Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG
NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

37
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Kajian Q Fever pada Sapi di Kota
Kupang Nusa Tenggara Timur merupakan gagasan atau hasil penelitian saya
sendiri dengan arahan komisi pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Sumber
informasi dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2008

Annytha Ina Rohi Detha
NIM B251060031

38
ABSTRACT

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Study on Q Fever in Cattle in Kupang City,
East Nusa Tenggara. Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and
AGUS SETIYONO.
The study on Q fever in Kupang City, East Nusa Tenggara had been done.
This study is aimed to observe the Q fever in cattle in Kupang City. Coxiella
burnetii is the causative agent of Q fever, which a zoonotic disease threatening
public health. Q fever is considered as an occupation hazard and can cause
adverse effect on health of farm workers, slaughterhouse workers, and researcher.
This study used the secondary data collected from the Provincial Livestock
Service, East Nusa Tenggara and the laboratory data of Coxiella burnetii detected
by nested PCR. The total of 169 samples of beef livers and hearts were collected
from slaughterhouse in Kupang City. The result showed that no material genetics

of Coxiella burnetii were detected in the samples. This negative results indicated
that the cattle slaughtered is healthy.
Keywords: Q fever, polymerase chain reaction, Coxiella burnetii

39

RINGKASAN

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang
Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan
AGUS SETIYONO.
Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting
yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii sebagai agen, bersifat
kontagius dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap alam. Pada manusia
penyakit ini menyebabkan pneumonia, hepatitis dan endokarditis. Hewan yang
dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba, ruminansia lain,
unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar. Penularan Q
fever dapat terjadi melalui kontak langsung, partikel debu, bahan pangan asal
hewan, luka yang terkontaminasi, cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan
urin dari hewan yang terinfeksi C. burnetii.

Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat di banyak negara. Sebagian besar penduduk Indonesia
adalah petani yang tidak terlepas dari ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q
fever. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini, maka perlu
dilakukan penelitian tentang infeksi C. burnetii pada ternak terutama pada daerah
sumber produksi ternak salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang
Q fever di NTT.
Penggunaan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi
keberadaan C. burnetii, dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi dan telah
banyak digunakan untuk mendiagnosa Q fever. Tahapan proses awal PCR adalah
ekstraksi DNA, dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit dengan
sampel yang digunakan untuk ekstraksi adalah campuran organ hati dan jantung.
Proses selanjutnya adalah first PCR, dilakukan memakai primer yang dirancang
berdasarkan sekuen spesifik dari membran luar C. burnetii dengan berat molekul
29 kDa. Tahap selanjutnya adalah nested PCR, hampir sama dengan first PCR
namun bedanya pada nested PCR menggunakan sampel hasil running dari first
PCR dan membutuhkan waktu lebih lama. Proses selanjutnya adalah
elektroforesis kemudian dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida,
dilihat di bawah sinar ultra violet.

Dalam kajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibutuhkan
data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT. Untuk mengkaji Q fever
dari sudut pandang kesehatan masyarakat veteriner diperlukan antara lain
gambaran umum sistem peternakan, distribusi dan populasi ternak antar kota di
propinsi NTT, model penyebaran ternak dan penyakit zoonosis yang ada di NTT.
Sistem pemeliharaan ternak yang ada memungkinkan kontak langsung peternak
dengan ternak sehingga perlu diwaspadai terhadap penularan penyakit. Jumlah
populasi ternak terutama sapi potong di NTT dapat membuka peluang terhadap
penyakit zoonosa yang dapat ditularkan dari ternak ke manusia. Banyaknya kasus

40
penyakit yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa kondisi peternakan di NTT
tidak terlepas dengan masalah kesehatan hewan. Melalui data penyakit ternak
yang ada menunjukkan bahwa ternak di NTT memiliki peluang besar, beresiko
terinfeksi penyakit hewan menular, demikian halnya peluang terjadinya kasus
zoonosis pada manusia.
Penelitian ini menggunakan 169 sampel hati dan jantung menunjukkan
hasil negatif dengan menggunakan PCR. Ketidakhadiran pita spesifik C. burnetii
berarti tidak adanya material genetik dari agen penyakit ini. Hal ini menunjukkan
bahwa sapi di Kota Kupang NTT tidak terinfeksi penyakit Q fever. Sistem

peternakan yang ada di NTT serta banyaknya jumlah ternak saat ini masih cukup
aman terhadap infeksi Q fever. Hasil negatif ini mungkin disebabkan hewan
tersebut belum terkena penyakit atau menjadi carrier. Masalah kesehatan hewan
yang dialami peternak di NTT sering menjadi kendala dalam meningkatkan
produktivitas produksi peternakan sapi.
Kata kunci: Q fever, Polymerase Chain Reaction, C. burnetii

41

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


42

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG
NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

43

BOGOR
2008
Judul Tesis


: Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara
Timur
Nama
: Annytha Ina Rohi Detha
NIM
: B251060031
Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Agus Setiyono, MS
Anggota

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto
Ketua

Diketahui


Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

44
Tanggal Lulus :

Tanggal Ujian :

45

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. A Winny Sanjaya, MS

46
PRAKATA


Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Bapa di Surga atas segala
berkat dan AnugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
dengan judul Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur,
yang dilaksanakan sejak agustus 2007 sampai Maret 2008.
Dalam menempuh studi S2, penulis mengucapkan terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, teladan, inspirasi, motivasi,
semangat, doa dan kasih sayang. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto selaku ketua komisi pembimbing
yang sangat sabar dan perhatian dalam membimbing serta banyak
memberikan teladan yang baik kepada penulis. Ketelitian dan kesabaran
beliau dalam pemeriksaan penulisan format yang benar memotivasi
penulis menjadi seorang penulis yang baik.
2. Dr. drh. Agus Setiyono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang
dengan cerdas dan semangat menyumbangkan ide pikiran dan masukan
selama penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan terimakasih atas
kesempatan yang diberikan beliau untuk ikut dalam penelitian lanjut Q
fever ini.
3. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS selaku dosen penguji luar yang

memberikan banyak masukan dalam penulisan tesis.
4. Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner atas perhatian dan kesabaran beliau sehigga penulis
dapat memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam penulisan tesis dan
dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
5. Keluarga tercinta: Papa, Mama, kak Umbu, kak Gere, kak Gibson, kak
Lela, ka Deasy, Ade dan keluarga besar atas doa, kasih sayang dan
dukungan spiritual dan materi selama masa studi.
6. Yayasan “Sabu Development Foundation”: Keluarga Bapak Hendrik Riwu
Kore, SE. MM., dan semua masyarakat Sabu-NTT, yang sudah
mendukung dan mempercayakan kesempatan studi S2 kepada penulis.

47
7. Dinas Peternakan Propinsi NTT, Dinas Peternakan Kota Kupang, Balai
Karantian Hewan Tenau-Kupang, atas bantuan data dan kesempatan
pengambilan sampel di RPH Oeba Kota Kupang yang digunakan untuk
penelitian.
8. Rektor Undana, dekan Fapet Undana dan pihak SPP Kupang, atas
kesempatan yang diberikan penulis untuk menyelasaikan studi S2.
9. Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MS., Keluarga Ir. Surya Sembiring, M.Si., atas

perhatian, inspirasi, kebaikan, doa dan kasih sayang sehigga penulis dapat
menyelesaikan studi tepat waktu.
10. Keluarga besar PERKANTAS Bogor atas dukungan doa, kasih sayang,
perhatian dan kebersamaan sebagai keluarga selama penulis studi di
Bogor. Sahabat-sahabat terkasih dan seperjuangan Tience, Nelly, kak Olly
atas doa, kasih sayang, perhatian, nasehat, kebersamaan, suka duka yang
dilalui bersama selama studi di Bogor. Kak Suryaty, mbak Wiwien, adik
kelompok (Oving, Eka, Yessy, Kristina dan Sasti) atas doa, kasih sayang
dan perhatiannya. Teman-teman seperjuangan dalam menimba ilmu di
KMV IPB 2006 (Wiwin & mbak Fety) atas diskusi, semangat dan
kebersamaan selama masa 2 tahun ini. Terkasih Aris atas kasih sayang,
doa perhatian, motivasi yang diberikan pada penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang turut mendukung
dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2008
Annytha Ina Rohi Detha

48

49
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Maumere, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 16
Agustus 1981, adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Johannes
Wohangara Detha dan Imirana Detha.
Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Katolik
Waikabubak, Sumba Barat dan Sekolah Menengah Pertama tahun 1997 di SMP
Negeri 2 Same Manufahi, Timor-Timur. Sekolah Menengah Umum pada tahun
2000 di SMU Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur dan pada tahun yang sama
penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Tahun 2004
penulis lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan
pada akhir tahun 2005. Pada tahun 2007 penulis diterima bekerja sebagai staf
pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana di Kupang.
Pada Bulan Agustus 2006 penulis mendapat kesempatan melanjutkan
jenjang S2 melalui program beasiswa dari Yayasan “Sabu Development
Foundation”. Penulis mengambil program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

50
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………...

xii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………......

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………...

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang …..…………………………………………………….
Tujuan Penelitian ...………………………………………………….....
Manfaat Penelitian ..……………………………………………………

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Q Fever ..…....…………………………………………………
Karakteristik C. burnetii ...……..………………………………………
Epidemiologi Q Fever ..………....……………………………………..
Metode Diagnosa Q Fever ………..….………………………………..
Pencegahan dan Pengobatan .……..…………………………………...

4
4
6
10
11

BAHAN DAN METODE
Pengumpulan Data Sekunder ..………………………………………...
Pengambilan Sampel di Lapangan ...…………………………………...
Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode PCR .……………..........
Ekstraksi DNA …………..……………………………………...
First PCR ......……………..……………………………………..
Deteksi HasilAmplifikasi ...……………………………………..
Nested PCR ..……………..……………………………………..
Analisa Data .....…………..……………………………………………

12
12
13
14
14
15
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT .....…………..
Sistem Pemeliharaan dan Populasi Ternak di NTT ...…………..
Model Pemasaran dan Transportasi Ternak di NTT ..…………...
Jenis Ternak Budidaya dan Masalah Kesehatan Hewan ………...
Q Fever di Nusa Tenggara Timur ..….………………………………..
Pengujian First PCR ………..….………………………………..
Pengujian Nested PCR ....…..….………………………………..

18
19
22
25
26
27
28

KESIMPULAN DAN SARAN …..………………………………………….

32

DAFTAR PUSTAKA ...…………………………………………………...

33

LAMPIRAN .....……………………………………………………………...

37

DAFTAR TABEL

51
Halaman
1

Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur ……………........

20

2

Populasi ternak di Nusa Tenggara Timur ………………………………

22

3

Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Timur tahun 2003-2006 ………..

23

4

Rekapitulasi pengeluaran pemasukan eksport import
lingkup Balai Karantina Hewan Kelas I tahun 2006 .…………………...

24

Pengeluaran ternak dari Nusa Tenggara Timur
Tahun 2003-2006 ..……………………………………………………..

24

Kasus penyakit hewan menular di NTT tahun 2007 ……………………

26

5

6

52

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Morfologi C. burnetii dengan pengamatan
menggunakan mikroskop elektron ..…………………………………….

5

2

Transmisi (wildlife) Q fever …..………………………………..……….

8

3

Transmisi (domestic cycle) Q fever ...…………………………..……….

8

4

Skema pengambilan dan pengerjaan sampel penelitian .....…..…………

17

5

Sistem pemeliharan semi intensif .………………………...…………….

21

6

Sistem pemeliharan ekstensif .………………..…………………………

21

7

Model pemasaran dan transportasi ternak sapi ...………………..……….

25

8

Hasil first PCR (i) ........………..………………………………..……….

28

9

Hasil first PCR (ii) ....…………..……………………………….……….

28

10 Hasil nested PCR (i) ……………………………………………….……

29

11 Hasil nested PCR (ii) ...…………………………………………….……

30

12 Hasil nested PCR (iii) ..…………………………………………….……

30

53

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Keterangan sampel .....………...………………………………..….…….

38

2

Vaksinasi anthrax, hog cholera, brucellosis, dan SE ...………..…...……. 40

3

Produksi karkas/daging sapi propinsi NTT tahun 2006 ....……..……….

41

4

Pemotongan tercatat dan tidak tercacat ternak besar dan kecil Propinsi
NTT tahun 2006 ...................................................................……….…….

41

5

Rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan
(TPH) di Propinsi NTT tahun 2006 ...........…....…………………….…... 42

6

Gambar produk pangan asal ternak di NTT, kondisi kios penjualan
pengambilan sampel di RPH Kota Kupang ……………...……………… 43

54
PENDAHULUAN

Latar belakang
Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting
yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii adalah agen penyebab Q
fever pada manusia dan coxiellosis pada hewan. C. burnetii bersifat sangat
kontagius, dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit (Raoult 2002),
mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap alam dalam waktu lama, tahan
terhadap pH rendah, serta tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri
dan radiasi sinar ultra violet (Maurin dan Raoult 1999).
Pada manusia Q fever menyebabkan gangguan pada tubuh seperti malaise,
myalgia, sakit kepala, kedinginan, kelelahan, demam tinggi yang sering
dihubungkan dengan penyakit pernafasan (Acha dan Szyfres 2003). Q fever dapat
bersifat akut, sering muncul seperti pneumonia dan hepatitis (Fournier dan Raoult
2003) dan infeksi kronis seperti endokarditis dan osteomielitis (Raoult 2002).
Penelitian terbaru menunjukkan gangguan pada aorta didiagnosa akibat agen C.
burnetii (Panau et al. 2007). Pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran,
kelahiran prematur, kelahiran dengan berat kurang dari normal, radang plasenta
dan infeksi uterus kronis (Marrie 2003).
Hewan yang dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba,
ruminansia lain, unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan
liar (Acha dan Szyfres 2003). Rodensia, caplak dan serangga bahkan ikan juga
merupakan sumber penularan penting bagi penyakit Q fever (Marrie 2003).
Penularan Q fever terjadi secara langsung dan tidak langsung dari hewan
yang terinfeksi (Raoult 2002). Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak
langsung, partikel debu, bahan makanan asal hewan, luka yang terkontaminasi,
cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan urin dari hewan yang terinfeksi
C. burnetii (Acha dan Szyfres 2003). Transmisi manusia ke manusia dapat terjadi
melalui transfusi darah, transplantasi tulang dan transmisi secara seksual (Davis
2004).
Pada manusia infeksi dapat terjadi melalui inhalasi secara aerosol dari
cairan amnion, plesenta dan wool yang terkontaminasi. Penularan secara oral

55
terjadi akibat mengkonsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii (Gozalan et al.
2005). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan individu yang
berisiko paling tinggi terinfeksi penyakit ini adalah orang yang sering kontak
langsung dengan ternak seperti pekerja di peternakan, rumah potong hewan
(Hatchette et al. 2001).
Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia,
Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia dan
beberapa negara lain di Asia Tenggara (Fournier et al. 1998). Akibat distribusi
geografis Q fever yang sangat luas dan letak geografis Indonesia yang berdekatan
wilayah dengan negara-negara endemik Q fever terutama Australia, maka perlu
diwaspadai penyebaran penyakit ini di Indonesia.
Sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tidak terlepas dari
ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q fever. Mengingat dampak yang
ditimbulkan dari penyakit ini baik pada manusia maupun hewan yang bisa tertular
melalui produk hasil ternak seperti daging, susu dan telur, maka perlu dilakukan
penelitian tentang C. burnetii pada ternak terutama pada daerah yang merupakan
sumber produksi ternak di Indonesia yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Daerah NTT merupakan daerah yang secara geografis memiliki kondisi
fisik yang sesuai untuk produksi ternak dan memiliki kontribusi yang sangat
tinggi terhadap perdagangan sapi potong antar pulau. Bahkan usaha sapi potong
dapat meningkatkan lapangan kerja, produksi daging nasional, pendapatan dan
kesejahteraan petani peternak, serta meningkatkan pendapatan daerah (Anonim
2005).
Sapi bali banyak ditemukan pada peternakan di daerah NTT, walaupun
bukan sapi bali murni. Hal ini membuktikan bahwa pernah terjadi distribusi sapi
bali dari Bali ke daerah NTT pada waktu lampau. Penelitian yang dilaporkan
oleh Mahatmi (2006), di Propinsi Bali ditemukan adanya C. burnetii yang
menginfeksi sapi bali dan menyebar di daerah tersebut. Hasil penelitian terbaru
dari Ohji et al. (2008) menyatakan seorang pria Jepang yang baru kembali dari
Bali, Indonesia telah didiagnosa menderita Murine typhus, dan ini merupakan
kasus kedua yang terjadi pada wisatawan yang pernah ke Indonesia. Data

56
penelitian tersebut menunjukkan prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia (Q
fever dan Murine typhus) di Indonesia.
Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang mendalam
tentang Q fever di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal lain yang penting adalah
Q fever dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan serta
mengingat dampak jangka panjangnya yang fatal. Penelitian Q fever pada sapi di
Kota Kupang NTT diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi
dasar bagi pengembangan sistem pengawasan terhadap lalu lintas ternak untuk
pencegahan dan pengendalian Q fever pada hewan dan manusia.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji penyakit Q fever pada sapi potong di
Kota Kupang, NTT.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan diperoleh informasi yang dapat dipakai
untuk tujuan diagnostik, pengembangan sistem pengawasan untuk pencegahan
dan pengendalian Q fever.

57
TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Q fever
Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935
kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula
pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland, menderita demam
yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah kejadian di Australia, kejadian secara
epidemik telah diteliti di Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Terdapat 51
negara dilaporkan adanya Q fever dan telah dibahas hampir di setiap negara
kecuali New Zealand (Page 2004).
Q fever pertama kali ditemukan oleh Edward H. Derrick pada tahun 1937,
kemudian pada tahun 1939 Macfarlane Burnett dan Freeman mengisolasi agen
penyebab Q fever yaitu Rickettsia, dan kemudian disebut Rickettsia burnetii.
Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan juga dengan kelompok
tersebut, maka akhirnya agen Q fever ini berdiri dengan nama Coxiella burnetii
(Maurin dan Raoult 1999; Soejoedono 2004).
Di dunia perkembangan penelitian tentang Q fever sudah demikian maju
bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan. Hal
ini mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata
biologis (bioterrorism agent), sehingga penanganan yang benar dan cepat menjadi
penting bila terjadi wabah (Fournier dan Raoult 2003).

Karakteristik C. burnetii
Penyakit Q fever disebabkan oleh

Coxiella

burnetii, bersifat obligat

intraseluler, berbentuk batang (coccobacillus) dengan ukuran 0,3-1,0 µm (Gambar
1), pleomorfik dan gram negatif. C. burnetii sulit dilihat dengan teknik pewarnaan
gram walaupun memiliki membran yang sama seperti bakteri gram negatif
lainnya. Pewarnaan yang bisa dipakai adalah pewarnaan Gimenez dan pewarnaan
Stamp’s (Maurin dan Raoult 1999).

58

Gambar 1 Morfologi C. burnetii dengan pengamatan menggunakan mikroskop
elektron (Davis 2004).

C. burnetii bersifat obligat intraseluler pada inangnya dan memiliki
karakter yang mirip dengan Rickettsia (Ogawa et al. 2004). Secara filogenetik C.
burnetii masuk dalam kingdom Pseubacterial, filum Proteobacteriae, ordo
Gamma, genus Coxiella dan spesies C. burnetii (Marrie 2003).
C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang. Sel target utama dari
agen ini hanya pada monosit atau sel-sel makrofag. Jika infeksi terjadi melalui
saluran napas maka makrofag alveolar merupakan sel utama yang berperan aktif
terhadap terjadinya infeksi akut. Dalam hati sel kupfer berperan aktif terhadap
adanya infeksi C. burnetii melalui aliran darah (Fournier et al. 1998).
C. burnetii dapat bertahan dalam lingkungan dengan kurun waktu lama,
tahan pada pH rendah dan tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri
seperti lisol 0.5%, sodium hipoklorit dan radiasi sinar ultra violet (Maurin dan
Raoult 1999). C. burnetii memiliki formasi spora yang menyebabkan bakteri ini
bersifat patogen. Spora ini dapat bertahan 7-10 bulan di dinding rumah pada suhu
15–20 0C, lebih dari satu bulan dalam daging dalam penyimpanan dingin dan
lebih dari 40 bulan dalam susu skim pada suhu ruangan (Marrie 2003).

59
Epidemiologi Q Fever

Sumber Penularan dan Transmisi Q Fever
Penyakit Q fever bersifat zoonosis dan penularan dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang
terkontaminasi agen penyebab. Q fever dapat berpotensi besar sebagai senjata
biologis karena sifatnya yang tahan terhadap lingkungan dan dapat ditransmisikan
secara aerosol (Davis 2004).
Q fever dapat terjadi dalam rute transmisi yang bervariasi. Sapi, domba
dan kambing adalah ruminansia domestik dianggap sebagai reservoir utama dan
sumber infeksi C. burnetii pada manusia. Pada manusia, rute penyebaran secara
aerosol dianggap sebagai rute infeksi yang utama yaitu lewat inhalasi terhadap
yang sudah terkontaminasi dengan C. burnetii. Materi yang terkontaminasi C.
burnetii seperti cairan amnion, plasenta, ekskret, wol, tanah dan debu dapat
menyebarkan agen ini melalui angin (windborne)(Page 2004).
Transmisi secara oral dapat juga terjadi melalui bahan pangan asal hewan
yang terinfeksi seperti daging dan produknya (Page 2004). Transmisi lain dapat
terjadi melalui transfusi darah, transplantasi tulang, inokulasi intradermal dan
hubungan seksual (Davis 2004). Penelitian yang dilakukan Milazzo et al. (2001),
melaporkan seorang pasien terdiagnosa orchitis setelah 29 hari sebelumnya
melakukan hubungan seksual dengan penderita Q fever.
Hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan kelinci juga termasuk dalam
sumber infeksi pada masyarakat perkotaan. Penelitian di Itali, menunjukkan
bahwa anjing dapat mentransmisikan Q fever ke manusia melalui cairan ekskreta
dan urine. Selain itu juga ditemukan bahwa C. burnetii tersebar luas di peternakan
terutama selama masa partus. Hal ini disebabkan dalam masa partus, C. burnetii
dilepaskan pada lingkungan lebih dari 109 bakteri pergram plasenta yang
terinfeksi (Capuano et al. 2004).
C. burnetii dapat bertahan selama 32 bulan dalam susu dari sapi yang
terinfeksi Q fever. Penelitian yang dilakukan di Switzerland, ditemukan adanya C.
burnetii pada 17 dari 359 sampel susu (sapi, kambing domba) dan telur (Fretz et
al. 2007). Namun C. burnetii dalam susu dapat diinaktifkan melalui proses

60
pasteurisasi dengan suhu 63.8 C (147 F) selama 30 menit atau 71.7 C (161 F).
0

0

Menurut Raoult (2002), konsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii dapat
menyebabkan distribusi sistemik melalui saluran pencernaan. Hatchette et al.
(2001), menemukan bahwa mengkonsumsi keju yang tidak dipasterurisasi
merupakan faktor resiko bertambahnya kejadian Q fever di Inggris.
C. burnetii dalam urine dan feses dari hewan yang terinfeksi dapat juga
sebagai sumber kontaminasi untuk rute transmisi melalui air, debu, tanah, dan
muntah. C. burnetii dapat bertahan selama 19 bulan dalam feses dari beberapa
jenis arthropoda yang terinfeksi agen ini (Davis 2004). C. burnetii dapat
diisolasikan dari berbagai jenis arthropoda seperti kecoa, kumbang, lalat, kutu,
caplak dan tungau. Telah dilaporkan lebih dari 40 jenis arthropoda dapat terinfeksi
C. burnetii melalui transovarial dan transstadial (diantara siklus hidup) (Page
2004).
Penelitian Yanasa et al. (1998), menemukan adanya C. burnetii dari
sampel debu yang dikoleksi dari peternakan sapi perah di Jepang Dua penelitian
lain melaporkan bahwa penularan Q fever melalui angin dapat terjadi dengan
jarak 18,3 km dari pusat infeksi (Tissot et al. 1999; Hawker et al. 1998).
Penelitian yang dilakukan di Inggris, ditemukan adanya kontaminasi C. burnetii
pada jerami, pupuk, dan debu dari kendaraan di peternakan. Di Swiss dilaporkan
individu yang tinggal dekat jalan yang mengangkut domba beresiko tinggi
terinfeksi Q fever (Page 2004)
Individu yang beresiko terinfeksi termasuk peternak, pekerja RPH, pekerja
laboratorium, dan dokter hewan yang sering kontak dengan produk hewan (Davis
2004). Penelitian Psaroulaki et al. (2006) melaporkan bahwa individu yang
tinggal dekat peternakan kambing atau domba beresiko besar terhadap penularan
Q fever dan serangga dianggap sebagai aspek epidemiologi yang paling berperan
pada penularan tersebut.
Transmisi Q fever dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu wildlife dan
domestic cycle. Transmisi wildlife terjadi melalui perantara caplak yang menggigit
hewan liar terinfeksi lalu menggigit hewan liar yang rentan. Transmisi domestic
cycle terjadi secara aerosol dari udara yang tercemar; cairan amnion, plasenta

61
hewan tertular. Susu segar dan daging dari sapi yang menderita Q fever
merupakan sumber penularan penting pada manusia (Acha dan Szyfres 2003).

Hewan liar
terinfeksi

Ixodidae
spp.,
Argasidae
spp.

Hewan
liar yang
rentan

Manusia
Gambar 2

Transmisi (wildlife) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).

Hewan
peliharaan
yang
terinfeksi

Cairan amnion, plasenta

Produk asal hewan

Gambar 3

Hewan
peliharaan
yang
terinfeksi

Manusia

Transmisi (domestic cycle) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).

Kejadian pada Manusia
Penyakit Q fever pada manusia sering bersifat menahun dan menimbulkan
kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang,
radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang kerap terjadi endokarditis
yang berakhir dengan kematian (Stein dan Raoult 1992). Penelitian yang
dilaporkan oleh Stein et al. (2005) menjelaskan bahwa penularan Q fever secara
aerosol dapat menimbulkan lesi hebat pada paru-paru.
Masa inkubasi C. burnetii antara 2-3 minggu dengan gejala klinis yang
bervariasi tergantung tingkat patogenitasnya, diikuti dengan demam tinggi (39–40
0

C), kedinginan, malaise, sakit kepala dan rasa sakit pada otot (Maurin dan Raoult

62
1999). Namun masa inkubasi dan tingkat patogenitas dapat tergantung dari
kondisi kesehatan individu ketika terpapar agen C. burnetii dan rute transmisi
penyakit ini (Page 2004).
Pada penelitian Panau et al. (2007), melaporkan adanya kasus Q fever
dengan gejala klinis berupa gangguan jantung yang hebat diikuti infeksi
pernapasan. Penelitian di Turki, melaporkan terdapat 46 kasus Q fever dalam
kurun waktu 3 bulan dengan gejala klinis yang ditimbulkan berupa muntah
(100.0%), nausea (85.7%), diare (57.1%), demam (42.9%), sakit pada perut
(42.9%) dan sakit kepala (42.9%) (Gozalan et al. 2007).
Q fever pada wanita hamil dapat menimbulkan gangguan yang serius.
Penelitian yang dilaporkan Raoult et al (2002), menyebutkan bahwa wanita hamil
yang didiagnosa menderita Q fever, beresiko mengalami keguguran, kelahiran
prematur dan lahir dengan berat badan tidak normal pada usia 3 bulan pertama
masa kehamilan sedangkan untuk kehamilan tua, abortus jarang terjadi. Dari hasil
penelitian lain terhadap 7 wanita dengan kasus Q fever pada umur kehamilan 3
bulan pertama semuanya mengalami abortus (Page 2004).

Kejadian pada hewan
Kejadian Q fever pada hewan tidak selalu menimbulkan gejala klinis
bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Studi seroprevalensi yang
dilaporkan Masala et al (2004), menunjukkan penularan Q fever yang sangat
tinggi terjadi pada peternakan kambing dan domba. Penelitian lain di Itali dengan
kurun waktu 4 tahun, dilaporkan dari 514 kasus abortus, 138 diantaranya dari
ternak sapi dan 376 lainnya adalah kambing dan domba (376). Data ini
menunjukan bahwa hampir semua infeksi C. burnetii pada hewan sering
berhubungan dengan kejadian abortus (Parisi et al. 2006).
Pada hewan C. burnetii berlokasi pada glandula mamae, uterus dan
plasenta, diantara ketiganya konsentrasi C. burnetii paling banyak di plasenta.
Menurut Tissot et al (1999), menjelaskan bahwa kejadian Q fever yang tiap tahun
dilaporkan di sekitar daerah peternakan. Hewan peliharaan termasuk kucing,
anjing, kelinci dan tikus liar adalah sumber yang baru bagi infeksi C. burnetii
(Hawker et al. 1998; Marrie 2003). Bahkan di Perancis dilaporkan adanya

63
kejadian Q fever melalui feses merpati yang terkontaminasi C. burnetii (Marrie
2003).

Q Fever Di Indonesia
Dalam laporan World Health Organization (WHO), berdasarkan
pemeriksaan serologis dinyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan
di Indonesia pada tahun 1937 (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya
yang pernah dilaporkan adalah studi seroepidemiologi tentang Q fever di
Indonesia pada tahun 1978 (Koesharjono 1978). Kasus pneumonia yang terbukti
disebabkan oleh C. burnetii dari seorang penderita yang mempunyai riwayat
pernah tinggal di Indonesia (Miyasita 2001).
Penelitian seroepidemiologi di Indonesia terhadap Spotted fever group
Rickettsia (SFGR), telah dilakukan di Kepulauan Gag, Irianjaya ternyata
persentasi sero prevalensi positif SFGR berkisar 21 % -20,4% (Richard et al.
2003). Prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia, Murine typhus juga telah
diinvestigasi pada tikus liar di Indonesia. Sampel yang diambil dari Jakarta dan
Boyolali menunjukkan dari 327 tikus liar, sebanyak 128 (39,1%) diantaranya
infeksi terdapat Murine typhus (Ibrahim et al. 2001).
Penelitian selanjutnya yang dilaporkan Mahatmi (2006), adanya infeksi Q
fever pada sapi bali dan domba di Bali dan dengan hasil positif 6,8% dari jumlah
sampel campuran hati dan jantung mengandung materi genetik C. burnetii.
Penelitian terbaru seorang pria Jepang yang baru kembali dari Bali, Indonesia
telah terdiagnosa Murine typhus, ini kasus kedua yang terjadi pada wisatawan
yang pernah ke Indonesia (Ohji et al. 2008).

Metode Diagnosa Q fever
Diagnosa Q fever berdasarkan gejala klinis yang tampak hampir tidak
memberikan ketepatan, mengingat gejala klinis yang bersifat subklinis dan sangat
umum, sehingga hasil diagnosa secara laboratorium sangat diperlukan. Ketepatan
diagnosa Q fever sangat diperlukan untuk melakukan pengobatan yang efektif
sebab tidak semua antibiotika broadspektrum mampu membunuh bakteri C.
burnetii. Deteksi DNA C. burnetii dengan metode dasar PCR telah banyak

64
digunakan untuk mendiagnosa Q fever (Ogawa 2004; Fournier dan Raoult 2003).
Beberapa metode serodiagnosis yang diterapkan untuk pemeriksaan Q fever
adalah

enzyme-linked

immunosorbent

mikroagglutination,

complement

immunoflourescent

antibody

assay

fixation

test,

(ELISA),

(CFT)

dan

immunohistochemical

capilary
micro

tube

indirect

staining

dan

immunoflourescent assay (IFA) (Slaba et al. 2005; Setiyono et al. 2005, Marrie
2003).

Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan Q fever akut yang direkomendasikan adalah doxycycline
sedangkan macrolides direkomendasikan untuk wanita hamil. Fluoroquinolones
dan macrolides baik untuk terapi alternatif bagi penderita Q fever. Pneumonia
akibat Q fever dapat diobati dengan erythromycin (Page 2004), tetracycline juga
efektif terhadap endokarditis akibat infeksi Q fever kronis. Terapi kombinasi
chloroquine dan doxycycline atau doxycycline dan ofloxacin dapat dianjurkan
karena telah berhasil menyembuhkan penderita Q fever (Calza et al. 2001).
Pencegahan Q fever dengan vaksinasi dianjurkan pada individu yang
mempunyai resiko tinggi tertular Q fever seperti peternak, dokter hewan dan
pekerja rumah potong. Berbagai jenis vaksin telah dicoba, di Rusia telah
dikembangkan jenis vaksin dari C. burnetii yang dilemahkan. Selama periode 5
tahun di Australia telah dikembangkan vaksin formalin inaktif yang disebut Q-vak
yang telah dibuktikan 100% efektif. Vaksin Q fever menimbulkan efek samping
seperti hipersensitivitas yang ditandai dengan gejala mulai dari peradangan lokal
berupa eritema pada lokasi penyuntikan vaksin sampai gejala sistemik. Agar
penggunaan vaksin Q fever aman diperlukan terlebih dahulu pemeriksaan potensi
vaksin dengan uji dermal atau uji serologis (Page 2004).

65
BAHAN DAN METODE

Pengumpulan Data Sekunder
Dalam pengkajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur,
dibutuhkan data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT secara
menyeluruh baik dalam sistem manajemen peternakan sapi skala kecil, menengah
dan besar termasuk usaha meningkatkan kesehatan ternak dan jenis ternak yang
sedang dikembangkan. Hal lain yang penting untuk mengkaji Q fever dari sudut
pandang kesehatan masyarakat veteriner antara lain distribusi atau pergerakan
ternak antar kota di Propinsi NTT, model penyebaran ternak dari dan keluar NTT
serta penyakit zoonosis yang ada di NTT. Data yang diperlukan diperoleh dari
Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Balai Karantina Hewan
Kelas I Tenau, Kupang Nusa Tenggara Timur.

Pengambilan Sampel di Lapangan
Dalam pengambilan sampel difokuskan pada rumah potong hewan yang
berada di Kota Kupang yaitu di rumah potong hewan (RPH) Oeba dengan waktu
pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2007. Kota Kupang
diasumsikan sebagai pusat pemotongan hewan yang berasal dari kabupaten lain di
Pulau Timor NTT. Rata-rata pemotongan sapi di rumah potong hewan Kota
Kupang berkisar antara 30-40 ekor perhari. Pengambilan sampel dilakukan selama
2 minggu dengan interval 2 hari sekali, hal ini dikarenakan alasan keterbatasan
waktu. Jumlah pengambilan sampel berkisar antara 75-80% dari jumlah
pemotongan perhari.
Sampel yang diambil adalah organ hati dan jantung sapi potong, dengan
berat ± 10 gram/sampel. Pengambilan sampel dilaksanakan pada malam hari,
sampel kemudian ditempatkan pada coolbox (±5 0C) dan disimpan pada frezeer.
Pada saat jumlah sampel yang ada sudah sesuai dengan jumlah yang diinginkan,
sampel ditransportasikan ke tempat penelitian menggunakan coolbox untuk
menghindari kerusakan. Selanjutnya sampel disimpan dalam freezer, dikeluarkan
pada saat akan dilakukan pengujian.

66
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Penyakit Hewan,
Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian
Sampel penelitian terdiri dari hati dan jantung sapi potong yang diperoleh
dari rumah potong hewan kota Kupang (sesuai dengan tata cara pengambilan
sampel pada penelitian Mahatmi, 2006).
Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA: cell lysis solution,
proteinase K solution, RNase A solution, protein precipitation solution, 100%
isopropanol (2- propanol), 70% etanol, DNA hydration solution. Bahan primer
yang digunakan pada first PCR adalah OMP 1(5’-AGT AGA AGC ATC CCA
AGC ATT-G), OMP2 (TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT-G), 10 x taq buffer,
dNTP, akuabidestilata bebas DNA, taq polymerase, DNA sampel, kontrol positif
C. burnetii strain Nine Mile II (ATCC) sedangkan bahan primer pada Nested PCR
adalah OMP3 (5’-GAA GCG CAA GAA GAA CAC-3’), OMP4 (5-TTG GAA
GTT ATC ACG CAG TTG-3’). Primer nested PCR dirancang dari susunan
membran luar C. burnetii dengan berat 29 kDa yang merupakan bagian converse
region C. burnetii dengan produk amplifikasi 437 bp seperti yang dilakukan oleh
Zhang et al. (1998) dan Ogawa et al. (2004), selebihnya menggunakan bahan
yang sama seperti first PCR.
Bahan untuk mendeteksi hasil amplifikasi menggunakan agar agarose
(sigma), Larutan 1 x tris acetate EDTA dan bromo phenol blue. Alat yang
digunakan antara lain cleanbench, timbangan mikro, mikropipet, ependorf steril,
microtube PCR, PCR (Perkin Elmer Gene Amp PCR System 9600), elektroforesis,
vortex, sentrifus, microwave, ultra violet iluminator, erlenmeyer, kamera.

Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode PCR
Penggunaan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi
keberadaan C. burnetii pada serum dan sel leukosit manusia merupakan metode

67
yang dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi telah banyak digunakan untuk
mendiagnosa Q fever (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Dari penelitian
Ogawa et al. (2004), telah dievaluasi bahwa untuk mendeteksi C. burnetii dengan
menggunakan metode nested PCR memiliki tingkat sensitivitas 10 kali lebih baik
dibanding metode PCR assay. Metode PCR yang diterapkan pada penelitian ini
berdasarkan standar yang dipakai di National Institut of Infectious Disease (NIID)
Jepang (Setiyono et al. 2005).

Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit.
Setiap sampel (campuran hati dan jantung) diambil kira-kira 50 mg dihaluskan
dan dimasukkan ke dalam tabung mikro. Tambahkan cell lysis solution
(puregene), dihomogenisasi sampai terbentuk suspensi. Proses selanjutnya
penambahan 1,5 μl proteinase K solution dan diinkubasikan pada suhu 65 0C
selama 1 jam, tambahkan precipitation solution (puregene) 100 μl, dan di-vortex.
Sentrifus dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit pada suhu 4 0C. Supernatan
hasil sentrifus diambil dan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru dan
ditambahkan 300 μl isopropanol, di-vortex 20 kali. Setelah itu sampel lalu
disentrifus dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit pada suhu 4 0C.
Supernatan dibuang, filtrat yang tersisa di dasar tabung merupakan pelet DNA,
tambahkan etanol 70% sebanyak 500 μl, untuk proses pencucian. Disentrifus
15.000 x G selama 5 menit pada suhu 5 0C. Supernatan dibuang secara hati-hati,
penguapan alkohol yang tersisa dilakukan dalam cleanbench selama 1 jam.
Tambahkan DNA dehydration solution, diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65 0C.
DNA yang diperoleh disimpan pada suhu 4 0C dan siap untuk preparasi PCR.

First PCR
First PCR dilakukan memakai primer yang dirancang berdasarkan sekuen
spesifik dari membran luar C. burnetii dengan berat molekul 29 kDa. Pekerjaan
dilakukan di dalam cleanbench yang sebelumnya sudah disterilisasi (dengan
alkohol 70% dan ultra violet selama 15 menit). Pada saat cleanbench akan
digunakan disterilisasi lagi dengan DNA away untuk merusak DNA kontaminasi

68
yang mungkin ada. PCR mixture diawali dengan menyiapkan tabung mikro
volume 1,5 ml untuk PCR mixture yang terdiri dari primer, dNTP, taq buffer,
akuabidestilata dan terakhir adalah taq polymerase sebanyak volume diatas
dikalikan jumlah sampel yang diperiksa, dicampur menggunakan pipet mikro dan
dipindahkan ke dalam tabung PCR yang telah diberi nomor sampel, masingmasing sebanyak 27 µl. Untuk menghindari kontaminasi dan terlalu lama pada
suhu ruang, maka bahan-bahan seperti primer, taq polymerase, dNTP segera
disimpan kembali ke dalam freezer -84 0C.
Ekstraksi DNA sampel disiapkan. Setiap tabung PCR yang telah ditandai
dan berisi PCR mixture masing-masing ditambahkan 3 µl ekstraksi DNA sampel.
Setiap penambahan DNA sampel diusahakan mencampur dengan sempurna
dengan menggunakan pipet mikro. Setelah semua sampel DNA dimasukan dalam
setiap tabung PCR, sisa sampel DNA disimpan kembali ke dalam medicool.
Selanjutnya kontrol positif C. burnetii NM-2 pada 437 bp ditambahkan ke dalam
tabung PCR yang telah berisi 27 µl mixture PCR sebanyak 3 µl, sehingga semua
tabung PCR masing-masing berisi 30 µl. Kemudian diatur dalam mesin thermal
cycler (Perkin-Elmer Gene Amp PCR system 9600).
Amplifikasi diatur dengan program 35 cycles, yang terdiri dari proses
denaturasi pada suhu 94 0C selama 1 menit, anneling pada suhu 54 0C selama 1
menit dan ekstensi pada suhu 72 0C selama 2 menit dan diakhiri dengan proses
pendinginan 4 0C. Produk amplifikasi berjalan kira-kira 3 jam. Setelah proses
amplifikasi selesai, tabung PCR dikeluarkan dari mesin PCR dan siap untuk
dilakukan elektroforesis dan nested PCR.

Deteksi Hasil Amplifikasi
Setelah

proses

amplifikasi

pada

mesin

PCR

selesai,

dilakukan

elektroforesis. Persiapan sebelum elektroforesis adalah pembuatan gel agarose
dengan cetakan 25 sumuran menggunakan bahan agar dari agar agarose (sigma)
1.5% dalam larutan 1 X tris acetat EDTA. Selanjutnya larutan 1 x tris acetat
EDTA sebanyak 350 ml dimasukkan ke dalam mesin elektroforesis yang telah
diisi atau sampai batas yang tertera pada alat dengan tegangan 100 volt dan
frekuensi 50 Hz selama 30 menit. Proses selanjutnya adalah mencampurkan setiap

69
sampel hasil first PCR dengan bromo phenol blue sebanyak 5 µl diatas plastik
steril.
Kotak pertama yang berisi bromo phenol blue 5 µl ditambahkan 2 µl
penanda DNA (100-1200 bp) disuspensikan dengan sempurna menggunakan
mikro pipet dan diambil 7 µl dengan hati-hati dimasukan ke dalam sumuran pada
gel yang sudah dimasukan dalam tangki mesin elektroforesis. Kotak kedua dan
seterusnya yang berisi bromo phenol blue ditambahkan 2 µl masing-masing
sampel hasil amplifikasi first PCR. Kemudian dicampur dengan mikropipet dan
dimasukan secara hati-hati ke dalam sumuran pada gel yang ada di dalam tangki
mesin elekroforesis, hal yang sama dilakukan terhadap penanda DNA, kontrol
positif dan beberapa sumuran untuk sampel hasil amplifikasi first PCR.
Molekul DNA akan bergerak dari kutub negatif ke positif, molekul DNA
dibiarkan berjalan sampai batas 3 garis dari bawah, kemudian mesin dimatikan.
Proses elektroforesis berlangsung ±30 menit. Gel hasil elektroforesis diangkat dari
dalam tangki mesin elektroforesis dan dibilas dengan akuades serta kemudian
dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida (60 µg/ml) selama 20 menit
kemudian dilihat dibawah sinar ultra violet dan difoto.

Nested PCR
Primer yang dipakai untuk nested PCR dirancang dari susunan membran
luar C. burnetii dengan berat 29 kDa, yang merupakan bagian conserve region C.
burnetii dengan produk amplifikasi 437 bp. PCR mixture diawali dengan
menyiapkan tabung mikro volume 1,5 ml untuk PCR mixture yang terdiri dari
primer, dNTP, taq buffer, akuabidestilata dan taq polymerase sebanyak volume
diatas dikalikan jumlah sampel yang diperiksa.
Pengerjaan tahap nested PCR hampir sama dengan first PCR namun
bedanya pada nested PCR menggunakan sampel hasil running dari first PCR dan
membutuhkan waktu lebih lama. Amplifikasi diatur dengan program 35 cycles,
yang diawali dengan pemanasan suhu 94 0C selama 3 menit, denaturasi pada suhu
94 0C selama 1 menit, anneling pada suhu 56 0C selama 1 menit dan ekstensi pada
suhu 72 0C selama 1 menit 30 detik, ekstensi akhir pada suhu 72 0C selama 4
menit dan diakhiri dengan proses pendinginan 4 0C. Produk amplifikasi berjalan

70
kira-kira selama 3 jam 30 menit. Setelah proses amplifikasi selesai, tabung PCR
dikeluarkan dari mesin PCR dan siap untuk dilakukan elektroforesis.

Analisa Data
Data yang digunakan untuk kajian Q fever adalah hasil identifikasi C.
burnetii dengan menggunakan metode polymerase chain reaction dan data
pendukung lainnya. Data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Tempat pengambilan sampel (RPH Oeba Kupang)
Sampel organ
hati dan
jantung

Sampel
diletakan dalam
coolbox

Sampel
disimpan dalam
freezer

Sampel ditransportasikan ke
tempat penelitian. Sampel
disimpan dalam coolbox

Tempat penelitian
Sampel disimpan dalam freezer dan diambil saat
akan dilakukan penelitian

Ekstraksi
DNA

Gambar 4

First
PCR

Elektroforesis

Deteksi hasil
pada uv

Nested
PCR

Elektroforesis

Deteksi hasil
pada uv

Skema pengambilan dan pengerjaan sampel penelitian

71
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi 566 pulau besar dan
kecil dengan luas daratan sekitar 47,3 ribu km2. Kondisi alam NTT berbukit dan
bergunung dengan dataran rendah yang tersebar luas. Keadaan iklim daerah ini
umumnya kering, dengan musim kemarau panjang antara 8 hingga 9 bulan per
tahun, sedangkan musim penghujan hanya 3-4 bulan (Sunaryo et al. 2007).
Sebagian besar penduduk NTT berdomisili di Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau
Timor, serta gugusan Kepulauan Lembata dan Alor.
Daerah Nusa Tenggara Timur memiliki 3 pulau besar, Pulau Timor, Pulau
Sumba, Pulau Flores. Adapun pemasok sapi potong terbesar berasal dari Pulau
Timor. Kota Kupang merupakan salah satu kabupaten di Pulau Timor dan
merupakan ibu kota propinsi sehingga banyak sapi yang didatangkan ke Kota
Kupang dari kabupaten lain yang ada di Pulau Timor (DISNAK NTT 2006).
Ladang penggembalaan yang luas di NTT memungkinkan sektor
peternakan berkembang dengan baik, selain itu didukung oleh padang
penggembalaan savana yang cocok bagi pemeliharaan ternak. Data DISNAK NTT
(2007), menyebutkan hampir 25% dari luas wilayah NTT adalah padang
pengembalaan. Tabel 1 menunjukkan luas padang penggembalaan di setiap
wilayah NTT.

72
Tabel 1 Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006
Luas Padang
No

Kabupaten

Pengembalaan (Ha)

1

Kupang

2

Timor Tengah Selatan

58.243

3

Timor Tengah Utara

86.399

4

Belu

24.010

5

Alor

7.149

6

Lembata

23.255

7

Flores Timur

33.291

8

Sikka

19.389

9

Ende

910

10

Ngada

15.193

11

Manggarai

68.871

12

Manggarai Barat

13

Sumba Timur

215.797

14

Sumba Barat

83.635

15

Rote Ndao

16.513

Jumlah

227.400

8.218

888.273

Sumber: DISNAK NTT (2006)

Sistem pemeliharaan dan populasi ternak di NTT
Nusa Tenggara Timur daerah yang memiliki musim kering dan penghujan
yang mempengaruhi ketersediaan pakan ternak. Pada umumnya, sistem
pemeliharaan ternak sapi mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di
lahan penggembalaan dengan biaya produksi yang relatif murah dan penggunaan
tenaga yang minim.
Produktivitas ternak sapi dengan sistem ini, berfluktuasi mengikuti musim.
Pada musim hujan produksi hijauan berlimpah, ternak mengalami peningkatan
bobot badan. Sebaliknya di musim kemarau, produksi dan kualitas hijauan

73
menurun dengan tajam, sehingga terjadi kehilangan bobot badan dimana
penurunannya dapat mencapai 20-25 % dari berat badannya pada musim hujan.
Oleh karena itu pertumbuhan ternak di lahan NTT mengikuti pola seperti mata
gergaji (Bamualim dan Wirdahayati 2003). Sistem pemeliharaan ternak di NTT
dibagi menjadi dua kategori yaitu :
1

Semi intensif

Sistem pemeliharaan ternak semi intensif yang dilakukan dengan menempatkan
ternak dekat dengan peternak sehingga peluang kedekatan kontak langsung
dengan ternak lebih banyak/sering, s