Studi Penurunan Tanah Akibat Penekanan Tiang Tekan Hidrolis dengan Menggunakan Pendekatan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Pembangunan Hotel Medan Siantar, Sinaksak)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Das, Braja M., 1994. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I. Jakarta : Erlangga.

Das, Braja M., 1994. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid II. Jakarta : Erlangga.

Hardiyatmo, H.C.,1996. Teknik Pondasi 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hardiyatmo, H.C., 2006. Mekanika Tanah 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bowles, J. E.,1991,Analisis dan Desain Pondasi, Edisi Keempat jilid 1,Jakarta : Erlangga

Sardjono, H. S., 1991, Pondasi Tiang Pancang Jilid 2, Surabaya : Sinar Wijaya

Sosarodarsono, S. dan Nakazawa, K., 2000, Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi,

PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Hardiyatmo, H.C., 2011. Analisa dan Perancangan Fondasi 1.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Plaxis. 2005. Referensi Manual.

Yulianti , Erna., Indrayani. 2013. Studi Gerakan Tanah Akibat Pemancangan Tiang Pondasi (Square Pile) Studi Kasus Pada Pembangunan Terminal


(2)

Penumpang Bandara Supadio Pontianak.Jurnal Teknik Sipil UNTAN Volume 13 Nomor 2, Desember 2013.

Muntohar, Agus S., Fauzi Fadly. 2013. Perilaku Tiang Pondasi Bor Kelompok Dengan Model Elemen Hingga 2D dan 3D. Surakarta: Prosiding Konferensi nasional Teknik Sipil 7. Oktober 2013.

Firdaus, Wildan. 2011. Studi Perilaku Tiang Pancang Kelompok Menggunakan Plaxis 2D Pada Tanah Lunak (Very Soft Soil-Soft Soil). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.

Harianto, Tri., dkk, 2013. Studi Efektifitas Tiang Pancang Kelompok Miring Pada Perkuatan tanah Lunak. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Wijaya Karya Beton, 2008, Presentasi Tiang Pancang, Jakarta : Wika Learning Center

Laporan Pekerjaan Penyelidikan Tanah Proyek: PT. TOR GANDA, Lokasi: Jl. Tebing Tinggi-Prmatang Siantar, Sinaksak. Provinsi Sumatera Utara.


(3)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan PLAXIS Ver. 8 dalam menganalisa penurunan bangunan kelas SMAN 5 Pematang Siantar akibat penekanan tiang pondasi bangunan Hotel Medan Siantar.

3.1. Data Umum Proyek

Data umum dari proyek pembangunan hotel Medan Siantar adalah sebagai berikut:

1. Nama Proyek : Pembangunan Hotel Medan Siantar

2. Lokasi Proyek : Jalan Tebing Tinggi – Pematang Siantar, Sinaksak, Pematang Siantar

3. Pemilik Proyek : PT. TOR GANDA 4. Status Proyek : Swasta

5. Konsultan Perencana : Rudolf Morida& Associates 6. Kontraktor Pelaksana : Rudolf Morida& Associates

7. Sumber Dana : Owner / Pemilik Proyek / PT. TOR GANDA

3.2. Pengumpulan Data

3.2.1. Data Struktur Tiang Precast

Tiang yang dipakai sebagai pondasi bangunan Hotel Medan Siantar adalah tiangspun pracetak (PC spun piles). SpesifikasiPC spun pile disajikan pada Tabel 3.1.


(4)

Tabel 3.1 Spesifikasi tiang tekan Diameter

Luar (mm)

Tebal (mm) Tipe

Panjang (m)

Berat (kg/m)

Luas (cm2)

Beban Aksial (ton)

Momen Lentur (ton m) Crack Ultimate

600 100

A1

6-16 393 1571

252.70 17.00 25.50

A2 249.00 19.00 28.50

A3 243.20 22.00 33.00

B 238.30 25.00 45.00

C 229.50 29.00 58.00

(Sumber: Wika Beton)

3.2.2. Data Spesifikasi Alat Tekan

Digunakan alat tekan/jacking pile HSPD (Hydraulic Static Pile Driver) kapasitas 320 ton dengan spesifikasi pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Spesifikasi teknis alat tekan HSDP kapasitas 320 ton.

MODEL YZY 320T

Maximum Jacking Force (kN) 3200

Applicable RC Square Pile (mm) 250, 300, 350,400 Applicable Spun Pile (mm dia) 250, 300, 350, 400, 500, 600 Jacking Speed (m/min):

Accelerated/Normal Speed 5,6/1,5

Single Stroke Distance (m) 1,8

Bearing Pressure (MPa): Long Slipper 0,105 Bearing Pressure (MPa): Short Slipper 0,107

Long Slipper Movement (m/min) 5,60

Short Slipper Movement (m/min) 2,80

Clearance For Piling (mm) from edge of:

Long Slipper/Short Slipper/Side-Jack 4000/6000/1500

Swing Back Angle (°/swing) 15

Overall Output Power (kW) 96,0

Overall Dimension (m)

Length x Width x Height 12,0 x 9,5 x 6,9


(5)

3.2.3. Data Struktur Bangunan

Data-data struktur bangunan SMAN 5 Pematang Siantar dibutuhkan untuk memodelkan struktur bangunan SMAN 5 Pematang Siantar pada program PLAXIS, karena bangunan ini lah yang akan ditinjau penurunan akibat penekanan tiang pondasi Hotel Medan Sianatar. Data ini diperoleh melalui observasi langsung ke lokasi. Struktur adjacent buildingyaitu bangunan kelas SMAN 5 Pematang Siantar hanya berjarak 3,5 m dari tiang pondasi. Data struktur bangunan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 (a) Tampak atas bangunan. (b) Potongan A-A

Untuk pemodelan atap peneliti akan melakukan pedekatan dengan mengganggap atap sebagai beban terbagi rata diatas bangunan.


(6)

3.2.4. Data Parameter Tanah

Pengumpulan data-data yang akan digunakan untuk memodelkan struktur tanah pada lokasi pembangunan Hotel Medan Siantar. Data-data yang dibutuhkan antar lain:

• Data sondir

• Data SPT

• Data parameter tanah

Data ini diperoleh dari instansi terkait.Sesuai dengan data yang diperoleh lapisan tanah dimodelkan ke dalam enam lapisan tanah seperti pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Data lapisan tanah.

No.

Depth Jenis Tanah Tebal Kedalaman dan Lapisan Muka Air

(m) Konsistensi Tanah Tanah

tanah (m) (m)

1 0 - 1

Lempung berpasir

1 -

Lunak N = 5 2 1 - 3,5

Lempung berpasir

2.5 -

Kaku N = 6,25 3 3,5 - 8,5

Pasir berlempung

5 -

Lepas N = 8,25

4 8,5 - 14

Pasir berlempung

5.5 13,5 - 14

Sedang-lepas-sedang N = 20

5 14 - 19

Pasir

5 -

Padat-sangat padat N = 60 6 19 - 22,5

Pasir berbatu

3.5 -


(7)

Dalam data material sets dilakukan beberapa pendekatan sesuai dengan konsistensi tanah untuk memperoleh parameter yang dibutuhkan. Pendekatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

• Program All pile

• Korelasi N-SPT dengan Modulus Elastisitas pada tanah lempung (Randolph,1978). Tabel 2.6.

• Korelasi N-SPT dengan modulus elastisitas pada tanah pasir (Schmertman,1970). Tabel 2.7.

• Hubungan Jenis Tanah, konsistensi dan Poisson’s Ratio (μ) (Das, 1995). Tabel 2.8.

• Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah (Das, 1995). Tabel 2.9.

3.3. Pengolahan Data

Pada tahap ini seluruh data yang diperoleh digunakan sebagai parameter-parameter perhitungan yang diolah dengan metode elemen hingga.Pada Tugas Akhir ini terdapat 4 kasus yang dimodelkan peneliti dalam menganalisa penurunan bangunan SMAN 5 Pematang Siantar akibat pemancangan tiang pondasi bangunan Hotel Medan Siantar.


(8)

a) Penekanan Tiang Tunggal dengan jarak 3.5 m dari Bangunan (Simulasi 1).

Gambar 3.2 Pemodelan Simulasi 1

b) Penekanan Tiang Kelompok dengan jarak 3.5 m dari Bangunan (Simulasi 2).

Gambar 3.3 Pemodelan Simulasi 2


(9)

d) Mobilisasi Alat Tekan320 T dengan jarak 10 m dari Bangunan (Simulasi 4).

Gambar 3.5 Pemodelan Simulasi 4

3.4. Analisa Data

Pada tahap inihasil dari analisa setiap model dibandingkan untuk dilihat besar penurunan yang terjadidengan perhitungan metode elemen hingga.Analisa data yang dilakukan adalah mengetahui hasil dari nilai penurunan yang terjadi.Dari hasil nilai-nilai tersebut dapat diketahui kondisi (kasus) mana yang memiliki nilai penurunan melebihi penurunan yang diizinkan.Demikian dari hasil analisa dapat dibuat kesimpulan dan saran.

Untuk lebih jelasnya, metode penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat dari bagan alir penelitian sebagai berikut :


(10)

Gambar 3.6Bagan Alir Penelitian START

Identifikasi masalah dan lokasi penelitian

Observasi awal ke lokasi penelitian

Studi Pustaka

Pengumpulan Data

Data Sekunder:

• Topografi

• Data Tanah

• Data Struktur

Kajian/Analisa Gerakan Tanah

Kesimpulan dan Saran


(11)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini penulis akan membahas mengenai perhitungan deformasi tanah yang terjadi akibat penekanan tiang pondasi di dekat bangunan dan mobilisasi alat tekan dengan Metode Elemen Hingga.

4.1. Pemodelan Geometri

Terdapat 4 (empat) model yang akan disimulasikan pada tugas akhir ini menggunakan perhitungan Metode Elemen Hingga. Adapun bentuk pemodelan dari keempat simulasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1 sampai Gambar 4.4.

4.1.1 Simulasi 1: Penekanan Tiang Tunggal dengan Jarak 3.5 m dari Bangunan

Gambar 4.1 Geometri untuk pemodelan penekanan tiang tunggal dengan jarak 3.5 m dari bangunan


(12)

4.1.2 Simulasi 2: Penekanan Tiang Kelompok dengan Jarak 3.5 m dari Bangunan

4.1.3 Simulasi 3: Mobilisasi Alat Tekan 320 T dengan Jarak 5 m dari Bangunan

Gambar 4.2 Geometri untuk pemodelan penekanan tiang kelompok dengan jarak 3.5 m dari bangunan

Gambar 4.3 Geometri untuk pemodelan mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 m dari bangunan


(13)

4.1.4 Simulasi 4: Mobilisasi Alat Tekan 320 T dengan Jarak 10 m dari Bangunan

4.2 Identifikasi Parameter 4.2.1 Parameter Tanah

Model tanah yang digunakan pada pemodelan ini adalah Mohr Coulomb

dengan analisis plane strain. Parameter–parameter yang dibutuhkan dalam pemodelan ini yaitu : Modulus Young, E (stiffness modulus), Poisson’s ratio (υ),

kohesi (c), sudut geser dalam tanah (ϕ), sudut dilantansi (Ψ) dan berat isi tanah (γ).

Parameter tanah dari hasil uji SPT dan laboratorium ini diambil dari penyelidikan tanah yang dilaksanakan oleh Laboratorium Mekanika Tanah Universitas Nomensen Medan.Karena keterbatasan data, maka sebagian parameter tanah pada lapisan tertentu diasumsikan berdasarkanreferensi atau sumber - sumber yang ada.

1. Untuk koefisien rembesan (kx, ky) diambil dari nilai koefisien permeabilitas

tanah pada berbagai jenis tanah Tabel 2.9

2. Untuk modulus elastisitas (E) dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan 2.7

Gambar 4.4 Geometri untuk pemodelan mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 m dari bangunan


(14)

3. Untuk angka Poisson (μ), diambil dari tabel hubungan jenis tanah, konsistensi dan Poisson ratio (μ), yaitu Tabel 2.8

4. Untuk sudut geser dalam (ϕ)berat jenuh (γsat)dan kohesi (c) diperoleh dari

bantuan program Allpile. Adapun untuk γdrydiperoleh dengan mengurangkan

γsat terhadapγw ; γw= 9,8 kN/m3 (berat isi air)

γsaturated

sudut geser dalam (ϕ)

kohesi (c)

Gambar 4.5. Parameter tanah (kohesi, sudut geser dalam, dan berat jenis tanah saturated) yang di peroleh dari program Allpile


(15)

Tabel 4.1. Input Parameter Tanah untuk Program Plaxis pada lokasi BH-2 Lapisan

ke -

Depth Jenis Tanah Tebal Kedalaman γdry γwet kx ky Es’

µ' c

ϕ Ψ

dan Lapisan Muka Air

(m) Konsistensi Tanah Tanah (kN/m3) (kN/m3) (m/day) (m/day) (kN/m2) (kN/m2)

tanah (m) (m)

1 0 - 1

Lempung berpasir

1 - 8,9 18,7 0,000864 0,000864 5037,51 0,35 29,9 0 0

Lunak N = 5 2 1 - 3,5

Lempung berpasir

2,5 - 9,4 19,2 0,000864 0,000864 5373,344 0,35 35,9 0 0

Kaku N = 6 3 3,5 - 8,5

Pasir berlempung

5 - 7,9 17,7 8,64 8,64 6820,013 0,4 0 32 2

Lepas N = 8 4 8,5 - 14

Pasir berlempung

5,5 13,5 9,3 19,1 8,64 8,64 17050,03 0,35 0 36,4 6,4

Sedang-lepas-sedang N = 20

5 14 - 19

Pasir

5 - 11,7 21,5 86,4 86,4 51150,10 0,2 0 42,1 12,1

Padat-sangat padat N = 60

6 19 - 22,5

Pasir berbatu

3,5 - 11,7 21,5 864 864 51150,10 0,2 0 42,1 12,1

Sangat padat N = 60


(16)

4.2.2 Parameter Tiang Precast

Tiang precast yang dipakai sebagai pondasi bangunan Hotel Medan Siantar adalah tiang tekanspun pracetak (PC spun piles). Dengan mutu beton fc’ = 52 MPa. Tiang dimodelkan dengan model elastic. Parameter tiang yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2. Input Parameter Pelat untuk Tiang Parameter Tiang Pancang

Diameter (m) 0,6 Luas (m2) 0,2826 Inersia (m4) 0,0063585 Ec (kN/m2) 33892181,99

EA (kN) 9577930,63

EI (kN m2) 215503,4392

W (kN/m) 3,93

Pada saat konstruksi, digunakan alat tekan HSDP (Hydraulic Static Pile Driver) kapasitas 320 Ton.

4.2.3 Parameter Bangunan

Bangunan dalam analisis program Plaxis ini dimodelkan dengan menggunakan pelat sebagai balok dan kolom. Dengan material beton K-225 (fc’=18 MPa).


(17)

Tabel 4.3. Input Parameter Pelat untuk Bangunan Parameter Struktur Bangunan

Parameter Kolom Balok

Dimensi

b (m) 0,2 0,2

h (m) 0,2 0,2

Luas (m2) 0,04 0,04

Inersia (m4) 0,000133333 0,000133333

Ec (kN/m2) 19940411,23 19940411,23

EA (kN) 797616,4492 797616,4492

EI (kN m2) 2658,721497 2658,721497

W (kN/m) 0,96 0,96

4.3 Tahap Perhitungan

Kondisi awal tegangan-tegangan dalam tanah (initial condition) dihitung dengan menggunakan prosedur K0 (K0-procedure) dan tekanan air dihitung secara

langsung berdasarkan tekanan freatik.Perhitungan prosedur iterasi dilakukan sebagai plastic calculation dengan pengaturan standard dalam Plaxis 2D.

Dalam perhitungan terdiri dari 3 (tiga) tahap perhitungan, dimana tahapan pertama yaitu mengaktifkan model bangunan, mengaktifkan beban bangunan, memasukkan beban bangunan sebesar 8 kN.Kemudian tahap kedua merupakan tahap konstruksi (stage of construction) dengan mengaktifkan tiang dan memasukkan interval waktu sebesar 0.01 hari. Pada tahap ketiga merupakan tahap konstruksi (stage of construction) dimana tiang mengalami pembebanan sebesar 2500 kN.


(18)

Tahapan perhitungan sama untuk setiap simulasi, hanya saja untuk simulasi 3 dan 4, hanya terdiri dua tahapan yaitu tahap pertama sama seperti tahapan pada simulasi 1 dan 2, sedangkan pada tahap perhitungan kedua merupakan tahap konstruksi (stage of construction) dengan mengaktifkan beban yang mewakili berat alat pancang sebesar 320 Ton atau setara dengan 3200 kN dan memasukkan interval waktu sebesar 0.01 hari.

4.4 Hasil Simulasi dengan Metode Elemen Hingga

Dari hasil simulasi dapat dilihat tanah mengalami pergerakan sesuai dengan arah panah (vektor).Tanda panah menunjukkan besarnya pengaruh beban terhadap perpindahan.Output dari hasil perhitungan untuk setiap simulasi ditampilkan pada Gambar 4.6 sampai Gambar 4.17.

4.4.1 Penekanan Tiang Tunggal dengan Jarak 3.5 m dari Bangunan

Dari Gambar hasil perhitungan plaxis dapat dilihat deformasi tanah yang terjadi.Tanah mengalami pergerakan sesuai arah panah (vektor).Tanda panah menunjukkan besarnya pengaruh beban terhadap perpindahan. Semakin jauh dari beban, pengaruhnya akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Pemancangan pondasi tunggal yang berjarak 3,5 m dari bangunan menyebabkan tanah mengalami total displacement sebesar 3,724 cm sesuai arah panah (vektor).


(19)

Gambar 4.6 Total displacements yang terjadi akibat penekanan tiang tunggal dengan jarak 3.5 m dari bangunan

Gambar 4.7 Horizontal displacements yang terjadi akibat penekanan tiang tunggal dengan jarak 3.5 m dari bangunan


(20)

4.4.2 Penekanan Tiang Kelompok dengan Jarak 3.5 m dari Bangunan

Penekanantiang kelompok yang berjarak 3,5 m dari bangunan menyebabkan tanah mengalami total displacements sebesar 3,104 cm sesuai arah panah (vektor). Dilihat dari hasil simulasi, total displacments pada tanah yang diakibatkan oleh penekanan tian kelompok justru lebih kecil dari pada yang diakibatkan oleh penekanan tiang tunggal. Hal ini disebabkan pada tiang tunggal beban sebesar 250 ton dipikul sendiri oleh satu buah tiang (menjadi beban terpusat). Sedangkan pada tiang kelompok beban sebesar 250 ton berubah menjadi beban terbagi rata. Sehingga beban yang dipikul menjadi lebih kecil.

Gambar 4.8 Vertical displacements yang terjadi akibat penekanan tiang tunggal dengan jarak 3.5 m dari bangunan


(21)

Gambar 4.9 Total displacements yang terjadi akibat penekanan tiang kelompok dengan jarak 3.5 m dari bangunan

Gambar 4.10 Horizontal displacementsyang terjadi akibat penekanan tiang kelompok dengan jarak 3.5 m dari bangunan


(22)

4.4.3 Mobilisasi Alat Tekan 320 T dengan Jarak 5 m dari Bangunan

Dalam penelitian ini juga dilakukan simulasi adanya mobilisasi alat tekan HSDP di sekitar bangunan. Berdasarkan hasil pemodelan mobilisasi alat tekan pada jarak 5 m dari bangunan mengakibatkan total displacements pada tanah sebesar 2,882 cm sesuai arah panah (vektor).

Gambar 4.12 Total displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 meter dari bangunan

Gambar 4.11 Vertical displacements yang terjadi akibat penekanan tiang kelompok dengan Jarak 3.5 m dari bangunan


(23)

4.4.4 Mobilisasi Alat Tekan320 T dengan Jarak 10 m dari Bangunan

Berdasarkan hasil pemodelan pergerakan alat tekan pada jarak 10 m dari bangunan mengakibatkan total displacements sebesar 2,558 cm sesuai arah panah (vektor).

Gambar 4.13 Horizontal displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 meter dari bangunan

Gambar 4.14 Vertical Displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 meter dari bangunan


(24)

Gambar 4.16 Horizontal displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 meter dari bangunan

Gambar 4.15 Total displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 meter dari bangunan


(25)

4.5 Nilai Deformasi yang dialami Bangunan

Dari hasil perhitungan metode elemen hingga menggunakan program

Plaxis diperoleh besar deformasi yang dialami bangunan dari setiap simulasi seperti yang ditunjukkan pada table 4.4 berikut ini:


(26)

Tabel 4.4 Besar Deformasi yang dialami bangunan Simulasi panjang

bangunan (m) Ux (cm) Uy (cm) ∆Ux (cm) ∆Uy (cm) 0 0.3576 -1.1528 0.0819 -0.0553 1 0.4392 -1.2638 0.0894 -0.0815 2 0.4801 -1.4556 0.0942 -0.1070 3 0.5158 -1.6999 0.0977 -0.1342 Simulasi 1 4 0.5874 -1.9247 0.1003 -0.1635 5 0.6341 -1.9999 0.1023 -0.1945 6 0.6539 -2.0976 0.1032 -0.2290 7 0.6573 -2.2700 0.1027 -0.2658 8 0.7527 -2.4621 0.0973 -0.3016 0 0.7692 -1.0299 0.0246845 -5.0452 1 0.4365 -1.1349 0.0108663 -10.8509 2 0.2873 -1.2566 0.0082942 -13.5031 3 0.3279 -1.4802 0.0088016 -17.6162 Simulasi 2 4 0.4120 -1.6664 0.0092428 -22.1259 5 0.4773 -1.7320 0.0104742 -26.2987 6 0.4761 -1.8187 0.0094997 -31.7979 7 0.4799 -1.9704 0.0091509 -37.6548 8 0.0690 -2.0573 0.0008946 -89.6146 0 -0.2965 -0.5635 -0.1660 0.0560 1 -0.2959 -0.5516 -0.1661 0.0458 2 -0.2947 -0.6060 -0.1662 0.0560 3 -0.2932 -0.7190 -0.1663 0.0271 Simulasi 3 4 -0.2912 -0.8138 -0.1664 0.0152 5 -0.2492 -0.7796 -0.1665 0.0024 6 -0.2877 -0.7278 -0.1666 0.0142 7 -0.2863 -0.7326 -0.1666 -0.0343 8 -0.2849 -0.8326 -0.1666 -0.0546 0 -0.2334 -0.3959 -0.1285 0.0388 1 -0.2328 -0.3751 -0.1286 0.0374 2 -0.2317 -0.4092 -0.1287 0.0375 3 -0.2303 -0.4861 -0.1288 0.0376 Simulasi 4 4 -0.2287 -0.5444 -0.1290 0.0373 5 -0.2269 -0.4967 -0.1291 0.0372 6 -0.2256 -0.4280 -0.1292 0.0366 7 -0.2245 -0.3989 -0.1293 0.0351 8 -0.2233 -0.4565 -0.1294 0.0324


(27)

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 2 4 6 8 10

P en u ru n a n ( c m )

Panjang bangunan (m)

Akibat pemancangan tiang pancang tunggal 3,5 m dari bangunan

Akibat pemancangan tiang pancang group 3,5 m dari bangunan Akibat mobilisasi alat pancang 5 m dari bangunan

Akibat mobilisasai alat pancang 10 m dari bangunan


(28)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Simulasi 1: Penekanan tiang tunggal dengan jarak 3.5 m dari bangunan menyebabkan bangunan mengalami penurunan di sepanjang bangunan sebesar sebagai berikut:

Panjang Bangunan

0 m 1m 2 m 3 m 4 m 5 m 6 m 7 m 8 m Besar

Penurunan (cm)

1,153 1,264 1,456 1,670 1,925 1,999 2,098 2,270 2,462

2. Simulasi 2: Penekanan tiang kelompok dengan jarak 3.5 m dari bangunan menyebabkan bangunan mengalami penurunan di sepanjang bangunan sebesar sebagai berikut:

Panjang Bangunan

0 m 1m 2 m 3 m 4 m 5 m 6 m 7 m 8 m Besar

Penurunan (cm)

1,029 1,135 1,257 1,480 1,666 1,732 1,818 1,970 2,057

3. Simulasi 3: Mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 m dari bangunan

menyebabkan bangunan mengalami penurunan di sepanjang bangunan sebesar sebagai berikut:


(29)

Panjang Bangunan

0 m 1m 2 m 3 m 4 m 5 m 6 m 7 m 8 m Besar

Penurunan (cm)

0,564 0,552 0,606 0,719 0,814 0,779 0,728 0,733 0,833

4. Simulasi 4: Mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 m dari bangunan menyebabkan bangunan mengalami penurunan di sepanjang bangunan sebesar sebagai berikut:

Panjang Bangunan

0 m 1m 2 m 3 m 4 m 5 m 6 m 7 m 8 m Besar

Penurunan (cm)

0,396 0,375 0,409 0,486 0,544 0,497 0,428 0,399 0,457

5. Dari hasil perhitungan dengan metode elemen hingga dapat disimpulkan bahwa,pada setiap simulasi bangunan mengalami penurunan yang berbeda-beda (differential settlement). Menurut Showers (1962) untuk penurunan tidak seragam pada bangunan dinding bata, besar penurunan maksimum yang di ijinkan sebesar 0,002 L (panjang bangunan), dimana dalam kasus ini penurunan maksimum yang diijinkan sebesar 1,6 cm. Dari hasil yang diperoleh pada Simulasi 1 dan Simulasi 2, bangunan mengalami penurunan yang melebihi syarat. Sedangkan untuk Simulasi 3 dan Simulasi 4, penurunan yang dialami bangunan masih memenuhi syarat.

6. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa, diduga bangunan akan mengalami keretak-keretakan akibat besar penurunan yang melebihi syarat. Sehingga dengan kondisi tersebut, kenyamanan gedung menjadi berkurang dan tidak aman untuk digunakan.


(30)

5.2.

Saran

1. Diperlukan studi lanjutan untuk memodelkan tiang kelompok dalam Program Plaxis 2D. Menurut Ryltenius (2011) untuk memodelkan tiang kelompok dengan pemodelan plane-strain 2D memberikan hasil estimasi penurunan dan gaya-gaya internal yang lebih besar 30% dari pada model 3D.

2. Sebaiknya dilakukan studi lebih lanjut dengan monitoring lapangan mengenai pengaruh pemancangan dan mobilisasi alat terhadap bangunan tersebut.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Setiap bangunan sipil seperti gedung, jembatan, jalan raya, terowongan, menara, dam/tanggul dan sebagainya harus mempunyai pondasi yang dapat mendukungnya.Istilah pondasi digunakan dalam teknik sipil untuk mendefenisikan suatu konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai penopang bangunan dan meneruskan beban bangunan di atasnya (upper structure) ke lapisan tanah yang cukup kuat daya dukungnya. Untuk itu, pondasi bangunan harus diperhitungkan agar dapat menjamin kestabilan bangunan terhadap berat sendiri, beban–beban yang bekerja, gaya–gaya luar seperti tekanan angin, gempa bumi dan lain–lain.

Setiap pondasi harus mampu mendukung beban sampai batas keamanan yang telah ditentukan, termasuk mendukung beban maksimum yang mungkin terjadi.

2.2 Penyelidikan Tanah (Soil Investigation)

Dalam perencanaan pondasi konstruksi bangunan diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui parameter-parameter tanah yang akan digunakan dalam perhitungan daya dukung tanah pondasi. Daya dukung tanah sangat berpengaruh pada bentuk dan dimensi pondasi serta sistem perbaikan tanah agar diperoleh perencanaan yang optimal dan efisien.Pondasi adalah suatu bagian konstruksi bangunan bawah (sub structure) yang berfungsi untuk meneruskan


(32)

badan konstruksi atas (upper structure) yang harus kuat dan aman untuk mendukung beban dari konstruksi atas (upper structure) serta berat sendiri pondasi. Untuk dapat memenuhi hal terssebut diatas, dilaksanakan penelitian tanah (soil investigation) di lapangan dan laboratorium untuk memperoleh parameter-parameter tanah berupa perlawanan ujung/konus (cone resistance) dan hambatan lekat (skin friction) yang di peroleh dari hasil pengujian sondir, jenis dan sifat tanah dari pengujian pengeboran tanah pondasi serta dari hasil pengujian laboratorium yang digunakan dalam perhitungan daya dukung pondasi dan cara perbaikan tanah.

2.2.1 Sondering Test/Cone Penetration Test (CPT)

Pengujian CPT atau sondir adalah pengujian dengan menggunakan alat sondir tipeDutch Cone Penetration yang mempunyai konus seluas 10 cm2, sudut lancip kerucut 60o untuk mengukur perlawanan ujung, dan dilengkapi mantel (sleave) yang berdiameter sama dengan konus dan luas selimut 100 cm2, untuk mengukur lekatan (friction) dari lapisan tanah. Alat ini digunakan dengan cara ditekan ke dalam tanah terus menerus dengan kecepatan maksimum 1 cm/detik, sementara itu besarnya perlawanan tanah terhadap kerucut penetrasi (qc) juga

terus diukur.

Dilihat dari kapasitasnya, alat sondir dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sondir ringan (2 ton) dan sondir berat (10 ton). Sondir ringan digunakan untuk mengukur tekanan konus sampai 150 kg/cm2, atau kedalam maksimal 30 m, dipakai untuk penyelidikan tanah yang terdiri dari lapisan lempung, lanau dan pasir halus. Sondir berat dapat mengukur tekanan konus 500 kg/cm2 atau


(33)

kedalaman maksimal 50 m, dipakai untuk penyelidikan tanah di daerah yang terdiri dari lempung padat, lanau padat dan pasir kasar.

Keuntungan utama dari penggunaan alat ini adalah tidak perlu diadakan pemboran tanah untuk penyelidikan.Tetapi tidak seperti pada pengujian SPT, dengan alat sondir sampel tanah tidak dapat diperoleh untuk penyelidikan langsung ataupun untuk uji laboratorium.Tujuan dari pengujian sondir ini adalah untuk mengetahui perlawanan penetrasi konus dan hambatan lekat tanah yang merupakan indikator dari kekuatan tanahnya dan juga dapat menentukan dalamnya berbagai lapisan tanah yang berbeda.

Dari alat penetrometer yang lazim dipakai, sebagian besar mempunyai selubung geser (bikonus) yang dapat bergerak mengikuti kerucut penetrasi tersebut.Jadi pembacaan harga perlawanan ujung konus dan harga hambatan geser dari tanah dapat dibaca secara terpisah. Ada 2 tipe ujung konus pada sondir mekanis yaitu pada (Gambar 2.1) :

1. Konus biasa, yang diukur adalah perlawanan ujung konus dan biasanya digunakan pada tanah yang berbutir kasar, dimana besar perlawanan lekatnya kecil;

2. Bikonus, yang diukur adalah perlawanan ujung konus dan hambatan lekatnya dan biasanya digunakan pada tanah yang berbutir halus.

Hasil penyelidikan dengan alat sondir ini pada umumnya digambarkan dalam bentuk grafik yang menyatakan hubungan antara kedalaman setiap lapisan tanah dengan besarnya nilai sondir yaitu perlawanan penetrasi konus atau perlawanan tanah terhadap ujung konus yang dinyatakan dalam gaya per satuan luas. Hambatan lekat adalah perlawanan geser tanah terhadap selubung bikonus


(34)

yang dinyatakan dalam gaya per satuan panjang. Darihasil sondir diperoleh nilai jumlah perlawanan (JP) dan nilai perlawanan konus (PK), sehingga hambatan lekat (HL) dapat dihitung sebagai berikut :

1. Hambatan Lekat (HL)

��= (�� − ��) ×� �

2. Jumlah Hambatan Lekat (JHL)

���=� ���

� �=0

Dimana :

JP = Jumlah perlawanan, perlawanan ujung konus + selimut (kg/cm2) PK = Perlawanan penetrasi konus, qc (kg/cm2)

A = Interval pembacaan (setiap kedalaman 20 cm) B = Faktor alat = luas konus/luas torak = 10 cm I = Kedalaman lapisan tanah yang ditinjau (m)

(2.1)


(35)

Data sondir tersebut digunakan untuk mengidentifikasikan dari profil tanah terhadap kedalaman.Hasil akhir dari pengujian sondir ini dibuat dengan menggambarkan variasi tahanan ujung (qc) dengan gesekan selimut (fs) terhadap

kedalamannya. Bila hasil sondir diperlukan untuk mendapatkan daya dukung tiang, maka diperlukan harga kumulatif gesekan (jumlah hambatan lekat), yaitu dengan menjumlahkan harga gesekan selimut terhadap kedalaman, sehingga pada kedalaman yang ditinjau dapat diperoleh gesekan total yang dapat digunakan untuk menghitung gesekan pada kulit tiang.

Besaran gesekan kumulatif (total friction) diadaptasikan dengan sebutan jumlah hambatan lekat (JHL).Bila hasil sondir digunakan untuk klasifikasi tanah, maka cara pelaporan hasil sondir yang diperlukan adalah menggambarkan tahanan ujung (qc), gesekan selimut (fs) dan ratio gesekan (fR) terhadap kedalaman tanah.

2.2.2 Standard Penetration Test (SPT)

Standard Penetration Test (SPT) sering digunakan untuk mendapatkan daya dukung tanah secara langsung di lokasi. Metode SPT merupakan percobaan dinamis yang dilakukan dalam suatu lubang bor dengan memasukkan tabung sampel yang berdiameter dalam 35 mm sedalam 305 mm dengan menggunakan massa pendorong (palu) seberat 63,5 kg yang jatuh bebas dari ketinggian 760 mm. Banyaknya pukulan palu tersebut untuk memasukkan tabung sampel sedalam 305 mm dinyatakan sebagai nilai N.

Tujuan dari percobaan SPT ini adalah untuk menentukan kepadatan relatif lapisan tanah dari pengambilan contoh tanah dengan tabung sehingga diketahui jenis tanah dan ketebalan tiap-tiap lapisan kedalaman tanah dan untuk


(36)

memperoleh data yang kualitatif pada perlawananpenetrasi tanah serta menetapkan kepadatan dari tanah yang tidak berkohesi yang biasa sulit diambil sampelnya. Percobaan SPT ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Siapkan peralatan SPT yang dipergunakan seperti: mesin bor, batang bor,

splitspoon sampler,hammer, dan lain-lain;

2. Letakkan dengan baik penyanggah tempat bergantungnya beban penumbuk. 3. Lakukan pengeboran sampai kedalaman testing, lubang dibersihkan dari

kotoranhasil pengeboran dari tabung segera dipasangkan pada bagian dasar lubang bor.

4. Berikan tanda pada batang peluncur setiap 15 cm, dengan total 45 cm.

5. Dengan pertolongan mesin bor, tumbuklah batang bor ini dengan pukulan palu seberat 63,5 kg dan ketinggian jatuh 76 cm hingga kedalaman tersebut, dicatat jumlah pukulan untuk memasukkan penetrasi setiap 15 cm (N value); Contoh : N1 = 10 pukulan/15 cm

N2 = 5 pukulan/15 cm N3 = 8 pukulan/15 cm

Maka total jumlah pukulan adalah jumlah N2 dengan N3 adalah 5 + 8 = 13 pukulan = nilai N. N1 tidak diperhitungkan karena dianggap 15 cm pukulan pertama merupakan sisa kotoran pengeboran yang tertinggal pada dasar lubang bor, sehingga perlu dibersihkan untuk memperkecil efisiensi gangguan.

6. Hasil pengambilan contoh tanah dari tabung tersebut dibawa ke permukaan dan dibuka. Gambarkan contoh jenis-jenis tanah yang meliputi komposisi,


(37)

struktur, konsistensi, warna dan kemudian masukkan ke dalam botol tanpa dipadatkan atau kedalaman plastik, lalu ke core box.

7. Gambarkan grafik hasil percobaan SPT.

Catatan : Pengujian dihentikan bila nilai SPT ≥ 50 untuk 4x interval.

2.3 Macam-Macam Pondasi

Pondasi adalah bagian terendah bangunan yang meneruskan beban bangunan ke tanah atau batuan yang berada dibawahnya. Klasifikasi pondasi dibagi 2 (dua) yaitu:

a. Pondasi dangkal

Pondasi dangkal adalah pondasi yang mendukung beban secara langsung seperti :

1. Pondasi memanjang yaitu pondasi yang digunakan untuk mendukung sederetan kolom yang berjarak dekat sehingga bila dipakai pondasi telapak sisinya akan terhimpit satu sama lainnya (Gambar 2.2a).

2. Pondasi telapak yaitu pondasi yang berdiri sendiri dalam mendukung kolom (Gambar 2.2b).

3. Pondasi rakit (raft foundation) yaitu pondasi yang digunakan untuk mendukung bangunan yang terletak pada tanah lunak atau digunakan bila susunan kolom-kolom jaraknya sedemikian dekat disemua arahnya, sehingga bila dipakai pondsi telapak, sisi- sisinya berhimpit satu sama lainnya (Gambar 2.2c).


(38)

Gambar 2.2 (a) Pondasi memanjang (lajur). (b) Pondasi setempat. (c) Pondasi rakit. (Sumber: Hardiyatmo, H. C.,1996).

b. Pondasi dalam

Pondasi dalam adalah pondasi yang meneruskan beban bangunan ke tanah keras atau batu yang terletak jauh dari permukaan, seperti:

1. Pondasi sumuran (pier foundation) yaitu pondasi yang merupakan peralihan antara pondasi dangkal dan pondsi tiang (Gambar 2.3a), digunakan bila tanah dasar yang kuat terletak pada kedalaman yang 12

(a) (b)


(39)

relative dalam, dimana pondasi sumuran Df/B > 4 sedangkan pondasi dangkal Df/B ≤ 1, kedalaman (Df) dan lebar (B).

2. Pondasi tiang (pile foundation), digunakan bila tanah pondasi pada kedalaman yang normal tidak mampu mendukung bebannya dan tanah kerasnya terletak pada kedalaman yang sangat dalam (Gambar 2.3b). Pondasi tiang umumnya berdiameter lebih kecil dan lebih panjang dibanding dengan pondasi sumuran (Bowles, J. E., 1991).

3.

Gambar 2.3 (a) Pondasi sumuran. (b) Pondasi tiang.(Sumber:


(40)

2.4 Pondasi Tiang

Pondasi tiang dapat digolongkan berdasarkan pemakaian bahan, cara tiang meneruskan beban dan cara pemasangannya, berikut ini akan dijelaskan satu persatu.

2.4.1 Pondasi Tiang Menurut Pemakaian Bahan dan Karakteristik Strukturnya.

Tiang pondasi dapat dibagi kedalam beberapa kategori (Bowles, J. E., 1991), antara lain :

A. Tiang Kayu

Tiang kayu dibuat dari kayu yang biasanya diberi pengawet dan ditekankan dengan ujungnya yang kecil sebagai bagian yang runcing. Tapi biasanya apabila ujungnya yang besar atau pangkal dari pohon di tekankan untuk tujuan maksud tertentu, seperti dalam tanah yang sangat lembek dimana tanah tersebut akan kembali memberikan perlawanan dan dengan ujungnya yang tebal terletak pada lapisan yang keras untuk daya dukung yang lebih besar.

Tiang kayu akan tahan lama dan tidak mudah busuk apabila tiang tekan kayu tersebut dalam keadaan selalu terendam penuh dibawah muka air tanah dan tiang tekan kayu akan lebih cepat rusak apabila dalam keadaan kering dan basah selalu berganti-ganti, sedangkan pengawetan dengan pemakaian obat pengawet pada kayu hanya akan menunda dan memperlambat kerusakan dari kayu, dan tidak dapat melindungi kayu dalam jangka waktu yang lama.


(41)

Oleh karena itu pondasi untuk bangunan-bangunan permanen (tetap) yang didukung oleh tiang kayu, maka puncak dari pada tiang kayu tersebut diatas harus selalu lebih rendah dari pada ketinggian dari pada muka air tanah terendah. Pada pemakaian tiang tekan kayu biasanya tidak diizinkan untuk menahan muatan lebih tinggi 25 sampai 30 ton untuk satu tiang.

B. Tiang Beton

Tiang jenis ini terbuat dari beton seperti biasanya. Tiang ini dapat dibagi dalam 3 macam berdasarkan cara pembuatannya (Bowles, J. E., 1991), yaitu:

a. Precast Reinforced Concrete Pile

Precast Reinforced Concrete Pile adalah tiang beton bertulang yang dicetak dan dicor dalam acuan beton (bekisting) yang setelah cukup keras kemudian diangkat dan ditekankan. Karena tegangan tarik beton kecil dan praktis dianggap sama dengan nol, sedangkan berat sendiri beton besar, maka tiang tekan ini harus diberikan penulangan yang cukup kuat untuk menahan momen lentur yang akan timbul pada waktu pengangkatan dan pemancangan. Tiang ini dapat memikul beban yang lebih besar dari 50 ton untuk setiap tiang, hal ini tergantung pada jenis beton dan dimensinya. Precast Reinforced Concrete Pile penampangnya dapat berupa lingkaran, segi empat, segi delapan dapat dilihat pada (Gambar 2.4).


(42)

Gambar 2.4 TiangPrecast Reinforced Concrete Pile(Bowles, J. E., 1991)

b. Precast Prestressed Concrete Pile

Tiang Precast Prestressed Concrete Pile adalah tiang beton yang dalam pelaksanaan pencetakannya sama seperti pembuatan beton prestess, yaitu dengan menarik besi tulangannya ketika dicor dan dilepaskan setelah beton mengeras seperti dalam (Gambar 2.5). Untuk tiang jenis ini biasanya dibuat oleh pabrik yang khusus membuat tiang tekan, untuk ukuran dan panjangnya dapat dipesan langsung sesuai dengan yang diperlukan.

Gambar 2.5 Tiang tekan Precast Prestressed Concrete Pile (Bowles, J. E., 1991)


(43)

c. Cast in Place

Cast in Place merupakan tiang yang dicor ditempat dengan cara membuat lubang ditanah terlebih dahulu dengan cara melakukan pengeboran.Pada Cast in Place ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1. Dengan pipa baja yang ditekankan ke dalam tanah, kemudian diisi dengan beton dan ditumbuk sambil pipa baja tersebut ditarik keatas.

2. Dengan pipa baja yang ditekan ke dalam tanah, kemudian diisi dengan beton sedangkan pipa baja tersebut tetap tinggal di dalam tanah.

Gambar 2.6 Tiang tekan Cast in place pile (Sardjono, 1991)

C. Tiang Baja

Kebanyakan tiang tekan baja ini berbentuk profil H. Karena terbuat dari baja maka kekuatan dari tiang ini sendiri sangat besar sehingga dalam


(44)

pengangkutan dan instalasi tidak menimbulkan bahaya patah seperti halnya pada tiang beton precast. Jadi pemakaian tiang baja ini akan sangat bermanfaat apabila kita memerlukan tiang yang panjang dengan tahanan ujung yang besar.

Tingkat karat pada tiang baja sangat berbeda-beda terhadap tekstur tanah, panjang tiang yang berada dalam tanah dan keadaan kelembaban tanah.

a. Pada tanah yang memiliki tekstur tanah yang kasar/kesap, maka karat yang terjadi karena adanya sirkulasi air dalam tanah tersebut hampir mendekati keadaan karat yang terjadi pada udara terbuka;

b. Pada tanah liat ( clay) yang mana kurang mengandung oksigen maka akan menghasilkan tingkat karat yang mendekati keadaan karat yang terjadi karena terendam air;

c. Pada lapisan pasir yang dalam letaknya dan terletak dibawah lapisan tanah yang padat akan sedikit sekali mengandung oksigen maka lapisan pasir tersebut juga akan akan menghasilkan karat yang kecil sekali pada tiang tekan baja.

Pada umumnya tiang baja akan berkarat di bagian atas yang dekat dengan permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena Aerated-Condition (keadaan udara pada pori-pori tanah) pada lapisan tanah tersebut dan adanya bahan-bahan organis dari air tanah.Hal ini dapat ditanggulangi dengan memoles tiang baja tersebut dengan ter (coaltar) atau dengan sarung beton sekurang-kurangnya 20” (± 60 cm) dari muka air tanah terendah.

Karat/korosi yang terjadi karena udara (atmosphere corrosion) pada bagian tiang yang terletak di atas tanah dapat dicegah dengan pengecatan seperti pada konstruksi baja biasa.


(45)

Gambar 2.7 Tiang baja (Sardjono, 1991)

D. Tiang Komposit

Tiang tekan komposit adalah tiang yang terdiri dari dua bahan yang berbeda yang bekerja bersama-sama sehingga merupakan satu tiang. Kadang-kadang pondasi tiang dibentuk dengan menghubungkan bagian atas dan bagian bawah tiang dengan bahan yang berbeda, misalnya dengan bahan beton di atas muka air tanah dan bahan kayu tanpa perlakuan apapun disebelah bawahnya. Biaya dan kesulitan yang timbul dalam pembuatan sambungan menyebabkan cara ini diabaikan.

1. Water Proofed Steel and Wood pile

Tiang ini terdiri dari tiang kayu untuk bagian yang di bawah permukaan air tanah sedangkan bagian atas adalah beton. Kita telah mengetahui bahwa kayu akan tahan lama/awet bila terendam air, karena itu bahan kayu disini diletakan di bagian bawah yang mana selalu terletak dibawah air tanah.


(46)

Kelemahan tiang ini adalah pada tempat sambungan apabila tiang tekan ini menerima gaya horizontal yang permanen. Adapun cara pelaksanaanya secara singkat sebagai berikut:

a. Casing dan core (inti) ditekan bersama-sama dalam tanah hingga mencapai kedalaman yang telah ditentukan untuk meletakan tiang tekan kayu tersebut dan ini harus terletak dibawah muka air tanah yang terendah.

b. Kemudian core ditarik keatas dan tiang tekan kayu dimasukan dalam casing dan terus ditekan sampai mencapai lapisan tanah keras.

c. Secara mencapai lapisan tanah keras pemancangan dihentikan dan core

ditarik keluar dari casing. Kemudian beton dicor kedalam casing sampai penuh terus dipadatkan dengan menumbukkan core ke dalam casing. 2. Composite Dropped in-Sheel and Wood Pile

Tipe tiang ini hampir sama dengan tipe diatas hanya bedanya di sini memakai shell yang terbuat dari bahan logam tipis permukaannya di beri alur spiral. Secara singkat pelaksanaanya sebagai berikut:

a. Casing dan core ditekan bersama-sama sampai mencapai kedalaman yang telah ditentukan di bawah muka air tanah.

b. Setelah mencapai kedalaman yang dimaksud core ditarik keluar dari casing dan tiang kayu dimasukkan dalam casing terus ditekan sampai mencapai lapisan tanah keras. Pada pemancangan tiang kayu ini harus diperhatikan benar-benar agar kepala tiang tidak rusak atau pecah. c. Setelah mencapai lapisan tanah keras core ditarik keluar lagi dari casing.


(47)

d. Kemudian shell berbentuk pipa yang diberi alur spiral dimasukkan dalam casing. Pada ujung bagian bawah shell dipasang tulangan berbentuk sangkar yang mana tulangan ini dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat masuk pada ujung atas tiang tekan kayu tersebut.

e. Beton kemudian dicor kedalam shell. Setelah shell cukup penuh dan padat casing ditarik keluar sambil shell yang telah terisi beton tadi ditahan terisi beton tadi ditahan dengan cara meletakkan core diujung atas shell.

3. Composite Ungased-Concrete and Wood Pile

Dasar pemilihan tiang composit tipe ini adalah:

• Lapisan tanah keras dalam sekali letaknya sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan cast in place concrete pile, sedangkan kalau menggunakan precast concrete pile terlalu panjang, akibatnya akan susah dalam transport dan mahal.

• Muka air tanah terendah sangat dalam sehingga bila menggunakan tiang tekan kayu akan memerlukan galian yang cukup dalam agar tiang tekan kayu tersebut selalu berada dibawah permukaan air tanah terendah. Adapun prinsip pelaksanaan tiang composite ini adalah sebagai berikut: a. Casing baja dan core ditekan bersama-sama dalam tanah sehingga

sampai pda kedalaman tertentu ( di bawah m.a.t )

b. Core ditarik keluar dari casing dan tiang tekan kayu dimasukkan casing


(48)

c. Setelah sampai pada lapisan tanah keras core dikeluarkan lagi dari

casing dan beton sebagian dicor dalam casing. Kemudian core

dimasukkan lagi dalam casing.

d. Beton ditumbuk dengan core sambil casing ditarik ke atas sampai jarak tertentu sehingga terjadi bentuk beton yang menggelembung seperti bola diatas tiang tekan kayu tersebut.

e. Core ditarik lagi keluar dari casing dan casing diisi dengan beton lagi sampai padat setinggi beberapa sentimeter diatas permukaan tanah. Kemudian beton ditekan dengan core kembali sedangkan casing ditarik keatas sampai keluar dari tanah.

f. Tiang composit telah selesai.

Tiang composit seperti ini sering dibuat oleh The Mac Arthur Concrete Pile Corp.

4. Composite Dropped-Sheel and Pipe Pile

Dasar pemilihan tipe tiang seperti ini adalah:

• Lapisan tanah keras letaknya terlalu dalam bila digunakan cast in place concrete.

• Muka air tanah terendah terlalu dalam kalau digunakan tiang composit yang bagian bawahnya terbuat dari kayu.

Cara pelaksanaan tiang tipe ini adalah sebagai berikut:

a. Casing dan core dipasang bersama-sama sehingga casing seluruhnya masuk dalam tanah. Kemudian core ditarik.


(49)

b. Tiang pipa baja dengan dilengkapi sepatu pada ujung bawah dimasukkan dalam casing terus ditekan dengan pertolongan core sampai ke tanah keras.

c. Setelah sampai pada tanah keras kemudian core ditarik keatas kembali. d. Kemudian shell yang beralur pada dindingnya dimasukkan dalam casing

hingga bertumpu pada penumpu yang terletak diujung atas tiang pipa baja. Bila diperlukan pembesian maka besi tulangan dimasukkan dalam

shell dan kemudian beton dicor sampai padat.

e. Shell yang telah terisi dengan beton ditahan dengan core sedangkan casing ditarik keluar dari tanah. Lubang disekeliling shell diisi dengan tanah atau pasir. Variasi lain pada tipe tiang ini dapat pula dipakai tiang pemancang baja H sebagai ganti dari tiang pipa.

5. Frankie Composite Pile

Prinsip tiang hampir sama dengan tiang franki biasa hanya bedanya disini pada bagian atas dipergunakan tiang beton precast biasa atau tiang profil H dari baja.

Adapun cara pelaksanaan tiang composit ini adalah sebagai berikut: a. Pipa dengan sumbat beton dicor terlebih dahulu pada ujung bawah pipa

baja ditekan dalam tanah dengan drop hammer sampai pada tanah keras. Cara pemasangan ini sama seperti pada tiang franki biasa.

b. Setelah pemancangan sampai pada kedalaman yang telah direncanakan, pipa diisi lagi dengan beton dan terus ditumbuk dengan drop hammer

sambil pipa ditarik lagi ke atas sedikit sehingga terjadi bentuk beton seperti bola.


(50)

c. Setelah tiang beton precast atau tiang baja H masuk dalam pipa sampai bertumpu pada bola beton pipa ditarik keluar dari tanah.

d. Rongga disekitar tiang beton precast atau tiang baja H diisi dengan kerikil atau pasir.

2.5 Metode Penekanan 2.5.1 Hydraulic system

Hidrolic system adalah suatu metode penekanan pondasi tiang dengan menggunakan mekanisme hydraulic jacking foundation system, dimana sistem ini telah mendapatkan hak paten dari United States, United Kingdom, China dan New Zealand.

Sistem ini terdiri dari suatu hydraulic ram yang ditempatkan paralel dengan tiang yang akan ditekan, dimana untuk menekan tiang tersebut ditempatkan sebuah mekanisme berupa plat penekan yang berada pada puncak tiang dan juga ditempatkan sebuah mekanisme pemegang (grip) tiang, kemudian tiang ditekan ke dalam tanah. Dengan sistem ini tiang akan tertekan secara kontiniu ke dalam tanah, tanpa suara, tanpa pukulan dan tanpa getaran.

Penempatan sistem penekan hydraulic yang senyawa dan menjepit pada dua sisi tiang menyebabkan didapatkannya posisi titik tekan yang cukup presisi dan akurat.Ukuran diameter piston mesin hydraulic jack tergantung dengan besar kapasitas daya dukung mesin tersebut. Sebagai pembebanan, ditempatkan balok– balok beton atau plat–plat besi pada dua sisi bantalan alat yang pembebanannya disesuaikan dengan muatan yang dibutuhkan tiang.


(51)

Keunggulan teknologi hidrolik sistem ini yang ditinjau dari beberapa segi, antara lain adalah :

1. Bebas getaran.

Bila suatu proyek yang akan dikerjakan berdampingan dengan bangunan, pabrik atau instansi yang sarat akan peralatan instrumentasi yang sedang bekerja, maka teknologi hydraulic jacking system ini akan menyelesaikan masalah wajib bebas getaran terhadap instalasi yang ada tersebut.

2. Bebas pengotoran lokasi kerja dan udara serta bebas dari kebisingan Teknologi penekanannya bersih dari asap dan partikel debu (jika menggunakan drop hammer) serta bebas dari unsur berlumpur (jika menggunakan bore piles). Karena sistem ini juga tidak bising akibat suara pukulan tekan (seperti pada drop hammer), maka untuk lokasi yang membutuhkan ketenangan seperti rumah sakit, sekolah dan bangunan di tengah kota, teknologi ini tidak akan membuat lingkungan sekitarnya terganggu. hydraulic jacking system ini juga disebut dengan teknologi berwawasan lingkungan (environment friendly).

3. Daya dukung aktual per tiang diketahui.

Seperti kita ketahui bahwa kondisi tanah asli di bawah pondasi yang akan dibangun umumnya terdiri dari lapisan–lapisan yang berbeda ketebalannya, jenis tanah maupun daya dukungnya. Dengan hydraulic jacking system, daya dukung setiap tiang dapat diketahui dan dimonitor langsung dari manometeryang dipasang pada peralatan hydraulic jacking system sepanjang proses pemancangan berlangsung.


(52)

4. Harga yang ekonomis

Teknologi hydraulic jacking ini tidak memerlukan pemasangan tulangan ekstra penahan impack pada kepala tiang tekan seperti pada tiang tekan umumnya.Disamping itu, dengan sistem pemancangan yang simpel dan cepat menyebabkan biaya operasional yang lebih hemat.

5. Lokasi kerja yang terbatas

Dengan tinggi alat yang relatif rendah, hydraulic jacking system ini dapat digunakan pada basement, ground floor atau lokasi kerja yang terbatas, alat

hydraulic jacking system ini dapat dipisahkan menjadi beberapa komponan sehingga memudahkan untuk dapat dibawa masuk atau keluar lokasi kerja.

Kekurangan dari teknologi, hydraulic jacking system antara lain adalah :

1. Apabila terdapat batu atau lapisan tanah keras yang tipis pada ujung tiang yang ditekan, maka hal tersebut akan mengakibatkan kesalahan pada saat pemancangan.

2. Sulitnya mobilisasi alat pada daerah lunak ataupun pada daerah berlumpur (biasanya pada areal tanah timbunan).

3. Karena hydraulic jacking ini mempunyai berat sekitar 320 ton dan saat permukaan tanah yang tidak sama daya dukungnya, maka hal tersebut akan dapat mengakibatkan posisi alat tekan menjadi miring bahkan tumbang. Kondisi ini akan sangat berbahaya terhadap keselamatan pekerja.

4. Pergerakan alat hydraulic jacking ini sedikit lambat, proses pemindahannya relatif lama untuk pemancangan titik yang berjauhan.


(53)

2.5.2 Tahapan Pelaksanaan Hydraulic System

Secara garis besar penekanan dengan hydraulic static pile driver untuk operasinya menggunakan sistem jepit kemudian menekan tiang tersebut.

Metode pelaksanaan HSPD seabagai berikut :

a. Tentukan/tetapkan penggunanaan tanda–tanda yang disepakati yang digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan pengukuran dan pematokan agar tidak terjadi keracuan dalam membedakan titik–titik pemancangan dengan titik as bangunan atau titik–titik bantuan lainnya.

b. Untuk menghindari terjadi pergeseran as tiang dari koordinat yang telah ditentukan maka gunakan titik bantu selama proses penekanan tiang kedalam tanah. Lakukanlah pengukuran as tiang terhadap titik bantu pada kedalaman 2 meter dengan menggunakan waterpass , apabila terjadi penyimpangan jarak antara as tiang dan as titik bantu, apabila posisi tiang yang tertanam masih dapat dilakukan pengangkatan atau pencabutan dan posisikan kembali as tiang tepat pada koordinat yang telah ditentukan.

c. Check verticality tiang tekan setiap kedalaman 50 cm s/d kedalaman 2 meter. d. Proses awal dari penekanan tiang dengan sistem tekan, posisikan alat HSPD

unit pada koordinat yang ditentukan, check keadaan HSPD unit dalam keadaan rata dengan bantuan alat “ Nivo” yang terdapat dalam ruang operator dibantu dengan alat waterpass yang diletakkan pada posisi chasis panjang. e. Selanjutnya setelah kondisi HSPD unit tepat pada posisinya, tiang tekan

dimasukan kedalam alat penjepit, kemudian posisikan tiang tekan tepat pada koordinat telah ditentukan, kontrol posisi tiang pada arah tegak dengan bantuan waterpass. Setelah semuanya terpenuhi selanjutnya dilakukan


(54)

penjepitan tiang dengan tekanan maksimum 20 Mpa dibaca pada manometer C.

f. Setelah penjepitan dilakukan, kemudian lakukan penekanan tiang tekan, sampai mencapai daya dukung yang diijinkan. Dalam proses penekanan tiang harus dicatat (pilling record) tekanan yang timbul vs kedalaman tiang tertanam. Selama proses penekanan tersebut lakukan pengukuran kembali posisi as tiang terhadap titik bantu gunakan format – 01. ( tiap 2 meter kedalaman tiang tertanam).

g. Apabila dalam proses penekanan tiang ternyata tiang tersebut tidak dapat ditekan lagi,sehingga mengakibatkan tiang terdapat sisa diatas permukaan tanah, maka tiang tersebut harus dipotong rata tanah untuk memberikan jalan kerja bagi HSPD unit untuk berpindah ketitik yang lain

h. Setelah proses tersebut dilakukan secara benar, kemudian lakukanlah pengukuran ulang posisi tiang, sehingga apabila terjadi pergeseran as tiang terpasang dan rencana dapat segera diketahui, yang selanjutnya akan dibuatkan keputusan cara-cara perbaikan dari pergeseran tersebut.


(55)

Gambar 2.8 Skema mesin Hydraulic Static Pile Driver

Parameter yang digunakan sebagai acuan bahwa penekanan tiang bisa dihentikan :

• bacaan tekanan pada pressure gauge sudah mencapai tekanan dimana

apabila nilai tersebut dikonversikan ke daya dukung tiang, maka daya dukung desain tiang telah terpenuhi

• alatjack-in pile terangkat dan bila dilakukan penetrasi lagi sudah tidak mampu lagi.

Seletah proses pemancangan dihentikan, selanjutnya dilakukan pencatatan

(record) yang berisi tinggi tiang tertanam dan bacaan tekanan dari pressure gauge

alat pancang.

2.6 Pelaksanaan Pekerjaan Pemasangan Tiang

Pembuatan pondasi tiang harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat.Hal-hal berikut ini seyogyanya perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pondasi tiang.


(56)

2.6.1 Hubungan Antara Perubahan Sifat Tanah pada Tanah Asli Akibat Pemasangan Tiang dan Teknik Pemasangannya.

Dalam melaksanakan pekerjaan pemasangan tiang, perubahan sifat kerapatan tanah pada tanah pasti tidak dapat dihindari. Hubungan antara teknik pemasangan tiang dan perubahan sifat tanah pondasi adalah sebagai berikut:

Table 2.1 Hubungan Antara Teknik Pemasangan Tiang dan Perubahan Sifat Tanah Pondasi

Teknik Pemasangan Perubahan Sifat Tanah Pondasi Cara pemancangan Tanah pondasi akan terpadatkan Cara penimbunan

Tanah pondasi menjadi mudah terurai (lepas)

Cara dengan memakai tiang yang di cor di tempat

(Sumber: Nakazawa.K., 2000) Alasannya adalah pada cara pemancangan, sejumlah tanah yang volumenya sama dengan volume tiang, akan terdesak ketika tiang ditekan kedalam tanah, dan pada cara penimbunan dan cara pengecoran di tempat, keseimbangan tekanan tanah akan lenyap ketika lubang digali dan selanjutnya sejumlah tanah akan berpindah tempat.

2.6.2 Pergerakan Tanah Pondasi

Karena pemancangan tiang, tanah pondasi dapat bergerak, karena sebagian tanah yang digantikan oleh tiang akan bergeser, dan sebagai hasilnya


(57)

kadanag-kadang mengakibatkan bangunan-bangunan yang berada di dekatnyaakan bergerak dalam arah horizontal, maupun dalam arah vertical, tergantung pada kesempatan yang dimilikinya.

Pada Gambar 2.9 Memperlihatkan keadaan dimana pondasi tiang suatu bangunan pabrik bergerak dalam arah horizontal akibat adanya tiang-tiang yang ditekankan di dekatnya.Dalam hal ini, pondasi tiang pabrik bergerak sekita 6 sampai 7 m.

Gambar 2.9 Pergeseran existing building akibat pemancangan tiang. (Nakazawa.K., 2000)

Oleh sebab itu seperti yang sudah kita bahas di atas, kita perlu mengumpulkan segala daya yang memungkinkan dalam pembangunannya, sehingga selain tidak terjadi peralihan tempat (displacement) pada tanah pondsi atau bangunan di dekatnya, tetapi juga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.


(58)

2.7 Settlement(Penurunan)

Dalam bidang teknik sipil ada dua hal yang perlu diketahui mengenai penurunan, yaitu :

1. Besarnya penurunan yang akan terjadi. 2. Kecepatan penurunan.

Istilah penurunan (settlement) digunakan untuk menunjukkan gerakan titik tertentu pada bangunan terhadap titik referensi yang tetap.Umumnya, penurunan yang tidak seragam lebih membahayakan bangunan dari pada penurunan totalnya.Contoh kerusakan bangunan akibat penurunan Gambar 2.1

Gambar 2.10 Contoh kerusakan bangunan akibat penurunan (Hardiyatmo.H.C., 2011)

a. Pada Gambar (a), dapat diperhatikan jika tepi bangunan turun lebih besar dari bagian tengahnya, bangunan diperkirakan akan retak-retak pada bagian tengahnya.

b. Pada Gambar (b), jika bagian tengah bangunan turun lebih besar, bagian atas bangunan dalam kondisi tertekan dan bagian bawah tertarik. Bila deformasi


(59)

(2.3) yang terjadi sangat besar, tegangan tarik yang berkembang dibawah bangunan dapat mengakibatkan retakan-retakan.

c. Pada Gambar (c), penurunan satu tepi/sisi dapat berakibat keretakan pada bagian c.

d. Pada Gambar (d), penurunan terjadi berangsur-angsur dari salah satu tepi bangunan, yang berakibat miringnya bangunan tanpa terjadi keretakan pada bagian bangunan.

Penurunan (settlement) pada tanah yang disebabkan oleh pembebanan dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:

1. penurunan konsolidasi, merupakan hasil dari perubahan volume tanah jenuh air sebagai akibat dari keluarnya air yang menempati pori-pori tanah.

2. Penurunan segera, merupakan akibat dari deformasi elastis tanah kering, basah, dan jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air. Perhitungan penurunan segera umunya didasarkan pda penurunan yang diuturunkan dari teori elastisitas.

Penurunan total adalah jumlah penurunan segera dan penurunan konsolidasi. Bila dinyatakan dalam bentuk persamaan penurunan total adalah:

�� = � + ��+�� Dimana :

�� = penurunan total

S = penurunan akibat konsolidasi primer Ss = penurunan akibat konsolidasi sekunder


(60)

(2.4)

�� = penurunan segera

2.7.1 Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement)

Bila suatu lapisan tanah jenuh yang permeabilitasnya rendah dibebani, maka tekanan air pori dalam tanah tersebut akan bertambah. Perbedaan tekanan air pori pada lapisan tanah, berakibat air mengalir ke lapisan tanah yang tekanan air porinya lebih rendah, yang diikuti proses penurunan tanahnya. Karena permeabilitasnya rendah akibat pembebanan, dimana prosesnya dipengaruhi oleh kecepatan terlepasnya air pori keluar dari rongga tanah.

Penambahan beban di atas permukaan tanah dapat menyebabkan lapisan tanah di bawahnya mengalami pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan karena adanya deformasi partikel tanah, keluarnya air atau udara dari dalam pori. Faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan dengan keadaan tanah yang bersangkutan.

Bilamana suatu lapisan tanah jenuh air diberi penambahan beban, angka tekanan air pori akan naik secara mendadak. Keluarnya air dari dalam pori selalu disertai dengan berkurangnya volume tanah yang menyebabkan penurunan lapisan tanah tersebut. Bila suatu lapisan tanah diberi penambahan tegangan, maka penambahan tegangan akan diteruskan ke air pori dan butiran tanah. Hal ini berarti bahwa penambahan tegangan akan terbagi sebagian ke tegangan efektif dan sebagian lagi ke tegangan air pori. Secara prinsip dapat dirumuskan :


(61)

Dimana :

Δσ = penambahan tekanan total Δσ = penambahan tekanan efektif Δμ = penambahan tekanan pori

Tanah lempung mempunyai daya rembesan yang sangat rendah, dan air adalah zat yang tidak begitu termampatkan dibandingkan dengan butiran tanah. Oleh karena itu pada saat t = 0, seluruh penambahan tegangan Δσ akan dipikul oleh air sehingga Δσ = Δμ pada seluruh kedalaman lapisan tanah. Tidak sedikitpun dari penambahan tegangan tersebut akan dipikul oleh butiran tanah (jadi penamhahan tegangan efektit e Δσ = 0 ).

Sesaat setelah penambahan tegangan.air dalam ruang pori mulai tertekan dan akan mengalir keluar dalam dua arah menuju lapisan pasir. Dalam proses ini, tekanan air pori pada tiap kedalaman akan berkurang secara perlahan dan tegangan yang dipikul oleh butiran tanah akan bertambah. Jadi pada saat 0 < t <∞.

�� = ∆�′ + �� ( ��′> 0 ����� < �� )

Secara teori, pada saat t = ∞, seluruh kelebihan tekanan air pori sudah hilang dari lapisan tanah lempung, jadi Δμ = 0, sekarang penambahan tegangan total akan dipikul oleh butir tanah, jadi: Δσ = e Δσ . Proses keluarnya air dari dalam poripori

tanah, sebagai akibat dari penambahan beban, yang disertai dengan pemindahan kelebihan tekanan air ke tegangan efektif akan menyebabkan terjadinya penurunan.

Konsolidasi merupakan proses keluarnya air dari dalam pori-pori tanah secara perlahan-lahan, sebagai akibat dari adanya penambahan beban, yang disertai dengan pemindahan kelebihan tekanan air pori ke tegangan


(62)

(2.5)

(2.6)

(2.7) efektif akan menyebabkan terjadinya penurunan yang merupakan fungsi dari waktu (time-dependent settlement) pada lapisan tanah lempung.

Penurunan konsolidasi dapat dibagi dalam tiga fase dimana :

1. Fase awal, yaitu fase dimana terjadi penurunan segera setelah bekerja. Pada umunya penurunan ini disebabkan oleh pembebanan awal.

2. Fase konsolidasi primer atau konsolidasi hidrodinamis, yaitu penurunan yang dipengaruhi oleh kecepatan aliran air yang meninggalkan tanahnya akibat adanya tekanan.

3. Fase konsolidasi sekunder, merupakan lanjutan dari proses konsolidasi primer, dimana setelah tekanan air pori hilang seluruhnya.

Untuk menghitung penurunan akibat konsolidasi primer dapat digunakan rumus:

a. Penurunan untuk lempung normally consolidated �= ��.�

1+�0��� �

��+∆�

�� �

b. Untuk lempung overconsolidated

1. Bila (�+∆� ≤ �)

�= ��.�� 1 +�0��� �

��(�)+∆�(�)

��(�) �

2. Bila(�+∆�>�)

�= ��.��

1+�0��� �

��

��(�)�+

���

1+�0��� �

��+∆�

�� � Dimana :


(63)

(2.12) (2.8)

(2.9)

(2.10) Cs = indeks pemuaian (swell index)

H = tebal lapisan tanah eo = angka pori awal

�� = tekanan efektif rata-rata Δp = besar penambahan tekanan

Besarnya konsolidasi sekunder dapat dihitung sebagai berikut:

�� =��′� log⁡(�2/�1)

dimana:

��′ =��/⁡(1 +��)

�� = angka pori pada akhir konsolidasi primer H = tebal lapisan lempung

Untuk menghitung indeks pemampatan lempung yang teruktur tanahnya belum terganggu belum rusak, menurut Terzaghi, K., and Peck, R. B., (1967) seperti yang dikutip Braja M. Das (1995) menyatakan penggunaan rumus empiris sebagai berikut :

�� = 0,009 (�� −10),dengan LL adalah Liquid Limit dalam persen.

Indeks pemuaian lebih kecil daripada indeks pemampatan dan biasanya dapat ditentukan di laboratorium. Pada umumnya,

�� ≅ 15������101 ��

indeks pemampatan sekunder (�) dapat didefinisikan sebagai berikut:

�� = log ∆�

2− ����1

= ∆�

log⁡(�2


(64)

(2.11) dimana:

∆� = perubahan angka pori

�1,�2 = waktu

2.7.2 Penurunan Segera (Immediate Settlement)

Penurunan segera atau penurunan elastis dari suatu pondasi terjadi segera setelah pemberian beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan kadar air. Besarnva penurunan ini bergantung pada ketentuan dari pondasi dan tipe material dimana pondasi itu berada.

Penurunan segera untuk fondasi yang berada di atas material yang elastis (dengan ketebalan yang tak terbatas) dapat dihitung dari persamaan-persamaan yang diturunkan dengan menggunakan prinsip dasar teori elatis. Bentuk persamaan tersebut adalah sebagai berikut:

�� = �.�

1− �2

� ��

dimana:

�� = penurunan elastis

p = tekanan bersih yang dibebankan

B = lebar pondasi (= diameter pondasi yang berbentuk lingkaran)

� = angka Poisson

E = modulus elastisitas tanah (modulus Young)


(65)

(2.13) (2.12) Schleincer (1926) memberikan persamaan factor pengaruh untuk bagian ujung dari pondasi persegi yang lentur sebagai berikut:

�� =1��1 �� �

1+��12+1

�1 �+�� ��1+��1

2+ 1��

dimana:

�1 =

panjang pondasi lebar pondasi

2.7.3 Kecepatan Waktu Penurunan

Lamanya waktu penurunan yang diperhitungkan adalah waktu yang dibutuhkan oleh tanah untuk melakukan proses konsolidasi. Hal ini dikarenakan proses penurunan segera (immediate settlement) berlangsung sesaat setelah beban bekerja pada tanah (t = 0). Waktu penurunan akibat proses konsolidasi primer tergantung pada besarnya kecepatan konsolidasi tanah lempung yang dihitung dengan memakai koefisien konsolidasi (Cv), panjang aliran rata-rata yang harus ditempuh air pori selama proses konsolidasi (Hdr), serta faktor waktu (Tv). Faktor waktu (Tv) ditentukan berdasarkan derajat konsolidasi (U) yang merupakan perbandingan penurunan lapisan lempung pada saat t (St), dengan penurunan batas lapisan lempung yang disebabkan oleh konsolidasi primer (S).

� =�� �


(66)

(2.14)

(2.15)

(2.16) Cassagrande (1938) dan Taylor (1948) yang dikutip dari Braja M. Das (1994) memberikan hubungan U dan Tv sebagai berikut :

Untuk u < 60%

�� =� 4�

2

Untuk u > 60%

�� = 1,781 – 0,933 ��� (100 – �%)

Untuk menghitung waktu konsolidasi digunakan persamaan berikut:

�=��.���

2

��

Panjang aliran rata-rata ditentukan sebagai berikut :

 Untuk tanah dimana air porinya dapat mengalir kearah atas dan bawah, maka Hdr sama dengan setengah tebal lapisan tanah yang mengalami konsolidasi.  Untuk tanah dimana air porinya hanya dapat mengalir keluar dalam satu arah

saja, maka Hdr sama dengan tebal lapisan tanah yang mengalami konsolidasi.

2.7.4 Penurunan Ijin Bangunan

Beberapa contoh tipe penurunan bangunan diperlihatkan dalam Gambar 2.11.Gambar 2.11a menyajikan penurunan seragam yang banyak ditemui pada bangunan yang sangat kaku. Gambar 2.11b memperlihatkan bangunan yang miring akibat beda penurunan dari ujung ke ujung bangunan yang besar, sehingga


(67)

bangunan berotasi. Gambar 2.11c menunujukkan kondisi yang banyak ditemui pada struktur yang mengalami penurunan tak seragam.Disini, penurunan berbentuk cekungan seerti mangkuk. Penurunan tak seragam diantara pondasi-pondasi disebabkan oleh beberapa faktor:

1. sifat tanah yang tidak seragam, walaupun tanah Nampak homogen. 2. Bentuk dari lapisan tanaj tidak beraturan.

3. Beban bangunan tidak disebarkan ke kolom-kolom secara sama.

Penurunan tak seragam adalah penurunan terbesar dikurangi penurunan terkecil atau �= ����� − ����. Penurunan tak sergam juga dikarakteristikkan oleh rasio

�/�, yaitu beda penurunan antara dua titik (�) dibagi jarak (L) kedua titik tersebut. Nilai banding �/� dinyatakan dalam istilah distorsi kaku (angular distortion).

Penurunan ijin dari suatu bnagunan atau besarnya penurunan yang ditoleransikan, bergantung pada beberapa faktor.Faktor-faktor tersebut meliputi jenis, tinggi, kekakuan, fungsi bangunan, serta besar dan kecepatan penurunan serta distribusinya. Rancangan dibutuhkan untuk dapat memperkirakan besarnya penurunan maksimum dan beda penurunan yang masih dalam batas toleransi. Jika penurunan berjalan lambat, semakin besar kemungkinan struktur untuk menyesuaikan diri terhadap penurunan yang terjadi tanpa adanya kerusakan struktur oleh pengaruh rangkak (creep). Oleh karena itu, dengan alas an tersebut, kriteria penurunan pondasi pada tanah pasir dan pada tanah lempung berbeda.

Karena penurunan maksimum dapat diprediksi dengan ketepatan yang memadai (namun tidak untuk penurunan tak seragam), umumnya dapat diadakan hubungan antara penurunan ijin dengan penurunan maksimum.Skempton dan


(68)

MacDonald (1955) meyarankan batas-batas penurunan maksimum, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2.

Dalam Tabel 2.2 maksud dari pondasi terpisah (isolated foundation) adalah pondasi yang berdiri sendiri diantara pondasi-pondasi yang mendukung bangunan.Terlihat bahwa, batasan nilai penurunan pondasi pada tanah pasir lebih kecil daripada pondasi tanah lempung.Hal ini, karena alasan kemampuan penyesuaian bangunan terhadap penurunan, seiring dengan berjalannya waktu, dan lagi, di alam, lapisan tanah granular lebih tidak homogen dibandingkan dengan lapisan tanah lempung.

Gambar 2.11 Tipe-tipe penurunan. (a) Penurunan seragam, (b) Penggulingan, (c)Penururunan tidak seragam. (Sumber: Hardiyatmo, H. C., 2011)


(69)

Tabel 2.2 Batas Penurunan Maksimum Menurut Skempton dan MacDonald

Jenis Pondasi Batas penurunan maksimum (mm)

Pondasi terpisah (isolated foundation) pada tanah lempung

65

Pondasi terpisah pada tanah pasir 40

Pondasi rakit pada tanah lempung 65-100

Pondasi rakit pada tanah pasir 40-65

(Sumber: Skempton dan MacDonald, 1955)

Penurunan tak seragam dari bangunan tak bias dihindarkan, kecuali jika pondasi terletak pada lapisan batu. Penurunan tak seragam pada bangunan sangat dipengaruhi oleh tipe pelaksanaan . Terzaghi mengamati bahwa dinding dengan panjang 18 m dan 23 m, retak pada penurunan tak seragam 2,5 cm(1”). Tapi, untuk dinding dengan panjang 12-30 m, dan mengalami penurunan tak seragam 2 cm (3/4”) atau kurang, maka dinding tidak mengalami retak-ratak. Karena itu, Terzaghi memberikan petunjuk bahwa dalam perancangan sebaiknya penurunan tak seragam kurang dari 2 cm (3/4”).


(70)

Tabel 2.3 Penurunan Ijin Menurut Shower

Tipe Gerakan Faktor Pembatas Penurunan maksimum

Penurunan total

Drainase Jalan masuk

Kemungkinan penurunan tidak seragam: Bangunan dinding bata

Bangunan rangka

Cerobong asap, silo, pondasi rakit (mat)

15-30 cm 30-60 cm 2,5-5 cm 5-10 cm 8-30cm Kemiringan

Stabilitas terhadap penggulingan

Miringnya cerobong asap, menara Rolling of trucks, dll.

Stacking of goods

Operasi mesin-perkakas benang tenung Operasi mesin-generator turbo

Rel Derek (crain rail) Drainase lantai

Bergantung pada tinggi dan lebar 0,004 L 0,01 L 0,01 L 0,003 L 0,0002 L 0,003 L 0,01-0,02 L


(71)

Gerakan tidak seragam

Dinding bata kontinyu tinggi

Bangunan penggilingan satu lantai (dari batu bata), dinding retak

Plesteran retak (gypsum)

Bangunan rangka beton bertulang Bangunan dinding tirai beton bertulang Rangka baja, kontinyu

Rangka baja sederhana

0,0005-0,001 L 0,001-0,002 L

0,001 L 0,0025-0,004 L

0,003 L 0,002 L 0,005 L

(Sumber: Showers, 1955)

Penurunan ijin yang lain disarankan oleh Showers (1962), yaitu dengan memperhatikan penurunan total, kemiringan, dan gerakan tidak seragam, seperti yang dilihatkan dalam Tabel 2.3. Terlihat dalam tabel ini bahwa bangunan-bangunan yang lebih fleksibel (seperti bangunan-bangunan rangka baja sederhana), atau yang mempunyai pondasi kaku (seperti pondasi rakit) dapat bertahan pada nilai penurunan total dan penurunan tak seragam yang lebih besar.

Bjerrum (1963) menyarankan hubungan antara tipe masalah struktur dan nilai distorsi kaku (�/�) dengan � adalah penurunan total dan L adalah jarak antara 2 kolom atau jarak 2 titik yang ditinjau. Nilai-nilai �/� ditunjukkan dalam Tabel 2.4.Nilai-nilai �/� di dalam tabel tersebut dihubungkan dengan tipe kerusakan yang mungkin timbul untuk berbagai macam distorsi kaku. Dapat dilihat bahwa kerusakan pada elemen-elemen bangunan akan terjadi pada distorsi yang lebih besar daripada distorsi yang akan merusakkan mesin.


(72)

Tabel 2.4 Hubungan Tipe Masalah Pada Struktur dan �/�

Tipe masalah �/�

Kesulitan pada mesin yang sensitif terhadap penurunan 1/700 Bahaya pada rangka-rangka dengan diagonal 1/600 Nilai batas untuk bangunan yang tidak diijinkan retak 1/500 Nilai batas dengan retakan pertama diharapkan terjadi pada

dinding-dinding panel, atau dengan kesulitan terjadi pada overhead crane

1/300

Nilai batas dengan penggulingan (miring) bangunan tingkat tinggi dapat terlihat

1/250

Retakan signifikan dalam panel dan tembok.

Batasan yang aman untuk dinding tembok fleksibel dengan h/L < ¼ (h = tinggi dindinng)

1/150

(Sumber: Bjerum, 1963)

2.8 Metode Elemen Hingga

Metode Elemen Hingga pada rekayasa geoteknik merupakan suatu metode yang membagi-bagi daerah yang akan dianalisis ke dalam bagian-bagian yang kecil dimana bagian-bagian kecil ini disebut dengan elemen. Semakin banyak elemen itu dibagi maka akan semakin mendekati kondisi asli pula hasil perhitungan numeriknya. Metode elemen hingga pada rekayasa geoteknik memiliki sedikit perbedaan dengan metode elemen hingga pada rekayasa struktur, perbedaan ini terletak pada rekayasa geoteknik ada terjadinya suatu interaksi elemen yang memiliki nilai kekakuan yang jauh berbeda. Contoh halnya seperti pada pondasi, dalam menganalisis pondasi dengan metode elemen hingga akan


(73)

didapat perbedaan kekakuan antara dua elemen, yaitu elemen dari tanah dan elemen struktur atau dari pondasi itu sendiri.

Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam menganalisa menggunakan metode elemen hingga adalah sebagai berikut :

1. Pemilihan Tipe Elemen

Pada dasarnya, elemen-elemen dalam Metode Elemen Hingga (MEH) dapat dibedakan menjadi 3, yaitu 1D (line elements), 2D (plane elements), dan 3D.

Gambar 2.12Jenis-jenis elemen

Dalam suatu elemen terdapat dua jenis titik, yaitu titik nodal dan titik integrasi.Tiitk nodal merupakan titik yang menghubungkan antara elemen satu dengan elemen lainnya.Perpindahan elemen terjadi pada titik nodal ini. Sedangkan titik integrasi adalah titik yang berada di dalam elemen, titik integrasi dikenal juga sebagai stress point. Dari titik integrasi ini dapat diperoleh tegangan dan juga regangan yang terjadi dalam elemen tersebut. Elemen 1D yang juga mirip dengan spring element adalah truss element, tetapi bedanya truss element

mempunyai sifat-sifat yang berasal dari material seperti Young Modulus E, Poison ratio v, panjang dan luasan penampang. Dengan demikian, besarnya tegangan


(74)

(stress) akan dapat dihitung dengan terlebih dahulu mengetahui strain,

displacement, dan gaya yang bekerja. Masalah fisik yang dapat dianggap truss

adalah batang yang cukup panjang, dan disambung dengan pin pada ujung-ujungnya.

Pada spring element dan truss element, respons hanya dengan memiliki nilai pada satu arah saja, yaitu pada arah memanjang (longitudinal). Dengan demikian, kedua elemen ini hanya mempunyai dof translasi pada arah longitudinal saja. Hanya saja, jika spring element atau truss element diposisikan menyudut pada sistem koordinat global, maka response dapat diuraikan ke dalam dua arah sumbu (x, y) atau tiga arah sumbu (x, y, z).

Selain spring element dan truss element, ada lagi beam element yang juga sering dipakal dalam pemodelan elemen 1D. Elemen ini sama dengan elemen

truss, dengan tambahan bahwa elemen beam ini menerima beban bending, yang dengan demikian stress tidak hanya berupa normal stress, tetapi juga shear stress. Berbeda dengan spring element dan truss element yang hanya mempunyai dof translasi pada arah longitudinalnya, beam element memiliki dof translasi ke semua arah dan juga dof rotasi ke semua arah.

Elemen-elemen 2D digunakan jika response memiliki nilai signifikan ke 2 arah (x dan y), sedangkan response terhadap arah lainnya yaitu arah z diabaikan. Beban hanya bekerja disepanjang arah x dan y. Tetapi pada kasus geometri lain tidak selamanya arah z itu diabaikan, contohnya pada kasus plain strain, dimana dimensi pada arah z bisa saja sangat besar nilainya namun strain hanya diukur pada bidang x dan y saja. Dof yang dimiliki oleh elemen plane hanyalah translasi pada arah x dan y, tanpa adanya rotasi.


(75)

Bentuk elemen 2D yang umum digunakan adalah bentuk triangular element (segitiga) dan quadrilateral element (segiempat). Jika order elemennya adalah 1maka sisi-sisi elemen tersebut (edges) akan berupa garis lurus. Namun jika orderelemennya lebih dari 1 (kuadrat, kubik, dst) maka sisi-sisinya bisa berupa kurva.

Selanjutnya pada elemen-elemen 3D, response elenennya terjadi pada ketiga arah (x, y, z) memiliki besar yang signifikan.Secara umum elemen-elemen 3D bisa dibedakan menjadi solid elements, shell elements, dan solid-shellelements.Semua elemen 3D memiliki dof translasi pada arah x, y, dan z pada setiap nodenya, tanpa dof rotasi.

Bentuk elemen 3D yang umum dipakai adalah tetrahedral element (limas segitiga) dan hexahedral element (balok, batubata). Jika order elemennya adalah 1 makaedge dan surface elemen tersebut berupa garis yang rata dan bidang yang rata. Namun jika ordernya lebih dari satu, maka dimungkinkan edge dan surface

elemen tersebut berupa garis dan bidang yang melengkung. Terdapat pula elemen 3D yang memiliki node ditengah-tengah titik beratnya.

2. Pemilihan Fungsi Perpindahan

Fungsi perpindahan atau sering juga disebut dengan shape function yang dinotasikan dengan N merupakan suatu fungsi yang menginterpolasikan perpindahan dititik nodal ke perpindahan di elemen dengan menggunakan metode segitiga Pascal.

Pemilihan fungsi perpindahan bergantung juga pada jenis elemen yang akan dikerjakan. Prinsip dalam pemilihan fungsi perpindahan ini adalah pada


(76)

(2.17) (2.18)

(2.19)

(2.20) titik yang ditinjau nilai N nya akan bernilai 1 dan bernilai 0 di titik lainnya. Berikut penjabaran fungsi perpindahan menggunakan matriks:

Tabel 2.5Pemilihan Fungsi Perpindahan

Persamaannya akan menjadi,

X ( ξ , η ) = a1 + a2 ξ + a3 η + a4 ξ η Y ( ξ , η ) = a5 + a6 ξ + a7 η + a8 ξ η Jika dimuat ke dalam matriks maka,

�X ( ξ ,η) Y( ξ ,η)� =�

a1+ a2ξ+ a3η+ a4ξη

a5+ a6ξ+ a7η+ a8ξη�

Jika matriks tersebut dipisah maka akan diperoleh :

�X ( ξ ,η) Y( ξ ,η)�=�

1 0 ξ 0 η 0 ξη 0 0 1 0

ξη0 ξη0�

⎝ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎛ �1 �2 �3 �4 �5 �6 �7 �8⎠ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎞


(77)

(2.21) 3. Pendefinisian Regangan dan Tegangan

Dalam tahapan ini, matriks perpindahan merupakan turunan pertama dari fungsi perpindahan yang dipilih dari tahap sebelumnya.Dengan begitu dapat diketahui tegangan dan regangan yang terjadi di titik integrasi untuk setiap elemennya. Bentuk persamaan matriksnya adalah sebagai berikut:

(2.22)

(2.23)

(2.24)


(78)

(2.26)

(2.27)

(2.28)

(2.29)

(2.30)

(2.31)

(2.32)

(2.33)


(79)

4. Menentukan Matriks Kekakuan

Persamaan dari matriks kekakuan adalah sebagai berikut :

Dimana D adalah matriks konstitutif yang nilainya bergantung daripada jenis pemodelan.

D = E

1−v�

1 v 0

v 1 0

0 0 1−v

2

� Untuk elemen plain stress

D =(1+v)(1E

2v)�

1−v v 0

v 1−v 0

0 0 1−v

2

� Untuk elemen plain strain

Setelah diperoleh seluruh matriks kekakuan untuk setiap elemen, maka koordinat lokal diubah menjadi koordinat global untuk mengetahui gaya-gaya yang berkerja pada elemen yang dimodelkan.

2.9 Plaxis

Plaxis merupakan suatu program yang berbasis metode elemen hingga untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan tanah. Pertama kali plaxis dikembangkan pada tahun 1987 di Negara Belanda oleh

Technical University of Delfi dengan tujuan plaxis sebagai alat bantu dalam (2.35)

(2.36)

(2.37)

(2.38)


(80)

menganalisis permasalahan yang kerap dihadapi oleh ahli-ahli Geoteknik. Meskipun telah banyak pengujian dan validasi dilakukan, tetap saja tidak ada jaminan bahwa program plaxis bebas dari kesalahan.

Untuk memperoleh tingkat keakuratan dari keadaan yang sebenarnya di lapangan sangat bergantung pada keahlian orang yang memodelkan permasalahan sepeti pemahaman terhadap model-model, penentuan parameter yang akan digunakan serta kemampuan dalam melakukan interpretasi dari hasil analisis menggunakan program plaxis tersebut. Dalam program plaxis terdapat beberapa jenis pemodelan tanah, antara lain model tanah Mohr – Coulomb dan model Soft Soil (tanah lunak).

2.9.1 Model Tanah Mohr – Coulomb

Model tanah Mohr – Coulomb merupakan modelLinear elastic dan

Plastic sempurna (Linear Elastic Perfectly Plastic Model) dimana melibatkan lima buah parameter inti, yaitu :

- Modulus kekakuan tanah (modulus Young ), E dan Poisson rasio yang memodelkan keelastikan tanah,

- Kohesi tanah, c dan sudut geser dalam tanah, Φ yang memodelkan perilaku

plastic dari tanah.

- Sudut dilatansi, ψ yang memodelkan prilaku dilatansi tanah.

Nilai kohesi c dan sudut geser Φ diperoleh dari uji geser , atau diperoleh dari hubungan empiris berdasarkan data uji lapangan. Sementara sudut dilantasi ψ digunakan untuk memodelkan regangan volumetrik plastik yang bernilai positif. Pada tanah lempung NC, pada umumnya tidak terjadi dilantasi (ψ = 0), sementara


(1)

4.13

4.14

4.15

4.16

4.17

4.18

Horizontal displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 meter dari bangunan

Vertical Displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 5 meter dari bangunan

Total displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 meter dari bangunan

Horizontal displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 meter dari bangunan

Vertical displacements yang terjadi akibat mobilisasi alat tekan 320 T dengan jarak 10 meter dari bangunan

Grafik besar penurunan per meter bangunan

87

87

88

88

88


(2)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

2.1 Hubungan Antara Teknik Pemasangan Tiang dan Perubahan Sifat Tanah Pondasi

30

2.2 Batas Penurunan Maksimum Menurut Skempton dan MacDonald

43

2.3 Penurunan Ijin Menurut Shower 44

2.4 Hubungan Tipe Masalah Pada Struktur dan �/� 46

2.5 Pemilihan Fungsi Perpindahan 50

2.6 Korelasi N-SPT Dengan Modulus Elastisitas Pada Tanah Lempung 57 2.7 2.8 2.9 3.1 3.2 3.3

Korelasi N-SPT Dengan Modulus Elastisitas Pada Tanah Pasir

Hubungan Jenis Tanah, konsistensi dan Poisson’s Ratio (μ)

Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah Spesifikasi tiang tekan

Spesifikasi teknis alat tekan HSDP kapasitas 20 ton Data lapisan tanah.

58 59 62 68 68 70 4.1 Input Parameter Tanah untuk Program Plaxis pada lokasi BH-2 79

4.2 Input Parameter Pelat untuk Tiang 80

4.3 Input Parameter Pelat untuk Bangunan 81


(3)

DAFTAR NOTASI

Simbol Keterangan

qc Perlawanan Konus

JP Jumlah perlawanan

PK Perlawanan penetrasi konus A Interval pembacaan

B Faktor alat = luas konus/luas torak I Kedalaman lapisan tanah yang ditinjau S penurunan total

Si penurunan segera

Sc penurunan akibat konsolidasi primer Ss penurunan akibat konsolidasi sekunder q intensitas beban yang diterapkan

Δσ penambahan tekanan total

Δσ penambahan tekanan efektif

Δμ penambahan tekanan pori

c kohesi tanah

Cc indeks pemampatan (compression index)

Cs koefisien pengembangan

Cr indeks pemampatan kembali (recompression index) H tebal lapisan tanah

E modulus elastisitas tanah


(4)

e0 angka pori awal

Po tekanan efektif rata-rata

Δp besar penambahan tekanan FK faktor keamanan

Φ sudut geser dalam tanah (°)

� sudut dilatansi

τ kekuatan geser tanah (kg/cm2)

σ tegangan normal yang terjadi pada tanah (kg/cm2) GS specific gravity

k koefisien permeabilitas tanah

k∗ kappa bintang

Ms massa padat tanah

Mw massa air

w kadar air

�� berat air

�� berat butiran tanah

Vw volume air

Vv volume total rongga pori tanah �� berat isi kering

G modulus geser tanah

� porositas

Sr derajat kejenuhan

p tekanan pada saat konsolidasi


(5)

�� berat isi air

���� berat isi tanah dalam keadaan jenuh air (saturated) ky koefisien permeabilitas arah vertikal

kh koefisien permeabilitas arah horizontal

τult kuat geser batas

τall Kuat geser ijin

σn Tegangan normal

call Kohesi yang diijinkan

cult Kohesi yang tersedia

Φall Sudut geser dalam yang diijinkan

Φult Sudut geser dalam yang tersedia


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Hasil Penyelidikan Tanah Lampiran B Langkah Perhitungan plaxis


Dokumen yang terkait

Analisa Daya Dukung Pondasi Tiang Pancang pada Titik Bore Hole - 01 dengan Metode Analitis dan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Hotel Medan Siantar Sinaksak – Pematang Siantar)

3 76 181

Analisis Daya Dukung Pondasi Tiang Pancang Menggunakan Metode Sondir, SPT, Metode Elemen Hingga pada Proyek Pembangunan Hotel Medan-Siantar, Sinaksak, Pematang Siantar

34 104 146

Studi Penurunan Tanah Akibat Penekanan Tiang Tekan Hidrolis dengan Menggunakan Pendekatan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Pembangunan Hotel Medan Siantar, Sinaksak)

0 0 17

Studi Penurunan Tanah Akibat Penekanan Tiang Tekan Hidrolis dengan Menggunakan Pendekatan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Pembangunan Hotel Medan Siantar, Sinaksak)

0 0 1

Studi Penurunan Tanah Akibat Penekanan Tiang Tekan Hidrolis dengan Menggunakan Pendekatan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Pembangunan Hotel Medan Siantar, Sinaksak)

0 0 4

Studi Penurunan Tanah Akibat Penekanan Tiang Tekan Hidrolis dengan Menggunakan Pendekatan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Pembangunan Hotel Medan Siantar, Sinaksak)

0 3 60

Studi Penurunan Tanah Akibat Penekanan Tiang Tekan Hidrolis dengan Menggunakan Pendekatan Metode Elemen Hingga (Studi Kasus : Pembangunan Hotel Medan Siantar, Sinaksak)

0 2 2

Analisis Daya Dukung Pondasi Tiang Pancang Menggunakan Metode Sondir, SPT, Metode Elemen Hingga pada Proyek Pembangunan Hotel Medan-Siantar, Sinaksak, Pematang Siantar

0 0 17

Analisis Daya Dukung Pondasi Tiang Pancang Menggunakan Metode Sondir, SPT, Metode Elemen Hingga pada Proyek Pembangunan Hotel Medan-Siantar, Sinaksak, Pematang Siantar

0 0 1

Analisis Daya Dukung Pondasi Tiang Pancang Menggunakan Metode Sondir, SPT, Metode Elemen Hingga pada Proyek Pembangunan Hotel Medan-Siantar, Sinaksak, Pematang Siantar

0 1 6