DYNAMICS OF EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONSHIP AT LOCAL LEVEL (Study In Bandar Lampung on 2004-2009)

ABSTRACT

DYNAMICS OF EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONSHIP
AT LOCAL LEVEL
(Study In Bandar Lampung on 2004-2009)

By
Zaldi Afriyanto

The 32/2004 law is a law that talking about local government. This law states that the
executive and legislative side are the actor of local government. That regulation
indicates that the position of executive and legislative are the same and does not
control each other. The purpose of this law is to creates check and balance between
both of them in managing local government. But in reality, the position of executive
and legislative as a doers of government makes the duties and function of each
institution becomes refraction. So in the practice, the process of governance still
dominated by the executive.
The aims of this research are: (a) to explain the manifestation of the executive
dominance; (b) to analyze the causes of the executive dominance; and (c) to reveal
the political transactions between political elites and political parties in the practice of
local governance in Bandar Lampung. This research applies qualitative approach and

descriptive type as a method. The technique of collecting data in this research are
interviews and documentation.

The results showed that the executive is more dominant than the legislative in the
practice of governance in Bandar Lampung. This is proven by the lack of council
members run the right of initiative to make regulations, and just like a rubber stamp
for executive in terms of budget setting. This is occurs because of the imbalance of
political power resource between the two institutions. Beside that, political
cartelisation also occurred in Bandar Lampung, that makes the executives side
become more dominant in government. Furthermore, the causes of executive
domination is patrimonialism among the political elite. And last, political transactions
between these two institutions, the main cause of executive dominance over the
legislature in the practice of governance in Bandar Lampung.

This research recommends several ways, there are: (1) the legislative should
maximize the facility of human resources improvement which is provided by
government; (2) political parties must be brave to be the opposition in government;
(3) the legislative should perform well recess; and (4) executive should not have
double position as chairman of a particular political parties.


Keywords: Dynamics of Local Politics, Executive-Legislative, and ExecutiveLegislative Relations in Bandar Lampung.

ABSTRAK

DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF DI TINGKAT LOKAL
(Studi Di Kota Bandar Lampung Tahun 2004-2009)

Oleh
Zaldi Afriyanto

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebuah undang-undang yang
mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini menyebutkan
bahwa pihak eksekutif dan legislatif adalah unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Peraturan tersebut mengindikasikan bahwa kedudukan eksekutif dan legislatif
bersifat sejajar dan tidak saling menguasai. Tujuan dari undang-undang ini adalah
menciptakan check and balance antar kedua lembaga dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing
lembaga menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya, proses penyelenggaraan
pemerintahan masih di dominasi oleh eksekutif.

Penelitian ini bertujuan untuk: (a) menjelaskan manifestasi dominasi eksekutif;
(b) menganalisis penyebab terjadinya dominasi eksekutif; serta (c) mengungkap
transaksi politik antar elit politik dan partai politik dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan di Kota Bandar Lampung. Metode yang digunakan adalah tipe
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang
dipakai dalam penelitian ini dengan cara wawancara mendalam dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pihak eksekutif memang lebih
dominan daripada pihak legislatif dalam praktek pemerintahan di Kota Bandar
Lampung. Hal ini dibuktikan dengan minimnya anggota dewan menjalankan hak
inisiatif membuat peraturan daerah, serta hanya menjadi stempel pemerintah dalam
penetapan anggaran. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan sumber
kekuasaan politik antar kedua lembaga ini. Selain itu, kartelisasi politik juga terjadi di
Kota Bandar Lampung, sehingga membuat pihak eksekutif semakin dominan dalam
pemerintahan.

Selanjutnya,

penyebab


terjadinya

dominasi

eksekutif adalah

patrimonialisme di kalangan elit politik. Dan yang terakhir, transaksi politik antar
kedua lembaga ini, menjadi penyebab utama terjadinya dominasi eksekutif atas
legislatif dalam praktek pemerintahan di Kota Bandar Lampung.

Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah: (1) pihak
legislatif sebaiknya memaksimalkan fasilitas peningkatan kualitas SDM yang
diberikan oleh pemerintah; (2) partai politik harus berani bersikap sebagai oposisi
dalam pemerintahan; (3) anggota dewan sebaiknya menjalankan reses dengan baik;
(4) sebaiknya eksekutif tidak merangkap jabatan sebagai ketua partai politik tertentu.

Kata Kunci: Dinamika Politik Lokal, Eksekutif-Legislatif, Hubungan EksekutifLegislatif di Bandar Lampung.

BAB I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang
menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa
kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak
dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh parlemen. Selain itu, dalam
proses

penyelenggaraan

pemerintahannya,

Indonesia

menggunakan

asas

desentralisasi. Menurut Mahfud MD (Tangkilisan, 2005:1), desentralisasi adalah
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus daerah, mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi

dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 18
UUD 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya diatur dengan undang-undang.
Salah satu isi di dalam Pasal 18 menyebutkan bahwa, “Pemerintah Daerah
menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat“. Yang
dimaksud dengan pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI,

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Gubernur,
Bupati/Walikota dan DPRD adalah pemegang kekuasaan dalam menjalankan
pemerintahan di daerah.

Sepanjang sejarah pembentukan pemerintah daerah di Indonesia, telah banyak
produk undang-undang yang dilahirkan. Semua undang-undang tersebut mengatur
tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan yang terakhir Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004.

Secara substansial undang-undang di atas mengatur tentang bentuk susunan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut telah mampu
mengikuti perkembangan perubahan kepemerintahan daerah sesuai zamannya.
Namun secara empiris, undang-undang tersebut banyak menimbulkan gejolak
politik antar lembaga pemegang kekuasaan, terutama antara lembaga eksekutif
dan legislatif di daerah. Keadaan tersebut membuat ketimpangan dan
menimbulkan sikap saling menguasai antar lembaga dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah dan undang-undang sebelumnya memberikan implikasi terhadap
kedudukan dan peran formal kekuasaan eksekutif. Dalam undang-undang ini,

kedudukan kepala daerah lebih dominan karena memiliki kewenangan yang lebih
besar daripada kekuasaan DPRD. Eksekutif adalah agen utama dalam
pembangunan, sehingga semua elemen di pusat maupun daerah diabdikan untuk
mendorong tugas pokok pemerintah (executive). Akibatnya lembaga lain,
termasuk DPRD diposisikan sebagai tukang stempel (rubber stamp) dalam

menjalankan roda pemerintahan (Tangkilisan, 2005:29). Secara ekstrem dapat
dikatakan bahwa kepala daerah tidak dapat diberhentikan langsung oleh DPRD.
Kepala daerah tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada DPRD, dan dalam
pelaksanaan tugasnya hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban saja
kepada DPRD.

Runtuhnya rezim Orde Baru menandakan munculnya era Reformasi di dalam
pemerintahan Indonesia. Di dalam era ini diharapkan demokrasi lebih diterapkan,
dan hubungan antara pemegang kekuasaan di Indonesia dapat dijalankan
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini adalah hasil revisi
dari undang-undang sebelumnya yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah
sebuah undang-undang yang secara jelas memisahkan kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif. Hal tersebut jelas disebutkan pada Pasal 1 point b dan c,
serta pada Pasal 14 (1) dan 16 (2), yang intinya menyebutkan bahwa Pemerintah
daerah adalah sebagai Badan Eksekutif Daerah, sedangkan DPRD adalah sebagai


Badan legislatif Daerah. Keadaan tersebut secara legal formal, tegas menyatakan
tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Sehingga tidak terjadi disfungsi
kekuasaan antar lembaga daerah. Di sisi lain, kehadiran undang-undang ini adalah
menjawab kebutuhan tuntutan reformasi yang memberikan implikasi terhadap
kedudukan DPRD berbalik menjadi lebih kuat dibanding dengan kekuasaan
eksekutif. Kewenangan yang dimiliki DPRD, antara lain kewenangan memilih
kepala daerah (Pasal 34 ayat 1) dan kewajiban kepala daerah untuk memberikan
laporan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah
(Pasal 44 ayat 2). Selain itu DPRD juga mempunyai beberapa hak, antara lain hak
meminta keterangan, hak penyelidikan, hak menyatakan pendapat dan hak
menentukan anggaran DPRD.

Secara teoritis lembaga ini memegang kekuasaan rakyat pada tingkat
kabupaten/kota.

Keadaan

tersebut

ternyata


membuat

lembaga

legislatif

mempunyai kewenangan lebih terhadap eksekutif, bahkan dapat menjatuhkan
gubernur maupun bupati/walikota di daerah, sama seperti yang telah dilakukan
oleh MPR/DPR-RI terhadap almarhum mantan Presiden Gusdur pada 23 Juli
2001 (Mahfud MD, 2010). Keadaan di atas menyebabkan suatu perubahan yang
radikal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paling substansial
adalah hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang tidak memiliki
pola hubungan kewenangan yang menganut kesetaraan/kemitraan sebagaimana
diamanatkan oleh undang-undang.

Suatu teori atau asumsi-asumsi yang dapat diungkapkan berdasarkan pengalaman
di atas yaitu, dibutuhkan sebuah undang-undang yang mengatur pola hubungan
kewenangan yang setara, seimbang, dan sinergis antar pemegang kekuasaan.
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara lembaga eksekutif

dan lembaga legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tujuannya
yaitu terciptanya sistem check and balances dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, lahirlah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
dikenal dengan istilah Equilibrium Decentralizatio. Dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa isinya yaitu memberikan peranan yang berimbang antara
susunan pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai keseimbangan
secara vertikal, maupun keseimbangan antara kepala daerah dan DPRD sebagai
keseimbangan secara horizontal.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan sebuah perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan
daerah. Perubahan yang dimaksud, antara lain dalam hal pemilihan kepala daerah
secara langsung, serta peningkatan tugas dan fungsi DPRD. Melalui undangundang ini, pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota tidak lagi
dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Dalam undangundang ini juga dinyatakan bahwa DPRD ditempatkan sebagai lembaga
perwakilan rakyat daerah dan unsur penyelenggara pemerintah daerah dengan 3
fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan

kata lain, fungsi dan peran kepala daerah dan DPRD dalam undang-undang ini
kedudukannya tidak saling membawahi, melainkan terikat dalam sistem
kemitraan.

Sekilas, di tinjau dari aspek legal formal, keberadaan peraturan perundangundangan tersebut mengindikasikan adanya kemajuan berarti dalam hubungan
antara kedua lembaga tersebut. Dari perspektif kelembagaan, pelaksanaan dari
tiga fungsi DPRD tersebut merupakan bagian dari penguatan mekanisme check
and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak ada peraturan
daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah tanpa persetujuan bersama dengan
DPRD, demikian pula dalam pelaksanaan penetapan APBD maupun pengawasan.
Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing lembaga
menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya proses penyelenggaraan pemerintahan
masih di dominasi oleh eksekutif.

Salah satu bentuk hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif adalah
pembuatan kebijakan daerah (legislasi) dan penetapan anggaran. Dalam membuat
peraturan/kebijakan dan anggaran daerah, eksekutif dan legislatif bekerja sama,
bermitra, dan saling membantu. Namun sangat disayangkan bahwa eksekutif
masih mendominasi dalam hubungan kerja ini. Selain itu, sebagian besar DPRD
mandul dalam hak inisiatif, terutama dalam pembuatan peraturan daerah
(Wasistiono&Wiyoso, 2009:47). Hal ini mengakibatkan kurang optimalnya
DPRD dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif.

Perkembangan politik di tingkat lokal pada era reformasi tidak lepas dari
pengaruh politik di tingkat nasional. Menurut Ambardhi (2009), salah satu
fenomena politik pasca berlakunya reformasi di Indonesia adalah pembentukan
sistem kepartaian yang mirip kartel. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lima
ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yaitu: (a) hilangnya peran
ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (b) sikap permisif
dalam pembentukan koalisi; (c) tiadanya oposisi; (d) hasil-hasil pemilu hampirhampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan
(e) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu
kelompok. Keadaan tersebut turut mempengaruhi hubungan eksekutif dan
legislatif di tingkat lokal (daerah).

Salah satu daerah kabupaten/kota yang mendapatkan amanah untuk menjalankan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sejak reformasi berjalan adalah Kota
Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota Provinsi Lampung.
Oleh karena itu, Kota Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan,
sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan
perekonomian dari Provinsi Lampung. Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung,
upaya peningkatan potensi-potensi yang ada terus dilakukan melalui peningkatan
pembangunan daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumber daya yang
ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Pasca diberlakukannya otonomi daerah, Kota Bandar Lampung mulai mandiri dan
berusaha mencapai kemajuan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Semua upaya dan tujuan tersebut dilakukan oleh lembagalembaga yang berwenang sebagai wakil pemerintah pusat maupun wakil rakyat di
daerah, yaitu Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bandar Lampung. Kedua lembaga
tersebut bekerja sekaligus sebagai mitra dalam penyelenggaraan pemerintahan
demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kerjasama yang dimaksud antara lain:
(a) dalam hal pembuatan kebijakan daerah; (b) penetapan anggaran (APBD) dan;
(c) pengawasan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kerjasama tersebut tidak
berjalan efektif. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya sebuah kekuatan
suatu lembaga yang lebih dominan daripada lembaga lain, sehingga menyebabkan
lembaga yang didominasi mengalami kelemahan dalam menjalankan peran dan
fungsinya. Dalam konteks ini, Pemerintah Kota lebih dominan daripada DPRD
dalam menjalankan hubungan kerjanya (Pussbik dan LPW).

Salah satu contoh hubungan antara eksekutif dan legislatif di Kota Bandar
Lampung yang membuktikan bahwa adanya sebuah dominasi salah satu lembaga
adalah dalam penetapan anggaran/APBD. Dalam menjalankan hubungan kerja
ini, pihak legislatif tampak lemah dan selalu cair saat berhadapan dengan
eksekutif, tidak kritis, serta selalu berakhir dengan kata ”deal” untuk menyetujui
inisiatif dari eksekutif. Terlebih lagi saat eksekutif merencanakan pagu anggaran
untuk keperluan urusan rumah tangganya, pihak legislatif tampak seperti ”ayam
sayur” saat menghadapinya. Dari hasil yang didapatkan selama penelitian

berlangsung, ditemukan fakta bahwa dari 100% pendapatan daerah yang dimiliki
oleh Pemerintahan Kota Bandar Lampung setiap tahunnya, sekitar 58%-64%
anggaran yang ada selalu digunakan untuk kebutuhan maupun belanja pegawai.
Dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 1.
Rasio Belanja Pegawai Atas Total APBD.
No

Tahun

APBD

Belanja Pegawai

1

2007

646.946.574.345,98

377.141.071.681,42

Prosentase
(%)
58,30%

2

2008

725.597.468.445,85

427.074.379.239,39

58,85%

3

2009

808.693.410.458,18

524.888.238.210,63

64,90%

Sumber: Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Bandar Lampung.

Dari tabel di atas jelas membuktikan bahwa setengah lebih anggaran yang ada,
sudah

habis

digunakan

untuk

kebutuhan

eksekutif.

Selama

penelitian

berlangsung, ditemukan data bahwa pihak legislatif tidak bisa menolak kebijakan
eksekutif ini. Mereka (legislatif) terkesan langsung menyetujui tanpa ada sikap
yang kritis terhadap penggunaannya. Hal ini dikarenakan, selain secara
administratif anggaran tersebut memang digunakan untuk keperluan eksekutif,
secara politis (lobi-lobi politik antara kedua lembaga), pihak legislatif sendiri
mendapatkan bagian dari anggaran yang ada, di mana sangat menguntungkan
anggota dewan maupun fraksi (partai politik) yang ada, seperti: perjalanan dinas,
dana bimtek, beberapa tunjangan bagi pimpinan dan ketua komisi serta anggota,
dan sebagainya. Keadaan tersebut tentu membuat suasana arena paripurna

menjadi aman dan terkendali, sama seperti suasana dalam sebuah keluarga, di
mana sikap cair dan tenggang rasa tercipta di dalamnya.

Fakta lain yaitu dalam kasus pembuatan kebijakan antara eksekutif dan legislatif
sering terjadi intervensi kepentingan politik. Nana Mulyana (2008) dalam
penelitiannya di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa kepentingan politik
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tarik menarik antara kelompok politik di
dalam lembaga legislatif ataupun tarik menarik antara eksekutif dengan lembaga
legislatif. Tarik menarik kepentingan tersebut sebenarnya memang menunjukkan
adanya kehidupan politik yang dinamis. Namun fenomena tersebut seringkali
dimenangkan oleh eksekutif yang memiliki pengaruh dan kekuatan lebih besar
daripada legislatif, sehingga wacana check and balances antara kedua lembaga
tersebut hanya sekedar impian yang tidak terwujud dalam aplikasinya.

Dalam realita, check and balances tersebut memang hanya sebatas wacana.
Penelitian Alamsyah (2004) menyebutkan bahwa dalam proses pembuatan
kebijakan publik di Kota Bandar Lampung, pihak eksekutif lebih powerful
dibandingkan pihak legislatif. Jika pihak legislatif hanya selalu mengedepankan
faktor dinamika aspirasi masyarakat, maka pihak eksekutif selalu berpedoman
pada aturan-aturan normatif yang ditetapkan institusi pemerintah yang lebih
tinggi. Selain itu, lembaga legislatif sangat minim berkontribusi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga lembaga tersebut lemah dalam posisi
tawar menawar terhadap eksekutif. Fakta tersebut sejalan dengan temuan LSM
Pussbik dan LPW (Lampung Parlemen Watch), yang menyatakan bahwa DPRD

Kota Bandar Lampung sangat minim dalam menjalankan hak inisiatifnya
membuat peraturan daerah. Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh kedua LSM
tersebut, kebanyakan rancangan peraturan daerah berasal dari eksekutif,
sedangkan pihak legislatif hanya bersifat menyetujui saja.

Kenyataan di atas memperlihatkan betapa selama ini peran dan fungsi DPRD
dalam menjalankan pemerintahan di daerah terbukti masih lemah. Praktek
penyelenggaraan pemerintahan daerah ternyata masih didominasi oleh pemerintah
daerah (eksekutif), meskipun secara yuridis Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya prinsip kesetaraan antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Oleh karena itu, fenomena tersebut
menarik untuk dikaji secara komprehensif dalam sebuah penelitian mengenai
sebab-sebab atau alasan-alasan ekesekutif lebih powerfull/dominan daripada
legislatif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang akan diteliti dalam penelitian ni
yaitu: ”Mengapa pasca diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004, pihak
eksekutif masih lebih dominan daripada legislatif dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan di Kota Bandar Lampung?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan manifestasi berlangsungnya dominasi eksekutif atas legislatif
dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.
2. Menganalisis akar masalah yang menjadi sumber timbulnya dominasi
eksekutif atas legislatif.
3. Mengungkap transaksi politik antar elit politik dan partai politik dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.

D. Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya
membangun hubungan eksekutif dan legislatif yang lebih baik ke depannya.
Di mana hubungan baik yang dimaksud adalah hubungan baik yang tidak
mementingkan diri maupun kelompok, melainkan lebih memperhatikan
kepentingan rakyat sebagai prioritas utamanya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/kebenaran bagi
masyarakat, serta membuka wawasan bagi seluruh pihak (LSM, media massa,
aktivis, mahasiswa) akan dampak dari hubungan eksekutif dan legislatif yang
tersembunyi dan tak tampak ke permukaan.
3. Sebagai salah satu bahan acuan atau referensi penelitian lebih lanjut bagi
pengembangan ide para peneliti dalam melakukan penelitian dengan tema
atau masalah serupa.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Dominasi Eksekutif
atas Legislatif dalam Praktek Penyelenggaraan Pemeintahan di Kota
Bandar Lampung, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dominasi eksekutif atas legislatif terjadi dalam hubungannya
membuat peraturan daerah dan penetapan anggaran (APBD). Dalam
menjalankan hubungan kerja tersebut, pihak legislatif masih menjadi
rubber stamp (tukang stempel) bagi pemerintah. Meskipun secara
normatif (UU 32/2004) disebutkan bahwa kedua lembaga ini bersifat
sejajar dan seimbang, namun dalam realita pihak eksekutif masih
mendominasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota
Bandar Lampung. Dalam hubungan kerja membuat peraturan daerah,
dominasi eksekutif dibuktikan melalui jumlah hak inisiatif yang
dijalankan oleh masing-masing lembaga, di mana hak inisiatif yang
dijalankan oleh pihak legislatif sangat rendah jika dibandingkan
dengan inisiatif dari pihak eksekutif. Sedangkan dalam hubungan kerja
menetapkan anggaran, dominasi eksekutif terjadi dalam hal rasio
anggaran dan keseluruhan aktivitas anggaran. Lebih jauh, wujud lain

dari dominasi eksekutif atas legislatif terjadi karena adanya transaksi
politik/lobi politik di antara kedua lembaga ini. Keadaan ini
menyebabkan pihak legislatif menjadi tidak kritis dan pragmatis,
sehingga langsung menyetujui inisiatif eksekutif tersebut tanpa terlalu
mengkritisi substansi dari rancangan tersebut.

2. Akar masalah yang menyebabkan eksekutif lebih dominan daripada
legislatif dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota
Bandar Lampung.


Ketimpangan penguasaan sumber kekuasaan politik (SDM,
informasi, anggaran) antara eksekutif dan legislatif mempengaruhi
hubungan

eksekutif

dan

legislatif,

sehingga

menyebabkan

eksekutif lebih dominan dalam praktek pemerintahannya. Pertama,
kualitas SDM pihak eksekutif memang lebih baik daripada pihak
legislatif. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan ini
terjadi, salah satunya adalah perbedaan latar belakang pendidikan
formal, serta pelatihan masing-masing personel (eksekutif maupun
legislatif). Kedua, penguasaan informasi yang dimiliki oleh
eksekutif lebih akurat daripada informasi yang dimiliki oleh
legislatif. Hal ini dikarenakan pihak legislatif sangat minim
memperoleh sumber-sumber informasi yang valid. Sementara
pihak eksekutif (walikota) banyak memiliki sumber informasi
yang valid (birokasi). Ketiga, dalam hal penguasaan anggaran,

pihak eksekutif adalah pihak utama yang melaksanakan seluruh
aktivitas anggaran. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai
pada pertanggungjawaban, semuanya dilakukan oleh eksekutif.
Meskipun pihak legislatif mempunyai fungsi budgeting (hak
anggaran), namun senjata itu justru dijadikan alat tawar terhadap
eksekutif untuk kepentingan pribadinya.


Di Kota Bandar Lampung tidak mengenal istilah koalisi dan
oposisi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahannya. Hampir
semua anggota dewan dan partai ter-kartelisasi (berkoalisi) dengan
eksekutif. Walaupun berbeda ideologi, partai-partai tersebut harus
tetap mendukung eksekutif sebagai wujud kartelisasi politik. Hal
tersebut tentu akan membuat eksekutif akan membuat eksekutif
(walikota) dapat mengintervensi anggota dewan, sehingga keadaan
tersebut semakin membuat eksekutif dominan dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.



Dalam pemerintahan di Kota Bandar Lampung, walikota (Eddy)
telah

berhasil

menerapkan

sistem

patron-client

dalam

pemerintahannya. Terlebih lagi walikota (Eddy) merangkap
jabatan sebagai ketua partai (Golkar). Keadaan ini tentu membuat
anggota dewan yang berasal dari partai politik yang sama dengan
eksekutif (walikota), akan sangat menghormati dan segan kepada
pimpinan partainya. Keadaan tersebut akan berlanjut di dalam

praktek pemerintahan (Pemerintah dan DPRD), di mana setiap
kebijakan kepala daerah akan selalu mendapat dukungan dari
bawahannya di partai.

B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran sebagai
berikut:
1. Sebaiknya anggota dewan memaksimalkan fasilitas yang diberikan
pemerintah (Pengembangan SDM, Bimtek, dan sebagainya) untuk
meningkatkan mutu dan kualitas SDM-nya. Lebih jauh, sebaiknya
partai politik lebih kompeten dalam rekruitmen kader dan melakukan
pembinaan/memberikan diklat kepada kader, khusunya bagi kadernya
yang berada di dewan/DPRD.
2. Anggota dewan sebaiknya memaksimalkan waktu reses untuk terjun
ke masyarakat. Tujuannya agar anggota dewan dapat melihat keadaan
masyarakat yang sebenarnya. Sehingga dapat mewakili jeritan rakyat
ketika siding paripurna bersama pihak eksekutif. Lebih jauh
disarankan agar pihak DPRD mempunyai lembaga riset yang khusus
di bawah naungan DPRD agar memiliki informasi yang berkualitas
dan akurat tentang informasi yang ada di masyarakat.
3. Sebaiknya eksekutif tidak merangkap jabatan sebagai pengurus partai
politik tertentu dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Karena

hal tersebut akan menimbulkan semacam “conflict interest”, di mana
akan berdampak negatif bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4. Partai politik harus berani untuk bertindak sebagai oposisi dalam
pemerintahan. Hal tersebut diharapkan agar tercipta persaingan (secara
sehat) serta dapat mengkritisi dan mengontrol pemerintahan dengan
baik pula. Jika masing-masing partai sadar dan berbuat demi
kepentingan rakyat, bukan lagi untuk perburuan rente, maka
kesejahteraan rakyatpun akan semakin meningkat.