Konstruksi realitas Islam di media massa : analisis framing; konflik Palestina Israel di harian Kompas dan Republika

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepanjang sejarahnya, Timur Tengah merupakan kawasan yang kerap diwarnai oleh pergolakan. Kawasan ini dianggap sebagai conflict area atau

trouble spot dunia1 karena menjadi ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan

yang telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu antara berbagai bangsa seperti Mesopotamia, Babylonia, dan Persia, antara kekuatan kerajaan Roma dan Byzantium pada kurun awal tahun masehi, anatara tiga agama monoteistik yaitu, Judaisme, Kristiani dan Islam,2 hingga antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa perang dingin.3 Berbagai konflik baik antar negara-negara internal kawasan maupun yang melibatkan negara-negara luar kawasan menyebabkan Timur Tengah merupakan pasar senjata yang potensial, sehingga terdapat dugaan bahwa ada kepentingan untuk mempertahankan konflik di sana.

Palestina-Israel adalah dua Negara yang tak bisa lepas dari pembicaran publik. Dua Negara yang menduduki satu wilayah yang sama bukanlah hal yang biasa. Konflik, pembunuhan, peledakan bom, negosiasi damai, menjadi rutinitas bagi rakyat Palestina maupun Israel. Tiada hari tanpa rudal melayang di udara, tiada hari tanpa mendengar bom meledak.

1

Bantarto Bandoro, Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Dimensi Internal dan Eksternal, Jakarta CSIS, 1991

2

Charles D. Smith, Palestine, and the Arab-Israeli Conflik: A History with Document (Fourth Ed, Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001)

3


(2)

Dari berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah, konflik Arab-Israel dapat dikatakan sebagai konflik utama yang mendominasi dan membawahi pertikaian lainnya.4 Kompleksitas serta lamanya konflik Arab-Israel membuat mata dunia internasional terpaku pada tragedi berkepanjangan yang ditimbulkan oleh benturan kepentingan atas sebidang wilayah yang dikenal sebagai “The

Holy Land” atau “tanah yang suci”.

Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan geopolitik yang menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan. Wilayahnya yang mengandung

hotbed atau ajang unjuk kekuatan negara-negara besar yang memiliki

kepentingan akan energi.5 Tidak hanya itu, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan berasalnya tiga agama Samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan suci bagi ketiga agama. Fakta ini pula yang melatarbelakangi terjadinya Perang Salib dalam kurun waktu ratusan tahun. Dalam era modern, berbagai krisis terjadi di wilayah ini, seperti perang Iran-Irak, Irak-Kuwait, invasi Amerika Serikat ke Irak, dan konflik Palestina-Israel yang telah lebih dari lima dekade masih berlangsung hingga saat ini.6

Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik Palestina-Israel ini tidak bisa hanya melihat dari kejadian lima atau sepuluh

4

Walid Khalidi, A Palestinian Persperctive Affairs and Arab Israeli Conflict “. Journal of Palestine Studies: A Quarterly on Palestinian Perspective on the Arab-Israeli Conflict Vol. XIV no 4, Summer 1985

(Published Jointly by the Institute for Palestinian Studies and Kuwait University) 5

Anup Shah, “The Middle East”, http://www.globalissues.org/Geopolitics/MiddleEast..

6

Lina Alexandra dan Bantarto Bandoro, “Ketidakstabilan Permanen di Timur Tengah”, Analisis CSIS Indonesia dan Isu-Isu Global, Centre for Strategic and International Studies, hlm. 63.


(3)

tahun kebelakang, karena konflik ini dimulai jauh sebelum tahun 1920. Meskipun telah memiliki catatan sejarah dalam dokumentasi seperti Alkitab dan Alquran, Israel dalam penjajahan oleh Romawi mengalami diaspora, dan tidak pernah memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat.

Pada awalnya, tidak ada gerakan nasionalisme Yahudi yang mempunyai tujuan untuk kembali ke tanah Israel, karena pada umumnya warga Yahudi diterima di wilayah dimana mereka berasimilasi. Tetapi, setelah munculnya pogrom di Rusia, paham anti-semit di kawasan Eropa Timur dan Tengah, dan juga kematian Alfred Dreyfus (Kapten Tentara Prancis beragama Yahudi) karena tuduhan menjadi mata-mata musuh, gerakan nasionalisme Yahudi muncul di kalangan Yahudi Eropa.7 Gerakan ini lazim disebut dengan Zionisme, yang ditemukan dan dipopulerkan oleh seorang jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl, melalui buku berjudul Der Judenstaat. Herzl menganggap, dengan adanya diskriminasi berkepanjangan terhadap warga Yahudi di hampir seluruh wilayah Eropa, maka asimilasi bukan lagi menjadi pilihan bagi Yahudi apabila mereka ingin tetap hidup. Zionisme telah berhasil membangkitkan nasionalisme Yahudi yang berada di Eropa, sehingga Zionisme telah berhasil membangkitkan nasionalisme Yahudi yang berada di Eropa, sehingga mewujudkan terjadinya pergerakan orang-orang Yahudi untuk membentuk satu negara zionis yang mempersatukan mereka di tanah Paletina.

Pada tanggal 14 Mei 1948 dideklarasikan berdirinya Negara Israel dan langsung mendapatkan persetujuan dari Amerika, menjadi awal petaka baru bagi

7


(4)

rakyat Palestina. Israel yang mendirikan negara diatas negara orang lain dan mengauasai 78 % wilayah Palestina serta mengusir 2/3 dari seluruh penduduk Palestina keluar dari tanah mereka sendiri bukanlah hal yang menyenangkan. Zionis tercatat menghancurkan 487 desa dari total 585 desa dan malakukan minimal 34 operasi pembantaian massal pada penduduk sipil yang menjadi mimpi buruk itu semakin nyata di Palestina.8

Selain alasan ideologis yang menjadikan Palestina sebagai satu-satunya tempat yang pantas buat berdirinya “Eretz Israel” atau “Israel Raya”, yang menjadikan palestina sebagai tanah yang dijanjikan (“The Blessed Land”) bagi orang-orang Yahudi yang lama berdiaspora (terpencar-pencar) keseluruh penjuru dunia, Palestina juga sangat strategis jika dilihat dari berbagai segi, diantaranya: Pertama Geopolitik adalah aspek kemanfaatan dan pemanfaatan politis dengan menggunakan keunggulan geografis atau kewilayahan. Kedua. Stategis mejadi tempat bisnis. Lokasi Palestina terletak di pertengahan Negara-negara Arab, Palestina membentuk kombinasi geografis yang natural dan humanistik bagi medan teresrial yang luas. Lokasi strategis yang dimiliki palestina membuatnya cocok untuk jadi penghubung antara berbagai benua, antara lain Asia, Afrika, dan Eropa.

Ketiga, Center of Militery. Secara faktual survei membuktikan bahwa

wilayah ini adalah pusat berbagai ekspedisi militer yang pernah terjadi. Banyak bangsa-bangsa dan kekuatan asing telah menduduki palestina seperti Babylonia, Assiria, Al-Hethyeen, Persia, Yunani, dan Bangsa Romawi. Pada abad yang lalu,

8


(5)

pada Perang Dunia Pertama, Palestina menjadi bulan-bulanan invansi kekuatan Inggris, dan meninggalkan Pelestina pada tanggan 25 Mei 1948 dengan segala kerusakannya dan Inggrislah yang membukakan jalan untuk mendirikan negara Zionis di sana. Sejak tahun 1948 hingga dewasa ini, negara Zionis masih menjajah Palestina dan mengeksplorasi kekayaannya serta memanfaatkan lokasi geografisnya yang strategis untuk kepentingan sikap permusuhan dan rencana-rencana keji anti-Arab yang mereka galang.

Keempat, Pilar bagi Dominasi Barat. Dengan segala nilai strategisnya itu,

Palestina dipilih oleh barat (negara-negara Eropa plus Amerika Serikat) dan gerakan zionisme internasional untuk menjadi tonggaknya. Berdirinya negara Israel di Palestina didukung penuh oleh negara-negara barat. Di Palestina jugalah, Barat meletakkan tonggak dominasinya. Tonggak yang sampai saat ini memecah belah musuh masa depan mereka, identitas yang menyatukan miliaran umat manusia di dunia: Islam.

Sejak deklarasi pendirian negara Israel tahun 1948, bangsa Palestina terus berada dalam horor. Jutaan orang terusir, sementara jutaan lainnya terbantai sejak sebelum 1948 sampai sekarang. Tetapi, rakyat Palestina bukan tanpa perlawanan. Gerakan-gerakan perlawanan mulai terkoordinasi. Salah satu yang popular adalah Fatah yang nasionalis Palestina. Pada tanggal 10 Desember 1969 PBB mengeluarkan resolusi yang mengakui bangsa Palestina. Tetapi Israel tidak tinggal diam dengan masalah ini, sasaran serang Israel bukan hanya Palestina tetapi semua negara Arab yang membela Palestina menjadi sarasaran rudal-rudal tempur Israel. Upaya damai dengan jalan diplomasi mulai dilakukan, tetapi sekali lagi itu hanya bualan para zionis. Semua perjanjian merupakan akal


(6)

bulus hasil kongkalikong Amerika Serikat dan Israel, mulai dari kesepakatan Kairo (4 Mei 1994), Wye River (23 Oktober 1998), dan Syarm Asy-syaikh (4 September 1999).

Pada tahun 2000, AS kembali berusaha untuk membuka jalan bagi kemungkinan perdamaian antara Palestina dan Israel. Pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat di Camp David, AS, kembali tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pada tahun ini pula, Intifadah jilid ke-2 kembali muncul di masyarakat Palestina. Pasca Camp David Summit, masih ada upaya perdamaian melalui Beirut Summit yang diprakarsai oleh Arab Peace Initiative, dan juga proposal Peta Jalan atau Road Map for Peace yang diusulkan oleh Quartet on Middle East yang terdiri dari AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa (UE). Dan sama seperti upaya-upaya perdamaian sebelumnya, kedua pertemuan itu tidak berhasil mendamaikan Palestina dan Israel.

Pada tahun 2007, di masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel.


(7)

Selain itu, media massa memiliki peranan cukup penting dalam konflik Palestina-Israel. Media massa dengan segala pemberitaannya menjadi dua sisi mata uang. Di satu sisi media memberikan informasi kepada khalayak apa yang terjadi di Palestina, tetapi berita yang sampaikan oleh mediapun turut mengiring opini masyarakat untuk ikut dengan apa yang mereka beritakan. Shoemaker dan Reese melihat ideologi sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi isi media. Ideologi diartikan sebagai suatu mekanisme simbolik yang berperan sebagai pengikat dalam masyarakat. Tingkat ideologi menekankan pada kepentingan siapakah seluruh rutinitas dan organisasi media itu bekerja.9 Hal ini tidak terlepas dari unsur nilai, kepentingan, dan kekuatan atau kekuasaan apa yang ada dalam media tersebut. Kekuasaan tersebut berusaha dijalankan dan disebarkan melalui media sehingga media tidak dapat lagi bersifat netral dan tidak berpihak. Media bukanlah ranah netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang.10

Setiap media massa memiliki karakter dan latar belakang tersendiri, baik dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun dalam tampilan serta tujuan dasarnya. Perbedaan ini di latarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa. Baik yang bermotif politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Bambang Harimukti bahwa media

9

Shoemaker dan Resse, Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Contend, hlm 223

10


(8)

massa merupakan kumpulan banyak organisasi dan manusia dengan segala kepentingannya yang beragam, bahkan termasuk yang saling bertentangan.11

Adanya beragam kepentingan pada media massa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwasanya media massa ada yang memiliki kepentingan politik, karena ia didanai dan disupport oleh kekuatan politik tertentu, dan media massa juga ada yang bermotifkan ekonomi, dimana keuntungan secara materil adalah satu-satunya target dari media tersebut. Begitupun yang bermotifkan agama, dimana media massa didirikan oleh kelompok agama tertentu untuk menyampaikan ajaran agamanya.

Adanya kepentingan dari media massa turut mempengaruhi berita yang disampaikan kepada khalayak. Dan dari sini maka munculah sebuah anggapan bahwa fakta yang disampaikan bukanlah fakta yang objektif dan bebas nilai, melainkan fakta yang telah dikonstruksi oleh media atau penulisnya (wartawan) dengan latar belakang kepentingan tertentu.

Dengan itu Penulis tertarik melakukan penelitian isi media mengenai Konflik Palestina-Israel di dua harian umum terkemuka di Indonesia, yaitu Harian UmumKompas dan Harian Republika, dengan judul Konstruksi Realitas Islam di Media Massa: Analisis Framing Konflik Palestina-Israel di Harian Kompas dan Republika.

11


(9)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Konflik Palestina-Israel yang sudah berlangsung sekian tahun bukan lagi menjadi isu regional Timur-Tengah, tetapi kini konflik ini sudah menjadi isu dunia internasional yang melibatkan banyak kepantingan antara Negara-negara timur dan barat maupun Islam dan Kristen.

Seluruh dunia ingin mengetahui apa yang terjadi di Palestina dan Israel. Media massa baik cetak maupun elektronik memiliki andil yang besar dalam penyebaran berita mengenai masalah tersebut. Oleh sebab itu penulis ingin membahas menegenai isi media yang memuat mengenai konflik Palestina Israel. Dalam skripsi ini penulis membatasi masalah pada konstruksi berita yang dimuat di Harian Kompas dan Republika.

Melihat pambatasan masalah di atas peneliti merumuskan maslah menjadi :

1. Bagaimana konstruksi pemberitaan Konflik Palestina-Israel di Harian Kompas dan Republika?

2. Bagaimana realitas berita Islam di dalam media massa? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui bagaimana berita yang dikembangkain oleh Kompas dan

Republika tentang pemberitaan Konflik Palestina dan Israel. 2. Mengetahui konstruksi pemberitaan islam di media massa.


(10)

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat akademis. Merelevansikan penelitian dengan berbagai disiplin ilmu yang telah dipelajari selama perkuliahan sehingga memberikan penjelasan mengenai isi berita yang dianalisis dengan metode framing untuk mengetahui bagaimana media menginformasikan dan membentuk opini masyarakat terhadap kasus yang terjadi diantara Palestina dan Israel.

2. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran praktis mengenai konstruksi media terhadap suatu kasus khusunya kasus Palestina-Israel yang dianalisis menggunakan pendekatan framing. Kita perbedaan bisa melihat bagaimana media memberitakan suatu kejadian/peristiwa.


(11)

11 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

II.1 Paradigma Konstrukstivisme

Pada dasarnya media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan independen. Media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada di dalam maupun di luar media massa itu sendiri. Kepentingan eksternal bisa meliputi kepentingan pemilik modal yang berhubungan dengan pencarian keuntungan. Sedangkan, di sisi lain media juga harus menjaga hubungan dengan masyarakat dan negara. Kepentingan-kepentingan eksternal dan internal ini mengharuskan media terus bergerak dinamis di antara kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini menyebabkan media massa sulit menghindari bias-bias dalam penyampaian beritanya.

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian penting dari pendekatan ini. Pertama, Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Hal ini berbeda dengan pandangan


(12)

12

kaum positivis yang mengatakan bahwa ada fakta yang “rill” yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal.12

Kedua, Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis

mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan positivis media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak). Media disini dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Sedangkan pandangan konstruksionis menilai media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas.13

Ketiga, Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanyalah konstruksi dari

realitas. Dalam pendangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Berita tidak mungkin cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi

12 Eriyanto, Analisis Framing,Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, hlm 20

13


(13)

13

dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, karenanya ia harus mencerminkan realitas yang hendak dibicarakan.14

Keempat, Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas. Pandangan

kostruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasik kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pada pendekataan positivis, titik perhatiannya adalah pada bias. Artinya, bias dianggap salah, dan wartawan harus menghindari bias. Dalam tradisi penelitian positivis, analisis diarahkan untuk menemuakan ada-tidaknya bias – dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot dari penulisan, dan sebagainya. Berita dalam pandangan positivis bersifat objektif. Menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita.15

Kelima, kaum konstrukstivis memandang wartawan bukan sebagai

pelapor, ia adalah agen konstruksi dari realitas.16 Sedangkan positivis sendiri memandang wartawan seperti layaknya seorang pelapor (observer). Sebagai seorang pelapor, wartawan hanya bertugas memberitakan atau mentransferapa yang dia lihat dan apa yang dia rasakan dilapangan.17

Keenam, dalam hal etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan

adalah bagian yang intergral dalam produksi berita. Paradigma konstruksionis memandang aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin

14

Ibid, h 25

15

Ibid, h 27

16

Ibid, h 28

17


(14)

14

dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu – umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas.18 Sebagai pelapor, pendekatan positivis menekankan agar nilai, etika, dan keberpihakan wartawan dilihangkan dalam proses pembuatan berita. Artinya, pertimbangan moral dan etika yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan haruslah disingkirkan. Intinya realitas haruslah didudukan dalam dungsinya sebagai realitas yang faktuil, yang tidak boleh dikotori oelh pertimbangan subjektif.19

Ketujuh, salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis

adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penelitian. Sedangkan dalam pendangan positivis peneliti haruslah bebas nilai, ini berarti etika dan pilihan moral peneliti tidak boleh ikut dalam penelitian.20

Kedelapan, khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita.

Positivis memandang berita sebagai sesuatu yang objektif. Konsekuensinya, apa yang diterima oleh khalayak pembaca seharusnya sama denga apa yang disampaikan oleh poembuat berita. Hal ini bertentangan dengan pandangan konstruksionis yang melihat khalayak bukan sebagai subjek yang pasif, tetapi

18

Ibid, hlm 32

19

Ibid, hlm 31

20


(15)

15

juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Stuart Hall mengatakan makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Sedangkan paradigma positivis melihat komunikasi sebagai bentuk pengiriman pesan. Komunikasi di sini dilihat sebagai suatu proses bagaimana pesan terkirim dari pengirim ke penerima dan proses yang terjadi dalam pengiriman tersebut21. Proses pengiriman pesan yang dimaksud dalam paradigma positivis di sini adalah model komunikasi linier. Model komunikasi ini merupakan model yang diperkenalkan oleh Harold D. Laswell. Model komunikasi ini mengasumsikan bahwa adanya hubungan satu arah dari media kepada khalayak, sehingga hubungan antara sumber dan khalayak digambarkan sebagai hubungan satu arah atau linier saja seperti model yang tergambar dibawah ini.

Model komunikasi Harold D. Laswell22

Paradigma konstruksionis menganggap pembuat teks berita sebagai penentu yang akan mengarahkan pola pikir khalayak. Sebaliknya paradigma positivis melihat pembuat teks berita sebagai penyampai informasi yang memaparkan suatu peristiwa atau fakta secara rill dan objektif.

21 Ibid h 37-38.

22

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Madia Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita Politik, Hlm. 115

Who Communicator

With what Effect Effect

To whom Receiver In which channel?

Medium Says what?


(16)

16

Pertanyaan utama dari paradigma konstruksionis ini adalah pada bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi?, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk?23. Bagi kaum konstruksionis realitas yang ada di media bukan terjadi begitu saja. Realitas yang disampaikan oleh media merupakan hasil konstruksi dari manusia itu sendiri.

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis:24

• Pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemakanaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.

• Pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.

Analisis framing termasuk dalam kategori penelitian konstruksionis.

Dengan analisis framing, kita mencoba melihat bagaimana media mengonstruksi realitas. Persitiwa yang disajikan oleh media merupakan hasil konstruksi dari fakta-fakta yang diserap oleh wartawan, sehingga realitas yang tercipta merupakan hasil konstruksi dari wartawan. Dan suatu hal yang mungkin jika realitas yang tercipta terdistorsi oleh pola pikir atau pandangan wartawan itu sendiri.

23 Eriyanto, Analisis Framing : Konstruksi Ideologi dan Politik Media,, hlm. 37-38

24


(17)

17

Jadi, dalam penelitian framing, yang menjadi titik persoalan adalah bagaimana realitas atau peristiwa dikonstruksi oleh media, bagaimana media membingkai peristiwa dalam kostruksi tertentu. sehingga yang menjadi titik perhatian bukan apakah negatif atau positif, melainkan bagaimana bingkai yang dikembangkan oleh media.25

II.2 Media Massa Sebagai Media Konstruksi Berita Islam

II.2.a Pengertian dan Fungsi Media Massa

Sebelum kita membahas mengenai media massa, penulis ingin menyinggung sedikit mengenai komunikasi massa, karena media massa adalah salah satu bagian dari komunikasi massa.

Komunikasi massa dalat didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikirim dari smber yang melembagakepada khalayak yang sifatnya missal melalui alat-alat yang bersifat mekanis, baik cetak maupun eletronik.26

Ketika kita membicarakan komunikasi massa untuk melakukan kegiatan komunikasi, maka haruslah memahami karekteristik komunikasi massa sebagai berikut :27

1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan, sampai pada penyajian informasi,

25Ibid, h 7

26

Hafided Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, hlm 36 27


(18)

18

2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurnag memungkinkan akan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalaupun terjadi realksi atau umpan bakik, biasanya memerlukan waktu yang tertunda.

3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengaasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memeilik kecepatan.

4. Memakia peralatan teknis atau mekanis. Seperti perangkat computer, mesin cetak, dll.

5. Bersifat terbuka, aretinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengel usia, jenis kelamain, suku bangsa, dll.

Media massa merupakan sebuah institusi yang memiliki serangkaian kegiatan produksi budaya dan informasinya dilaksanakan oleh berbagai tipe ‘komunikator massa’ untuk disalurkan kepada khalayak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.28

Mc Quail29 mengungkapkan dua asumsi dasar mengenai media massa. Instutusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahun tersebut membuat kita mampu untuk memetik pelajaran dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap pengalaman itu, dan memperkaya khasanah pengetahuan masa lalu. Asumsi yang kedua media massa memiliki peran mediasi antara relaitas yang objektif dan pengalaman pribadi. Media massa seringkali berada

28

Vincent Moscow, The Political Economy of Communication, hlm. 150-156

29


(19)

19

diantara kita dengan bagian pengalaman lain yang berada di luar persepsi dan kontrak langsung kita.

Charles wright menggambarkan empat fungsi dasar media massa 30 yaitu :

1. Pengamat Lingkungan (Surveillance)

Media massa memberikan pesan-pean secara terus menerus melalui pemberitaan mereka yang memungkinkan anggota mesyarakat menyadari perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi mereka. Pengamat lingkungan juga memeliki fungsi pengawasan, yang memperingatkan masyarakat akan bahaya, misalnya angin topan atau polusi udara.

2. Korelasi (correlation)

Media massa menghubungkan dan mengartikan pesan tentang peristiwa yang sedang terjadi. Fungsi korelasi membentu khalayak mesyarakat menentukan relevansi berbagai informasi pengewasan apa yang berguna bagi mereka.

3. Sosialisasi (Socialization)

Sebagaian merupakan fungsi pengamat lingkungan dan korelasi; komunikasi melelui media massa mensosialisasikan individu-individu untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Media massa memeberikan berbagai pengalaman yang umum, harapan-harapan yang sama, perilaku yang sesuai maupun tidak sesuai, dan megontribusikan berbagai kreasi kebudayaan umum dan konsesus kebudayaan. Komunikasi melalui media massa juga memainkan

30


(20)

20

sebuah peran penting dalam mentransmisikan warisan kebudayaan dari generasi ke generasi.

4. Hiburan (Entertainment)

Media massa adalah sumber yang dapat menyediakan hiburan massa dan menyediakan hiburan dasar, serta menyiarkan bagi khalayak masyarakat.

II.2.b Pengertian Surat Kabar

Menurut Y.S Gunadi, Koran atau surat kabar adalah media komunikasi massa yang memuat serba-serbi pemberitaan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan. Surat kabar merupakan media komunikasi cetak yang isinya lengkap ditujukan kepada masyarakat. Di Indonesia surat kabar ada yang terbit secara harian, mingguan, bulanan.31

Ada beberapa fungsi dari surat kabar diantaranya :

1. Penyebar Informasi, menyalurkan informasi yang telah diolah sehingga khalayak dapat mengetahui keadaan yang terjadi diluar dirinya.

2. Area Pendidikan, surat kabar menyebatkan pendidikan secara non formal kepada masyarakat melalu informasi-informasi yang bersifat mencerdaskan.

3. Area Hiburan. Kini surat kabar meluaskan fungsinya sebagai sarana hiburan yang bersifat cetak, karena kini banyak surat kabat yang mempunayi kolom tersendiri untuk hiburan agar masyarakat juga bisa terhibur dengan membaca Koran.

31


(21)

21

4. Bisnis dan Kontrol Sosial. Fungsi lain adalh bisnis, karena kini banyak khalayak yang menggunakan surat kabar sebagai media iklan usaha mereka. Selain itu media massa juga menjadi wacth dog bagi pemerintah dan masyarakat

II.2.c Pengertian Berita

Banyak pakar komunikasi mencoba merumuskan definisi (batasan pengertian) berita, dengan penekanan yang berbeda terhadap unsur yang dipandang sebagai sebuah berita. Nothlife misalnya menekankan pengertian berita pada unsur-unsur “keanehan” atau ketidaklaziman sehingga mampu menarik perhatian dan rasa ingin tahu (curiosity). Ia mengatakan “If a dog bites

a man, it is not news, but if a man bites a dog is news”32

Paul De Massenner dalam buku Here’s the New Unesco Assosiate menyatakan news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak atau pendengar. Charnley& James M. Neal menuturkan berita adalah laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru, dan kasus yang penting disampaikan kepada khalayak.33

Berita adalah laporan dari suatu kejadian. untuk menjadikan sebuah peristiwa menjadi sebuah berita yang siap dipublikasikan. ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Dalam proses pembentukan berita banyak faktor-faktor yang

32 Asep syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis untuk Pemula, hlm 4

33

Drs. As Haris Sumadirian, M.Si, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature : Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, hlm 64


(22)

22

mempengaruhinya. menurut pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu :34

1. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latarbelakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. latarbelakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempenguhi apa yang ditampilkan media. latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan memperhatikan dan memahami setiap detil kejadian, meskipun mereka melihatnya sendiri, seperti manusia merasa, menafsirkan dan mengingat kejadian secara selektif. Tepatnya, apa yang mereka amati dan ingat akan menjadi hasil dari set unik meraka akan kebutuhan, kepercayaan, tingkah laku, nilai dan faktor-faktor kognitif lainnya, seperti skema ingatan yang tak terelakan dari bias interpretasi mereka35

2. Level Rutinitas Media (media routine)

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penetuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi

34

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, "Mediating the Messege : Theories of Influence on Mass Media Center", dalam Agus Sudibyo,"Politik Media dan Pertarungan Wacana,hlm. 7-13 3535


(23)

23

prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Berbagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media kerenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.

3. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang berada dalam organisasi berita, ia sebaiknya hanya bagian kecil dari organissi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.

4. Level Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media banyak mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media

a. Sumber Berita

Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan


(24)

24

untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak

b. Sumber Penghasilan Media

Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Untuk tetap bertahan kadang kala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupnya. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu harus menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.

c. Pihak Eksternal

Seperti pemerintah dan lingkungan. pemerintah dalam banyak hal memegang lisensi penerbitan, kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan pemerintah tersebut.

5. Level Ideologi

Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat relaitas dan bagaimana mereka menghadapinya.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung


(25)

25

dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.36 Sebuah peristiwa harus memiliki nilai berita (news value) jika ingin dijadikan sebuah berita, seperti di bawah ini:

1. Keluarbiasaan (unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa, bukanlah suatu peristiwa yang biasa. Seperti kasus jatuhnya pesawat Adam Air jurusan Surabaya-Makassar yang menewaskan seluruh awak dan penumpang pesawat.

2. Kebaruan (newness). Berita adalah sesuatu yang terbaru. Seperti Pilkada Provinsi Lampung yang diikuti oleh pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur terbanyak di Indonesia sebanyak tujuh pasangan calon dan diikuti oleh dua pasangan independen.

3. Akibat (impact). Berita adalah sesuatu yang berdampak luas. Seperti konvensi minyak tanah ke gas.

4. Aktual (timeliness). Berita adalah peristiwa yang sedang terjadi. Seperti menyambut bulan suci Ramadhan seluruh media baik cetak maupun elektronik berlomba-lomba untuk memberitakan serba-serbi ramadhan.

5. Kedekatan (proximity). Berita adalah kedekatan, baik yang bersifat geografis maupun psikologis. Yang bersifat geografis seperti masyarakat Indonesia lebih


(26)

26

mendahulukan mencari berita mengenai kampanye calon presiden dan wakil presiden Indonesia ketimbang kampanye calon presiden dan calon wakil presiden Amerika Serikat.

6. Informasi. Berita adalah informasi. Menurut Wilbur Schramm informasi adalah segala yang bisa menghilangkan ketidakpastian.

7. Konflik (conflict). Konflik adalah segala sesuatu yang mengandung unsur/sarat pertentangan, merupakan sumber berita yang tidak pernah kering dan tidak akan pernah habis.

8. Kejutan. News is surprices. Kejutan adalah sesuatu yang datangnya tiba-tibadiluar dugaan, tidak direncanakan, diluar perhitungan, dan tidak diketahui sebelumnya. Contohnya seperti kasus pembunuhan dan mutilasi berantai yang dilakukan oleh Ferry Idam Heniansyah yang telah membunuh sebelas orang secara sadis.

9. Orang Penting. News is about people. Berita adalah tentang orang-orang, terutama pesohor, sederhana, dan publik figur.

10. Human Interest. News is interesting. Kadang-kadang

suatu peristiwa tak menimbulkan efek berarti pada seseorang, sekelompok orang atau bahkan lebih jauh lagi


(27)

27

pada masyarakat, tetapi telah menimbulkan getaran pada suasana hati, suasana kejiwaan atau peristiwa.

11. Seks. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan perempuan pasti menarik dan menjadi sumber berita. Pakar jurnalistik berteori bahwa media massa tanpa seks dalam segala dimensi dan manifestasinya, sama saja seperti bulan tanpa bintang. Teori ini ternyata menimbulkan dampak luar biasa dengan menjamurnya penerbitan pers yang secara khusus mengangkat isu tentang seks, gender, segala sesuatu tentang kaum perempuan seperti namuli, kebutuhan, keinginan, dan ambisinya terhadap lawan jenis.37

II.2.d Media Islam dalam Konstruksi Berita

Membicarakan media islam adalah pembahasan yang sangat menarik. Sebelum kita membahas mengenai media islam, kita terlebih dahulu akan membicarakan mengenai komunikasi islam. Tidak banyak buku yang membahas mengenai teori maupun perspektif komunikasi islami (islam). Kalaupun ada hanya disinggung sepeintas dan hanya satu atau dua aspeknya saja. Padahal jumlah penganutnya sangat banyak sekitar satu miliar orang di seluruh dunia. Juga jumlah Negara islam atau penduduknya mayoritas islam cukup banyak.38

Secara umum semua macam komunikasi manusia memiliki cirri yang sama atau serupa. Misalnya proses, model, dan pengaruh pesannya. Ihwal yang

37 Drs. As haris Sumadiria, M. Si, Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, hlm 80

38


(28)

28

membedakan komunikasi Islam (Islami) dengan teori komunikasi umum terutama pada latar belakang filosofinya (Al-Qur’an dan Hadits) dan aspek etikanya juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut.39

Walaupun latar belakang filosofi komunikasi islami (Islam) tidak sama dengan yang ada pada studi komunikasi umum, namun cukup banyak aspek paradigmatik dan teoritis (perspektif) yang sama. Misalnya definisi komunikasi baik definisi etimologis maupun terminologis. Mungkin ada istilah atau perkataan lain menurut bahasa lain, tetapi istilah dari bahasa lain itu tetap mempunyai makna komunikasi atau berkomunikasi (communicare – Latin), yakni berbicara, menyampaikan pesan, pendapat, informasi, berita, pikiran, perasaan dan sebagainya dari seseorang kepada yang lainnya dengan mengharapkan umpan balik, jawaban (feedback).40

Dan bagaimana dengan pengertian media islam itu sendiri sebagai saluran dari komunikasi massa? Seperti dikatakan diawal tidak banyak yang membedakan antara media non-Islam dengan media Islam dalam hal model, proses, dan efeknya. Yang membedakannya hanya pada landasan filosofis yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al Hadits.

Tetapi membahas media Islam tidak selesai jika kita hanya terpaku dengan pengertian diatas. Masih banyak hal-hal lain yang perlu dibahas untuk mendapatkan gambaran dan perkembangan riil mengenai media islam itu sendiri. Penulis mendapatkan pengertian mengenai apa sebenarnya atau lebih tepat bagaimana sebenarnya media Islam itu dari Redaktur Harian Republika,

39

Ibid., h, 34 40 Ibid., h35


(29)

29

yang menjadi satu-satunya harian yang bernafaskan Islam yang masih eksis sampai saat ini.

Menurut keterangan Republika, mereka melabeli harian mereka sebagai harian Islam dikarenakan beberapa hal: pertama, karena mayoritas pembaca mereka adalah muslim. Kedua, dalam hal pemberitaan mereka memberi perhatian yang lebih terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umatnya tanpa mengabaikan berita-berita yang lain.41

Bagaimana seharusnya media massa Islam memainkan peranan dalam hiruk-pikuk seluruh dunia menyongsong era informasi dengan berbagai implikasinya? Kebanyakan media massa Islam tumbuh di negara-negara berkembang. Karena itu media massa Islam masih dalam tahap atau kondisi “berkembang” pula. Hal itu berarti bahwa kemampuan media massa Islam untuk bersaing dengan arus informasi internasional yang dikelola oleh kantor-kantor atau jaringan-jaringan media raksasa milik negara-negara maju masih sangat lemah.42

Perkembangan media islam dipengaruhi oleh fenomena tumbangnya orde baru pada Mei 1998. Bagi kalangan media, itulah untuk pertama kalinya selama 30 tahun, media massa mengalami masa kebebasan yang hamper tak terbatas. Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan saat itu melakukan terobosan penting dengan mempermudah pengurusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Media-media Islam jelas diuntungkan dengan fenomena tersebut,

41 Yeyen

42


(30)

30

karena sebelumnya untuk menerbitkan SIUPP bukan hanya diperlukan uang yang banyak tetapi dibutuhkan orang yang punya akses terhadap proses pengambilan keputusan untuk memperoleh SIUPP.

Sayangnya pada saat pasa dipenuhi oleh media-media yang menyuarakan fanatisme dan ekslusivisme, media Islam Moderat justu semaikin hilang dari peredaran. Majalah Ummat yang sempat mapan pada decade 90-an tidak dilanjutkan penerbitan, Jurnal Ulumul Qur’an yang sempat menjadi salah satu icon pemikiran Islam ternyata tidak berlanjut ketika keran kebabasan dibuka,

dan Majalah Panji Masyarakat juga tidak lebih baik nasibnya. Ini tentu

memprihatinkan karena media-media yang terbit saat itu didominasi oleh media yang cenderung menjual “kabar-kabar kebencian”43

Dua media yang sangat besar, yaitu Sabili dan Ummi, adalalah fenomena yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Majalah Panji Masyarakat memang cukup besar berpengaruh pada dekade 70-an dan 80-an, demikian juga majalah

Ummat sempat menjadi media islam terbesar pada dekade 90-an. Namun, dua

majalah ini tidak sefenomenal Sabili dan Ummi tertutama dari segi oplah. Pada tahun 2000, oplah Sabili diperkirakan mencapai angka di ats 100 ribu dan Majalah Ummi 80 ribu eksemplar.

Sabili dan Ummi hanya dua contoh sukses media Islam yang menyuarakan fanatisme dan ekslusivisme yang kuat terhadap Islam. Ada banyak media lain yang terbit pada masa reformasi seperti Jurnal Islam, Saksi, Darul

43

Agus Sudibyo, Ibnu Hamad, Muhammad Qadari, Kabar-kabar kebencian dan Prasangka Agama, hlm. 24


(31)

31

Islam, dan beberapa lainnya tetapi tumbang oleh seleksi alam. Dari hasil penelitian penulis dilapangan, media-media Islam kini mulai membuka diri terhadap sesuatu diluar fanatisme dan ekslusivisme. Media-media Islam kini mulai meragamkan diri dengan penerbitan majalah-majalah yang berhubungan dengan gaya hidup (life style) Islami seperti Majalah Alia dan Noor, juga majalah yang bersegmentasi remaja seperti Annida dan Muslimah, dan juga yang media Islam yang ditujukan untuk keluarga seperti Ummi. Perlahan tapi pasti media tersebut mulai bisa diterima oleh masyarakat.

Bagaimana keadaan media moderat saat ini? Media Islam moderat justru surut pada saat pasar didominasi oleh media Islam yang hanya menjual kabar-kabar kebencian dan permusuhan? Memang ada asumsi pasar yang menyebutkan media Islam bukan sesuatu yang marketable, namun asumsi ini patah oleh kisah sukses Sabili. Ada juga yang mengatakan bahwa Islam moderat bukan tema yang cukup menarik untuk dijual, asumsi ini patah oleh kisah sukses Panji Masyarakat, Ulumul Qu’an dan Ummat. Kegagalan tiga media Islam ini bukan karena kehabisan gagasan atau gagasan yang diusung tidak manarik, tetapi lebih kepada factor manajemen.

Faktor manajemen memang menjadi problem serius dalam pengelolaan media Islam, khususnya media Islam moderat. Manajamen di sini tidak semata-mata dalam pengertian manajemen perusahan, di mana seluruh pengelolaan sumberdaya perusahaan diorientasikan sepenuhnya untuk menghasilkan produk berkualitas untuk memenuhi standar kompetisi, tetapi juga dalam arti manajemen redaksional, di mana daya tarik peristiwa, aktualitas berita, akurasi dan validitas data serta kredibilitas narasumber diolah dan disajikan menjadi


(32)

32

sebuah berita yang memikat. Ini memang bukan pekerjan mudah. Apalagi media elektronik – radio, televisi dan internet – telah menyediakan informasi dengan cara yang jauh lebih murah, mudah dan cepat.

Selain itu media Islam juga membutuhkan Public Relation yang tanggu untuk membentuk good name dan good will yang baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa menerima media Islam, sebagai media pertama dalam rujukan sumber informasi. Keadaan yang sangat dilematis ketika Indonsia Negara mayoritas umat islam terbanyak didunia, jika melihat media Islamnya seperti mati suri. Sangat berat ketika penulis harus mendikotomikan antara media Islam yang Moderat dan media dengan fanatisme Islam berlebihan. Tetapi itulah fakta dilapangan. Menurut penulis sudah saatnya media massa Islam baik yang moderat dan media dengan fanatisme Islam mulai berbenah diri. Semakin lama masyarakat kita semakin cerdas. Gunakanlah bahasa-bahasa yang baik dan cerdas untuk membela Islam. Karena jika tidak ini akan menjadi bom waktu untuk pencirtaan umat dan media Islam itu sendiri. Walaupun faktanya umat Islam tertindas, gambarkanlah jeritan itu dengan ilmu dan santun sesuai dengan pedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah.

II.3. Ideologi Media

Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi mempunyai dua pengertian yang berbeda. Pengertian dalam tataran positif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas pandangan dunia (world view,

welttanschaung) yang menyatakan sistem nilai kelompok atau komunitas sosial


(33)

33

tataran negatif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas kesadaran palsu. Dalam arti bahwa ideologi merupakan sarana manipulatif dan deceptive pemahaman manusia mengenai realitas sosial.44.

Ada sejumlah definisi terkait konsep ideologi. Penulis yang berbeda menggunakan istilah ini secara berbeda pula, tidaklah mudah memastikan penggunaanya peda setiap konteks. Raymond Williams (1977) menemukan tiga penggunaan utama. Pertama , suatu sistem keyakainan yang menedai kelompok atau kelas tertentu. Kedua, ideologi merupakan suatu sistem keyakinan ilusioner- gagasan palsu - yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. dan yang terakhir, ideologi seringkali digunakan untuk sebuah proses umum produksi makna dan gagasan.

Dalam perkembangan ilmu sosial, terminologi ideologi mengalami banyak pemaknaan. tapi secara ringkas , ideologi juga dapat dilihat dalam tiga ranah acuan pokok. Pertama, ideologi sebagai realitas yang bermakna netral. artinya, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai dan sikap dasar rohani suatu kelompok sosial dan komunitas kebudayaan tertentu.

Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness).

pengertian ideologi sebagai kesadaran palsu menyatakan bahwa ideologi merupakan sistem berfikir yang sudah terdistorsi,baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ideologi dalam pengetian ini adalah sarana kelas atau kelompok sosial tertentu untuk mensahkan atau melegitimasikan asal sumber dan praksis kekeuasaan secara tidak wajar. dalam pengerian ini, makna ideologi justru


(34)

34

bernilai negatif. artinya ideologi merupakan perangkat claim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada nilai kebenaran (meskipun ketegori kebenaran sangat bernilai relatif), melainkan sudah mengambil sikap berpihak pada kepentingan tertentu. objektifitas kebenaran merupakan jalinan dan rangkaian kebenaran subjektif yang disepakati bersama sebagai kebenaran objektif.

Ketiga, ideologi sebagai sistem keyakinan yang tidak rasional.artinya,

bahwa ideologi hanya sekedar rangkaian sistem kepercayaan dan keyakinan subjektif (belief system). Konsekuensinya adalah ideologi tidak membuka kemungkinan pertanggungjawaban rasional dan objektif.45

Ideologi berkaitan dengan konsep seperti "pandangan dunia", sistem kepercayaan, dan nilai-nilai.namun, ruang lingkup ideologi lebih luas dari pada konsep-konsep tersebut.ideologi tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan yang terkandung mengenai dunia, tapi juga cara yang mendasari definisi dunia. Oleh sebab itu, ideologi tidak hanya tentang politik. Ideologi memiliki cakupan yang lebih luas lagi dan mengandung makna konotasi46. Ideologi merupakan sarana yang digunakan untuk ide-ide kelas yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh keseluruhan masyarakat sabagai sesuatu yang alami dan wajar.47

Menurut Antonio Gramsci mengenai hegemoni, media massa adalah alat yang digunakan elit berkuasa untuk "melestarikan kekuasaan, kekayaan dan status mereka (dengan mempopulerkan) falsafah, kebudayaan dan moralitas

45 Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai ilmu kritis, hlm 230-231

46

Croteau and Hoynes, Media/Society, Industries, Image, and Audience,hlm,163

47 John Fiske, cultural and communication studiest, sebuah pengantar paling komprehensif, hlm 239 .


(35)

35

mereka sendiri.”48 Di satu pihak media massa merupakan sebuah medium penyampai informasi dan dipihak lain media massa dapat pula dijadikan sebagai alat penyebarluasan ideologi golongan tertentu. Oleh karena itu, media massa dikatakan memiliki bias-bias kepentingan tertentu.

Kekuatan-kekuatan yang bermain di dalam dan di luar media diyakini memiliki pengaruh pada proses komunikasi yang dilakukan media massa. Dalam beberapa kasus, pemberitaan media melibatkan dominasi kelompok-kelompok dominan. Sebagai medium penyampaian pesan, media memang tidak bisa bersifat netral. Begitu pula pesan-pesan yang terkandung di dalamnya juga tidak bisa dikatakan bebas nilai karena pesan-pesan tersebut mengandung makna-makna tertentu dan bahkan mungkin mengandung pesan yang sarat dengan muatan ideologis.

Teori-teori klasik ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.49 Pengaruh media massa yang begitu besar terhadap masyarakat membuat media massa dijadikan alat oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membujuk dan mengomunikasikan ideologi-ideologi demi kepentingan mereka.

Shoemaker dan Reese melihat ideologi sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi isi media. ideologi diartikan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi isi media. ideologi diartikan sebagai suau mekanisme simbolok yang berperan sebagai kekuatan pengikat dalam masyarakat. tingkat

48 James Lull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, hlm, 34. 49 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, hlm 13


(36)

36

ideologi menekankan pada kepentingan siapakah seluruh rutinitas dan organisasi media itu bekerja.50

Hal ini tidak lepas dari unsur nilai, kepentingan dan kekuatan atau kekuasaan apa yang ada dalam media tersebut. kekuasaan tersebut berusaha dijalankan dan disebarkan melalui media sehingga media tidak dapat lagi bersifat netral dan tidak berpihak. Media bukanlah ranah netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapat perlakuan yang sama dan seimbang51. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa media berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari kelompok pemegang kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat. Nilai yang dianggap penting bagi pemegang kekeuasaan disebarkan melalui media sehingga isi media mencerminkan apa yang diinginkan oleh pemilik kekuasaan tersebut.

Ideologi bekerja melalui bahasa dan bahasa adalah medium tindakan sosial52. Dalam media masssa, aspek-aspek ideologi dapat dilihat dari bagaimana mereka menyampaikan pesan kepada kahalayaknya. Dalam hal ini pesan-pesan disampaikan melalui simbol-simbol baik verbal maupun non verbal. Simbol-simbol itu dapat mewakili ide, perasaan, pikiran serta ideologi. Ideologi secara verbal dapat diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur bahasa yang dipakai.

Bahasa yang akan dipakai dalam media massa ditentukan oleh awak media itu sendiri, dalam hal ini yang mempunyai pengaruh besar dalam

50 Pamela J. shoemaker dan Stephen D Reese, Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Contend, second edition, hlm. 223

51 Agus Sudibyo , Politik Media dan Pertarungan Wacana, hlm, 55


(37)

37

menentukan pilihan dan struktur bahasa adalah wartawan dan editor. Wartawan dan editor memiliki kewenangan untuk menentukan pilihan kata yang akan dipergunakan. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang akan diliput dan apa yang harus disembunykian kepada khlayakak.53. Proses-proses tersebut menunjukan adanya kegiatan penyeleksian berita. Proses penyeleksian akan menentukan berita yang akan dimuat dalam media massa selanjutnya, sehingga untuk memproduksi sebuah berita banyak pihak-pihak dan faktor-faktor yang terlibat dan bermain di dalamnya.

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Keberadaan bahasa tidak lagi semata sebagai alat untuk menggambarkan realitas, melainkan bisa menetukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna, mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.54

III.4 Pengertian Konflik

Kalevi J. Holsti mengatakan bahwa konflik timbul akibat ketidaksamaan posisi atas suatu isu, adanya tingkah laku permusuhan, setra diperkuat oleh

53 Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, Hlm 21

54 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, hlm, 12


(38)

38

aksi militer antara pihak-pihak yang bertikai.55 Sementara Louise Kriesberg mendefinisikan konflik sebagai sebuah situasi dimana dua atau lebih pihak mempercayai bahwa mereka mempunyai tujuan yang berbeda (a conflict is a situation in which two or more parties, or their representatives, belives they

have incompatible objective).56

Secara sempit, konflik memiliki pengertian perilaku (behavior) atau aksi

(action) yang tidak bersahabat antara pihak-pihak yang bertikai.57 Dengan

pengertian seperti ini, dapat disimpulkan bahwa konflik berakhir bila perilaku demikian juga berakhir. Namun pendapat ini masih dapat dipertanyakan, karena penghentian perilaku tidak bersahabat tidak selalu berati selesainya konflik. Gencatan senjata, penghentian pernyataan verbal yang ofensif (propaganda/hasutan), mobilisasi, petisi, demonstrasi, boikot, dan sanksi, hanya merupakan indikasi kearah penyelesaian konflik. Namun demikian perlu ditarik batasan antara perilaku tidak bersahabat yang dimaksud dalam konflik, yaitu kekerasan politik/militer (politic/military violence), dengan kejahatan biasa oleh individu atau kelompok (sheer banditary, mutinies and other form of collective violence)58

Aksi-aksi kekerasan yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang bertikai tersebut timbul akibat adanya perbenturan kepentingan (incompability) antara mereka. Inilah pengertian konflik yang lebih umum, yaitu situasi dimana terdapat ketidaksepakatan mendalam antara sedikitnya dua pihak yang

55 K.J. Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, third edit. (eaglewood Cliffs: Prentice Hall Inc, 1977)Hlm, 456

56 Louis Kriesberg, The Sociology of social Conflict (New York : Prentice Hall, 1973. 57 Peter Wallensteen, understanding conflict resolution: war, peace, and the global system. London: sage publication, 13-14


(39)

39

kebutuhan/kepentingan mereka atas suatu sumber daya yang sama dan terbatas tidak dapat terpenuhi dalam waktu yang bersamaan.59

Komponen terakhir dan paling mendasar dari konflik adalah aktor. Dalam hubungan antar manusia, di saat seseorang/sekelompok individu mementukan kebutuhan dasarnya dan menyadari bahwa kepentingan untuk memeuhi kebeutuhannya itu berentangan dengan yang lain, maka dengan sedirinya konflik telah tercipta. Oleh karena itu, latar belakang aktor serta bagaimana pemahaman si aktor atas posisinya dan sumber daya yang dibutuhkannya menjadi elemen yang penting untuk dianalisa. Dalam sistem global, aktor terbagi menjadi dua kategori, yaitu negara dan non-negara. Kelompok pertama mencakup organisasi antar pemerintah (IGOs) seperti PBB, Liga Arab, dan OKI; dan Negara yaitu Inggris, Paletina, Israel, Amerika, Mesir, dll. Kelompok kedua adalah actor non negara, yang erbagi menjadi individu; organisasi non pemerintah (NGOs); kelompok-kelompok kepentingan; dan perusahaan multinasional.

Dengan mengombinasikan ketiga komponan tadi, maka definisi yang lengkap dari konflik adalah :60

“A social situation in which a minimum of two actor (parties) stive to acquire at the same moment in the time an available set of scarce resources.”

“Sebuah situasi sosial dimana terdapat minimal dua aktor/kelompok, yang berupaya memperoleh sumber daya yang terbatas pada saat yang bersamaan.”

59 Ibid., h 15 60 Ibid., h 16


(40)

40

Kata ‘Stive’ pada definisi diatas mencakup segala jenis upaya untuk memperoleh sumber daya yang terbats tadi, bisa dari aktivitas yang paling ringan hingga yang paling keras yaitu berperang. Semantara frasa’at the same

moment in time’ juga penting untuk ditekankan, karena waktu, seberapapun

berharganya, dapat dibagi. Bila salah satu pihak bertikai setuju untuk mendapatkan sumber daya yang diperebutkan pada waktu yang berbeda atau memanfaatkan secara bergiliran, maka tidak akan ada konflik. Sementara frasa

‘available set of scare resources’ yang menimbulkan pembenturan pada konflik

tidak selalu mengacu kepada sumber daya yang memiliki nilai ekonomis.

Incompatibility juga dapat berlaku atas perebutan kekuasaan atas suatu wilayah,

kekuasaan atas rakyat, posisi dalam partai politik atau pemerintahan, dan lain sebagainya.61

Sebagai konsep konflik, maka penelitian ini melangkah pada konflik terberat yang ada yaitu perang. Peperangan berbeda dengan konflik biasa dimana Ia merupakan fenomena dimana kerusakan yang diakibatkannya tidak dapat dihapus dan dikembalikan seperti sebelumnya (irreversible). Perang mencakup pengambilalihan wilayah, pengusiran penduduk asli wilayah tersebut, kematian tentara dan penduduk sipil, perusakan infrastruktur, sumber daya manusia, serta lingkungan. Perang yang merupakan fenomena sosial paling destruktif yang bisa dilakukan manusia, mencakup repsesi sistematik, totalitalianisme, hingga genosida.

Di dalam studi perdamaian (peace studies) terdapat tiga istilah yang perlu dipahami secara baik guna tidak mengacaukan pemahaman, yakni:


(41)

41

pertama, penyelesaian konflik (conflict resolution) merujuk pada sebab-sebab konflik daripada manifestasi konflik. Logika yang bekerja dalam pemahaman ini ialah konflik akan selalu ada di dalam kehidupan manusia karena itu konflik dapat terselesaikan. Kedua, pembasmian konflik, merujuk pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Terjadi Logika yang bermain dalam konteks pembasmian adalah dalam jangka pendek konflik dibasmi dengan kekerasan, tetapi untuk jangka panjang tidak mungkin menggunakan pendekatan ini, karena semakin dibasmi dengan kekerasan, maka konflik itu akan semakin berkobar dan membesar. Ketiga, pengaturan konflik berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik.

1. Pendekatan dinamika konflik

Peter wallesteen mengemukakan tiga pendekatan untuk menjembatani konsep konflik dengan resolusi konflik.62 Pendekatan pertama berpandangan bahwa konflik adalah fenomena sosial yang memiliki jiwa dan mendorong aktor-aktor yang berada didalamnya untuk memposisikan diri saling berhadapan satu sama lain, sesuai dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing, karena konflik memilik siklus hidup yang dinamis, maka resolusi konflik adalah sebuah upaya tanpa akhir untuk mentransformasikan konflik menjadi interaksi positif. Konflik dapat ditransformasikan melalui tiga cara, seperti yang ditunjukan dalam bagan di bawah ini


(42)

42 A

100

50

50 100

Sumber : Peter Wallensteen

Cara pertama, transcendence, (ditunjukana pada titik IV) adalah dimana masing-masing aktor A dan B yang berkonflik memperoleh 100% tujuannya. Cara kedua compromise, adalah dimana masing-masing aktor bertemu di tengah-tengah titik (titik III) dengan mengorbankan sebagian tujuannya. Pada cara ketiga, withdrawals, baik A maupun B melepaskan tujuannya dan menyerahkan kepada pihak ketiga (titik V). Tentu saja transformasi yang paling diinginkan dalam tiap konflik adalah transcendence, walaupun secara metematis hal ini tidak mungkin dicapai karena tidak ada sumber daya yang bernilai 200%. Untuk itu dibutuhkan kerativitas dari semua pihak yang berkepentingan dalam konflik untuk dapat mencapat transcendence.

Langkah yang signifikan dalam pendekatan ini adalah dengan mengadakan dialog antara pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai suatu kesepakatan damai, dengan melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator/fasilitator. Pihak ketiga ini bisa Negara bisa juga organisasi non Negara (NGOs), harus bersifat anti kekerasan (non-voilent) untuk dapat

I A Wins B Loses

IV A Wins B Wins

III Compromise

V A Loses, B Loses,

C Wins

II B Wins A Loses


(43)

43

mengubah dinamika konflik, menjembatani tuntutan-tuntutan yang ada, serta memberikan jalan keluar alternative.

2. pendekatan kebutuhan dasar

Pendekatan ini berpandangan bahwa konflik timbul akibat akumulasi rasa frustasi pihak-pihak yang tuntutannya tidak terpenuhi. Bila mereka tidak menemukan jalan lain untuk memenuhi kebutuhannya, maka pihak-pihak ini mengomunikasikan rasa frustasinya melalui jalur kekerasan. Ini berari konflik menjadi suatu instrument aksi bagi actor-aktor tertentu. Inilah ini dari pendekatan kedua yang memfokuskan kepada kebutuhan dasar manusia. Konflik dan aksi-aksi kekerasan timbul bila individu merasa kebutuhan dasar misalnya keamanan, identitas (tercakup didalamnya factor-faktor etnis, akar sejarah, bahasa, agama/keyakinan, dan budaya), penerimaan/pengakuan dalam masyarakat, partisipasi dalam politik, akses terhap kekeuasaan, dan kebutuhan ekonomi.

Dengan demikian, proses resolusi konflik harus mengidentifikasi factor-faktor mana yang merupakan kebuhan dasar yang tidak terpenuhi serta jalan keluar untuk mengantisipasinya. Namun kemudian timbul pertanyaan, mungkinkah semua tuntutan dan kebutuhan manusia atau sekelompok manusia dapat terpenuhi? Berbeda dengan pendekatan cinamika konflik, penganut perspektif kedua ini cenderung kepada jawaban pesimistis karena kebutuhan manusia tidak mungkin terpenuhi seluruhnya. Akan tetapi, sama seperti pendekatan dinamika konflik yang menyakini bahwa konflik hanya dapat ditransformasikan dan tidak dieliminasi, pendekatan ini berkesimpulan bahwa


(44)

44

resolusi konflik hanya merupakan cara memanajemen konflik dan bukan mengakhirinya.

3. Pendekatan Kalkulasi Rasional

Perspektif ketiga ini mengemukakan bahwa tiap aktor memliki rasionalitas masing-masing, kemampuan membentuk penilaian, mambuat keputusan, menyusun stretegi, dan oleh karenanya dapat mengambil langkah-langkah dan inisiatif yang dapat membawa kepada peperangan. Pemikiran seperti ini tidaklah menyenangkn, namun penganut perspektif ini beragumen bahwa hal sebaliknya, pengakhiran perang dan pencapaian kesepakatan juga didasari oleh rasionalitas aktor tadi.

Aktor-aktor dalam konflik negara, kelompok orang, atau suatu pergerakan nasional, diasumsikan mengambil inisiatif untuk berperang dengan tujuan kemenangan, setelah melakukan kalkulasi internal bahwa keuntungan yang mungkin diraih lebih besar dari kehilangan yang harus dikorbankan. Namun setelah beberapa waktu dan kemenangan tidak juga tercapai, potensial keuntungan menurun sementara biaya peperangan (baik berupa korban jiwa maupun kerugian meteril) meningkat. Dengan demikian actor/inisiator akan melakukan revisi terhadap kalkulasi terdahulu, yang akan merubah arah dan dinamika konflik. Bila pihak-pihak yang berhadapan memiliki kebutuhan yang sama untuk mengevaluasi posisi dna pengorbanan/kerugiannya, maka inilah saat yang tepat untuk memulai proses resolusi konflik.

Pendekatan kalkulasi rasional ini sulit untuk dipahami oleh pihak-pihak di luar konflik karena alasan dibalik pengambilan keputusan atau inisiatif untuk


(45)

45

berperang teramat kompleks. Selain itu, berbeda dengan pendekatan dinamika konflik, perspektif ini menekankan pada signifikansi aktor dan bukan fenomena alami dari interaksi sosial sebagai pengendali konflik. Namun pendekatan ini justru lebih menekankan kepada pentingnya peranan aktif dunia internasional dibandingkan dua pendekatan terdahulu. Dunia luar berperan dalam mempengaruhi kalkulasi aktor-aktor yang berkonflik agar bergerak kearah manajemen atau resolusi konflik. Salah satu cara mempengaruhi adalah melalui

system reward and punishment, seperti misanya pemberlakuan sanksi atau

embargo sebagai tekanan terhadap aktor yang ‘bandel’. Kekuatan militer juga dapat digunakan untuk memperkuat kaualitas tekanan.

Namun cara ini memiliki kelemahan, yaitu hanya memiliki kemungkinan berasal bila yang berkonflik adalah Negara kecil. Lebih lanjut, timbul pertanyaan-pertanyaan : pihak luar mana yang dapat turun tangan menangani konflik tertentu? Yang mana dapat berpartisipasi dlam pencapaian kesepakatan damai yang tahan lama? Apa sebaiknya melibatkan sebanyak mungkin pihak luar atau tidak, dan apaakah mereka harus diundang atau berinisiatif sendiri? Dengan kalkulasi rasional masing-masing, beberapa pihak justru dapat mempersulit pencapaian kesepakatan disebabkan ambisi dan kepentingan pribadinya. Dari segi jumlah, sebanyak mungkin partai yang terlibat terlihat lebih baaik dan demokratis. Namun, negosiasi dalam skala besar dapat dilihat sebagai penyia-nyia waktu dan sumber daya. Sedangkan perspektif ini menekankan kepada pentingnya waktu yang tepat (ripe moment). Kesempatan untuk memulai proses perdamaian harus diraih dengan aksi/maneuver politik yang cepat dan tepat, atau momentum untuk itu akan terlewatkan.


(46)

46 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bagi penelitian kualitatif, realitas tidak hanya satu. Setiap peneliti menciptakan realitas sebagai bagian dari proses penelitian, bersifat subjektif dan hanya berada dalam referensi peneliti. Penelitian kualitatif mengamati keseluruhan proses yang dipercaya bahwa realitas itu bersifat holistik (menyeluruh) dan tidak dapat dibagi-bagi.63

Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar ilmiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (Entity). Hal ini dilakukan, menurut Lincon dan Guba (1985, 39) karena ontologi alamiah mengenai adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi : (1) Tindakan pengamatan memepengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman. (2) Konteks sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu mstruktur nilai kontekstual bersifat determinatif terhadap apa yang akan dicari.64

Penelitian ini menggunakan analisis interpretatif. Menurut pandangan media tradisional media dilihat sebagai alat untuk menyalurkan informasi. Hal

63 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif;Prosedur, Teknik, dan Teori Gounded, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2007, h. 35

64


(47)

47

berbeda dalam pandangan interpretatif yang melihat makna dari apa yang ditampilkan oleh media.65

Isi yang media tampilkan menurut komunitas interpretatif adalah hasil dari konstruksi dan setiap orang akan memiliki pandangan terhadap produksi media. Sebagai contoh. Tayang Sesame street yang merupakan tayangan anak-anak. Banyak anak-anak yang menonton Sesame Street hanya untuk mengisi waktu luang, tetapi banyak juga anak-anak yang menonton kemudian didiskusikan oleh orang tua mereka, dan memaknai tayangan itu selain hiburan.66

Thomas Lindlof memberikan tiga dimensi interpretative67 :

1. Mengartikan isi media dari dua media yang berbeda dan memiliki isu yang sama.

2. Bagaimana efek dari isi media tersebut kepada masyarakat, dan 3. Bagaimana media mengonstruksi berita tersebut.

B. Metode Penelitian

Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisis framing menurut Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing merupakan salah satu analisis isi kualitatif yang berbeda dengan isi tradisional. Teks berita di sini dilihat sebagai hasil konstruksi realitas, sehingga dalam pengamatannya melibatkan pula proses produksi teks berita.

65

Stephen W. Litteljhon, Theories of Human, Communication, USA, Wadsworth, Thomson Learrning, 2005, h. 200

66

Ibid., h 201

67


(48)

48

Setelah beberapa kurun waktu yang cukup lama, pendekatan positivis mendominasi penelitian ilmiah, kini pendekatan positivis sudah mulai digantikan dengan pendekatan lain yang lebih kritis. Analisis framing merupakan salah satu bentuk penelitian baru yang sedang berkembang dan termasuk kedalam paradigma konstruksionis.

Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas seperti: peristiwa, actor, kelompok atau apapun yang dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut dibentuk melalui proses konstruksi.68 Proses konstruksi realitas itu sendiri pada akhirnya menghasilkan mekana tertentu. Hasilnya dapat kita cermati dari berbagai media massa, walaupun banyak media memberitakan peristiwa yang sama, namun makna yang akan diterima khalayak akan berbeda.

Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita

(story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara

melihat” terhadap realitas yang disajikan oleh berita. “cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas.69

Sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan anlisis isi kuantitatif. Dalam analisis kuantitatif, yang ditekankan adalah isi (content) dari suatu pesan/teks komunikasi. Sementara dalam analisis framing, yang menjadi pusat perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama melihat bagaimana pesan/peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana

68

Eriyanto, Konstruksi Ideologi dan Politik Media, h. 3

69


(49)

49

wartawan mengonstruksi peristiwa dan menyajikan kepada khalayak pembaca.70

Menurut Pan dan Kosicki ada dua konsepsi dalam framing yang saling berkaitan, pertama, dalam konsepsi psikologis. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu, di mana informasi tertentu ditempatkan secara lebih menonjol dalam kognisi seseorang. Kedua, konsepsi sosiologis. Pandangan sosiologis melihat pada bagaiamana konstruksi sosial atas realitas. Frame dalam pandangan sosiologis merupakan sebuah proses seseorang menglasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya, sehingga realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat di mengerti karena sudah dilabeli dengan label tertentu.71

Pan dan Kosicki menggabungkan konsepsi psikologis dengan konsepsi sosiologis. Menurut mereka kedua konsepsi tersebut tidak dapat dipisahkan karena pada dasarnya framing melibatkan kedua unsure tersebut. Dalam menganalisis isi teks berita, pendekatan ini membagi perangkat framing menjadi empat struktur besar.

Metode framing Pan dan Kosicki menfokuskan pada cara wartawan dalam memaknai suatu peristiwa, sehingga perangkat wacana yang digunakan oleh wartawan menjadi perhatiannya. Melalui perangkat

70

Ibid., h. 10-11

71


(50)

50

wacana seperti kata, kalimat, lead, foto, atau gambar merupakan alat untuk memahami media dalam mengemas berita.

Dalam pendekatan ini, pendekatan framing dibagi dalam empat struktur besar. Keempar struktur tersebut adalah sintaksis, struktur skrip, struktrur tematik, dan struktur retoris. Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media. Pendekatan ini dapat digambarkan ke dalam skema seperti di bawah ini:

Sruktur Pada Perangkat Framing

Struktur Unit yang diamati

Sintaksis Headline, lead, latar, informasi,

kutipan sumber, pernyataan, penutup

Srip 5W + 1H

Cara Wartawan Mengisahkan Fakta

Tematik Paragraf, proposisi, kalimat,

hubungan antar kalimat. 1. Skema Berita

PERANGKAT

2. Kelengkapan Berita

3. Detail 4. Maksud 5. Nominalisasi 6. Koherensi 7. Bentuk Kalimat 8. Kata Ganti


(51)

51

Retoris Kata, idiom, gambar/foto, grafik

Cara wartawan Menekankan fakta

Sintaksis72

Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita seperti headline, lead, latar informasi, sumber atau penutup yang berada dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Dalam penulisan jurnalistik dikenal struktur piramida terbalik. Struktur piramida terbalik tersebut yang bias disebut sebagai salah satu bentu sintaksis.

Headline merupakan aspek sintaksis yang mendapat perhatian lebih sebab headline mempunyai pengaruh terhadap isi. Dari headline sebuah peristiwa akan dibawa dan dimengerti. Lead adalah perangkat sintaksis lainnya. Lead umumnya memberikan suatu sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberit€akan. Sedangkan latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantic atau arti kata yang ingin ditampilkan. Latar belakang yang dipilih akan menentukan cara pendang khalayak. Latar dapat pula dijadikan pembenar atas suatu ide atau gagasan tertentu yang tujuannya untuk menyerang kelompok lain dan mempertahankan pendapat kelompoknya sendiri.

72

Disarikan dari Eriyanto, Bimo Nugroho, Frans Sudiasis, Politik Mengemas Berita h. 31-33 9. Leksikon

10. Grafis 11. Metafora 12. Pengandaian


(1)

114

memberitakan bahwa didekat tank tersebut ada sebuah “mortir” yang jatuh dan menewaskan warga Palestina. Dalam pada paragraf ke tiga dijelaskan bahwa penjuang Hamas menggunakan mortir untuk melawan Israel. Hal ini bisa diartikan Kompas ingin memberitakan tewasnya warga Palestina disebabkan oleh pejuang Hamas yang melempar mortir dan bukan oleh tentara Israel.

Tema ketiga, pertemuan Ehud Olmert dan Presiden Mahmud Abbas. Dalam tema yang ketiga ini, walaupun berada di paragraf terakhir, penulis merasa ini penting. Kompas menuliskan pembicaraan dirinya dengan Abbas tetap akan dilaksanakan, tetapi Kompas tidak menjalaskan secara eksplisitik maupun implicit pembicaraan tentang apa? Apakah pembicaraan mengenai serangan ke Gaza, pembicaraan rutin yang sering mereka lakukan? Ataukah pembicaraan mengenai konferensi Moskow seperti yang dibicarakan Republika. Kompas tidak menuliskan bagaimana Respon Abbas atas serangan yang terjadi di Gaza. Hal ini menjadi berbeda ketika kita melihat berita Republika yang menuliskan Abbas menaggapi masalah ini dengan serius. Ini bisa berati bahwa kompas ingin menggambarkan secara implicit, bahwa presiden Abbas tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan Hamas di Gaza. Ataukah pertemuan itu menjadi sinyal bahwa Abbas dari kelompok Fattah memang memiliki kedekatan dengan Olmert.

Frame Jalur Gaza Memanas Israel Kerahkan Tank dan Buldoser guna Membalas Hamas, dalam teks didukung dengan penekanan-penekanan tertentu pada level retoris. Retorika yang banyak dipakai adalah pemaparan kronologis mengenai peristiwa serangan balasan dari Israel tersebut.


(2)

115

Frame : Jalur Gaza Memanas Israel Kerahkan Tank dan Buldoser guna Membalas Hamas

Elemen Strategi Penulisan

Skematis Kompas memberitakan bahwa serangan Israel ke Gaza merupakan serangan balasan atas apa yang dilakukan oleh Hamas. Kompas Tidak menuliskan apakah ada pernyataan dari Presiden Abbas terkait serangan ke Gaza tersebut. Kompas lebih fokus memberitakan tentang kronologis serangan ke Gaza

Skrip Tidak ada tanggapan secara langsung dari kedua belah pihak, hanya berupa kutipan-kutipan saja

Tematik (1) penjelasan mengenai kronologis serangan Israel, (2) penjelasan mengenai korban atas serangan Gaza, (3) pertemuan Ehud Olmert dan Presiden Mahmud Abbas

Retoris Penekanan pada aspek bagaimana kronogis serangan ke Gaza dibadingkan keterangan langsung dari pihak Palestina maupun Israel menanggapi persitiwa isi.

Hasil Perbandingan Frame

Dari kedua berita diatas, Kedatangan Jimmy Carter maupun Serangan di Jalur Gaza dipandang berbeda sekali oleh Kompas dan Republika. Kompas memandang kedatangan Carter hanya sebagai misi perdamaian di Palestina,


(3)

116

tidak ada yang penting dari pertemuan tersebut. Sedangkan Republika melihat kedatangan Carter sebagai sesuatu yang positif untuk perdamaian di Palestina dan Israel. Hal ini juga terjadi terhadap berita menegenai serangan ke Gaza. Kompas dalam beritanya menuliskan bahwa serangan ini dimulai oleh Hamas dan Israel membalas dengan serangan pula. Sedangkan Republika menilai bahwa serangan ke Gaza oleh tentara Israel sudah semakin parah “menggila”. Dari pemaparan sederhana ini saja sudah terlihat bahwa setiap media memiliki poin of view tersendiri dalam memandang sebuah perisiwa.

Kini, tidak ada sesuatu yang bebas nilai di dalam media dan kini, media bukan hanya sekedar menjadi channel for transmission information. Menurut penulis kini media sudah menjadi channel for transmission ideology, meanings, opinion, and at all. Dan itu semua sudah kita buktikan dari analisis framing kedua berita tersebut.

Mengutip pernyataan Habermas, tidak ada sesuatu yang bebas nilai di dalam media. Ini menjadi sebuah keniscayaan setelah kita membandingkan dua berita dengan isu yang sama dikonstruksi berbeda oleh Republika dan Kompas. Perbedaan itu dalam pandangan konstruktivis menjadi hal yang wajar, karena media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam kepentingan yang ada di dalam dan di luar media. Kepentingan-kepentingan eksternal dan internal ini mengharuskan media terus bergerak dinamis di antara kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini menyebabkan media massa sulit menghindari bias-bias dalam penyampaian beritanya.


(4)

117

Isi media sangat erat ditentukan dari bagaimana media itu didirikan?, siapa yang berada dibelakang media itu?, dan apa yang ingin dicapai oleh media tersebut. Barangkali itulah sebabnya, seorang wartawan politik Amerika yang sangat terkenal, Walter Lippmann, mengatakan bahwa antara berita dan kebenaran adalah dua hal yang berbeda dan harus dibedakan dengan tegas. Bahkan ia mengatakan, dalam tradisi pers Amerika yang sangat profesional pun, ada ungkapan, “Kami lebih sering merumuskan baru kemudian mencari berita, ketimbang mencari berita dulu baru merumuskan”4

Sama halnya ketika kita membahas mengenai realitas berita Islam di media massa. Islam adalah agama, dan agama termasuk kedalam level ideolgi yang mempengaruhi dalam penulisan berita. Realitas tentang berita islam di media massa akan dikonstrusi berbeda-beda oleh setiap media tergantung kepentingan dari media massa tersebut.

Berita belum tentu fakta, tetapi jika fakta bisa berarti berita. Berita lebih diidentikan dengan realita. Dimana realita dalam berita adalah sesuatu yang dibentuk, yang diciptakan oleh orang dibalik media. Islam menjadi hot spot dalam setiap pemberitaan, terlebih di Indonesia. Setiap media memiliki kepentingan sendiri-sendiri untuk membentuk citra islam kepada masyarakat, karena media berfungsi juga dalam hal pemebentukan citra.

4


(5)

118 BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dengan menganalisis berita yang ditulis di Kompas dan Republika, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Bahwa setiap media memiliki point of view tersendiri dalam setiap penulisan berita. Berita yang sampai kepada khalayak tidak serta merta adalah benar. Sebelum sampai ke khalayak berita itu mengalami proses konstruksi oleh pekerja media. Pada saat itulah fakta yang ada diolah sedemikan rupa, dimasukkan ideologi-ideologi media, ditentukan tujuan dari berita itu, dan berusaha agar berita tersebut dapat membentuk opini masyarakat sesuai dengan kehedak media. Maka menjadi sesuatu yang sangat realistis ketika membandingkan berita Konflik Palestina dan Israel anda akan menemukan makna berita yag berbeda. Itulah realitas dalam media.

2. Berita Islam juga tak luput dari proses konstruksi karena Islam merupakan isu yang sangat mudah terbakar. Dengan isu agama ini kita bisa melihat ideologi dari suatu media, karena agama merupakan salh satu unsur yang mempengaruhi penulisan berita. Berita islam akan dikonstruksi sesuai dengan kepentingan-kepetingan yang ada di media tersebut.


(6)

119 B. Saran

Kepada pembaca penulis sarankan untuk dapat memahami makna, bukan sekedar dari apa yang media buat. Untuk itu diperlukan kecermatan dalam membaca sebuah berita dan mencari informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai berita yang anda beca. Jangan sampai anda disesati oleh apa yang media tulis, karena saat ini berita belum tentu adalah fakta.