31
Kelima,
dengan pemahaman ilmu secara
kaffah
dan benar menempatkan manusia menjadi ulama yang paling takut kepada Allah
Swt.
Keenam,
dengan ilmu, manusia akan mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat baik untuk dirinya, masyarakat, dan lingkungan alam sekitar,
bukan mempelajari ilmu yang bisa membawa
madharat
bagi kehidupan
orang lain seperti ilmu sihir.
Ketujuh,
dengan ilmu menjadikan urgensi adanya kelompok khusus yang
mutafaqqih fi ad-dien,
setiap saat dan di setiap komunitas. Terlebih lagi agar ilmu pengetahuan tidak hilang karena tidak ada yang
mengajarkan dan tidak pula yang mempelajarinya padahal secara umum memiliki pengetahuan agama yang mendalam merupakan tanda orang
yang baik dalam pandangan Allah Swt.
Kedelapan,
dengan ilmu, manusia bisa menentukan tujuan mulia hidupnya dengan meningkatkan keimanan, ketauhidan, menjadikan
ummat yang berkualitas, menguasai teknologi, dan melaksanakan amaliyah sosial di tengah-tengah kehidupan.
44
4. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak termasuk di dalamnya pendidikan budi pekerti merupakan jiwa pendidikan Islam.
45
Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw yaitu menyempurnakan akhlak yang
mulia sebagaimana hadist yang diriwayatkan Baihaqi.
44
Ibid., hlm 5-7.
45
M. „Athiyyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1.
32
Perjalanan Nabi Muhammad Saw penuh dengan akhlak yang luhur yang apabila diterapkan dalam kehidupan akan memberi kebahagiaan
bagi individu dan masyarakat. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Aisyah r.a bahwa akhlak beliau Nabi Muhammad Saw adalah al-
Qur‟an.
46
Firman Allah dalam Surah al-Qalam ayat 4 mempertegas hal itu:
“Dan sesungguhnya kamu Muhammad benar
-benar berbudi pekerti
yang agung.”
Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi mengungkapkan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk membentuk moral yang tinggi serta
akhlak yang mulia. Lebih lanjut ia menyatakan:
Para ulama dan para sarjana muslim dengan sepenuh hati dan perhatiannya
berusaha menanamkan
akhlak yang
mulia, meresapkan
fadhilah
ke dalam jiwa para penuntut ilmu, membiasakan mereka berpegang pada moral yang tinggi dan
menghindari pada hal-hal tercela, berfikir secara
bathiniyah
dan
ihsaniyyah
kemanusiaan yang jernih, serta mempergunakan waktu untuk belajar ilmu-ilmu duniawi dan ilmu-ilmu keagamaan
sekaligus tanpa memandang keutungan-keuntungan materi.
47
Pendidikan karakter akhlak bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter
akhlak memerlukan pembiasaan, yakni pembiasaan untuk berbuat baik seperti pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang,
malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungan kotor, dan sebagainya. Karakter tidak terbentuk secara instan, tetapi harus dilatih
46
Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam, 28.
47
Muhammad „Athiyyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, Bandung Pustaka Setia, 2003, 22.
33
secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk serta kekuatan yang ideal.
48
Pendidikan akhlak dalam Islam yang bersumber dari al- Qur‟an dan
hadits Nabi Muhammad Saw banyak mengemukakan akhlak yang diserukan untuk dipraktikkan, antara lain
amar ma‟ruf dan
nahi munkar.
49
Firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 104:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang
ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka
lah orang- orang yang beruntung.
Tentang akhlak atau karakter, Adian Husaini mengatakan: Pemerintah Indonesia telah mencanangkan perlunya pendidikan
berbasis karakter. Sejak itu, berbagai program tentang pendidikan karakter
telah diluncurkan.
Dasar pemikirannya
adalah bahwasanya,
tujuan pendidikan
menurut Undang-undang
Pendidikan Nasional, adalah untuk membentuk anak didik yang cerdas, kreatif, beriman, bertakwa, dan sebagainya. Pendidikan
bukan hanya sekedar untuk menghasilkan manusia cerdas, tapi manusia yang berkarakter. Justru, karakterlah yang dipandang lebih
penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik
menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur,
ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungan kotor. Karakter tidak tebentuk secara
instan, tetapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk serta kekuatan yang ideal.
50
Selanjutnya menurut Azyumardi Azra, munculnya kembali gagasan tentang pendidikan budi pekerti harus diakui berkaitan erat dengan
48
Adian Husaini, Pendidikan Islam, 2.
49
M. Fadhil al-Jamali, Filsafat Pendidikan, 36.
50
Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk, 2.
34
semakin berkembangnya padangan dalam masyarakat luas, bahwa pendidikan nasional dalam berbagai jenjangnya, khususnya jenjang
menengah dan tinggi, “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi,
banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang santun, baik di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlihat
dalam tindak kekerasan massal seperti tawuran. Pandangan simplistik menganggap bahwa kemerosotan akhlak, moral, dan etika peserta didik
disebabkan gagalnya pendidikan agama di sekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan agama memiliki kelemahan-kelemahan
tertentu, misalnya 1 jumlah jam yang sangat sedikit, 2 materi pendidikan agama yang terlalu banyak teori daripada praktik, 3
pendekatan pendidikan agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi daripada afeksi dan psiko-motorik peserta didik, dan sebagainya.
Dengan berbagai kendala,
constraints,
dan masalah-masalah seperti itu, pendidikan agama tidak atau kurang fungsional dalam membentuk
akhlak, moral, dan bahkan kepribadian peserta didik.
51
Masalah yang tersebut di atas hampir bisa dipastikan hanyalah merupakan
tip of iceberg
dari krisis yang dihadapi pendidikan nasional umumnya. Krisis yang dihadapi kelihatannya bukan hanya menyangkut
kinerja sekolah atau dunia pendidikan umumnya dalam hal kualitas akademis lulusannya, tetapi juga dalam hal mentalitas, moral dan
51
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekontruksi dan Demokr atisasi, Jakarta: Kompas, 2002, 178.
35
karakter. Sehingga, tidak ragu lagi keberhasilan dalam mendidik dan membentuk akhlak, moral dan budi pekerti atau karakter peserta didik
pada tingkat dasar dan menengah merupakan langkah paling fundamental dan dasariah dalam membentuk karakter bangsa nantinya.
52
Sejauh ini terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar menyangkut
krisis mentalitas dan moral peserta didik di lingkungan pendidikan nasional, yakni;
Pertama,
arah pendidikan telah kehilangan obyektivitasnya. Sekolah dan lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik
melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi tentang tindakan-tindakannya;
salah atau benar, baik atau buruk.
Kedua,
proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan sekolah. Lembaga pendidikan kita umumnya cenderung lupa
pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan peserta didik
enkulturasi. Ketiga,
proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan, bahkan juga para guru. Hal ini bukan hanya karena formalisme
sekolah —bukan hanya dalam hal administrasi, tetapi juga dalam proses
belajar-mengajar —yang cenderung sangat ketat, juga karena beban
kurikulum yang sangat berat
over loaded.
52
Ibid., hlm 179.
36
Keempat,
beban kurikulum yang demikiran berat, lebih parah lagi, hampir seluruhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif
belaka. Akibatnya, ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian untuk pengembangan sebaik-baiknya.
Kelima,
kalau pun ada materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi, misalnya dalam mata pelajaran agama, tetapi penyampaiannya
terkesan verbal kaku, bahkan disertai dengan
rote-memorizing. Keenam,
pada saat yang sama para peserta didik dihadapkan dengan nilai-nilai yang saling bertentangan
contra-dictory set of values.
Pada satu pihak, mereka diajar para guru pendidikan agama untuk bertingkah laku baik seperti jujur, hemat, rajin, disiplin dan sebagainya,
tetapi pada saat yang sama banyak orang di lingkungan sekolah justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal-hal seperti itu.
Ketujuh,
selain itu para peserta didik juga mengalami kesulitan mencari figur panutan untuk dijadikan sebagai teladan
uswah hasanah
di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
53
5. Pendidikan Sosial