Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Petani Dalam Pengendalian Hama Dan Penyakit Kentang Di Kecamatan Cikajang Dan Cisurupan, Kabupaten Garut

PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN PETANI DALAM
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT KENTANG DI
KECAMATAN CIKAJANG DAN CISURUPAN
KABUPATEN GARUT

VERA RACHMAWATY

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengetahuan, Sikap dan
Tindakan Petani dalam Pengendalian Hama dan Penyakit Kentang di Kecamatan
Cikajang dan Cisurupan, Kabupaten Garut adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Vera Rachmawaty
NIM A34109001

ABSTRAK
VERA RACHMAWATY. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petani dalam
Pengendalian Hama dan Penyakit Kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan,
Kabupaten Garut. Dibimbing oleh ABDUL MUNIF.
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu dari lima komoditas
unggulan sayuran semusim. Komoditas kentang merupakan sumber pendapatan
dan lapangan kerja bagi masyarakat di Kabupaten Garut. Hama dan penyakit
merupakan kendala utama dalam budidaya tanaman kentang. Pengendalian hama
dan penyakit yang dilakukan petani umumnya lebih menekankan pada
penggunaan pestisida sintetis. Undang-undang nomor 12 tahun 1992 telah
menetapkan bahwa pengendalian hama dan penyakit tanaman harus dilaksanakan
dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh informasi mengenai pengetahuan, sikap dan tindakan petani dalam

pengendalian hama dan penyakit tanaman kentang di Kecamatan Cikajang dan
Cisurupan, Kabupaten Garut. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cikajang
dan Cisurupan, Kabupaten Garut pada bulan Juli sampai September 2015. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Kecamatan Cikajang
maupun Cisurupan telah melaksanakan beberapa komponen PHT diantaranya
adalah melakukan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang dan sintetik,
penggunaan bibit sehat serta melakukan pengamatan hama dan penyakit secara
rutin di pertanaman. Mayoritas petani responden menanam kentang varietas
Granola dengan alasan mudah budidayanya dan dapat membibitkan sendiri. Petani
responden mendapatkan informasi tentang pengendalian hama dan penyakit dari
petugas pertanian, kios pertanian maupun menurut intuisi sendiri berdasarkan
pengalaman. Permasalahan petani kentang di wilayah ini adalah tidak tersedianya
bibit kentang yang berkualitas dan masih mengandalkan pestisida sintetis dalam
pengendalian hama dan penyakit.
Kata kunci: hama dan penyakit, tanaman kentang, pengendalian, petani

ABSTRACT

VERA RACHMAWATY. Knowledges, Attitudes, and Practices of Farmer in
Controlling Plant Pest and Disease of Potato in Subdistrict Cikajang and

Cisurupan, District Garut. Supervised by ABDUL MUNIF.
Potato (Solanum tuberosum L.) is one of five importance commodity of
seasonal vegetable. The commodity of potato is the source of income and job for
people in Garut. Pest and disease are the major problem in potato cultivation. In
general, controlling pest and disease that is implemented by the farmer is more
emphasizing in using synthetic pesticide. National law number 12 in 1992 had
determined that controlling pest and disease of plant must be implemented with
integrated pest management (IPM). The objective of this research was to obtain
information about knowledge, attitude and practices of farmer in controlling pest
and disease of potato in Subdistrict Cikajang and Cisurupan, District Garut. This
research was conducted in July to September 2015. The result showed that
farmers in Subdistrict Cikajang and Cisurupan, District Garut have implemented
some component of IPM, such as cultivating the land, giving fertilizer and
synthetic, using healthy seed, and observation of pest and disease routinely in the
field. Most of farmers choose potato variety Granola because it is easy to cultivate
and farmers are able to produce the potato seed by themselves. The farmers
obtained information about strategy for controlling plant pest and disease from the
agriculture officer, agriculture store and their experiences. The problems of potato
farmers in this region are the lack quality of potato seed, and also they still use
synthetic pesticides in controlling plant pest and disease.

Keyword: control, farmer, pest and disease, potato

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN PETANI DALAM
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT KENTANG DI
KECAMATAN CIKAJANG DAN CISURUPAN
KABUPATEN GARUT

VERA RACHMAWATY


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

2

3

4

5


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi
Karakteristik Umum Petani
Karakteristik Budidaya dan Pemasaran Produk Pertanian
Permasalahan dalam Usaha Tani
Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Sikap Petani terhadap Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Tindakan Petani Responden dalam Pengendalian Hama Terpadu
(PHT)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
ix
x
1
1
2
2
3
3
3
3

4
4
4
7
11
11
16
16
20
20
20
21
25

7

DAFTAR TABEL

1
2

3
4
5
6
7
8
9

Karakteristik umum petani responden
Karakteristik responden dalam budidaya kentang di Kecamatan Cikajang
dan Cisurupan
Tindakan responden dalam pengolahan tanah dan pemupukan tanaman
kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pengetahuan responden terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT)
dan musuh alami di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pengetahuan responden terhadap cara penanggulangan OPT di Kecamatan
Cikajang dan Cisurupan
Sikap petani responden terhadap teknik budidaya kentang
Tindakan petani responden terhadap keberadaan OPT di Kecamatan
Cikajang dan Cisurupan

Tindakan petani responden terhadap penggunaan pestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Tindakan petani responden dalam melakukan pencampuran pestisida di
Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

7
8
9
13
14
16
17
18
19

DAFTAR GAMBAR

1
2
3

4
5
6
7

Persentase tingkatan umur petani responden di Kecamatan Cikajang dan
Cisurupan
Persentase pendidikan terakhir petani responden di Kecamatan Cikajang
dan Cisurupan
Persentase pola pemasaran petani kentang di Kecamatan Cikajang dan
Cisurupan
Sumber informasi petani dalam mengendalikan OPT
Pengetahuan petani responden terhadap hama dan penyakit yang sering
muncul di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pengetahuan petani responden terhadap penyebab munculnya hama dan
penyakit kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Petani responden di Desa Sukatani, Kecamatan Cisurupan melakukan
pencampuran pestisida

5
6
9
12
15
15
17

8

9

Lampiran
1(a) Pertanaman kentang di Desa Simpang, Kecamatan Cikajang
1(b) Pertanaman kentang di Desa Cisurupan, Kecamatan Cisurupan
1(c) Petani sedang melakukan penyiraman di Desa Cikajang, Kecamatan
Cikajang
1(d) Penampungan air di Desa Girijaya, Kecamatan Cikajang
1(e) Petani sedang melakukan pemanenan kentang di Desa Sukatani,
Kecamatan Cisurupan
1(f) Wawancara dengan petani responden di Desa Sukatani, Kecamatan
Cisurupan
2
Kuesioner

25
25
27
27
29
29
31

10

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
hidup bergantung pada bidang pertanian. Hortikultura merupakan komoditas
utama yang banyak dikembangkan. Komoditas hortikultura mencakup sayursayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan. Kentang (Solanum
tuberosum L.) merupakan salah satu dari lima komoditas unggulan sayuran
semusim. Lima komoditas unggulan semusim tersebut adalah kubis, kentang,
cabai, tomat, dan cabai merah (BPS 2014). Masyarakat Indonesia pada umumnya
lebih banyak mengonsumsi beras untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat.
Kentang sebagai sumber karbohidrat berpotensi menunjang program diversivikasi
pangan. Kandungan lemak kentang lebih rendah dibandingkan dengan padi yang
memiliki kandungan lemak sebesar 1.9% (Simanjuntak 2006). Kentang juga
merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum dan jagung.
Karena itu, kentang berpeluang sebagai pengganti beras dan berpotensi dalam
program diversifikasi pangan.
Komoditas kentang merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi
masyarakat di Kabupaten Garut. Kabupaten Garut menjadi salah satu wilayah
sentra penghasil kentang di Propinsi Jawa Barat. Luas lahan kentang di Kabupaten
Garut sebesar 7 121 Ha dengan hasil produksi kentang per tahun adalah sebesar
161 073 Ton (Pemkab Garut 2014). Dalam budidaya kentang terdapat beberapa
kendala diantaranya adalah ketersediaan benih bermutu masih terbatas, belum
tersedia varietas unggul yang tahan terhadap hama atau penyakit utama, teknik
budidaya masih dilakukan secara konvensional, tidak melakukan rotasi tanaman,
penentuan umur panen dan penanganan pasca panen yang kurang tepat, serta
gangguan hama maupun penyakit dilapangan.
Pengendalian yang dilakukan petani terhadap gangguan OPT pada tanaman
kentang umumnya adalah secara konvensional yang hanya menekankan pada
penggunaan pestisida. Penggunaan fungisida pada pertanaman kentang di luar
musim dapat mencapai 40% dari biaya produksi (Balitsa 1999). Menurut Rauf
(1999) pengendalian kimiawi menggunakan pestisida yang diterapkan petani
bukanlah strategi pengendalian yang berkelanjutan baik dalam ekologis maupun
ekonomis.Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa program perlindungan
tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT).
Pendekatan sistem PHT meliputi budidaya tanaman sehat, pemanfaatan musuh
alami, pemantauan rutin, dan petani sebagai pakar PHT (Duriat et al 2006).
Dasar hukum PHT tertera pada Inpres 3 tahun 1986 yang kemudian
ditekankan lagi melalui Undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman. Sasaran PHT adalah produktivitas pertanian semakin tinggi,
penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, populasi OPT dan kerusakan
tanaman karena serangannya tetap berada di bawah ambang ekonomi serta
pengurangan resiko penemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida (Untung
2007). Pendekatan PHT lebih kepada upaya pengelolaan lingkungan yang tidak
disukai oleh OPT, tetapi tetap menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. PHT

2

memandang bahwa untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tidak perlu
dengan jalan memusnahkannya tetapi cukup menekan dan mengendalikan laju
populasi hama dan penyakit di bawah ambang ekonomi.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan,
sikap dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan penyakit
tanaman kentang, serta kendala yang dihadapi petani dalam budidaya kentang di
Kecamatan Cikajang dan Cisurupan, Kabupaten Garut.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengetahuan, sikap, dan tindakan petani kentang dalam pengelolaan tanaman
kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan, Kabupaten Garut. Informasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengendalian OPT
yang berbasis pengendalian hama terpadu (PHT) oleh pihak terkait yang
berkepentingan dalam kegiatan penyuluhan pertanian.

3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Garut dengan memilih dua kecamatan
yaitu Kecamatan Cikajang (Desa Girijaya, Simpang dan Cikajang) dan Cisurupan
(Desa Sukasenang, Cisurupan, dan Sukatani). Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
merupakan sentra penghasil kentang di Kabupaten Garut. Wawancara dengan
responden dilakukan di lahan maupun di rumah. Penelitian dimulai pada bulan
Juli sampai bulan September 2015.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu dengan teknik
wawancara dan kuesioner kepada petani yang telah terpilih sebagai sampel untuk
memperoleh data primer. Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu
metode wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan wawancara tidak
terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menanyakan beberapa
pertanyaan kepada petani menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sementara
wawancara tidak terstruktur dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan
yang tidak tercantum dalam kuesioner. Hasil wawancara terhadap petani
responden termasuk dalam data primer, sementara data sekunder didapatkan pada
Badan Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan (BP3K) yang berada di
wilayah Kecamatan Cikajang dan Cisurupan. Data sekunder meliputi data curah
hujan, kelembaban, suhu maupun produktivitas kentang per tahun.
Pengambilan contoh petani responden dilakukan dengan purposive sampling
di masing-masing Kecamatan. Desa yang dipilih mewakili kondisi pertanian
kentang pada masing-masing Kecamatan. Kecamatan Cikajang terpilih 3 desa
yaitu Girijaya, Simpang dan Cikajang, dan Kecamatan Cisurupan terpilih 3 desa
yaitu Sukasenang, Cisurupan dan Sukatani. Jumlah petani responden dari
Kecamatan Cikajang berjumlah 40 orang petani terdiri dari 15 petani dari desa
Girijaya, 12 petani dari desa Simpang, dan 13 petani dari desa Cikajang. Jumlah
petani responden dari Kecamatan Cisurupan berjumlah 40 orang terdiri dari 13
petani dari desa Sukasenang, 12 orang dari desa Sukatani, dan 15 petani dari desa
Cisurupan. Survei terhadap petani responden dilakukan secara langsung di lahan
kentang maupun di rumah. Pertanyaan yang diajukan kepada responden berupa
informasi karakteristik umum petani, teknik budidaya, pengetahuan dan tindakan
petani terhadap hama penyakit, dan lain-lain.
Analisis Data
Data hasil wawancara diolah menggunakan program Microsoft Excel 2013
untuk menghitung rataan dan persentasenya. Data disajikan dalam bentuk tabel
dan gambar. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan
karakteristik petani, cara budidaya kentang, permasalahan budidaya kentang,
pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam melakukan usaha taninya.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi
Kabupaten Garut merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat
dan juga sebagai salah satu sentra produksi kentang. Secara geografis, Kabupaten
Garut terletak antara 6º56’49” - 7º45’00” LS dan 107º25’8” - 108º7’30” BT.
Kabupaten Garut memiliki luas wilayah sebesar 306 519 Ha (Pemkab Garut
2014). Dalam perkembangannya Kabupaten Garut tumbuh dan mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Pemekaran dilakukan untuk menanggulangi
perubahan dan pertumbuhan tersebut. Karena itu pada tahun 2013 Kabupaten
garut memiliki 42 Kecamatan, 21 Kelurahan dan 403 Desa. Perekonomian
Kabupaten Garut dari tahun ke tahun mengandalkan pada sektor pertanian. Produk
pertanian yang menjadi andalan Kabupaten Garut diantaranya adalah padi, tomat,
cabai, jagung, kedelai, kubis dan kentang. Luas lahan kentang di Kabupaten Garut
sebesar 7 121 Ha dengan hasil produksi kentang per tahun adalah sebesar 161 073
Ton. Kecamatan yang menjadi sentra produksi kentang terletak di Pasirwangi,
Pangatikan, Cigedug, Sukaresmi, Bayongbong, Sukaresmi, Cikajang dan
Cisurupan.
Kecamatan Cikajang berada di bagian selatan Kabupaten Garut. Kecamatan
Cikajang memiliki lahan pertanian seluas 12 152 Ha dengan terdiri topografi
landai (40.63%), topografi pegunungan (44.31%), dan topografi datar (15.06%).
Umumnya jenis tanah di wilayah Kecamatan Cikajang bertekstur lempung
berpasir (23.54%) dan tanah liat (73.54%). PH tanah berkisar antara 5.5-6.5.
Komoditi kentang menjadi komoditi utama bagi petani di Kecamatan Cikajang.
Luas tanam yang digarap adalah 1 235 Ha dengan produktivitas 20 ton/Ha.
Produktivitas komoditas hortikultura terutama kentang masih dikatakan rendah,
hal tersebut dikarenakan penerapan teknologi yang belum optimal (BP3K
Kecamatan Cikajang 2014).
Kecamatan Cisurupan juga berada di wilayah selatan Kebupaten Garut.
Kondisi fisik Kecamatan Cikajang terdiri dari topografi landai (41%) dan
pegunungan (69%). Umumnya jenis tanah di wilayah Kecamatan Cisurupan
adalah lempung berpasir (75%) dan tanah liat (25%). PH tanah berkisar antara
5.2-6.2. Komoditi kentang merupakan komoditi utama bagi petani di Kecamatan
Cisurupan setelah komoditi kubis. Komoditi kentang memiliki luas tanam 617 Ha
dengan produktivitas 25 ton/Ha (BP3K Kecamatan Cisurupan 2014).
Karakteristik Umum Petani
Petani kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan yang menjadi
responden terbagi menjadi kisaran umur antara 21 tahun hingga diatas 50 tahun.
Hasil survey menunjukkan bahwa 65% petani responden di Kecamatan Cikajang
berusia diatas 41 tahun sementara sebanyak 47.5% petani responden di
Kecamatan Cisurupan berusia 31 sampai 40 tahun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa usia produktif petani di Kecamatan Cisurupan lebih baik dibandingan
petani responden di Kecamatan Cisurupan. Umur petani adalah salah satu faktor
yang berkaitan dengan kemampuan kerja dalam menjalankan usaha tani. Petani

5

Jumlah Petani

yang tergolong usia muda memiliki perilaku progresif terhadap inovasi baru
sehingga lebih berani menanggung resiko (Soekartawi 2002).
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

47.5%
37.5%
27.5%
17.5%

20%

20%

15%

15%

21-30

31-40

41-50

>50

Umur Petani
karakteristik petani Cikajang

karakteristik petani Cisurupan

Gambar 1 Persentase tingkatan umur petani responden di Kecamatan Cikajang
dan Cisurupan
Pendidikan merupakan sarana dalam mengembangkan perilaku manusia.
Perilaku yang akan menuntun dalam pengambilan sikap untuk menyelesaikan
masalah. Petani kentang di Kecamatan Cikajang didominasi oleh petani dengan
pendidikan terakhir pada tingkatan SD dengan persentase sebesar 70% dan pada
tingkatan SMP maupun SMA masing-masing dengan persentase sebesar 22.5%
dan 7.5% (Gambar 2). Persentase pendidikan petani di Kecamatan Cisurupan
yang paling tinggi terdapat pada tingkatan SD yaitu dengan persentase sebesar
52.5% sedangkan untuk tingkatan SMP dan SMA masing-masing persentase
sebesar 35% dan 10% hanya 1 orang saja yang berpendidikan hingga perguruan
tinggi. Petani responden di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan didominasi oleh
petani dengan tingkat pendidikan terakhir pada SD hal ini sesuai dengan
penelitian Maulia (2012) yang menyebutkan bahwa sebanyak 61.67% petani
kentang di Kecamatan Cigedug (Garut) menempuh pendidikan hingga SD.
Alasan petani responden tidak meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi adalah terkendala pada biaya sementara petani responden lainnya
mengatakan lebih memilih bekerja langsung di lahan sejak dini dibandingkan
bersekolah pada pendidikan formal. Selain itu, alasan lainnya adalah bertani
merupakan kegiatan turun temurun yang dilakukan sehingga walaupun bersekolah
hingga jenjang pendidikan yang tinggipada akhirnya harus bertani, hanya 5%
petani di Kecamatan Cisurupan yang menempuh pendidikan hingga Perguruan
Tinggi (PT).

6

30

70%

25

jumlah Petani

52.5%
20
35%

15
22.5%

10
5

7.5%

10%

0% 2.5%

0
SD

SMP

SMA

PT

Pendidikan Terakhir Petani
pendidikan Cikajang

Gambar 2

pendidikan Cisurupan

Persentase pendidikan terakhir petani responden di Kecamatan
Cikajang dan Cisurupan

Pekerjaan utama petani responden di Kecamatan Cikajang maupun
Cisurupan adalah bertani. Sebanyak 12.5% petani di Kecamatan Cikajang
memiliki pekerjaan lain sebagai pedagang dan sebanyak 5% petani sebagai
karyawan swasta. Sementara sebanyak 22.5% petani di Kecamatan Cisurupan
memiliki pekerjaan sebagai pedagang dan 10% petani responden yang bekerja
pada swasta. Status kepemilikan lahan petani kentang di Kecamatan Cikajang dan
Cisurupan sebagian besar adalah petani pemilik, hanya sebagian kecil lainnya
menjadi petani penyewa.
Berdasarkan hasil wawancara sebanyak 67.5% petani responden di
Kecamatan Cikajang dan 92.5% petani di Kecamatan Cisurupan telah mengikuti
kegiatan SLPHT. Hal tersebut menunjukan, keingintahuan petani di Kecamatan
Cisurupan dalam mendapatkan informasi dalam penerapan PHT di lapang lebih
tinggi dibandingkan petani di Kecamatan Cikajang. Berdasarkan keanggotaan
kelompok tani, petani reponden di Kecamatan Cisurupan (77.5%) lebih tinggi
dibandingkan petani di Kecamatan Cikajang (52.5%). Beberapa petani
mengatakan alasan tidak mengikuti kegiatan SLPHT maupun keanggotaan
kelompok tani adalah tidak tersedianya waktu yang luang. Kegiatan SLPHT di
Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan yang diselenggarakan oleh petugas
pertanian biasanya dilaksanakan di mushola ataupun rumah dari ketua kelompok
tani di masing-masing desa.

7

Tabel 1 Karakteristik umum petani responden
Karakteristik petani
Cikajang
Jumlah
Persentase
responden
(%)
Pekerjaan utama*
Petani
40
82.5
Pedagang
5
12.5
Swasta
2
5
Status kepemilikan lahan
Lahan pribadi
34
85
Sewa
6
15
Keikutsertaan kegiatan
SLPHT
Ya
27
67.5
Tidak
13
32.5
Keanggotaan Gapoktan
Ya
21
52.5
Tidak
19
47.5
Pengalaman Usaha Tani
≤10 tahun
11
27.5
≤20 tahun
18
45
≤30 tahun
8
20
≥30 tahun
3
7.5
Luas lahan yang digarap
11-20 patok
25
62.5
21-30 patok
9
22.5
31-40 patok
3
7.5
>40 patok
3
7.5

Cisurupan
Jumlah
Persentase
responden
(%)
27
9
4

67.5
22.5
10

33
7

82.5
17.5

37
3

92.5
7.5

31
9

77.5
22.5

16
14
7
3

40
35
17.5
7.5

8
20
8
4

20
50
20
10

*Responden memberikan lebih dari satu jawaban

Berdasarkan data Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar pengalaman
usaha bertani kentang di Kecamatan Cikajang kurang dari 20 tahun, sedangkan
petani responden di Kecamatan Cisurupan kurang dari 10 tahun. Luas lahan yang
digarap oleh petani responden sebagian besar di Kecamatan Cikajang berkisar
antara 11-20 patok sementara di Kecamatan Cisurupan luas lahan yang digarap
oleh petani responden berkisar antara 21-30 patok. Patok merupakan ukuran yang
umum digunakan petani di daerah Kabupaten Garut. Satu patok sebanding dengan
luas lahan 400 m2 sehingga dalam luasan 1 Ha terdapat 25 patok.
Karakteristik Budidaya dan Pemasaran Produk Pertanian
Varietas kentang yang umum ditanam petani responden di Kabupaten Garut
adalah varietas Granola dan Atlantik. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani
responden, varietas Granola lebih banyak digunakan oleh petani di Kecamatan
Cisurupan dan di Kecamatan Cikajang. Varietas Atlantik banyak ditanam petani
di Kecamatan Cikajang (37.5%). Alasan petani menggunakan varietas Atlantik
karena harga jual yang stabil dan relatif tinggi (Ashari 2009). Harga jual yang
stabil dikarenakan petani yang menggunakan Varietas Atlantik mendapatkan bibit

8

langsung dari perusahaan dengan sistem kontrak yaitu setelah panen petani dapat
menjual hasil panen kepada perusahaan tersebut dengan harga yang sudah
ditetapkan sebelumnya oleh pihak perusahaan dengan petani.
Walaupun petani kentang yang menggunakan varietas Atlantik mempunyai
keuntungan dengan harga jual yang relatif stabil, tetapi dari segi hasil produksi
varietas Granola lebih tinggi dari Atlantik. Data yang tersedia pada BP3K
Kecamatan Cikajang dan Cisurupan menunjukan bahwa produktivitas kentang
Kecamatan Cisurupan yaitu sebesar 25ton/Ha lebih tinggi dibandingkan
Kecamatan Cikajang yaitu 20 ton/Ha. Hal tersebut berkorelasi positif dengan
penggunaan vaietas Atlantik yang digunakan petani di Kecamatan Cikajang yang
lebih besar dibandingkan Kecamatan Cisurupan.
Data Tabel 2 menunjukan beberapa alasan petani memilih menggunakan
varietas Granola lebih mudah untuk dibudidayakan sebanyak 40% petani di
Kecamatan cikajang dan 67.5% petani di Kecamatan Cisurupan. Sebanyak 10%
petani di Cikajang dan 20% petani di Cisurupan memilih varietas Granola karena
varietas tersebut lebih tahan dari serangan OPT. Selain itu, 12.5% petani di
Cikajang dan 10% petani di Cisurupan menganggap bahwa produktivitas Granola
lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Sementara untuk alasan harga jual
yang stabil, petani di Cikajang maupun Cisurupan menganggap bahwa dengan
menggunakan varietas Atlantik, para petani akan diberikan jaminan harga jual
yang tidak berfluktuasi sehingga dapat meminimalisasi kerugian yang terjadi
pasca panen.
Tabel 2 Karakteristik responden dalam budidaya kentang di Kecamatan Cikajang
dan Cisurupan
Budidaya kentang
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Varietas yang digunakan
Granola
25
62.5
37
92.5
Atlantik
15
37.5
3
7.5
Alasan menggunakan
varietas yang dipilih
Mudah dibudidayakan
16
40
25
62.5
Harga jual stabil
15
37.5
3
7.5
Tahan terhadap OPT
4
10
8
20
Produktivitas tinggi
5
12.5
4
10
Asal bibit
Membibitkan sendiri
24
60
37
92.5
Membeli dari penangkar
1
2.5
0
0
Kontrak dengan
15
37.5
3
7.5
perusahaan swasta
Pola tanam
Monokultur
23
57.5
24
60
Tumpangsari
17
42.5
16
40

9

Data menunjukan bahwa sebagian besar petani membibitkan sendiri umbi
yang digunakan untuk masa penanaman selanjutnya (Tabel 2). Sebanyak 60%
petani di Cikajang dan 92.5% petani di Cisurupan menggunakan umbi dari hasil
membibitkan sendiri. Alasan menggunakan bibit dari hasil membibitkan sendiri
adalah tidak tersedianya bibit bermutu dan terjangkau bagi petani di tingkat
penangkar bibit. Hanya 2.5% petani responden di Cikajang yang membeli bibit
dari penangkar. Petani yang menggunakan varietas Atlantik menggunakan bibit
yang berasal dari perusahaan yang sudah membuat kontrak sebelumnya.
Pola tanam yang diterapkan di lahan petani di Cikajang adalah sebagian
menerapkan pola monokultur yaitu sebesar 57.5%, sedangkan petani yang
menerapkan pola tumpangsari sebesar 42.5%. Petani di Cisurupan yang
menerapkan pola monokultur adalah sebesar 60% dan pola tumpangsari sebesar
40%. Terdapat keuntungan maupun kerugian dalam pola tanam tumpangsari.
Petani Cikajang dan Cisurupan umumnya melakukan tumpangsari dengan
tanaman cabai. Pola tanam tumpangsari terdapat keuntungan dari hasil panen yang
lain selain kentang, sedangkan pola monokultur yang hanya mendapatkan hasil
panen dari kentang saja. Keuntungan dari pola tanam tumpangsari adalah selain
diperoleh panen lebih dari sekali dalam satu tahun juga dapat menjaga kesuburan
tanah dengan mengembalikan bahan organik yang banyak dan penutupan tanah
oleh tajuk tanaman (Suginarti 2004).
Tabel 3 Tindakan petani responden dalam pengolahan tanah dan pemupukan
tanaman kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Tindakan petani
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Pengolahan tanah
Ya
40
100
40
100
Tidak
0
0
0
0
Melakukan pemupukan
Ya
40
100
40
100
Tidak
0
0
0
0
Jenis pupuk yang
digunakan
Kimia
40
100
40
100
Kandang
40
100
40
100
Intensitas pemupukan
1 kali
1
2.5
4
10
2 kali
39
97.5
36
90

10

Tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh petani responden pada kedua
Kecamatan melakukan pengolahan tanah dan melakukan pemupukan pada lahan
pertanian kentang yang diusahakan. Pupuk yang digunakan oleh petani responden
adalah pupuk kimia dan pupuk kandang. Pupuk kandang yang digunakan adalah
pupuk kotoran ayam. Sebagian besar petani responden melakukan pemupukan
selama masa tanam umumnya dilakukan sebanyak 2 kali, hanya sebagian kecil
yaitu sebanyak 10% petani responden di Kecamatan Cisurupan dan 2.5% petani
responden di Kecamatan Cikajang melakukan pemupukan hanya 1 kali dalam satu
masa tanam. Perbedaan intensitas pemupukan hanya pada waktu pemupukan,
tetapi dosis pemupukan yang digunakan sama yaitu 40 karung kotoran
ayam/patok dan 3 Kuintal (perbandingan ZA: SP: KCl sebesar 1:2:1) setiap 3
patok.

(a)
12%

Dijual sendiri
(lingkungan
sekitar)
Dijual ke
pengumpul

30%

Dijual ke kota
perseorangan

(b)
8% 7%

Dijual sendiri
(lingkungan
sekitar)
Dijual ke
pengumpul

38%

20%

Dijual ke
perusahaan
swasta

35%
50%

Dijual ke kota
perseorangan
Dijual ke
perusahaan
swasta

Gambar 3 Persentase pola pemasaran petani kentang di Kecamatan Cikajang (a)
dan Cisurupan (b)
Hasil panen kentang di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan umumnya
dijual pada pengumpul. Berdasarkan gambar 3 terlihat bahwa sebanyak 68%
petani di Cikajang dan 58% petani di Cisurupan menjual hasil panen kepada
pengumpul. Hal tersebut terkait dengan modal maupun efektivitas biaya
transportasi yang harus dikeluarkan. Selain dijual kepada pengumpul, beberapa
petani juga menjual hasil panen di lingkungan sekitar misalnya pada pasar
terdekat. Tetapi setelah digali lebih dalam informasi penjualan hasil panen
kentang tersebut, petani yang menjual hasil panen di pasar terdekat adalah petani
yang mendapatkan hasil panen yang tidak sesuai dengan kriteria pasar yaitu hasil
panen yang tidak terlalu baik untuk dipasarkan keluar daerah. Petani yang
menjual sendiri hasil panennya ke luar kota merupakan petani yang memiliki
lahan lebih dari 30 patok. Pemasaran ke luar kota yaitu ke Jakarta, Bogor dan
Sukabumi. Berdasarkan gambar 3 persentase petani di Cisurupan yang menjual
hasil panennya sendiri ke kota lain lebih tinggi dibandingkan petani di Cikajang.

11

Permasalahan dalam Usaha Tani
Permasalahan umum yang dihadapi oleh petani kentang di Kecamatan
Cikajang maupun Cisurupan pada saat survey adalah gangguan hama dan
penyakit, cuaca, ketersediaan air, fluktuasi harga jual, bibit bermutu, pupuk, dan
biaya produksi pertanian. Sebagian besar petani menyampaikan bahwa,
permasalahan utama dalam budidaya kentang adalah gangguan hama dan
penyakit. Upaya penanggulangan kehilangan hasil akibat gangguan hama dan
penyakit, petani umumnya menggunakan pestisida. Persentase petani di
Kecamatan Cikajang dan Cisurupan dalam penggunaan pestisidadalam
pengendalian OPT adalah 100% (Tabel 3). Selain penggunaan pestisida, upaya
yang dilakukan untuk mengendalikan OPT adalah perbaikan sistem budidaya,
pengairan yang teratur, penggunaan bibit sehat, serta pengamatan OPT di lahan
secara teratur. Hal tersebut dipercaya dapat meminimalisasi dampak yang
dihasilkan oleh gangguan OPT.
Permasalahan klasik yang terjadi di kedua Kecamatan adalah kurang
tersedianya bibit berkualitas yang disediakan oleh Dinas Pertanian maupun
penangkar bibit kentang. Karena itu, sebagian besar petani menggunakan bibit
dari hasil panen sebelumnya walaupun dapat berdampak pada kualitas hasil panen
berikutnya. Petani biasanya memutuskan membeli bibit dari penangkar maupun di
Dinas Pertanian setelah hasil panen berikutnya berangsur-angsur menurun secara
drastis. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan modal. Biaya produksi
kentang setiap tahun semakin meningkat. Di beberapa tempat di Kecamatan
Cikajang maupun Cisurupan, pupuk bersubsidi terbatas jumlahnya bahkan pada
satu ketika pupuk bersubsidi menjadi langka. Keadaan tersebut membuat petani
kentang bermodal rendah harus menekan biaya faktor produksi lain. Permasalahan
lain adalah lemahnya daya serap informasi pertanian, rendahnya pengetahuan
petani dalam menerapkan teknologi baru, dan rendahnya kepemilikan modal.
Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Petani responden di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan mendapatkan
informasi dalam mengendalikan OPT dari berbagai sumber. Sebanyak 45% petani
di Kecamatan Cikajang mendapatkan informasi dari kios pertanian, sedangkan
sebanyak 37.5% petani di Kecamatan Cisurupan mendapatkan informasi dari
petugas pertanian. Berdasarkan data Tabel 1, sebanyak 92.5% petani di
Kecamatan Cisurupan telah mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian
Hama Terpadu (SLPHT) berbeda dengan petani responden di Kecamatan
Cikajang hanya terdapat 67.5% yang telah mengikuti kegiatan SLPHT. Sumber
informasi lainnya adalah dari petani lain yang telah mengikuti kegiatan SLPHT
sehingga informasi menyebar antar petani. Selain itu, petani kentang dalam
mengendalikan OPT di lahan pertanaman banyak mengandalkan intuisi sendiri.
Umumnya petani yang mengendalikan OPT dengan inisiatif sendiri termasuk
petani yang telah membudidayakan tanaman kentang lebih dari 20 tahun.

jumlah petani

12

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

45%
37.5%
30%
25%

22.5%

15% 15%
10%

Petugas pertanian

Petani lain
Inisiatif sendiri
Sumber informasi
Cikajang

Kios pertanian

Cisurupan

Gambar 4 Sumber informasi petani dalam mengendalikan OPT
Berdasarkan hasil penelitian, petani responden umumnya telah mengetahui
jenis-jenis OPT pada kentang. Pengetahuan petani mengenai OPT di Kecamatan
Cikajang maupun Cisurupan cukup merata. Informasi OPT didapatkan dari
penyuluh atau petugas pertanian, petugas dari toko pertanian maupun dari petani
lain dengan saling bertukar informasi. Sebanyak 75% petani responden di
Kecamatan Cikajang dan 90% responden di Kecamatan Cisurupan mengenal
nematoda sebagai penyakit kentang. Pengetahuan petani dalam menggolongkan
jenis-jenis hama pada tanaman kentang cukup baik. Hal tersebut dapat terlihat dari
data Tabel 4 bahwa sebanyak 82.5% petani responden di Kecamatan Cikajang dan
90% petani responden di Kecamatan Cisurupan mengetahui bahwa Orong-orong
(Gryllotalpa sp.) merupakan hama kentang yang dapat mengganggu kualitas
umbi. Begitupula dengan pengetahuan petani mengenai kutu daun (Myzus
persicae) sebagai hama yang mengganggu pertanaman. Hal tersebut dapat dilihat
pada tabel 4 bahwa sebanyak 77.5% petani di Kecamatan Cikajang dan 85%
petani di Kecamatan Cisurupan telah mengetahui informasi mengenai kutu daun
tergolong sebagai hama kentang. Secara keseluruhan petani di dua Kecamatan
mengetahui bahwa gulma termasuk dalam golongan OPT yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman kentang. Sebanyak 52.5% petani di Kecamatan Cikajang
dan 65% petani di Kecamatan Cisurupan telah mengenal musuh alami yang
merupakan pengendalian OPT di pertanaman kentang.

13

Tabel 4 Pengetahuan responden terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT)
dan musuh alami di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pertanyaan
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Apakah petani responden
mengenal OPT
Ya
40
100
40
100
Tidak
0
0
0
0
Apakah nematoda
tergolong penyakit kentang
Ya
30
75
36
90
Tidak
10
25
4
10
Apakah orong-orong
tergolong hama kentang
Ya
33
82.5
36
90
Tidak
7
17.5
4
10
Apakah kutu daun
termasuk hama kentang
Ya
31
77.5
34
85
Tidak
9
22.5
6
15
Apakah mengetahui jenisjenis musuh alami hama
tanaman kentang
Ya
21
52.5
26
65
Tidak
19
47.5
14
35
Apakah gulma tergolong
OPT
Ya
40
100
40
100
Tidak
0
0
0
0
Berkaitan dengan cara yang dilakukan petani dalam mengendalikan OPT di
pertanaman, terdapat persamaan antara petani responden di kedua Kecamatan
yaitu seluruhnya petani menggunakan pestisida sintetis. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Rauf (1999) yang menyebutkan bahwa seluruh petani responden
menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan hama pengorok daun
(Liriomyza huidobrensis) pada kentang. Pengendalian menggunakan pestisida
merupakan cara yang dianggap paling efektif untuk mengendalikan hama dan
penyakit di pertanaman kentang. Berdasarkan data tabel 5 sebanyak 92.5%.petani
di Kecamatan Cikajang umumnya mengambil keputusan tindakan pengendalian
dengan pestisida secara terjadwal, sementara petani di Kecamatan Cisurupan
sebanyak 72.5% petani melakukan pengendalian secara terjadwal dan 27.5%
petani melakukan pengendalian berdasarkan ada atau tidak adanya gejala hama
dan penyakit di pertanaman (Tabel 5).
Pengendalian gulma yang dilakukan sebagian besar petani di Cikajang
dengan cara mekanis (62.5%), sementara petani di Cisurupan pengendalian gulma

14

dengan cara mekanis maupun kimiawi (47.5%). Petani yang memilih
mengendalikan gulma dengan cara mekanis maupun kimiawi beranggapan bahwa
tidak cukup pengendalian hanya dilakukan dengan mekanik atau mencabut secara
langsung sehingga pengendalian dengan herbisida juga penting dilakukan agar
pertumbuhan tanaman kentang menjadi optimal tanpa adanya gangguan dari
gulma. Petani yang memutuskan pengendalian gulma hanya dengan cara mekanik
menganggap bahwa keberadaan gulma tidak terlalu mengganggu pertumbuhan
umbi tanaman kentang karena umbi kentang berada di bawah permukaan tanah.
Persentase petani di Cisurupan yang melakukan pengendalian gulma hanya
dengan cara mekanik yaitu sebesar 35% (Tabel 5).
Tabel 5

Pengetahuan responden terhadap cara penanggulangan OPT di
Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pertanyaan
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Upaya yang dilakukan jika
terdapat hama dan penyakit
Tidak dikendalikan
0
0
0
0
Dikendalikan
40
100
40
100
Pengendalian yang dipilih
Bahan alami
0
0
0
0
Bahan kimia
40
100
40
100
Keputusan dalam tindakan
pengendalian
Pengendalian terjadwal
37
92.5
29
72.5
Ada/ tidak adanya gejala
3
7.5
11
27.5
Tingkat serangan
0
0
0
0
Upaya penanggulangan
gulma
Mekanis
25
62.5
14
35
Kimiawi
6
15
7
17.5
Mekanis dan Kimiawi
9
22.5
19
47.5
Secara umum petani responden menyatakan bahwa penyakit lodoh
(Phytophthora infestans) merupakan penyakit yang sering muncul di pertanaman.
Selain lodoh, penyakit lain yang ditemukan dipertanaman adalah layu bakteri dan
virus. Hama yang umum menyerang pada pertanaman kentang adalah ulat
penggerek umbi (Phthorimaea operculela). Sebanyak 15% petani di Cikajang dan
20% petani di Cisurupan mengatakan hama yang paling banyak menyerang adalah
ulat penggerek umbi. Ulat penggerek umbi menyerang bagian umbi maupun daun.
Selain ulat penggerek umbi, hama kentang lain yang umum menyerang adalah
kutu daun, orong-orong dan Thrips. Saat dilakukan wawancara, di dua
Kecamatan tersebut sudah 4 bulan tidak turun hujan, untuk pengairan dilakukan
pemompaan dari aliran sungai kemudian ditampung dalam wadah yang besar
untuk persediaan penyiraman tanaman kentang.

15

(a)

Gambar 5

Busuk umbi
8%
Thrips
Virus
7%
5%

(b)

Busuk umbi
Thrips Penggerek
13%
umbi
2%
15%
Virus
Kutu daun
8%
5%
Orongorong
Layu
2%
bakteri
Lodoh
18%
37%

Penggerek
umbi
20%

Layu
bakteri
13%
Orongorong
0%

Lodoh
32%

Kutu daun
15%

Pengetahuan petani responden terhadap hama dan penyakit pada
pertanaman kentang di Kecamatan Cikajang (a) dan Cisurupan (b)

Hasil wawancara petani responden menunjukkan sebagian besar petani
responden menganggap munculnya hama dan penyakit di kedua Kecamatan
disebabkan oleh faktor cuaca, selain karena faktor teknis budidaya dan varietas
tanaman yang rentan serta penggunaan pestisida. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Faridzi (2013) yang menyebutkan bahwa lebih dari 50% petani padi di
Banten menganggap munculnya hama dan penyakit di lapang disebabkan oleh
cuaca. Secara keseluruhan, tingkat pemahaman petani terkait dengan penyebab
munculnya hama dan penyakit pada kedua Kecamatan sama kecuali akibat faktor
penggunaan pestisida, hanya di Kecamatan Cisurupan petani responden menjawab
ada sebesar 3% sementara di Kecamatan Cikajang tidak ada. Hal tersebut
berkaitan dengan keanggotaan kelompok tani petani responden maupun
keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan. Data persentase petani yang aktif
dalam keanggotaan kelompok tani maupun keikutsertaan petani dalam kegiatan
penyuluhan (Tabel 1). Sementara sebanyak 25% petani di Kecamatan Cikajang
dan 27% petani di Kecamatan Cisurupan menganggap bahwa munculnya hama
dan penyakit akibat teknik budidaya yang tidak tepat, seperti pola tanam yang
diterapkan di lahan adalah sepanjang musim penanaman dengan komoditas yang
sama berturut-turut.

(a)

Varietas
rentan
13%
Teknik
budidaya
25%

Dampak
negatif
penggunaan
pestisida
0%

Cuaca
62%

(b)
Varietas
rentan
20%
Teknik
budidaya
27%

Dampak
negatif
penggunaa
n pestisida
3%

Cuaca
50%

Gambar 6 Pengetahuan petani responden terhadap penyebab munculnya hama
dan penyakit kentang di Kecamatan Cikajang (a) dan Cisurupan (b)

16

Sikap Petani terhadap Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Berdasarkan data hasil penelitian, petani kentang di Kecamatan Cisurupan
memiliki sikap yang lebih baik dalam teknik budidaya dibandingkan petani
responden di Kecamatan Cikajang hal tersebut dapat dilihat persentasenya pada
tabel 6. Sikap petani responden yang menggunakan mulsa bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas kentang. Penggunaan mulsa juga dapat
menghambat pertumbuhan gulma pada tanaman (Mapplase 2013). Petani
responden di Kecamatan Cisurupan memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan
petani di Kecamatan Cikajang yaitu dengan persentase sebesar 80% akan hal
penggunaan mulsa. Dalam penggunaan jenis dan jumlah pupuk yang berimbang,
petani responden pada umumnya melakukan pemupukan berdasarkan pengalaman
penanaman kentang.
Tabel 6 Sikap petani responden terhadap teknik budidaya kentang
Pertanyaan
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Pentingnya bibit kentang
yang sehat
Ya
29
72.5
33
82.5
Tidak
11
27.5
7
17.5
Penggunaan mulsa untuk
meningkatkan kuantitas dan
kualitas kentang
Ya
23
57.5
32
80
Tidak
17
42.5
8
20
Jenis dan jumlah pupuk
berimbang
Ya
23
57.5
26
65
Tidak
17
42.5
14
35
Tindakan Petani Responden dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Petani responden di dua Kecamatan seluruhnya melakukan tindakan
pengendalian terhadap OPT yang berada di pertanaman. Umumnya petani juga
melakukan pengamatan OPT di lahan kentang. Tujuan dari pengamatan adalah
sebagai dasar petani dalam melakukan tindakan pengendalian walaupun beberapa
petani melakukan pengendalian secara terjadwal (Tabel 7). Sebanyak 47.5%
petani responden di Kecamatan Cikajang melakukan pengamatan OPT secara
rutin, sementara di Kecamatan Cisurupan persentase petani sebesar 65%.
Pengamatan OPT dipertanaman kentang yaitu dengan melihat secara visual
keberadaan hama maupun penyakit pada tanaman kentang. Pengamatan dilakukan
dengan sistem acak yaitu petani hanya berkeliling di lahan penanaman kentang
tanpa membuat tanda yang bertujuan agar dapat diamati kembali pada hari
berikutnya.

17

Tabel 7

Tindakan petani responden terhadap pengamatan OPT dan tindakan
rotasi tanam di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pertanyaan
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Apakah melakukan
pengamatan OPT
Ya
40
100
40
100
Tidak
0
0
0
0
Apakah melakukan
pengamatan OPT secara rutin
Ya
19
47.5
26
65
Tidak
21
52.5
14
35
Apakah melakukan rotasi
tanaman
Ya
28
70
34
85
Tidak
12
30
6
15
Sebagian besar petani kentang di Cikajang dan Cisurupan melakukan rotasi
tanam setelah penanaman kentang. Umumnya petani kentang melakukan rotasi
dengan tanaman tomat, wortel, dan kubis. Salah satu manfaat dari rotasi tanaman
adalah untuk memutuskan siklus hidup hama maupun penyakit di lapangan. Data
tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 70% petani di Cikajang dan 85% petani di
Cisurupan melakukan rotasi tanaman. Alasan petani kentang yang tidak
melakukan rotasi tanam adalah karena petani menganggap menanam kentang jauh
lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya. Walaupun
beberapa petani mengetahui dampak yang berpengaruh terhadap perkembangan
hama dan penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 100% petani responden
menggunakan pestisida sintetik sebagai pengendalian hama dan penyakit di
pertanaman. Petani responden beranggapan bahwa jika tidak melakukan
penyemprotan maka risiko kerugian yang dialami oleh petani akan sangat besar.
Pada Gambar 7 terlihat seorang petani responden sedang melakukan pencampuran
pestisida sebelum aplikasi penyemprotan pestisida di lahan kentang. Petani
responden tersebut hanya memakai alat pelindung diri (APD) berupa sepatu boot
tetapi tidak menggunakan sarung tangan maupun masker.

Gambar 7 Petani responden melakukan pencampuran pestisida di Desa Sukatani,
Kecamatan Cisurupan

18

Tabel 8

Tindakan petani responden terhadap penggunaan pestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit di Kecamatan Cikajang dan
Cisurupan
Pertanyaan
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Apakah pengendalian
kimiawi dilakukan secara
rutin
Ya
40
100
40
100
Tidak
0
0
0
0
Berapa jenis pestisida yang
digunakan
1 jenis
2
5
1
2.5
2 jenis
8
20
4
10
3 jenis
25
62.5
23
57.5
Lebih dari 3 jenis
5
12.5
12
30
Waktu penyemprotan
Pagi hari
31
77.5
36
90
Siang hari
0
0
0
0
Sore hari
9
22.5
4
10
Alasan menggunakan
pestisida tertentu
Rekomendasi petani lain
12
30
8
20
Toko pestisida
23
57.5
14
35
Informasi dari petugas
5
12.5
18
45
pertanian

Penggunaan pestisida oleh petani responden di dua kecamatan umumnya
sama yaitu menggunakan pestisida sintetik. Penyemprotan dilakukan rutin setiap
kali penanaman kentang baik di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan.
Pestisida yang digunakan pada umumnya terdiri dari 3 jenis atau lebih dari 3 jenis.
Jenis pestisida sintetik yang umum digunakan petani responden adalah yang
berbahan aktif Deltametrin, Metalaksil, Mankozeb, dan Propineb. Waktu
penyemprotan yang dilakukan petani responden umumnya pada pagi hari yaitu
pada pukul 7.00 hingga pukul 12.00 WIB. Umumnya waktu penyemprotan yang
baik adalah saat pagi hari atau sore hari karena meminimalisasi penguapan setelah
penyemprotan. Alasan petani memilih pestisida tertentu yaitu di Kecamatan
Cisurupan (45%) adalah informasi didapatkan dari petugas pertanian, sementara
Kecamatan Cikajang adalah persentase tertinggi 57.5% yaitu mendapatkan
informasi dari toko pestisida.

19

Tabel 9 Tindakan petani responden dalam melakukan pencampuran pestisida di
Kecamatan Cikajang dan Cisurupan
Pertanyaan
Cikajang
Cisurupan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
responden
(%)
responden
(%)
Apakah melakukan
pencampuran pestisida
Ya
29
72.5
24
60
Tidak
11
27.5
16
40
Berapa jenis pestisida yang
dicampur
2 jenis
8
20
9
22.5
3 jenis
11
27.5
14
35
Lebih dari 3 jenis
10
25
1
2.5
Alasan melakukan
pencampuran
Lebih mudah aplikasinya
7
17.5
6
15
Hasilnya lebih
22
55
18
45
memuaskan
Berdasarkan data hasil penelitian, sebagian besar petani pada kedua
Kecamatan melakukan pencampuran pestisida agar hasil penyemprotan lebih
memuaskan sehingga hama dan penyakit yang mengganggu di pertanaman.
Sebanyak 72% petani di Kecamatan Cikajang dan 60% petani di Kecamatan
Cisurupan melakukan pencampuran pestisida pada saat aplikasi penyemprotan.
Umumnya petani pada kedua Kecamatan mencampur 3 jenis pestisida berbeda.
Sementara petani yang melakukan pencampuran pestisida lebih dari 3 jenis di
Kecamatan Cikajang mencapai 27.5% dan 2.5% di Kecamatan Cisurupan.
Sebagian besar petani menganggap dengan mencampur beberapa jenis pestisida
dapat mengendalikan OPT sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Pencampuran
pestisida dapat menyebabkan timbulnya antagonistik maupun resistensi silang
pada OPT di pertanaman.

20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Pengetahuan, sikap dan tindakan petani di Kecamatan Cikajang dan
Cisurupan secara keseluruhan tidak jauh berbeda. Responden pada kedua
kecamatan memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap OPT kentang dan
musuh alaminya. Sikap petani responden dalam budidaya tanaman kentang yang
sehat cukup baik misalnya dengan penggunaan bibit yang sehat, penggunaan
mulsa, penerapan jenis dan jumlah pupuk berimbang dan rutin melakukan
pengamatan hama dan penyakit di lahan. Tindakan pengendalian yang dilakukan
oleh sebagian besar responden di kedua Kecamatan pengendalian menggunakan
pestisida. Sebagian besar responden menggunakan lebih dari 1 jenis pestisida dan
melakukan pencampuran pestisida dalam satu kali aplikasi penyemprotan. Hasil
penelitian ini menunjukan kondisi nyata petani kentang dalam melakukan
tindakan pengendalian OPT pada kentang dan menjadi dasar bagi pemerintah dan
pihak-pihak lain untuk melakukan penyuluhan yang diperlukan.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lokasi yang berbeda, pada
komoditas yang sama guna mendapatkan gambaran terkait pengetahuan, sikap dan
tindakan petani kentang terhadap PHT. Selain itu perlu dilakukan pengujian lebih
lanjut untuk mengetahui hubungan antara variabel lain yang mempengaruhi
pengetahuan, sikap dan tindakan petani dalam memilih teknologi pengendalian
OPT.

21

DAFTAR PUSTAKA

Apriliantina RS. 2013. Pengetahuan, sikap dan tindakan petani padi dalam
penggunaan pestisida di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [skripsi].
Bogor(ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ashari. 2009. Membangun sinergi usaha petani kentang swasta dengan kemitraan
pemasaran. Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Vol 31:3.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tanaman sayuran dan buah-buahan semusim
[internet]. [diunduh pada 10 Oktober 2015]. Tersedia pada: www.bps.go.id.
[Balitsa] Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 1999. Penyakit, hama dan nematoda
utama tanaman kentang. Bandung(ID): DIPA Balitsa.
[BP3K] Balai Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kecamatan
Cikajang. 2014. Program Penyuluhan Pertanian, Peternakan, dan
Kehutanan. Garut(ID): BP3K Cikajang.
[BP3K] Balai Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kecamatan
Cisurupan. 2014. Program Penyuluhan Pertanian, Peternakan, dan
Kehutanan. Garut(ID): BP3K Cisurupan.
[Ditjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2012. Komoditas unggulan
[internet]. [diunduh pada 10 Oktober 2015]. Tersedia pada:
http://hortikultura.deptan.go.id/?q=content/komoditas-unggulan.
Duriat AS, Gunawan OS, Gunaeni N. 2006. Penerapan Teknologi PHT pada
Tanaman Kentang. Bandung(ID): DIPA Balitsa.
Faridzi M. 2013. Pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam pengndalian
hama terpadu tanaman padi di Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak,
dan Kecamatan Petir, Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor(ID): Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Mapplase MF. 2013. Pengaruh penggunaan mulsa plastik hitam perak (PHP) pada
budidaya cabai merah (Capsicum annum L.) [Skripsi]. Yogyakarta(ID):
Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Maulia S. 2012. Analisis pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivit