BEGAWAI DALAM PERKAWINAN SUKU REJANG RAWAS DESA MUARA KUIS KECAMATAN ULU RAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

(1)

BEGAWAI DALAM PERKAWINAN SUKU REJANG RAWAS DESA

MUARA KUIS KECAMATAN ULU RAWAS KABUPATEN MUSI

RAWAS SUMATERA SELATAN

Oleh: Ferdiana Haryani

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

RAWASSUMATERASELATAN Oleh :

Ferdiana Haryani

Setiap manusia dan masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat serta kebudayaan sendiri. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi modal dasar sebagai landasan pengembangan budaya bangsa yang ada di Indonesia. Salah satu hasil kebudayaan yang sampai saat ini masih diwariskan oleh masyarakat ialah upacara perkawinan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan adat Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan?, Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan adat Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, teknik pengumpulan data kepustakaan dan teknik dokumentasi, wawancara, teknik angket dan kuesioner, serta teknik analisis data terhadap masyarakat yang ada di Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab. Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Hasil dari penelitian yaitu Begawai sebelum akad nikah ; prasanan (lamaran), pengetanan, pengantar suku/pengantar adat, tandang (acara bujang gadis). Begawai ketika akad nikah ; meminta izin, tegak tenda, bekurban, mengesok (masak), hantaran (arak-arakan), akad nikah, lelangan. Begawai setelah akad nikah ; mengembalikan alat-alat yang dipinjam, pengantin mandi-mandian, do’a syukuran, menyiram kuburan dan berkunjung kerumah sanak saudara. Namun seiring berjalannya waktu ada beberapa kegiatan begawai yang mengalami perubahan seperti acara tandang sudah jarang dilaksanakan karena banyak sekali bujang dan gadis yang kurang memanfaatkan dengan baik acara tersebut, selain tandang, lelangan juga sudah jarang dilaksanakan, lelangan hanya dilakukan jika begawai menggunakan organtunggal. Nilai-nilai yang terkandung bagi Suku Bangsa Rejang, upacara perkawinan merupakan ajang untuk menunjukkan keberhasilan keluarga (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan tanda kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan oleh orangtua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai upacara “melepaskan hutang” kewajiban orangtua terhadap anak. Setiap keluarga berusaha untuk membuat acara perkawinan dengan menggunakan upacara adat. Bagi Suku Bangsa Rejang, perkawinan tanpa upacara adat dikatakan mengekeak de men yang berarti bujang gadis yang dikawinkan tersebut keca peak (sudah cacat atau tidak suci lagi). Karena hal tersebut, bagi suku Bangsa Rejang, perkawinan merupakan peristiwa yang bersejarah, tempat menilai kesucian anak yang menyangkut martabat keluarga besar.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN RIWAYAT HIDUP ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Analisis Masalah ... 5

1.2.1. Identifikasi Masalah ... 5

1.2.2. Pembatasan Masalah ... 5

1.2.3. Rumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Kegunaan Penelitian... 6

1.5.Ruang Lingkup Penelitian ... 7

REFERENSI II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka ... 9

2.1.1. Konsep Begawai ... 9

2.1.2. Konsep Perkawinan ... 10

2.1.3. Konsep Suku Rejang Rawas ... 11

2.1.4. Sistem Kekerabatan ... 12

2.2. Kerangka Pikir dan Paradigma ... 16

2.2.1. Kerangka Pikir ... 16

2.2.2. Paradigma ... 17

REFERENSI III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode yang Digunakan ... 19

3.1.1. Metode Deskriptif ... 19


(6)

3.2.1. V ariabel Penelitian ... 20

3.2.2. Definisi Operasional Variabel ... 21

3.3. Sumber Data ... 21

3.3.1. Informan ... 21

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 22

3.4.1. Teknik Pokok ... 22

3.4.1.1. Teknik Wawancara ... 22

3.4.1.2. Teknik Dokumentasi ... 24

3.4.2. Teknik Pelengkap ... 24

3.4.2.1. Teknik Observasi ... 24

3.4.2.2. Teknik Kepustakaan ... 25

3.5. Teknik Analisis Data ... 25

REFERENSI IV. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL 4.1. Gambaran Umum Desa Muara Kuis ... 27

4.1.1. Sejarah Singkat Kabupaten Musi Rawas ... 27

4.1.2. Letak Geografis, Luas Wilayah dan Iklim ... 32

4.1.3. Sejarah Singkat Desa Muara Kuis ... 33

4.1.4. Kondisi Geografis ... 33

4.1.5. Luas Wilayah ... 34

4.1.6. Struktur Perekonomian Desa ... 35

4.1.7. Pendidikan ... 37

4.1.8. Kesehatan ... 38

4.1.9. Sosial Budaya Desa ... 39

4.1.10. Keadaan Penduduk menurut Agama ... 39

4.2. Deskripsi Data ... 40

4.2.1. Deskripsi Pelaksanaan Begawai ... 40

1. Begawai Sebelum Akad Nikah ... 40

2. Begawai Ketika Akad Nikah ... 46

3. Begawai Setelah Akad Nikah ... 51

4. Tokoh-tokoh yang Berperan ... 54

4. Nilai-nilai yang terkandung dalam Begawai ... 55

PEMBAHASAN Tata Cara Pelaksanaan Begawai ... 56

V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 65 LAMPIRAN


(7)

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel :

Halaman

1. Jumlah Lahan Pertanian ... 35

2. Jumlah Sumber Ekonomi Lain ... 36

3. Jumlah Anak Usia Sekolah ... 37

4. Jumlah Penduduk Desa Muara Kuis ... 39


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar : Halaman

1. Peta Kabupaten Musi Rawas ...96

2. Sketsa Desa Muara Kuis ...97

3. Pengiring Acara Hantaran (Arak-arakan) ...97

4. Pengantin Suku Rejang Rawas ...98

5. Proses Hantaran (Arak-arakan) ...98

6. Proses Akad Nikah ...99


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman suku, adat istiadat dan kebudayaan yang ada di Negara Indonesia, membuat Indonesia menjadi kaya akan budaya bangsa, terlebih banyak sekali masyarakat yang mempertahankan budaya tersebut yang di wariskan oleh nenek moyang mereka. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya yang ada ini terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,

bangunan, dan karya seni. Salah satu hasil kebudayaan yang sampai saat ini masih

diwariskan oleh masyarakat ialah upacara perkawinan.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya kelakuan (Soekanto, 1981 : 238). Kebudayaan merupakan pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti perasaan-perasaan manusia serta menjadi sistem nilainya. Hal itu terjadi karena kebudayaan diselimuti oleh nilai-nilai moral yang bersumber dari nilai-nilai, pandangan hidup dan sistem etika yang dimiliki manusia.


(11)

Manusia tidak akan berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang disebut perkawinan karena dengan perkawinan menyebabkan adanya (lahirnya) keturunan yang baik dan sah, dan keturunan yang baik dan sah kemudian akan dapat menimbulkan terciptanya satu keluarga yang baik dan sah pula dan kemudian akhirnya berkembang menjadi kerabat dan masyarakat yang baik dan sah pula (Tolib Setiady, 2008:221).

Perkawinan adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Upacara perkawinan adalah termasuk upacara adat yang harus dijaga dan dilestarikan, karena dari situlah akan tercermin jati diri suatu bangsa, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan bersatunya negara.

Salah satu di Indonesia yang memiliki bentuk dan tata cara dalam pelaksanaan upacara perkawinan adalah suku Rejang Rawas. Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu.

Asal usul orang Rejang adalah daerah Tonkin Indochina, (India Belakang) yang sekitar 1200 tahun yang lalu melalui Kalimantan mereka pindah ke sumatera, pada waktu itu, mereka berlayar menuju serawak (Kalimantan Utara) dan sebagian menetap disana hingga sekarang keturunan mereka masih tetap berbahasa Rejang, dan disana juga ada sebuah sungai yang bernama sungai Rejang. Dari sana mereka berlayar melalui pulau Bangka dan Belitung, menuju memudiki sungai Musi kemudian menyimpang ke kanan memudiki sungai rawas hingga ke daerah yang paling hulu, sebagian ada yang tinggal di sana, terakhir mereka memudiki sungai rawas dan menuju Gunung Hulu Tapus sehingga menetap disana (Siddik Abdullah, 1980 : 27).

Perkawinan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang dipakai oleh masyarakat Rejang Rawas untuk menyebut pesta perkawinan. Beragam ritual ataupun kegiatan dilakukan secara turun temurun oleh para tokoh adat dan dipercayai oleh masyarakat untuk dipatuhi, jika tidak, mereka percaya


(12)

sesuatu yang buruk akan terjadi nantinya. Maka tak berlebihan jika kemudian Pesta pernikahan dua manusia ini menjadi pesta seluruh kampung.

Pelaksanaan upacara perkawinan merupakan suatu langkah yang penting dalam proses pengintegrasian manusia dengan tata alam, dimana dalam pelaksanaan tat upacara perkawinan harus memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh tradisi untuk masuk kealam sakral. (Depdikbud, 1978; 12)

Upacara adat perkawinan hanya dilakukan oleh orang tua yang menyelenggarakan perkawinan putra-putrinya secara mewah. Karena untuk melaksanakan upacara adat perkawinan ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Namun tradisi tersebut akan terus menjadi unsur budaya yang dihayati dari masa ke masa atau turun-temurun. Di dalamnya terkandung nilai dan norma yang sangat kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat.

Dilihat dari sudut antropologi, perkawinan memegang peranan penting dalam hal menentukan hidup selanjutnya, sebab perkawinan pada dasarnya merupakan pengaturan tata kelahiran manusia yang menyangkut kehidupan seks yang dinilai suci. (Depdikbud, 1978; 3). Perkawinan adalah ‘aqad nikah yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak-hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. (Sulaiman Rasjid, 1954; 355).

Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan (ideal). Perkawinan seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki maupun perempuan. Perempuan yang baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi berbagai persyaratan, yang pada dasarnya


(13)

menunjukkan perilaku yang baik dan pandai mengatur rumah tangga. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah : baik tutur katanya; pandai mengatur halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai menyusun/mengatur kayu api (semulung putung); bagus bumbung airnya (lesat beluak bioa); dan mempunyai sifat pembersih.

Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki tersebut antara lain adalah : banyak ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan menebang kayu; pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja.

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah : tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan.

1.2.Analisis Masalah

1.2.1.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diutarakan oleh penulis di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

1.2.1.1. Tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.


(14)

1.2.1.2. Persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.

1.2.1.3. Peran tokoh-tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.

1.2.2. Pembatasan Masalah

Mengingat terbatasnya kemampuan dan waktu dari penulis, maka masalah yang akan diangkat pada penelitian ini dibatasi pada :

Tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.

1.2.3. Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan adat Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.


(15)

1.4.Kegunaan Penelitian

1.4.1.Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi setiap pembaca dalam peningkatan pemahaman mengenai tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.

1.4.2.Menambah wawasan penulis khususnya dalam bidang kesejarahan yakni mengenai masyarakat terhadap pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.

1.4.3.Membangkitkan kebanggaan pada generasi muda di daerah ini khususnya, di Indonesia pada umumnya terhadap kebudayaan sendiri.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi suatu kerancuan dalam sebuah penelitian, perlu sekali penulis berikan batasan ruang lingkup yang akan mempermudah pembaca memahami isi karya tulis ini. Adapun ruang lingkup tersebut adalah :

1.5.1. Subyek Penelitian : Masyarakat Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan.

1.5.2. Obyek Penelitian : Tata cara pelaksanaan begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu


(16)

1.5.3. Tempat Penelitian : Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi

Rawas, Sumatera Selatan.

1.5.4. Waktu Penelitian : 2013


(17)

REFERENSI

Soejono Soekanto. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta. Halaman 238.

Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Jakarta. Halaman 221. Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Balai Pustaka. Jakarta. Halaman 27. Depdibud. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. P3KD.

Halaman 12

Depdikbud. 1986. Arti Lambang dan Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Budaya Provinsi DIY. P3KD. Halaman 3.

Sulaiman Rasid. 1954. Fiqh Islam.attahitiyah. Jakarta. Halaman 355. Sumber Lain :


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Begawai

Pernikahan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang dipakai oleh masyarakat Rejang Rawas untuk menyebut pesta perkawinan. Beragam ritual ataupun kegiatan dilakukan secara turun temurun oleh para tokoh adat dan dipercayai oleh masyarakat untuk dipatuhi, jika tidak, mereka percaya sesuatu yang buruk akan terjadi nantinya. Maka tak berlebihan jika kemudian Pesta pernikahan dua manusia ini menjadi pesta seluruh kampung.

Menurut Ketua Adat Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis, Begawai berasal dari bahasa Rejang yang berarti “Gawai”(persedekahan/pesta). Jadi, Begawai ialah persedekahan dalam acara pernikahan untuk mempersatukan serta mempererat tali silaturahmi. (Abun Jani, 63 Tahun).

Begawai adalah salah satu acara adat dalam pernikahan khususnya pernikahan yang diadakan secara besar-besaran. (M. Zainal Arifin, 55 tahun).


(19)

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa begawai merupakan persedekahan pernikahan yang diadakan secara besar-besaran dengan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi.

2.1.2. Konsep Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan Republik Indonesia No. 1 Th. 1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Masih menurut UU No. 1 Th. 1974, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan yang di anut sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Perkawinan adalah akad antara calon suami istri untuk hidup bersama sebagai pertalian yang suci antara pria dan wanita dengan tujuan menyelenggarakan hidup yang akrab guna mendapatkan keturunan yang sah dan membina keluarga dan rumah tangga yang bahagia (Aisyah Dachlan, 1979 : 56).

Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang atau lebih laki – laki dengan seorang perempuan atau lebih wanita dalam suatu hubungan suami istrii yang diberikan pengakuan sosial. Perkawinan merupakan suatu ikrar yang dinyatakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melangsungkan sebuah kehidupan rumah tangga dengan tujuan yang baik karena ikrar tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa(Mulyadi, 1994 : 59).


(20)

Ikrar merupakan janji hidup bersama, yang dalam istilah orang Indonesia biasa disebut akad nikah. Karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka perkawinan diatur oleh undang-undang perkawinan. Selain harus mendapat pengakuan secara adat, yaitu dengan mengikuti ritual adat yang sudah dilaksanakan turun temurun.

Dari pendapat di atas dapatlah kita simpulkan bahwa :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam sebuah keluarga (rumah tangga) dalam waktu relatif lama.

2. Perkawinan merupakan tali penghubung antara kedua keluarga besar dari kedua belah pihak.

3. Perkawinan bertujuan meneruskan keturunan dari masing-masing kerabat atau suku.

4. Perkawinan dinyatakan sah apabila dilaksanakan menurut tata aturan adat dan agama tertentu yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. 5. Perkawinan dilaksanakan untuk mendapat legalitas sosial dalam

melakukan hubungan suami istri yang terikat dalam perkawinan.

2.1.3. Konsep Suku Rejang Rawas

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku Melayu. Suku Rejang terdapat di pulau Sumatera bagian Selatan Barat, yaitu di sebahagian Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan yang sekarang. Jumlah anggotanya menurut cacah jiwa (sensus) terakhir yang dilakukan pada tahun 1961, lebih kurang 500.000 orang.


(21)

Tempat asal Suku Rejang adalah di Lebong menurut John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberitakan tentang adanya empat petulai Rejang, yaitu Joorcallang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu), dan Toodbye (Tubai). Karena Tubai hanya terletak di wilayah Lebong dan pecahannya terdapat di luar Lebong, maka kenyataan ini memperkuat, bahwa tempat asal mestilah di Lebong (Abdullah Siddik, 1980 : 27).

Dari lebong tersebut bertebaranlah Suku Rejang menyusur sungai ketahun sampai ke pesisir dan dengan menyusur sungai Musi sampai pula ke bahagian Rawas dan Lahat di provinsi Sumatera Selatan.

Suku Bangsa Rejang yang mendiami onderafdeeling Lebong dalam zaman pemerintah jajahan Belanda, dinamai Rejang Lebong, yang mendiami onderafdeeling Rejang, dinamai Rejang Musi dan Rejang Lembak, yang mendiami Rejang onderafdeeling Lais dan Benkoelen, dinamai Rejang Pesisir dan yang mendiami onderafdeeling Tebing Tinggi dan Rawas dinamai Rejang Empat Lawang dan Rejang Rawas ( Abbdullah Siddik, 1980 : 31).

2.1.4. Sistem Kekerabatan

Perkawinan di suku Rejang pada asalnya ialah eksogami, yaitu perkawinan di luar petulai yaitu kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistim unilateral (disusurgalurkan pada satu pihak saja), dengan sistim garis keturunannya patrilineal (menurut garis keturunan bapak). Perkawinan eksogami ini pada asalnya di Suku Rejang berbentuk Kawin Jujur dan kemudian muncul pula bentuk Kawin Semendo disebabkan oleh pengaruh adat Minangkabau, sehingga dalam Hukum Adat Rejang terdapat dua macam bentuk perkawinan (A. Siddik, 1980 : 222).

Suku Rejang menyebut lembaga Kawin Semendo yang diadatkan itu dengan istilah Kawin Semendo Ambil Anak. Sementara itu kawin semendo dalam perkembangan selanjutnya mempunyai macam-macam bentuk lagi dengan


(22)

bermacam-macam akibat hukumnya pula, yaitu ada kawin semendo yang menentukan, bahwa semua anak masuk petulai mak (ibu) dan ada pula yang menentukan, bahwa sebagian dari anak masuk petulai bak (ayah), tetapi tidak ada kawin semendo yang menentukan, yang tidak mempengaruhi sistem keturunan, yaitu yang dikenal dalam lembaga Kawin Semendo Rajo-Rajo, yang menentukan, bahwa anak semuanya masuk petulai mak dan serentak masuk ke petulai bak dalam arti clan patrilineal semua, karena di Suku Rejang tidak dikenal clan yang matrilineal. Dengan demikian akibat kawin semendo rajo-rajo bukan dubbel unillateral, tetapi tetap unilateral dalam pengertian patrilineal.

Bentuk asli perkawinan di Suku Rejang, yaitu yang terkenal dengan kawin jujur, maka sistem perkawinan bukan saja eksogami tetapi menjamin garis keturunan yang patrilineal. Dengan kawin jujur si perempuan beleket (jujur) dilepaskan dari golongan sanak saudaranya dan dimasukkan bersama-sama anak-anaknya ke golongan sanak saudara dari si suami, di samping kenyataan ini si perempuan beleket wajib pula bertempat tinggal di tempat suaminya, setidak-tidaknya di tempat keluarga suaminya.

Tetapi, dalam perkembangan Hukum Adat Rejang pada akhir-akhir ini disebabkan oleh hubungan lalu lintas yang maju dengan pesat dan banyak pula orang-orang suku Rejang keluar dari dusunnya, maka atas permufakatan bersama mereka dapat bertempat tinggal di luar dusun si suami, sehingga dapat berdiam di dusun si istri atau bersama-sama di rumah orang tua si suami dengan tidak mengurangi asas kawin jujur, yaitu anak-anak mereka yang kawin jujur tetap masuk suku ayah.


(23)

Di dalam peraturan yang baru ini di dalam pasal mengenai adat kawin tidak dijumpai lagi kawin jujur, di dalam ayat 7a tercantum : di Pasar hanya satu macam adat-kawin yang dipakai, namanya semendo rajo-rajo atau semendo beradat, di dalam ayat 7b tercantum dalam Marga :

1. Kawin Semendo rajo-rajo 2. Kawin Semendo tidak beradat

Peraturan baru ini disetujui oleh Residen Belanda di Bengkulu dalam keputusannya bertanggal 18 Oktober 1991 No. 412.

Tidak terdapatnya bentuk kawin jujur lagi di Suku Rejang bagian pesisir ini, dapat dipahami bukan saja dari peristiwa larangan kawin jujur dari pemerintahan jajahan Belanda bertanggal Bogor, 23 Desember 1862, tetapi juga dari kenyataan sejarah orang Suku Rejang di pesisir ini yang sudah jauh lebih dahulu dipengaruhi oleh adat Melayu dan oleh ajaran agama islam, karena hubungan mereka dengan orang-orang Melayu yang banyak berada di pesisir. Dengan demikian, perkawinan eksogami sudah mulai kendur.

Bentuk kawin semendo timbul disebabkan oleh pengaruh adat Minangkabau yang susunan masyarakatnya adalah khas matrilineal, yaitu menurut garis keturunan ibu dan merupakan juga satu perkawinan eksogami, sedang di Suku Rejang susunan masyarakatnya patrilineal, yaitu menurut garis keturunan ayah.

Walaupun berlainan susunan masyarakat Suku Rejang, tetapi kawin semendo masih dapat diterima pada permulaannya, yaitu hanya dalam keadaan darurat, umpamanya jika seorang keluarga mempunyai satu-satunya anak perempuan pula.


(24)

Jika si anak tunggal perempuan ini dilepaskan kawin jujur, maka punahlah jurai. Oleh karena itu dipakailah lembaga kawin semendo sebagai jalan keluar dan mereka namakan kawin yang demikian : kawin semendo tambik anak. Dengan sesuatu pengecualian, maka susunan sanak saudara tetap bersifat hukum bapak.

Dalam perkembangan lembaga kawin semendo di Suku Rejang terdapat dua macam yakni :

a. Kawin semendo tambik anak, b. Kawin semendo rajo-rajo.

Kawin semendo tambik anak di pecah lagi dalam :

a. Kawin semendo tambik anak – tidak beradat atau terkenal juga dengan sebutan kawin semendo menangkap burung terbang atau kawin semendo bapak ayam.

b. Kawin semendo tambik anak – beradat.

Kawin semendo tambik anak – tidak beradat, artinya si laki tinggal di rumah perempuan selama-lamanya dan pembelanjaan upacara perkawinan ditanggung seluruhnya oleh pihak perempuan. Jadi nyata sekali, bahwa perkawinan ini adalah satu bentuk perkawinan antara orang yang tidak sederajat, yaitu derajat si suami nampak lebih rendah daripada derajat si istri.

Bentuk kawin semendo tambik anak si suami tidak dilepaskan dari golongan sanak saudaranya, walaupun ia telah masuk keluarga istrinya, sehingga dengan kedudukan yang demikian ia dapat mendapat pusaka, baik dari pihak ayahnya sendiri maupun dari pihak ayah istrinya.


(25)

Perubahan bentuk perkawinan ini menurut adat harus dilakukan di hadapan Tuai Kuteui dan atas permufakatan antara suami istri bila perlu tanpa meminta persetujuan keluarga mereka masing-masing, Sebaiknya tentulah dengan persetujuan keluarga mereka masing-masing, karena perubahan itu membawa perubahan pula kepada kedudukan hukum suami istri dan anak-anaknya.

2.2. Kerangka Pikir dan Paradigma 2.2.1. Kerangka Pikir

Perkawinan adalah peristiwa yang sangat penting, karena menyangkut tata nilai kehidupan manusia. Oleh sebab itu perkawinan merupakan tugas suci (sakral) bagi manusia untuk mengembangkan keturunan yang baik dan berguna bagi masyarakat luas. Hal ini tersurat dan tersirat di dalam tata upacara perkawinan.

Berbagai macam tata upacara adat yang berlaku di berbagai daerah adalah tatanan nilai-nilai luhur yang telah dibentuk oleh para tua-tua dan diturunkan kepada generasi ke generasi. Karena itu upacara perkawinan merupakan serangkaian kegiatan tradisional turun temurun, yang mempunyai maksud dan tujuan agar perkawinan akan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan di kemudian hari. Semua kegiatan, termasuk segala perlengkapan upacara adat merupakan lambang yang mempunyai makna dan pengharapan tertentu, yang bertujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar semua permohonan dapat dikabulkan.

Begawai merupakan sebutan upacara perkawinan bagi Suku Rejang Rawas, yang memiliki beragam ritual ataupun kegiatan yang dilakukan secara turun temurun oleh para tokoh adat dan dipercayai oleh masyarakat untuk dipatuhi, jika tidak,


(26)

mereka percaya sesuatu yang buruk akan terjadi nantinya. Maka tak berlebihan jika kemudian Pesta pernikahan dua manusia ini menjadi pesta seluruh kampung.

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang diselenggarakan secara mewah, biasanya menggunakan adat perkawinan. Dan dalam pelaksanaan Begawai banyak sekali langkah-langkah yang dilakukan sebelum akhirnya kedua pengantin menjadi pasangan suami istri yang sah.

2.2.2. Paradigma

Keterangan :

Garis Kegiatan Garis Tujuan

Begawai ketika akad

Begawai setelah akad Begawai dalam Perkawinan Suku

Rejang Rawas

Begawai sebelum akad

Tata cara pelaksanaan Begawai dalam perkawinan Suku Rejang


(27)

REFERENSI

Dachlan, Aisyah, 1979. Perkawinan Dalam Islam. Pustaka Amani. Jakarta. Halaman 56.

Mulyadi, Yad. 1994. Panduan Belajar Sosiologi I. Yudistira.Jakarta. Halaman 59. Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Balai Pustaka. Jakarta. Halaman 27. Ibid, halaman 31.

Ibid, halaman 222. Sumber Lain :


(28)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat dibutuhkan untuk mengukur keberhasilan dalam suatu penelitian. Menurut Winarno Surakhmad, metode adalah cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan (Winarno Surakhmad, 1982:121). Maryaeni menegaskan bahwa metode adalah cara yang ditempuh peneliti dalam menemukan pemahaman sejalan dengan fokus dan tujuan yang diterapkan (Maryaeni, 2005:58).

Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka metode adalah cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dari penelitian.

3.1.Metode yang Digunakan 3.1.1. Metode Deskriptif

Menurut Moh. Nazir, metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk meneliti status obyek, status kondisi suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Moh. Nazir, 1988 ; 63).

Menurut Husin Sayuti, metode deskriptif adalah gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu, adakalanya sering juga arah penelitian tersebut untuk mempertegas hipotesis yang ada (Husin Sayuti, 1989 ; 41).


(29)

Metode deskriptif digunakan untuk berupaya memecahkan atau menjawab permasalahan yang dihadapi pada situasi sekarang, dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, kllasifikasi, analisis, pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan. Dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang sesuatu keadaan scara obyektif dalam suatu situasi (Mohammad Ali, 1985 ; 120).

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa metode deskriptif adalah metode penelitian yang ditujukan pada pemecahan masalah yang ada pada situasi sekarang, yang dilakukan dengan pengumpulan data, klasifikasi, analisis, pengolahan data dan membuat kesimpulan, dengan tujuan untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan yang diselidiki secara obyektif.

3.2.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 3.2.1. Variabel Penelitian

Variabel adalah objek suatu penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006:118). Menurut Hadari Nawawi, variabel merupakan beberapa gejala yang berfungsi sama dalam suatu masalah (Hadari Nawawi, 1985:49).

Dengan demikian, maka variabel adalah sesuatu yang dapat dijadikan objek penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu tata cara pelaksanaan begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas, Desa Muara Kuis Kec. Ulu Rawas Kab, Musi Rawas, Sumatera Selatan.


(30)

3.2.2. Definisi Operasional

Menurut Sumadi Suryabrata, definisi operasional variabel adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan, dapat diamati dan di observasi (Sumadi Suryabrata, 1983 ; 83).

Sedangkan menurut Masri Singarimbun bahwa :

Definisi operasional variabel adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau dengan kata lain semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur variabel (Masri Singarimbun, 1991 ; 46).

Dengan demikian, maka operasional variabel adalah definisi yang memberi arti atau menspesifikasikan suatu kegiatan, sehingga obyek yang kita dapat di amati dan dapat di teliti, diukur dengan jelas.

Dalam penelitian ini penulis merumuskan definisi operasional variabel dari Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan yang meliputi : begawai sebelum akad nikah, begawai ketika akad nikah, dan begawai sesudah akad nikah.

3.3. Sumber Data 3.3.1. Informan

Pemahaman dan pengetahuan tentang informan sangatlah penting terutama dalam penelitian tentang budaya. Informan adalah seseorang yang memiliki informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti (Suwardi, 2006 : 119). Informan


(31)

dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu karena itu perlulah dipilih orang-orang yang mengetahui tentang objek yang diteliti.

Kriteria informan pada penelitian ini adalah :

1. Penduduk yang telah lama tinggal di Desa Muara Kuis terutama penduduk yang telah menikah dan berkeluarga.

2. Subyek memiliki kesediaan dan waktu yang cukup untuk diwawancarai.

3. Subyek merupakan tokoh masyarakat dan tokoh adat yang aktif dalam kegiatan begawai.

4. Subyek memiliki pengetahuan tentang objek yang akan diteliti yaitu tata cara begawai.

3.4.Teknik Pengumpulan Data 3.4.1. Teknik Pokok

3.4.1.1.Teknik Wawancara

Menurut Winarno Surakhmad bahwa :

Wawancara adalah suatu komunikasi langsung antara penyidik dengan subyek atau sampel (Winarno Surakhmad, 1997 ; 168).

Menurut Sutrisno Hadi, teknik Wawancara adalah :

Teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis, berdasarkan tujuan penyelidikan, pada umumnya dua atau lebih orang yang hadir dalam proses tanya jawab itu secara fisik masing-masing pihak dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar (Sutrisno Hadi, 1984 ; 120).


(32)

Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih dapat berhadapan secara fisik (Kartini Kartono, 1980 ; 171).

Langkah-langkah wawancara:

a. Menyusun kisi-kisi panduan wawancara untuk memudahkan penyusunan pertanyaan sehingga sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan.

b. Memilih pertanyaan yang relevan. Butir-butir pertanyaan yang tertuang dalam kisi-kisi, selanjutnya dipilih mana yang diperlukan dan mana yang tidak, sehingga tidak terjadi tumpang tindih (dan penghamburan waktu maupun tenaga dalam pelaksanaan)

c. Membuat panduan wawancara yang siap digunakan.

Jenis-jenis pertanyaan dalam wawancara:

1. Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman, pertanyaan ini digunakan mengungkapkan pengalaman yang telah dialami oleh informan.

2. Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat, ada kalanya peneliti ingin meminta pendapat kepada informan terhadap data yang diperoleh.

3. Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan. 4. Pertanyaan tentang pengetahuan.

5. Pertanyaan yang berkaitan dengan indera, dalam arti informan melihat, mendengarkan dan mencium suatu peristiwa.

6. Pertanyaan berkaitan dengan latar belakang atau demografi (Sugiyono, 2013 : 235).


(33)

Berdasarkan pernyataan di atas, maka penulis menggunakan teknik wawancara untuk berkomunikasi secara langsung dengan informan yaitu masyarakat Suku Rejang Rawas, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi secara jelas tentang tata cara pelaksanaan begawai dalam perkawinan Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan.

1.4.1.2. Teknik Dokumentasi

Dokumentasi sangatlah penting dalam suatu penelitian agar hasil yang diperoleh lebih relevan. Menurut Hadari Nawawi dokumentasi merupakan cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lain-lain (Hadari Nawawi, 1993: 95).

3.4.2. Teknik Pelengkap 3.4.2.1.Teknik Observasi

Teknik ini bertujuan untuk mengumpulkan data dengan melihat gejala – gejala yang tampak, yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

Observasi adalah memperhatikan sesuatu dengan menggunakan mata atau pemusatan perhatian terhadap sesuatu dengan menggunakan seluruh indera (Sutrisno Hadi, 1989 ; 120).

Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, observasi adalah :

Hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan atau studi disengaja dan sistematis


(34)

tentang keadaan atau fenomena sosial dan gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Suharsimi Arikunto, 1989 ; 63).

3.4.2.2.Teknik Kepustakaan

Menurut Koentjaraningrat kepustakaan adalah cara pengumpulan data dan informassi dengan bantuan-bantuan material yang terdapat dalam ruang perpustakaan misalnya koran, majalah-majalah, catatan-catatan, kisah sejarah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koetjaraningrat, 1983 ; 83).

Berdasarkan teknik kepustakaan yang ddikemukakan di atas peneliti berusaha mempelajari dan menelaah buku-buku untuk memperoleh data-data yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti yaitu tentang peran tokoh adat dalam Begawai.

3.5.Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif yang berupa keterangan-keterangan atau kalimat. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data kualitatif adalah sebagai berikut :

1. Penyusunan data 2. Klasifikasi data 3. Pengolahan data

4. Penafsiran atau penyimpulan (Mohammad Ali, 1985 ; 152). 1. Penyusunan Data


(35)

Penyusunan ini dimaksudkan untuk memperoleh dalam menilai apakah data yang dikumpulkan itu sudah memadai atau belum dan apakah data yang dikumpulkan itu berguna atau tidak, hal ini perlu adanya seleksi dan penyusunan.

2. Klasifikasi Data

Dimaksudkan sebagai usaha menggolongkan data berdasarkan pada kategori yang dibuat.

3. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh maka di seleksi kemudian diatur dengan menggunakan data kualitatif.

4. Penafsiran atau Penyimpulan

Setelah ketiganya selesai maka selanjutnya menggabungkan dan mempertemukan antara variabel yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi makalah yang baik.


(36)

REFERENSI

Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito. Bandung. Halaman 121.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 58.

Moh. Nazir. 1998. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Halaman 63. Husin Sayuti. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Fajar Agung. Jakarta.

Halaman 41.

Moh. Ali. 1985. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Angkasa. Bandung. Halaman 120.

Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bina Aksara: Jakarta. Halaman 118.

Hadari Nawawi. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Halaman 49.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodelogi Penelitian. Rajawali. Jakarta. Halaman 83. Masri Singarimbun. 1991. Metode Penelitian. LP3S. Yogyakarta. Halaman 46. Hadari Nawawi. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University

Press: Yogyakarta. Halaman 141. Ibid, halaman 144.

Ibid, halaman 95.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. UGM Press. Yoyakarta. Halaman 15.

Ibid, halaman 119.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.Halaman 85.


(37)

Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Halaman 120.

Kartini Kartono. 1980. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Alumni. Bandung. Halaman 171.

Suharsimi Arikunto. 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bina Aksara. Jakarta. Halaman 63.

Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. Halaman 83.


(38)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada hasil dan pembahasan di atas, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah :

5.1.1. Dalam pelaksanaan Begawai terdiri dari tiga tahapan yaitu; Begawai sebelum akad nikah, Begawai ketika akad nikah dan Begawai setelah akad nikah.

5.1.2. Begawai sebelum akad nikah terdiri dari ; prasanan (lamaran/peminangan), pengetanan, pengantar suku dan pengantar adat, acara bujang gadis/tandang.

5.1.3. Begawai ketika akad nikah ; meminta izin, tegak tenda, bekurban, mengesok (masak), hantaran (arak-arakan), akad nikah, lelangan. 5.1.4. Begawai setelah akad nikah ; mengembalikan alat-alat yang dipinjam,

pengantin mandi-mandian, do’a syukuran, serta menyiram kuburan dan berkunjung kerumah sanak keluarga sebagai ucapan terima kasih. 5.2. Saran

5.2.1. Kepada seluruh masyarakat Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas dapat mempertahankan upacara perkawinan ini.


(39)

5.2.2. Kepada pengantin suku Rejang Rawas khususnya, dapat memahami tata cara pelaksanaan Begawai ini.

5.2.3. Kepada seluruh generasi muda hendaknya tetap melestarikan dan mempertahankan kebudayaan yang beraneka ragam sifatnya, sehingga kebudayaan tersebut tidak akan pernah musnah karena kemajuan zaman.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Dachlan, Aisyah, 1979. Perkawinan Dalam Islam. Pustaka Amani. Jakarta. 169 halaman.

Depdibud. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. P3KD. 124 halaman.

Depdikbud. 1986. Arti Lambang dan Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Budaya Provinsi DIY. P3KD. 168 halaman.

Hadari Nawawi. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 227 halaman.

Husin Sayuti. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Fajar Agung. Jakarta. 245 halaman.

Kartini Kartono. 1980. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Alumni. Bandung. 392 halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. 419 halaman.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. 107 halaman.

Masri Singarimbun. 1991. Metode Penelitian. LP3S. Yogyakarta. 265 halaman. Moh. Ali. 1985. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Angkasa. Bandung.

215 halaman.

Moh. Nazir. 1998. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. 544 halaman.

Mulyadi, Yad. 1994. Panduan Belajar Sosiologi I. Yudistira.Jakarta. 144 halaman.

Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Balai Pustaka. Jakarta. 392 halaman.

Soejono Soekanto. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta. 418 halaman.


(41)

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. 334 halaman.

Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bina Aksara: Jakarta. 370 halaman.

Sulaiman Rasid. 1954. Fiqh Islam.attahitiyah. Jakarta. 510 halaman.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodelogi Penelitian. Rajawali. Jakarta. 180 halaman. Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Fakultas Psikologi Universitas Gajah

Mada. Yogyakarta. 150 halaman.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. UGM Press. Yoyakarta. 204 halaman.

Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta. Jakarta. 392 halaman. Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito. Bandung. 338

halaman.

Sumber Lain :

http:www.pesona4rejanglebong.com., (12/12/2012, pukul 15.35)


(1)

REFERENSI

Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito. Bandung. Halaman 121.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 58.

Moh. Nazir. 1998. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Halaman 63. Husin Sayuti. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Fajar Agung. Jakarta.

Halaman 41.

Moh. Ali. 1985. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Angkasa. Bandung. Halaman 120.

Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bina Aksara: Jakarta. Halaman 118.

Hadari Nawawi. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Halaman 49.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodelogi Penelitian. Rajawali. Jakarta. Halaman 83. Masri Singarimbun. 1991. Metode Penelitian. LP3S. Yogyakarta. Halaman 46. Hadari Nawawi. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University

Press: Yogyakarta. Halaman 141. Ibid, halaman 144.

Ibid, halaman 95.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. UGM Press. Yoyakarta. Halaman 15.

Ibid, halaman 119.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.Halaman 85.


(2)

28

Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Halaman 120.

Kartini Kartono. 1980. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Alumni. Bandung. Halaman 171.

Suharsimi Arikunto. 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bina Aksara. Jakarta. Halaman 63.

Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. Halaman 83.


(3)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada hasil dan pembahasan di atas, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah :

5.1.1. Dalam pelaksanaan Begawai terdiri dari tiga tahapan yaitu; Begawai sebelum akad nikah, Begawai ketika akad nikah dan Begawai setelah akad nikah.

5.1.2. Begawai sebelum akad nikah terdiri dari ; prasanan (lamaran/peminangan), pengetanan, pengantar suku dan pengantar adat, acara bujang gadis/tandang.

5.1.3. Begawai ketika akad nikah ; meminta izin, tegak tenda, bekurban, mengesok (masak), hantaran (arak-arakan), akad nikah, lelangan. 5.1.4. Begawai setelah akad nikah ; mengembalikan alat-alat yang dipinjam,

pengantin mandi-mandian, do’a syukuran, serta menyiram kuburan dan berkunjung kerumah sanak keluarga sebagai ucapan terima kasih. 5.2. Saran

5.2.1. Kepada seluruh masyarakat Suku Rejang Rawas Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas dapat mempertahankan upacara perkawinan ini.


(4)

63

5.2.2. Kepada pengantin suku Rejang Rawas khususnya, dapat memahami tata cara pelaksanaan Begawai ini.

5.2.3. Kepada seluruh generasi muda hendaknya tetap melestarikan dan mempertahankan kebudayaan yang beraneka ragam sifatnya, sehingga kebudayaan tersebut tidak akan pernah musnah karena kemajuan zaman.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Dachlan, Aisyah, 1979. Perkawinan Dalam Islam. Pustaka Amani. Jakarta. 169 halaman.

Depdibud. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. P3KD. 124 halaman.

Depdikbud. 1986. Arti Lambang dan Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Budaya Provinsi DIY. P3KD. 168 halaman.

Hadari Nawawi. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 227 halaman.

Husin Sayuti. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Fajar Agung. Jakarta. 245 halaman.

Kartini Kartono. 1980. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Alumni. Bandung. 392 halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. 419 halaman.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. 107 halaman.

Masri Singarimbun. 1991. Metode Penelitian. LP3S. Yogyakarta. 265 halaman. Moh. Ali. 1985. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Angkasa. Bandung.

215 halaman.

Moh. Nazir. 1998. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. 544 halaman.

Mulyadi, Yad. 1994. Panduan Belajar Sosiologi I. Yudistira.Jakarta. 144 halaman.

Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Balai Pustaka. Jakarta. 392 halaman.

Soejono Soekanto. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta. 418 halaman.


(6)

30

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. 334 halaman.

Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bina Aksara: Jakarta. 370 halaman.

Sulaiman Rasid. 1954. Fiqh Islam.attahitiyah. Jakarta. 510 halaman.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodelogi Penelitian. Rajawali. Jakarta. 180 halaman. Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Fakultas Psikologi Universitas Gajah

Mada. Yogyakarta. 150 halaman.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. UGM Press. Yoyakarta. 204 halaman.

Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta. Jakarta. 392 halaman. Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito. Bandung. 338

halaman.

Sumber Lain :

http:www.pesona4rejanglebong.com., (12/12/2012, pukul 15.35) http://rejang-lebong.blogspot.com/. (12/12/2012, pukul 15.35)