diartikan Ponorogo menjadi pahlawan dari serangan ancaman musuh, selain hal-hal tersebut, adat istiadat, agama, mata pencaharian, sistem
kekerabatan dan sistem kemasyarakatan, makanan khas, juga merupakan bagian dari kebudayaan.
Contoh beberapa kebudayaan yang memiliki daya tarik yang tinggi bagi turis mancanegara dan turis lokal antara lain, adat istiadat di Tana Toraja,
kebiasaan perempuan suku Dayak di Kalimantan yang senang menggunakan anting yang panjang, berat dan banyak, upacara ngaben
pembakaran mayat di Bali.
Berikut diuraikan contoh adat istiadat atau sistem kemasyarakatan di Tana Toraja yang meliputi :
8. Adat Istiadat
1. Suku
Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan
sebutan To Riaja, artinya “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedangkan orang Luwu menyebutnya To Riajang, artinya
orang yang berdiam di sebelah barat. Ada juga versi lain kata Toraya. To = Tau orang, Raya = Maraya besar, artinya orang orang besar,
bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja
dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Di wilayah Tana Toraja juga digelar “Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’ollo”, arti harfiahnya, “Negeri yang bulat seperti bulan
dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis Etnis Toraja.
Tana Toraja, Sulawesi Selatan
Sumber : Google.wikipediaToraja.com
Gambar 1.15. Rumah Adat Toraja
Di unduh dari : Bukupaket.com
Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut “Rambu Tuka”. Di Tana Toraja
mayat tidak di kubur melainkan diletakan di “Tongkanan“ untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai
keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke
peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa, mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di
dalam lubang. Biasanya, musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen, sekitar akhir Juni atau Juli, paling lambat
September.
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan Erong. Adat masyarakat Toraja antara lain, menyimpan jenazah
pada tebingliang gua, atau dibuatkan sebuah rumah Patane. Rante adalah tempat upacara pemakaman secara adat yang
dilengkapi dengan 100 buah “batu”, dalam Bahasa Toraja disebut Simbuang Batu. Sebanyak 102 bilah batu yang berdiri dengan megah
terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah sedang, dan 54 buah kecil. Ukuran batu ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut
hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatanpengambilan batu. Simbuang Batu hanya diadakan bila
pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat “Rapasan Sapurandanan” kerbau yang dipotong sekurang-
kurangnya 24 ekor.
Sumber : GoogleRumah Adat.com
Gambar 1.16. Pa’tane
2. Ngaben - pembakaran Jenasah di Bali