Makna tuturan dalam karya sastra anak

t
MAKNA TUTURAN DALAM KARYA SASTRA ANAK
Krishandini
Institut Pertanian Bog or
krishandini@yahoo.com

Abstrak
Memasuki dekade 2000-an ini, dunia sastra dimeriahkan dengan kehadiran karya sastra
anak. Anak-anak dengan kelincahan dan daya kreativitas mereka berusaha bertutur melalui
tulisan. Tuturan mereka disampaikan dengan komunikasi antartokoh. Untuk itu, penulis ingin
mengetahui bagaimana bentuk pelanggaran kerja sama komunikasi menurut Grice yang
digunakan penulis anak dalam karya mereka dan bagaimana tingkat kesantunan berbahasa
menurut Leech yang ada dalam karya mereka.Metode yang digunakan dalam peneltian ini
adalah deskriptif kualitatif. Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah penulis anak
sangat memahami komunikasi antara penutur dan ternan tutur. Jika terdapat pelanggaran
maksim kerja sama Grice, dimaksudkan untuk menjaga kesantunan.
1. Pendahuluan
Karya sastra anak mulai diramaikan oleh penulis-penulis anak sekitar tahun 2003. Penulispenulis anak ini bebas mengekspresikan diri mereka. Anak-anak dengan kepolosannya berusaha
berkomunikasi melalui tokoh yang mereka ciptakan. Mereka menggunakan media bahasa
sebagai sarana komunikasi. Halliday (1973) membagi bahasa menjadi enam fungsi, salah
satunya adalah fungsi imajinatif. Tarigan (2009) menyatakan bahwa fungsi imajinatif (the

imaginative function) melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat
imajinatif. Dengan imajinatifbahasa, seseorang dapat menjelajahi puncak-puncak keluhuran dan
keindahan bahasa serta dapat menciptakan mimpi yang mustahil sekalipun. Penulis anak dalam
karya menampilkan hal ini. Mereka memanfaatkan bahasa untuk menjelajahi dunia yang ada
dalam mimpi mereka. Tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra anak ini terdiri atas tokoh
khayalan anak-anak yang dapat berbentuk binatang dan man usia.
Dalam penulisan ini, penulis tidak akan membahas tokoh atau penokohan dalam karya
sastra anak, tetapi akan membahas bagaimana bentuk tuturan yang diujarkan tokoh yang
diciptakan penulis anak dalam karya mereka. Sehubungan dengan itu, penulis ingin mengetahui
bagaimana bentuk pelanggaran kerja sama komunikasi menurut Grice yang digunakan penulis
anak dalam karya mereka dan bagaimana tingkat kesantunan berbahasa menurut Leech yang ada
dalam karya mereka.
Pengkaj ian mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra anak pemah dibahas oleh
penulis lain, yaitu oleh Y enni Hayati dengan judul tulisan Pemakaian Bahasa Asing dalam Sastra
Anak Karya Anak di Indonesia: Fenomena Peninggalan terhadap Bahasa (Indonesia) tahun
2013. Menindaklanjuti hal tersebut, penulis membahasnya dengan kajian pragmatik untuk
mengetahui makna tuturan.
2. Tinjauan Pustaka
Anak-anak dengan bahasa yang lugas menyampaikan keinginan dan harapan mereka
melalui karya fiksi. Bahasa yang mereka sampaikan adalah bahasa khas anak-anak. Kandungan

cerita karya mereka pun didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan mereka. Menurut
Nurgiyantoro (1992), sastra anak adalah sastra yang secara psikologis dapat ditanggapi dan
dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari dari fakta yang konkret dan mudah
diimajinasi. Penyampaian fakta tersebut berkaitan dengan kemampuan bahasa anak yang sesuai
dengan tahapan perkembangan bahasa mereka.
Anak-anak bagian dari komunitas yang ada di masyarakat. Ada berbagai aturan yang
digunakan dalam masyarakat, apalagi aturan dalam berkomunikasi. Anak-anak dengan
kepolosannya berusaha berkomunikasi melalui karya mereka. Dengan bahasa yang lincah

Sastra Indonesia: Berakar pada Sastra Daerah Meraih Sastra Dunia

•...

mereka membuat komunikasi para tokohnya menjadi hidup. Dalam karya sastra ada perbedaan
dengan gejala komunikasi pada umumnya, komunikasi dalam karya sastra ditujukan untuk
membuahkan efek keindahan tertentu (Sobur,2006). Oleh karena itu, komunikasi dalam karya
sastra disebut sebagai bentuk komunikasi puitik (Aminudin, 1997).
Sementara itu menurut Jaszcolt (2002), komunikasi adalah tentang maksud (tujuan) dan
kesimpulan. Pengenalan maksud secara langsung mengarah pada pemenuhannya; maksud si
penutur untuk menginformasikan kepada mitra tutur (orang yang diajak bicara) tentang sesuatu

yang sudah diketahui oleh orang tersebut. Ketidaksuksesan berkomunikasi ketika mitra tutur
tidak mengenali makna linguistik ujaran dan hanya menduga makna si penutur dari apa yang
diujarkan. Komunikasi akan terjalin dengan baik apabila ada kerja sama antara penutur dan mitra
tutur.
Grice (1975) mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seseorang pembicara
harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta petuturan
dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan
jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah
a. Maksim kuantitas (ma).:im of quantity);
b. Maksim kualitas (maxim of quality)
c. Maksim relevansi (mCL'