Menurut konsep Kitab Undang-

Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 207 kemudian, apakah ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997? atau justru ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f Undang Undang Jabatan Notaris dapat diterima sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 37 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Eksistensi Pasal 15 ayat 2 Undang Undang Jabatan Notaris semestinya harus dipandang sebagai norma hukum yang memberikan dasar bagi perjanjian pendahuluan peralihan hak atas tanah yang merupakan pengembangan hukum pertanahan sebagaimana dimaksud Penjelasan Umum III angka 1 UUPA, yang intinya bahwa hukum pertanahan dibangun berdasarkan hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern, sehingga dengan demikian eksistensi Pasal 15 ayat 2 Undang Undang Jabatan Notaris tidak bertentangan dengan Pasal 37 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. 3 Pembahasan A. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah

1. Menurut konsep Kitab Undang-

undang Hukum Perdata KUH Perdata Buku II Kitab Undang Undang Hukum Perdata KUH PerdataBW telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersamaan dengan diberlakukannnya UUPA. Namun demikian, Buku III KUH Perdata BW tidak secara tegas dinyatakan tidak berlaku. Terhadap hal ini harus dipandang bahwa norma hukum dalam Buku III KUH Perdata yang tidak secara tegas dinyatakan tidak berlaku tersebut, setidaknya merupakan konsep hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum agraria, disamping kenyataannya belum tersedia hukum positif mengenai perbuatan- perbuatan hukum hak atas tanah. 4 3 Aliansyah, “Urgensi Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Notaris“, http:hukum.studentjournal.ub.ac.idindex.phphukumarticleview1322, diakses 11 Januari 2017. Hasil penelitian oleh Aliansyah, antara lain bahwa, pentingnya aturan yang ditetapkan pemerintah untuk mengatur secara khusus akta perjanjian pengikatan jual beli agar bentuk akta yang dibuat oleh notaris dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Pertauran Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya menyebutkan, bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, bagaimana syarat-syarat, saat terjadinya, dan kebatalan peralihan atau pemindahan hak atas tanah tidak diatur dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga terdapat kekosongan norma hukum. 208 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226 Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, selanjutnya disingkat PPJB-HAT, merupakan suatu perjanjian antara ‘calon’ pembeli dan ‘calon’ penjual dengan obyek hak atas tanah. Hak atas tanah sebagai obyek jual beli dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. PPJB-HAT yang dimaksud dalam tulisan ini ialah PPJB HAT dengan pembayaran lunas yang dibuat bersama dengan Kuasa menjual dan pada umumnya dibuat dengan akta notariil, 5 yaitu akta pihak partij akta berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Konsep hukum demikian itu sesungguhnya tidak bertentangan dan dapat diterima terhadap perjanjian dengan objek hak atas tanah. Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan, bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab ini maupun bab yang lalu. Bab ini yang dimaksudkan dalam frasa tersebut adalah Buku III BAB KEDUA Tentang perikatan- perikatan yang dilahirkan dari kontrak dan perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan bab yang lalu ialah Buku III BAB KESATU Tentang perikatan-perikatan umumnya. PPJB-HAT termasuk dalam perjanjian tanpa nama, karena tidak secara khusus disebut dalam KUH Perdata seperti misalnya jual beli, sewa menyewa dan lain-lain, sehingga tunduk pada azas-azas umum perjanjian. Dalam membuat akta PPJB-HAT notaris bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN yang memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Tulisan ini tidak hendak menguji apakah ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut bertentangan dengan norma lainnya yang mengatur tentang pertanahan, sehingga keberadaan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN harus difahami sedemikian adanya sebagai dasar bagi notaris untuk membuat akta PPJB-HAT dan secara normatif diterima sedemikian rupa sebagai norma yang berlaku sebagai hukum positif. Ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut sekaligus menjawab pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyatakan: “Dengan dicabutnya Buku II KUH Perdata, maka pasal-pasal yang merupakan ataupun bertalian dengan pasal-pasal yang tak berlaku itu, meskipun tidak tegas-tegas dicabut dan diletakkan di luar buku II, Buku 5 PPJB-HAT tidak ada aturan khusus yang menyebutkan harus dibuat dengan akta notariil. PPJB-HAT juga masih dapat memenuhi ketentuan Pasal 1320 BW walaupun dibuat dengan Surat Di Bawah Tangan. Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 209 III, Buku IV KUH Perdata juga dianggap tidak berlaku lagi,… 6 Juga pasal-pasal tentang sewa menyewa, jual beli tanah dan lain-lain, karena bertalian dengan tanah yang sudah diatur khusus dalam UUPA maka pasal-pasal tersebut tak berlaku lagi. 7 Dengan tetap menghormati pendapat tersebut, persoalan yang mengemuka ialah bagaimana jika terdapat kekosongan hukum untuk mengatur peralihan hak atas tanah, karena sampai saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan hukum atas tanah, misalnya: apa dan bagaimana syarat dan sahnya serta kebatalan jual beli, tukar-menukar, hibah, sewa-menyewa dan perbuatan hukum hak atas tanah lainnya. Dinyatakan terdapat kekosongan norma hukum, karena Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara tegas dinyatakan dicabut oleh UUPA, sehingga Buku III yang berkaitan dengan agraria tersebut juga tidak berlaku. Interpretasi demikian sangat logis, karena hal-hal yang diatur sebagimana tercantum dalam Buku II KUH Perdata sudah tidak ada, maka Buku III yang berkaitan dengan hal-hal yang sudah tidak ada itu menjadi tidak relevan. Namun demikian, demi mengisi kekosongan norma hukum sebagai dijelaskan di atas, maka pasal-pasal pada Buku III KUH Perdata yang berkaitan dengan pengaturan agraria dapat tetap menjadi sebuah konsep hukum yang digunakan untuk mengisi kekosongan norma hukum dimaksud, karena hal ini menyangkut hal yang urgen berupa praktik transaksi keseharian masyarakat terhadap objek berupa hak atas tanah. Pasal 5 UUPA memang telah mengatur, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Pertanyaan yang mengemuka selanjutnya ialah, hukum adat yang mana. Apakah hukum adat yang bersifat tunai, nyata riil, dan terang. Jika hukum adat demikian itu yang dimaksudkan, kemudian mengapa peralihan hak atas tanah harus dilakukan di hadapan PPAT. Persoalan-persoalan tersebut mengemuka tidak lain karena terdapat kekososngan hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum itulah maka pemberlakukan konsep hukum perikatan sebagaimana termaktub dalam Buku III KUH Perdata dan prinsip-prinsip hukum adat yang masih relevan dapat diberlakukan lagi untuk menilai sah tidaknya peralihan hak atas tanah, sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Mencermati substansi akta PPJB-HAT pada umumnya, senantiasa memuat klausul, sebagai berikut: 1. Komparan: PIHAK PERTAMA selalu disebut sebagai PENJUAL dan PIHAK KEDUA selalu disebut sebagai PEMBELI. 6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda , Yogyakarta: Liberty, 1975, hlm. 7. 7 Ibid. 210 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226 2. Premis Akta: PIHAK PERTAMA dengan ini menyatakan dan mengikatkan diri untuk bersama-sama dengan PIHAK KEDUA melangsungkan penjualan pembelian tanah tersebut dihadapan Pejabat yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pertanyaan yang mengemuka, mengapa Notaris tidak menulis dalam PPJB bahwa PIHAK PERTAMA sebagai CALON PENJUAL dan PIHAK KEDUA sebagai CALON PEMBELI. Hal ini terjadi karena sifat konsensuil dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Secara materiil PPJB-HAT telah melahirkan peralihan hak atas tanah seketika terjadi kata sepakat berdasarkan PPJB-HAT, walaupun harganya belum dibayar lunas dan barangnya belum diserahkan. Namun demikian, dalam hal objek perjanjian berupa hak atas tanah semestinya notaris harus memberi sebutan kepada para pihak, masing-masing sebagai Calon Penjual dan Calon Pembeli, karena secara formal terjadinya jual beli hak atas tanah akan dilangsungkan dihadapan PPAT sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1997 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam kaitan tersebut di atas, selanjutnya dapat dicermati ketentuan KUH Perdata yang mengatur tentang uang panjar. Pasal 1464 KUH Perdata menyatakan: “Jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tak dapatlah salah satu pihak meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya”. Ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata memberikan pemahaman, bahwa jual-beli yang didahului dengan panjar tidak dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan sifat konsensuil dalam perjanjian berdasarkan KUH Perdata, karena dengan adanya panjar sesungguhnya telah terjadi konsensus antara calon pembeli dan penjual, sehingga jual-beli telah terjadi. Hal ini berbeda dengan hukum adat yang bersifat riil. Mengenai sifat konsensuil perjanjian tersebut lebih tegas dapat disimak ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata, bahwa “Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Pasal 1459 KUH Perdata: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613,dan 616”. Berdasarkan analisis tersebut di atas, pembayaran harga baik sebagian maupun lunas dalam PPJB dapat dikategorikan Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 211 sebagai uang panjar. 8 Hal ini untuk mengisi kekosongan hukum, karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah belum atau tidak mengatur mengenai hal ini. Dalam cakupan yang lebih luas dikatakan, bahwa hukum pertanahan belum mengatur secara komprehensif mengenai perjanjian hak atas tanah. Pertanyaan yang mengemuka, bagaimana dengan ketentuan Pasal 5 UUPA, bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Apakah PPJB-HAT yang eksistensinya bersandar pada norma-norma yang diatur dalam KUH Perdata tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Pertanahan yang berdasarkan Hukum Adat. Perlu ditegaskan kembali, bahwa sesungguhnya PPJB-HAT berdasarkan konsep KUH Perdata tidak bertentangan dan dapat diterima dalam hukum pertanahan berdasarkan hukum Adat sebagaimana dimaksud Pasal 5 UUPA, yang intinya bahwa hukum pertanahan dibangun berdasarkan hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern Penjelasan Umum III angka 1 UUPA.

2. Menurut konsep hukum adat