PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION

PENGARUH
PEMBERIAN
DIABETES
SELF
MANAGEMENT
EDUCATION (DSME) TERHADAP KONTROL KADAR GLUKOSA
DARAH PUASA (GDP) PADA PASIEN DM TIPE 2 DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS UNGARAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling
banyak dialami oleh penduduk di dunia. Penyakit DM menempati urutan ke-4
penyebab kematian di negara berkembang (Sicree et.al., 2009). Salah satu jenis
penyakit DM yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia adalah DM tipe
2, yaitu penyakit DM yang disebabkan oleh terganggunya sekresi insulin dan
resistensi insulin (Smeltzer & Bare, 2001; Sicree et.al., 2009). Seseorang
dikatakan menderita DM tipe 2 jika memiliki kadar gula darah puasa > 126 mg/dl
dan gula darah acak > 200 mg/dl disertai dengan keluhan klasik berupa polyuri,
polydipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya (PERKENI, 2001).
DM merupakan salah satu penyakit kronis dengan angka kejadian yang
tinggi dan merupakan masalah serius dan cenderung menakutkan bagi masyarakat
(Fransisca, 2012). Angka kejadian penyakit DM terus meningkat dari tahun ke

tahun dan distribusi penyakitnya juga menyebar pada semua tingkatan masyarakat
tanpa membedakan status sosial, ekonomi, ras dan daerah geografis (Girsang,
2012). Data International Diabet Federation (IDF) pada tahun (2010)
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penderita DM yang cukup
signifikan dari 2,67% atau sekitar 284 juta jiwa menjadi 2,8% atau 371 juta jiwa
pada tahun (2012) dari total penduduk dunia sekitar 7,2 milyar jiwa. Indonesia
menempati urutan ke-4 di dunia pada tahun 2010 setelah India, China, dan USA
dengan jumlah pasien DM tipe 2 sebanyak 8,4 juta jiwa (Wild et.al., 2004).
Penderita DM di Indonesia jumlahnya cukup fantastis, Riset kesehatan dasar
(Riskesdas) pada tahun 2009 menyatakan jumlah penderita DM tipe 2 di
Indonesia mencapai 2% atau sekitar 3 juta jiwa dan mengalami peningkatan pada
riset serupa tahun 2012 yaitu 2,4% atau sekitar 3,5 juta jiwa dari total penduduk
Indonesia sekitar 246.900.000 jiwa dan dari 3,5 juta jiwa baru sekitar 30% yang
melakukan pengobatan secara teratur. WHO memperkirakan pada tahun 2030
sekitar 21,3 juta orang Indonesia akan terkena penyakit DM (Depkes RI, 2000).
Berdasarkan laporan rumah sakit dan puskesmas, prevalensi DM tipe 1 di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 sebesar 0,16%, mengalami peningkatan
bila dibandingkan prevalensi tahun 2007 sebesar 0,09%. Prevalensi tertinggi
adalah di Kota Semarang sebesar 0,84%. Prevalensi kasus DM tidak tergantung
insulin lebih dikenal dengan DM tipe 2 mengalami peningkatan dari 0,83% pada

tahun 2006, menjadi 0,96% pada tahun 2007, dan 1,25% pada tahun 2008 (Dinkes
Provinsi Jawa Tengah, 2008).
PERKENI (2011), menyatakan terdapat 4 pilar utama dalam
penatalaksanaan DM tipe 2, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan
intervensi farmakologis. Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan DM tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2
penting dilakukan sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2.

1

2

Penderita DM yang mempunyai pengetahuan rendah tentang pengelolaan
DM berisiko kadar glukosa darahnya tidak terkendali 2 kali dibanding dengan
responden yang memiliki pengetahuan yang cukup (Jazilah, 2003). Penderita DM
yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang diabetes akan mengubah
perilakunya, sehingga dapat mengendalikan kondisi penyakitnya agar dapat
meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik (Smeltzer & Bare, 2001).
Penelitian Rahmadiliyani (2008) di Puskesmas I Gatak Sukoharjo menunjukkan
hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang penyakit

dan komplikasi pada penderita diabetes mellitus dengan tindakan mengontrol
kadar gula darah ( nilai r = 0,508 dan nilai P < 0,05).
Pengobatan diabetes saat ini telah mengalami kemajuan, namun perilaku
perawatan dirumah atau proses edukasi masih tetap merupakan pengobatan utama
yang menentukan kesuksesan dalam pengelolaan diabetes mellitus. Proses edukasi
bertujuan mempengaruhi penderita untuk mengikuti rekomendasi terapi yang
dianjurkan oleh tenaga kesehatan dalam menerapkan tiga hal, yaitu : pengetahuan,
sikap, dan tindakan dalam perawatan penyakit diabetes mellitus tipe 2 agar dapat
memperbaiki kadar glukosa darah dan mencegah terjadinya komplikasi jangka
pendek maupun jangka panjang serta meminimalkan terjadinya rehospitalisasi
(Soegondo, 2013).
Notoatmodjo (2003) mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari
tingkat kesehatan, bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor pokok,
yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior
causes). Penelitian tentang perilaku dari Rogers (1974) yang dikutip kembali oleh
Notoatmodjo (2004) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan atau perilaku
seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan sikap yang positif
perilaku tersebut akan berlangsung langgeng. Pengetahuan penderita tentang
diabetes melitus merupakan sarana yang dapat membantu penderita menjalankan

penanganan diabetes selama hidupnya sehingga semakin banyak dan semakin baik
penderita mengerti tentang penyakitnya semakin mengerti bagaimana harus
mengubah perilakunya dan mengapa hal itu diperlukan (Waspadji , 2007).
Atak (2010) menyatakan pengelolaan mandiri merupakan kunci dalam
penatalaksanaan penyakit kronis secara komprehensif. Pengelolaan mandiri DM
yang efektif diperoleh jika individu memiliki pengetahuan, ketrampilan untuk
melakukan perilaku pengelolaan DM secara mandiri, pasien yang diberikan
informasi tentang penyakitnya dan bagaimana perawatannya secara benar akan
menunjukkan hasil yang positif di dalam pengelolaan penyakitnya.
Manajemen diri (self management) merupakan kunci dalam penatalaksanaan
penyakit kronis secara komprehensif (Atak, Tanjau & Kenan, 2010). Manajemen
diri DM yang efektif diperoleh jika individu memiliki pengetahuan dan
keterampilan untuk melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Keberhasilan
manajemen diri membutuhan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
Untuk mencapai keberhasilan pengelolaan DM, dibutuhkan penanganan DM
secara mandiri dan berkelanjutan atau yang dikenal sebagai Diabetes Self
Management Education (DSME).

3


Salah satu bentuk pendidikan kesehatan yang dapat diberikan pada pasien
DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education. Edukasi ini merupakan
suatu proses yang memfasilitasi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan
perawatan mandiri (self care behavior) yang sangat dibutuhkan oleh penderita
diabetes (Funell, 2010). Penderita DM yang diberikan pendidikan kesehatan dan
pedoman dalam perawatan diri akan mengubah pola hidupnya, sehingga dapat
mengontrol kadar glukosa darah dengan baik (Ernawati, 2013).
Beberapa penelitian mengenai Diabetes Self Management Education telah
dilakukan dan memberikan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh
Rondhianto (2011) mengenai pengaruh Diabetes Self Management Education
dalam Discharge Planning terhadap Self Care Behaviour pasien DM tipe 2
memberikan hasil bahwa penerapan DSME dalam discharge planning
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan self care behavior
pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan pemberian discharge planning yang tanpa
menggunakan DSME.
Penelitian yang dilakukan oleh Irnawati (2014) mengenai pengaruh
Diabetes Self Management Education terhadap Self Care Behavior pasien
Diabetes Mellitus. Hasil dari penelitian ini adalah pemberian intervensi berupa
diabetes self management education dalam memberikan pendidikan kesehatan
pasien diabetes melitus mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

peningkatan self care behavior klien diabetes melitus.
Perawat sebagai seorang educator dan counselor bagi pasien, menurut Orem
di dalam Tomey dan Alligood (2006) dapat memberikan bantuan kepada pasien
dalam bentuk supportive-educative dengan memberikan pendidikan dengan tujuan
agar pasien mampu melakukan perawatan secara mandiri sehingga tercapai
kemampuan untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraannya.

PENGARUH
PEMBERIAN
DIABETES
SELF
MANAGEMENT
EDUCATION (DSME) TERHADAP RESIKO TERJADINYA ULKUS
GRADE I PADA PASIEN DM TIPE 2 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
UNGARAN

4

PENGARUH KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN SKALA
NYERI PADA PENDERITA GOUT ARTHRITIS DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS LEREP
Kesehatan merupakan hal yang sangat bernilai dalam kehidupan manusia.
Seseorang yang sehat secara lahir dan batin akan mampu beraktivitas maksimal,
sehingga disebut sebagai orang yang produktif. Produktivitas tersebut dapat
terganggu ketika seseorang sakit. Penyakit yang diderita manusia saat ini,
sebagian besar merupakan penyakit tidak menular (PTM), tergolong sebagai
penyakit kronis, misalnya diabetes, osteoporosis, hipertensi, jantung koroner,
stroke, dan kanker. Munculnya penyakit-penyakit modern tersebut merupakan
akibat dari gaya hidup modern, khususnya pada pola makan yang tidak sehat yang
banyak mengandung zat purin seperti jeroan, daging, kacang-kacangan, dan
seafood sehingga dapat terjadi meningkatknya kadar asam urat dalam darah
(Rukmini, 2011).
Penyakit asam urat merupakan salah satu tanda dari penyakit tidak
menular yang di sebabkan oleh perubahan pola hidup dan pola makan tersebut.
Pola hidup dengan mengkonsumsi makanan berkadar protein tinggi atau berkadar
alkohol merupakan pemicu meningkatnya kadar asam urat dalam darah sebagai
penyebab utama penyakit asam urat. Penyakit asam urat disebabkan
meningkatnya asam urat dalam darah. Kadar asam urat meningkat atau abnormal
ketika ginjal tidak snggup mengeluarkannya melaui air kemih. Peningkatan asam
urat dalam darah disebut dengan hiperurisemia (Utami, 2008).

Kejadian yang pasti dari hiperurisemia dan gout di masyarakat pada saat
ini belum jelas. Prevalensi hiperurisemia di masyarakat diperkirakan antara 2,3
sampai 17,6 %, sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1,6-13,6 per seribu
penduduk. Prevalensi hiperurisemia pada laki-laki 24,5 % sedangkan pada
perempuan 23,9 % (Sudoyo, 2007). Di Indonesia prevalensi hiperurisemia kirakira 2,6-47,2% (variasi pada berbagai populasi). Gout juga bervariasi antara 115,3%, pada suatu studi didapatkan insidensi gout 4,9% pada kadar asam urat
darah >9 mg/dL, 0,5% pada kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar 9 mg/dL. Pada umumnya hiperurisemia menyerang laki-laki (90%) usia
dewasa muda sekitar 40 tahun, sedangkan pada wanita penyakit ini lebih banyak
menyerang mereka yang telah mengalami menopause (Hidayat, 2009). Insiden
gout meningkat dengan usia, memuncak pada usia 30 sampai 50 tahun, dengan
kejadian tahunan berkisar dari 1 dalam 1.000 untuk pria berusia antara 40 hingga
44 tahun dan 1,8 banding 1.000 bagi mereka yang usia 55-64 tahun.Tingkat
terendah gout yaitu pada wanita muda, kira-kira 0,8 kasus per 10.000 pasien.
Gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak,
berulang dan disertai dengan arthritis yang terasa sangat nyeri karena adanya
endapan Kristal monosodium urat atau asam urat yang terkumpul di dalam sendi
sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah (hiperurisemia)
(Junaidi, 2013).
Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan
timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun,
kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan


5

monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan
laju endap darah. Adapun gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan
pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam
bahkan tanpa terapi sekalipun (Sudoyo, 2010). Tampilan klinis penyakit gout yang
kadang mirip dengan penyakit reumatik lainnya sebaiknya tidak membuat klinisi
bingung dalam menegakkan diagnosis penyakit gout, sebab ada kriteria yang bias
dipakai pegangan dalam menegakkan diagnosis penyakit gout akut
Dari fase-fase ini, ternyata gejala yang sering menyiksa penderita adalah
rasa nyeri yang timbul saat fase akut, sehingga hal ini perlu untuk diteliti. Rasa
nyeri dinyatakan dalam derajat nyeri yaitu beratnya nyeri yang dirasakan
penderita, merupakan suatu hal yang penting dalam evaluasi penderita artritis
gout, walaupun hal ini merupakan salah satu aspek nyeri yang sulit dinilai karena
tidak dapat dilakukan secara pasti (Hidayat, 2009).
Penurunan kemampuan musculoskeletal
karena nyeri sendi dapat
berdampak pada penurunan aktivitas pada lansia. Aktivitas yang dimaksud antara

lain makan, minum, berjalan, mandi, buang air besar, dan buang air kecil.
Kemandirian pada lansia dinilai dari bagaimana lansia mampu melakukan
aktivitas fisik secara mandiri tanpa bergantung pada orang lain (Chintyawati,
2014).
Penanganan penderita gout arthritis difokuskan pada cara mengontrol rasa
sakit, mengurangi kerusakan sendi dan meningkatkan atau mempertahankan
fungsi dan kualitas hidup. Penanganan untuk gout arthritis meliputi terapi
farmakologis dan non farmakologis. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri seringkali memberikan efek samping yang cukup serius
sebagai contoh aspirin dan piroksikam, sehingga perlu dicari alternatif lain
pengobatan untuk mengurangi rasa nyeri akibat serangan artritis gout fase
akutTindakan non farmakologis untuk penderita gout arthritis diantaranya adalah
kompres, baik itu kompres hangat dan kompres dingin. Kompres merupakan
tindakan mandiri perawat dalam upaya menurunkan suhu tubuh (Potter, 2010)
Penanganan untuk gout arthritis meliputi terapi farmakologis dan non
farmakologis. Tindakan non farmakologis untuk penderita gout arthritis
diantaranya adalah kompres, baik itu kompres hangat dan kompres dingin.
Kompres merupakan tindakan mandiri perawat dalam upaya menurunkan
suhu tubuh (Potter, 2005). Standar akreditasi rumah sakit yang dikeluarkan
oleh JCI (Joint Commision International) tahun 2011 bahwa hak pasien untuk

mendapatkan asesmen dan pengelolaan nyeri. Pasien dibantu dalam
pengelolaan rasa nyeri secara efektif, pasien yang kesakitan mendapat asuhan
sesuai pedoman pengelolaan nyeri (Kemenkes RI, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan Sani dan Winarsih tahun 2013, dari 40
responden yang dibagi dalam dua kelompok intervensi, kelompok yang pertama
dilakukan pemberian intervensi kompres hangat sedangkan kelompok kedua
dilakukan intervensi kompres dingin menghasilkan kesimpulan bahwa rata-rata
penurunan skala nyeri pada kompres hangat adalah 1,60 dan rata-rata penurunan
skala nyeri pada kompres dingin adalah 1,05. Hal ini berarti kompres hangat
lebih efektif untuk menurunkan nyeri pada penderita gout arthritis.

Dokumen yang terkait

PENGARUH SELF DIABETES MANAGEMENT EDUCATION (SDME) TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP, KADAR GULA DARAH PREDIABETES DI PUSKESMAS PESANTREN I KOTA KEDIRI

5 35 124

Hubungan antara self efficacy dan self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.

0 1 143

Pengaruh Diabetes Self Management Education Berbasis Keluarga Terhadap Tingkat Perawatan Mandiri Diabetes Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasir Kaliki Kota Bandung.

0 1 2

Hubungan antara self efficacy dan self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia

0 2 141

Diabetes Self-Management and Its related Factors

0 0 7

PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION (DSME) TERHADAP TINGKAT HEALTH LITERACY DALAM PENANGANAN ULKUS KAKI DIABETIK DI KOTA MANADO

0 0 7

View of PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION (DSME) TERHADAP KADAR GULA DARAH PASIEN DIABETES TYPE II DI BALAI BESAR LABORATORIUM KESEHATAN MAKASSAR

0 0 7

PENERAPAN KALENDER DM BERBASIS APLIKASI ANDROID SEBAGAI MEDIA DSME (DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION) TERHADAP SELF EFFICACY DAN KADAR HBA1C PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 6

TESIS PENERAPAN KALENDER DM BERBASIS APLIKASI ANDROID SEBAGAI MEDIA DSME (DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION) TERHADAP SELF EFFICACY DAN KADAR HBA1C PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2

1 4 199

PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION AND SUPPORT (DSMES) TERHADAP STRES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMPING 1 SLEMAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION AND SUPPORT (DSME/

1 13 12