Hubungan antara self efficacy dan self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia

(1)

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DAN SELF

MANAGEMENT PADA INDIVIDU DENGAN DIABETES TIPE 2

DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Ni Made Brigitha Aprilia Pamella Dewi 099114005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

!

"#$ #%&

'

$!

('( #" )

*+

' !# + ! ', #- -+ %#',+ *

' ) '

%#'#% '( " "( ) ' % %

*#$.('*

)($(

!

! ', *()

"#$'

-#-

&#$ + ',

) ' #-+$+

(')(/()+ )( &#*# 0


(6)

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DAN SELF MANAGEMENT PADA INDIVIDU DENGAN DIABETES TIPE 2 DI INDONESIA

Ni Made Brigitha Aprilia Pamella Dewi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dan self-management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia. Penelitian ini menggunakan 48 individu dengan diabetes tipe 2 (30 perempuan, 18 laki-laki). Instrument penelitian ini menggunakan skala self efficacy dan skala self management. Skala self efficacy terdiri dari 33 item dan skala self management terdiri dari 23 item. Hasil menunjukkan bahwa self efficacy berkorelasi secara positif signifikan pada self

management (r= 0.471, p= 0.001; p<0.01). Subjek dengan self efficacy tinggi memiliki self management yang baik di medication, diet, monitoring, olahraga, kontrol rutin ke dokter, dan

pengambilan keputusan. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah subjek memiliki self

efficacy yang tinggi sehingga mereka memiliki tingkat self manajemen yang baik dan hanya 5,8% yang

memiliki self efficacy rendah. Tambahan, Usia berkorelasi positif dan signifikan dengan self efficacy (r= 0.307, p= 0.034; p< 0.05). Akan tetapi, usia tidak berkorelasi secara signifikan dengan self

management. Secara umum, subjek memiliki kontrol diabetes; mereka memiliki self efficacy yang

tinggi, dan perilaku self management yang optimal. Oleh karena itu self efficacy dan self management menjadi komponen dasar bagi pasien untuk menjalankan program diabetes.


(8)

viii

THE RELATION BETWEEN SELF EFFICACY AND SELF MANAGEMENT IN INDIVIDUALS WITH TYPE 2 DIABETES IN INDONESIA

Ni Made Brigitha Aprilia Pamella Dewi ABSTRACT

The research aimed for knowing the relation between self efficacy and self management in individuals with type 2 diabetes in Indonesia. This research involved 48 individuals (30 women, 18 men) with type 2 diabetes. The used instrument were self efficacy scale and self management scale. The self efficacy scale consist of 33 items and self management scale consists of 23 items. Result showed that self efficacy was positively correlated with self management (r= 0.471, p= 0.001; p<0.01). Subject with higher self efficacy had better self management in medication, diet, monitoring, exercise, medical appointment, and decision making. The research showed that more than half of subjects had higher self efficacy and theyhad good self management and that only 5.8% had low self efficacy. In addition, age was positively correlated with self efficacy (r= 0.307, p= 0.034; p< 0.05). But, age wasn’t significantly correlated with self management. In general, subjects have diabetes controlled; their self efficacy was high and they had optimal self management behaviors. Therefore, self efficacy and self management for patients are essential components of diabetes programs.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaan dan pendampingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat hal-hal yang tidak berkenan. Pada proses penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Dosen pembimbing skripsi saya ibu Debri Pristinella, M.Si yang selalu sabar dan memberi arahan selama proses skripsi ini. Terima kasih sekali ibu, yang diajarkan akan selalu saya ingat.

4. Ibu Dr. Tjipto, M.Si Susana selaku dosen pembimbing akademik kelas A yang mendampingi saya selama perkuliahan. Terima kasih karena membuat saya untuk terus berpikir maju ke depan.

5. Ibu Monica EM., M.Psych selaku dosen yang memberikan inspirasi topik dan arahan dalam skripsi saya. Good luck for your study.. GBU

6. Bapak Agung Santoso, M.A selaku dosen yang membantu membangun pondasi skripsi dan tempat saya curhat masalah analisis data.

7. Dosen-dosen fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan ilmu selama saya menempuh bangku kuliah. Kalian dosen terbaik yang pernah saya miliki.


(11)

xi

8. Seluruh staff Fakultas Psikologi: mas Gandung, mbak Nanik, pak Gi, mas muji dan mas Doni. Terima kasih untuk keramahannya. Maaf kalau sering bikin repot ☺.

9. Pak Parjianto personalia RS. Panti Rapih, ibu Lestari personalia St. Elisabet, ibu Endah personalia RS. Panti Nugroho, dr Sarjoko, dan pihak-pihak yang membantu proses pengambilan data penelitian saya.

10. Wakil Rektor III USD, Panitia APP Kevikepan DIY dan gereja St. Maria Assumpta Pakem yang sudah memberi support dan bantuan yang besar.

11. Seluruh staff perpustakaan terkhususnya pak yanto yang telah memberikan banyak bantuan selama saya mengerjakan skripsi.

12. Seluruh subjek penelitian saya yang sudah mau direpotkan dan mendoakan keberhasilan saya. Terus berjuang ya bapak/ibu, kalian dapat memiliki hidup yang berkualitas.

13. Matur suksma Papi dan Mama yang selalu mendoakan, memberikan support,

menunggu dengan sabar sampai skripsi ini selesai. Terima kasih karena memberikan saya kebebasan untuk hidup dan mengajarkan perbedaan. Skripsi ini hadiah kecil dari saya untuk kalian. Thank you for being a wonderful parent.

I love u so much..

14. Kak Tika dan Bella, saudara-saudara ku yang terpisah provinsi dan pulau yang memberikan doa dan dukungan.

15. Ibu Agus Murti dan Bapak Agus Santoso yang memberikan keramahan, dukungan, dan kembali menghadirkan figur keluarga dalam kehidupan saya.


(12)

xii

16. Dominicus Yusan Tria Putra untuk setiap cinta, kesabaran, penghiburan dan semangat yang diberikan kepada saya. Terima kasih telah menjadi seorang sahabat, kakak, teman berantem, dan harta saya. Mari kita selesaikan pendakian kita hingga puncak.

17. Sahabat yang luar biasa; Tania, Manik, Okvi, Vivin, Fheni, Jeanet, Meri, Adi, Ayu, Gunung, Pujo, Dimas, Dorin, Yoyo, Pungki, Sambat, Anton, OMK UPWW, dan OMK Paroki Pakem. Terima kasih untuk dukungan, bantuan, dan tempat berkeluh kesah. Kita adalah satu keluarga. Teruslah berjuang untuk cita-cita kita.

18. Tim pencari data penelitian: Dorin, mbak Puri, Yogi, Chiputera, Fheni, Angel, Riris, Vivi, Manik, Entong, Okvi, mas Putra, mbak Lina, mbak Siwi, mbak Erlin, mas Yosep, bude Tari, bude Dewi, bu Sri. Terima kasih karena sudah mau direpotkan. Skripsi ini ada berkat bantuan kalian. God Bless..

19. Arthur, Merlin, dan Berlin yang selalu ada dalam sedih, senang, menjaga, mengajarkan untuk sabar, dan bertanggung jawab. Terima kasih karena memilih saya untuk hidup bersama.

20. Mas Paymoen, mas Komenk, mas Timo, mas Hanes dan mas Betet yang memberikan ilmu dan pengalaman yang belum bisa saya dapatkan di bangku kuliah. Belajar untuk tidak menyerah, tenang, bersikap profesional,dan berelasi dengan banyak orang.


(13)

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9


(15)

xv

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Self Management ... 11

1. Definisi Self Management ... 11

2. Aspek-aspek Self Management Pada Individu Dengan Diabetes Tipe 2 ... 13

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 ... 17

4. Optimalisasi Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 (Santrock, 2011) ... 19

B. Self Efficacy ... 21

1. Definisi Self Efficacy ... 21

2. Aspek-aspek Self Efficacy ... 22

3. Sumber Self Efficacy (Sources of Self Efficacy) ... 24

C. Diabetes ... 29

1. Definisi Diabetes ... 29

2. Kriteria Diabetes Tipe 2 ... 31

3. Dampak Diabetes Tipe 2 ... 32

D. Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 di Indonesia ... 35

E. Skema Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 di Indonesia ... 38


(16)

xvi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Identifikasi Variabel ... 40

C. Definisi Operasional ... 40

1. Self Management ... 40

2. Self Efficacy ... 41

D. Subjek Penelitian ... 42

E. Metode Sampling ... 43

F. Instrumen Penelitian ... 43

1. Skala Self Management ... 44

2. Skala Self Efficacy ... 46

G. Pengujian Instrumen Penelitian ... 48

H. Kategorisasi ... 49

I. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 49

1. Validitas Skala ... 49

2. Seleksi Item ... 50

3. Reliabilitas ... 54

J. Metode Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56


(17)

xvii

B. Deskripsi Subjek ... 57

1. Jenis Kelamin ... 57

2. Usia ... 57

3. Durasi Diabetes Tipe 2 ... 58

C. Hasil Penelitian ... 59

1. Statistik Data Penelitian ... 59

2. Kategorisasi Subjek Penelitian ... 59

3. Uji Normalitas ... 61

4. Uji Linearitas ... 62

5. Uji Hipotesis ... 62

6. Hasil Tambahan ... 63

D. Pembahasan ... 64

E. Keterbatasan Penelitian ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 71

2. Bagi Instansi Kesehatan di Indonesia ... 71

3. Bagi Para Individu dengan Diabetes Tipe 2 ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Self Management ... 45

Tabel 2. Blue Print Skala Self Efficacy ... 47

Tabel 3. Rumus Norma Kategorisasi (Azwar, 2012) ... 49

Tabel 4. Blue Print Skala Self Management setelah Uji Coba ... 51

Tabel 5. Blue Print Skala Self Efficacy setelah Uji Coba ... 53

Tabel 6. Interpretasi Koefisien Korelasi (Sugiyono, 2008) ... 55

Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin ... 57

Tabel 8. Deskripsi Usia ... 58

Tabel 9. Deskripsi Lama Diabetes ... 58

Tabel 10. Statistika Data Penelitian ... 59

Tabel 11. Kategorisasi Skor Variabel Self efficacy dan Self Management ... 60

Tabel 12. Kategorisasi Data Self Efficacy dan Self Management ... 60

Tabel 13. Uji Normalitas ... 61

Tabel 14. Uji Linearitas ... 62

Tabel 15. Uji Hipotesis ... 63


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1: SKALA UJI COBA ... 80

LAMPIRAN 2: RELIABILITAS SKALA ... 93

LAMPIRAN 3: SKALA PENELITIAN ... 103

LAMPIRAN 4: DESKRIPSI SUBJEK ... 112

LAMPIRAN 5: UJI ASUMSI ... 116

LAMPIRAN 6: UJI HIPOTESIS ... 119

LAMPIRAN 7: HASIL TAMBAHAN ... 120


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian 80% bagi penduduk di negara-negara barat (Maes, Leventhal, & DeRidder, dalam Macrodimitris & Endler, 2001). Diabetes adalah perubahan sistem kimiawi dalam tubuh yang mengakibatkan kadar gula berlebih di dalam darah (Bilous, 2002). Sebagian besar diabetes dibedakan ke dalam dua kategori umum. Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes mellitus- IDDM) ditandai oleh defiensi absolut insulin akibat kerusakan sel β pankreas (Kummar, Abbas & Fauston, 2005). Hal ini disebabkan oleh kelainan genetik yang dibawa sejak lahir (Pramudiarja, 2012) yang membuat sel-sel di dalam tubuh tidak dapat memproduksi insulin sehingga penderita harus bergantung terhadap suntikan insulin selama hidupnya (Johnson, 1998). Pada diabetes tipe 2

(non-insulin-dependent diabetes mellitus –NIDDM) disebabkan oleh kombinasi resisten

perifer terhadap kerja insulin dan kurangnya respon sekretorik sel β pankreas (“defisiensi insulin relative”) (Kummar et al., 2005). Hal ini berarti suplai insulin di dalam tubuh berkurang atau tidak cukup efektif sehingga gula darah naik lebih lamban (Bilous, 2002). Diabetes tipe ini disebabkan oleh gaya hidup yang kurang sehat (Pramudiarja, 2012).


(21)

Individu dengan diabetes cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa pada tahun 2000 jumlah individu dengan diabetes di Indonesia sebesar 8, 4 juta (Pdpersi, 2011) dari 206.264.595 juta penduduk (BPS, 2013). Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat adanya kenaikan jumlah individu dengan diabetes menjadi 13, 7 juta orang pada tahun 2003 (Pdpersi, 2011) dari 213.550.500 juta penduduk (DataStatistik-Indonesia, 2013). Berdasarkan pola pertambahan penduduk tersebut diperkirakan pada tahun 2030 akan ada kenaikan individu dengan diabetes sebesar 20,1 juta dengan tingkat prevalensi 14,7 % untuk daerah urban dan 7,2 % di rural (Pdpersi, 2011). Hal ini berarti bahwa adanya kenaikan individu dengan diabetes yang lebih tinggi sebesar 14,7% di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan yang hanya mengalami kenaikan sebesar 7,2%. Saat ini diperkirakan jumlah individu dengan diabetes di dunia mencapai angka 200 juta jiwa dan diprediksikan bahwa pada tahun 2020 individu dengan diabetes akan bertambah menjadi 350 juta jiwa (RiauPosOnline, 2012).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah individu dengan diabetes terbanyak. Hal ini ditunjukan oleh temuan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) yang menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke lima negara dengan individu dengan diabetes terbanyak di dunia. WHO juga memperkirakan bahwa pada tahun 2030 penderita diabetes tipe 2 di Indonesia akan meningkat hingga tiga kali lipat menjadi 21,3 juta jiwa. Pada kasus-kasus diabetes yang terjadi, individu dengan diabetes tipe 2 berkisar 80%


(22)

sampai 90% dibandingkan individu dengan diabetes tipe 1 yang berkisar 10% (Kummar et al., 2005).

Adanya data yang menunjukkan tingginya angka individu dengan diabetes membuat pengobatan diabetes menjadi intensif dan berkelanjutan. Tritmen diabetes yang secara umum dilakukan pada individu dengan diabetes antara lain pengobatan medis, monitoring glukosa darah, terapi diet, dan olahraga (Gonder-Frederick, Cox, & Ritterband, 2002). Selain itu seleksi makanan serta pengaturan pola makan dapat diterapkan dalam perawatan diabetes (Savoca & Miller, 2001)

Pengobatan dan tritmen yang dilakukan oleh individu dengan diabetes dapat meminimalisir resiko terjadinya komplikasi kardiovaskular, mengurangi resiko hipertensi, hiperlipidemi, dan mengontrol gula darah. (Gonder-Frederick et al., 2002). Salah satu cara, yaitu ketaatan pengobatan dan kehadiran waktu kontrol dapat memberikan intervensi pada tekanan darah dan kolesterol (Hills-Briggs, Gary, Bone, Hill, Levine, & Brancati, 2005). Hasil tersebut dapat tercapai ketika penderita diabetes melaksanakan tritmen secara intensif sehingga memberikan dampak pada kualitas hidup individu dengan diabetes (Gonder-Frederick et al., 2002). Pelaksanaan tritmen secara intensif pada individu dengan diabetes sering dikenal dengan self management.

Pelaksanaan manajemen diabetes bukan hal yang mudah. Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan manajemen diabetes antara lain hambatan yang berasal dari faktor pasien dan faktor yang berasal dari penyedia layanan kesehatan. Pada faktor yang berasal dari pasien yaitu hambatan berupa perilaku


(23)

dan kepercayaan. Selain itu terdapat juga hambatan yang berupa pengetahuan, budaya, sumber penghasilan, co-morbidities, dan dukungan sosial dalam pelaksanaan manajemen diabetes (Nam, Chesla, Stotts, Kroon, & Janson, 2011).

Pada penelitian mengenai faktor penghambat dari pasien yang berupa perilaku dan kepercayaan menjelaskan bahwa sekitar 33 % individu dengan diabetes memiliki keengganan dalam melakukan terapi insulin (Polonsky, Fisher, Dowe & Edelman dalam Nam et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh sikap dan keyakinan individu yang menganggap bahwa terapi insulin merupakan kegagalan mereka dalam mengelola penyakit diabetes (Davis & Renda dalam Nam et al., 2011). Selain itu, individu dengan diabetes ini meyakini bahwa terapi insulin akan memperburuk penyakit mereka dan menghasilkan komplikasi yang lebih parah (Davis & Renda dalam Nam et al., 2011). Kesalahpahaman inilah yang pada akhirnya mempengaruhi pasien dalam melakukan self-management diabetes tipe 2.

Pada faktor yang berasal dari penyedia layanan kesehatan, faktor penghambat berupa kepercayaan, perilaku, pengetahuan, interaksi dan komunikasi antara pasien dan penyedia layanan serta sistem kesehatan (Nam, et al., 2011). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa perilaku empati yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan dapat membentuk perilaku

self-management (Peyrot, Burns, Daviesc, Forbes, Hermannse, Holtf, Kalrag,

Nicolucci, Pouwer, Wensj, Willaingk, & Skovlundl, 2012). Akan tetapi penjelasan yang diberikan oleh penyedia layanan kesehatan terhadap pasien


(24)

kurang jelas dan intesif (Schetman et al., dalam Hill-Briggs et al., 2005). Padahal untuk menjalani self-management diperlukan pengertian dan penjelasan dalam pelaksanaannya.

Secara psikologis, Self management berperan sebagai pycho-behavioral yang mempengaruhi hasil kesehatan yang dapat menentukan perkembangan pengobatan dan penyakit (Cobden, Niessen, Barr, Rutten, & Redekop, 2010).

Self management juga berperan dalam meningkatkan kepuasan pelaksanaan

tritment dan mengurangi gejala depresi sehingga individu memiliki kesejahteraan (Cobden et al., 2010). Self management dibuat agar individu terfasilitasi secara pengetahuan, keterampilan, dan dalam pelaksanaan perawatan diri (Funnel, Brown, Childs, Hosey, Jensen, Maryniuk, Peyrot, Piette, Reader, Simineiro, Weinger, & Weiss, 2008)

Perilaku self-management pada individu dengan diabetes sangat penting. Salah satu penelitian menjelaskan bahwa rendahnya perilaku manajemen diri serta kurangnya partisipasi dalam mengikuti program pendidikan, diet maupun pengobatan membuat individu dengan diabetes mengalami gejala depresi (Park, Hong, Lee, Ha, & Sung, 2004). Gejala depresi tersebut berupa perasaan sedih, putus asa, kehilangan berat badan, perasaan lelah yang menghambat aktivitas, serta kesulitan dalam berkonsentrasi (Hufman, Vernoy, & Vernoy, 2000). Hal ini karena self management berkaitan langsung terhadap kondisi kesehatan individu dengan diabetes. Perilaku kurangnya self-managent tersebut muncul karena setiap informasi yang didapat tidak selalu mengarahkan individu untuk


(25)

mengurangi perilaku beresiko meskipun mereka mengetahui resikonya (Nam et al., 2011)

Tingginya angka individu dengan diabetes terutama di Indonesia serta kurangnya self management diabetes memberikan dampak permasalahan pada beberapa area seperti masalah kesehatan fisik dan psikologis. Dari segi dampak kesehatan fisik, individu dengan diabetes rentan terkena penyakit makrovaskular (komplikasi pada pembuluh darah arteri yang lebih besar), mikrovaskular (komplikasi pada pembuluh darah kecil), retinopati (kerusakan retina), nefropati diabetes (penyakit ginjal progresif), kebutaan dan penyakit ginjal stadium akhir (Kummar et al., 2005). Diabetes juga menjadi faktor munculnya sakit jantung, stroke, hipertensi, dan kerusakan pada sistem saraf (Cahyafitri, 2010).

Dari segi dampak secara psikologis terlihat bahwa individu dengan diabetes tipe 1 maupun tipe 2 rentan mengalami depresi dua kali lipat dibandingkan dengan orang pada umumnya tanpa diabetes (Anderson, Freedland, Clouse, & Lustman, 2001). Hal ini disebabkan karena individu dengan diabetes memiliki kondisi yang tidak sama seperti orang pada umumnya. Dalam kesehariannya individu dengan diabetes menghadapi situasi fisik dan emosi yang penuh stres (Kanner, Hamrin & Grey, 2003). Hal ini dikarenakan individu melakukan perubahan gaya hidup dan melaksanakan berbagai tritmen yang kompleks (Lerman, 2005) seperti harus melakukan pemilihan makanan dan pengaturan pola makan untuk menjaga tingkat glukosa darah dalam tubuh (Savoca & Miller, 2001). Selain itu, individu dengan diabetes juga dapat mengalami kesulitan


(26)

menyesuaikan diri terhadap penyakitnya sehingga mengalami distress dan rendahnya self-efficacy setelah 2-3 tahun terdiagnosis (Thoolen, De Ridder, Benshing, Gorter, & Rutten, 2006).

Diabetes merupakan penyakit seumur hidup sehingga membutuhkan proses perawatan dan pengobatan yang panjang dan lama. Self-management merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan dalam memunculkan perilaku gaya hidup sehat yang dapat membantu meminimalkan atau mencegah komplikasi akut dan efek jangka panjang selanjutnya pada individu dengan diabetes (Sousa, Zauszniewski, Musil Price Lea & Davis dalam Al-Khawaldeh, Al-Hassan, & Froelicher, 2011). Adanya keyakinan individu dalam melakukan perilaku

self-management bervariasi sesuai dengan perilaku yang dibutuhkan oleh individu

(Al-Khawaldeh et al., 2011). Salah satu contoh, apabila individu ingin mendapatkan tingkat gula darah yang stabil maka individu akan melakukan

management terhadap asupan makanan yang dikonsumsi. Perilaku self-management yang secara umum biasa dilakukan oleh penderita diabetes yaitu

obat, diet, monitoring glukosa, olahraga, kontrol dokter, dan pengambilan keputusan sehari-hari (Gonder-Frederick et al., 2002).

Pada pengobatan diabetes diperlukan perubahan perilaku yang kompleks mulai dari gaya hidup hingga pola makan. Salah satu faktor yang dapat membuat perubahan perilaku tersebut tercapai ialah self-efficacy. Pada Teori Kognitif-sosial yang menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan penilaian terhadap kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan suatu


(27)

tindakan yang diperlukan untuk pencapaian tugas tertentu (Bandura, 1986).

Self-efficacy bertujuan agar seorang individu percaya terhadap kemampuan diri

sehingga dapat melaksanakan tugas yang diberikan secara kompeten dan efektif. Pada penelitian ini diharapkan self-efficacy yang dimiliki individu dengan diabetes membantu dalam pembentukan perilaku self-management sehingga dapat mengurangi dampak psikologis seperti depresi yang akhirnya mengurang resiko kesehatan dan komplikasi akut.

Pada penelitian ini, peneliti juga meneliti keseluruhan aspek self

management pada individu dengan diabetes 2. Hal ini dikarenakan pada

penelitian sebelumnya terbatas hanya meneliti hubungan self-efficacy dengan ketaatan perilaku self management berupa diet (Senécal, Nouwen & White, 2000) dan kontrol metabolik (Brown et al.; Stenstrom et al.; Surgenor et al. dalam O’Hea, Moon, Karen, Grothe, Boudereaux, Bodenlos, Wallston, & Brantley, 2009). Peneliti sebelumnya meneliti aspek diet karena aspek tersebut dianggap sebagai pusat dari self management pada diabetes (Senécal et al., 2000). Selain itu, peneliti sebelumnya meneliti aspek kontrol metabolik karena merupakan aspek self management secara klinis (O’Hea et al., 2009). Merujuk pada penelitian sebelumnya maka peneliti ingin menambahkan seluruh perilaku

self management yang wajib dilakukan oleh penderita diabetes yaitu obat, diet,

monitoring glukosa, olahraga, kontrol dokter, dan pengambilan keputusan sehari-hari (Gonder-Frederick et al., 2002). Pada peneliti ini akan diteliti hubungan


(28)

antara self-efficacy dan self-management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.

Penelitian ini memiliki keunikan yaitu menggunakan variabel self-efficacy dalam dunia kesehatan yang biasa digunakan dalam dunia pendidikan. Penelitian ini juga berfokus pada individu dengan diabetes tipe 2 karena banyak penelitian yang telah meneliti diabetes namun tidak dikelompokkan secara spesifik berdasarkan tipe diabetes. Selain itu, tingkat jumlah individu dengan diabetes tipe 2 di indonesia yang lebih banyak dibandingkan penderita diabetes tipe 1. Individu dengan diabetes tipe 2 memiliki sakit yang lebih dapat dikontrol dibandingkan diabetes tipe 1 maka penelitian ini berfokus pada penderita diabetes tipe 2.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan self efficacy dan self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self efficacy dan self

management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan informasi bagi ilmu psikologi kesehatan tentang dampak self efficacy bagi dunia kesehatan terhadap self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.


(29)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam meningkatkan self management bagi penderita diabetes tipe 2 di Indonesia dengan memperhatikan self efficacy.


(30)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self Management

1. Definisi Self Management

Self management merupakan kemampuan yang dapat digunakan untuk

membuat diri lebih terorganisir, produktif, memiliki kepuasan, dan mampu merealisasikan potensi yang dimiliki (Marshal & McHardy, 1999). Self

management juga merupakan proses-proses internal pengubahan cara

berpikir yang bertujuan untuk mengarahkan pada satu tujuan melalui penggunaan keterampilan yang dimiliki sehingga mempengaruhi perilaku atau perhatian individu (Karely dalam Creer & Holroyd, 1997). Dapat disimpulkan bahwa kemampuan self management merupakan kunci untuk menjaga fungsi tubuh dan meningkatkan hasil yang dituju oleh individu dengan diabetes (Nuovo, 2007). Self management dapat diterapkan pada berbagai bidang. Salah satu bidang yang menerapkan self management yaitu bidang kesehatan. Hal ini dikarenakan self management merupakan komponen inti pada seluruh penyakit kronis (Levich, 2007) yang digunakan sebagai strategi penanganan melakukan manajemen diri sehingga memberi hasil yang lebih baik.

Salah satu bidang kesehatan yang menggunakan self management yaitu dalam penanganan diabetes. Self management bagi individu dengan diabetes diartikan sebagai elemen yang digunakan dalam melakukan perawatan


(31)

penyakit diabetes untuk meningkatkan kesehatan (Funell, Brown, Childs, Haas, Hosey, Jensen, Maryniuk, Peyrot, Piete, Reader, Siminerio, Katieweinger, Weiss, 2008). Selain itu, self-management juga merupakan dasar penting bagi individu dengan diabetes agar dapat menerapkan pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan diabetes (Funnell & Anderson, 2004). Mamerow (2008) juga menjelaskan bahwa Self

management merupakan perubahan gaya hidup positif yang dapat

menghasilkan peningkatan kontrol glikemik dan mengurangi komplikasi diabetes. Self management yang dilakukan tidak hanya berupa ketaatan pada tritmen harian tetapi juga pada manajemen psikologi dan sosial (Hummel, 2013)

Self-management dibuat untuk membantu individu dengan diabetes

dalam memberi fasilitas pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri (Funell et al., 2008). Perilaku self management memberi pengaruh bagi individu dengan diabetes terhadap cara pengambilan keputusan, melakukan perawatan diri, memecahkan masalah terkait dengan penyakitnya serta dapat melakukan sinergi pengobatan dengan pelayan kesehatan (Funell et al., 2008). Pada akhirnya, self management dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup individu dengan diabetes (Funell et al., 2008).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan self


(32)

positif sehingga meningkatkan kesehatan dan mengurangi komplikasi bagi individu dengan diabetes.

2. Aspek – aspek Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2

Aspek-aspek self management individu dengan diabetes tipe 2 antara lain:

a. Medication

Secara klinis, penanganan diabetes yang umum dilakukan melalui pengobatan (medication). Pengobatan merupakan pemberian obat pengendali gula darah. Jenis obat yang diberikan kepada individu dengan diabetes, yaitu berupa tablet dan insulin (suntikan) (Cahyono, 2008). Setiap obat yang diberikan kepada individu dengan diabetes harus dapat dikenali dosis, dan aturan minum (Cahyono, 2008). Pada pemberian sutikan insulin, individu dengan diabetes diberikan keterampilan mengenai cara penyuntikan, pengaturan dosis insulin dan pemeliharaan alat. Penerapan manajemen pemberian obat secara teratur bertujuan untuk menjaga kenormalan tingkat glukosa dalam darah (ADA, 2013).

b. Diet

Diet adalah komponen penting dalam manajemen diabetes (Gordon, 2007). Diet pada individu dengan diabetes merupakan perencanaan dalam pengelolaan pola makan yang baik (Sutedjo, 2010). Pengelolaan pola makan disesuaikan dengan kebutuhan jenis makanan dan aturan


(33)

diet yang telah ditetapkan. Menurut Cahyono (2008) makanan bagi individu dengan diabetes harus mengandung unsur lengkap seperti kabrohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air yang cukup. Dalam konsumsi makanan, individu dengan diabetes harus terlebih dahulu mengkonsultasikan kepada ahli gizi. Diet bertujuan untuk menormalkan tingkat glukosa dan lipid (lemak) dalam darah. Diet juga dapat menjaga berat badan ideal (Brashers, 2003) dan menyeimbangkan asupan kalori individu dengan diabetes. Para ahli dan ADA (American

Diabetes Association) merekomendasikan asupan kalori yang dikonsumsi sebanyak 50% – 60% berasal dari karbohidrat, 12%- 20% berasal dari protein, dan tidak lebih dari 30% berasal dari lemak (Health & Administration Development Group, 1999).

c. Monitoring atau Tes Glikemia

Monitoring glukosa darah merupakan salah satu strategi para

individu dengan diabetes untuk melihat kondisi glukosa darah dalam tubuh (ADA, 2013). Dalam monitoring glukosa darah, individu melakukan tes glikemia. Tes glikemia merupakan pengukuran kadar glukosa dalam darah atau urin (McDowell & Brown, 2007). Tes glikemia membantu pemahaman individu dengan diabetes dalam mengambil keputusan. Monitoring glukosa darah dan HbA1c (glycated

hemoglobin) dilakukan secara rutin setiap tiga bulan atau dua kali dalam


(34)

d. Olahraga

Olahraga merupakan salah satu tritmen penting dalam pelaksanaan

self management diabetes. Perilaku olahraga yang dikombinasikan diet

(Health & Administration Development Group, 1999) membantu menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan pembakaran glukosa dan peningkatan kadar insulin (Cahyono, 2008). Salah satu jenis olahraga yang dapat dilakukan oleh individu dengan diabetes adalah berjalan (Regina, tanpa tahun). Berjalan merupakan latihan yang bagus, terutama untuk orang yang jarang berolahraga (Health & Administration Development Group, 1999). Seseorang dapat mulai berjalan 15 – 20 menit dalam kurun waktu 3 atau 4 kali seminggu, kemudian secara bertahap meningkatkan kecepatan atau jarak berjalan (Health & Administration Development Group, 1999). Olahraga yang dilakukan oleh individu dengan diabetes berdasarkan pada pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter (Bararah, 2012).

e. Kontrol Rutin ke Dokter

Kontrol rutin ke dokter merupakan salah satu aspek manajemen individu dengan diabetes untuk mengkonsultasikan penyakit diabetes secara berkala kepada dokter. Kontrol rutin bertujuan agar dokter dapat memantau berat badan, tekanan darah, lemak darah, fungsi organ, diet, dan olahraga yang dapat dilakukan oleh individu dengan diabetes. Individu yang tidak rutin melakukan kontrol menyebabkan kurangnya


(35)

informasi akan kondisi diabetesnya. Individu yang sering melakukan kontrol ke dokter akan mendapatkan informasi mengenai kadar gula darah, sehingga semakin baik pula pengawasan terhadap diabetesnya (Purtierplacenta, 2011).

f. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan dalam dunia kesehatan diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki untuk membuat suatu keputusan yang masuk akal tentang cara menangani suatu penyakit, cedera, dan rasa sakit (Devettere, 2010). Pada pengambilan suatu keputusan, individu dengan diabetes harus terlebih dahulu memahami kondisi penyakitnya, mampu mengevaluasi dampak keputusan yang diambil berdampak baik, serta mampu memproses dampak yang dapat terjadi pada dirinya (Devettere, 2010). Pengambilan keputusan membantu memahami, mengevaluasi, dan memproses tentang diri dan kondisi sehingga individu dengan diabetes dapat mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa aspek-aspek dalam self management meliputi medication (pengobatan), diet, monitoring atau tes glikemia, olahraga, kontrol rutin ke dokter, dan pengambilan keputusan.


(36)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Management pada Individu

dengan Diabetes Tipe 2

a. Edukasi

Penyakit diabetes merupakan penyakit yang tidak bisa sembuh. Penyakit diabetes memerlukan penanganan yang intensif agar terhindar dari komplikasi. Edukasi diabetes berfokus dalam meningkatkan kepercayaan diri individu dengan diabetes terkait dalam keefektivan pelaksanaan self-management (Aljasem et al., 2001; William & Bond, 2010). Edukasi bertujuan untuk menyampaikan cara melakukan manajemen diri, sehingga individu dapat menyusun program yang efektif terkait dengan kesehatannya (Aljasem et al., 2001). Pengetahuan tentang diabetes yang didapat mempermudah pekerjaan yang dilakukan serta memberikan keuntungan bagi kesehatan individu dengan diabetes (Aljasem et al., 2001). Informasi tentang diabetes dapat diperoleh dari petugas kesehatan, buku-buku kesehatan popular, seminar, atau media informasi lainnya (Cahyono, 2008).

b. Sosial dan Lingkungan

Pemberian perhatian dan dukungan dari keluarga atau orang lain sangat penting bagi individu dengan diabetes. Dukungan sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri, motivasi, dan antusiame dalam melakukan perilaku self-management secara rutin (William & Bond, 2010). Salah satu penelitian menunjukan bahwa individu dengan diabetes


(37)

yang mendapatkan pertolongan dari anaknya memiliki tingkat dukungan emosional dan coping yang lebih tinggi bagi penyakitnya dibandingkan mereka yang tidak menerima pertolongan (Kanbara, Taniguchi, Sakaue, Wanga, Takaki, Yajima, Naruse, Kojima, Sauriasari, Ogino, 2008). Hal ini dapat dikaitkan dengan pola attachment yang terdapat dalam keluarga. Individu dengan diabetes dengan exhibited dismissing attachment memiliki tingkat ketaatan pengobatan yang rendah jika dibandingkan individu dengan pola kelekatan preoccupied atau secure attachment (Schafer, McCaul, Glasgow, 1986). Selain itu, individu dengan diabetes yang kurang mendapat dukungan dari keluarga biasanya akan memiliki ketidaktaatan dalam pengobatan harian maupun kontrol terhadap penyakitnya (Paul, Wayne, Joan, Edward, 2001; William & Bond, 2010). c. Sistem Pelayanan Kesehatan

Kesuksesan self management individu dengan diabetes dapat dipengaruhi oleh tipe dan kualitas hubungan dokter pasien, kepribadian dokter, atau tipe spesialisasi dari institusi klinis (Pringle et al. dalam Rose, Flieghe, Hildebrandt, Schirop, Klapp, 2002). Penerapan sistem pelayanan yang baik membantu dalam meningkatkan ketaatan manajemen individu dengan diabetes. Pada beberapa penelitian menginformasikan penjelasan pengobatan untuk kaum minoritas (Afrika Amerika) kurang intensif dan kompleks dibandingkan untuk orang kulit


(38)

putih (Schetman et al. dalam Hill-Briggs et al., 2005) sehingga menyebabkan kurangnya informasi dan pemahaman dalam pengobatan. d. Penyakit dan Obat

Diabetes merupakan jenis penyakit yang memiliki penanganan yang komplek. Penanganan dilakukan tidak hanya melalui obat tetapi juga mengubah keseluruhan gaya hidup penderitanya. Pada umumnya individu dengan diabetes lebih mudah mengikuti anjuran minum obat (Gonder-Frederick et al., 2002) daripada melakukan tritmen diabetes yang lain seperti merubah kebiasaan makan dan aktivitas fisik (Gonder- Frederick et al., 2002).

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi self management pada individu dengan diabetes tipe 2 meliputi edukasi, sosial, sistem pelayanan kesehatan, penyakit dan obat.

4. Optimalisasi Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2

(Santrock, 2011)

Optimalisasi self management dideskripsikan dari teori optimalisasi selektif melalui kompensasi (Santrock, 2011). Teori ini mendeskripsikan cara agar individu dapat menghasilkan sumber daya dan mengalokasikan secara efektif ke dalam tugas-tugas yang ingin dilakukan. Dalam hal ini tugas-tugas tersebut berupa self management pada diabetes tipe 2.


(39)

a. Seleksi (selection)

Seleksi merupakan proses pemilihan agar memiliki dampak atau respon yang baik dalam pelaksanaan tujuan (APA, 2007). Pada tahapan seleksi individu berfokus pada tujuan yang penting di dalam hidup, sehingga individu membuat komitmen terhadap pencapaian tugas-tugas. Dalam hal ini fokus tujuan individu adalah pelaksanaan self

management diabetes.

b. Optimalisasi (optimization)

Optimalisasi merupakan usaha individu dalam mempertahankan performa di beberapa bidang, melalui praktik terus menerus dan penggunaan teknologi baru. Individu diabetes tipe 2 melakukan hal-hal yang telah direncanakan dalam self management. Pada proses optimalisasi, individu meluangkan waktu untuk memperoleh informasi tentang self management, sehingga individu dapat menunjukkan peforma yang baik di dalam keseharian pelaksanaan self management pada diabetes tipe 2.

c. Kompensasi (compensation)

Kompensasi merupakan substitusi atau pengembangan kekuatan atau kemampuan di satu daerah untuk mengimbangi kekurangan lainnya. (APA, 2007). Individu diabetes tipe 2 perlu melakukan kompensasi di lingkungannya yang mengandung tuntutan secara mental dan psikis. Adanya kompensasi membuat individu dapat memikirkan


(40)

dan mengingat cara-cara lain untuk memenuhi pelaksanaan self

management.

B. Self Efficacy

1. Definisi Self Efficacy

Self efficacy merupakan penilaian akan kemampuan diri seseorang dalam

mengorganisasikan dan melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (Bandura, 1986, 1997; Taylor, Peplau, & Sears, 2009; Schunk, 2012). Self efficacy juga diyakini sebagai keyakinan akan kemampuan diri terhadap kompetensi dan efektivitas di bidang tertentu (Woolfolk, 2009) yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi yang ada di lingkungan (Feist & Feist, 2008) atau kondisi di masa mendatang (Pervin, Cervone, & John, 2010).

Pendapat lain mengatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan dalam melakukan tindakan berdasarkan pada keterampilan, dan kecakapannya (Schunk 2012). Self efficacy juga didefinisikan sebagai pandangan akan kemampuan dalam melakukan suatu hal yang memuaskan dalam situasi tertentu berdasarkan kondisi lingkungan dan kondisi kognitif. (Alwisol, 2009).

Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

self efficacy dalam penelitian ini adalah penilaian terhadap kemampuan diri

dalam melaksanakan suatu tugas yang didasarkan pada kapabilitas, keterampilan, kondisi kognitif, dan kondisi lingkungan.


(41)

2. Aspek-aspek Self Efficacy

Menurut Bandura (1997) self efficacy terdiri dari tiga aspek yaitu: a. Tingkatan (level)

Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap kemampuan efikasi dirinya. Self efficacy dipengaruh oleh tingkatan tuntutan tugas yang terdiri atas tugas sederhana, tugas sulit atau tuntutan kinerja yang berat pada suatu bidang. Pandangan terhadap kemampuan melaksanakan tugas dapat diukur melalui kinerja yang sukses dalam melaksanakan tuntutan tugas. Jika tidak ada hambatan dalam melaksanakan tugas maka aktivitas menjadi mudah untuk dilakukan. Hal ini berarti tugas yang mudah membuat orang memiliki self efficacy yang tinggi.

Individu dengan self efficacy tinggi akan melakukan usaha lebih banyak dan bertahan dalam pelaksanaan tugas sulit (Bandura & Cervone; Schunk dalam Schunk, 2012). Self efficacy tinggi juga dimiliki oleh individu yang mendapatkan tugas sulit tetapi berhasil melaksanakan (Alwisol, 2009). Kesuksesan kinerja dalam menghadapi tugas sulit akan meningkatkan self efficacy (Feist & Feist, 2008) sehingga individu merasa yakin bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas (Bandura & Cervone; Schunk dalam Schunk, 2012).


(42)

b. Keadaan Umum (Generality)

Individu akan menilai kemampuan mereka lebih efektif dalam pada keadaan umum atau pada keadaan khusus saja. Individu yang memiliki

self efficacy tinggi di bidang tertentu merasa tidak takut gagal dan mampu

memunculkan strategi-strategi baru dalam pelaksanaan tugas (Woolfolk, 2009). Generality dapat mencangkup tingkat kesamaan kegiatan, modal akan kemampuan (perilaku, kognitif, afektif), kualitas lingkungan, dan karakteristik orang yang dikenai perilaku tersebut. Penilaian akan kemampuan tersebut juga bergantung pada domain aktivitas dan konteks situasional serta keyakinan masyarakat terhadap keberhasilan mereka. Artinya jika individu memiliki self efficacy yang tinggi maka dalam keadaan apa pun individu tersebut akan tetap merasa mampu. Jika Individu memiliki self efficacy yang rendah hanya akan mampu melakukan tugas yang spesifik.

c. Kekuatan (Strength)

Pada aspek strength berhubungan terhadap kekuatan individu terhadap keyakinannya dalam pelaksanaan tugas. Strenght dari self

efficacy yang rendah akan mudah hilang oleh pengalaman yang tidak

sesuai dengan harapan. Individu yang memiliki keyakinan self efficacy yang tinggi akan yakin terhadap kemampuan diri sehingga terus berupaya dalam menghadapi kesulitan dan hambatan. Individu dengan self efficacy yang tinggi juga tidak mudah merasa kesulitan dalam situasi sulit.


(43)

Kekuatan dari self efficacy yang besar dan kuat memungkinkan bahwa aktivitas yang dipilih akan berhasil dilakukan.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa aspek-aspek dalam self efficacy meliputi level (Tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum dari tugas), dan strength (keyakinan akan kemampuan dalam pelaksanaan tugas).

3. Sumber Self Efficacy (Sources of Self Efficacy)

Ada beberapa faktor yang menjadi sumber dari self efficacy antara lain (Bandura, 1986; 1997):

a. Enactive Mastery Experiences

Enactive mastery experiences merupakan pengalaman langsung

tentang kesuksesan atau kegagalan yang memberikan pengaruh pada self

efficacy (Alwisol, 2009). Keberhasilan yang diraih oleh individu dapat

membangun kepercayaan yang kuat dalam self efficacy Sebaliknya, kegagalan dapat merusak self efficacy terutama jika kegagalan itu terjadi sebelum adanya pengalaman keberhasilan. Individu yang mengalami keberhasilan dengan mudah akan kembali mengharapkan hasil yang cepat dan menjadi mudah putus asa jika mengalami kegagalan. Keberhasilan yang di dalam prosesnya mendapatkan kesulitan akan memberikan pembelajaran pada seseorang mengenai cara mengubah kegagalan menjadi kesuksesan dan semakin mengasah kemampuan. Individu yang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk berhasil akan bertahan


(44)

dalam menghadapi kesulitan dan tidak menyerah jika mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan individu memiliki self efficacy tinggi serta merasa lebih mampu.

b. Vicarious Experiences

Vicarious experience merupakan sikap seorang individu dalam

mengidentifikasi dirinya dengan pengalaman orang lain sehingga memberikan pengaruh pada self efficacy (Woolkfol, 2009). Vicarious

experience menjadi sumber informasi mengenai kemampuan seseorang.

Penilaian akan keberhasilan sebagian dipengaruhi oleh vicarious

experience melalui pencapaian dari pengalaman orang lain yang ditiru.

Pengalaman orang lain berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menciptakan rasa keberhasilan pribadi. Efficacy individu akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efficacy akan menurun jika mengamati orang dengan kemampuan yang sama gagal (Alwisol, 2009). Salah satu contoh adalah seorang siswa yang melihat model dalam bekerja. Ketika model bekerja dengan baik maka efficacy siswa menjadi meningkat sedangkan jika model bekerja dengan buruk maka ekspektasi efficacy siswa menjadi menurun (Woolfolk, 2009).

Vicarious experience memiliki dua bentuk dalam pengamatan model yaitu live modeling dan symbolic modelling. Live modeling merupakan pengamatan individu terhadap model yang nyata (Alwisol, 2009).


(45)

simbolik seperti tokoh film, komik, atau cerita (Alwisol, 2009). Vicarious

experience tidak memiliki pengaruh yang besar ketika model yang

diamati memiliki kemampuan yang berbeda dengan individu pengamat (Alwisol, 2009). Vicarious experience merupakan pengalaman yang lebih lemah dari pada pengalaman langsung. Akan tetapi vicarious

experience dapat dijadikan sebagai pengganti dari pengalaman langsung

yang sifatnya meningkatkan atau menetralkan pengalaman langsung tersebut.

c. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal)

Verbal persuasion merupakan umpan balik yang diberikan kepada

individu atas kinerjanya (Woolfolk, 2009). Verbal persuasion terbagi menjadi empat jenis yaitu sugestion, exhortation, self-instruction, dan

interpretive treatment (Alwisol, 2009). Sugestion merupakan kata-kata

yang didasari oleh kepercayaan individu yang dapat mempengaruhi.

Exhortation merupakan kata-kata nasihat atau peringatan yang sifatnya

mendesak/ memaksa. Self-instruction merupakan kata-kata persuasif yang memerintah diri sendiri. Interpretive treatment merupakan kata-kata yang mengubah atribusi atau sebagai penanggung jawab suatu kejadian emosional.

Verbal persuasion merupakan sarana yang dapat memperkuat

keyakinan individu tentang kemampuan yang mereka miliki dalam mencapai tujuan. Ketika individu berjuang untuk mendapatkan


(46)

keberhasilan ditengah kesulitan maka individu juga akan lebih mudah menjaga sense of efficacy yang dimiliki. Verbal persuasion memiliki keterbatasan dimana tidak dapat bertahan lama dalam peningkatan self

efficacy. Akan tetapi, verbal persuasion dapat mendorong individu ke

arah yang positif jika masih dalam batas-batas yang realistis. Jika individu dipersuasi untuk meningkatkan kepercayaan dirinya secara tidak realistis hal ini akan menyebabkan kegagalan yang dapat merusak kepercayaan terhadap kemampuan indvidu tersebut. Dicontohkan bahwa individu yang dipersuasi bahwa memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas akan menunjukkan usaha yang lebih besar daripada individu yang dipersuasi oleh rasa keraguan dan kekurangan dalam diri ketika adanya kesulitan. Verbal persuasion memiliki dampak positif untuk meningkatkan self efficacy sehingga individu menjadi lebih percaya bahwa mereka memiliki kemampuan.

d. Psychological and Affective States (Keadaan Psikologis dan Emosional) Psychological and Affective states merupakan interpretasi keadaan

tingkat emosi yang memberikan pengaruh pada self efficacy (Woolfolk, 2009). Individu sering dihadapkan pada situasi yang stressfull dan penuh beban (Bandura, 1986; 1997). Kondisi emosi yang tinggi menyebabkan disfungsi pada individu sehingga melemahkan kinerja. Emosi yang kuat dapat berupa rasa takut yang besar, kecemasan, dan kondisi stress yang tinggi (Feist & Feist, 2008). Emosi yang tinggi akan menurunkan tingkat


(47)

performansi yang berdampak juga pada penurunan self efficacy (Feist & Feist, 2008). Individu yang memiliki perasaan cemas dan khawatir dalam pelaksanaan tugas akan menurunkan self efficacy sedangkan perasaan bergairah dapat meningkatkan self efficacy (Bandura; Pintrich & Schunk dalam Woolfolk, 2009).

Dalam melakukan penilaian akan kemampuan, individu mengandalkan pada informasi somatik (kondisi tubuh) yang disampaikan oleh keadaan psikologis dan emosional (Bandura, 1986; 1997). Indikator somatik dalam efficacy personal berhubungan dengan bidang-bidang seperti prestasi, fungsi kesehatan, dan mengatasai sumber stres. Terdapat empat cara utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan self

efficacy, yaitu meningkatkan kemampuan fisik, mengurangi tingkatan

stres, emosi negatif, dan manafsirkan secara tepat kondisi tubuh (Bandura, 1986; 1997).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka sumber dalam self efficacy meliputi enactive mastery experiences (pengalaman langsung), vicarious

experience (pengalaman orang lain), verbal persuasion (persuasi verbal), dan Psychological and Affective states (Keadaan Psikologis dan Emosional).


(48)

C. Diabetes

1. Definisi Diabetes

Diabetes merupakan kumpulan kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin (Ganong, 1995). Artinya suplai insulin di dalam tubuh berkurang atau tidak cukup efektif sehingga gula darah naik lebih lamban (Bilous, 2002). Diabetes juga merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan gambaran umum hiperglikemia (Kummar dkk, 2005). Artinya diabetes merupakan penyakit yang merusak sistem metabolisme tubuh sehingga gula darah menjadi tinggi. Berdasarkan pendapat para ahli maka diabetes didefinisikan sebagai ganguan hormon insulin yang mengatur kadar gula darah dalam tubuh (Cahyono, 2008).

Pada umumnya, diabetes dibedakan ke dalam dua kategori. Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes mellitus- IDDM) yang merupakan defisiensi absolute insulin akibat kerusakan sel β pankreas (Kummar et al., 2005) yang disebabkan oleh proses imunologis (anti bodi yang menyerang pankreas tubuh) atau dikarenakan infeksi virus (Cahyono, 2008).

Diabetes tipe 2 (non insulin-dependent diabetes mellitus – NIDDM) merupakan keadaan kombinasi resisten perifer terhadap kerja insulin dan kurannya respon sekretorik sel β pankreas (“defisiensi insulin relative”) (Kummar et al., 2005). Hal ini berarti bahwa suplai insulin di dalam tubuh berkurang atau tidak cukup efektif sehingga gula darah naik lebih lamban (Bilous, 2002). Hal tersebut dapat dikarenakan oleh gaya hidup yang kurang


(49)

sehat (Bararah, 2012). Diabetes tipe 2 juga dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi keletihan pankreas dan adanya resitensi insulin di dalam tubuh (Cahyono, 2008) yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat.

Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa diabetes merupakan penyakit yang disebabkan oleh defisiensi insulin yang menyebabkan insulin tidak dapat berfungsi secara efektif di dalam tubuh. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian secara khusus terhadap diabetes tipe 2 yaitu kondisi resistensi insulin di dalam tubuh yang menyebabkan berkurangnya jumlah insulin di dalam tubuh sehingga gula darah naik secara lamban.

Pada penelitian ini, peneliti memilih diabetes tipe 2 karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita terbesar ke lima di dunia berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO). Pada kasus-kasus diabetes yang terjadi, penderita diabetes tipe 2 berkisar 80% sampai 90% dibandingkan penderita diabetes tipe 1 yang berkisar 10% (Kummar et al., 2005). Pada penelitian sebelumnya, peneliti lain mengabaikan tipe variasi dari penyakit diabetes (Macrodimitris & Endler, 2001). Pada penelitian ini, peneliti merasa penting untuk melihat tipe diabetes secara spesifik. Berdasarkan data dan teori, diabetes tipe 2 memiliki dampak psikologis dan fisiologis yang besar terhadap penderitanya


(50)

(Macrodimitris & Endler, 2001). Diabetes tipe 2 juga merupakan penyakit yang terkontrol sehingga lebih fokus dalam pengukurannya.

2. Kriteria Diabetes Tipe 2

Diabetes tipe 2 merupakan kondisi resistensi insulin di dalam tubuh sehingga gula darah naik secara perlahan. Individu dengan diabetes pada umumnya akan memiliki kritetria sebagai berikut:

a. Kriteria Fisik

1) Merasa lelah dan mengalami penurunan berat badan atau obesitas tanpa penyebab yang jelas (Kummar et al., 2005).

2) Sulit terjadi penggunaan gula darah pada tubuh (Misnadiarly, 2006).

3) Pengobatan tidak harus dengan insulin (Misnadiarly, 2006). 4) Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun (Misnadiarly, 2006).

5) Mudah kehilangan tenaga dan merasa tidak sehat (Sustrani, Alam, & Hadibroto, 2006)

6) Sering buang air kecil (Sustrani et al., 2006)

7) Air seni memiliki rasa seperti kecap manis (Ganong, 1995) b. Kriteria Klinis (Brashers, 2003)

1) Menurut The expert Committee on Diagnosis an Classification of


(51)

− Glukosa plasma puasa (FPG) ≥ 7mmol/L (126mg/ dL) yang merupakan pengukuran tingkat glukosa dalam darah yang dilakukan ketika menjalani puasa.

− Konsentrasi glukosa plasma sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200mg/ dl) yang merupakan pengukuran tingkat glukosa dalam darah yang dapat dilakukan kapan saja tanpa memperhitungkan waktu makan.

− Kadar glukosa plasma 2 jam ≥ 11.1 mmol/L selama uji toleransi glukosa oral (OGTT) yang merupakan pengukuran tingkat glukosa dalam darah yang dilakukan dalam waktu dua jam setelah makan.

2) Kadar tingkatan hemoglobin yang mengandung glukosa(gula) berada diatas 7%

3) Kadar c-Peptida (fragmen tidak aktif yang terlepas dari proinsulin) normal atau meningkat.

3. Dampak Diabetes Tipe 2

Individu dengan diabetes tipe 2 adalah individu dengan resistensi insulin di dalam tubuh yang menyebabkan berkurangnya jumlah insulin di dalam tubuh sehingga gula darah naik secara lamban. Hal tersebut menyebabkan dampak pada individu dengan diabetes tipe 2. Dampak tersebut antara lain:


(52)

a. Dampak Kesehatan Fisik (Misnadiarly, 2006; Sustrani et al., 2006)

1) Kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh banyaknya kadar gula darah (hiperglikemia) atau sedikitnya kadar gula darah (hipoglikemia) dalam tubuh.

2) Penderita dapat mengalami tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan kerusakan pada organ ginjal.

3) Adanya ganguan penglihatan seperti katarak sampai terjadi kebutaan.

4) Adanya infeksi kulit yang berat sehingga harus diamputasi agar tidak menjalar ke jaringan yang lain.

5) Adanya penurunan kemampuan indra terutama pada indra mata dan telinga

6) Adanya kerusakan organ-organ tubuh seperti lambung, jantung, paru-paru dan kandung kemih

7) Penurunan kemampuan seksual terutama pada pria. b. Dampak Psikologis

1) Depresi (Anderson et al., 2001)

Penderita diabetes tipe 2 rentan mengalami depresi. Depresi dapat mempengaruhi kondisi tubuh, mood, dan pikiran sehingga berdampak pada pola makan dan tidur (Saiiari, Moslehi, Sajadiyan, 2011). Depresi merupakan akibat dari perubahan kondisi tubuh dan gaya hidup yang berbeda dari orang pada umumnya. Penderita


(53)

diabetes melakukan perubahan gaya hidup dan melaksanakan berbagai tritmen yang kompleks (Lerman, 2005). Kondisi inilah yang menyebabkan penderita diabetes menghadapi situasi fisik dan emosi yang penuh stress (Kanner et al., 2003).

Penderita diabetes tipe 2 yang mengalami depresi secara signifikan mengalami perubahan suasana hati dan disfungsi kognitif (Watari, Letamendi, Elderkin-Thompson, Haroon, Miller, Darwin, & Kumar, 2006). Disfungsi kognitif yang dialami penderita diabetes yaitu lambat dalam memproses informasi dan memiliki executive

functioning (perencanaan, pembuatan keputusan, pelaksanaan tugas)

yang rendah (Watari et al., 2006). 2) Ketaatan Perawatan Diri yang Rendah

Tingginya tingkat depresi pada penderita diabetes membuat penderita diabetes memiliki ketaatan yang rendah terhadap perawatan dirinya (Park et al., 2004). Hal ini dikarenakan perasaan pengingkaran dan penolakan yang menyebabkan penderita tidak taat terhadap pemantauan dirinya sendiri (Behrman, Kliegman, & Arvin, 1996).


(54)

D. Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu dengan

Diabetes Tipe 2 di Indonesia

Self efficacy merupakan penilaian akan kemampuan diri seseorang dalam

mengorganisasikan dan melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (Bandura, 1986, 1997; Taylor et al., 2009; Schunk, 2012). Selain itu, self efficacy juga diyakini sebagai keyakinan akan kemampuan diri terhadap kompetensi dan efektivitas di bidang tertentu (Woolfolk, 2009) yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi yang ada di lingkungan (Feist & Feist, 2008) atau kondisi di masa mendatang (Pervin et al., 2010). Self efficacy yang dimiliki oleh setiap individu berbeda satu sama lain. Berdasarkan keyakinan mereka atas tingkat kesulitan tugas yang dihadapi, keadaan umum dari tugas, dan keyakinan akan kemampuan dalam pelaksanaan tugas (Bandura, 1986; 1997).

Self efficacy berdasarkan teori kognitif sosial menjelaskan interaksi antara perilaku, diri, dan faktor lingkungan bagi kesehatan dan penyakit kronis (Sarkar, Fisher, Schillinger, 2006). Individu dengan diabetes tipe 2 dalam pelaksanaan

self management memerlukan perubahan perilaku, diri, dan lingkungan dalam

aktivitas sehari-hari (Sarkar et al., 2006). Konsep self efficacy menjadi relevan untuk meningkatkan self management. Self efficacy merupakan faktor kunci dalam perubahan perilaku karena memberikan pengaruh melalui proses kognitif, motivasional, afektif, dan pengambilan keputusan (Schunk, 2012). Teori self

efficacy mengatakan bahwa keyakinan individu akan kemampuan diri akan


(55)

diabetes, self efficacy merupakan keyakinan akan kemampuan diri, sehingga individu dengan diabetes menjadi percaya diri melakukan perilaku self

management (Sarkar et al., 2006). Penelitian di Jordania menunjukan bahwa

individu yang memiliki self efficacy tinggi juga memiliki perilaku self

management yang baik dalam diet, olahraga, dan tes glikemia (Al-Khawaldeh et

al., 2012). Self efficacy juga dapat memberikan pengaruh pada perilaku kesehatan (Schunk, 2012) sehingga individu akan melakukan self management bagi kesehatan dan kesejahteraannya (Bandura dalam Schunk, 2012).

Individu dengan diabetes tipe 2 yang memiliki self efficacy tinggi akan berpikir positif, dapat memotivasi diri ketika menghadapi kesulitan, dapat mengendalikan emosi ketika dalam keadaan yang penuh tekanan, serta dapat membuat keputusan di saat kritis (Benight & Bandura dalam Schunk, 2012). Di sisi lain, self efficacy yang tinggi membuat individu dapat menjalankan perilaku

self management dengan taat (Bandura, 1987). Akan tetapi, individu yang

memiliki tingkat self efficacy yang rendah akan memiliki perilaku yang kurang berusaha untuk mencapai keberhasilan (Bandura, 1987). Pada individu dengan diabetes tipe 2 terlihat bahwa individu dengan self efficacy rendah memiliki kontrol yang rendah dalam monitoring gula darah (O’Hea et al., 2008). Di samping itu, individu menjadi rentan mengalami depresi (Kanner et al., 2003; Thoolen et al., 2006)

Pada individu dengan diabetes tipe 2 perilaku yang menunjukan self


(56)

pengaturan pola makan, kontrol rutin ke dokter, dan pengambilan keputusan. Self

management merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola gaya hidup

positif sehingga meningkatkan kesehatan dan mengurangi komplikasi bagi individu dengan diabetes.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin meneliti apakah terdapat hubungan antara self efficacy dan self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.


(57)

E. Skema Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu

dengan Diabetes Tipe 2 di Indonesia

Penderita diabetes tipe 2

Self efficacy 1. Tingkatan (Level)

2. Keadaaan Umum (Generality) 3. Kekuatan (Strength)

Kepercayaan diri akan kemampuan mengontrol diri

Self Management

Medication

Diet

Monitoring/ Tes Glikemia

Olahraga

Kontrol rutin ke dokter


(58)

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ada hubungan positif antara self efficacy dengan self management pada individu dengan diabetes tipe 2. Apabila tingkat self efficacy tinggi maka tingkat

self management juga akan tinggi. Sebaliknya, apabila tingkat self efficacy

rendah maka tingkat self management juga akan rendah.


(59)

40

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasi. Penelitian korelasi adalah penelitian yang menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara self

efficacy dan self management.

B. Identifikasi Variabel

Variabel dependen : self management Variabel independen : self efficacy

C. Definisi Operasional

1. Self Management

Self management bagi individu diabetes adalah kemampuan seseorang

untuk mengelola gaya hidup positif sehingga meningkatkan kesehatan dan mengurangi komplikasi bagi individu tersebut.

Kemampuan tersebut diwakili oleh skor self management berdasarkan aspek-aspek, yaitu medication, diet, monitoring/tes glikemia, olahraga, kontrol rutin ke dokter, dan pengambilan keputusan. Pada aspek medication, individu melakukan self management dengan cara melakukan pengobatan melalui minum obat tablet atau pemberian suntikan insulin secara teratur. Pada aspek monitoring/ tes glikemia, individu memonitor gula darah atau tes glikemia secara rutin setiap tiga bulan sekali atau dua kali dalam setahun


(60)

apabila glukosa darah telah terkontrol dengan baik. Pada aspek olahraga, aspek yang diukur individu ialah latihan secara rutin seperti berjalan 15-20 menit dalam kurun waktu 3 kali seminggu. Kemudian secara bertahap meningkatkan kecepatan atau jarak berjalannya. Pada aspek kontrol rutin ke dokter, aspek yang diukur individu ialah mengkonsultasikan penyakit diabetesnya secara berkala kepada dokter. Pada aspek pengambilan keputusan diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk membuat suatu keputusan yang masuk akal tentang cara menangani penyakitnya.

Pada penelitian ini, self management akan diukur menggunakan skala

self management yang akan dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek dari self management pada individu dengan diabetes tipe 2.

2. Self Efficacy

Self efficacy merupakan penilaian terhadap kemampuan diri dalam

melaksanakan suatu tugas yang didasarkan pada kapabilitas, keterampilan, kondisi kognitif, dan kondisi lingkungan.

Kemampuan tersebut diwakili oleh skor dari skala self efficacy berdasarkan aspek-aspek, tingkatan (level), keadaan umum (generality), dan kekuatan (strength). Pada aspek tingkatan (level), merupakan skor kemampuan dalam melaksanakan tuntutan tugas yang didasarkan pada tingkat kesulitan tugas. Jika tingkat kesulitan tugas dinilai oleh individu rendah maka individu tersebut memiliki self efficacy yang tinggi. Apabila


(61)

tingkat kesulitan tugas tinggi dan individu mampu dalam mengerjakan maka individu tersebut juga memiliki self efficacy yang tinggi.

Pada aspek keadaan umum (generality), merupakan keyakinan akan kemampuan diri yang dinilai berdasarkan bidang tertentu atau pada semua bidang.

Pada aspek kekuatan (strength), merupakan keyakinan akan kekuatan kemampuan diri dalam pelaksanaan tugas. Individu yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan, mereka akan terus berusaha dalam menghadapi kesulitan dan hambatan. Hal ini mengindikasikan juga bahwa mereka memiliki self efficacy yang tinggi.

D. Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti akan mengambil subjek yang telah didiagnosis mengidap diabetes tipe 2 dalam satu tahun terakhir. Peneliti menggunakan subjek individu dengan diabetes tipe 2 yang telah didiagnosis minimal dalam satu tahun terakhir dengan pertimbangan bahwa subjek ini telah menjalani keseluruhanan proses yang ada dalam self management. Selain itu, subjek juga menerapkan perilaku self management dalam pengelolaan penyakit diabetes tipe 2.


(62)

E. Metode Sampling

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis pengambilan sampel

non probability sampling. Non probability sampling merupakan teknik

pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/ kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2011). Di samping itu, penelitian ini akan menggunakan non probability sampling jenis

sampling purposive. Sampling purposive merupakan teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Pertimbangan tertentu yaitu penentuan sampel pada subjek yang memiliki diabetes tipe 2. Data pada penelitian ini akan diambil di rumah sakit dan daerah-daerah yang berada di Yogyakarta.

F. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan 2 jenis skala di dalam metode pengambilan data. Metode pertama yaitu metode pengambilan data dengan menggunakan skala Likert yang tersusun menjadi skala self management. Metode ke dua yaitu metode pengambilan data dengan menggunakan rating

scale yang tersusun menjadi skala self efficacy. Pada penelitian ini, peneliti

menyusun sendiri instrument penelitian karena ada penambahan beberapa aspek penelitian pada skala self management. Selain itu, peneliti juga belum menemukan skala penelitian self efficacy yang memiliki terjemahan baik ke dalam bahasa Indonesia.


(63)

1. Skala Self Management

Pada skala self management berisi 54 pertanyaan yang terdiri atas pernyataan favorable dan unfavorable. Pada penelitian ini subjek akan diminta memilih empat alternatif jawaban, yaitu “Selalu” (S), “Hampir Selalu” (HS), “Jarang” (J), dan “Tidak Pernah” (TP) . Subjek diminta untuk memilih salah satu kemungkinan jawaban yang menggambarkan keadaan diri subjek berdasarkan pernyataan yang telah disediakan. Penilaian pada jawaban favorable yaitu “Selalu” diberikan nilai 4, “Hampir Selalu” adalah 3, “Jarang” adalah 2, “Tidak Pernah” adalah 1. Sedangkan penilaian jawaban unfavorable “Selalu” diberikan nilai 1, “Hampir Selalu” adalah 2, “Jarang” adalah 3, “Tidak Pernah” adalah 4. Pada skala ini tidak memasukan jawaban netral karena pilihan jawaban netral akan menutupi karakter personal dalam diri subjek (Friedenberg, 1995). Penggunaan jawaban netral juga dikhawatirkan memberikan respon yang kurang bervariatif (Nussbeck, 2009 dalam Azwar, 2012).


(64)

Table 1. Blue Print Skala Self Managemet

Aspek Indikator No. Aitem Total Bobot (%)

F UF

Medication 1. Rutin minum obat 2. Mengetahui

pengaturan dosis obat dengan tepat. 3. Menyimpan obat

dengan benar

1, 2, 3 4, 5

6, 7

8, 9, 10 11, 12

13, 14

14 22,5%

Diet 1. Mengatur pola makan sesuai dengan aturan diet. 2. Menjaga berat badan

pada tingkat ideal. 3. Memperhitungkan

asupan kalori yang dikonsumsi 15, 16 17, 18 19, 20 21, 22 23, 24 25, 26

12 19,4%

Monitoring /

Tes Glikemia

Rutin melakukan pengecekan gula darah.

27, 28 29, 30 4 6,4%

Olahraga 1. Rutin dalam melakukan olahraga. 2. Mengetahui jenis olahraga yang dapat

31, 32

33, 34

37, 38

39, 40


(65)

dilakukan. 3. Melakukan

konsultasi olahraga kepada dokter.

35, 36 41, 42

Kontrol Rutin ke Dokter

1. Melakukan kontrol secara teratur. 2. Memperhatikan

kondisi diabetes untuk memantau kesehatan.

43, 44

45, 46

47, 48

49, 50

8 12,9%

Pengambil an Keputusan

1. Melakukan pengambilan keputusan secara tepat.

2. Mengetahui

konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil

51, 52, 53

54, 55, 56

57, 58, 59

60, 61, 62

12 19,4%

Total 31 31 62 100%

2. Skala Self Efficacy

Pada skala self efficacy berisi 42 pertanyaan yang terdiri atas pernyataan

favorable dan unfavorable. Dalam skala model rating scale , subjek akan

diminta memilih salah satu jawaban kuantitatif yang telah disediakan. Pada penelitian ini subjek diminta untuk memberikan tanda pada alternatif


(66)

jawaban yang sesuai dengan diri subjek. Alternatif jawaban yaitu angka “1”, “2”, “3”, “4”, dan “5”. Semakin menuju angka “5” menunjukan semakin tingginya tingkat persetujuan subjek. Semakin menuju angka “1” menunjukan semakin rendahnya tingkat persetujuan subjek. Pada skala ini menggunakan rentang skor yang tidak banyak agar responden dapat merespon dengan baik dan tidak memunculkan bias.

Table 2. Blue Print Skala Self Efficacy

Aspek Indikator

No. Aitem

Total

Bobot

(%)

F UF

Tingkatan (level)

Mampu melaksanakan tuntutan tugas.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

8, 9, 10, 11, 12, 13, 14

14 33.3%

Keadaan Umum (generality)

Mampu melaksanakan tugas dalam kondisi apapun.

15, 16, 17, 18, 19, 20, 21

22, 23, 24, 25, 26, 27, 28

14 33.3%

Kekuatan (strength)

Memiliki keyakinan akan kekuatan dalam menghadapi kesulitan.

29, 30, 31, 32, 33, 34, 35

36, 37, 38, 39, 40, 41, 42

14 33.3%


(67)

G. Pengujian Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data try out yang bertujuan untuk melihat tingkat reliabilitas skala serta mendapatkan item-item yang berkualitas. Sebelum melakukan pengambilan data try out, peneliti membuat

blue print skala berdasarkan aspek-aspek yang terdapat pada variabel self management dan self efficacy. Blue print skala berguna mengatur bobot item

masing-masing aspek pada skala try out. Setelah skala try out selesai dibuat, maka skala diujikan kepada dosen pembimbing untuk dilihat kesesuaian dengan indikator perilaku serta tujuan pengukurannya.

Skala try out yang sudah sesuai kemudian diujikan untuk mendapatkan data penelitian. Pengambilan data try out dilakukan dari tanggal 1 September sampai dengan 22 september 2013. Peneliti melakukan pengambilan data try

out di RS. Santa Elisabeth, RS. Panti Rapih, kelompok ibu-ibu PKK Dusun

Beneran Dusun Kali Jeruk, Dusun Karang Turi, daerah Mandala Krida, Paingan, Pamungkas dan Pakem. Peneliti terlebih dahulu menanyakan kesediaan individu mengisi kuesioner serta kesesuaian dengan karakteristik yang telah ditentukan. Individu yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian melakukan pengisian kuesioner sendiri atau dengan bantuan peneliti untuk mengisikan. Pada pengambilan data try out terkumpul 30 skala yang dapat digunakan. Data dari 30 skala try out kemudian diolah untuk melihat reliabilitas skala dan melakukan seleksi terhadap item-item yang baik.


(68)

Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan 33 item baik untuk skala self

management dan 23 item baik untuk skala self efficacy.

H. Kategorisasi

Pada penelitian ini skala self efficacy dan self management akan digolongkan ke dalam 3 kategori. Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2012). Kategorisasi didasarkan pada model distribusi normal. Norma kategorisasi sebagai berikut.

Tabel 3. Rumus Norma Kategorisasi (Azwar, 2012)

Skor Kategori Keterangan

X < (µ - 1,0 σ) (µ - 1,0 σ) ≤ X < (µ + 1,0 σ) (µ + 1,0 σ) ≤ X

Rendah Sedang Tinggi

µ = Mean Teoritik

σ = Standar Deviasi

I. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas Skala

Validitas skala bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan skala dalam menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2012). Pada penelitian ini validitas yang dilakukan adalah validitas isi pada setiap item dalam skala ukur.

Validitas isi dilakukan dengan melihat relevansi item pada blue print dengan indikator prilaku dan tujuan ukur yang dievaluasi melalui nalar dan


(69)

akal sehat (common sense) (Azwar, 2012). Pada penelitian ini, validitas isi dilakukan oleh professional judgement yaitu dosen pembimbing (Sugiyono, 2008).

2. Seleksi Item

Pada penyusunan skala self management dan self efficacy, peneliti melakukan seleksi item. Seleksi item digunakan untuk mengoptimalkan kualitas dari skala. Seleksi item menggunakan parameter daya beda item yaitu koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor total skala. Dengan demikian, pemilihan item-item pada skala dapat didasarkan pada besarnya angka koefisien korelasi. Menurut Azwar (2012) koefisien korelasi item-total memiliki rentang angka dari 0 sampai 1.00 dengan tanda positif atau negatif. Koefisien korelasi semakin mendekati angka 1,00 menunjukkan semakin baik daya diskriminasi sehingga item berkualitas baik. Koefisien korelasi mendekati angka 0 atau memiliki tanda negatif menunjukkan bahwa item tersebut semakin tidak memiliki daya diskriminasi sehingga item berkualitas buruk. (Azwar, 2012). Pada perhitungan koefisien korelasi item total menggunakan SPSS 15.0 for

windows

a. Skala Self Management

Pada skala self management peneliti melakukan uji coba skala kepada 30 subjek diabetes tipe 2. Dari uji coba yang dilakukan didapatkan hasil 33 item memiliki kualitas baik dari total 62 item yang


(70)

dibuat. Koefisien korelasi item total yang dipakai yaitu 0,305 sampai dengan 0,636.

Table 4. Blue Print Skala Self Management setelah Uji Coba

Aspek Indikator

No. Aitem

Total

F UF

Medication 1. Rutin minum obat 2. Mengetahui

pengaturan dosis obat dengan tepat. 3. Menyimpan obat

dengan benar

1, 2, 3 4, 5 7 8 11 8

Diet 1. Mengatur pola makan sesuai dengan aturan diet. 2. Menjaga berat badan pada tingkat ideal.

3. Memperhitungkan asupan kalori yang dikonsumsi 15 19, 20 21, 22 24 25 7 Monitoring/ Tes Glikemia

Rutin melakukan pengecekan gula darah.


(71)

Olahraga 1. Rutin dalam melakukan

olahraga.

2. Mengetahui jenis olahraga yang dapat dilakukan. 3. Melakukan konsultasi olahraga kepada dokter. 35, 36 37 39 41 5 Kontrol Rutin ke Dokter

1. Melakukan kontrol secara teratur. 2. Memperhatikan

kondisi diabetes untuk memantau kesehatan.

43, 44

46 49, 50

5

Pengambilan Keputusan

1. Melakukan pengambilan keputusan secara tepat.

2. Mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil 53 54 57, 59 62 5


(1)

B.

Uji Linearitas

Means

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N

Perc

ent N

Perc

ent N

Perc ent Self

Management * Self Efficacy

48 100.0

% 0 .0% 48

100.0 % Report

Self Management

Self Efficacy Mean N Std. Deviation

47.00 95.0000 1 .

50.00 104.0000 1 .

54.00 109.0000 1 .

56.00 95.0000 1 .

64.00 98.0000 1 .

73.00 95.0000 1 .

75.00 92.0000 1 .

77.00 123.0000 1 .

79.00 111.5000 2 17.67767

80.00 114.5000 2 17.67767

82.00 104.0000 3 2.64575

84.00 119.6667 3 5.77350

86.00 97.0000 3 4.00000

87.00 108.0000 1 .

88.00 120.0000 2 .00000

89.00 121.0000 1 .

90.00 123.0000 1 .

92.00 116.5000 2 4.94975

93.00 112.0000 4 6.48074

94.00 102.0000 1 .

95.00 98.0000 1 .

97.00 90.0000 1 .

99.00 116.3333 3 11.37248

100.00 120.5000 2 .70711

103.00 127.0000 1 .


(2)

110.00 120.5000 2 7.77817

113.00 115.0000 1 .

115.00 128.0000 1 .

Total 111.2708 48 11.43295

ANOVA Table

Sum of Square

s df

Mean

Square F Sig.

Self Management * Self Efficacy Between Groups

(Combined) 4807.6

46 29 165.781 2.234 .039

Linearity

1361.7

05 1 1361.705 18.349 .000

Deviation from Linearity

3445.9

40 28 123.069 1.658 .133

Within Groups

1335.8

33 18 74.213

Total

6143.4

79 47

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared

Self Management *


(3)

LAMPIRAN 6

UJI HIPOTESIS

Correlations

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Self Efficacy 88.0625 15.70934 48

Self Management 111.2708 11.43295 48

Correlations

Self Efficacy

Self Management

Self Efficacy Pearson Correlation 1 .471(**)

Sig. (2-tailed) .001

N 48 48

Self Management Pearson Correlation .471(**) 1

Sig. (2-tailed) .001

N 48 48


(4)

HASIL TAMBAHAN

Correlations

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

USIA 58.38 9.181 48

Self Efficacy 88.0625 15.70934 48

Self Management 111.2708 11.43295 48

Correlations

USIA Self Efficacy

Self Management

USIA Pearson Correlation 1 .307(*) .207

Sig. (2-tailed) .034 .158

N 48 48 48

Self Efficacy Pearson Correlation .307(*) 1 .471(**)

Sig. (2-tailed) .034 .001

N 48 48 48

Self Management Pearson Correlation .207 .471(**) 1

Sig. (2-tailed) .158 .001

N 48 48 48

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(5)

LAMPIRAN 8


(6)