Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942)

EKSISTENSI PELABUHAN CIREBON:
STUDI EKONOMI POLITIK MASA HINDIA BELANDA
(1930-1942)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:
Firman Faturohman
NIM. 1110022000003

PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1437 H

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1.


Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.

3.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 November 2015


Firman Faturohman

i

EKSISTENSI PELABUIEIAN CIREBON:
STUDI EKONOMI POLITIK MASA HIN]MA BELANDA
(1930-1942)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:
Firman Faturohman
NIM. 1110022000003

Pembimbing II,

Pembimbing I,


Imas Emalia, M. Hum.
NIP. 19730208 199803 2 001

PROGRAM STUD! SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATUILLAH
JAKARTA
2015M11437H

11

Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi dengan judul EKSISTENSI PELABUHAN CIREBON: STUIM
EKONOMI POLITIK MASA HINDIA BELANDA (1930-1942) telah diujikan
dalam sidang muaqasyah Fakultas Adab dan Humanioran Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 November 2015. Skripsi mi diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada
program studi Sejarah Kebudayaan Islam.
Jakarta, 16 November 2015


Sidang Muaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,

Sekretaris Merangkap Anggota,

H. Nurhasan, MA.
NIP. 19690724 199703 1 001

NIP.,19750417 2005012 007

Anggota,
Penguji II,

Penguji I,

I
Dr. Shdatlioto Abd. Hakim, MA.
NIP. 19590203 198903 1 003

NIP. 19541010 198803 1 001


Pembimbing,
Pembimbing I,

Pembimbing II,

Imas Emalia, M. Hum.
NIP. 19730208 199803 2 001

19550304 198503 1 002

111

DEDIKASI
Didedikasikan untuk Ibundaku Yoyoh Khoeriyah, Ayahandaku Indra Subekti dan
adik tercintaku Farah Nur Arafah.

iv

UCAPAN TERIMA KASIH


“Setiap tulisan memiliki sejarahnya sendiri”
Kutipan tersebut sedikitnya bisa menggambarkan tentang perjuangan serta
perjalanan panjang penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Alhamdulillah adalah
kata yang terus terucap dari penulis ketika sudah menyelesaikan kewajiban di
akhir masa studi dengan membuat sebuah karya ini.
Banyak

rintangan

dan

hambatan

yang

penulis

hadapi


dalam

merampungkan skripsi yang berjudul: Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi
Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942). Namun, semua ritangan
dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap
dengan usaha, kerja keras dan bantuan “Tangan-tangan Allah” yang ada di manamana untuk membantu hamba-Nya yang mengalami kesulitan. Oleh sebab itu
penulis ingin menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada mereka semua,
di antaranya:
1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
2. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah Kebudayaan
Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam
beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga
segalanya menjadi mudah
3. Ibu Sholikatus Sa‟diyah M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah
Kebudayaan Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi

v

mahasiswa di prodi SKI tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat

menyurat ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang
lebih baik.
4. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. selaku dosen pembimbing I yang
memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus
mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan
yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau.
5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing II sekaligus
pembimbing penulis dalam beberapa event nasional seperti Pekan
Nasional Cinta Sejarah (PENTAS) dan Arung Sejarah Bahari (AJARI).
merupakan dosen yang membuka wawasan awal penulis tentang dunia
kemaritiman.
6. Mas Dr. Didik Pradjoko, M.Hum. Dosen Departemen Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya (FIB) di Universitas Indonesia (UI) yang ahli di bidang
sejarah maritim, yang telah meminjamkan buku-buku terkait sejarah
maritim dan membuka wawasan penulis lebih luas lagi tentang sejarah
kemaritiman.
7. Penguji I, Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum. Guru Besar Sejarah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dosen yang mengispirasi dan menambah
wawasan penulis terkait keilmuan sejarah terutama Sejarah Islam. Terlebih
tentang pengetahuan mengenai ilmu Arkeologi sebagai ilmu bantu sejarah

yang membuat penulis berminat untuk terjun di dalamnya
8. Penguji II, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. dosen sejarah sekaligus
teman bertukar pikiran penulis saat menjabat sebagai Ketua Unit Kegiatan

vi

Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (FORSA) UIN Jakarta
yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis meskipun aktif di
organisasi namun wawasan keilmuan harus tetap dijaga dan terus diasah.
9. Dr. Saidun Derani, MA. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi
serta bantuan buku-buku yang amat bermanfaat selama masa perkuliahan.
10. Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum. Guru Besar Filologi Islam
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun
belum pernah belajar langsung dengannya dalam perkuliahan formal
namun merupakan salah seorang dosen yang mengispirasi penulis.
Diskusi-diskusi singkat dalam beberapa pertemuan membuat penulis
termotivasi untuk terus belajar dan bekerja keras.
11. Dr. Bart Luttikhuis peneliti dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en
Volkenkunde (KITLV) Belanda, yang secara tidak sengaja bertemu saat

penulis mencari sumber di ANRI dan berbicara banyak hal tentang sejarah
di Indonesia serta membuka lebih luas lagi wawasan penulis mengenai
berbagai hal terkait kesejarahan.
12. Keluargaku, Ibundaku Yoyoh Khoeriyah, Ayahandaku Indra Subekti dan
adik tercintaku Farah Nur Arafah yang selalu memberikan dukungan
setiap hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan di rumah
ini menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter.
13. Keluarga Om Abdul Radja Sutjahjo Mukadi dan Tante Sandra yang tak
henti-hentinya memberikan wawasan serta motivasi luar biasa tentang

vii

berbagai hal mengenai pelajaran hidup dengan berbagai sudut pandang
yang sedikit banyaknya telah membentuk pribadi penulis.
14. Om Max Yusuf Alkadrie, keluarga dari Kesultanan Pontianak yang selalu
mensupport penulis agar terus menajdi pribadi lebih baik dan sejarawan
yang berani mengungkap fakta.
15. Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang tak bosanbosannya membantu penulis dalam penelusuran sumber dan membantu
dalam memahami isi dari arsip-arsip masa lalu terutama Bu Hapsari, Bu
Rini, Mba Nia, Mas Rudi dan Saudari Tantri (teman seperjuangan penulis

dari UGM yang kini telah meniti karir di ANRI).
16. Pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang
membantu penulis dalam penelusuran sumber buku dan surat kabar masa
lalu.
17. Bapak Ridwan selaku Kepala Sekolah MAN Serpong yang mengizinkan
penulis untuk menimba pengalaman mengajar dan berbagi ilmu dengan
adik-adik di MAN Serpong, tak lupa juga Bunda Novry dan Pak Sukoyo,
guru yang selalu memotivasi penulis dan mengajarkan banyak hal selama
menjadi pengajar di MAN Serpong
18. Saudara Hanafi Wibowo, S.Hum. sahabat penulis, teman diskusi, sharing
dan bertukar pikiran mengenai berbagai hal dan membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
19. Saudara Ir. Endi Aulia Garadian, S.Hum. Sahabat penulis, teman satu kost,
teman diskusi dan bertukar pikiran yang juga membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.

viii

20. Saudari Tika Ramadhini, S.Hum. teman penulis dari Universitas Indonesia
yang kini sedang melanjutkan studi S2 di negeri Kincir Angin Belanda,
yang memberikan penulis sumber-sumber Belanda serta diskusi terkait
sejarah maritim.
21. Saudari Dini Nurlaelasari S.Hum, teman penulis dari Universitas
Padjajaran (UNPAD) Bandung yang kini sedang melanjutkan studi S2 di
universitas yang sama, teman diskusi yang baik dengan prespektif sejarah
yang berbeda dan memberikan sumber-sumber tentang Cirebon.
22. Saudara Dio Rama Aditia, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta yang telah mau meluangkan waktunya untuk menelusuri jejak
masa lalu di Cirebon.
23. Saudara Abel Jatayu, S.Hum. mahasiswa Universitas Diponogoro
(UNDIP) Semarang yang telah membuka koneksi dengan Prof. Singgih
Trisulistyono dan mengusahakan pengiriman beberapa karya dibidang
maritim.
24. Teman-teman seperjuangan di SKI 2010

dan senior-juniornya yang

saking banyaknya sehungga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun
penulis merasa harus berterima kasih kepada Nana dan Johan sahabat
penulis yang selalu penulis repotkan selama masa perkuliahan dan
penulisan skripsi ini.
25. Teman-teman dari jurusan lain di UIN Jakarta seperti Ade Mulyawan
(Ilmu Politik), Teh Indah (Dirasat Islamiyah), Zia (Bahasa Sastra
Arab/FIM),

Mutiara

(Ilmu

Keperawatan),

Gita

dan

Iim

(Ilmu

Perpustakaan), Lala (Psikologi UIN Bandung), Silvia (Komuniksi UMJ)

ix

dan Aziz (Ushuluddin UIN Jogja) yang sudah banyak berbagi pengalaman
dan kisah sehingga penulis dapat mengambil ilmu dari disiplin-disiplin
ilmu mereka masing-masing.
26. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah Kebudayaaan
Islam (SKI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM) Fakultas Adab dan
Humaniora (FAH) tempat penulis meluangkan waktu untuk berproses
dalam organisasi.
27. Teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga
Mahasiwa (FORSA) tempat penulis belajar untuk memimpin sebuah
organisasi, terutama untuk teman seperjuangan di FORSA seperti Lina,
Ojan, Aceng, Ines dan Mazda serta Bang Adi selaku pembina.
28. Teman-teman

Ikatan

Himpunan

Mahasiswa

Sejarah

Se-Indonesia

(IKAHIMSI) yang sudah sering membantu terutama Sekretaris Jendral
(periode 2011-2013) sdr. Unang dari Universitas Tadulako (UNTAD)
Sulawesi Tengah, Sekretaris Jendral (periode 2012-sekarang) sdr.
Samantha dan mas Erwin dari Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta yang banyak membantu penulis dan membuka jalan penulis
untuk bisa masuk mengkaji sejarah dari berbagai prespektif dan sudut
pandang di seluruh Indonesia.
29. Alumni Pekan Nasional Cinta Sejarah tahun 2011 di Palu - Sulteng
terutama bang Ari dari Universitas Negeri Medan (UNIMED) Sumatera
Utara.

x

30. Alumni Arung Sejarah Bahari tahun 2012 di Lombok dan Sumbawa –
Nusa Tenggara Barat yang mempertemukan penulis dengan mahasiswa
sejarah dari seluruh Indonesia yang membahas tentang maritim.
31. Alumni Forum Indonesia Muda (FIM) terutama FIM 16 dan FIM regional
dejapu tempat kumpulnya orang-orang hebat dari seluruh penjuru
Indonesia dimana motivasi dan aksi nyata untuk membangun negeri
tercinta Indonesia akan terus menyala terutama untuk Pak Elmir, Bunda
Tatty, Kak Ivan, Adik, Mufti, Arif, Jali, Mubin, Gita, Nafizah, Rias, Euis,
Ninette, Risa, Tear, Cenna, Dira dan semua keluarga besar FIM.
32. Alumni Ekspedisi Nusantara Jaya tahun 2015 rute Makasar – Sorong –
Saumlaki – Kupang, yang membuat perjalanan di Kapal Republik
Indonesia (KRI) Banda Aceh 593 menjadi lebih berwarna dalam
mengarungi lautan Indonesia selama 1 (satu) bulan untuk menjalankan
tugas negara serta melihat langsung gambaran-gambaran kemaritiman di
Indonesia, terutama kepada bang Acho dari Shabat Pulau, Mba Yusnita,
Adam, Duta, Bang Rizal dari Korps Alumni Kapal Pemuda Nusantara dan
Kemenpora serta Bang Adityo dari Jurnal Maritim dan Asosiasi Pemuda
Maritim Indonesia (APMI) teman penulis bertukar pikiran tentang
kemaritiman.

xi

ABSTRAK
Firman Faturohman
Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda
(1930-1942)
Studi ini mengkaji Pelabuhan Cirebon yang menjadi jantung dari
perekonomian dan politik masa pemerintahan Hindia Belanda untuk daerah Jawa
Barat. Hampir di sebagian besar wilayah di Nusantara basis kekuatan politik dan
ekonomi dari Hindia Belanda terletak di daerah pesisir, tak terkecuali Cirebon. Di
saat itu, ketika awal abad ke-20, penguasa lokal Cirebon pun telah kehilangan
legitimasi politiknya yang diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Keinginan bangsa penjajah yang terus menerus mengeksploitasi kekayaan
alam Cirebon, salah satunya dengan cara membangun industri gula secara besarbesaran yang kala itu menjadi komoditas primadona di pasaran dunia. Hal tersebut
membuat aktifitas maritim yang terjadi di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya
semakin ramai dan terus meningkat sampai masa depresi ekonomi melanda dunia
tahun 1930. Saat inilah dimulainya masa malaise (kesengsaraan) yang banyak
melanda kaum pribumi. Selain itu, pada masa ini dapat dilihat pula usaha yang
dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk tetap menjadikan Pelabuhan Cirebon
eksis demi menunjang kepentingan negaranya.
Tema penulisan sejarah yang diambil adalah sejarah maritim, dengan
menggunakan pendekatan ekonomi politik penulis berusaha menjelaskan
dinamika yang terjadi di Pelabuhan Cirebon sebelum dan saat terjadinya depresi
ekonomi yang berdampak kepada lapisan masyarakat di Cirebon. Penulis juga
menemukan adanya kepentingan dari pemerintah Hindia Belanda dan kaum
pribumi terhadap Pelabuhan Cirebon, terutama pada komoditas gula dan
tembakau yang mempunyai pengaruh kuat bagi eksistensi Pelabuhan Cirebon di
saat depresi ekonomi melanda dunia. Selain itu, dapat dilihat dinamika gerakan
politik yang terjadi di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya untuk menuntut keadilan
dari pemerintah Hindia Belanda. Dijelaskan pula beberapa organisasi massa
pergerakan yang berjuang menuntut kemerdekaan dari pemerintah Hindia
Belanda. Gerakan itu terus berlanjut hingga akhirnya pasukan tentara Jepang
datang untuk pertama kalinya di Pulau Jawa, dengan berlabuh di sekitar daerah
hinterland Pelabuhan Cirebon untuk melakukan penyerangan terhadap Hindia
Belanda.
Kata kunci: Pelabuhan Cirebon, Hindia Belanda, Gula, Depresi Ekonomi,
Sejarah Maritim.

xii

KATA PENGANTAR
Asia Tenggara merupakan wilayah yang menjadi tujuan dari para bangsa
di dunia, baik dari Eropa, Asia maupun Timur Tengah. Asia tenggara sebagai
perlintasan jalur laut internasional yang melewati semenanjung Malaka hingga ke
Maluku telah membuat peradaban-peradaban baru dan hegemoni penguasa lokal
terdengar hingga ke luar wilayah yang sempat disebut negeri bawah angin ini, bila
penulis meminjam term dari buku karya Anthony Reid.
Keadaan masyarakat yang beragam suku namun ramah dan terbuka kepada
bangsa pendatang, serta tempat asal dari komoditas-komoditas yang laku di
pasaran dunia pada saat itu membuat banyak pendatang terutama dari Eropa
dengan menggunakan jalur laut. Mereka berlomba-lomba mencapai negeri yang
subur dan menyimpan kekayaan alam ini. Beberapa kekuatan besar Eropa seperti
Portugis, Belanda, Inggris dan Spanyol

yang silih berganti berusaha

menancapkan hegemoni kekuasaanya di beberapa wilayah Asia Tenggara untuk
mengeruk kekayaan alam demi kesejahteraan negeri-negeri mereka di Eropa.
Terlepas dari hal di atas, penulis mengambil kajian wilayah Asia Tenggara
atas dasar peminatan kajian sejarah yang ditawarkan di Fakultas Adab dan
Humaniora (FAH) yaitu kajian Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam kajian
skripsi ini penulis mengambil wilayah kajian Indonesia, pesisir utara Pulau Jawa
yakni daerah Cirebon yang merupakan salah satu bandar jalur sutera. Kajian ini
penulis batasi awal abad ke-20 saat depresi ekonomi melanda dunia sampai
berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda 1942. Untuk itu skripsi ini penulis beri
judul Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia
Belanda (1930-1942).

xiii

DAFTAR ISI
LEMBAR PERYATAAN.....................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
DEDIKASI ............................................................................................................ iv
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................... xii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xviii
BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 20
C. Tujuan dan Manfaat ....................................................................... 21
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 23
E. Kerangka Teori dan Pendekatan .................................................... 25
F. Metode Penelitian .......................................................................... 27
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 32

BAB II

KONDISI GEOGRAFIS DAN MASYARAKAT DI CIREBON
TAHUN 1930-1942 ............................................................................. 34
A. Kondisi Geografis .......................................................................... 34
B. Keadaan Masyarakat Cirebon........................................................ 40
1. Masyarakat Pesisir .................................................................... 40
2. Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah
Hinterland)................................................................................49

BAB III KONDISI PELABUHAN CIREBON 1930 - 1942 ........................... 56
A. Penduduk Kota Pelabuhan Cirebon ............................................... 56
B. Peran Penting Pelabuhan Cirebon bagi Pemerintah Hindia Belanda
....................................................................................................... 60
C. Pelabuhan Cirebon dan Aktivitas Ekspor – Impor ........................ 71

xiv

D. Sarana Pelabuhan dan Pendistribusian Komoditas utama Ekspor –
Impor di Pelabuhan Cirebon .......................................................... 85
BAB IV GERAKAN POLITIK MASYARAKAT CIREBON HINGGA
KEDATANGAN JEPANG ................................................................ 90
A. Munculnya Gerakan Politik Masyarakat dan Elite Modern di
Cirebon .......................................................................................... 90
B. Pergerakan Politik Pasca Depresi Ekonomi 1930 ......................... 98
C. Awal Mula Kedatangan Militer Jepang di Pulau Jawa ............... 102
BAB V

PENUTUP ......................................................................................... 105
A. Kesimpulan .................................................................................. 105
B. Saran ............................................................................................ 108

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111
LAMPIRAN ....................................................................................................... 120

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Indeks pendapatan perkapita penduduk Pribumi Jawa dan
Madura (1929 = 100 Gulden)

47

Tabel 2

Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen)

48

Tabel 3

Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland
Pelabuhan Cirebon

53

Tabel 4

Penduduk Cirebon

58

Tabel 5

Pelabuhan Induk dan Binaan di Hindia Belanda

67

Tabel 6

Nilai Eksor – Impor tahun 1859 -1869

72

Tabel 7

Presentase Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon Tahun 1914

75

Tabel 8

Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1929

76

Tabel 9

Harga Gula per 100 kg Tahun 1920-1934

78

Tabel 10

Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1932

79

Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14

Paket Volume Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937
Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937
daftar nilai impor Pelabuhan Cirebon tahun 1929
Ikan Asin yang dibongkar di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung
Priok

xvi

80
80
83
85

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1

Pendapatan Perkapita

48

Grafik 2

Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen)

49

Grafik 3

Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland
Pelabuhan Cirebon

54

Grafik 4

Penduduk di Cirebon

58

Grafik 5

Ekspor Pelabuhan Cirebon 1903 -1929

74

Grafik 6

Impor Pelabuhan Cirebon 189-1937 (Gulden)

82

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Peta Gemeente Cirebon Masa Kolonial

37

Gambar 2

Peta Pulau Jawa dan Pembagian Residensi

38

Gambar 3

Foto perahu-prahu nelayan pribumi di Pelabuhan Cirebon

41

Gambar 4

Gambar sero untuk menangkap ikan

43

Gambar 5

Gambar jaring payang

43

Gambar 6

Kapal nelayan masyarakat di pelabuhan Cirebon

44

Gambar 7

Jaring muroami

45

Gambar 8

Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1940

56

Gambar 9

Keadaan Pelabuhan Cirebon saat kapal-kapal berlabuh di Pelabuhan

65

Gambar 10

Foto pengawas Pelabuhan Cirebon sedang mengawasi kapal-kapal yang
sedang berlabuh

66

Gambar 11

Kantor Pelabuhan Cirebon

70

Gambar 12

Salah satu kapal pengangkut komoditas berlabuh di Pelabuhan Cirebon

73

Gambar 13

Keadaan bongkar muat kapal di Pelabuhan Cirebon

73

Gambar 14

Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1930

86

Gambar 15

Foto keadaan rel kereta api yang bermuara di Pelabuhan Cirebon untuk
kebutuhan sarana distribusi komoditas

87

Gambar 16

Kereta api SCS di Statsiun Pelabuhan Cirebon

88

xviii

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Wilayah perairan Indonesia mencakup hampir dari 2/3 wilayah

keseluruhan dari Negara Indonesia. Fakta tersebut membuat Negara Indonesia
dikenal sebagai archipelagic state (negara bahari atau buana bahari).1 Sebagai
negara bahari, Indonesia seharusnya tidak menggunakan kata negara kepulauan
namun lebih menggunakan konsep “laut utama” atau heartsea karena setidaknya
ada tiga zona laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu
Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda.
Ketiga zona laut utama di Indonesia yang penulis sebutkan di atas, wilayah
kawasan Laut Jawa meliputi kawasan Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan
Nusa Tenggara merupakan kawasan jantung perdagangan laut di wilayah
Indonesia bahkan Asia Tenggara.2 Menurut penulis kajian sejarah mengenai
kawasan laut dan hal-hal yang terkait di dalamnya, merupakan aspek kajian
sejarah maritim yang tepat bila dikaji menggunakan pendekatan ekonomi politik.
Saat ini penulisan sejarah maritim sangat penting bagi penemuan kembali
jati diri Negara Indonesia yang kini di tahun 2014 telah memiliki visi sebagai
“poros maritim dunia”, artinya Indonesia menjadi pusat dari kegiatan maritim di

Archipelagic berasal dari kata “archipelagus” yang berasal dari kata archi yang berarti
utama dan pelagus yang berati laut, sehingga memiliki arti “laut utama”. Maka dapat disimpulkan
archipelagic state bukan negara kepulauan melainkan negara bahari. Lihat A. M. Djuliati Suroyo,
dkk., Sejarah Maritim Indonesia 1 Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17
(Semarang: Jeda, 2007), h. 9. Lihat juga A. B. Lapian, “Dunia Maritim sebagai Unit Kajian
Sejarah”. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Metode Penelitian dan
Pengembangan Kurikulum Sejarah di Surabaya, 13-17 Juli 2005, h. 4.
2
Suroyo, Sejarah Maritim, h. 10.
1

1

dunia. Maka penulisan sejarah yang berorientasi kepada sejarah maritim menjadi
sebuah kebutuhan wajib dipenuhi civitas akademika tidak terkecuali di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Namun, sangat disayangkan bila melihat 34.202 koleksi
skripsi di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta3 masih sedikit
pembahasan mengenai sejarah maritim bahkan penulis belum menemukan skripsi
mengenai pelabuhan di pesisir-pesisir yang memiliki peran penting dalam
penulisan sejarah maritim karena memilki fungsi ekonomi, politik, dan budaya.
Bila melihat jauh ke belakang tentang maritim Indonesia, sebenarnya
sudah memiliki gen maritim jauh sebelum negara ini memproklamirkan
kemerdekaanya. Zaman kerajaan-kerajaan Islam yang bertempat di pesisir pantai
seperti Kesultanan Malaka, Samudera Pasai, Aceh, Palembang, Jambi, Banten,
Cirebon, Demak, Pontianak, Banjarmasin, Gowa Tallo, Ternate, dan Tidore
merupakan kerajaan-kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan maritim di Indonesia
(dahulu masih Nusantara) pada saat itu dan memiliki kerajaan-kerajaan tersebut
memiliki pelabuhan yang baik untuk kegiatan maritim. Setelah habis era kerajaan
maritim yang bertempat di pesisir pantai mulai muncul era penjajah Eropa yang
kemudian menguasai pelabuhan-pelabuhan kerajaan dan aktivitas maritim di
wilayah pesisir yang selanjutnya menguasai pula hasil kekayaan alam di bumi
nusantara. Kejadian yang terjadi yang berhubungan dengan aktivitas maritim
seperti yang penulis ungkapkan merupakan salah satu kajian dari sejarah maritim.
A. B. Lapian dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Sejarah
Maritim mengatakan “hal terpenting dari sejarah maritim adalah pertumbuhan
wilayah laut menjadi satu kesatuan sebagai akibat adanya interaksi kultural,

3

http://tulis.uinjkt.ac.id/ diakses tanggal 12 September 2015.

2

sosial, ekonomi, dan politik antara penduduknya, yang kemudian meluas karena
berinteraksi dengan sistem-sistem lain sehingga terlibat dalam jaringan maritim
Nusantara, bahkan masuk dalam sistem ekonomi dunia”,4 Dalam mengkaji sejarah
maritim, penulis menemukan banyak kawasan perairan di Nusantara yang dapat
dikaji dan diteliti, seperti beberapa zona laut utama yang telah penulis sebutkan
sebelumnya. Selain itu banyak pula pelabuhan yang tersebar di pulau-pulau dan
zona-zona laut di Indonesia. Setelah menelusuri sumber, literatur, dan letak
geografis akhirnya untuk penelitian ini penulis akan membahas salah satu
kawasan di perairan zona Laut Jawa yang masuk dalam wilayah Pulau Jawa serta
merupakan salah satu zona perdagangan dan perlintasan di kawasan Laut Jawa
yakni Pelabuhan Cirebon.
Pelabuhan Cirebon yang terletak di tengah-tengah jalur perlintasan antara
Batavia menuju Semarang ditopang dengan kondisi geografis yang baik terletak di
teluk, membuat Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu tempat yang aman untuk
berlabuhnya kapal untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke pelabuhan di
sebelah timur maupun singgah untuk menjajakan barang dagangan. Peran
Pelabuhan Cirebon semakin penting karena dari pelabuhan inilah mula-mula
diangkutnya komoditas ekspor seperti gula yang saat itu menjadi primadona di
pasaran Eropa dengan nilai jual jutaan Gulden.5
Sementara itu, di bidang impor Pelabuhan Cirebon tidak kalah penting
dengan menempati posisi teratas untuk beberapa komoditi impor seperti tembakau
yang mengalahkan tiga pelabuhan besar lainnya seperti Pelabuhan Tanjung Priok,

Adrian B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, pidato pengukuhan pada upacara
penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (Depok: 4 Maret
1992), h. 16.
5
“Gulden” adalah ukuran besaran mata uanga pada masa Hindia Belanda.
4

3

Semarang, dan Surabaya; khususnya ketika import tembakau menanjak sekali
tahun 1930 (5.851.277 Gulden) berkat adanya pabrik rokok British American
Tobacco di Cirebon.6 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami betapa
pentingnya kajian terkait Pelabuhan Cirebon yang memiliki peran begitu
segnifikan dalam aktivitas kemaritiman, tidak hanya dalam jaringan di kawasan
lokal namun juga jaringan aktivitas maritim internasional.
Pelabuhan Cirebon merupakan suatu wilayah yang terletak di Pesisir Utara
dari Pulau Jawa dan kini masuk ke dalam wilayah Kotamadya Cirebon Provinsi
Jawa Barat. Cirebon juga menjadi salah satu basis penyebaran agama Islam di
daerah Jawa Barat dengan Kesultanan Cirebon sebagai motor penggeraknya.
Wilayah Cirebon mulanya merupakan cakupan dari vasal7 Kerajaan
Pajajaran yang beragama Hindu. Saat Kerajaan Pajajaran diperintah oleh Sri
Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi, Islam
mulai menyebar di daerah Cirebon dan sedikit demi sedikit mulai ada keinginan
untuk melepaskan diri dari vasal Kerajaan Pajajaran karena mulai timbulnya
kekuasaan politik Islam di Cirebon.8
Maka sejak tahun 1479 Kesultanan Cirebon tidak lagi menjadi vasal dari
Kerajaan Pajajaran, melainkan berdiri sendiri sebagai Kesultanan Islam.9 Tokoh
sentral yang menjadikan Cirebon lepas dari vasal Pajajaran serta menguatkan

“Memorie Residen Cirebon CJAE T Hiljee, 3 Juni 1930” dalam Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), (Memorie van Overgave) Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa
Barat) (Jakarta: ANRI, 1976), h. CL.
7
Kata vasal bila merujuk dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki arti „„takluk“ atau
„„daerah taklukan“ bisa juga ditarik kesimpulan berada dalam kekuasaan negara lain. Lihat Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 1605.
8
Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra
(Jakarta: CV. Eka Dharma, 1998), h. 12.
9
M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon (Jakarta:
Suko Rejo Bersinar, 2001), h.24.
6

4

Islam sebagai corak dalam Kesultanan Cirebon ini adalah Syarif Hidayatullah atau
yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Selain menjadi Raja Kesultanan
Cirebon pertama juga merupakan ulama pemimpin agama yang merupakan bagian
dari sembilan tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang sering disebut
dengan Wali Songo.10
Wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon pada masa awal membentang dari
ujung barat Pulau Jawa hingga perbatasan Mataram di Jawa Tengah dan meliputi
sejumlah daerah penting seperti Banten, Sunda Kelapa, Indramayu, Majalengka,
Kuningan, Ciamis, dan sebagainya. Semakin luasnya kekuasan Kesultanan
Cirebon, maka Sunan Gunung Jati melantik putra sulungnnya yakni Pangeran
Sabakingkin atau yang lebih dikenal sebagai Maulana Hasanudin menjadi
penguasa di Banten pada tahun 1526 guna menyebarkan agama Islam di wilayah
tersebut.11
Seiring berjalannya waktu Kesultanan Cirebon di Jawa Barat dibagi
menjadi 2 (dua) daerah. Sebelah timur Sungai Citarum termasuk ke dalam
Kesultanan Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu dan sebelah barat Sungai
Citarum masuk ke dalam wilayah Banten dipegang oleh Maulana Yusuf.12
Letak Kesultanan Cirebon yang berada di Pesisir Utara Pulau Jawa,
menjadi suatu kewajiban memiliki Pelabuhan sebagai pintu gerbang terjalinnya
kontak sosial dengan bangsa yang lain dari jalur laut.13 Kesultanan Cirebon
memiliki beberapa pelabuhan di wilayahnya sebagai wadah serta pusat dari
aktivitas maritim untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya. Di antaranya yang paling
10

Slamet Muljana. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam
di Nusantara. (Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara,2005), h. 72.
11
M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon, h. 6.
12
Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon, h. 12.
13
Abd Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 14.

5

dikenal pada saat itu adalah Pelabuhan Muara Jati dan Pelabuhan Talang
(sekarang Pelabuhan Cirebon).14
Berdasarkan berita Tome Pires dapat diketahui bahwa Cirebon sudah
memiliki pelabuhan yang baik dengan adanya 3-4 jung yang berlabuh di
pelabuhan tersebut. Pires juga menyebutkan bahwa di pelabuhan ini terdapat beras
dan bahan makanan lain dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, Pires juga
menyebutkan bahwa jung bisa masuk ke daerah pelabuhan dengan memanfaatkan
sungai yang ada di sekitar pelabuhan.15 Bila melihat penjelasan dari Pires, kuat
dugaan pelabuhan yang dimaksud adalah Pelabuhan Muara Jati.
Selain Pelabuhan Muara Jati, Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan
Sunan Gunung Jati juga membangun pelabuhan baru yang diberi nama Pelabuhan
Talang.16 Pelabuhan baru ini berkembang dengan cepat dan sangat ramai
dikunjungi oleh para pedagang yang berasal dari luar wilayah Cirebon, terutama
dari Cina. Letak dari pelabuhan baru ini berjarak kurang lebih 3 KM dari Istana
Pakungwati (sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan), dimungkinkan
menjadi salah satu faktor utama berkembang pesatnya pelabuhan tersebut.
Adanya Pelabuhan Cirebon telah mendorong terjadinya akivitas maritim
seperti interaksi perdagangan yang terjadi antara penduduk pribumi dengan
pendatang yang berasal dari daerah foreland (daerah seberang) seperti India dan
Cina. Pelabuhan Cirebon sangat terbantu dengan adanya daerah hinterland

14

Suroyo, Sejarah Maritim Indonesia 1, h. 123-124.
Tome Pires, Suma Oriental, h. 256-257.
16
Suroyo, Sejarah Maritim Indonesia 1, h. 124.
15

6

penghasil pertanian seperti Majalengka dan Kuningan yang menghasilkan
komoditas gula, kopi, teh, dan indigo17 yang dibutuhkan oleh bangsa pendatang.18
Dampak selanjutnya yang dihasilkan dengan adanya interaksi perdagangan
penduduk pribumi dan kaum pendatang di Pelabuhan Cirebon, membuat minat
dari bangsa-bangsa luar semakin besar untuk datang ke Cirebon. Ketika bangsa
pendatang singgah di Cirebon sembari menunggu angin musim yang membawa
mereka ke daerah asal mereka, para pendatang ini juga mulai bermukim dan
bertempat tinggal di Cirebon sehingga terjadi pula diaspora etnis serta akulturasi
budaya antara budaya lokal Cirebon dan budaya yang berasal dari luar Cirebon.19
Kedatangan para pedagang ke Pelabuhan Cirebon dan bermukimnya para
pendatang dari luar Cirebon menjadikan pelabuhan ini salah satu pelabuhan yang
ramai dengan adanya hubungan jaringan perdagangan lokal, regional, dan
internasional (terutama Arab dan Cina). Hubungan perdagangan baik yang terjalin
di antara orang-orang Arab dan Cina dengan Pelabuhan Cirebon dapat dilihat dari
masih ada dan berkembangnya pemukiman komunitas Arab di sepanjang Jalan
Panjunan dan pemukiman komunitas Cina di sepanjang Jalan Pasuketan.20
Banyak pendatang yang datang ke bumi Nusantara, tidak hanya dari
kalangan Arab dan Cina melainkan juga bangsa Eropa ke wilayah ini melalui
pintu gerbang pelabuhan-pelabuhan yang ada di Nusantara. Bangsa Eropa yang
mulanya datang untuk berdagang namun lama kelamaan merasa nyaman dengan
17

Indigo merupakan tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami dan merupakan
salah satu komoditas unggulan selain kopi dan gula (tebu). Lihat Sulistiyono,“Perkembangan
Pelabuhan Cirebon”, h. 43.
18
J.C van Leur, Indonesia Trade and Society (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 281282. Lihat juga Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 51-54.
19
Paramita R. Abdurachman, Cerbon (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982),
h. 32.
20
Samodra Wibawa, Negara-Negara di Nusantara: dari Negara-kota hingga Negarabangsa dan dari Modernisasi hingga Reformasi Adminsitrasi (Yogyakarta : UGM Press, 2001),
h.18.

7

bumi Nusantara yang subur sehingga menjadikan mereka berniat untuk memiliki
dan memonopoli semua perdagangan di Nusantara, termasuk di wilayah
Cirebon.21
Berdirinya perusahaan dagang milik Belanda yaitu Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC)22 tahun 1602 menjadi titik awal sekaligus bukti nyata
dari keinginan bangsa Eropa yang ingin menguasai perdagangan di Nusantara.
Berbagai cara dilakukan oleh VOC untuk mengeruk semua keuntungan dagang.
VOC banyak membuat kebijakan yang menguntungkan mereka tetapi merugikan
pribumi bahkan VOC juga berusaha untuk ikut serta dalam pemerintahan lokal
dan akhirnya tidak sedikit pemerintah lokal mereka kuasai.23
Kesultanan Cirebon merupakan salah satu pemerintah lokal yang
pemerintahannya berusaha untuk dikuasai oleh VOC. Salah satu momentum VOC
untuk menguasai Kesultanan Cirebon setelah mangkatnya Penguasa Cirebon
terakhir Panembahan Girilaya. Ditangkapnya Panembahan Girilaya dan dikenakan
status tahanan rumah oleh Amangkurat II akibat kecurigaan atas loyalitas
Panembahan

Girilaya

sebagai

sekutu

Mataram.

Panembahan

Girilaya

dimakamkan di Bukit Girilaya,24 namun kedua Putranya yaitu Pangeran
Martawidjaja dan Kartawidjaja tidak diperbolehkan pulang kembali ke Cirebon.25

21

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 27.
22
Vereenigde Oost-Indische Compagnie(VOC)merupakan Perhimpunan Dagang Hindia
Timur yang didirikan oleh para Pedagang Belanda pada tahun 1602. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), h. 71.
23
Anthony Ried, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan
Perdaganagn Global (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 317.
24
Bukit Girilaya sebuah tempat dimakamkannya Panembahan Girilaya, dekat dengan
makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. (Wawancara dengan Prof. Dr. Budi
Sulistiono, M.Hum)
25
M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon, h.33-34.

8

Sehingga status dari kekuasaan di Cirebon dijabat oleh putra bungsu yakni
Pangeran Wangsakerta.
Pangeran Wangsakerta yang menjalankan administrasi pemerintahan di
Cirebon, meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyelamatkan kedua
kakaknya yang ditahan di Mataram. Berkat kerjasama Sultan Ageng Tirtayasa dan
pemberontak Trunojoyo dari Madura, kedua Pangeran Cirebon tersebut berhasil
diselamatkan dan dibawa pulang. Pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa
dengan kapasitasnya selaku Sultan Banten memutuskan melantik Pangeran
Martawidjaja sebagai Sultan Sepuh, Pangeran Kartawidjaja sebagai Sultan Anom
dan Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Carbon. Pembagian wilayah
Cirebon ini dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa sebagai langkah preventif guna
mencegah perebutan kekuasaan antara anak-anak Panembahan Girilaya tersebut.26
Pembagian wilayah Cirebon yang awalnya dilandasi atas niat baik
tersebut, ternyata malah mengundang musuh baru, yaitu VOC yang berhasrat
menguasai Cirebon dengan politik adu domba/devide et impera di antara para
Sultan yang ada di Cirebon tersebut. Seiring semakin panasnya gesekan internal di
Cirebon membuat VOC semakin di atas angin untuk melancarkan siasatnya
sebagai penengah dari perselisihan. Inilah titik awal dari penancapan pengaruh
VOC dalam politik Kesultanan Cirebon dan selanjutnya sedikit demi sedikit
menguasai pemerintahan maupun perekonomian di Cirebon.27
Lemahnya mental dan pengaruh sultan-sultan Cirebon dalam menjalankan
roda pemerintahan dan penyelesaian masalah, membuat pemerintahan Kesultanan
Cirebon memiliki rasa ketergantungan kepada VOC dalam menyelesaikan hal-hal
26

Yoseph Iskandar. Sejarah Banten. (Jakarta : Tryana Sjamoen,2001),h.216
Sartono Kartodirdjo. Multidimensi pembangunan bangsa: etos nasionalisme dan
negara kesatuan. (Yogyakarta : Penerbit Kanisius,1999),h.234
27

9

terkait pemerintahan. Adanya perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1681
membuat Kesultanan Cirebon secara politik berada di bawah protektorat VOC.28
Pembubaran VOC, setelah mengalami kebangkrutan, oleh rezim Belanda
Pro-Prancis yaitu Republik Bataaf pada 1799,29 mengakibatkan terjadinya akuisisi
atas semua aset VOC sebelumnya dan Pemerintah baru pun melanjutkan
monopoli dagang serta campur tangan atas wilayah yang pernah ditundukkan oleh
VOC. Dengan membuat perjanjian-perjanjian dan kebijakan-kebijakan yang
semakin melemahkan kekuasaan lokal yaitu Kesultanan Cirebon bahkan
menyengsarakan penduduk di wilayah ini.
Perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1681, salah satu contohnya,
memberikan kekuasaan pada VOC untuk melakukan intervensi dalam kebijakankebijakan domestik Kesultanan Cirebon (intern kesultanan), termasuk juga
kebijakan ekonomi khususnya yang menyangkut Pelabuhan Cirebon sebagai
sumber pemasukan kas Kesultanan Cirebon. Hal ini dikarenakan Pelabuhan
Cirebon sudah diibaratkan sebagai jantung dari perekonomian dan aktivitas
maritim yang ada di Cirebon. Keadaan di Pelabuhan Cirebon sama seperti halnya
beberapa wilayah pesisir yang juga menjadi basis kekuasaan lokal (pada saat itu
kekuasaan lokal kerajaan-kerajaan Islam) mulai perlahan-lahan diambil alih dan
dilemahkan bahkan ada yang sampai mundur ke pedalaman dan tidak lagi
memiliki akses terhadap pelabuhan yang ada di pesisir-pesisir. Bahkan Sumber
Belanda menyebutkan bahwa pada tahun 1700-an Cirebon digambarkan sebagai
negeri pedalaman (inlandsche stad) karena kelemahan para sultan dalam

28

Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon., h. 40.
C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799 (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 115.
29

10

mengelola pelabuhan dan daerah yang dilecehkan (het geminachte strandnest)
karena lemahnya posisi Cirebon dalam Percaturan Politik Regional.30
Kenyataan ini semakin membuat Hindia Belanda lebih leluasa kekuasaan
serta dominasinya di wilayah pesisir dan pelabuhan-pelabuhan.Selain itu, kini
Cirebon bukan lagi menghadapi pedagang, tetapi sebuah negeri Eropa yang
sedang bergiat menancapkan kuku kolonialismenya lebih dalam. Apalagi, Benua
Eropa sejak tahun 1792 sedang berada dalam gejolak militer besar, di mana
Prancis bertempur melawan Aliansi Besar yang terdiri atas Kekaisaran Romawi
Suci, Kerajaan Prussia, Kerajaan Inggris Raya, dan Kekaisaran Rusia. Konflik ini
tentu berdampak hingga koloni-koloni milik negara negara Eropa yang ikut
terlibat dalam konflik ini.31
Republik Bataaf pun dirombak kembali oleh Kaisar Prancis, Napoleon
Bonaparte. Alasannya, ia ingin Belanda menjadi garis pertahanan pesisir dalam
menghadapi Inggris, maka ia menamai ulang negara tersebut menjadi „Kerajaan
Holland‟ dan menobatkan adiknya, Louis Bonaparte menjadi raja di sana.32
Herman Willem Daendels dikirim oleh Raja Louis Bonaparte ke Nusantara
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808-1811, dia kemudian mulai
memobilisasi pertahanan Nusantara (Jawa sebagai pusatnya) dengan membuat
jalan dari Anyer hingga Panarukan sepanjang seribu kilometer yang lebih dikenal
sebagai „De Groote Postweg’.33
30

Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919: 407
Gregory Fremont-Barnes, The French Revolutionary Wars (Oxford : Osprey Publishing,
2001), h.17.
32
Martijn van der Burg, 'Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the
Netherlands between Republicanism and Monarchy (1795-1815)'. European Review of History
(2010). vol.17 no.2, h. 151–170
33
Peter Nas dan Pratiwo, 'Java and De Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail
Road, Jalan Raya Pos'. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 158, No. 4, On The
Road : The social impact of new roads in Southeast Asia (2002), h. 707-725
31

11

Alasan Daendels membuat sistem pertahanan terpadu di Pulau Jawa,
dikarenakan adanya ancaman dari George Wilhelm Friedrich von Hanover yang
bergelar “Raja Inggris Raya dan Irlandia, Adipati Brunschwick-Luneburg dan
Elektor Kekaisaran Romawi Suci” yang juga adalah paman dari pemimpin
Belanda pada masa VOC yaitu Stadtholder Willem V. Angkatan laut Inggris
sudah berhasil memblokir jalur laut di sekitar pulau Jawa sehingga hanya
pertahanan darat Jawa saja yang dikosentrasikannya untuk menahan serangan
Inggris.34
Ketika keadaan di Eropa sedang mengalami peperangan yang dilancarkan
oleh Kekaisaran Prancis dengan Napoleon sebagai aktor utamanya, negeri induk
dari penjajah, yakni Belanda telah mengalami kekalahan atas Prancis sehingga
membuat kekuasaan Hindia Belanda beralih ke tangan Inggris dari tahun 18111816. Keadaan ini terjadi karena kekalahan Belanda atas Prancis tersebut
membuat Stadtholder Willem V, melarikan diri dan meminta perlindungan
Inggris, maka berdasarkan kesepakatan yang disebut dengan „surat-surat kew‟,35
kekuasaan daerah jajahan Belanda beralih ke Inggris.36 Pada tahun 1813 ketika
wilayah Hindia Belanda dikelola oleh Inggris, kekuasaan Kesultanan Cirebon
yang sebelumnya sudah terbagi menjadi beberapa kesultanan, kemudian oleh
pemerintah Inggris tidak lagi diakui legitimasi kekuasaan dari Kesultanan Cirebon
tersebut baik di bidang ekonomi maupun politik karena sudah masuk dalam

34

William James.The Naval History of Great Britain: From the Declaration of War by
France in 1793 to the Accession of George IV. (London: R. Bentley,1847), h.27.
35
“Surat-surat kew” diambil dari nama sebuah daerah di Inggris yang bernama „Kew‟ di
dekat London,dinamakan surat Kew sebab saat terjadi serangan oleh Napoleon, Willem V dari
negeri Belanda berhasil lolos dari serangan pasukan prancis dan melarikan diri ke kerajaan inggris
di daerah kew dekat London. Dia mengeluarkan surat/dokumen dari Kew yang memrintahkan agar
para pejabat jajahan belanda menyerahkan wilayah mereka kepada Pamannya, Raja Inggris
George Wilhelm Friedrich von Hanover
36
Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 248.

12

lindungan Hindia Belanda sebelum kekalahan Belanda atas Prancis.Untuk lebih
leluasa menjalankan dominasinya di Cirebon maka dihapuslah Kesultanan
Cirebon oleh Raffles yang menjabat sebagai Letnan-Gubernur Jawa saat itu. Maka
sejak saat itulah Kesultanan Cirebon kehilangan legitimasi politik dalam
pemerintahan di Cirebon dan hanya menjadi pemangku adat saja.37
Pasca pemerintahan singkat Inggris, berdasarkan hasil Konvensi London
tahun 1814, Hindia Belanda diserahkan kembali kepada Kepangeranan Belanda
Bersatu pada tahun yang sama dengan syarat menyerahkan daerah kekuasaan
VOC seperti Semenanjung Malaya dan Afrika Selatan sebagai gantinya.38 Setelah
mendapatkan penguasaannya kembali di Nusantara termasuk di wilayah Cirebon,
selanjutnya Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu pusat perekonomian dan
aktivitas maritim yang dikelola sesuai dengan kepentingan Hindia Belanda.
Di lain pihak, penghapusan legitimasi politik Kesultanan Cirebon ketika
penjajahan masih dipegang oleh pemerintah Inggris, membuat Kesultanan
Cirebon tidak bisa berbuat apa-apa di daerah yang dahulu pernah dikuasainya dan
kini berpindah ke pemerintah Hindia Belanda kembali.39
Mangkatnya para sultan generasi pertama dan situasi nyaman yang
didapatkan oleh sultan dan keluarganya menjadikan ada rasa malas serta
keengganan para penerusnya untuk mengurus politik pemerintahan kesultanan di
wilayah Cirebon. Sehingga pada tahun 1880-an, Cirebon diubah menjadi

37

Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon, h. 40.
H. R. C. Wright. 'The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824'. The Economic
History Review, New Series, Vol. 3, No. 2 (1950), h. 229-239
39
Abdurachman, Cerbon, h. 63. lihat juga Imas Emalia, Gerakan Politik Keagamaan Di
Keresidenan Cirebon 1911-1942 (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011), h.8.
38

13

karesidenan di bawah pemerintah Hindia Belanda guna mempermudah
administrasi pemerintahan.40
Setelah menjadi sebuah residensi Cirebon, jabatan kepala residen dan
asisten residen diduduki orang-orang Belanda, sementara bagian jabatan yang
mengelola distrik-distrik di bawah residen diduduki oleh orang-orang pribumi
(pangreh praja) yang dipimpin oleh bupati. Perlu diketahui bahwa para bupati di
Cirebon ini tidak diambil dari keluarga sultan melainkan dari berbagai latar
belakang seperti yang dahulunya abdi dalem di kesultanan lalu kemudian diangkat
menjadi bupati. Sultan-sultan yang sebelumnya mempunyai legitimasi politik
memutuskan mengundurkan diri dan hanya menjadi pelindung tradisi kesenian
lokal seperti membatik dan mengukir kayu dengan alasan pragmatis bahwa
mereka tak memiliki kekuatan militer yang memadai guna menentang Belanda
secara terang-terangan.41
Sementara itu, keadaan di Pelabuhan Cirebon menjadi kian penting bagi
pemerintahan Hindia Belanda karena semakin berkembangnya aktivitas
perdagangan di wilayah Cirebon, tersedianya kekayaan alam di wilayah ini
terutama daerah hinterland menjadi nilai lebih tersendiri untuk semakin
menunjang daerah Cirebon sebagai daerah pemasok hasil bumi (Wingewest) bagi
pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya dengan keadaan alam Cirebon yang
subur membuat pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengeksploitasi
hasil alam dengan menjalankan sistem taman paksa pada tahun 1830 untuk
menambah nilai ekonomis yang masuk ke kantong Hindia Belanda meskipun

40
41

Abdurachman, Cerbon, h.63.
Abdurachman, Cerbon, h. 63.

14

mengakibatkan terjadinya kelaparan besar di Cirebon pada tahun 1844.42 Selain
itu, adanya tanam paksa membuat makin meningkatnya persaingan ekonomi
global yang bersifat liberal dalam menjual hasil-hasil bumi yang ada di Cirebon,
maka sejak tahun 1858 dikeluarkanlah keputusan bahwa Pelabuhan Cirebon
menjadi pelabuhan yang menjalankan fungsi ekspor dan impor yang dikelola oleh
seorang haven en equipagemeester43dari kalangan Belanda.
Setelah adanya penguasaan oleh pemerintah Hindia Belanda atas
Pelabuhan Cirebon, maka segala urusan terkait aktivitas maritim seperti
perdagangan dan pelayaran kapal yang dilakukan oleh kapal pribumi maupun
kapal asing harus memiliki izin yang diberikan oleh permerintahan Hindia
Belanda.44 Dikuasainya Pelabuhan Cirebon oleh pemerintah Hindia Belanda
menjadikan pula sentral ekonomi dari Kesultanan Cirebon terganggu karena tidak
ada lagi pemasukan dari bea cukai pelabuhan dan aktivitas ekonomi sebelumnya
masuk ke Kesultanan Cirebon beralih menjadi pendapatan pemerintah Hindia
Belanda. Hal ini karena penguasaan dari Pelabuhan Cirebon berpindah tangan ke
pemerintah Hindia Belanda yang sel