THE STRATEGY OF POOR PEOPLE EMPOWERMENT THROUGH OPTIMIZING ZAKAT AND INFAQ/SHADAQAH FUND MANAGEMENT

(1)

OPTIMIZINGZAKATANDINFAQ/SHADAQAHFUND MANAGEMENT By

Aprina Sari KS

The empowerment efforts in a poverty reduction context by Moslem society is actually having spiritual foundation as taught by the religion; the obligation to pay zakat (almsgiving) for capable people as an instrument for income distribution. Thezakatmanagement should be conducted optimally and professionally.

The research problem statement is “how does the poor people empowerment strategy through optimizing the zakat, infaq (charity in the way of Allah), and shadaqah (voluntary charity) fund management by BAZ (Zakat Management Institution) in Lampung province?” the research objective is to analyze the strategy of poor people empowerment through optimizing zakat and infaq/shadaqahfund management by BAZ in Lampung province.

This is a qualitative research. Informan come from ZakatManagement Institution or BAZ in Lampung province and public representatives. Data are collected with interview and documentation, and subsequently is analyzed qualitatively with data reduction, data presentation, and drawing conclusions.

The results show that the poor people empowerment strategy through optimizing zakat, infaq, andshadaqahfund management byZakatManagement Institution or BAZ in Lampung province are as follows. (1) strategy of collecting zakat from muzakki (zakat payer) is conducted by BAZ using socialization about the obligation of paying zakat, building BAZ in regency and district areas, building zakatcollector units, and improving internal BAZ in Lampung province. (2)zakat distribution strategy is conducted based on categories of collection agreements by making priorities for zakat, infaq, and shadaqah fund uses, giving trust to the zakat distributor unit to distribute the collected fund, distributing the fund for incidental programs. (3) thezakatusefulness strategy especially for poor people is conducted by developing productive zakat to improve people life standards, so that the mustahiq (zakat receiver) will improve their economic standards that someday the will change to be muzakki (zakat payer). The zakat distribution is also monitored.


(2)

OPTIMALISASI PENGELOLAAN DANA ZAKAT DAN INFAQ/SHADAQAH (ZIS)

(Studi Pada Badan Amil Zakat Provinsi Lampung Tahun 2011) Oleh

Aprina Sari KS

Upaya pemberdayaan dalam konteks pengentasan kemiskinan oleh masyarakat muslim sebenarnya memiliki landasan spiritual sebagaimana diajarkan oleh Agama, yaitu kewajiban mengeluarkan zakat bagi umat yang mampu sebagai salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Pengelolaan zakat harus dilaksanakan secara optimal dan profesional.

Rumusan masalah penelitian adalah: “Bagaimanakah strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah oleh BAZ Provinsi Lampung? Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah oleh BAZ Provinsi Lampung.

Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Informan penelitian terdiri dari pihak Badan Amil Zakat Provinsi Lampung dan perwakilan masyarakat. Data dikumpulkan dengan wawancara dan dokumentasi, selanjutnya dianalisis secara kualitatif, dengan tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah oleh Badan Amil Zakat Provinsi Lampung, dilaksanakan sebagai berikut: (1) Strategi Pengumpulan Zakat dari para muzzakki (pemberi zakat) dilaksanakan oleh BAZ Provinsi Lampung dengan: sosialisasi mengenai kewajiban zakat, membentuk BAZ Kabupaten dan Kecamatan serta Unit-unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan Pembenahan intern BAZ Provinsi Lampung, mengawasi dan memonitor pelaksanaan pengumpulan ZIS (2) Strategi pendistribusian zakat, dilaksanakan sesuai dengan peruntukkan dan penggolongan pada masing-masing akad pengumpulan, dengan cara menyusun prioritas penggunaan dana ZIS dan memberikan kepercayaan kepada UPZ untuk turut menyalurkan dana ZIS yang terkumpul serta enyaluran ZIS untuk program insidental. (3) Strategi Pendayagunaan Zakat, khususnya bagi masyarakat miskin dilaksanakan dengan pengembangan zakat produktif, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan harapan para mustahiq yang diberdayakan ekonominya, kedepannya dapat menjadi muzakki. Selain itu melaksanakan pendampingan dalam pengembangan zakat produktif kepada para mustahiq yang menerimanya.


(3)

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang, termasuk Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka kemiskinan pada tahun 2009 mencapai 43,72 juta jiwa atau mencapai 16.67% dari seluruh penduduk Indonesia. Sementara itu data kemiskinan di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah 1,660 juta (22,99%) dari jumlah penduduk 7.246.148 jiwa. Provinsi Lampung berada pada urutan kedua termiskin di Sumatera dan urutan sembilan di Indonesia (www.bps.go.id. Diakses 8 Maret 2011).

Berdasarkan fakta tentang kemiskinan tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan melalui kegiatan penyediaan pangan, layanan kesehatan, pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan prasarana, pendampingan pemberdayaan masyarakat sampai pada bantuan langsung tunai (BLT), namun demikian berbagai program tersebut relatif belum membuahkan hasil yang memuaskan.


(4)

Kemiskinan menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang mengalami kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini, dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Selain itu juga, kekurangan kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat termasuk di dalamnya pendidikan dan informasi, bisa dikategorikan sebagai bentuk kemiskinan (Sukamto: 2004: 15).

Kewajiban pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, sehingga diharapkan adanya komitmen bersama dari segenap komponen (stakeholder) untuk melakukan gerakan mengatasi kemiskinan. Demikian pula halnya dengan masyarakat muslim, sebagai mayoritas umat beragama di Indonesia, umat Islam memiliki kewajiban untuk melakukan ikut berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengentasan kemiskinan.

Upaya pemberdayaan dalam konteks pengentasan kemiskinan oleh masyarakat muslim sebenarnya memiliki landasan spiritual sebagaimana diajarkan oleh Agama, yaitu kewajiban mengeluarkan zakat bagi umat yang mampu sebagai salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Selain kewajiban mengeluarkan zakat, umat Islam juga dianjurkan untuk mengeluarkan Infaq dan shadaqah. Mengeluarkan sebagian harta kepada yang berhak menerimanya dalam konsep ajaran Islam merupakan perwujudan umat Islam untuk menunaikan berbagai


(5)

perintah Allah SWT sebagai bentuk ibadah vertikal, sekaligus membangun solidaritas kemanusiaan dan persaudaraan sebagai bentuk ibadah horizontal.

Zakat, infaq dan Shadaqah (ZIS) menyumbangkan potensi besar dalam membantu pembangunan dan meningkatkan perekonomian. Monzer Kahf (dalam Hasan dan Ahmed, 2000: 13) mengemukakan beberapa asumsi yang berkaitan dengan potensi besar dana zakat dalam anggaran negara sebagai pengganti biaya Annual Development Plan(ADP), yaitu:

1) Sebagian dana zakat dapat digunakan sebagai biaya administrasi pengelola zakat (hak amil/pengurus), dan ini telah menghemat anggaran pemerintah. 2) Dana zakat yang diperuntukkan bagi tujuh kelompok mustahik atau

orang-orang yang berhak menerima zakat, sebagaimana ditentukan di dalam Al-Quran Surah At-taubah: 60, dapat menekan biaya, seperti biaya pelatihan bagi pengangguran, biaya kesejahteraan keluarga, biaya rehabilitasi bagi lansia, dana bantuan bagi pengangguran, dana bantuan bagi kerugian ekonomi.

3) Dana zakat juga dapat dialokasikan pada biaya publik dalam meningkatkan kondisi kerja dan efisiensi syarat bagi pencari kerja

4) Meningkatkan fasilitas perumahan, pelayanan kesehatan, program pelatihan bagi institusi pendidikan serta sejumlah pelayanan sejenis lainnya.

Selain itu zakat juga merupakan penerapan dari konsep ekonomi berkeadilan. Keadilan pemerataan (pendapatan) ini menurut Ahmad (1998:2) adalah salah satu komponen yang terpenting dalam pandangan Islam terhadap tatanan sosial-ekonomi yang adil. Segi yang paling patut diperhatikan dalam skema pemerataan yang adil adalah adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat,


(6)

terlepas dari tahapan pembangunan sebuah negara. Kalimat terakhir ini jelas menunjukkan adanya intervensi pemerintah dalam hal pemerataan pendapatan, seharusnya juga dalam urusan zakat sebagai sarananya.

Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya kontradiksi antara kuantitas umat Islam yang mayoritas dan perintah zakat sebagai aktualisasi keimanan dengan fakta di lapangan, di mana banyak masyarakat miskin yang tidak tersentuh oleh hasil distribusi zakat. Banyak program lembaga pengelola zakat yang manfaatnya bagi umat belum dirasakan secara signifikan. Padahal potensi zakat di Indonesia cukup besar, apabila dikelola dengan baik dan benar. Potensi zakat ini dapat membantu pemerintah meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidup masyarakat miskin tanpa perlu dibebankan pada anggaran negara.

Sampai dengan saat ini pengelolaan ZIS di Indonesia belum optimal apabila dibandingkan dibandingkan dengan Singapura yang penduduk muslimnya hanya sebesar 15 persen dari populasi Indonesia, berdasarkan data tahun 2006-2007, lembaga zakat Singapura mampu menghimpun zakat sebanyak $14,5 juta dengan kurs Rp. 4000 setara dengan Rp. 58 milyar. Sementara Indonesia pada periode yang sama hanya mampu menggali zakat sebanyak Rp. 217 milyar, jumlah yang kecil dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Secara matematis, jika kesadaran berzakat telah tumbuh, maka akan kita dapatkan angka minimal sebesar Rp. 19 trilyun per tahun. Angka ini akan bertambah jika diakumulasikan dengan pemasukan dari infaq, shadaqah, serta wakaf. Tentunya akan kita peroleh angka yang cukup luar biasa (Aries Mufti, 2009: 1).


(7)

Pengelolaan zakat di Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain masih belum optimalnya pengumpulan dana zakat oleh lembaga pengelola zakat. Hasil survey PIRAC tahun 2008 menunjukkan bahwa baru 13,6% masyarakat yang menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi seperti Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau yayasan amal lainnya. Ada tiga faktor permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya realisasi potensi zakat, yaitu faktor kelembagaan, faktor masyarakat dan faktor sistem yang dianut dalam pengelolaan zakat. Masih rendahnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat sehingga hanya sebagian kecil saja yang menyalurkan zakatnya kepada lembaga pegelola. Kesadaran masyarakat untuk membayar zakat hartanya (termasuk zakat penghasilan/profesi, zakat perdagangan, zakat simpanan, dan lain sebagainya) masih minim, sebagian besar masyarakat hanya mengenal zakat fitrah saja. Dari segi sistem, manajemen pengelolaan zakat belum dilakukan secara terpadu, masih dikelola secara parsial, belum secara komprehensif dan sinergi. Masalah zakat seolah-olah hanya tugas dan fungsi Departemen Agama. Zakat belum dilihat sebagai suatu potensi sumber pendanaan yang dapat digalang dari masyarakat untuk meningkatkan perekonomian bangsa.

Oleh karena itu, diperlukan adanya institusi yang mampu melaksanakan pengelolaan dan memanajemen dana ZIS. Manajemen dana ZIS bukan hanya usaha mengumpulkan dana dari masyarakat muslim dan membagi habis seluruhnya kepada masyarakat yang membutuhkan, tetapi lebih dari itu, manajemen ZIS adalah pendayagunaan ZIS untuk masyarakat miskin yang dikelola secara profesional oleh BAZ atau LAZ, sehingga dapat merubah pihak


(8)

yang menerima ZIS menjadi masyarakat yang mandiri secara ekonomi, dengan kata lain merubahmustahik(penerima zakat) menjadimuzakki(pemberi zakat).

Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam membenahi manajerial amil tersebut adalah dengan membuat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat. Saat ini telah ada berbagai peraturan yang mengatur masalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

3. Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

4. Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor: D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.

Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan landasan yuridis bagi pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat yaitu BAZ/LAZ, sehingga badan ini dapat bekerja secara optimal dan professional. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat diharapkan memberikan kontribusi terhadap bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat miskin. Selain itu dengan adanya BAZ/LAZ diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat muzakki kepada organisasi pengelola zakat tersebut dan bersedia menyalurkan ZIS melalui lembaga ini.


(9)

Pengelolaan ZIS secara profesional dalam hal ini merupakan konsekuensi dari adanya kesadaran masyarakat bahwa ZIS bukan sekedar membersihkan harta untuk kepentingan menghapus dosa individual, melainkan sebagai alat pemberdayaan untuk mengangkat umat dari kemiskinan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang menyatakan bahwa tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, juga mengatur tentang pembayaran zakat yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk membentuk Badan Amil Zakat di semua tingkatan, oleh karena itu di tingkat nasional dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001, sementara untuk tingkat daerah dibentuk Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di 33 Provinsi dan 440 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, berupaya memfasilitasi BAZNAS dan BAZDA agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanat tuntutan undang-undang. Pemerintah juga meningkatkan perannya sebagai regulator, motivator dan fasilitator kepada lembaga-lembaga pengelola zakat


(10)

dalam bentuk pemberian bantuan sarana dan bantuan biaya operasional yang dalam pelaksanaannya akan terus ditingkatkan hingga merata ke seluruh tanah air, dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga-lembaga pengelola dalam merealisasikan pengumpulan dana zakat dari masyarakat sehingga berhasil guna dan berdaya guna bagi kesejahteraan umat.

Besarnya potensi zakat tentunya diharapkan dapat menjadi solusi masalah kemiskinan di Provinsi Lampung. Jumlah penduduk Provinsi Lampung pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 7.812.546 jiwa. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 11,74%. Tingkat kesempatan kerja menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 70,7%. Angka ketergantungan (dependency ratio) sebesar 56,27%. Jumlah penduduk miskin sebanyak 2,74 juta jiwa (36,44%) dan rumah tangga miskin (RTM) sebanyak 812.116 KK, sedangkan jumlah keluarga pra sejahtera alasan ekonomi (KPS AE) sebesar 653.211 KK. Jumlah PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) 1.865.5542 jiwa atau 24.32% dari jumlah penduduk Provinsi Lampung dan baru dapat tertangani sebanyak 73.432 kelompok sasaran atau 4,65% (Lampung dalam Angka, 2010).

Berdasarkan data tersebut terlihat masalah kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat bukanlah masalah yang mudah untuk ditangani. ZIS merupakan salah satu solusi dalam menangani masalah tersebut. Oleh karena itu BAZ Provinsi Lampung dituntut untuk dapat menerapkan strategi dalam menghimpun dan mengelola ZIS secara profesional dalam konteks pemberdayaan masyarakat miskin. Potensi zakat di Provinsi Lampung dapat dipetakan dari jumlah penduduk muslim yang berada pada golongan ekonomi menengah ke atas


(11)

di provinsi ini yang mencapai lebih kurang 2.162.000 jiwa. Artinya perolehan ZIS akan maksimal jika semua penduduk muslim yang tingkat ekonominya masuk ke dalam ekonomi menengah ke atas membayarkan ZIS.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana Zakat dan Infaq/Shadaqah (ZIS). Penelitian ini akan dilaksanakan pada BAZ Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah oleh Badan Amil Zakat Provinsi Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah oleh Badan Amil Zakat Provinsi Lampung

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kajian Ilmu Administrasi Negara, khususnya Mata Kuliah Manajemen Strategi.


(12)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi Departemen Agama Provinsi Lampung dalam upaya pengelolaan dana Zakat, Infaq/Shadaqah (ZIS), khususnya mengenai pemberdayaan masyarakat miskin.


(13)

A. Zakat

1. Pengertian Zakat

Menurut Hafidhuddin (2003: 8), zakat adalah ibadahmaaliyyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu“keberkahan”, al-namaa’ “pertumbuhan dan perkembangan”, ath-thaharatu “kesucian”, dan ash-shalahu“keberesan”. (Daar el-Ma’arif, 1972: 396)

Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. (Ibid, hlm. 396)

Sesuai dengan Firman Allah Subhanahu Wa Taala (SWT):

Artinya:

“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku’(Q.S.Al-Baqarah: 43)


(14)

Menurut Iqbal (2000: 12), zakat sebagai salah satu rukun Islam yang ketiga, merupakan ibadah yang wajib dijalankan oleh kaum muslimin yang mampu. merupakan sarana pemerataan pendapatan. Zakat dalam konteks penelitian ini dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan distribusi ekonomi, sebagai bentuk kepedulian terhadap tingkat kesejahteraan orang-orang miskin. Zakat dapat menjadi asuransi resiko kemiskinan karena cacat fisik dan anak yang terlahir dari keluarga miskin, untuk menghindari kriminalitas dan melindungi masyarakat liberal dari pemanfaatan suara orang-orang miskin oleh pelaku-pelaku politik.

2. Penerima Zakat

Menurut Hafidhuddin (2003: 23-25), dana zakat telah terkumpul disalurkan kepada orang-orang yang berhak (mustahik) yang terdiri dari 8 ashnaf atau kelompok sesuai dengan ketentuanAl Qur’anSurat At-Taubah: 60) yaitu:

a. Miskin adalah orang yang masih ada usaha, namun hasil usahanya itu tidak mencukupi kebutuhan dasarnya, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan maupun sandangnya. Namun kondisi miskin ini lebih baik daripada fakir, karena masih ada usaha walaupun hasil usahanya itu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dalam batas-batas minimal. b. Fakir adalah orang yang sudah tidak memiliki apa-apa dan juga sudah tidak

ada usaha sama sekali, karena ketidakmampuan fisiknya.

c. Amil zakat adalah pengelola zakat, yakni tenaga yang menarik dan mengumpulkan zakat dari masyarakat, menghimpun dan mendistribusikannya kepada para mustahik. Mereka bertugas mewakili para mustahik dan bukan para muzakki (pembayar zakat). Oleh karena itu, mereka orang-orang yang


(15)

adil, jujur dan dapat dipercaya, mengetahui aturan-aturan pemungutan dan pendistribusian zakat, memahami cara perhitungan zakat dan menguasai aturan-aturan zakat secara keseluruhan.

d. Muallaf adalah orang-orang yang diharapkan agar hatinya lembut kepada Islam, yakni orang yang baru masuk Islam dan belum tegar dalam keislamaannya atau orang yang yang berpengaruh di kalangan masyarakatnya serta diharapkan keislamannya agar mampu membawa kelompoknya ke dalam Islam.

e. Riqab adalah orang budak yang sedang berusaha membebaskan dirinya dari majikannya. Perkembangan pengertian budak ialah golongan atau bangsa yang sedang membebaskan diri dari eksploitasi pihak lain. Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahiq lainnya. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.

f. Gharim adalah orang-orang yang berhutang dalam kebaikan dan mengalami kesukaran mengembalikan hutang itu, sehingga perlu dibantu untuk meringankan beban pembayaran hutangnya itu, baik berhutang karena dirinya sendiri maupun karena perbuatan orang lain.

g. Sabilillah pada awalnya bermakna biaya perang di jalan Allah karena dakwah keislaman pada zaman permulaan lahirnya Islam ini senantiasa diikuti dengan peperangan. Akan tetapi kini dakwah tersebut sudah berkembang modus dan pendekatannya sehingga makna Sabilillah berkembang terus yang paling pokok makna dari fisabilillah adalah perjuangan menegakkanasmaAllah.


(16)

h. Ibnusabbil adalah orang yang jauh dari kampung halamannya dalam rangka perbuatan baik, umpamanya merantau untuk menuntut ilmu atau yang sebangsanya.

3. Manfaat Zakat

Menurut Hassan dan Ahmed (2000: 32), zakat bermanfaat dalam mendukung pembangunan SDM dan membantu upaya peningkatan pertumbuhan perekonomian. Manfaat zakat secara tidak langsung berpengaruh terhadap anggaran pemerintah, seperti: (1) manfaat zakat pada saving dan investasi, (2) manfaat zakat dalam tingkat pengembalian saving yang diharapkan, (3) manfaat zakat dalam produktifitas, (4) manfaat zakat dalam konsumsi dan investasi, (5) manfaat zakat pada tenaga kerja, serta (6) manfaat zakat sebagai alat kebijaksanaan ekonomi.

Allah SWT berfirman:

Artinya:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doa kan untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”


(17)

Selain itu zakat juga merupakan penerapan dari konsep ekonomi berkeadilan. Keadilan pemerataan (pendapatan) ini menurut Ahmad (1998:2) adalah saah satu komponen yang terpenting dalam pandangan Islam terhadap tatanan sosial-ekonomi yang adil. Segi yang paling patut diperhatikan dalam skema pemerataan yang adil adalah adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahapan pembangunan sebuah negara. Kalimat terakhir ini jelas menunjukkan adanya intervensi pemerintah dalam hal pemerataan pendapatan, seharusnya juga dalam urusan zakat sebagai sarananya.

B. Kemiskinan

1. Pengertian Kemiskinan

Menurut Firman (2001: 45-46), kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Karena standar hidup itu berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal. Kemiskinan merupakan suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi (economic deprivation) yang berlangsung lama dengan ciri-ciri yaitu: a) sistim perekonomian yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan; b) tingginya angka pengangguran dan angka under employment bagi golongan yang tidak punya keahlian (unskilled labor); c) rendahnya upah/gaji yang diperoleh para pekerja; d) tidak adanya organisasi sosial, politik dan ekonomi bagi kaum miskin baik yang didirikan oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat (Non-Governmental Organization); e) hadirnya sistem kekeluargaan yang bilateral menggantikan sistem yang unilateral; hadirnya kelas masyarakat yang dominan, yang menekankan pada penumpukan harta dan


(18)

kekayaan, serta kesempatan untuk terus meningkat dalam status (upward mobility).

Menurut Ala (1996: 5-6), kemiskinan adalah kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Kemiskinan merupakan ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial seperti modal yang produktif/asset (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan); sumber-sumber keuangan (incomedan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat dan koperasi); networkatau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dan lain-lain; pengetahuan dan ketrampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan.

2. Kemiskinan di Indonesia

Pemahaman terhadap inti masalah kemiskinan di Indonesia dikemukakan oleh Dewanta (1999: 19-20), yang menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia ditunjukkan dengan berbagai karakteristik antara lain :

a. Kemiskinan interstitial, kondisi deprivasi materiil dan alienasi mendorong timbulnya kantong-kantong kemiskinan yang dikelilingi oleh pemilik kekayaan, kekuasaan dan asset lain yang besar. Dalam kondisi seperti ini sulit melakukan intervensi untuk penanggulangan kemiskinan tanpa diselewengkan oleh mereka yang tidak miskin itu.

b. Kemiskinan periferal, kemiskinan ini terdapat di wilayah pinggiran dan terjadi akibat deprivasi materiil yang berlangsung dalam keadaan isolasi dan alienasi.


(19)

c. Kemiskinan overcrowding, deprivasi materiil akibat desakan kependudukan dan kelangkaan sumber daya akan mendorong timbulnya kemiskinan jenis ini. d. Kemiskinan sporadik atau traumatik, yaitu yang timbul akibat kerentanan

terhadap bencana alam (misalnya, kemarau panjang), hilangnya lapangan pekerjaan dan ketidakamanan yang mungkin sementara tetapi seringkali berkembang menjadi endemik.

e. Kemiskinan endemik bisa timbul akibat isolasi, alienasi, deprivasi teknologis, ketergantungan dan kelangkaan asset.

Kemiskinan di Indonesia dapat dinyatakan sebagai suatu keadaan adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai tersebut secara layak, Selain itu kemiskinan berkaitan dengan aspek-aspek material seperti pendapatan, pendidikan dan lain-lain, serta berkaitan pula dengan aspek-aspek non material seperti berbagai macam kebebasan, hak untuk hidup yang layak dan lain-lain.

3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Menurut Ala (1996: 11-15), kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh tujuh faktor yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

a. Kesempatan kerja, seseorang miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, biasanya disebut sebagai gejala setengah menganggur (disguised unemployment), baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau tahun.


(20)

Seseorang bisa memiliki pekerjaan tertentu tetapi jika upahnya di bawah standar, sementara itu pengeluarannya cukup tinggi, maka orang tersebut juga tergolong miskin.

c. Produktivitas yang rendah

Pada umumnya kemiskinan di sektor ini disebabkan karena produktivitas yang masih rendah, pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas.

d. Ketiadaan asset

Misalnya di bidang pertanian, kemiskinan terjadi karena petani tidak memiliki lahan ataupun kesempatan untuk mengelola lahan.

e. Diskriminasi

Kemiskinan bisa juga terjadi karena diskriminasi jenis kelamin. Umumnya penghasilan perempuan lebih kecil dari penghasilan laki-laki. Jikaitu merupakan tambahan bagi penghasilan keluarga, maka penghasilan perempuan ikut mengangkat keluarga dari kemiskinan. Tetapi bagi wanita mandiri, misalnya yang belum kawin atau menjanda, berarti kemiskinan. f. Tekanan harga

Pendapatan yang rendah bukan hanya disebabkan karena rendahnya produktivitas, melainkan juga karena tekanan harga. Hal ini terutama berlaku pada petani kecil dan pengrajin dalam industri rumah tangga. Tekanan harga juga bukan hanya disebabkan oleh mekanisme permintaan dan penawaran bebas, tetapi juga ditetapkan oleh pembeli, penimbunan, aturan tata-niaga dan berbagai bentuk manipulasi.


(21)

4. Jenis-Jenis Kemiskinan

Menurut Effendi (1995: 67-68), jenis-jenis kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Kemiskinan Ekonomi

Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat di gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ini dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok itu dan membandingkannya dengan ukuran-ukuran baku. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang dan perumahan. Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah kemiskinan yang berkaitan dengan sumber daya penting yang menentukan kesejahteraan masa datang daripada saat ini. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri. Jadi, kemiskinan ekonomi menyangkut kekurangan sumber daya yang dibutuhkan untuk konsumsi dan produksi.

b. Kemiskinan Sosial

Kemiskinan sosial dapat diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Dimensi kemiskinan ini ukurannya sangat bersifat kualitatif. Kemiskinan ini dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup mereka. Budaya


(22)

kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lain sebagainya. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi juga akan sulit untuk ditanggulangi.

c. Kemiskinan politik

Kemiskinan politik menekankan pada derajat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial-politik yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural dan politis akan miskin dalam bidang material. Untuk itu langkah pengentasan kemiskinan yang akan diambil harus bisa mengatasi hambatan struktural dan politis.

5. Dampak Kemiskinan

Menurut Effendi (1995: 67-68), dampak kemiskinan meliputi:

b. Deprivasi materiil, yang diukur dari kurangnya pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang, kesehatan, papan dan kebutuhan konsumsi dasar lainnya. c. Isolasi seperti dicerminkan oleh lokasi geografiknya maupun oleh

marginalisasi rumah tangga miskin secara sosial dan politik. Mereka sering tinggal di daerah terpencil, hampir tanpa sarana transportasi dan komunikasi.


(23)

d. Alienasi, yaitu perasaan tidak punya identitas dan tidak punya kontrol atas diri sendiri. Ini timbul akibat isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif. Walaupun proses pembangunan berjalan seru dan menghasilkan tekhnologi baru, mereka tidak bisa ikut serta memanfaatkannya. Mereka kekurangan kecakapan yang bisa dijual.

e. Ketergantungan. Inilah yang selama ini memerosotkan kemampuan simiskin untuk “bargaining” dalam dunia hubungan sosial yang timpang antara pemilik tanah dan penggarap, majikan dan buruh. Buruh tidak mampu untuk menetapkan upah, petani tidak bisa menetapkan harga hasil pertaniannya. f. Ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tiadanya kebebasan

memilih dalam produksi, konsumsi, dan kesempatan kerja, serta kurangnya perwakilan sosio-politik mereka, tercermin dalam tidak adanya fleksibilitas dan berkurangnya kesempatan bagi si miskin di desa.

g. Kelangkaan asset membuat penduduk miskin di desa bekerja dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah.

h. Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan terhadap konflik-konflik sosial internal juga sangat berpengaruh terhadap status kemiskinan penduduk pedesaan. Kerentanan itu bisa timbul karena faktor alamiah (kemarau panjang, banjir, hama), karena perubahan pasar (merosotnya harga komoditi), kondisi kesehatan (penyakit) dan sebagainya.

i. Tidak adanya jaminan keamanan dari tindak kekerasan akibat status sosial rendah, karena lemah, karena faktor-faktor agama, ras, etnik, dan sebagainya.


(24)

C. Pemberdayaan Masyarakat

1. Pengertian Pemberdayaan

Menurut Prijono dan Pranaka (1996: 12), pemberdayan berasal dari Bahasa Inggris yaituempowermentdanempower. Sedangkan Kamus Webster dan Oxford English Dictionary menyebutkan kata empowermengandung dua makna yaitu (1) to give ability to or enable yaitu: upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. (2) to give power or authority to yaitu memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas kepihak lain

Prijono dalam Wrihatnolo dan Nugroho (2007:117-118), juga menjelaskan bahwa istilah pemberdayaan sering kali digunakan dalam konteks kemampuan meningkatkan keadaan ekonomi individu. Selain itu pemberdayaan juga merupakan konsep yang mengandung makna perjuangan bagi mereka yang terlibat dalam perjuangan tersebut. Dengan demikian proses pemberdayaan merupakan tindakan usaha perbaikan atau peningkatan ekonomi, sosial budaya, politik, psikologi baik secara individual maupun kolektif yang berbeda menurut kelompok etnik dan kelas sosial.

Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Pemberdayaan sebagai sebuah proses adalah dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang


(25)

menjadi perhatiannya (Parsons dalam Suharto, 2005:58-59). Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok-kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.

Menurut Ife dalam Suharto ( 2005: 58), pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan dan kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai


(26)

tujuan sering digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Dubois dan Miley (1977) dalam Wrihatnolo dan Nugroho (2007) mengemukakan bahwa dasar-dasar pemberdayaan antara lain:

a. Pemberdayaan adalah proses kerjasama antara klien dan pelaksana kerja secara bersama-sama yang bersifatmutual benefit.

b. Proses pemberdayaan memandang sistem klien sebagai komponen dan kemampuan yang memberikan jalan ke sumber penghasilan dan memberikan kesempatan.

c. Klien harus merasa dirinya sebagai agen bebas yang dapat mempengaruhi. d. Kompetensi diperolah atau diperbaiki melalui pengalaman hidup, pengalaman

khusus yang kuat dari pada keadaan yang menyatakan apa yang dilakukan. e. Pemberdayaan meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan dan kapasitas

untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut dengan cara efektif. f. Proses pemberdayaan adalah masalah yang dinamis, sinergis, pernah berubah,

dan evolusioner yang selalu memiliki banyak solusi.

g. Pemberdayaan adalah pencapaian melalui struktur-struktur paralel dari perseorangan dan perkembangan masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah proses menyeluruh: suatu proses aktif antara motivator, fasilitator, dan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, pemberian berbagai kemudahan serta peluang untuk mencapai akses sistem sumber daya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu,


(27)

proses pemberdayaan hendaknya meliputi enabling (menciptakan suasana kondusif), empowering (penguatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat), protecting (perlindungan dari ketidakadilan), supporting (bimbingan dan dukungan), dan foresting (memelihara kondisi yang kondusif tetap seimbang). Pada gilirannya diharapkan akan terwujud kapasitas ketahanan masyarakat secara lebih bermakna, bukan sebaliknya bahwa stimulan dan proses yang ada menjebak masyarakat pada suasana yang penuh ketergantungan (Wrihatnolo dan Nugroho, 2007).

2. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan

Menurut Kieffer (1981) dalam Suharto (2005), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Parson et.al. (1994) dalam Suharto (2005) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada:

a. Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar. b. Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan

mampu mengendalikan diri dan orang lain.

c. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan.


(28)

Schuler, Hashemi dan Riley dalam Suharto (2005), mengembangkan 8 indikator pemberdayaan yang mereka sebut sebagaiempowerment index, antara lain:

a. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya seperti ke pasar, fasilitas medis dan lain-lain. b. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli

barang-barang kebutuhan keluraga sehari-hari.

c. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu membeli barang-barang sekunder atau tersier.

d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan sendiri maupun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga.

e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah satu tahun terakhir ada orang yang melarang bekerja diluar rumah atau mempunyai anak dan lain-lain.

f. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/ kelurahan

g. Kebebasan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap berdaya jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes.

h. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan.


(29)

D. Strategi dan Optimalisasi

1. Strategi

Makna strategi adalah ketika seseorang atau organisasi memutuskan “apa” yang seharusnya dikerjakan, maka itulah yang disebut strategi. Sedangkan jika yang diputuskan adalah “bagaimana” untuk mengerjakan sesuatu, maka itulah yang disebut dengan taktik. Pemahaman lain diberikan oleh Drucker yang dikutip dari Hermawan (2006: 12), menurutnya strategi adalah mengerjakan sesuatu yang benar dan taktik adalah mengerjakan sesuatu dengan benar. Adapun ciri dari strategi diantaranya adalah:

a. Menyatu (unified) yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam organisasi. b. Menyeluruh (comprehensive) yaitu mencakup seluruh aspek dalam organisasi. c. Integral (integrated) seluruh strategi akan cocok dari seluruh level organisasi.

Pengertian lain Matrus yang dikutip dari Hermawan (2006: 13), mengatakan bahwa strategi adalah suatu proses penentuan rencana para pimpinan puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi disertai penyusunan. Strategi merupakan suatu cara atau upaya bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai. Jika dicermati, maka defenisi strategi tersebut mencakup dua hal sebagaimana dikemukakan dalam defenisi sebelumnya, yaitu memuat strategi dan taktik. Hamel dan Prahald dalam Hermawan (2006) menyusun konsep strategi dengan prespektif “kompetensi inti” sebagai titik tekan yang penting, sehingga strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para


(30)

pelanggan dimasa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari “apa yang dapat terjadi” bukan dimulai dari apa yang terjadi”.

Arti strategi adalah bagian terpadu dari suatu rencana (plan) sedangkan rencana merupakan produk dari suatu perencanaan (planning) yang pada akhirnya perencanaan adalah salah satu fungsi dasar dari proses manajemen.

Menurut Tripomo dan Udan (2005: 21), mereka menyatakan bahwa strategi adalah kerangka atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan (goals), kebijakan dan tindakan atau program organisasi. Dari pendapat tersebut maka dapat dinyatakan bahwa didalam strategi harus ada tujuan, kebijakan dan juga program. Tujuan menjadi penting karena merupakan visi dari sebuah organisasi tertentu untuk mewujudkan apa yang ingin dicapai.

Menurut Giffin dalam Tisnawati (2005: 3) mendefenisikan strategi sebagai rencana komprehensif untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam organisasi mencapai tujuan merupakan cita-cita utama organisasi, untuk itu diperlukan sebuah rencana yang terarah dan terkoordinasi dengan baik agar visi organisasi dapat dicapai dengan sebuah atau beberapa perencanaan yang matang.

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan strategi adalah pola tindakan yang dipilih untuk mewujudkan visi organisasi melalui misi atau pola pengambilan keputusan dalam mewujudkan visi organisasi tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil organisasi tersebut nantinya dijadikan pedoman dalam melakukan kemajuan organisasi tersebut dengan strategi yang dilakukan.


(31)

2. Optimalisasi

Menurut Ridwan (2003: 42), optimalisasi adalah suatu proses pencapaian tujuan atau hasil yang dikehendaki secara maksimal dengan mendayagunakan faktor tenaga, waktu, pikiran dan alat-alat yang dikeluarkan. Optimalisasi dalam mencapai tujuan organisasi mengandung makna bahwa pekerjaan dilakukan berdaya tepat atau berhasil guna sesuai dengan target telah ditentukan.

Menurut Andrian (2001:12), optimalisasi adalah pekerjaan yang dilaksanakan dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pekerjaan tersebut, dengan memberdayakan seluruh potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya dana yang ada. Optimalisasi mensyaratkan adanya pencapaian pekerjaan secara tepat waktu dan tepat sasaran, dalam artian bahwa hasil pekerjaan yang diperoleh sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Efektivitas berkaitan erat dalam kemampuan sumber daya manusia memanfaat potensi yang ada.

Menurut Suharsono (2001:12), efektivitas adalah hasil-hasil pekerjaan yang diraih secara optimal dengan ciri yaitu adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan hasil kerja secara berkesinambungan. Optimalisasi merupakan suatu keadaan di mana aktivitas atau kegiatan dilaksanakan sesuai perencanaan yang telah disusun sebelumnya, dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumberdaya lainnya secara maksimal.

Optimalisasi dalam mencapai tujuan organisasi bermanfaat bagi organisasi dalam memberikan arah jangka panjang yang akan dituju, membantu organisasi beradaptasi pada perubahan-perubahan yang terjadi, membuat organisasi menjadi


(32)

lebih efektif, mengindentifikasi keuanggulan komparatif suatu organisasi dalam lingkungan yang semakin berisiko dan aktivitas pembuatan strategi akan mempertinggi kemampuan organisasi untuk mencegah munculnya masalah di masa datang.

E. Manajemen Pengelolaan Zakat

1. Sejarah Singkat Pengelolaan Zakat di Indonesia

Menurut Departemen Agama (2009: 7-14), pada masa penjajahan Belanda, pelaksanaan ajaran agama Islam (termasuk zakat) diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905. Dalam pengaturan ini pemerintah tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai syariah Islam.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, pengelolaan zakat juga tidak diatur pemerintah dan masih menjadi urusan masyarakat. Kemudian pada tahun 1951 barulah Kementrian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor: A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Pada tahun 1964, Kementrian agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Maal, tetapi kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakian Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.


(33)

Pada masa orde baru, Menteri Agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Zakat dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan Surat Nomor: MA/095/1967. RUU tersebut disampaikan juga kepada Menteri Sosial selaku penanggung jawab masalah-masalah sosial dan Menteri Keuangan selaku pihak yang mempunyai kewenangan dan wewenang dalam bidang pemungutan. Menteri keuangan dalam jawabannya menyarankan agar masalah zakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal. Kedua PMA ini mempunyai kaitan sangat erat karena Baitul Maal berfungsi sebagai penerima dan penampung zakat, dan kemudian disetor kepada Badan Amil Zakat untuk disalurkan kepada yang berhak.

Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama No. 2 Tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji No. 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama No. 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shadaqah, yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain-lain. Pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan


(34)

Instruksi Menteri Agama No.5 Tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.

Pada era reformasi, pemerintah berupaya untuk menyempurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia.

Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama DPR telah menerbitkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji No. D-291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat bentukan pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas Islam, yayasan dan institusi lainnya.

2. Pengelolaan Zakat Pasca Kelahiran Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat

Menurut Departemen Agama (2009: 7-14), Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah


(35)

yaitu Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua badan amil zakat harus segera menyesuaikan diri dengan amanat undang-undang yakni pembentukannya berdasarkan kewilayahan pemerintahan negara mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, sedangkan untuk desa/kelurahan, masjid, lembaga pendidikan dan lain-lain dibentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ).

Sementara bagi lembaga amil zakat, sesuai amanat undang-undang tersebut, diharuskan dikukuhkan pemerintah sebagai wujud dari pembinaan, perlindungan dan pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu bagi lembaga amil zakat yang telah terbentuk di sejumlah ormas Islam, yayasan ataupun LSM, dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan.

Dari sejumlah LAZ yang mengajukan permohonan untuk pengukuhan sejak terbitnya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, terdapat 14 LAZ yang telah dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama sebagai LAZ tingkat pusat yang selain yang berkedudukan di Jakarta, juga ada yang berkedudukan di Bandung dan Surabaya. Di samping itu, ada juga sejumlah LAZ tingkat provinsi di sejumlah daerah yang telah dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur Provinsi setempat, seperti antara lain LAZ Daarut Tauhid di Bandung Jawa Barat dan LAZ Lampung Peduli di Provinsi Lampung.


(36)

3. Kelembagaan Pengelola Zakat

Menurut Departemen Agama (2008), kelembagaan pengelola zakat terdiri dari: a. Badan Amil Zakat

1. Kedudukan Badan Amil Zakat

Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Organisasi Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana.

Badan Amil Zakat meliputi Badan Amil Zakat Nasional, Badan Amil Zakat Daerah Provinsi, Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/Kota dan Badan Amil Zakat Daerah Kecamatan. Namun Badan Amil Zakat di semua tingkatan tersebut tidak memiliki hubungan struktural tetapi hanya memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.

Badan Amil Zakat Nasional berkedudukan di Ibukota Negara, Badan Amil Zakat Daerah Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi, Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota, dan Badan Amil Zakat Daerah Kecamatan berkedudukan di Ibukota Kecamatan.


(37)

2. Fungsi Pengurus dan Kewenangan Badan Amil Zakat

Kepengurusan Badan Amil Zakat didominasi masyarakat yang meliputi unsur ulama, kaum cendikia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan juga wakil pemerintah. Badan Pelaksana Badan Amil Zakat bertugas: a) Menyelenggarakan tugas administratif, teknis pengumpulan, teknis

pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

b) Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk penyusunan rencana pengelolaan zakat.

c) Menyelenggarakan tugas penelitian, pengembangan, komunikasi, informasi dan edukasi pengelolaan zakat.

d) Membentuk dan mengukuhkan Unit Pengelola Zakat sesuai wilayah operasional.

Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat bertugas:

a) Memberikan pertimbangan kepada Badan Pelaksana baik diminta maupun tidak dalam pelaksanaan tugas organisasi.

b) Komisi Pengawas Badan Amil Zakat bertugas: melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas Badan Pelaksana dalam pengelolaan zakat.

c) Menunjuk akuntan publik untuk melakukan audit pengelolaan keuangan zakat.

3. Lingkup Kewenangan Badan Amil Zakat

a) Badan Amil Zakat Nasional mengumpulkan zakat dari muzakki pada instansi/lembaga pemerintah tingkat pusat, swasta nasional dan luar negeri.


(38)

b) Badan Amil Zakat daerah Provinsi mengumpulkan zakat dari muzakki pada instansi/lembaga pemerintah dan swasta, perusahaan-perusahaan dan Dinas Daerah Provinsi.

c) Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/Kota mengumpulkan zakat dari muzakki pada instansi/lembaga pemerintah dan swasta, perusahaan-perusahaan dan Dinas Daerah Kabupaten/Kota.

d) Badan Amil Zakat Daerah Kecamatan mengumpulkan zakat dari muzakki pada instansi/lembaga pemerintah tingkat kecamatan, perusahaan-perusahaan kecil, pedagang serta pengusaha di pasar.

4. Tugas dan Tanggungjawab Pengurus Badan Amil Zakat Dewan Pertimbangan mempunyai tugas:

a) Menetapkan garis-garis kebijakan umum Badan Ami Zakat bersama Komisaris Pengawas dan Badan Pelaksana.

b) Mengeluarkan fatwa Syari’an baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh Pengurus Badan Amil Zakat.

c) Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.

d) Menampung, mengolah, dan menyampaikan pendapat umat tentang pengelolaan zakat.

Komisi Pengawas mempunyai tugas:

a) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.


(39)

b) Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan. c) Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syari’ah dan

peraturan perundang-undangan. d) Menunjuk akuntan publik.

Badan Pelaksana mempunyai tugas:

a) Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengumpulan, pendistribusian serta pendayagunaan zakat.

b) Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk penyusunan rencana pengelolaan zakat.

c) Menyelenggarakan bimbingan di bidang pengelolaan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

d) Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi, informasi, dan edukasi pengelolaan zakat.

e) Membuat rencana kerja yang meliputi rencana pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat.

f) Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. g) Menyusun laporan tahunan.

h) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah dan Dewan Pertimbangan Rakyat sesuai tingkatannya.

i) Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badab Amil Zakat baik ke dalam maupun ke luar.


(40)

5. Pengorganisasian Badan Amil Zakat

a) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dibentuk oleh Presiden atas usul Menteri Agama dan berkedudukan di Ibukota Negara, terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.

Dewan Pertimbangan terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Waki Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 10 orang anggota.

Komisi Pengawas terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyak anggota 10 orang anggota.

Badan Pelaksana terdiri dari: (1) Seorang Ketua Umum (2) Beberapa Ketua

(3) Seorang Sekretaris Umum (4) Beberapa Sekretaris (5) Seorang Bendahara (6) Divisi Pengumpulan


(41)

(7) Divisi Pendistribusian (8) Divisi Pendayagunaan (9) Divisi Pengembangan

b) Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dibentuk oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama dan berkedudukan di Ibukota Provinsi, terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawasan dan Badan Pelaksana.

Dewan Pertimbangan terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 7 orang anggota.

Komisi Pengawas terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 7 orang anggota.

Badan Pelaksana terdiri dari: (1) Seorang Ketua


(42)

(3) Seorang Sekretaris

(4) Beberapa Waki Sekretaris (5) Seorang Bendahara (6) Bidang Pengumpulan (7) Bidang Pendistribusian (8) Bidang Pendayagunaan (9) Bidang Pengembangan

c) Badan Amil Zakat Daerah Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota atas usu Kepala Kantor Departemen Agama dan berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota, terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.

Dewan Pertimbangan terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 5 orang anggota.

Komisi Pengawas terdiri dari: (1) Seorang Ketua


(43)

(3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 5 orang anggota.

Badan Pelaksana terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Beberapa Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris

(4) Beberapa Waki Sekretaris (5) Seorang Bendahara (6) Seksi Pengumpulan (7) Seksi Pendistribusian (8) Seksi Pendayagunaan (9) Seksi Pengembangan

d) Badan Amil Zakat Daerah Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kecamatan dibentuk oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama dan berkedudukan di Ibukota Kecamatan, terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana.

Dewan Pertimbangan terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris


(44)

(4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 5 orang anggota

Komisi Pengawas terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Seorang Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris (4) Seorang Wakil Sekretaris

(5) Sebanyak-banyaknya 5 orang anggota

Badan Pelaksana terdiri dari: (1) Seorang Ketua

(2) Beberapa Wakil Ketua (3) Seorang Sekretaris

(4) Beberapa Waki Sekretaris (5) Seorang Bendahara (6) Urusan Pengumpulan (7) Urusan Pendistribusian (8) Urusan Pendayagunaan (9) Urusan Pengembangan

e) Proses pembentukan pengurus Badan Amil Zakat di semua tingkatan (1) Membentuk tim seleksi yang terdiri atas unsur ulama, cendikia,

tenaga profesional, praktisi pengelola zakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terkait dan unsur pemerintah.


(45)

(2) Menyusun kriteria calon pengurus Badan Amil Zakat

(3) Mempublikasikan rencana pembentukan Badan Amil Zakat secara luas kepada masyarakat

(4) Melakukan penyeleksian terhadap calon pengurus Badan Amil Zakat sesuai dengan keahliannya.

(5) Mengusulkan calon dan menetapkan pengurus Badan Amil Zakat. (6) Pejabat Urusan Agama Islam Departemen Agama di semua

tingkatan karena jabatannya, adalah sekretaris Badan Amil Zakat. Calon pengurus Badan Amil Zakat harus memiliki sifat amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, profesiona, dan berintegrasi tinggi serta mempunyai program kerja.

f) Tate Kerja Pengurus Badan Amil Zakat

(1) Setiap pimpinan satuan organisasi menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi di lingkungan masing-masing, serta melakukan konsultasi dan memberikan informasi antar Badan Amil Zakat.

(2) Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.

(3) Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi ketentuan serta bertanggung jawab kepada atasan masing-masing dan menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya.


(46)

(4) Setiap Kepala Divisi/Bidang/Seksi/Urusan harus menyampaikan laporan kepada ketua Badan Amil Zakat melalui sekretaris, dan sekretaris menampung laporan-laporan tersebut serta menyusun laporan berkala.

(5) Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan wajib diolah dan digunakan sebagai bahan untuk penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan arahan kepada bawahan.

(6) Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan satuan organisasi Badan Amil Zakat dibantu oleh kepala satuan organisasi di bawahnya dan dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan rapat berkala.

b. Lembaga Amil Zakat

Menurut Departemen Agama (2008), Lembaga Amil Zakat yang disingkat LAZ adalah Institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat, yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah, yang terdiri dari Lembaga Amil Zakat Tingkat Pusat dan Lembaga Amil Zakat Tingkat Provinsi.

1) Lembaga Amil Zakat di tingkat pusat dikukuhkan oleh Menteri Agama dengan persyaratan:

(a) Berbadan hukum

(b) Memiliki data muzakki dan mustahik (c) Telah beroperasi minimal selama 2 tahun

(d) Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir


(47)

(e) Memiliki wilayah operasi secara nasional minimal 10 provins (f) Mendapat rekomendasi dari Forum Zakat.

(g) Telah mampu mengumpulkan dana Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dalam satu tahun.

(h) Melampirkan surat pernyataan bersedia di survey oleh tim yang dibentuk oleh Departemen Agama dan diaudit oleh akuntan publik. (i) Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi dengan

BAZNAS dan Departemen Agama.

2) Lembaga Amil di tingkat provinsi dikukuhkan oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi dengan persyaratan: (a) Berbadan hukum

(b) Memiliki data muzakki dan mustahiq (c) Telah beroperasi minimal selama 2 tahun

(d) Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir

(e) Memiliki wilayah operasional minimal 40% dari jumlah kabupaten/kota di propinsi tempat lembaga berada.

(f) Mendapat rekomendasi dari Kantor Agama Departemen Agama propinsi tersebut..

(g) Telah mampu mengumpulkan dana Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam satu tahun.

(h) Melampirkan surat pernyataan bersedia di survey oleh tim yang dibentuk oleh Kantor Wilayah Departemen Agama propinsi dan diaudit oleh akuntan publik.


(48)

(i) Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi dengan Badan Ami Zakat Daerah dan Departemen Agama propinsi wilayah operasional.

c. Unit Pengumpul Zakat

Menurut Departemen Agama (2008),Unit Pengumpul Zakat disingkat UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Badan Amil Zakat di semua tingkatan dengan tugas melayani muzakki yang menyerahkan zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian Badan Ami Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakan.

Prosedur pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ), maka Badan Amil Zakat (BAZ) sesuai dengan tingkatan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengadakan pendataan.

2) Mengadakan kesepakatan dengan pimpinan instansi dan lembaga, untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ).

3) Mengeluarkan surat keputusan pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).


(49)

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe kualitatif. Menurut Moleong (2005: 6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti dan memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian dimana peneliti merupakan instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, sehingga menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis/lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.

Berdasarkan definisi di atas maka tipe penelitian kualitatif digunakan untuk menganalisis strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana Zakat dan Infaq/Shadaqah (ZIS) pada BAZ Provinsi Lampung.


(50)

B. Fokus Penelitian

Menurut Moleong (2005: 93), fokus penelitian penting untuk membatasi masalah studi dan penelitian, tanpa adanya fokus penelitian, maka peneliti akan terjebak pada melimpahnya volume data yang diperolehnya. Karena itu fokus penelitian memiliki peranan sangat penting dalam memandu dan mengarahkan jalannya penelitian. Karena itu menurut Moleong, fokus penelitian dimaksudkan untuk membatasi studi kualitatif, sekaligus membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana data yng tidak relevan.

Berdasarkan pengertian di atas maka fokus penelitian ini adalah strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah oleh Badan Amil Zakat Provinsi Lampung, yang meliputi: 1. Strategi pengumpulan zakat dari para muzzakki (pemberi zakat)

2. Strategi pendistribusian zakat

3. Strategi pendayagunaan zakat, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat miskin

C. Lokasi Penelitian

Lokasi yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan sengaja (purposive), penetapan lokasi penelitian dilakukan pada BAZ Provinsi Lampung, dengan alasan yaitu Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.


(51)

D. Sumber Data

Menurut Moleong (2005) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya. Sumber-sumber data dalam penelitian ini adalah:

1. Informan

Sumber data ini merupakan orang-orang terlibat atau mengalami proses pelaksanaan dan perumusan program di lokasi penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kepala Bidang Pengumpulan BAZ Provinsi Lampung, Bapak H. Zarkasi b. Kepala Bidang Pendistribusian BAZ Provinsi Lampung, Bapak H.

Khairuddin Hasnawi

c. Kepala Bidang Pendayagunaan BAZ Provinsi Lampung, Bapak Drs. Khairuddin Hasnawi, MM

d. Kepala Bidang Pengelolaan Harta Zakat dan Wakaf pda BAZ Provinsi Lampung, Bapak Mohammad Sayuti A.R

e. Ketua Pelaksana Pengumpulan ZIS pada BAZ Provinsi Lampung, Bapak Drs. H. Nadhori Mauli

f. Anggota Bidang Pengembangan BAZ Provinsi Lampung, Bapak Bunyana Sholihin


(52)

2. Dokumen

Sumber data ini merupakan berbagai dokumen yang ada hubungannya dengan strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana Zakat dan Infaq/Shadaqah (ZIS) pada BAZ Provinsi Lampung. Dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Profil Organisasi BAZ Provinsi Lampung yang terdiri dari tugas pokok, visi dan misi, tujuan dan sasaran, program, struktur dan susunan organisasi.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap ini, peneliti melakukan proses pengumpulan data yang telah ditetapkan berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Observasi merupakan teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data primer yang diperlukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian. Observasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Observasi

No Observasi Terhadap Objek, Peristiwa

Tanggal Observasi

Keterangan

1 Objek berupa lokasi penelitian 16 Juni 2011 Mendatangi BAZ Lampung

2 Peristiwa 18 Juni 2011 Proses kerja


(53)

2. Wawancara Mendalam(indepth interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong: 2005). Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara.

3. Dokumentasi

Dokumen-dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku sejarah BAZ Provinsi Lampung, Laporan Kegiatan BAZ Provinsi Lampung Tahun 20082010 dan Lampung Dalam Angka 2010.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.

Beberapa tahapan aktivitas dalam menganalisis data kualitatif yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data (data reduction)

Data yang diperoleh dilokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data ini dilakukan dengan


(54)

menyederhanakan data hasil wawancara dengan para informan dan data mengenai profil BAZ Provinsi Lampung.

2. Penyajian Data (Data Display).

Penyajian data berguna untuk memudahkan peneliti melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Batasan yang diberikan dalam penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Display data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data hasil penelitian dalam bentuk kalimat, foto, tabel dan gambar sehingga mudah untuk dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan (concluting drawing).

Yaitu melakukan verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses pengumpulan data. Peneliti menganalisis dan mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, yang dituangkan dalam kesimpulan.

Berikut ini adalah gambar dari analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2005:92). Gambar tersebut akan memberikan gambaran bahwa dalam melakukan analisis data kualitatif dapat dilakukan bersamaan dengan pengambilan data, proses tersebut akan berlangsung secara terus menerus sampai data yang ditemukan sudah jenuh.

Bagan analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman tersebut dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:


(55)

Gambar. Bagan analisis data model interaktif

Sumber: Miles & Huberman (1992).

Gambar mengenai komponen analisis data model interaktif Miles dan Huberman di atas menjelaskan bahwa dalam melakukan analisis data kualitatif dapat dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Proses yang bersamaan tersebut meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

G. Teknik Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan standar validitas dari data yang diperoleh. Menurut Moleong (2004:173), ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Setiap kriteria ini menghendaki teknik pemeriksaan keabsahan data yang berbeda satu dengan lainnya

Pengumpulan data

Reduksi data (Data Reduction)

Penyajian Data (Data Display)

Penarikan Kesimpulan (Verification)


(56)

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) atas keandalan (realibilitas). Derajat kepercayaan atau kebenaran suatu penilaian akan ditentukan oleh standar apa yang digunakan. Peneliti kualitatif menyebut standar tersebut dengan keabsahan data. Menurut Moleong (2004) ada beberapa kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu:

1. Derajat Kepercayaan(credibility)

Penerapan derajat kepercayaan pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dan nonkualitatif. Fungsi dari derajat kepercayaan: pertama, penemuannya dapat dicapai; kedua, mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kriteria derajat kepercayaan diperiksa dengan beberapa teknik pemeriksaan, yaitu triangulasi untuk mengecek kebenaran data dan membandingkan dengan data yang diperoleh dengan sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan dan dengan metode yang berlainan. Adapun triangulasi yang dilakukan dengan tiga macam teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber data, metode, dan teori. Implementasi penerapan derajat kepercayaan ini penulis lakukan dengan cara mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan dan mengeceknya dengan berbagai sumber data.

2. Kecukupan referensial

Yaitu mengumpulkan berbagai bahan-bahan, catatan-catatan, atau rekaman-rekaman yang dapat digunakan sebagai referensi dan patokan untuk menguji sewaktu diadakan analisis dan penafsiran data. Kecukupan referensial dalam


(57)

penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan semua data yang berhubungan dengan penelitian ini untuk menguji kembali data ada. Implementasi kecukupan referensial ini penulis lakukan dengan menelaah berbagai referensi yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian.

3. Keteralihan (transferability)

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada pengamatan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut seorang peneliti perlu mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Dengan demikian, peneliti bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya. Implementasi keteralihan ini penulis lakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan data kejadian mengenai strategi pemberdayaan zakat pada BAZ Provinsi Lampung.

4. Kebergantungan (dependability)

Kebergantungan merupakan substitusi reliabilitas dalam penelitian nonkualitatif. Reliabilitas merupakan syarat bagi validitas. Dalam penelitian kualitatif, uji kebergantungan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan proses penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti ini perlu diuji dependability-nya. Kalau proses penelitiannya tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka penelitian tersebut tidak dependable. Implementasi kebergantungan ini penulis lakukan dengan cara memeriksa seluruh data yang diperoleh dari lapangan dan menyesuaikan dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian.


(58)

Ringkasan tabel triangulasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Ringkasan Triangulasi Data

N o

Fokus Wawancara Observasi Dokumentasi Keterangan

1 Strategi pengumpulan Zakat

Melakukan wawancara Hasilnya adalah:

a. BAZ melakukan sosialisasi b. BAZ Membentuk BAZ

Kabupaten dan Unit-unit Pengumpul Zakat (UPZ) c. BAZ melakukan Pembenahan

intern

d. BAZ mengawasi pelaksanaan pengumpulan, dengan cara mengadakan kunjungan dan pemantauan kegiatan BAZ/ UPZ.

e. BAZ Mengembangkan

perencanaan pengelolaan BAZ Provinsi Lampung, sehingga pengelolaan BAZ menjadi terencana dan lebih baik

Pencatatan Hasilnya adalah: a. Data muzzakki b. Data mustahik c. Data kegiatan

sosialisasi d. Tugas pokok BAZ Kabupaten dan UPZ Foto (Lampiran) Absah Kesimpulan: strategi pengumpulan telah

dilaksanan oleh BAZ

2 Strategi

pendistribusian

Zakat

Hasilnya adalah:

a. BAZ Menyusun prioritas penggunaan dana ZIS b. BAZ memberi kepercayaan

pada UPZ untuk mengumpulkan ZIS

c. BAZ memberikan penyaluran ZIS untuk program insidental

Pencatatan Hasilnya adalah: a. Prioritas

penggunaan

dana ZIS b. Tugas UPZ

pemerintah c. Tugas UPZ

swasta Foto (Lampiran) Absah Kesimpulan: strategi pendistribusian pengumpulan telah

dilaksanan oleh BAZ

3 Strategi

pendayagunaan

Zakat

Hasilnya adalah: a. BAZ melakukan

pengembangan zakat produktif b. BAZ melaksanakan

pendampingan

Pencatatan: Hasilnya adalah: a. Penjelasan zakat

produktif b.Pendayagunaan dana ZIS Foto (Lampiran) Absah Kesimpulan: strategi pendayagunaan telah

dilaksanan oleh BAZ


(59)

(60)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat miskin melalui optimalisasi pengelolaan dana zakat, infaq dan sedekah oleh Badan Amil Zakat Provinsi Lampung, dilaksanakan sebagai berikut:

1. Strategi Pengumpulan Zakat dari para muzzakki (pemberi zakat) dilaksanakan oleh BAZ Provinsi Lampung dengan:

a. Sosialisasi mengenai kewajiban zakat, organisasi dan program BAZ Provinsi Lampung untuk menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat.

b. Membentuk BAZ Kabupaten dan Kecamatan serta Unit-unit Pengumpul Zakat (UPZ) untuk mengumpulan ZIS di tingkat kabupaten dan kecamatan serta instansi pemerintahan dan BUMN untuk untuk memudahkanmuzakkidalam menyerahkan dana ZIS.

c. Pembenahan intern BAZ Provinsi Lampung, melalui program kerja untuk mengoptimalkan penghimpunan dana ZIS, dengan langkah meningkatkan sistem pengelolaan BAZ Provinsi Lampung, sehingga BAZ dapat meningkatkan pola pelayanannya kepada masyarakat.


(61)

d. Mengawasi dan memonitor pelaksanaan pengumpulan BAZ Provinsi Lampung, dengan cara mengadakan kunjungan dan pemantauan kegiatan BAZ/UPZ.

2. Strategi pendistribusian zakat, dilaksanakan sesuai dengan peruntukkan dan penggolongan pada masing-masing akad pengumpulan, dengan cara menyusun prioritas penggunaan dana ZIS dan memberikan kepercayaan kepada UPZ untuk turut menyalurkan dana ZIS yang terkumpul serta enyaluran ZIS untuk program insidental.

3. Strategi Pendayagunaan Zakat, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat miskin dilaksanakan dengan pengembangan zakat produktif atau dana zakat yang dimanfaatkan untuk pengembangan usaha masyarakat dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dengan harapan para mustahiq yang diberdayakan ekonominya, kedepannya dapat menjadi muzakki. Selain itu melaksanakan pendampingan dalam pengembangan zakat produktif kepada para mustahiq yang menerimanya.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Strategi pengumpulan ZIS oleh BAZ Provinsi Lampung dapat ditingkatkan dengan cara mengoptimalkan sosialisasi mengenai kewajiban zakat, baik kepada masyarakat umum mapun instansi pemerintahan dan BUMN. Selain itu pembentukan UPZ di Instansi Pemerintahan dan Swasta juga seharusnya lebih dioptimalkan dalam rangka memfasilitas paramuzzakki.


(62)

2. Strategi pendistribusian ZIS oleh BAZ Provinsi Lampung dapat ditingkatkan dengan cara melakukan pendataan secara lebih akurat mengenai jumlah mustahik di Provinsi Lampung, dengan melakukan kerjasama instansi pemerintahan yang berwenang di bidang pendataan penduduk.

3. Strategi pendayagunaan ZIS oleh BAZ Provinsi Lampung dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin dapat ditingkatkan dengan cara melakukan seleksi secara ketat dan objektif terhadap calon penerima bantuan dana pengembangan usaha produktif masyarakat yang bersumber dari dana ZIS, sehingga kelompok masyarakat yang menerima bantuan dana ZIS adalah kelompok yang benar-benar memerlukan dana ZIS tersebut dalam mengembangkan usahanya.


(63)

(Studi Pada Badan Amil Zakat Provinsi Lampung Tahun 2011)

(SKRIPSI)

Oleh Aprina Sari KS

0616041001

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG


(64)

(65)

(Studi Pada Badan Amil Zakat Provinsi Lampung Tahun 2011)

Oleh

APRINA SARI KS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(66)

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Zakat ... 11

1. Pengertian Zakat... 11

2. Penerima Zakat... 12

3. Manfaat Zakat ... 13

B. Kemiskinan ... 15

1. Pengertian Kemiskinan ... 15

2. Kemiskinan di Indonesia... 16

3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan... 17

4. Jenis-Jenis Kemiskinan ... 18

5. Dampak Kemiskinan... 20

C. Pemberdayaan Masyarakat ... 21

1. Pengertian Pemberdayaan ... 21

2. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan ... 25

D. Startegi dan Optimalisasi ... 26

1. Strategi ... 26

2. Optimalisasi ... 28

E. Manajemen Pengelolaan Zakat ... 30

1. Sejarah Singkat Pengelolaan Zakat di Indonesia ... 30

2. Pengelolaan Zakat Pascakelahiran Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat... 32


(1)

Lampiran

Musyawarah Pengurus BAZ Provinsi Lampung


(2)

Penyerahan Data Muzakki dari BPZ Instansi Pemprov Lampung


(3)

Kegiatan Sosialisasi BAZ Provinsi Lampung


(4)

Kegiatan Sosialisasi BAZ Provinsi Lampung Melalu Majelis Taklim


(5)

Judul Skripsi : STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI OPTIMALISASI PENGELOLAAN DANA ZAKAT DAN INFAQ/SHADAQAH (ZIS) PADA BADAN AMIL ZAKAT (BAZ) PROVINSI LAMPUNG 2011

Nama Mahasiswa : Aprina Sari KS

No. Pokok Mahasiswa : 0616041001

Jurusan : Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI

1.Komisi Pembimbing

Eko Budi Sulistio, S.Sos., M.Ap NIP. 197809232003121001

2.Ketua Jurusan Administrasi Negara

Rahayu Sulistiowati, S.Sos., M.Si NIP. 197101221995122001


(6)

MENGESAHKAN

1.Tim Penguji

Ketua : Eko Budi Sulistio, S.Sos., M.AP ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Fery Triatmojo, S.A.N., M.PA ...

2.Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. Agus Hadiawan, M.Si NIP. 195801091986031002