Apakah Matematika Mencerminkan Realitas

  

Apakah Matematika Mencerminkan Realitas?

Pengantar sebelum Membaca:

  1. Saya menemukan tulisan yang mempertanyakan apakah Matematika mencerminkan Realitas? Di sebuah w

  2. Web tersebut adalah bagian atau sub masih aktif dan bertemakan In Defend o Marxism. Web tersebut tersedia dalam berbagai bahasa termasuk Bahasa Indonesia, tetapi saya tidak menemukan identitas kontaknya, hanya disebut Militan Indonesia. Pada Contact Us/About Us- About Us Written by In Defence of Marxism Thursday, 06 January 2005

  

3. Menurut hemat saya, website tersebut di atas adalah website yang bermuatan politik,

dan itu diluar atau tidak termasuk ranah/bidang kerja saya, karena ranah saya adalah ranah akademik.

  4. Tentang Marxixme, saya mempunyai pandangan (hidup dan sejarah sebagai warga negara Indonesia) sebagai berikut: a. Saya mendapat pengetahuan tentang Marxisme dari pelajaran sejarah bahwa

dia adalah cikal bakal Komunisme. Komunisme Internasional kemudian ada

Kuminisme Indonesia. Pada saat Komunisme di Indonesia itulah terjadi peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Pada saat itu saya masih kelas 1 (satu) SD. Jadi Bangsa Indonesia pernah mengalami keadaan traumatis (yang sekarang masih dirasakan oleh generasi ke dua dan ke tiga), dan belum sepenuhnya mampu menghilangkan ingatan buruk/mengerikan perihal kejadian sekitar tahun 1965 yang dialami oleh generasi sebelum kita.

  b. Setelah saya menempuh kuliah Filsafat, saya sempat sedikit membaca tentang Marxisme yang salah satu tokohnya adalah Marxis dan Angel. Yang kemudian menjadi Ideologi Marxisme di Uni Soviet.

  Maka setiap aliran filsafat menjadi Tesis dan aliran yang lainnya adalah Anti- tesisnya. Jika tesisnya Marxisme maka anti-tesisnya dapat berupa Spiritualisme, Kapitalisme, …dst ieme-isme yang lain. Saya memahami bahwa jika Spiritualisme

  

menemukan kebenaran dari Materi. Itu saja yang saya ketahui, tentu dengan

berusaha memikirkan implikasi-implikasi bagi filsafat, dan ideologi pendidikan (secara akademik).

Apakah Matematika Mencerminkan Realitas? ” yang ditulis oleh Alan Woods and Ted

  Grant, Sunday, 25 May 2008?

  

a. Karena yang ditulis atau yang dipertanyakan adalah Hakikat Matematika

apakah mencerminkan Realitas? b. Tulisan tersebut cukup tajam dan mendasar sehingga jika hanya dibaca sepihak dapat menimbulkan mislead bagi dunia (pengetahuan)/sisi yang lain.

  c. Tulisan tersebut adalah tantangan bagi Matematikawan murni untuk merenungkan/memikirkan dan memberi penjelasan-penjelasannya.

  d. Tulisan tersebut jika dipahami secara sepihak juga akan membantah bahwa Matematika adalah Ilmu yang bebas nilai (netral)

e. Tulisan tersebut tidak mencerminkan pandangan saya perihal hakikat

matematika. Pandangan saya perihal Hakikat Matematika adalah sesuai dengan apa yang diteorikan oleh Immanuel Kant (1671) dalam the Critic of Pure Reason; yaitu bahwa Matematika Murni adalah Analitik A priori, sedangkan harus ada Matematika Sekolah yang bersifat Sintetik a Posteriori.

  f. Realitas yang dipersoalkan dalam bacaan tersebut menurut saya adalah Dunia di luar pikiran yaitu yang sesuai dengan Sintetik a Posteriori. Maka tidak akan ketemu jika ingin dipertemukan dengan Dunia Matematika Murni yang bersifat

Analitik A Priori. (Baca panangan saya tentang hakekat matematika dalam

berrbagai tulisan saya)

  g. Karena saya mengajar Filsafat Pendidikan Matematika dan juga Filsafat Ilmu, dalam mana bacaan para mahasiswa dapat saja menemukan tulisan dalam Web di atas, maka dalam Blog saya saya membuat posting

an Warning keada mahasiswa dan saya beri judul

“Perbincangan Para Dewa dan Berbahaya untuk Para Daksa”.

  h. Tayangan saya ini tidak bermaksud menyebarkan ajaran Marxisme (politik) di Indonesia, melainkan hanya merupakan usaha untuk meningkatkan berpikir kritis melalui kajian bersifat akademik. i. Saya tidak tahu/tidak menemukan siapa yang menterjemahkan tulisan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia, tetapi saya berpendapat bahwa terjemahan dilakukan secara langsung dan bukan oleh mesin translator. j. Salah satu alasan saya menayangkan tulisan ini adalah untuk dokumentasi, dan share ideas ke yang lainnya.

  7. Pelajaran dari adanya tulisan ini adalah bahwa Matematikawan Murni tidak bisa menutup diri menjadi hanya berdomisili pada Zona nyaman “mathematics is only for mathematics

  ”, tetapi perlu, dalam hal tertentu, mengimploy filsafat (filsafat matematika- filsafat pendidikan matematika) untuk mampu merespon atau membuat Anti-Tesis dari tulisan-tulisan seperti ini. Demikian selamat membaca. Yogyakarta, 16 Nopember 2015 Prof. Dr Marsigit, M.A. Yogyakarta State University

  • ------------------------------

    Reason in Revolt:

  

"Fakta bahwa pemikiran subjektif kita dan dunia objektif tunduk pada hukum-hukum

yang sama, dan dengan demikian, juga, bahwa dalam analisa terakhirnya keduanya

tidak dapat saling berkontradiksi dalam hasil-hasilnya, tapi harus bersesuaian, mutlak

mengatur seluruh pemikiran teoritik kami." (Engels)

  Isi dari "matematika murni" pada akhirnya diturunkan dari dunia material. Ide bahwa kebenaran dalam matematik adalah sejenis pengetahuan yang khusus, yang inheren dalam dirinya sendiri atau merupakan hasil ilham ilahi, tidak layak mendapatkan perhatian yang serius. Matematika menangani hubungan-hubungan kuantitatif dari dunia nyata. Apa yang disebut "aksiom" baru nampak terbukti dalam dirinya sendiri setelah melalui masa-masa panjang pengamatan dan pengalaman atas realitas. Sayangnya, fakta ini kelihatannya telah dilupakan oleh banyak ahli matematika teoritik jaman sekarang yang menipu diri mereka dengan pemikiran bahwa pengetahuan "murni" mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia material yang kasar di sekeliling mereka. Ini adalah satu contoh yang jelas dari konsekuensi-konsekuensi negatif dari pembagian kerja yang dijalankan ke tingkat ekstrim. Sejak jaman Pythagoras, klaim-klaim yang paling megah telah dibuat atas nama matematika, yang telah digambarkan sebagai ratu dari segala ilmu pengetahuan, kunci ajaib yang membuka semua pintu ke jagad raya. Setelah melepaskan diri dari dunia fisik, matematika kelihatannya telah terbang melayang ke surga, di mana ia mendapat anugerah untuk berlaku bak dewa, tidak mematuhi aturan apapun kecuali aturannya sendiri. Maka, ahli matematik terkemuka Henri Poincaré, di tahun-tahun pertama abad ini, sanggup membuat klaim bahwa hukum-hukum ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan dunia nyata sama sekali, tapi merupakan satu konvensi acak yang ditakdirkan mendorong satu penggambaran yang lebih mudah dan "berguna" atas gejala yang sedang dibahas. Beberapa fisikawan teoritik tertentu sekarang telah menyatakan dengan terbuka bahwa kesahihan model matematik mereka tidaklah tergantung pada pembenaran yang diperoleh secara empirik, melainkan semata pada kualitas estetik [keindahan, keserasian] dari persamaan-persamaannya.

  Teori-teori matematika telah, di satu pihak, merupakan sumber dari satu kemajuan yang dahsyat dalam ilmu pengetahuan, dan, di pihak lain, merupakan sumber dari sejumlah besar kesalahan dan kesalahpahaman yang telah, dan masih terus memiliki konsekuensi- konsekuensi negatif yang mendasar. Kesalahan sentralnya adalah upaya untuk mereduksi proses alam yang kompleks, dinamis dan penuh kontradiksi ini menjadi rumus-rumus yang statis, kuantitatif dan teratur. Alam disajikan dalam cara yang formalistik, seperti satu titik berdimensi tunggal, yang kemudian menjadi garis, kemudian menjadi bidang datar, menjadi kubus, menjadi bola, dan seterusnya. Namun, ide bahwa matematik murni adalah pemikiran yang mutlak, tidak dicemari oleh persinggungan dengan benda-benda material, adalah hal yang jauh sekali dari kebenaran. Kita menggunakan sistem desimal, bukan karena deduksi logis atau "kehendak bebas", tapi karena kita memiliki 10 jari. Kata "digital" datang dari kata Latin untuk jari. Dan sampai hari ini seorang anak sekolah akan sebelum sampai pada jawaban-jawaban atas soal-soal matematik yang abstrak. Dengan melakukan hal itu, si anak tanpa sadar telah menapak kembali cara yang ditempuh umat manusia ketika baru mulai mengenal hitungan. Asal-usul material dari abstraksi matematik bukanlah rahasia bagi Aristoteles: "Para ahli matematika," tulisnya, "menyelidiki abstraksi. Ia mengabaikan segala kualitas yang dapat diraba seperti berat, kerapatan, suhu, dan lain-lain, dan hanya meninggalkan hal-hal yang kuantitatif dan kontinyu (dalam dimensi tunggal, dua atau tiga) dan ciri-cirinya yang hakiki." Di tempat lain ia menulis: "Objek matematika tidak dapat hadir terpisah dari benda-benda yang dapat diraba (yaitu, material)." Dan "Kita tidak memiliki pengalaman

  

tentang apapun yang terdiri dari garis atau bidang atau titik, seperti yang seharusnya

kita miliki jika hal-hal ini adalah zat yang material. Garis, dll, mungkin lebih dahulu

dalam definisi daripada benda, tapi mereka tidaklah lebih dahulu dalam keberadaan."[i]

  Perkembangan dari matematik adalah hasil dari kebutuhan manusia yang sungguh material. Manusia-manusia pertama hanya memiliki sepuluh bilangan, persis karena ia menghitung, seperti seorang anak kecil, dengan jarinya. Pengecualian pada orang-orang Maya di Amerika Tengah yang memiliki sistem numerik berdasarkan duapuluh, mungkin karena mereka menghitung juga jari kaki mereka. Hidup dalam masyarakat pemburu- pengumpul yang bersahaja, tanpa uang atau kepemilikan pribadi, nenek moyang kita tidak memiliki kebutuhan untuk bilangan-bilangan yang lebih besar. Untuk memikirkan bilangan yang lebih besar dari sepuluh, ia begitu saja menggabungkan beberapa bilangan sepuluhan yang dihubungkan melalui jarinya. Maka, satu lebihnya dari sepuluh dinyatakan sebagai "sepuluh-satu" (undecim, dalam bahasa Latin, atau ein-lifon - "satu lebihnya" dalam bahasa Teutonik purba, yang menjadi eleven dalam bahasa Inggris). Semua bilangan lain hanyalah kombinasi dari bilangan sepuluh yang awal, dengan pengecualian lima tambahan lainnya - seratus, seribu, sejuta, semilyar dan setrilyun.

  Asal-usul sejati bilangan telah dipahami oleh filsuf materialis besar dari Inggris di abad ke-17 Thomas Hobbes: "Dan kelihatannya, ada saat di mana nama-nama bilangan itu

  

tidak digunakan; dan manusia bersusah-payah menerapkan jari-jari dari satu atau kedua

tangan, kepada benda-benda yang ingin mereka hitung; dan dari situ mereka maju,

bahwa kini kata-kata kita untuk bilangan bukan apa-apa selain sepuluh, di bangsa

manapun, dan di beberapa bangsa lain lima, lalu mulai lagi dari awal."[ii]

  Alfred Hooper menjelaskan "Hanya karena manusia-manusia primitif menciptakan

  

bilangan kita sekarang adalah skala desimal, yaitu skala yang didasarkan pada sepuluh,

dan terdiri dari pengulangan tak terhingga dari kata-bilangan sepuluh yang pertama....

Jika manusia diberi duabelas jari bukannya sepuluh, tentu kita akan memiliki bilangan

duodesimal saat ini, berdasarkan duabelas, terdiri dari pengulangan tak berhingga dari

kata bilangan dua belas yang dasar."[iii] Nyatanya, sistem duodesimal memiliki

  keuntungan dibanding sistem desimal. Sementara sepuluh hanya dapat dibagi genap oleh dua dan lima, duabelas dapat dibagi genap oleh dua, tiga, empat dan enam.

  Bilangan Romawi adalah gambar yang mewakili jari. Mungkin simbol untuk lima mewakili jarak yang terjadi antara ibu jari dan jari lainnya. Kata "calculus" (dari mana kita menurunkan kata Inggris "calculate") berarti "kerikil" dalam bahasa Latin, berhubungan dengan metode penghitungan manik batu pada abakus. Ini semua, dan contoh-contoh lain yang tak berhingga banyaknya dapat menggambarkan bagaimana matematika tidaklah muncul dari penggunaan pikiran manusia secara bebas, tapi merupakan hasil dari sebuah proses berkepanjangan dari evolusi sosial, percobaan dan kegagalan, pengamatan dan eksperimen, yang perlahan-lahan terpisah menjadi satu tubuh pengetahuan yang kelihatannya memiliki sifat yang abstrak. Mirip dengan itu, sistem pengukuran kita atas berat dan panjang telah diturunkan dari objek material pula. Asal- usul dari unit panjang Inggris, foot [kaki], tidak perlu dijelaskan lagi, seperti kata yang digunakan bahasa Spanyol untuk inci, "pulgada" yang berarti ibu jari. Asal-usul dari simbol matematik "+" dan "-" tidak memiliki hubungan apapun dengan matematika. Keduanya adalah tanda yang digunakan di Abad Pertengahan oleh para pedagang untuk menghitung kelebihan atau kekurangan jumlah barang di gudang-gudang.

  Kebutuhan untuk membangun tempat tinggal untuk melindungi diri sendiri dari berbagai unsur alam memaksa manusia-manusia pertama untuk menemukan cara yang paling baik dan praktis untuk memotong kayu sehingga ujungnya dapat dilekatkan satu sama lain. ini berarti penemuan sudut siku dan penyiku tukang kayu. Kebutuhan untuk membangun rumah pada tanah yang datar membawa kita pada penemuan alat pengukur kedataran seperti yang digambarkan pada makam-makam Mesir dan Romawi, yang terdiri dari tiga potong kayu yang digabungkan dalam sebuah segitiga sama sisi, dengan seutas tali diikatkan pada puncaknya. Alat yang sederhana dan praktis itu digunakan untuk membangun piramid. Para pendeta Mesir mengumpulkan sejumlah besar pengetahuan matematik yang diturunkan, pada akhirnya, dari aktivitas praktis semacam itu.

  Bahkan kata "geometri" mengungkapkan asal-usulnya yang praktis. Ia berarti memberi satu penyataan teoritik yang lengkap terhadap penemuan-penemuan ini. Namun, dengan menyajikan teorema sebagai hasil murni dari deduksi logika, mereka telah mengibuli diri sendiri dan generasi-generasi mendatang. Pada akhirnya, matematika diturunkan dari realitas material, dan, sungguh, tidak dapat diterapkan jika bukan demikian halnya. Bahkan teorema Pythagoras yang terkenal itu, yang dikenal oleh semua murid sekolah, bahwa panjang dari sebuah kubus yang digambar pada sisi terpanjang dari sebuah segitiga adalah sama dengan jumlah kubus-kubus yang digambar pada kedua sisi yang lain, telah ditemukan terlebih dahulu lewat praktek oleh orang-orang Mesir.

  Kontradiksi dalam Matematika

  Engels, dan Hegel sebelum dia, menunjukkan berbagai kontradiksi yang bertumpuk dalam matematika. Halnya selalu demikian, sekalipun klaim dari para ahli matematik tentang kesempurnaan dan kesucian tak bernoda dari "ilmu agung" mereka. Cara ini dimulai oleh para pengikut Pythagoras, dengan paham mereka yang mistik tentang Angka, dan keserasian jagad raya. Walaupun demikian, mereka dengan cepat menemukan bahwa jagad matematik mereka yang serasi dan teratur dihantui oleh kontradiksi, yang penyelesaian-penyelesaiannya telah membawa mereka ke jurang keputusasaan. Contohnya, mereka menemukan bahwa mustahil bagi kita untuk menyatakan panjang diagonal dari sebuah persegi panjang dalam bentuk bilangan kuadrat.

  Para pengikut Pythagoras yang belakangan menemukan bahwa banyak bilangan, seperti akar kuadrat dari dua, yang tidak dapat dinyatakan dalam bilangan. Ia adalah "bilangan irasional". Namun, sekalipun akar dua tidak dapat dinyatakan dengan pecahan sekalipun, ia tetap berguna untuk menemukan panjang sisi dari sebuah segitiga. Matematik masa kini mengandung sekawanan besar hewan-hewan aneh itu, yang masih belum terjinakkan, sekalipun selalu diupayakan untuk mendomestifikasi mereka, tapi, jika kita menerima mereka sebagaimana adanya, mereka tetap memberikan kegunaan yang besar bagi kita. Maka kita memiliki bilangan irasional, bilangan transfinit, yang semuanya menunjukkan ciri-ciri yang aneh dan kontradiktif, dan semuanya tidak dapat diabaikan dalam pekerjaan-pekerjaan ilmu pengetahuan modern.

  Pi (p) yang misterius itu telah dikenal baik oleh orang Yunani kuno, dan seluruh generasi anak-anak masa kini yang telah tahu menghubungkan bilangan itu sebagai rasio antara keliling dan diameter dari sebuah lingkaran. Namun, anehnya, nilai tepat dari bilangan ini ini dengan satu metode yang dikenal sebagai "exhaustion". Nilainya berada antara 3,14085 dan 1, 14286. Tapi jika kita mencoba menuliskan nilai persisnya, kita akan mendapatkan nilai yang aneh: p = 3,14159265358979323846264338327950... dan seterusnya sampai tak berhingga. Pi, yang dikenal sebagai bilangan transendental, mutlak perlu untuk menemukan keliling lingkaran tapi tidak dapat dinyatakan sebagai solusi untuk satu persamaan aljabar. Lalu kita memiliki akar kuadrat dari minus satu, yang bukan merupakan bilangan aritmatik sama sekali, para ahli matematika merujuknya sebagai "bilangan imajiner", karena tidak ada bilangan riil yang, jika dikalikan dengan dirinya sendiri, akan menghasilkan minus satu, karena dua bilangan minus akan menghasilkan bilangan plus. Ini adalah satu mahluk yang sangat aneh - tapi sama sekali bukan khayalan belaka, sekalipun ia memanggul nama "imajiner". Dalam Anti-Dühring, Engels menjelaskan:

  

"Ada satu kontradiksi bahwa sebuah besaran yang negatif dapat merupakan kuadrat dari

bilangan tertentu, karena tiap besaran negatif yang dikalikan dengan dirinya sendiri

akan menghasilkan kuadrat yang positif. Akar kuadrat dari minus satu, dengan demikian,

bukan hanya sebuah kontradiksi, tapi merupakan kontradiksi yang absurd, absurditas

sejati. Namun demikian, akar kuadrat dari -1 dalam banyak kasus merupakan hasil yang

niscaya dari sebuah operasi matematik yang tepat. Lebih jauh lagi, bagaimana mungkin

matematika - tingkat tinggi atau rendah - bisa ada jika ia tidak diperkenankan bekerja

dengan akar minus satu?"[iv]

  Pernyataan Engels semakin terdengar tepat saat ini. Kombinasi kontradiktif antara plus dan minus memainkan peran yang mutlak krusial dalam mekanika kuantum, di mana ia muncul dalam sejumlah besar persamaan, yang merupakan hal mendasar bagi ilmu pengetahuan modern.

  Bahwa matematika melibatkan kontradiksi yang mengejutkan semacam ini bukanlah sesuatu yang dapat diragukan. Inilah yang ditulis Hoffman tentang hal itu:

  

"Bahwa rumus semacam itu dapat memiliki hubungan dengan dunia eksperimen yang

ketat yang merupakan dunia fisika itu sendiri adalah hal yang sulit dipercaya. Bahwa

terdapat landasan yang sangat dalam pada fisika baru, dan bahwa hal itu dapat

menjelajah jauh lebih mendasar daripada segala sesuatu yang ada sebelumnya menuju

inti terdalam dari ilmu pengetahuan dan metafisika adalah hal yang sama

menakjubkannya seperti pertama kali orang menemukan doktrin bahwa bumi ini

  Di masa kini, penggunaan apa yang disebut bilangan "imajiner" telah dianggap sesuatu yang wajar. Akar kuadrat dari minus satu digunakan untuk serangkaian operasi yang perlu, seperti konstruksi sirkuit listrik. Bilangan transfinit, pada gilirannya, digunakan untuk memahami sifat waktu dan ruang. Ilmi pengetahuan modern, khususnya mekanika kuantum, tidak akan dapat dikerjakan tanpa penggunaan konsepsi matematika yang jelas- jelas kontradiktif sifatnya. Paul Dirac, salah satu pendiri mekanika kuantum, menemukan bilangan "Q", yang melanggar segala aturan matematik normal yang mengatakan bahwa a dikalikan b adalah sama dengan b dikalikan a.

  Apakah Ketidakberhinggaan Benar Ada?

  Ide tentang ketakberhinggaan sangat sulit dipahami, karena, sekilas hal itu berada di luar pengalaman manusia. Pikiran manusia terbiasa menangani hal-hal yang berhingga, yang dinyatakan dalam ide-ide yang berhingga. Segala sesuatu memiliki awal dan akhir. Ini adalah pemikiran yang akrab dengan kita. Tapi apa yang akrab tidak harus selalu benar. Sejarah pemikiran matematik memiliki beberapa pelajaran penting tentang hal ini. Untuk waktu yang lama, para ahli matematika, setidaknya di Eropa, berusaha mengusir konsep ketakberhinggaan. Alasan mereka untuk melakukan hal ini sangat jelas. Selain adanya kesulitan untuk mengonsepkan ketakberhinggaan, dalam makna yang murni matematik hal ini merupakan satu kontradiksi. Matematika berurusan dengan besaran yang berhingga. Ketakberhinggaan, karena sifat dasarnya, tidak akan dapat diukur atau dihitung. Hal ini berarti bahwa terdapat konflik yang riil di antara keduanya. Untuk alasan ini, para ahli matematika besar dari jaman Yunani kuno menganggap ketakberhinggaan sebagai sebuah wabah. Walau demikian, sejak awal filsafat, orang telah berspekulasi tentang ketakberhinggaan. Anaximander (610-547 SM) mengambil hal ini sebagai basis dari filsafatnya. Paradoks Zeno (hidup ± 450 SM) menunjuk adanya kesulitan yang inheren dalam ide kuantitas yang kecil tak berhingga sebagai penyusun besaran kontinyu dengan mencoba membuktikan bahwa pergerakan ke arah kecil tak berhingga adalah satu khayalan. Zeno "membuktikan secara terbalik" pergerakan itu dengan cara lain. Ia berpendapat bahwa satu benda yang bergerak, sebelum mencapai satu titik tertentu, harus pertama-tama menjalani separuh jarak. Tapi, sebelum ini, ia harus juga telah melampaui setengah dari separuh jarak itu, dan seterusnya sampai tak berhingga. Maka, ketika dua benda bergerak dengan jurusan yang sama, dan yang satu, yang berada pada satu jarak tertentu di bahwa ia akan menyalip benda di depannya itu. Tidak demikian, kata Zeno. "Yang lebih lambat tidak akan dapat disalip oleh yang lebih cepat." Inilah paradoks tentang Achilles si Gesit yang terkenal itu. Bayangkan satu lomba lari antara Achilles dengan seekor kura- kura. Jika Achilles dapat berlari sepuluh kali lebih cepat dari kura-kura itu, sedangkan kura-kura itu mendapat keuntungan berada 1000 meter di depan Achilles. Ketika Achilles telah menempuh 1000 meter, kura-kura itu akan berada 100 meter di depannya; ketika Achilles telah menempuh 100 meter itu, kura-kura itu akan berada 1 meter di depannya; ketika Achilles menempuh satu meter itu, kura-kura akan berada sepersepuluh meter di depannya, dan terus demikian sampai tak berhingga. Paradoks Zeno tidaklah membuktikan bahwa pergerakan adalah sebuah ilusi, atau bahwa Achilles, dalam praktek, tidak akan pernah menyalip seekor kura-kura, tapi paradoks itu mengungkapkan dengan gemilang keterbatasan dari jenis pemikiran yang kini kita kenal sebagai logika formal. Upaya untuk menyingkirkan kontradiksi dari realitas, seperti yang dilakukan Eleatics, niscaya akan membawa kita pada segala macam paradoks yang tak terpecahkan, atau antinomi, seperti yang disebut Kant di belakang hari. Untuk membuktikan bahwa sebuah garis tidak terdiri dari sejumlah tak berhingga titik, Zeno mengklaim bahwa, jika benar demikian, maka Achilles tidak akan pernah menyalip kura- kura itu. ada satu masalah logika yang nyata di sini. Seperti yang dijelaskan oleh Alfres Hooper:

  

"Paradoks ini masih membingungkan bahkan mereka yang tahu bahwa kini

dimungkinkan untuk menemukan jumlah dari deret bilangan tak berhingga yang

membentuk satu progresi geometris dengan rasio umum kurang dari 1, dan yang

bergerak secara berurutan semakin lama semakin kecil dan 'berkonvergensi' pada satu

nilai batas."[vi]

  Nyatanya, Zeno telah mengungkapkan satu kontradiksi dalam pemikiran matematik yang harus menunggu dua ribu tahun untuk diselesaikan. Kontradiksi ini berhubungan dengan penggunaan bilangan tak hingga. Sejak Pythagoras sampai penemuan kalkulus diferensial dan integral di abad ke-17, para ahli matematika berusaha keras untuk menghindari penggunaan konsep ketakberhinggaan. Hanya Archimedes, jenius besar itu, yang berani mendekati persoalan ini, tapi tetap menghindarinya dengan menggunakan metode memutar. Para penganut teori atom yang mula-mula, dimulai dari Leukippus, yang mungkin salah satu murid Zeno, menyatakan bahwa atom "tidak dapat dibagi dan tidak

  

berhingga jumlahnya, bergerak tanpa henti dalam ruang hampa, yang luasnya tak

  Fisika modern menerima bahwa jumlah saat antara dua detik adalah tak berhingga, seperti jumlah saat dalam satu rentang waktu yang tidak memiliki awal maupun akhir. Jagad ini sendiri terdiri dari rantai sebab-akibat yang tak berhingga, terus-menerus berubah, bergerak dan berkembang. Ini tidak ada miripnya dengan paham ketakberhinggaan yang kasar dan sepihak yang terkandung dalam deret tak berhingga dari aritmatik sederhana, di mana "ketakberhinggaan" selalu "dimulai" dengan bilangan 1! Inilah apa yang oleh Hegel disebut "Bad Infinity".

  Ahli matematika Yunani terbesar Archimedes (287-212 SM) menggunakan geometri tak terbagi dengan efektif, tapi ia menganggap ide tentang besar atau kecil tak berhingga sebagai ide yang tidak memiliki landasan logis. Seperti itu pula, Aristoteles berpendapat bahwa, karena satu benda harus memiliki bentuk, ia harus berhingga, dan dengan demikian tidak dapat menjadi tak berhingga. Sambil menerima ada dua macam "potensi" ketakberhinggaan - penambahan berturutan dalam aritmetika (besar tak berhingga), dan pembagian berturutan dalam geometri (kecil tak berhingga) - ia tetap berpolemik melawan para ahli geometri yang berpandangan bahwa satu potong garis terdiri dari titik, yang tak terbagi, yang jumlahnya tak berhingga. Penyangkalan terhadap ketakberhinggaan merupakan halangan nyata bagi perkembangan matematik Yunani klasik. Sebaliknya, para ahli matematika India tidak memiliki kesulitan semacam ini dan menghasilkan perkembangan-perkembangan besar, yang, melalui orang-orang Arab, kemudian memasuki Eropa. Upaya untuk menyingkirkan kontradiksi dari pemikiran, sesuai dengan skema-skema logika formal mengganduli perkembangan matematika.

  Tapi jiwa-jiwa petualang dari jaman Renaisans membuka pikiran manusia pada kemungkinan-kemungkinan baru yang, kenyataannya, tak berhingga. Dalam bukunya The New Science (1638), Galileo menunjukkan bahwa tiap integer (bilangan bulat) hanya memiliki satu kuadrat sempurna, dan tiap kuadrat sempurna adalah kuadrat dari hanya satu integer positif. Maka, dalam makna tertentu, terdapatlah sejumlah kuadrat sempurna sebanyak jumlah integer positif. Ini segera membawa kita pada kontradiksi logika. Ia berkontradiksi dengan aksioma bahwa yang keseluruhan selalu lebih besar dari apa yang menyusunnya, justru di sini tidak semua integer positif merupakan kuadrat sempurna, dan tidak semua kuadrat sempurna adalah bagian dari integer positif.

  Ini hanya salah satu dari sejumlah besar paradoks yang telah menghantui matematik sejak Renaisans ketika orang mulai menempatkan pemikiran dan asumsi-asumsinya ke dalam analisis kritis. Sebagai hasilnya, perlahan-lahan, terus dibayangi oleh perlawanan keras kepala dari kepala-kepala yang konservatif, satu demi satu aksiom-aksiom yang nampaknya tak akan terpatahkan dan merupakan "kebenaran kekal" matematik mulai tergulingkan. Kita sampai pada titik di mana seluruh bangunan matematik dibuktikan tidak kokoh dan membutuhkan rekonstruksi yang menyeluruh di atas landasan yang lebih solid, tapi sekaligus lebih lentur, yang sekarang ini sedang diusahakan, yang niscaya akan memiliki ciri yang dialektik.

Kalkulus

  Banyak dari apa yang disebut aksoma dari Yunani klasik kini telah digerogoti oleh penemuan kalkulus diferensial dan integral, terobosan terbesar dalam matematika sejak Abad Pertengahan. Salah satu aksioma dari geometri bahwa garis lurus dan kurva adalah dua hal yang bertentangan mutlak, dan keduanya bersifat incommensurable, yaitu, yang satu tidak dapat dinyatakan dalam bentuk yang lain. Namun, ujung-ujungnya, garis lurus dan kurva dalam kalkulus diferensial dianggap sebagai hal yang sama. Seperti yang ditunjukkan Engels, dasar untuk hal ini telah diletakkan lama sebelum hal itu dikembangkan oleh Leibniz dan Newton: "Titik balik dalam matematika adalah besaran

  

variabel dari Descartes. Bersamanya datanglah gerak dan dengan itu dialektika dalam

matematik, dan sekaligus juga, keniscayaan akan munculnya kalkulus integral dan

diferensial, yang kemudian dimulai segera, dan yang pada keseluruhannya diselesaikan

oleh Newton dan Leibniz, bukannya ditemukan oleh mereka."[vii]

  Penemuan kalkulus membuka cakrawala yang sama sekali baru bagi matematik dan ilmu pengetahuan secara umum. Sekali tabu-tabu dan pamali lama disingkirkan, para ahli matematika dibebaskan untuk menyelidiki wilayah-wilayah yang sama sekali baru. Tapi mereka menggunakan bilangan besar dan kecil tak berhingga secara tidak kritis, tanpa memandang implikasi-implikasi logis dan konseptual mereka. Penggunaan kuantitas yang besar dan kecil tak berhingga dianggap sebagai semacam "fiksi yang berguna", yang, untuk beberapa alasan yang sama sekali tidak jelas, selalu memberikan hasil yang benar. Dalam bagian Quantity dalam jilid pertama The Science of Logic, Hegel menunjukkan bahwa, sekalipun dimasukkannya bilangan tak berhingga dalam matematika membuka cakrawala baru bagi matematik, dan membawa pada hasil-hasil yang penting, bilangan-bilangan itu tetap tidak terjelaskan, karena mereka tetap

  

"Tapi dalam metode matematika, matematik tak berhingga menemukan satu kontradiksi

yang radikal justru terhadap metode tersebut yang merupakan cirinya sendiri, dan yang

merupakan sandarannya selaku sebuah ilmu. Karena penghitungan bilangan tak

berhingga merupakan, dan menuntut, prosedur yang harus ditolak sepenuhnya oleh

matematik ketika ia bekerja dengan besaran yang berhingga, dan pada saat yang sama

ia memperlakukan besaran tak berhingga ini sebagai Quanta yang berhingga, berusaha

menerapkan pada bilangan tak berhingga itu metode yang sama dengan apa yang sahih

digunakan untuk yang berhingga."[viii]

  Hasilnya adalah satu kontroversi yang lama tentang kesahihan kalkulus. Berkeley menyangkal kalkulus sebagai satu kontradiksi terbuka terhadap hukum-hukum logika. Newton, yang menggunakan metode baru itu di dalam bukunya Principia, merasa terpaksa menyembunyikan fakta itu dari publik, karena takut akan adanya reaksi yang bermusuhan terhadap metodenya. Di awal abad ke-18, Bernard Fontenelle akhirnya mendapat keberanian untuk menyatakan secara kategoris bahwa sebagaimana halnya terdapat sejumlah tak berhingga dari bilangan natural, satu bilangan tak berhingga hadir senyata bilangan berhingga, dan bahwa kebalikan dari besar tak berhingga adalah kecil tak berhingga. Namun, ia telah dilawan oleh Georges de Buffon, yang menolak ketakberhinggaan karena dianggapnya sebagai khayalan belaka. Bahkan kecerdasan D'Alambert tidak dapat membantunya memahami dan menerima ide ini. Dalam artikel yang termuat dalam bukunya Encyclopaedia tentang Diferensial, ia menyangkal adanya ketakberhinggaan, kecuali dalam makna negatif sebagai limit dari satu kuantitas berhingga.

  Komsep "limit" pada nyatanya dimasukkan sebagai satu upaya untuk memutari kontradiksi yang inheren dalam ketakberhinggaan. Hal ini khususnya populer di abad ke- 19, ketika para ahli matematika tidak lagi mau sekedar menerima kalkulus tanpa berpikir lagi, seperti yang dengan senang hati dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kalkulus diferensial mempostulatkan keberadaan besaran yang kecil tak berhingga dengan tingkatan yang bermacam-macam -turunan pertama, turunan kedua dan seterusnya sampai tak berhingga. Dengan memasukkan konsep "limit" mereka setidaknya menciptakan satu tampilan bahwa ketakberhinggaan sebenarnya tidak terlibat di sini. Niatnya adalah untuk membuat ide tentang ketakberhinggaan menjadi subjektif, untuk menyangkal objektivitasnya. Peubah-peubah disebut sebagai 'kecil tak berhingga potensial', yaitu bahwa mereka adalah kurang dari kuantitas yang diperbincangkan, atau besaran yang ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain, "sebesar atau sekecil yang Anda mau!" Trik ini tidaklah menghilangkan kesulitannya, tapi hanya menyediakan satu koteka untuk menutup kontradiksi logis yang terlibat dalam perhitungan kalkulus. Ahli matematika besar Jerman, Karl Frederick Gauss (1777-1855) bersedia menerima bilangan tak berhingga, namun ia menyatakan kengeriannya pada ide tentang ketakberhinggaan yang riil. Namun, rekan sejamannya Bernhard Bolzano, berangkat dari paradoks Galileo, telah memulai satu telaah serius tentang paradoks yang implisit dalam ide tentang "ketakberhinggaan yang terselesaikan". Karya ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Richard Dedekind (1813-1914) yang mencirikan bilangan tak berhingga sebagai sesuatu yang positif, dan menunjukkan bahwa, pada kenyataannya, himpunan bilangan positif dapat dianggap sebagai negatif (yaitu, sebagai suatu himpunan yang bukan tak berhingga). Akhirnya, George Cantor (1845-1918) berjalan jauh dari definisi himpunan tak berhingga dan mengembangkan satu aritmatika yang sama sekali baru yang disebut "bilangan transfinit". Paper Cantor, yang dimulai di tahun 1870, adalah sebuah ulasan tentang seluruh sejarah bilangan tak berhingga, dimulai dari Democritus. Dari sini, dikembangkanlah satu cabang yang sama sekali baru dalam matematika, yang didasarkan atas teori himpunan.

  Cantor menunjukkan bahwa titik-titik dalam satu area, seberapapun besarnya, atau dalam sebuah volume atau sebuah kontinuum yang berdimensi lebih besar lagi, dapat selalu dipadankan dengan salah satu titik dalam sepotong garis, tidak peduli berapa kecilnya garis itu. Sebagaimana halnya mustahil ada satu bilangan berhingga yang terakhir, demikian pula mustahil ada satu bilangan transfinit terakhir. Maka, setelah Cantor, mustahil ada argumen mengenai posisi sentral dari bilangan tak berhingga dalam matematika. Lebih jauh lagi, karyanya mengungkapkan serangkaian paradoks yang telah menghantui matematika modern, dan yang masih harus dipecahkan.

  Semua analisis ilmiah modern bersandar pada konsep kontinuitas, yakni sama dengan mengatakan, bahwa di antara dua titik di dalam ruang, terdapat sejumlah tak berhingga titik yang lain, dan juga bahwa, antara dua titik dalam waktu terdapat sejumlah tak berhingga saat lain. Tanpa membuat asumsi-asumsi ini, matematika modern tidak dapat berfungsi, itu saja. Namun konsep yang kontradiktif macam ini pastilah akan ditolak dengan jijik, setidaknya dipandang dengan curiga, oleh generasi terdahulu. Hanya kejeniusan dialektik Hegel (yang kebetulan juga seorang ahli matematika besar) yang sanggup mengantisipasi semua ini dalam analisisnya tentang yang berhingga dan yang

  Namun, sekalipun bukti-bukti ini bertumpuk, banyak ahli matematika modern masih berkeras menyangkal objektivitas ketakberhinggaan, walaupun mereka menerima kesahihannya sebagai satu gejala matematik "murni". Pembagian semacam itu sama sekali tidak masuk nalar. Karena kalau matematika tidak mencerminkan apa yang ada di dunia objektif, riil, apa lagi gunanya matematika itu? Ada satu kecenderungan tertentu dalam matematika modern (dan, melalui perluasan, menakjubkan, juga dalam fisika teoritik) untuk kembali bersandar pada idealisme dalam bentuknya yang paling mistis, menyatakan bahwa kesahihan satu persamaan adalah murni persoalan nilai estetik, tanpa rujukan apapun pada dunia material. Fakta bahwa operasi matematika dapat diterapkan pada dunia nyata, dan mendapatkan hasil yang bermakna menunjukkan bahwa terdapat satu afinitas [kecenderungan untuk saling menarik] antara keduanya. Kalau tidak demikian, matematika tidak akan memiliki kegunaan praktis, padahal jelas matematika memiliki kegunaan itu. Alasan mengapa ketakberhinggaan dapat digunakan, dan harus digunakan, dalam matematika modern adalah karena ia berhubungan dengan keberadaan ketakberhinggaan dalam alam itu sendiri, yang telah menyeruak ke dalam matematika, seperti tamu tak diundang, sekalipun terdapat segala macam upaya untuk memalang pintu agar ia tak dapat masuk. Alasan mengapa para ahli matematika membutuhkan waktu yang demikian lama untuk menerima ketakberhinggaan dijelaskan dengan sangat baik oleh Engels:

  

"Jelas bahwa sebuah ketakberhinggaan yang memiliki satu akhir tapi tanpa satu awal

tidak lebih atau tidak kurang tak berhingga dari sesuatu yang memiliki awal tapi tidak

memiliki akhir. Pemahaman dialektik yang sekecil apapun akan memberitahu Herr

Dühring bahwa awal dan akhir sebenarnya adalah hal yang selalu hadir bersamaan,

seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan, dan bahwa jika akhir dibuang, maka awal akan

menjadi akhir - satu-satunya akhir yang dimiliki oleh satu deret, demikian juga

sebaliknya. Seluruh tipuan ini menjadi mustahil selain karena penggunaan matematik

dalam bekerja dengan deret tak hingga. Karena dalam matematik kita harus mulai dari

yang tertentu, yang berhingga, supaya dapat mencapai yang tak tentu, yang tak

berhingga, semua deret matematik, positif dan negatif, harus dimulai dengan 1 atau

mereka mustahil dapat digunakan untuk perhitungan. Tapi kebutuhan logis bagi ahli

matematik sama sekali bukan satu hukum wajib bagi dunia nyata."[ix] Krisis Matematika

  Sejak kita duduk di bangku sekolah kita diajari untuk melihat matematika, dengan "aksiom-aksiom" yang tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya dan deduksi logisnya sebagai kuasa tertinggi dalam keakuratan ilmiah. Di tahun 1900, semua ini dianggap pasti, sekalipun dalam Kongres Intenasional para ahli matematik yang diadakan tahun itu, David Hilbert mengajukan satu daftar yang berisi 23 masalah matematik yang paling penting, yang belum terselesaikan. Sejak saat itu, segala sesuatunya telah menjadi semakin rumit, sampai titik di mana dimungkinkan bagi kita untuk berbicara tentang sebuah krisis riil dalam matematika teoritik. Dalam bukunya yang banyak dibaca orang, Mathematics: The Loss of Certainty, yang diterbitkan di tahun 1980, Morris Klein menggambarkan situasinya sebagai berikut:

  

"Hasil-hasil dari awal abad ke-19, geometri yang aneh dan aljabar yang aneh, telah

memaksa para ahli matematika, walau mereka ogah-ogahan dan penuh gerutu, untuk

menyadari bahwa matematika dan hukum-hukumnya bukanlah kebenaran. Mereka

menemukan, contohnya, bahwa beberapa geometri yang berbeda dapat bersesuaian

dengan pengalaman spasial dengan sama baiknya. Tidak mungkin semuanya adalah

kebenaran. Kelihatannya disain matematik bukanlah sesuatu yang inheren di alam, atau

jika memang demikian, matematika yang dibuat manusia tidak harus menjadi penjabaran

dari disain itu. Kunci pada realitas telah hilang. Kesadaran ini adalah bencana pertama

yang menimpa matematika.

"Penciptaan atas geometri dan aljabar baru ini menyebabkan para ahli matematik

mengalami kejutan yang berbeda lagi sifatnya. Keyakinan bahwa mereka menggenggam

kebenaran telah merasuki diri mereka sedemikian rupa sehingga mereka dengan tergesa-

gesa telah mengunci hal-hal yang nampak sebagai kebenaran ini sekalipun hal ini tidak

memiliki argumen yang cukup kokoh. Kesadaran bahwa matematik bukanlah wujud dari

kebenaran mengguncang keyakinan mereka dalam apa yang telah mereka hasilkan, dan

mereka segera memeriksa kembali ciptaan-ciptaan mereka. Mereka kecewa setelah

menemukan bahwa logika matematik ternyata berada dalam keadaan yang

menyedihkan."

  Pada awal abad ke-20, mereka berangkat untuk mencoba menyelesaikan masalah- masalah yang belum terselesaikan, membuang kontradiksi-kontradiksi, dan mengembangkan sistem matematik baru yang kebal salah. Seperti yang dijelaskan Klein: "Sampai tahun 1900 para ahli matematik percaya bahwa mereka telah mencapai tujuan mereka. Sekalipun mereka harus puas dengan matematik sebagai pendekatan disain alam yang matematik, mereka masih juga menepuk dada atas rekonstruksi mereka atas struktur logika matematik. Tapi sebelum mereka selesai saling mengucapkan selamat atas apa yang mereka anggap sebagai keberhasilan, kontradiksi-kontradiksi ditemukan pula pada matematika baru hasil rekonstruksi itu. Umumnya kontradiksi ini dinyatakan sebagai paradoks, satu eufimisme yang menghindari berhadapan dengan fakta bahwa kontradiksi telah mencemari logika matematik.

  

"Resolusi atas kontradiksi-kontradiksi itu diupayakan hampir-hampir seketika itu juga

oleh para ahli matematik paling terkemuka dan para filsuf pada masa itu. Sebagai

akibatnya, lahirlah empat pendekatan berbeda atas matematik, masing-masing mendapat

banyak pengikut. Aliran-aliran mendasar ini semua berupaya tidak hanya untuk

menyelesaikan kontradiksi yang dikenal tapi juga memastikan bahwa tidak ada

kontradiksi baru yang akan muncul, yaitu, untuk menegakkan konsistensi dari

matematika. Lain persoalan muncul dalam upaya-upaya ini. Apakah kita dapat

menerima beberapa aksiom dan prinsip logika deduktif juga menjadi kerangka dari

perdebatan di mana berbagai aliran yang ada mengambil posisi yang berbeda-beda."

  Upaya untuk menyingkirkan kontradiksi dari matematik hanya membawa kontradiksi lain yang baru dan tak terpecahkan. Pukulan pamungkas dilancarkan di tahun 1930, ketika Kurt Gödel menerbitkan teoremanya yang terkenal, yang memprovokasi sebuah krisis, bahkan mempertanyakan metode dasar dari matematika klasik:

  

"Bahkan sampai 1930 seorang ahli matematika mungkin puas dengan menerima salah

satu dari beberapa pondasi matematika dan menyatakan bahwa bukti-bukti

matematiknya setidaknya bersesuaian dengan tenet dari aliran itu. Tapi bencana datang

lagi dalam bentuk paper ternama dari Kurt Gödel di mana ia membuktikan, di antara

hasil-hasil lain yang penting dan mengguncangkan, bahwa prinsip logika yang diterima

oleh beberapa aliran tidak dapat membuktikan konsisten matematika. Ini, ditunjukkan

oleh Gödel, tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan prinsip logika yang demikian

meragukan sehingga kita dapat mempertanyakan seluruh hasilnya. Teorema Gödel