Hybrid solar cells of ZnO nanoparticles/chlorophyll was modified metal ions (Zn2+ and Cu2+ )

SEL SURYA HIBRID NANOPARTIKEL ZnO/KLOROFIL
TERMODIFIKASI ION LOGAM (Zn2+ dan Cu2+)

SUGIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sel Surya Hibrid
Nanopartikel ZnO/Klorofil termodifikasi Ion Logam (Zn2+ dan Cu2+) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014
Sugianto
NIM G751110111

RINGKASAN
SUGIANTO. Sel Surya Hibrid Nanopartikel ZnO/Klorofil termodifikasi Ion
Logam (Zn2+ dan Cu2+). Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan
IRMANSYAH.
Zinc Oxide (ZnO) merupakan semikonduktor tipe-n dengan besar lebar pita
energi (Band Gap) adalah 3,37 eV pada suhu ruang dan 3,34 eV pada suhu rendah
dengan besar energi ikat eksitonnya adalah 60 meV. ZnO yang disintesis dengan
menggunakan metode hidrotermal, telah menghasilkan penurunan ukuran partikel
seiring penambahan durasi hidrotermal. Hasil uji sifat kristalografi dengan XRD
telah memperlihatkan bentuk kristal pada semua puncak difraksi ZnO dengan
struktur heksagonal wurtzite, dengan ukuran kristal yang meningkat terhadap
perubahan ukuran partikel. Perubahan ukuran partikel ini telah menyebabkan pula
perubahan pada puncak serapan dari ZnO, sebagaimana yang diperlihatkan
melalui uji sifat optik menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Perubahan serapan
ini juga telah menyebabkan perubahan pada energi band gap, dimana energi band
gap nya meningkat terhadap ukuran partikelnya.

Dalam aplikasi sel surya, klorofil dianggap kurang efektif karena sifat
alamiahnya yang mudah terdegradasi akibat dari beberapa reaksi diantaranya
adalah asam, cahaya dan suhu. Hasil uji stabilitas dengan menggunakan lampu
halogen 34 W/m2 selama 5 jam, bahwa subtitusi klorofil dengan ion logam Zn2+
dan Cu2+ telah memperlihatkan bentuk yang lebih stabil dari klorofil alamiahnya.
Hasil karakterisasi sifat optik memperlihatkan bahwa kombinasi
ZnO/klorofil dalam bentuk film hibrid telah menyebabkan pergeseran daerah
serapan dari ZnO menjadi lebih lebar dari UV ke Visibel. ZnO/klorofil memiliki
rentang serapan 350-515 nm, ZnO/Zn-feofitin 332-401 nm dan 332-632 nm
untuk Cu-feofitin. Hasil kombinasi ZnO/klorofil dan CuSCN dalam sel surya
hibrid, klorofil yang termodifikasi dengan ion logam Zn2+ dan Cu2+,
memperlihatkan bentuk kurva I-V yang lebih stabil. Ini ditandai dengan nilai fill
factor nya yang lebih besar dari klorofil alami. Meskipun demikian, sel surya
dengan klorofil alami mampu menghasilkan nilai efisiensi yang lebih tinggi dari
klorofil yang tersubtitusi. Ini dikarenakan kosentrasi yang menurun diperlihatkan
oleh klorofil yang termodifikasi. Penurunan kosentrasi klorofil setelah subtitusi
ion logam ini, ditandai dengan penurunan nilai absorbansinya.
Kata Kunci: Hidrotermal, ZnO/Klorofil modifikasi, Sel surya hibrid

SUMMARY

SUGIANTO. Hybrid Solar Cells of ZnO Nanoparticles/Chlorophyll was modified
Metal Ions (Zn2+ and Cu2+ ). Supervised by AKHIRUDDIN MADDU and
IRMANSYAH.
Zinc Oxide (ZnO) is a n-type semiconductor with a wide the energy band
(Band Gap) is 3.37 eV at room temperature and 3.34 eV at low temperature with a
large exiton binding energy is 60 meV. ZnO has been synthesized by
hydrothermal method, resulting in a decrease in particle size over the duration of
the hydrothermal changes. Crystallographic structure of ZnO were characterized
using XRD, has shown the characteristic pattern of a hexagonal wurtzite structure,
the crystallite size increases to changes in particle size. Changes in particle size
has also led to a change in the absorption peak of ZnO as has been demonstrated
posted under test using the optical properties of UV-Vis spectrophotometer.
Changes of this uptake has also led to changes in the energy band gap, which
increases its band gap energy of the particle size.
In electronic applications, especially in solar cells. Chlorophyll is
considered less effective, because of their very nature are easily degraded as a
result of several reactions which are acid, lighting and temperature. The results of
the stability test using a halogen lamp 34 W/m2 for 5 hours, that the substitution of
chlorophyll with metal ions Zn2+ and Cu2+ has been shown to form more stable
than natural chlorophyll. The characterization of the optical properties, the

combination of ZnO / chlorophyll in the form of hybrid films has led to a shift in
the absorption region of ZnO becomes more widely from the UV to Visible.
ZnO/chlorophyll has absorption range of 350-515 nm, ZnO / Zn-feofitin 332-401
nm and 332-632 nm for Cu-feofitin. The combination of ZnO/chlorophyll and
CuSCN as a solid electrolite in hybrid solar cell, a modified chlorophyll with
metal ions Zn2+ and Cu2+ has been shown to form a more stable I-V curve. It is
characterized by its fill factor value greater than natural chlorophyll. Nevertheless,
solar cells with natural chlorophyll has been able to produce higher efficiency
values of chlorophyll were substituted.
Keywords: Hydrothermal, ZnO/Chlorophyll modified, Hybrid Solar Cell

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


SEL SURYA HIBRID NANOPARTIKEL ZnO/KLOROFIL
TERMODIFIKASI ION LOGAM (Zn2+ dan Cu2+)

SUGIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tesis:

Dr Agus Kartono, SSi, MSi


Judul Tesis
Nama
NIM

: Sel Surya Hibrid Nanopartikel ZnO/Klorofil Termodifikasi Ion
Logam (Zn2+ Dan Cu2+)
: Sugianto
: G751110111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Akhiruddin Maddu, SSi MSi

Dr Ir Irmansyah, MSi

Ketua

Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biofisika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Agus Kartono, SSi MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

(29 Januari 2014)

PRAKATA
Puji syukuri bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik.

Judul dari penelitian ini adalah Sel Surya Hibrid Nanopartikel ZnO/Klorofil
termodifikasi Ion Logam (Zn2+ dan Cu2+). Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan
Oktober 2012 sampai September 2013 di Laboratorium Biofisika IPB, Bogor.
Teristimewa penulis ungkapkan penghargaan dan ucapan terima kasih
yang kepada ayahanda (ARJO), Ibunda (PONIYEM) yang telah mencurahkan
segalanya atas kasih sayang, serta kakak (Ani Winarsih dan Siti Asiyah) dan
Adikku (Rizky Reza Atfatur) yang telah memberikan semangat, do’a, perhatian
dan pengorbanannya yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan studi. Karya ini pula tak lupa saya persembahkan buat seseorang
yang unik RASDIANA, atas segala supportnya saya ucapkan terima kasih.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa tugas akhir ini dapat dirampungkan
berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, SSi, MSi dan Bapak Dr. Ir. Irmansyah,
MSi sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan
bimbingan, arahan dan kritik yang sangat berharga bagi penulis selama pengerjaan
karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Kartono, MSi yang telah
bersedia sebagai Penguji Luar Komisi dalam ujian sidang tesis penulis. Terima
kasih kepada Irna, Junaidi dan para Dosen dan Staf Fisika lainnya atas
bantuannya selama ini. Tak luput pula ucapan terimakasih saya kepada Bapak

Muhammad Nur Jaya, Ibu Titien Yusnita, Ibu Atira Maddu yang telah
memberikan support baik moril maupun materil selama penulis menempuh studi.
Teristimewa buat rekan-rekan sekalian khususnya angkatan 2011 SPS Biofisika
kepada Endang Rancasa, Masrur, Otto Muzikarno, Farly T, Abd Wahidin, TB,
Idawati, Suryanti, Nur’aisyah salam kompak selalu buat kalian.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan pada semua pihak yang telah
memberikan dorongan, bimbingan dan kemudahan serta bantuan moril dan
materil baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis hingga
penyelesaian tugas akhir ini yang tak tersebutkan.
Dan akhirnya penulis mengucapkan semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat dan inspirasi bagi semua pihak khususnya Bangsa ini.

Bogor, Februari 2014
Sugianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix


DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2

2

2

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO
Pendahuluan
Tujuan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

3
3
3
3
4
11

3

EKSTRAKSI, MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KLOROFIL
Pendahuluan
Tujuan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

11
11
12
12
14
20

4

FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID
ZnO-KLOROFIL
Pendahuluan
Tujuan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

21
21
21
21
22
28

5

PEMBAHASAN UMUM

28

6

SIMPULAN DAN SARAN

30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

42

DAFTAR TABEL
1 Nilai parameter kisi ZnO pada durasi hidrotermal
2 Nilai parameter dalam sel surya
3 Perbandingan peforma sel surya hibrid

4
27
30

DAFTAR GAMBAR
1 Pola difraksi nanopartikel ZnO yang disintesis dengan menggunakan
metode hidrotermal selama durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam
5
2 Foto SEM film permukaan morfologi ZnO a (3 jam), b (6 jam), c (12
jam)
6
3 Pengaruh durasi terhadap ukuran partikel dan kristal pada metode
7
hidrotermal
4 Sifat optik transmitansi dari semikonduktor film ZnO yang diukur dengan
8
spektrometer UV-Vis
5 Kurva hubungan Gärtner's pada transisi langsung dan tak langsung
9
semikonduktor
9
6 Kurva hubungan nilai absorbansi (α) terhadap panjang gelombang (λ)
10
7 Plot (αhv)2 terhadap energi foton absorbansi (hv)
10
8 Perubahan energi gap terhadap ukuran partikel dan ukuran kristal
13
9 Skema pengukuran flouresensi dye klorofil
14
10 Reaksi klorofil terhadap asam
15
11 Kurva hasil subtitusi ion logam Zn2+ dan Cu2+ pada inti klorofil
12 Kurva perbandingan nilai maksimum antara absorbansi dan emisi dari
dye alam dalam etanol 96%. Klorofil (A), Zn-feofitin (B)
17
dan Cu-feofitin(C)
13 Kurva absorbansi degradasi klorofil dan klorofil kompleks terhadap
19
waktu: Klorofil (A), Zn-peofitin (B), Cu-peofitin (C).
14 Perubahan absorbansi maksimum pada daerah Q-band setelah penyinaran
20
selama 5 jam pada klorofil, Zn-feofitin dan Cu-feofitin
22
15 Rangkaian pengukuran karakterisasi arus tegangan sel surya
23
16 Sifat optik film hibrid nanopartikel ZnO/klorofil
17 Karakteristik I-V sel surya hibrid ZnO/Klorofil kompleks (Zn-feofitin,
26
Cu-feofitin) (A) Klorofil (B) Zn-feofitin (C) Cu-feofitin
29
18 Mekanisme transpor elektron pada sel srya hibrid

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Data JCPDS
PerhitunganNilai Parameter Kisi Kristal (a, c)
PerhitunganUkuran Kristal
PerhitungaNilai Celah Pita Energi (band gap)
Perhitungan Nilai Parameter dalam Sel Surya

35
36
38
39
39

1

1 PENDAHULUAN
.
Latar Belakang
Sel surya merupakan pengembangan teknologi yang memanfaatkan cahaya
matahari untuk diubah menjadi energi listrik. Penelitian mengenai sel surya bukan
suatu yang terbarukan, karena penelitian sel surya sendiri sudah sejak lama
dikembangkan. Sel surya yang pertama kali dikembangkan adalah sel surya yang
berbasiskan silikon berupa silikon kristal tunggal dan silikon polikristal yang
efisiensinya mencapai 25±0,5% (Ozgur. 2005). Generasi kedua adalah sel surya
yang berbasis film tipis, dimana sel surya ini dibuat dari semikonduktor seperti
Tembaga Indium Galium diselenida (CIGS) dan kadmium telluride (CdTe)
sebagai bahan penyerapnya. Efisiensi yang dicapai pada generasi ini mencapai
19,9% (CIGS) (Repins et al. 2008). Karena bahannya yang bersifat toksik,
sehingga sel surya bentuk ini dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat
membahayakan bagi peneliti. Generasi yang ketiga merupakan jenis sel surya
berbasis semi konduktor organik seperti PCBM, C60, P3HT dan lain sebagainya.
Sel surya jenis ini dianggap ramah lingkungan dan relatif lebih murah bila
dibandingkan dengan generasi sebelumnya, tetapi efisiennya masih jauh dari
generasi sebelumnya yang hanya mencapai 1,78% (Tong et al. 2012). Di tahun
1991 seorang ilmuan yang bernama Gratzel (Gratzel. 1991) telah
memperkenalkan jenis sel surya baru yang dikenal sebagai dye-sensitised solar
cell (DSSC), yang mana sel surya bentuk ini didasarkan pada kaidah proses
fotosintesis yang terjadi di alam bebas yang dilakukan oleh semua jenis tanaman.
Selain sel surya organik dan anorganik ada pula jenis sel hibrid yaitu jenis
sel surya yang merupakan perpaduan antara semikonduktor anorganik dan organik.
Material organik dalam sel surya jenis ini berfungsi sebagai penyerap cahaya dan
bagian anorganiknya adalah nanokristal semikonduktor biasanya material
golongan II-IV. Secara umum lapisan foto aktif memiliki bentuk struktur bilayer
dan struktur bulk heterojuction dengan memadukan bahan yang bersifat donor dan
akseptor yang didepositkan pada subtrat. Berbeda dengan bulk semikonduktor
anorganik, penyerapan foton oleh semikonduktor organik tidak menghasilkan
pembawa muatan bebas tetapi terikat oleh pasangan elektron-hole yang
selanjutnya disebut sebagai eksiton (Gledhil. 2005). Secara khusus prinsip kerja
sel surya hibrid yaitu diawali dengan penyerapan foton oleh bahan absorban dari
pita valensi (VB) ke pita konduksi (CB) dalam bentuk eksiton. Eksiton berdifusi
ke interface donor/akseptor, dimana muatan yang ditransferkan mengarah pada
pemisahan eksiton mejadi elektron bebas dan hole dibawah pengaruh medan
listrik internal yang ditransferkan oleh material donor atau akseptor yang dominan
dan akhirnya dikumpulkan pada masing-masing elektroda. Singkatnya ada empat
tahapan dalam sel surya hibrid yaitu penyerapan foton, difusi eksiton, pemisahan
muatan serta transportasi pembawa muatan dan pengumpulan (Greenham. 2008).
Pada umumnya bahan semikonduktor yang biasa digunakan dalam sel surya
hibrid dan DSSC adalah TiO2 dan ZnO dengan masing-masing energi pita celah
nya adalah 3,2 eV ( Reddy et al. 2002, 3,2–3,4 eV (Song et al. 2002).

2
Pada tanaman, semua pigmen memiliki karakteristik tersendiri dalam
merespon cahaya. Klorofil merupakan bagian dari tanaman yang memiliki peran
aktif dalam proses fotosintesis. Klorofil menyerap cahaya berupa gelombang
elektromagnetik pada spektrum kasat mata (visible) dengan panjang gelombang
antara 400 sampai 700 nm.
Dalam beberapa dekade terakhir, klorofil dan turunannya telah
dikembangkan untuk berbagai aplikasi elektronik, diantaranya adalah sebagai
optoelektronik (Ohtani et al. 2011), fotosensitiser (Chand et al. 2012),
fototransistor (Chen et al. 2013) dan terapi fotodinamik untuk kanker (Park et al.
1989).
Secara umum klorofil merupakan pigmen yang mudah terdegradasi akibat
berkurangnya atau menurunnya logam Mg di dalam inti cincin porfirin, Ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu panas (Erge et al. 2008) dan kosentrasi
asam (Koca et al.2003), sehingga beberapa penelitian telah melakukan modifikasi
terhadap logam inti pada klorofil (Mg) dengan unsur logam lainnya yaitu seng
(Zn2+) dan tembaga (Cu2+).(Kupper et al. 1996), agar pigmen klorofil lebih stabil.
Pengembangan lebih lanjut dalam penelitian ini, akan memanfaatkan
klorofil yang termodifikasi ion logam Zn2+ dan Cu2+ sebagai fotosensitiser sel
surya hibrid nanopartikel ZnO.

Perumusan Masalah
Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mengoptimalkan
pembentukan nanopartikel ZnO dan klorofil kompleks (Zn2+ dan Cu2+) yang
diambil dari tanaman tingkat tinggi serta menentukan bagaimana bentuk struktur
divais yang baik untuk meningkatkan peforma sel surya hibrid.

Tujuan Penelitian
Memanfaatkan klorofil termodifikasi ion logam Zn2+ dan Cu2+ sebagai
fotosensitiser pada sel surya hibrid nanopartikel ZnO

Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.

Ruang lingkup penelitian dalam penelitian ini meliputi:
Membuat dan mengkarakterisasi material semikonduktor nanopartikel ZnO
yang diperoleh dengan metode hidrotermal
Mensintesis dan mengkarakterisasi klorofil kompleks (Zn-feofitin dan Cufeofitin).
Membentuk dan mengkarakterisasi divais sel surya hibrid nanopartikel
ZnO/klorofil kompleks (Zn-feofitin dan Cu-feofitin)

3

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

Pendahuluan
ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita
energi 3,37 eV pada suhu ruang dan 3,34 eV pada temperatur rendah dengan nilai
energi ikat eksitonnya sebesar 60 meV (Takena et al. 2012). ZnO memiliki
struktur kristal wurtzite heksagonal, dengan nilai parameter kisinya a = 3249 Å
dan c = 5,206 Å (Wu et al.2007).
Beberapa aplikasi yang telah dikembangkan dari semikonduktor ZnO
adalah sel surya (Xiaohui et al. 2008; Beek et al. 2005), sensor (Parviz et al. 2011,
Gupta et al. 2010, Chueh-Yang et al. 2009), optoelektronik, ZnO thin film
transistor (ZnO-TFTs) dibuat dalam bentuk transparan dan fleksibel sebagai
lapisan selektif elektron pada sel surya organik yang fleksibel (Lee et al. 2010).
Beberapa metode yang telah dilakukan untuk membentuk struktur kristal
ZnO diantaranya adalah metode sol gel (Hassan et al. 2011), hidrotermal (Yonghong et al, 2005; Sarika et al. 2012), chemical bath depotitions (CBD), (Ali et al.
2011; Wen-Yao et al. 2012). Dari metode yang telah disebutkan tersebut,
hidrotermal merupakan salah satu metode yang efektif dan efisien, karena dalam
proses hidrotermal dapat dikontrol suhu dan tekanan yang sangat berpengaruh
pada hasil yang diperoleh. Untuk metode hidrotermal yang telah dilakukan dalam
mensintesis nanopartikel ZnO, dikaji berdasarkan pada variasi suhu (Aneesh et al.
2007; Meen et al. 2007). Dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh durasi
hidrotermal terhadap struktur morfologi, ukuran partikel dan sifat optik dari
nanopartikel ZnO.

Tujuan
Mensintesis dan mengkarakterisasi nanostruktur ZnO dengan menggunakan
metode hidrotermal dengan durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam.

Metode
Sintesis nanopartikel ZnO
Penumbuhan nanopartikel ZnO dilakukan dengan cara melarutkan 8,75
gram CH3COO)2Zn.2H2O ke dalam 28 ml etanol (C2H5OH) dan 12 ml ethylen
glycol (HOCH2CH2OH) dan diaduk selama 10 menit sampai terlarut sempurna.
Kemudian larutan yang terbentuk dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal
dengan durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam. Endapan yang diperoleh dari proses
hidrotermal dicuci dengan akuades dan etanol secara bergantian sebanyak tiga kali
lalu dikeringkan diatas hotplate pada suhu 100oC sampai mengering, kemudian
dikalsinasi selama dua jam pada suhu 300oC. Selanjutnya dilakukan uji
karakterisasi X-ray diffraction (XRD) (GBC Emma) untuk menentukan struktur
kristal dan scannning electron microscope (SEM) untuk mengamati morfologinya.

4
Untuk pengukuran sifat optik dari film ZnO, dilakukan dengan menggunakan
spektrometer Uv-Vis (Ocean Optics).
Fabrikasi dan karakterisasi film ZnO
Pertama, bubuk ZnO dibuat suspensi koloid yang di dispersikan dengan
ethylen glycol 5 wt% dan etanol (Ibrahem et al. 2013) kemudian diaduk dengan
magnetik stirrer selama 30 menit. Setelah itu dilapiskan pada kaca preparat
dengan menggunakan metode casting. Sampel yang telah dilapiskan pada preparat
kemudian dipanaskan di atas hot plate selama 1 jam pada suhu 100oC, setelah itu
dilakukan uji karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
(Ocean Optics). Karakteristik film ZnO dipelajari berdasarkan spektrum
transmitansi, diantaranya untuk menentukan lebar celah energi (band gap).

Hasil dan Pembahasan
Struktur kristal Nanopartikel ZnO
Hasil sintesis nanopartikel ZnO dengan metode hidrotermal kemudian
dilakukan beberapa uji karakterisasi yaitu XRD, SEM dan spektrofotometer UVVis. Dari hasil XRD memperlihatkan pola-pola difraksi menunjukkan
karakteristik dari ZnO yang sesuai dengan data JCPDS no. 1314-13-2. Dari polapola tersebut memperlihatkan bentuk pola dari polikristalin ZnO yang merupakan
bentuk struktur wurtzite heksagonal (Wu et al. 2007, Maddu et al. 2006) dengan
nilai parameter kisi a dan c yang telah disesuaikan dengan data JCPDS No.131413-2 sebagaimana yang tercantum dalam lampiran 1. Hasil perhitungan ini juga
tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dari beberapa peneliti sebelumnya
yaitu a= 3,620Å, c= 5,214Å (Khan et al. 2011), a= 3,248Å, c= 5,2Å (Hamedani
dan Farzaneh. 2006). Parameter kisi dihitung dengan menerapkan metode Cohen
untuk kristal ZnO heksagonal dengan persamaan (1). Hasil perhitungan ini dapat
dilihat pada Tabel 1.

dimana d adalah jarak antar kisi kristal, a dan c adalah parameter kisi kristal.
Tabel 1. Nilai parameter kisi ZnO pada durasi hidrotermal
Sampel
3 jam
6 jam
12 jam

a (Å)
3,256
3,256
3,264

JCPDS (Å)
3,249

c (Å)
5,212
5,215
5,228

JCPDS (Å)
5,209

Nilai parameter kisi ZnO sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1,
menunjukkan adanya peningkatan nilai parameter kisi meskipun tidak begitu
signifikan. Menurut Samuel et al. (2009), meningkatnya nilai parameter kisi ini
dipengaruhi oleh ukuran partikel yang semakin kecil. Pola-pola difraksi yang
dihasilkan, pada masing-masing sampel dengan durasi hidrotermal 3 jam, 6 jam

5
dan 12 jam diperlihatkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa
bidang 101 memiliki nilai intensitas lebih tinggi dari lainnya. Ini menggambarkan
bahwa bidang 101 lebih dominan pada struktur ZnO yang dihasilkan.
Ukuran kristal dari pola difraksi Gambar 1, didapatkan dengan menerapkan
persamaan (2).

100

101

σ adalah ukuran kristal rata-rata, k adalah konstanta (0,9), λ adalah panjang
gelombang sumber sinar-X yaitu 1,54059 Å, adalah lebar puncak setengah
maksimum (FWHM) masing-masing puncak, dan adalah sudut difraksi.
Ukuran kristal rata-rata yang didapatkna dari perhitungan berdasarkan
durasi hidrotermal adalah 44,32 nm untuk durasi 3 jam, 50,56 nm untuk durasi
6 jam dan 54,37 nm untuk durasi 12 jam memperlihatkan ukuran dari nanokristal.
Hasil ini mirip dengan metode hidrotermal lainnya yang meninjau ukuran partikel
berdasarkan pada perubahan suhu dan kosentrasi (Aneesh at al.2007).

201

112
200

103

Intensitas (a.u)

102

110

002

12 Jam

6 Jam

3 Jam

30

40

50

60

70

2 Tetha (derajat)

Gambar 1. Pola difraksi nanopartikel ZnO yang disintesis dengan menggunakan
metode hidrotermal selama durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam

6
Morfologi
Hasil karakterisasi SEM memperlihatkan bentuk morfologi ZnO tampak
lebih homogen dengan ukuran partikelnya menurun bersamaan dengan
pertambahan durasi hidrotermal. Dari analisis Gambar 2 (a, b dan c) dengan
menggunakan CorelDraw, didapatkan ukuran partikel rata-rata untuk setiap durasi
3 jam yaitu 249 nm, 147 nm untuk durasi 6 jam dan 107 nm untuk durasi 12 jam.
Menurunnya ukuran partikel ini ternyata menyebabkan meningkatnya ukuran
kristal dengan nilai parameter kisinya juga meningkat (Samuel et al. 2009). Ini
kemungkinan disebabkan oleh menurunnya ukuran partikel, sehingga dalam
pembentukan kristal akan lebih mudah dibandingkan dengan partikel yang lebih
besar. Pada Gambar 2, juga memperlihatkan adanya pengaruh ukuran partikel
terhadap suhu saat dilakukan kalsinasi. Dimana pada Gambar 2(c)
memperlihatkan adanya proses algomerasi (penggumpalan) yang diakibatkan
ukuran partikel lebih kecil yang lebih rentan terhadap suhu kalsinasi.

(a)

(b)

(c)
Gambar 2. Foto SEM film permukaan morfologi ZnO a (3 jam), b (6 jam), c (12
jam).

7
Hubungan antara ukuran partikel dengan ukuran kristal terhadap perubahan
waktu lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan
bahwa lama waktu hidrotermal yang digunakan menyebabkan ukuran partikel
semakin menurun dan menghasilkan ukuran kristal yang meningkat.
Meningkatnya ukuran kristal ini, dihasilkan dari ukuran partikel yang lebih kecil.
Karena sifat dari suatu partikel, semakin kecil akan memiliki tingkat keteraturan
struktur molekul yang baik.

54

Ukuran kristal (nm)

260

Ukuran kristal
Ukuran partikel

240
220

52

200

50

180

48

160
140

46

120

44

Ukuran partikel (nm)

56

100

42

80
2

4

6

8

10

12

Waktu (jam)
Gambar 4. Pengaruh durasi terhadap ukuran partikel dan kristal pada metode
hidrotermal

Sifat optik dan lebar pita energi
Sifat optik ZnO nanopartikel ditentukan berdasarkan pengamatan spektrum
transmitansi yang diperoleh dengan memakai alat spektrofotometer UV-Vis. Dari
hasil pengukuran ini didapatkan film ZnO menyerap spektrum UV pada panjang
gelombang maksimum 361 nm untuk sampel 3 jam, 364 nm untuk sampel 6 jam
dan 367 nm untuk sampel 12 jam.
Seperti yang telah diketahui, faktor durasi hidrotermal menyebabkan
perbedaan ukuran partikel untuk setiap waktunya, sehingga ukuran partikel ini
kemungkinan mempengaruhi terjadinya pergeseran pada daerah serapan meskipun
tidak begitu signifikan. Bila merujuk pada hasil penelitian sebelumnya,
dinyatakan bahwa pergeseran puncak serapan dari panjang gelombang yang
rendah ke yang lebih tinggi disebabkan oleh ukuran partikel yang berbeda,
sehingga Ini akan berpengaruh pada energi celah pita yang dihasilkan. Karena
energi celah pita itu sendiri akan meningkat seiring dengan menurunnya ukuran
partikel disebabkan oleh ukuran kuantum (Samuel et al. 2009).
Pola spektrum transmitansi film ZnO pada Gambar 4, memperlihatkan
bahwa film ZnO sampel 3 jam meneruskan cahaya ±41-58%, sampel 6 jam
meneruskan ± 25-52% dan sampel 12 jam meneruskan cahaya ±21-51 %.
Perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan pada ketebalan film
karena proses pelapisan film yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut.

8

Transmitansi (%)

100
80
60
40

3 jam
6 jam
12 jam

20
400

500

600

700

800

900

 (nm)

Gambar 4. Sifat optik transmitansi dari semikonduktor film ZnO yang diukur
dengan spektrometer UV-Vis
Untuk menentukan besarnya energi celah (Eg) dari film ZnO, dapat
diestimasikan secara fundamental yang merupakan transisi dari absorbansi atau
transmitansi. Untuk transisi secara langsung dan tak langsung dapat digunakan
hubungan sebagai mana dalam persamaan (3) ( Altaf et al. 2003, Maddu et al.
2006).


(

)

dimana hv adalah energi foton, A adalah sebuah konstanta yang nilainya antara
107 sampai 108 m-1 (Samuel et al. 2009), sedangkan eksponen n bergantung pada
jenis transisi di dalam bahan. Untuk transisi langsung n = ½, untuk transisi tak
langsung n = 2, Eg adalah lebar celah pita optik bahan semikonduktor, α adalah
koefesien absorbansi yang dapat ditentukan dari kurva transmitansi atau
absorbansi pada setiap panjang gelombang melalui hubungan Beer-Lambert, yang
ditunjukkan pada persamaan (4)

sedangkan untuk nilai α dapat ditentukan dengan :
( )

dengan I adalah intensitas cahaya yang ditransmisikan melalui sampel film, I0
adalah intensitas cahaya datang dan t adalah ketebalan film.
Berdasarkan hubungan Gärtner's pada teori semikonduktor, bahwa
terjadinya transisi langsung dan tak langsung dapat dilihat pada hubungan antara

9
nilai koefesien absorbansi (α) terhadap nilai panjang gelombang (λ). Adapun
kurva hubungan Gärtner's tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
.

Gambar 5 Kurva hubungan Gärtner's pada transisi langsung dan tak
langsung semikonduktor
Plot nilai koefisien absorbansi (α) terhadap pajang gelombang (λ) untuk
semua sampel ZnO ditunjukkan pada Gambar 6. Hasil plot ini memperlihatkan
bentuk transisi langsung, sebagaimana mengacu pada kurva hubungan Gärtner's
pada Gambar 5, sehingga nilai n yang digunakan adalah ½. Hasil plot ini dapat
dilihat pada Gambar 6.

Koefesien absorbansi ( )
x 106

6
5
4
3
3 Jam
6 Jam
12 Jam

2
1
0
400

500

600

700

Panjang gelombang(

800

900

(nm)

Gambar 6 Kurva hubungan nilai absorbansi (α) terhadap panjang
gelombang (λ)
terhadap
dari tiga film ZnO sebagaimana
Hasil Tonc plot antara
pada pada Gambar 7, masing-masing dari durasi hidrotermal 3 jam, 6 jam dan 12
jam. Nilai energi pita (Eg) ditentukan dari perpotongan bagian linier kurva dengan
sumbu energi. Nilai Eg masing-masing sampel berturut-turut adalah 3,18 eV, 3,21

10
eV dan 3,24 eV. Nilai energi pita ini tidak jauh berbeda dengan hasil peneliti
sebelumnya dengan menggunakan metode sol gel yaitu 3,24 eV (Khan. 2011),
3,280 eV, 3,287 eV, dan 3,290 eV (Ilican et al. 2008), dan 3,20 eV, 3,19 eV dan
3,16 eV (Gupta et al. 2009).

3 jam
6 jam
12 jam

20

hv

eV)

30

10

0
2,0

2,2

2,4

2,6

2,8

3,0

3,2

3,4

hv (eV)

Gambar 7 Plot (αhv)2 terhadap energi foton absorbansi (hv)
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perubahan energi gap ini
disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran dari ukuran partikel, dan dari hasil
penelitian telah di dapatkan bahwa faktor lamanya durasi menyebabkan ukuran
partikel yang menurun dengan ukuran kristalnya meningkat, sehingga dapat
dibuat suatu hubungan yaitu perubahan energi pita terhadap ukuran partikel dan
ukuran kristal yang dapat dilihat pada Gambar 8.

Ukuran partikel (nm)

240
220

Ukuran partikel
Ukuran kristal

56
54
52

200
180

50

160

48

140

46

120

Ukuran kristal (nm)

260

44

100

80
42
3,17 3,18 3,19 3,20 3,21 3,22 3,23 3,24 3,25
Eg (eV)

Gambar 8. Perubahan energi gap terhadap ukuran partikel dan ukuran
Kristal

11
Gambar 8 memperlihatkan bahwa perubahan energi pita meningkat seiring
dengan meningkatnya ukuran kristal dan menurun seiring dengan meningkatnya
ukuran partikel. Artinya ukuran kristal yang besar memiliki energi pita yang besar
dengan ukuran partikelnya lebih kecil dan sebaliknya.

Simpulan
Hasil sintesis nonostruktur ZnO dengan metode hidrotermal terhadap waktu
3 jam, 6 jam dan 12 jam telah didapatkan ukuran-ukuran partikel cenderung
menurun yaitu 249 nm, 147 nm dan 107 nm dengan ukuran kristalnya juga
meningkat seiring dengan perubahan ukuran partikel yaitu 44,32 nm, 50,65 nm,
dan 54,37 nm dengan sebaran butiran partikelnya cenderung merata dan
homogeny dengan masing-masing besarnya nilai energi pita adalah 3,18 eV, 3,21
eV dan 3,24 eV.

3 EKSTRAKSI, MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI
KLOROFIL

Pendahuluan
Klorofil merupakan pigmen alam yang umumnya terdapat pada kelompok
tumbuhan hijau yang terletak pada daun. Klorofil memiliki peranan sangat penting
dalam proses fotosintesis. Cahaya matahari yang mengenai daun akan di serap
oleh pigmen ini untuk mengubah gas karbon dioksida dan air menjadi glukosa dan
oksigen. Secara khusus proses fotosintesis ini dapat digambarkan dengan reaksi
sebagai berikut:
6 CO2 + H2O

C6H12O6 + 6 O2

Penyerapan cahaya oleh klorofil ini disebabkan adanya peranan utama dari
struktur porfirin yang mengikat ion magnesium (Mg2+), yang merupakan struktur
utama klorofil. Saat menyerap cahaya, klorofil akan mentransferkan energinya
untuk mengeksitasi elektron menuju ke pusat reaksi. Semakin lama tahapan
eksitasi singlet klorofil, semakin besar konversi energi elektronik dari tingkat
dasar ke tingkatan tereksitasi triplet dapat terjadi (Schaber et al. 1984).
Begitu kompleksnya reaksi fisika dan kimia dalam proses fotosintesis ini,
telah menginspirasi manusia untuk membuat fotosintesis buatan yang dikenal
sebagai artifisial fotosintesis. Dalam proses fotosintesis alami, elektron akan
diubah menjadi energi kimia sebagai sumber makanan. Sedangkan dalam
artifisialnya, elektron akan diubah menjadi energi listrik untuk menjadi arus listrik.

12
Untuk berbagai aplikasi, klorofil dianggap kurang efektif karena
keberadaanya yang mudah terdegradasi. Menurunnya unsur Mg saat terdegradasi
ini dapat disebabkan oleh reaksi langsung terhadap sifat asam (Budiyanto et al.
2008) dan panas (Erge et al. 2008).
Daun Katuk yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman
obat, akan dikembangkan lebih lanjaut dengan memanfaatkan kandungan
klorofilnya untuk aplikasi lain. Dalam bagian penelitian ini akan dikaji tingkat
stabilitas klorofil dari daun Katuk dengan mengganti unsur Mg nya dengan Zn2+
dan Cu2+, sebagaimana telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya ( Kupper et al.
1996; Nurdin (2009); Nurhayati and Suendo. 2011; Zvezdanovic et al. 2012).
Hasil subtitusi selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai fotosensitiser atau fotoaktif
yang berfungsi sebagai pemanen cahaya dalam sel surya hibrid nanopartikel ZnO
bulk heterojunktion.

Tujuan
Melakukan ekstraksi dan modifikasi klorofil dengan ion Zn dan Cu serta
menguji foto stabilitasnya.

Metode
Isolasi dan Modifikasi Klorofil
Ekstraksi
Klorofil diperoleh dari daun Katuk
yang telah diekstraksi dengan
menggunakan pelarut organik etanol 96%. Pertama-tama daun Katuk dibilas
terlebih dahulu dengan menggunakan akuades sampai bersih, kemudian ditiriskan
sampai airnya benar-benar mengering. Selanjutnya menimbang daun Katuk
sebanyak 100 gram dan dihancurkan dengan menggunakan mortar hingga
permukaan daun Katuk benar-benar memar seluruhnya. Hasil tumbukan daun
Katuk dimasukkan ke dalam 500 ml etanol 96% dan didiamkan selama 24 jam,
setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan corong Bruncher.
Penyaringan pertama dengan menggunakan kertas saring biasa. Residu dicuci
dengan 500 ml atanol 96% dan disaring menggunakan kertas saring Whatman
ukuran 40 mess. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan pompa vakum.
Filtrat diambil sebagai ekstrak kasar klorofil (Nurdin, 2009). Hasil penyaringan
kemudian ditambahkan dengan MgCO3 sebanyak 1 ml. Kemudian disimpan
semalam ke dalam freezer (-20oC), setelah itu dilakukan uji spektroskopi
abasorbansi dan flouresensi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan
spektroflouresens (Ocean optics, Departemen Fisika, IPB). Semua proses
dilakukan dalam ruang gelap. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan sumber
lampu Halogen.
Pengukuran flouresensi atau emisi dilakukan dengan menembakkan sinar
laser (405 ±10 nm) ke sampel dengan posisi tegak lurus (90o), selanjutnya sinar
tersebut akan diteruskan oleh fiber optik dan diterima oleh spektroflourometer dan
diteruskan oleh konektor menuju PC. Di dalam PC, spektrum diolah ke dalam

13
bentuk gambar dan data yang ditampilkan oleh monitor. Lebih jelasnya proses
pengukuran flouresensi ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Monitor

Sampel

Konektor

PC

Fiber optik
Spektroflourometer (Fl)
(Ocen Optics)

Laser

Gambar 9. Skema pengukuran flouresensi dye klorofil

Subtitusi logam inti klorofil
Penggantian logam inti pada klorofil (Mg) dengan unsur Zn dan Cu,
pertama-tama dilakukan pendegradasian terlebih dahulu yaitu dengan
menambahkan larutan klorofil dengan HCl 1M tetes demi tetes hingga pH 4
sambil diaduk menggunakan pengadu dengan kecepatan putaran 400 rpm (Nurdin.
2009). Hasil pendegradasian ini disebut feofitin. Feofitin ini kemudian disimpan
dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 40oC (Zvezdanovic et al. 2012).
Setelah itu dilakukan penambahan ion Zn2+ atau Cu2+ dengan melarutkan 0,1 g/ml
Zinc Acetat dihidrat ke dalam etanol atau 0,1 g/ml Cuprum chloride (Kupper et
al. 1996) dan diaduk selama 30 menit sampai terjadi perubahan warna. Semua
proses dilakukan dalam ruang gelap. Setelah reaksi dilakukan, campuran
dimasukkan ke dalam freezer (-20oC) dan didiamkan selama semalam setelah itu
dilakukan uji spektroskopi absorbansi, kemudian semua larutan (klorofil, Znfeofitin dan Cu-feofitin) dikeringkan dengan menggunakan pengering (freezdryer,
PAU laboratorium mikrobiologi IPB).
Fotostabilitas
Uji stabilitas ini dilakukan melalui pengukuran spektroskopi absorbansi,
dimana larutan klorofil dan klorofil kompleks didegradasi menggunakan lampu
halogen yang berintensitas 34 W/m2. Penyinaran dilakukan selama 5 jam dan
pengambilan data absorbansi dilakukan setiap 30 menit.

14
Hasil dan Pembahasan
Sifat optik klorofil ekstrak daun Katuk menggunakan etanol 96%
menghasilkan dua daerah serapan utama yaitu 436,53 nm (soret band) dan 664,00
nm (Q-band). Serapan pada daerah soret band lebih tinggi dari pada daerah
Q-band. Ini menunjukkan bahwa pada klorofil tahapan eksitasi elektronnya ada
dua dari keadaan ground state (So), yaitu singlet pertama (S1) yang terjadi pada
daerah merah dan singlet kedua (S2) yang terjadi pada daerah biru.
Hasil degradasi klorofil menggunakan HCl 1M memberikan perubahan
warna terhadap klorofil alami menjadi warna kecokelatan yang disebut sebagai
feofitin. Feofitin terbentuk dikarenakan hilangnya logam inti korofil pada cincin
aromatik porfirin. Ikatan pada porfirin ini akan mengalami deformasi bila terjadi
proses metalisasi, yaitu masuknya ion logam menggantikan atom hidrogen.
Penambahan HCl menyebabkan cincin porfirin menerima atom H yang berikatan
dengan N yang disebut sebagai ikatan imida pyrolle (=NH-) yang bersifat sangat
kuat. Proses terbentuknya feofitin ini dikenal sebagai proses katabolisme. Proses
ini diawali dengan pembelahan cincin oxygenolytic dari pheophorbida yang
merupakan intermediet nyata pada magnesium dari inti cincin klorofil. Pada
langkah selanjutnya dari katabolisme klorofil, klorofil katabolis fluoresens primer
(pFCCs) terbentuk setelah terjadinya setengah penurunan. Setelah itu terjadi
proses tautomerisasi dari pFCCs ke dalam bentuk non-katabolites klorofil
fluoresens (NCC) (Kraeutler, 2003). Proses terbentuknya feofitin ini dapat dilihat
pada Gambar 10 ( Dapic. 2012, Inanc. 2011)

Gambar 10. Reaksi klorofil terhadap asam (Dapic. 2012, İnanç. 2011)

15
Hasil karakterisasi optik feofitin menunjukkan daerah serapan utama untuk
soret band adalah 421,50 nm dan 657,28 nm untuk Q-band. Feofitin kemudian
dimetalisasi dengan ion logam Zn2+ dan Cu2+, dan menunjukkan adanya
perubahan warna dan daerah serapan. Feofitin yang tersubtitusi dengan ion Zn2+
mengalami perubahan warna menjadi hijau muda dengan daerah puncak
serapannya 428,82 nm untuk daerah soret band dan 658,41 nm untuk daerah Qband. Sedangkan untuk yang termodifikasi ion Cu2+, memberikan perubahan
warna pada feofitin menjadi hijau tua dengan daerah puncak serapan 408,44 nm
untuk daerah soret band dan 646,00 nm untuk daerah Q-band. Hasil karakterisasi
optik ini dapat dilihat pada Gambar 11.

1,8
1,6
Soret
soretband
band

Absorbansi (a.u)

1,4
1,2

Q-band
Q-band

1,0
0,8
0,6

Klorofil
Feofitin
Zn-Feofitin
Cu-Feofitin

0,4
0,2
0,0
400

500

600

700

800

Panjang gelombang (nm)

Gambar 11. Hasil subtitusi ion logam Zn2+ dan Cu2+ pada inti klorofil
Berdasarkan pengamatan pola spektrum pada Gambar 11 tampak bahwa
penggantian unsur logam pada inti klorofil, menyebabkan terjadinya pergeseran
baik daerah Soret band maupun Q-band yang bergeser ke daerah biru. Hasil ini
berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Nurhayati et al (2009), dimana
daerah soret band bergeser ke arah merah dengan pelarut metanol. Namun, dari
hasil penelitian yang dilakukan Zvedanovic et al (2012), juga melakukan subtitusi
pada klorofil dengan unsur Zn2+ dan Cu2+ menggunakan pelarut etanol 96% dan
didapatkan pergeseran ke daerah biru, baik daerah soret band maupun Q-band.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pelarut yang digunakan juga berpengaruh
pada daerah serapan.
Pergeseran pada daerah Soret band dan Q-band maksimum ke panjang
gelombang yang lebih rendah atau energi yang lebih besar dari klorofil. Ini

16
mengindikasikan bahwa energi gap antara HOMO (Highest Occupied Molecular
Orbital) dan LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) pada Zn-feofitin
dan Cu-feofitin lebih besar dari klorofil. Perbedaan besarnya nilai energi ini, tentu
saja akan berpengaruh pada tahapan tingkat eksitasi elektroniknya. Energi yang
besar akan memberikan tahapan eksitasi yang lebih lama pada daerah singlet dan
memberikan peluang untuk tereksitasi pada daerah triplet. Kelebihan energi pada
daerah triplet, akan menyebabkan peluang terjadinya transfer energi ke molekul
oksigen yang bersifat merusak (Fiedor et al. 2002; Agostiano et al. 2003).
Pada Gambar 11 pula, dapat dilihat khususnya daerah Q-band, telah terjadi
penurunan tingkat absorbansi. Penurunan nilai absorbansi ini mengindikasikan
besarnya kosentrasi pada masing-masing dye, sehingga pada Gambar 11 dapat
dilihat bahwa hasil subtitusi logam Zn dan Cu lebih rendah dari klorofil. Untuk
klorofil yang tersubtitusi Cu memiliki daerah serapan yang lebih luas dari pada
yang tersubtitusi Zn. Akan tetapi secara keseluruhan, klorofil yang tersubtitusi
dengan ion logam, menyebabkan pelebaran pada daerah serapan klorofil.
Pelebaran daerah serapan ini kemungkinan disebabkan oleh struktur baru yang
terbentuk akibat proses metalisasi sehingga mengakibatkan perubahan energi pada
level HOMO dan LUMO.
Pada daerah Q- band yang menyatakan absorbansi maksimum dari dye, dan
daerah flouresensi yang menyatakan tempat terjadinya emisi. Hubungan antara
spektrum absorbansi dan emisi terhadap panjang gelombang yang dikonversi ke
dalam bentuk
energi (eV) memberikan gambaran yang dikenal sebagai
pergeseran Stokes. Pergeseran ini disebabkan oleh perbedaan antara struktur
relaksasi pada keadaan ground dan keadaan eksitasi, sebagaimana pada
Gambar 12.
Pada Gambar 12 tampak bahwa pergeseran Stokes antara absorbansi
maksimum dan emisi maksimum yaitu 0,032 eV untuk korofil, 0,028 eV untuk
Zn-feofitin dan 0,053 eV untuk Cu-feofitin. Hasil ini memperlihatkan bahwa
pergeseran Stokes dari Cu-feofitin lebih besar dari pada klorofil dan Zn-feofitin.
Ini menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan Cu-feofitin dalam relaksasi lebih
lama, sedangkan untuk Zn-feofitin lebih singkat dari klorofil. Hasil ini berbeda
dengan eksperimen sebelumnya yang dilakukan oleh Nurhayati et all (2011), yang
lebih mengkhususkan pada klorofil a, dimana Zn-feofitin membutuhkan waktu
yang lebih lama dalam relaksasi yaitu dua kali dari klorofil a. Dalam kajian yang
lain, telah dijelaskan bahwa pergeseran Stokes juga dipengaruhi oleh pelarut yang
digunakan (Agmon. 1990).

17
0,7

A

1,8341
1,8663

0,6

0,6
0,5

Absorbansi
Emisi

0,4

0,4
0,3

Emisi (a.u)

Absorbansi (a.u)

0,8

0,2
0,2
0,0

0,1
1,6

1,7

1,8

1,9

2,0

2,1

2,2

Energi (eV)

1,85855

0,25

B

0,6

1,8860

Absorbansi (a.u)

0,4

0,15

Absorbansi
Emisi

0,10

0,3
0,2

0,05

Emisi (a.u)

0,5

0,20

0,1

0,00

0,0
1,6

1,7

1,8

1,9

2,0

2,1

2,2

Energi (eV)
0,25
1,8528
1,9045

Absorbansi (a.u)

0,20

0,3
Absorbansi
Emisi

0,15

0,2

0,10

Emisi (a.u)

C

0,1
0,05
0,00

0,0
1,6

1,7

1,8

1,9

2,0

2,1

2,2

Energi (eV)

Gambar 12 Kurva perbandingan nilai maksimum antara absorbansi dan emisi
dari dye alam dalam etanol 96%. Klorofil (A), Zn-feofitin (B) dan Cufeofitin (C)

18
Analisis fotostabilitas klorofil
Pengujian klorofil hasil ekstrak dan yang telah disubtitusi dengan ion logam
Zn2+ dan Cu2+ dengan penyinaran lampu halogen dengan intensitas 34 W/m2. Dari
hasil pengamatan yang diperoleh, klorofil yang terdegradasi mengalami
pemudaran warna menjadi hijau kelabu (Zvezdanovic et al. 2008) yang disertai
dengan penurunan puncak absorbansi (proses hipokromik) pada daerah Q-band
(Erge et al. 2008). Selain penyinaran, pendegradasian warna klorofil juga
disebabkan oleh pengaruh asam yang menyebabkan proses pembentukan produk
degradasi seperti pelepasan inti logam klorofil sehingga lebih cepat dalam
pembentukan proses feofitinase (Gross. 1991; Jeffrey et al. 1997; Gaur et al.2006;
Budiyanti et al. 2008). Pada proses ini terjadi reaksi oksidasi pada ikatan metin
antara C4 dan C5 yang menyebabkan terjadinya tetrapirol linier, sehingga C5
membentuk gugusformil (HCO-) yang kelebihan atom O, sedangkan C4
membentuk gugus laktam (Matile et al.1999).
Gambar 13(A) dapat dilihat bahwa klorofil setelah dilakukan penyinaran
mengalami kenaikan pada daerah panjang gelombang sekitar 500-600 nm dan
akhirnya membentuk suatu kurva yang terikat secara bersama. Ini menunjukkan
bahwa telah terjadi reaksi kesetimbangan dan memiliki koefisien serapan pola
yang sama pada molekul yang berbeda (isosbestik) (Endo et al. 1984; Christina et
al. 2008). Sedangkan pada Gambar 13(B) hampir tidak terlihat terjadinya
perubahan yang signifikan pada daerah isosbestik, Ini memperlihatkan bahwa
klorofil yang tersubtitusi oleh ion Zn2+ (Zn-feofitin) cenderung lebih stabil dari
klorofil, akan tetapi pada daerah Q-band terjadi penurunan puncak meskipun tidak
begitu signifikan. Ini menunjukan bahwa pada Zn-feofitin masih terjadi proses
feofitinase dan pada daerah 500-600 nm terdapat sedikit puncak-puncak kecil
yang mengindikasikan terjadinya eksitasi terendah dari spesis singlet (Budiyanto
et al. 2008). Untuk klorofil yang tersubtitusi oleh ion Cu2+ (Gambar 13(C))
terlihat spektrum absorbansinya pada daerah Q-band hampir tidak terjadi
penurunan dan tidak terlihat terbentukya daerah isobestik, Ini menunjukkan
bahwa molekul-molekul yang ada setelah penambahan ion Cu2+ cenderung tidak
mengalami perubahan.
Perbedaan perubahan klorofil sebelum dan sesudah penambahan ion logam
setelah penyinaran selama 5 jam dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14
merupakan hasil plot antara nilai absorbansi maksimum pada daerah Q-band
terhadap perubahan waktu.
Pada Gambar 14 tersebut memperlihatkan bahwa klorofil yang telah
termodifikasi mengalami penurunan kosentrasi, yang ditandai dengan penurunan
tingkat absorbansi. Klorofil tampak mengalami penurunan drastis sampai pada
menit ke 90. Untuk klorofil termodifikasi dengan Zn (Zn-feofitin) sedikit
mengalami penurunan juga pada menit ke 90. Sedangkan untuk klorofil yang
termodifikasi dengan Cu (Cu-feofitin) hampir tidak terlihat mengalami penurunan
absorbansi, yang mana nilai absorbansinya tetap menunjukkan pada nilai
absorbansi kurang lebih 0,2 selama dilakukan penyinaran. Untuk klorofil dan Znfeofitin stabil pada nilai absorbansi kurang lebih 0,1 selama penyinaran.

19
1,0

A

Soret band

Absorbansi ( a.u )

0,8
Q-band
0,6

0 menit

0,4

titik isosbestik
300 menit

0,2
0,0
400

500

600

700

800

Pajang gelombang (nm)

Absorbansi ( a.u )

0,5

Soret band

B

0,4
0,3
Q-band
0 menit

0,2
0,1

300 menit
0,0
400

500

600

700

800

Panjang gelombang (nm)
0,6

Absorbansi (a.u)

0,5

C
Soret band

0,4
0,3
Q-band

0,2
0,1

0 menit
300 menit

0,0
400

500

600

700

800

Panjang gelombang ( nm )

Gambar 13. Kurva absorbansi degradasi klorofil dan klorofil kompleks terhadap
waktu: Klorofil (A), Zn-peofitin (B), Cu-peofitin (C).

20

0,7

Absorbansi (a.u)

0,6

Klorofil
Zn-Feofitin
Cu-Feofitin

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0

100

200

300

400

Waktu (menit)
Gambar 14. Perubahan absorbansi maksimum pada daerah Q-band setelah
penyinaran selama 5 jam pada klorofil, Zn-feofitin dan Cu-feofitin

Gambar 14 juga menunjukkan adanya nilai absorbansi yang sama
khususnya untuk klorofil dan Zn-feofitin, yaitu pada menit ke 150. Ini
menunjukkan bahwa klorofil dan Zn-feofitin telah mengalami perubahan struktur
molekul menjadi bentuk yang baru, selama itu juga ditandai dengan adanya titik
isobestik yang terbentuk, seperti yang dijelaskan pada Gambar 13.

Simpulan
Panambahan ion logam Zn2+ Cu2+ pada klorofil membentuk molekul baru
yang dikenal sebagai Zn-feofitin dan Cu-feofitin menunjukkan tingkat kestabilan
yang lebih baik, khusunya Cu-feofitin setelah diradiasi selama 5 jam dengan
lampu halogen 34 W/m2+. Tingkat kestabilan ini memberikan tingkat relaksasi
yang lebih lama antara absorbansi maksimum dan emisi maksimum yang terjadi
pada daerah merah

21

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID
ZnO-KLOROFIL

Pendahuluan
Sel surya hibrid merupakan suatu bentuk sel surya yang memadukan antara
semikonduktor anorganik dan organik. Dimana dalam bentuk ini material
organiknya digunakan sebagai pemanen cahaya atau komponen fotoaktif. Pada sel
surya hybrid, lapisan aktif memiliki beberapa bentuk yaitu bilayer, bulk
heterojunction, dan interdigital. Dalam penelitian ini dibuat jenis sel surya hibrid
dengan struktur lapisan aktif bulk heterojunction, yang mana pada bentuk ini
material semikonduktor anorganik (ZnO) dicampur dengan bahan organik (dye),
dalam penelitian ini yang digunakan klorofil. Dipilihnya bentuk ini dikarenakan
proses pembuatannya lebih mudah dibandingkan dengan bilayer dan interdigital.
Regenerasi dari molekul organik yang akan menginjeksikan hole ke dalam
elektrolit atau material transpor hole yang kemudian ditransferkan ke elektrodanya
untuk menerima elektronnya sehingga membentuk pasangan muatan bebas.
Sehingga dalam proses ini dibutuhkan bentuk elektrolit yang lebih stabil, yang
mampu meningkatkan peforma dari sel surya.
Beberapa kombinasi elektrolit pada sel surya hibrid yang telah dilakukan
untuk meningkatkan peforma dari sel surya adalah ZnO/N3/CuSCN (O’Regan et
al. 2002), TiO2/N3/CuI (Meng et al.2003), TiO2/C60/CuSCN (Senadeera dan
Perera. 2005) dan ZnO/N719/CuSCN (Desai et al. 2012). Melihat kombinasi yang
akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu ZnO/klorofil dalam bentuk bulk
heterojunktion, maka elektrolit yang mungkin untuk digunakan adalah CuSCN
sebagai konduktor hole.

Tujuan
Memodifikasi dan mengkarakterisasi semikonduktor nanopartikel ZnO dan
klorofil dalam bentuk sel surya hibrid bulk heterojunction

Metode
Fabrikasi film hibrid
Fabrikasi film hibrid ZnO/klorofil dilakukan dengan melarutkan 0,005 gram
ZnO ke dalam 5 ml etanol kemudian di stirrer 300 rpm sambil ditetesi 10 µl
aethylen glycol kemudian memasukkan 0,005 gram dye klorofil. Reaksi dilakukan
selama 10 menit sampai semua komposisi terlihat tercampur sempurna. Pelapisan
film ZnO/klorofil dilakukan dengan menggunakan metode spin coating (Ibrahem
M.A et al, 2013)

22
Fabrikasi sel surya hibrid
Pembuatan sel surya hibrid bulk heterojunction dilakukan dengan cara
mencampurkan bahan semikonduktor bubuk ZnO dan bubuk klorofil dengan
perbandingan 1:1 kemudian campuran ini digerus dengan menggunakan mortar
dan ditambahkan etanol secukupnya sampai halus sempurna, setelah itu
ditambahkan larutan asam asetat 1% 0,5 ml untuk campuran 0,1 gram ZnO dan
0,1 gram klorofil, setelah tercampur sempurna kemudian adonan diteteskan diatas
kac