + Bn (Yt-n– Yt-n-1) –

A1 (Wt-1 – Wt-2) - … - An (Wt-n– Wt-n-1) + et ……….……… (6)

di mana:

Yt = nilai series yang stasioner

Yt-1, Yt-2 = nilai lampau series yang bersangkutan

Wt-1, Wt-2 = variabel bebas yang merupakan lag dari residual

et = residual

B0 = konstanta

B1, Bn, A1, An = koefisien model

Syarat perlu agar proses ARIMA stasioner adalah B1 + B2+…+ Bn < 1 (Mulyono,

2000 dalam Ahmad Sadeq (2008). Proses ini dilambangkan dengan ARIMA (p,d,q), di mana q menunjukkan ordo/ derajat autoregressive (AR), d adalah tingkat proses differencing, dan p menunjukkan ordo (derajat) moving average


(38)

sama maksudnya dengan ARIMA (1,0,0), MA (2) sama maksudnya dengan ARIMA (0,0,2), dan ARIMA (1,2) sama maksudnya dengan ARIMA (1,0,2).

Adalah mungkin bila suatu series nonstasioner homogen tidak tersusun atas kedua proses itu, yaitu proses autoregressive maupun moving average. Jika hanya mengandung proses autoregressive, maka series itu dikatakan mengikuti proses

Integrated autoregressive dan dilambangkan ARIMA (p,d,0), sedangkan yang hanya mengandung proses moving average, seriesnya dikatakan mengikuti proses

integrated moving average dan dituliskan ARIMA (0,d,q) (Chandra,2012).

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, seperti penelitian mengenai peranan industri gula dalam perekonomian nasional yang dilakukan oleh Arianto (2003). Analisis yang digunakan adalah analisis Input-Output yang merupakan salah satu alat analisis yang dapat melihat hubungan antarsektor dalam suatu perekonomian. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa industri gula memiliki keterkaitan ke depan yang rendah dibandingkan dengan keterkaitan ke belakang. Dengan demikian, industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor hulunya tetapi tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor hilirnya. Penelitian juga menunjukkan bahwa industri gula merupakan salah satu industri penting yang dapat meningkatkan output, pendapatan, dan lapangan kerja di sektor pertanian itu sendiri dan di sektor perekonomian lainnya di Indonesia.


(39)

Dalam penelitiannya, Nainggolan (2006) melakukan studi tentang analisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan model ekonometrik gula dengan metode

Two-Stage LeastSquare (2SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan impor gula sebesar 86 persen, maka akan meningkatkan harga impor gula, meningkatkan harga gula eceran dalam negeri, dan penurunan konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia. Kenaikan impor gula tersebut juga berdampak pada peningkatan stok gula dalam negeri, meningkatkan harga

provenue gula dan mendorong peningkatan luas areal perkebunan tebu serta penurunan produktivitas tebu. Namun, apabila kebijakan menurunkan impor gula sebesar 98 persen, maka akan berdampak pada penurunan harga impor gula dan diikuti oleh penurunan harga gula eceran, konsumsi meningkat serta berdampak pada penurunan stok gula dalam negeri. Kebijakan menurunkan harga impor gula juga menyebabkan harga provenue gula mengalami penurunan serta penurunan luas areal perkebunan tebu, akan tetapi meningkatkan produktivitas tebu.

Selain itu, kebijakan mengimpor gula sebesar nol persen akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas tebu. Kebijakan tersebut juga berdampak pada penurunan harga impor gula dan penurunan harga gula eceran sehingga konsumsi gula dalam negeri meningkat. Dampak lainnya adalah stok gula dalam negeri mengalami penurunan dan harga provenue gula mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil analisis simulasi, kebijakan tataniaga impor gula tidak responsif atau bersifat inelastis terhadap perubahan harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Apabila impor gula semakin tinggi akan meningkatkan stok gula


(40)

Indonesia sehingga penawaran gula akan meningkat. Kenaikan penawaran gula tersebut akan menurunkan harga gula eceran dalam negeri.

Istiqamah (2006) dalam penelitiannya mengenai Aplikasi Model ARIMA Untuk Forecasting Produksi Gula Pada PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero),

menghasilkan bahwa bentuk model runtun waktu yang tepat untuk data produksi gula pada PT. Perkebunan Nusantara IX adalah model ARIMA (2,2,1) dengan modelnya yaitu Zt= -0,5399 Zt-1– 0,8747 Zt-2 + at + 0,9317 at-1. Hasil analisis

menunjukkan bahwa peramalan jumlah produksi gula pada PT. Perkebunan Nusantara IX periode giling pada tahun 2006 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Peramalan produksi gula PT. Perkebunan Nusantara IX untuk tahun 2006 dan 2007 belum menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan bila dibandingkan dengan hasil produksi pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu diperlukan antisipasi yang lebih serius, agar jumlah produksi setiap tahun semakin meningkat, baik dalam hal kuantitas maupun kualitasnya.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu antara lain dalam hal analisis yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar ketergantungan Indonesia terhadap impor gula, dan menganalisis dayasaing gula Indonesia di pasar dunia dengan mengggunakan analisis Indeks spesialisasi perdagangan serta melakukan peramalan volume impor gula Indonesia di masa yang akan datang.

C. Kerangka Pemikiran

Gula merupakan komoditi penting bagi Indonesia. Selain sebagai salah satu bahan makanan pokok, gula juga merupakan sumber kalori bagi masyarakat Indonesia selain padi, jagung dan umbi umbian. Selain sebagai bahan pemanis


(41)

utama, gula digunakan pula sebagai bahan baku pada industri makanan dan minuman. Keberadaan pemanis buatan dan pemanis lainnya sampai saat ini belum sepenuhnya bisa menggantikan keberadaan gula. Besarnya peran gula menggambarkan bahwa gula merupakan komoditas strategis sekaligus komoditas politis di Indonesia.

Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu penyebab peningkatan permintaan gula yang semakin meningkat di Indonesia. Permintaan gula tumbuh dengan laju yang cukup tinggi di Indonesia. Di lain pihak, pertumbuhan produksi gula

cenderung menurun setiap tahunnya, karena banyak hambatan yang dihadapi, di antaranya adalah rendemen gula yang terus menurun dan kompetisi dalam

penggunaan lahan. Laju pertumbuhan permintaan akan gula yang tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan produksi gula yang cukup, menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan gula dalam negeri dan untuk mengatasnyai maka dilakukan impor gula.

Efek negatif dari impor gula adalah diduga akan menurunkan harga gula dalam negeri (karena pengenaan pajak yang tidak efektif) sehingga harga gula impor di pasar domestik dijual menjadi sangat rendah. Para konsumen cenderung lebih memilih gula impor yang harganya cenderung lebih murah. Harga gula domestik cenderung lebih mahal dari gula impor karena harga patokan pembelian yang diterima petani juga memiliki nilai yang cenderung tinggi pula, seperti contohnya pada tahun 2010 harga patokan pembelian yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 6.350 ,00 per kilogram gula. Hal itu juga masih dipandang terlalu kecil bagi petani mengingat tingginya biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam


(42)

melakukan kegiatan usaha tani tebu. Namun demikian pada tahun 2011 harga patokan pembelian yang ditetapkan pemerintah mengalami kenaikan memjadi sebesar Rp. 7000,00 per kilogram. Tujuan utama penetapan harga patokan pembelian tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan petani sehingga upaya peningkatan produksi tebu dan produktivitas lahan menuju swasembada gula di dalam negeri dapat tercapai.

Semakin tinggi harga patokan pembelian harapkan akan meningkatkan semangat petani dalam melakukan usaha tani tebu, sehingga hasil produksi tebu semakin meningkat dan produksi gula meningkat. Tingginya harga patokan pembelian yang diterima petani mengakibatkan semakin tinggi pula harga jual gula domestik yang sampai ke tangan konsumen. Dalam keadaan seperti itu, gula impor akan lebih diminati konsumen yang akhirnya membuat gula impor akan selalu membanjiri pasar gula domestik. Selanjutnya hal tersebut akan mengakibatkan Indonesia bergantung pada impor gula dalam memenuhi konsumsinya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka diharapkan pembuat kebijakan impor gula mendapatkan masukan yang berarti mengenai jumlah impor gula yang diperlukan dalam beberapa periode mendatang. Kerangka berfikir “Analisis Posisi dan Peramalan Perdagangan Gula Indonesia 2013-2022” disajikan pada Gambar 5.


(43)

Gambar 5. Kerangka berfikir “Analisis Posisi dan Peramalan Perdagangan Gula Indonesia 2013-2022”

Impor gula

Analisis Posisi Perdagangan Gula Indonesia

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)

Analisis Ketergantungan Indonesia terhadap Impor Gula

Import Dependency Ratio (IDR)

Peramalan Volume Impor Gula Indonesia Autoregressive Integreted Moving Average

(ARIMA)

Pasar Gula Domestik

Produksi gula dalam negeri menurun

Konsumsi gula meningkat Jumlah penduduk


(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional

Konsep dasar dan definisi opresional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. Konsep dasar operasional yang terkait dengan penelitian ini adalah:

Data yang digunakan adalah data deret waktu (Time Series), yaitu data yang dikumpulkan dari untaian waktu tertentu dan menggambarkan perkembangan suatu kegiatan yang berlangsung.

Data sekunder adalah data yang didapat dari lembaga atau instansi tertentu yang mendukung tujuan penelitian, dalam bentuk data publikasi.

Produksi gula adalah gula yang diproduksi dalam negeri per tahun, diukur dalam satuan ton.

Volume ekspor gula adalah jumlah ekspor gula dari Indonesia per tahun, diukur dalam satuan ton.

Volume impor gula adalah jumlah gula yang diimpor Indonesia per tahun, diukur dalam satuan ton.


(45)

Posisi perdagangan gula adalah posisi yang menunjukkan apakah suatu negara termasuk ke dalam kategori negara eksportir atau negara importir.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dengan untaian waktu (time series), dimulai dari tahun 1972 sampai dengan tahun 2011. Sumber data penelitian adalah beberapa instansi terkait, yaitu Biro Pusat Statistik, Dewan Gula Indonesia, dan Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Data yang digunakan antara lain adalah volume impor gula, produksi gula dalam negeri, dan volume ekspor gula Indonesia.

C. Metode Analisis Data

Metode analisis data disesuaikan tujuan penelitian yaitu analisis posisi

perdagangan gula Indonesia di perdagangan internasional menggunakan metode indeks spesialiasasi perdagangan, analisis tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor gula dianalisis dengan metode import dependency ratio dan untuk meramal jumlah impor gula nasional dalam sepuluh tahun yang akan datang dianalisis dengan model Autoregressive Integreted Moving Average (ARIMA).

1. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)

Posisi perdagangan gula Indonesia dapat dianalisis dengan menggunakan metode Indeks Spesialisasi Perdagangan. Indeks ini digunakan untuk melihat apakah suatu negara, cenderung menjadi negara eksportir atau importir terhadap jenis produk tertentu. Dalam penelitian ininegara yang dimaksud adalah negara


(46)

Indonesia. Secara matematis, indeks spesialisasi perdagangan dapat dirumuskan sebagai (Tambunan,2004) :

ISP = ( Xia - Mia ) / ( Xia + Mia)……….……….. (7)

di mana X dan M masing-masing adalah ekspor dan impor; i dan a masing-masing adalah barang jenis i dan negara a. Secara implisit, indeks spesialisasi

perdagangan mempertimbangkan sisi permintaan dan sisi penawaran (ekspor – impor) di pasar domestik (identik dengan penawaran domestik – permintaan domestik), dan pada perdagangan internasional sesuai dengan teori vent for surplus, yaitu ekspor suatu barang akan terjadi apabila ada kelebihan atas barang tersebut di pasar domestik.

Dengan mengamati indeks spesialisasi perdagangan sepanjang waktu atas komoditi atau industri, maka dapat dibahas kesenjangan permintaan dan

penawaran di pasar domestik, dan sekaligus dapat mengukur derajat daya saing komoditi atau industri bersangkutan. Nilai dari indeks spesialisasi perdagangan adalah antara -1 sampai +1. Jika nilai dari indeks spesialisasi perdagangan positif (0<ISP≤1), maka komoditi bersangkutan mempunyai daya saing yang kuat atau negara tersebut cenderung sebagai pengekspor komoditi tersebut (supply domestik lebih > permintaan domestik). Sebaliknya, daya saing rendah atau cenderung sebagai pengimpor (supply domestik < permintaan domestik) jika nilainya negatif (-1≤ISP<0). Jika indeksnya naik berarti daya saingnya naik, dan sebaliknya (Tambunan, 2004).


(47)

Menurut Tambunan (2004) indeks spesialisasi perdagangan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan yang terbagi ke dalam 5 tahap, yaitu:

1. Tahap Pengenalan

Tahap pengenalan adalah tahap ketika suatu industri (forerunner) di suatu negara (sebut A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) (negara B) mengimpor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP negara B adalah -1,00 sampai -0,50. 2. Tahap Subtitusi Impor

Pada tahap subtitusi impor, nilai indeks ISP naik menjadi - 0,51 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditi tersebut, pada tahap ini negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. 3. Tahap Pertumbuhan

Pada tahap pertumbuhan nilai indeks ISP negara B naik antara 0,01 sampai 0,80, dan industri di negara B melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran negara B untuk

komoditi tersebut lebih besar daripada permintaan. 4. Tahap Kematangan

Pada tahap kematangan nilai indeks negara B berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi,


(48)

terutama dalam hal yang menyangkut teknologi yang dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara net exporter.

5. Tahap kembali mengimpor

Pada tahap kembali mengimpor nilai indeks ISP negara B kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini industri di negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.

2. Import Dependency Ratio (IDR)

Import Dependency Ratio atau rasio ketergantungan impor adalah alat yang digunakan untuk melihat sejauh mana ketergantungan impor suatu negara

terhadap suatu komoditas tertentu. Secara matematis, rasio ketergantungan impor dapat dirumuskan sebagai (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2009) :

IDR =

x 100

………

..

……….

.(8)

di mana : M = impor X = ekspor

i = jenis barang a = negara.

Dengan menghitung Import Depedency Ratio maka akan diketahui seberapa besar ketergantungan impor suatu negara atas suatu komoditas. Semakin besar nilai IDR maka ketergantungan impor negara tersebut terhadap suatu komoditas juga semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil nilai IDR, maka ketergantungan impor suatu negara juga semakin rendah.


(49)

3. Model Autoregressive Integreted Moving Average (ARIMA)

Informasi mengenai peramalan impor gula Indonesia di masa mendatang dapat diketahui dengan menggunakan forecasting (peramalan). Peramalan (forecasting) didefinisikan sebagai alat atau teknik untuk memprediksi atau memperkirakan suatu nilai pada masa yang akan datang dengan memperhatikan data atau informasi yang relevan, baik data atau informasi masa lalu maupun data atau informasi saat ini. Jumlah impor gula di masa mendatang dapat dilihat dari analisis peramalan. Data yang digunakan dalam analisis peramalan ini adalah data volume impor gula Indonesia dari tahun 1972 hingga tahun 2011. Proses peramalan dilakukan dengan menggunakan metode analisis time series linear

dengan model ARIMA menggunakan software Minitab 16.

Berbeda dengan metode forecasting lainnya, metode ARIMA tidak memerlukan penjelasan mana variabel dependen atau mana variabel independen. Metode ini juga tidak melihat pola-pola data seperti pada time series decomposition, data yang akan diprediksi tidak perlu dipecah menjadi komponen trend, seasonal, siklus atau ireguler seperti perlakuan pada time series pada umumnya. Metode ini secara murni melakukan prediksi hanya berdasar data-data historis yang ada. Terdapat beberapa langkah dalam menjalankan analisis forecasting menggunakan metode ARIMA , yaitu (Chandra, 2013):

a. Identifikasi

Tahap pertama dalam membangun model ARIMA adalah tahap identifikasi. Proses identifikasi dengan Minitab pada dasarnya adalah melihat pola data, khususnya hasil dari autokorelasi dan autokorelasi parsial. Tujuan dari proses ini


(50)

untuk melihat apakah data awal perlu dilakukan differencing atau tidak. Identifikasi data dilakukan dengan cara analisis pola data historis yang sudah dilogkan, hasil analisis pola data volume impor gula Indonesia dapat dilihat dalam output yang berbentuk grafik autokorelasi dan tabel ACF (Autocorrelation

Function). Jika pada grafik autokorelasi dihasilkan bar berwarna biru yang tidak melebihi garis batas berwarna merah, maka hal itu menunjukkan bahwa data tidak menunjukkan gejala autokorelasi, sehingga tidak perlu dilakukan proses

differencing. Namun, jika pada grafik autokorelasi dihasilkan bar berwarna biru yang melebihi garis batas berwarna merah, maka data menunjukkan adanya autokorelasi dan perlu dilakukan differencing. Selain itu, pada tabel ACF, jika nilai ACF pada lag tertentu bernilai ≤ 0,1 berarti data tidak ada autokorelasi, sedangkan jika nilai ACF pada lag tertentu bernilai > 0,1 berarti data ada autokorelasi.

b. Estimasi dan diagnostik

Proses estimasi dan diagnostik dengan bantuan komputer dapat dilakukan secara bersama. Sebuah model diajukan, lalu diturunkan persamaan dari model tersebut (estimasi), namun model juga langsung didiagnosa (diuji) dengan melihat tingkat kesalahan model. Pada metode forecasting ARIMA, pemilihan model juga menggunakan unsur science (ilmu). Selain itu, faktor parsimoni juga perlu dipertimbangkan. Parsimoni adalah konsep yang mengutamakan kesederhanaan. Dalam ARIMA konsep parsimoni tersebut menekankan lebih baik memilih model dengan parameter sedikit daripada parameter banyak, serta mengutamakan


(51)

memilih model yang tepat adalah nilai probabilitas (p) pada persamaan estimasi finalnya. Model yang tepat adalah model yang memiliki nilai probabilitasnya di bawah 0,05.

Proses estimasi dilakukan dengan memasukkan beberapa kemungkinan model dengan parameter p, d, dan q. Angka p menunjukkan ordo atau derajat

autoregressive (AR), d adalah tingkat proses differencing, dan q menunjukkan ordo atau derajat moving average (MA), sehingga model dapat dituliskan ARIMA (p,d,q). Setelah proses pengujian model-model ARIMA, maka akan dihasilkan output berupa grafik ACF residual dan grafik PACF (partial autocorrelation) residual. Jika grafik menunjukkan bar berwarna biru tidak melampaui garis batas merah, dapat dikatakan bahwa residu dari model bersifat random, sehingga model ARIMA tersebut dapat digunakan untuk peramalan pada masa yang akan datang. Namun jika output grafik ACF residual dan PACF residual menunjukkan

sebaliknya, maka model ARIMA tidak dapat digunakan untuk peramalan.

Bagian penting dari proses diagnostik adalah besaran statistiknya. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai mean of square (MS). Nilai MS nanti akan

dibandingkan dengan angka MS pada model-model ARIMA yang lainnya. Pembandingan angka MS adalah bagian dari kegiatan diagnostik, khususnya untuk mencari model dengan MS terkecil namun lulus uji grafik ACF dan PACF. Selanjutnya persamaan untuk estimasi diambil dari bagian tengah output statistik, di mana akan didapatkan koefisien model dan konstanta untuk dimasukkan ke dalam persamaan peramalan ARIMA. Model ARIMA merupakan model


(52)

campuran berisi gabungan dari model AR dan model MA. Bentuk umum model ARIMA dapat dinyatakan dalam persamaan (Sartono dalam Chandra, 2012) :

Yt = B0 + B1 Yt-1+ … + Bn Yt-n– A1 Wt-1 - … - An Wt-n + et ……..……..…(9)

di mana:

Yt = nilai series yang stasioner

Yt-1, Yt-2 = nilai lampau series yang bersangkutan

Wt-1, Wt-2 = variabel bebas yang merupakan lag dari residual

et = eror

B0 = konstanta

B1, Bn, A1, An = koefisien model

Persamaan (9) merupakan persamaan untuk data yang sudah stasioner. Namun jika data historis mengandung autokorelasi dan perlu dilakukan differencing, maka persamaan (9) menjadi :

Yt– Yt-1 = B0 + B1 (Yt-1 – Yt-2) + ... + Bn (Yt-n – Yt-n-1) – A1

(Wt-1 – Wt-2) - ... – An (Wt-n – Wt-n-1) + et ……….…….(10)

dan dapat ditulis sebagai :

Yt = Yt-1 + B0 + B1 (Yt-1 – Yt-2) + ... + Bn (Yt-n – Yt-n-1) – A1

(Wt-1 – Wt-2) - ... – An (Wt-n – Wt-n-1) + et ………(11)

c. Peramalan (forecasting)

Setelah didapatkan model terbaik dan persamaan dari proses diagnostik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan peramalan. Dengan memasukkan nilai-nilai dalam persamaan yang telah didapatkan, maka dapat dihitung prediksi terhadap volume impor gula Indonesia di masa yang akan datang.


(53)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Indeks Spesialisasi Perdagangan

Analisis posisi perdagangan gula Indonesia dapat dianalisis dengan menggunakan metode Indeks Spesialisasi Perdagangan. Indeks ini digunakan untuk melihat apakah suatu negara cenderung menjadi negara eksportir atau importir terhadap jenis produk tertentu. Dalam penelitian ini negara yang dimaksud adalah negara Indonesia. Dalam penelitian ini komoditas yang diteliti adalah gula. Indonesia mengenal adanya 3 jenis gula yang berasal dari tebu, yaitu gula kristal mentah, gulaa kristal putih dan gula kristal rafinasi. Gula kristal mentah adalah gula yang masih setengah jadi sehingga belum dapat dikonsumsi langsung, biasanya gula kristal mentah menjadi bahan baku pembuatan gula kristal rafinasi. Gula kristal rafinasi adalah gula yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan, minuman dan juga farmasi. Pada penelitian ini gula yang diteliti adalah gula kristal putih dan gula kristal rafinasi.

Nilai dari indeks spesialisasi perdagangan adalah antara -1 hingga +1. Jika nilai dari indeks spesialisasi perdagangan positif (0<ISP≤1), maka komoditi

bersangkutan mempunyai daya saing yang kuat atau negara tersebut cenderung sebagai pengekspor komoditi tersebut. Sebaliknya, daya saing rendah atau cenderung sebagai pengimpor, jika nilainya negatif (-1≤ISP<0). Hasil


(54)

kristal putih selama periode 2006-2011 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks spesialisasi perdagangan gula kristal putih Indonesia tahun 2006-2011

Nomor Tahun Indeks Spesialisasi Perdagangan

1 2006 -0,99903

2 2007 -0,99975

3 2008 -0,98632

4 2009 -0,90454

5 2010 -0.99959

6 2011 -0,99621

Rata-rata -0,98091

Berdasarkan nilai indeks spesialisasi perdagangan gula kristal putih yang disajikan pada Tabel 7, dapat disimpulkan bahwa gula kristal putih Indonesia memiliki daya saing yang rendah. Kondisi ini terjadi karena nilai indeks spesialisasi perdagangan gula kristal putih yang dihasilkan oleh Indonesia memiliki nilai indeks spesialisasi perdagangan yang kurang dari atau sama dengan satu. Berdasarkan nilai indeks spesialisasi perdagangan gula kristal putih, indeks spesialisasi tertinggi terjadi pada tahun 2010. Hal ini terjadi karena pada tahun

2010 jumlah gula kristal putih yang diimpor oleh Indonesia merupakan jumlah impor tertinggi selama kurun waktu tahun 2006-2011, yaitu sebesar 378.643.824 ton.

Nilai ISP terendah terjadi pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena Indonesia melakukan impor gula dalam jumlah yang terhitung rendah selama periode waktu 2006-2011, yaitu sebesar 3.000.100 ton. Rendahnya jumlah impor gula ini disebabkan adanya penetapan tarif bea masuk atas impor gula yang dikeluarkan pemerintah melalui Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No


(55)

indeks rata-rata sebesar -0,98, dapat disimpulkan bahwa gula kristal putih

Indonesia periode 2006-2011 berada pada tahap pengenalan produk dalam tingkat perdagangan. Meskipun gula Indonesia sudah diperdagangkan sejak jaman Belanda namun karena adanya peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah mengenai perdagangan gula Indonesia seperti Keputusan Menteri Keuangan No 527/MPP/KEP/9/2004 mengenai ketentuan impor gula, sehingga mengakibatkan adanya perubahan mengenai jumlah impor gula Indonesia yang mengakibatkan adanya perubahan nilai pada nilai indeks spesialisasi perdagangan gula Indonesia. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa negara Indonesia merupakan negara pengimpor gula jenis gula kristal putih.

Tabel 8. Indeks spesialisasi perdagangan gula rafinasi Indonesia tahun 2006-2011

Nomor Tahun Indeks Spesialisasi Perdagangan

1 2006 -0,99739

2 2007 -0,99980

3 2008 -0,99977

4 2009 -0,99832

5 2010 -0,99581

6 2011 -0,98321

Rata-rata -0,995719

Berdasarkan hasil perhitungan indeks spesialisasi perdagangan jenis gula rafinasi yang disajikan pada Tabel 8, diketahui bahwa nilai indeks spesialisasi

perdagangan gula kristal rafinasi Indonesia memiliki nilai di bawah atau sama dengan satu. Pada tahun 2006 nilai indeks spesialisasi perdagangan yaitu -0,99739, sedangkan tahun 2007 hasil indeks spesialisasi perdagangan untuk jenis gula rafinasi juga tidak jauh berbeda yaitu memiliki nilai -0,99980. Hal ini terjadi


(56)

jauh jumlahnya, sehingga berdasarkan perhitungan indeks yang dihasilkan juga tidak berbeda jauh hasilnya.

Dengan indeks rata-rata sebesar -0,99, dapat disimpulkan bahwa gula kristal rafinasi Indonesia periode 2006-2011 berada pada tahap satu, yaitu tahap

pengenalan produk. Hal tersebut karena pabrik gula krisal rainasi Indonesia baru didirikan sejak tahun 2002. Dengan diketahuinya indeks spesialisasi

perdagangan ini, maka dapat diketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara pengimpor gula jenis gula kristal rafinasi.

Asmarantaka (2012) dalam penelitiannya mengenai daya saing industri gula Indonesia dengan metoderevealed comparative advantage(RCA), didapat hasil bahwa nilai RCA ekspor gula Indonesia sangatlah kecil. Hal ini menunjukkan bahwa industri gula Indonesia atau ekspor gula Indonesia tidak memiliki

keunggulan komparatif. Kondisi tersebut mendukung dengan hadil penelitian ini , walaupun dengan menggunakan metode yang berbeda, namun hasil penelitiannya sama yaitu nilai daya saing Indonesia rendah. Namun dalam metode indeks spesialisasi perdagangan gula Indonesia yang dilakukan oleh peneliti mendapatkan hasil lebih dalam yaitu dapat diketahuinya apakah Indonesia menjadi Negara pengekspor atau sebagai negara pengimpor untuk komoditas gula.

B.Import Dependency Ratio (IDR)

Import Dependency Ratioatau Rasio Ketergantungan Impor adalah alat yang digunakan untuk melihat sejauh mana ketergantungan impor suatu negara


(57)

adalah gula. Indonesia mengenal adanya 3 jenis gula yang berasal dari tebu, yaitu gula kristal mentah, gulaa kristal putih dan gula kristal rafinasi. Gula kristal mentah adalah gula yang masih setengah jadi sehingga belum dapat dikonsumsi langsung, biasanya gula kristal mentah menjadi bahan baku pembuatan gula kristal rafinasi. Gula kristal rafinasi adalah gula yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan, minuman dan juga farmasi. Pada penelitian ini gula yang diteliti adalah gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. Perkembangan nilai

Import dependency ratiogula Indonesia tahun 2006-2011 tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9. PerkembanganImport dependency ratiogula kristal putih Indonesia tahun 2006-2011

Nomor Tahun Import Depedency Ratio(persen)

1 2006 3,55

2 2007 13,19

3 2008 1,28

4 2009 0,12

5 2010 14,60

6 2011 4,07

Rata-rata 6,13

Berdasarkan nilai Import dependency ratio gula kristal putih yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa Indonesia memiliki ketergantungan impor gula jenis gula kristal putih. Pada tahun 2006 Indonesia mengalami ketergantungan terendah terhadap impor gula kristal putih yaitu sebesar 3,55 persen.

Berdasarkan Tabel 9, ketergantungan Indonesia akan impor gula kristal rafinasi meningkat tajam pada tahun 2007, yaitu sebesar 13,19 persen. Hal tersebut diakibatkan oleh jumlah produksi gula kristal putih yang meningkat tajam, yaitu dari 2.448.143 ton pada tahun 2006 menjadi 2.668.428 ton pada tahun 2007.


(58)

putih nasional, yaitu sebesar 2.481.1335 ton di tahun 2006 menjadi 2.681.833 ton di tahun 2007.

Tingkat ketergantungan impor gula kristal putih Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2010, yang disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah impor gula kristal putih, yaitu sebesar 3.000.100 ton di tahun 2009 menjadi 378.643.824 ton di tahun 2010. Peningkatan jumlah produksi tersebut masih belum memenuhi kebutuhan konsumsi gula putih nasional, sehingga diperlukan impor gula putih. Hal ini mengakibatkan tingkat ketergantunngan impor gula kristal putih juga menjadi meningkat.

Tabel 10. Import dependency ratiogula kristal rafinasi Indonesia tahun 2006-2011

Nomor Tahun Import Depedency Ratio (persen)

1 2006 35,23

2 2007 33,08

3 2008 32,45

4 2009 4,56

5 2010 7,50

6 2011 2,93

Rata-rata 19,29

Dapat dilihat dari Tabel 10 diketahui bahwa nilaiimport dependency ratiodari jenis gula kristal rafinasi juga mengalami kecenderungan impor gula yang menurun. Nilaiimport dependency ratiogula kristal rafinasi tahun 2006 sebesar 35,23 persen, yang berarti bahwa tingkat ketergantungan impor gula kristal rafinasi sebesar 35,23 persen. Tingkat ketergantungan impor gula rafinasi mengalami penurunan menjadi 33,03 persen di tahun 2007. Hal tersebut menandakan bahwa sebesar 33,03 persen gula rafinasi yang beredar di Indonesia berasal dari impor gula rafinasi.


(59)

rafinasi mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah gula rafinasi yang mampu diproses oleh pabrik gula di Indonesia, sehingga impor gula rafinasi dapat dikurangi.

Peningkatan jumlah gula rafinasi yang diproses disebabkan oleh meningkatnya jumlah pabrik gula rafinasi yang dimiliki Indonesia dari enam buah pabrik menjadi delapan buah pabrik gula rafinasi. Pendirian pabrik gula rafinasi memiliki tujuan agar negara Indonesia memperoleh nilai tambah dan mampu menyerap tenaga kerja serta pemerintah tidak perlu mengimpor gula rainasi secara langsung.

C. ModelAutoregressive Integreted Moving Average(ARIMA)

Setelah mengetahui posisi perdagangan gula Indonesia dan Rasio ketergantungan impor gula Indonesia, penelitian ini juga ingin mengetahui prospek impor gula Indonesia di masa yang akan datang. Jumlah impor gula di masa mendatang dapat dilihat dari analisis peramalan (forecasting). Data yang digunakan dalam analisis peramalan ini adalah data volume impor gula Indonesia dari tahun 1972 hingga tahun 2011. Proses peramalan dilakukan dengan menggunakan metode analisistime series lineardengan model ARIMA menggunakan software Minitab 16. Plot data time series volume impor gula Indonesia di pasar internasional dapat dilihat pada Gambar 6.


(60)

C

1

Time Se ries Plot of Impor gula Indones ia 3000

2500

2000

1500

1000

500

0

4 8 12 16 20 24

Index

28 32 36 40

Gambar 6. Plot data volume impor gula kristal putih Indonesia, periode 1972-2011

Pada Gambar 6. terlihat bahwa data volume impor gula Indonesia pada tahun 1972 sebesar 6.123 ton dengan nilai impor US$ 1,238 juta. Kemudian tahun 2009 volume impor gula Indonesia meningkat menjadi 1.373.546 ton dengan nilai impor US$ 587,034 juta. Volume impor gula Indonesia yang tertinggi sebesar

2.972.788 ton, terjadi pada tahun 2007 dengan nilai impor sebesar US$ 1.040,194 juta. Pada Gambar 6. juga terlihat bahwa data belum stasioner, karena masih mengalami perubahan seiiring perubahan waktu. Setelah dilakukan proses

identifikasi data historis volume impor gula dihasilkan output dalam bentuk grafik autokorelasi seperti Gambar 7.


(61)

A u to c o rr e la ti o n

Autocorre lation Function for Impor Gula Indone sia (with 5% significance limits for the autocorrelations)

1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0

1 2 3 4 5 6

Lag

7 8 9 10

Gambar 7. Fungsi autokorelasi data volume impor gula Indonesia periode 1972-2011

Pada Gambar 7 terlihat jelas bahwa bar warna biru yang menurun ke bawah, yang menunjukkan bahwa adanya autokorelasi, sehingga sebelum diproses lebih jauh dengan ARIMA, perlu dilakukan prosesdifferencing. Differencingdilakukan untuk mengubah data historis menjadi stasioner. Demikian pula jika dilihat output dalam bentuk Tabel 10.

Pada Tabel 11. menunjukkan bahwa nilai ACF, khususnya pada lag 1-3 yang mempunyai nilai di atas 0,5. Hal ini mengarahkan adanya autokorelasi pada data volume impor gula Indonesia. Pada prosesdifferencing, angka d (differencing) atau integrasi dimulai dengan angka terkecil yakni satu (1). Hal ini sesuai dengan prinsip parsimoni yang selalu berusaha untuk memilih model yang paling


(1)

10 9

8 7

6 5

4 3

2 1

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

P

a

rt

ia

l

A

u

to

c

o

rr

e

la

ti

o

n

PACF of Residuals for C1

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

10 9

8 7

6 5

4 3

2 1

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

A

u

to

c

o

rr

e

la

ti

o

n

ACF of Residuals for C1


(2)

Lampiran 13. Hasil estimasi dan diagnosis model ARIMA (2,1,0)

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P AR 1 -0.5795 0.1678 -3.45 0.001 AR 2 -0.0955 0.1680 -0.57 0.573 Constant 47.78 70.86 0.67 0.504

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 40, after differencing 39 Residuals: SS = 7045081 (backforecasts excluded)

MS = 195697 DF = 36

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48

Chi-Square 5.6 15.1 19.5 * DF 9 21 33 * P-Value 0.782 0.820 0.970 *

Forecasts from period 40

95% Limits

Period Forecast Lower Upper Actual 41 1219.46 352.23 2086.69

42 1159.84 219.06 2100.62 43 1219.55 117.94 2321.15 44 1238.42 28.53 2448.30 45 1269.56 -48.36 2587.48 46 1297.49 -118.08 2713.05 47 1326.11 -181.24 2833.46 48 1354.64 -239.15 2948.42 49 1383.15 -292.62 3058.92 50 1411.68 -342.26 3165.62

ACF of Residuals for C1


(3)

10 9

8 7

6 5

4 3

2 1

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

P

a

rt

ia

l

A

u

to

c

o

rr

e

la

ti

o

n

PACF of Residuals for C1

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

10 9

8 7

6 5

4 3

2 1

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

A

u

to

c

o

rr

e

la

ti

o

n

ACF of Residuals for C1


(4)

Lampiran 15. Hasil estimasi dan diagnosis model ARIMA (0,1,2)

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P MA 1 0.6542 0.1709 3.83 0.000 MA 2 -0.0061 0.1742 -0.04 0.972 Constant 33.74 25.41 1.33 0.193

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 40, after differencing 39 Residuals: SS = 6955842 (backforecasts excluded)

MS = 193218 DF = 36

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48

Chi-Square 6.4 15.0 20.1 * DF 9 21 33 * P-Value 0.696 0.824 0.962 *

Forecasts from period 40

95% Limits

Period Forecast Lower Upper Actual 41 1381.87 520.14 2243.59

42 1412.17 500.37 2323.96 43 1445.90 484.99 2406.82 44 1479.64 472.01 2487.28 45 1513.38 461.09 2565.67 46 1547.12 452.00 2642.24 47 1580.86 444.52 2717.20 48 1614.60 438.48 2790.71 49 1648.34 433.75 2862.93 50 1682.08 430.19 2933.96

ACF of Residuals for C1


(5)

10 9

8 7

6 5

4 3

2 1

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

P

a

rt

ia

l

A

u

to

c

o

rr

e

la

ti

o

n

PACF of Residuals for C1

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

10 9

8 7

6 5

4 3

2 1

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

A

u

to

c

o

rr

e

la

ti

o

n

ACF of Residuals for C1


(6)

Lampiran 17. Hasil estimasi dan diagnosis model ARIMA (2,1,2)

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P AR 1 0.0113 0.5121 0.02 0.983 AR 2 0.3484 0.2282 1.53 0.136 MA 1 0.7219 0.5711 1.26 0.215 MA 2 0.2420 0.5265 0.46 0.649 Constant 25.464 5.606 4.54 0.000

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 40, after differencing 39 Residuals: SS = 6291713 (backforecasts excluded)

MS = 185050 DF = 34

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48

Chi-Square 4.4 14.0 18.6 * DF 7 19 31 * P-Value 0.729 0.783 0.962 *

Forecasts from period 40

95% Limits

Period Forecast Lower Upper Actual 41 1325.81 482.50 2169.13

42 1369.65 491.75 2247.55 43 1515.25 578.43 2452.06 44 1557.62 613.27 2501.98 45 1634.30 678.77 2589.82 46 1675.39 717.04 2633.74 47 1728.03 766.18 2689.88 48 1768.41 804.88 2731.94 49 1812.67 847.30 2778.04 50 1852.70 885.99 2819.41

ACF of Residuals for C1